Ulkus Mooren

(1)

ULKUS MOOREN

OLEH:

Dr. RODIAH RAHMAWATY LUBIS,SpM

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSUP.H.ADAM MALIK


(2)

PENDAHULUAN

Ulkus Mooren pertama kali ditemukan oleh Bowman pada tahun 1849 dan Mc.Kenzie pada tahun 1854 yang dikenal dengan “chronic serpiginous ulcer” atau “ulkus roden” pada kornea. Mooren adalah orang yang pertama sekali mempublikasikan serta menerangkan secara jelas beberapa kasus tentang keadaan ulkus tersebut pada tahun 1863.(1,2)

Ulkus Mooren jarang dijumpai dan biasanya bersifat idiopatik dan tanpa disertai penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi terjadinya kerusakan pada kornea. .(1,2) Ulkus Mooren adalah keratitis yang bersifat kronis dan ulseratif serta disertai rasa sakit.

Keratitis dimulai dari daerah perifer kornea yang kemudian menuju daerah sentral secara sirkumferensial. Ulkus mooren dapat mengenai satu atau dua mata yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan kornea. .(1,-6)

EPIDEMIOLOGI

Ulkus mooren adalah penyakit yang jarang terjadi di Amerika Serikat yang biasanya bersifat idiopatik. Walaupun penyakit ini biasanya terjadi paada orang dewasa namun pernah dilaporkan penyakit ini terjadi pada anak usia 3 tahun. Kietzman melaporkan 37 kasus Ulkus Mooren di Nigeria. Pada penelitiannya, penyakit ini secara primer terjadi pada laki-laki yang sehat,usia 20-30 tahun, perjalanan penyakit ini sangat cepat yang dapat melibatkan dan merusak jaringan kornea secara total dalam waktu 6 minggu. Perforasi jarang terjadi, hanya 36% dari pasien. .(1)


(3)

Type I : Limited type atau benign mooren’s ulcer ,biasanya bersifat unilateral dan gejala klinis yang ringan sampai sedang. Type ini cendrung terjadi pada usia yang lebih tua dan memiliki respon yang baik terhadap pengobatan medikamentosa maupun tindakan operasi.

Type II: Atypical type atau malignant mooren’s ulcer ,biasanya bersifat progresif. Kasus bilateral biasanya terjadi pada penderita yang lebih muda. Type ini disertai rasa yang sangat sakit dan tidak respon terhadap segala bentuk terapi.

Pada tahun 1990, Lewellwen dan Courtright melaporkan bahwa 43% kasus bilateral terjadi penderita yang lebih tua sedangkan 25% terjadi pada usia yang lebih muda yaitu dibawah usia 35 tahun. Kasus ulkus mooren yang bilateral juga dilaporkan lebih sering mengenai orang kulit putih dabandingkan orang kulit hitam dengan perbandingan 2,5:1. (1,2,)

Baru-baru ini, Watson berdasarkan gejala klinis dan hasil fluorescein angiographic pada segmen anterior membagi ulkus mooren atas 3 type,yaitu: . (1,2,5,7)

Type I : Unilateral Mooren’s ulceration (UM) ,yaitu bentuk ulkus mooren yang terjadi pada penderita wanita dan usia yang lebih tua,bersifat progresif dan disertai rasa sakit.Terjadi obliterasi pada pembuluh darah superficial di dareah limbus.

Type II : Bilateral Aggressif Mooren’s ulceration (BAM) ,terjadi pada penderita yang lebih muda,perjalanan penyakitnya lebih cepat secara sirkumferensial daripada menuju sentral kornea. Terjadi kebocoran pembuluh darah dan


(4)

terbentuknya pembuluh darah baru yang meluas sampai ke daerah dasar ulkus.

Type III: Bilateral Indolent Mooren’s ulceration (BIM) ,biasanya terjadi pada usia pertengahan. Ditandai dengan adanya ulkus didaerah perifer yeng bersifat progresif pada kedua mata,dan sedikit respon inflamasi. Terjadi extensi pembuluh darah baru ke dalam ulkus.

ETIOLOGI

Walaupun penyebab terjadinya keratitis ulseratif perifer masih belum diketahui, namun respon autoimmune terbukti memegang peranan yang sangat penting. Terjadinya ulkus mooren diduga akibat adanya faktor pencetus berupa infeksi parasit,helminthiasis dan hepatitis C. Infeksi lain yang dapat berhubungan dengan ulkus mooren seperti Herpes simplex,herpes zooster,syphilis dan tuberculosis. (1,2,5,) Schanzlin menduga terjadinya reaksi Antigen-antibody terhadap toxin dari cacing yang menumpuk pada daerah perifer kornea sehingga memicu terjadinya proses inflamasi dan ulserasi. Ulkus mooren juga dapat terjadi akibat adanya trauma. . (2,8,9)

PATHOFISIOLOGI . (1,2,5)

Mekanisme pathophysiologi pasti terjadinya ulkus mooren belum diketahui secara pasti,tetapi diduga adanya proses autoimmune. Terjadinya gangguan immunologi ditandai dengan dihasilkannya antibodi sebagai reaksi terhadap jaringan konjungtiva dan kornea yang terlibat.

Autoimmune sellular dan humoral kedauanya terbukti memegang peranan penting dalam pathophisiologi penyakit ini dengan ditemukannya pada pemeriksaan histologis adanya plasma sel, Polymorphonuclear leukosit (PMNs),eosinophil,mast


(5)

sel,immunoglobulin dan komplemen. Pada beberapa orang pasien level T-sel suppressor menurun . , Ig.A meningkat, peningkatan konsetrasi plasma sel dan lymphosit pada konjunctiva yang berbatasan dengan lokasi ulkus, dan terjadinya ikatan immunoglobulin dengan komplemen pada epitel konjunctiva dan daerah tepi kornea.

Martin dkk menerangkan mekanisme terjadinya proses ulserasi,adanya penyakit sistemik,infeksi atau trauma dapat mengubah antigen pada kornea yang menyebabkan terjadinya respon sellular dan humoral.

GEJALA KLINIS

Gejala klinis ulkus mooren yang terpenting adanya rasa sakit yang disertai dengan mata merah, berair dan silau. Uveitis anterior ringan dan sedang dapat terjadi pada penderita ulkus mooren, glaucoma sekunder dan katarak juga dapat terjadi akibat komplikasi lanjut dari penyakit ini. Penurunan tajam penglihatan biasanya disertai adanya keterlibatan kornea atau terjadinya astigmatisma irregular akibat adanya penipisan di daerah perifer kornea. .(1,2,3)

Ulserasi biasanya dimulai pada daerah tepi kornea. Pada kebanyakan penderita prosesnya terjadi di daerah fissura interpalpebra, yaitu berupa infiltrat tipis keabu-abuan di sekitar limbus. Daerah medial dan lateral kuadran lebih sering jika dibanding daerah superior dan inferior. Infiltrat tersebut dapat membentuk ulkus marginal dalam beberapa minggu. .(1,2,6,9-12)


(6)

Ulserasi kornea pada daerah perifer (14) Perkembangan sirkumferensial ulkus mooren (7)

Biasanya epitel di daerah tengah ulkus tidak dirusak, epitel konjunctiva menutupi daerah yang tipis pada kornea. Keadaan ini dapat memberikan gambaran bahwa penipisan tersebut dikarenakan keratitis tanpa disertai defek epitel. Kenyataannya hal itu tidak betul, dimana dengan menggunakan fluorescen 2% defek epitel dapat terlihat dengan jelas. .(4)

Ulkus kornea dapat terjadi perlahan-lahan melibatkan 1/3 – ½ stroma kornea. Daerah limbus juga dapat terlibat, terjadi inflamasi di daerah konjungtiva,

episclera dan jaringan sclera. Pada kasus yang lanjut ulserasi terjadi sampai ke sklera. Hypopion tidak terjadi tanpa adanya infeksi sekunder.

Proses ulserasi dapat berlanjut selama 3 sampai 12 bulan jika keseluruhan kornea terlibat. Perforasi dapat terjadi 35 - 40 % terutama jika didahului dengan adanya trauma. .(1,2,3,5,13)


(7)

DIAGNOSA

Walaupun gejala klinis ulkus mooren sangat mudah dikenali,namun penyebab terjadinya infiltrat perifer atau ulkus harus diperhatikan. Kita harus memperhatikan apakah ulkus mooren disertai adanya scleritis, keterlibatan limbus, sensasi kornea, blepharitis dan keratitis, deposit lemak, ulkus pada stroma kornea, epitel kornea, dll untuk dapat membedakannya dengan penyakit lain yang dapat menyebabkan keratitis ulseratif perifer.

Hal lain yang perlu diperhatikan juga termasuk penyakit-penyakit kolagen ( seperti rheumatoid arthritis, wegener’s granulomatosis dan poliarteritis nodosa ). Dan penyakit degenerasi kornea ( Terrien’s marginal degenerasi dan degenerasi pellucid). .(1,2,3,4)

Ulkus marginal dapat ditemukan pada penderita blepharitis staphylococcus,konjunctivitis haemophilus influanzae biotype II , infeksi Moraxella lakunata kronis. Ulserasi di daerah perifer dapat juga terjadi pada Herpes simplex. Perbedaannya adalah pada lesi herpetik biasanya disertai dengan gejala klinis yang lebih ringan, dimulai dengan ulserasi epitel yang diikuti dengan terjadinya infiltrasi didaerah stroma dan disartai dengan hilangnya atau turunnya sensasi pada kornea. .(1)

Pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan keratitis ulseratif didaerah perifer yang diduga disebabkan penyakit sistemik dimulai dengan melakukan pemeriksaan komplit dan diffrensial blood cell count; erythrocyte sedimentation rate (ESR); rheumatoid faktor, fixasi komplemen, antinuclear antibody, immune komplex; urinalysis;chest x-ray dan sinus film; pemeriksaan enzim liver, veneral disease research(VDRL) test; fluorescent treponemal antibody absorption (FTA-ABS); juga blood urea nitrogen (BUN) dan jumlah kreatinin. Pemeriksaan darah tersebut dilakukan untuk


(8)

menyingkirkan adanya penyakit vaskular kolagen, infeksi, malignansi, dan penyakit-penyakit lain yang disebakan adanya iskemik dan oklusi. (1,2,3,4-10)

TERAPI (1-7,10-20)

Kebanyakan para ahli setuju dengan dilakukannya beberapa langkah pendekatan dalam menangani ulkus mooren, seperti yang dijelaskan dibawah ini :

1. Steroid topikal

Terapi inisial harus mencakupi program topikal intensif: predisolon asetat atau prednisolon phosphate 1% tiap jam,yang disertai dengan pemakaian sikloplegik dan antibiotik profilaksis. Penyembuhan epitel tidak akan terjadi dalam 2-3 hari, frekuensi penggunaan steroid topical dapat ditingkatkan menjadi tiap 30 menit. Jika penyembuhan epitel terjadi maka penggunaan tipokal steroid harus dikurangi secara perlahan-lahan selama beberapa bulan. Pada ulkus mooren yang jinak dan unilateral hal ini memperlihatkan hasil yang baik.

Penggunaan steroid secara oral ( prednison 60-100 mg tiap hari ) dapat dipertimbangkan jika pengobatan dengan steroid topical tidak efektif dalam 7-10 hari atau pada beberapa kasus dimana penggunaan steroid menjadi kontraindikasi. Penggunaan soft kontak lens dan patching pada mata yang terlibat sangat berguna untuk menghindari trauma pada saat mata berkedip.

2. Reseksi konjunctiva

Jika ulkus terus berkembang walaupun sudah diterapi dengan steroid, maka reseksi konjunctiva harus dilakukan.denagn menggunakan anestesi topikal dan subkonjunctiva, konjunctiva dieksisi kearah sclera setidaknya seabanyak 2 jam dari arah sisi perifer ulkus , dan sekitar 4 mm ke arah posterior dari corneoscleral


(9)

limbus dan sejajar dari ulkus. Penggunaan soft kontak lens setelah dilakukan reseksi konjunctiva berguna untuk membantu penyembuhan epitel. Penyembuhan konjunctiva dan ulkus tersebut dapat terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu setelah dilakukan prosedur ini.

Kryoterapi pada konjunctiva di daerah limbus oleh beberapa ahli dapat memberikan hasil yang sama. Resesksi konjunctiva dan thermocoagulasi juga dapat memperbaikai daerah ulkus, tetapi kekambuhan dapat terjadi, angka kekembuhannya sampai 50%.

3. Immunosuppressive chemotherapy

Pada kasus – kasus bilateral atau progresif dimana ulkus mooren gagal diterapi dengan steroid dan reseksi konjunctiva, maka penggunaan kemoterapi sistemik diperlukan untuk menghentikan kerusakan lanjut pada kornea. Penggunaan immunosuppressive sistemik seperti kortikosteroid, cyclphosphamide (2 mg/kgBB/hr), methotrexate (7,5-15 mg/minggu, azathioprin2 ( 2 mg/kgBB/hr )dan topical cyclosporine A (0,05%) menunjukkan hasil yang menjanjikan pada kasus-kasus ulkus mooren.

Foster dkk melaporkan hasil yang sangat memuaskan dengan menggunakan cyclophosphamide ( Cytoxan ) dengan dosis 2-3 mg/kg BB.

Penggunaan kemoterapi harus dibawah pengawasan rheumatologist, oncologist atau internist.

4. Prosedur operasi lainnya

Jika pengobatan dengan steroid topikal, reseksi konjunctiva dan penggunaan immunosuppressive sistemik ternyata gagal dalam menangani ulkus mooren,


(10)

prosedur operasi tambahan perlu dipertimbangkan. Superficial lamellar keratectomy dapat menghentikan proses inflamasi dan dapat memacu proses penyembuhan.

Pada beberapa kasus, perforasi dapat juga terjadi walaupun pengobatan telah dijalankan dengan baik. Perforasi kecil dapat ditangani dengan melekatkan jaringan sekitarnya ( conjunctival flap ) dan penggunaan soft kontak lens. Jika perforasi terlalu besar maka partial penetrating keratoplasty dapat dilakukan.

PROGNOSA

Ulkus mooren dapat terjadi pada kasus ringan yang unilateral dan tidak mengancam visus sampai dengan kasus yang bilateral dan mengancam visus. Oleh karena ulkus mooren merupakan kasus yang jarang terjadi maka pengetahuan yang lebih terperinci tentang keparahan penyakit ini tidak ada. Beberapa studi telah mencoba mencari hubungan antara jenis kelamin, umur, dan ras, namun tidak ada lagi penelitian lebih lanjut untuk mengkonfirmasikan studi ini . (2)


(11)

DAFTAR PUSTAKA

1. Smolin G, Thoft RA: The Cornea, Scientific Foundations and clinical Practice, 3rd edition , Boston, Little Brown, 1989, p.408-413

2. http://www.uveitis.org/medical/articles/case/MU.html

3. http://www.eMedicine.com/Americanuveitissociety/MU.html

4. Daniel MA, Jakobiec FA: Principles and Practice of Ophthalmology,vol.1, Phlladelphia,WB.Sounders, 1992, p.64-66

5. American Academy of Ophthalmology, External Disease and Cornea,section 8, Basic and Cinical Sience Course, p.2002-2003.

6. Miller SHJ, Parson’s Disease of The Eye, 18TH edition, Longman Singapore Publishers (P) Limited, Singapore, 1990, p.153

7. Kanski JJ: Clinical Ophthalmology, 5th edition, Butterworth Heinemann, 2003, p.117-119.

8. Khurana AK, Ophthalmology, New Age International (P) Limited Publishers, New Delhi 1998, p.137-138.

9. http://www.eMedicine.com/corneal/article

10.Elder Duke Sir Steward, Disease of The Outer Eye, System of Ophthalmology,vol.VIII,Part.2,London,1997,p.916-920.

11. http://www.google.com/cornea/ulcer

12.Allen JH, May’s Manual of the Disease of the Eye for student and general preactitioners, The William and Wilkins Company, Baltimore,1968, p.103-104.


(12)

13.Wong T Yin, The Ophthalmology Examinations Review, World scientific Publishing Co.Pte.Ltd, Singapore, 2001, p.106-108

14. http://www.optometry.co.uk/BasicImmunology

15.Adler FH, Gifford’s Text Book of Ophthalmology, 6th edition, WB.Sounders Company,Philadelphia, 1957, p.216-219

16. http://www.google.com/fatalsight/MU.html

17.Van Heuven WAJ, Zwaan J, Decission Making in Ophthalmology, An Algorithmic Approach, 2nd edition, Mosby, St.Louis, 2000, p.208-209

18.Vaughan Daniel, Asbury Tailor, Paul Riordan-Eva, General Ophthalmology, 15th edition, Appleton and Lange, 1999, p.129

19.Langston DP, Manual of Ocular Diagnostic and Therapy, 4th edition, Little Brown and Company, Boston , 1996, p. 99-100.

20.Nema VH, Textbook of Ophthalmology, 4th edition, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Limited, New Delhi, 2002, p.156-158


(1)

DIAGNOSA

Walaupun gejala klinis ulkus mooren sangat mudah dikenali,namun penyebab terjadinya infiltrat perifer atau ulkus harus diperhatikan. Kita harus memperhatikan apakah ulkus mooren disertai adanya scleritis, keterlibatan limbus, sensasi kornea, blepharitis dan keratitis, deposit lemak, ulkus pada stroma kornea, epitel kornea, dll untuk dapat membedakannya dengan penyakit lain yang dapat menyebabkan keratitis ulseratif perifer.

Hal lain yang perlu diperhatikan juga termasuk penyakit-penyakit kolagen ( seperti rheumatoid arthritis, wegener’s granulomatosis dan poliarteritis nodosa ). Dan penyakit degenerasi kornea ( Terrien’s marginal degenerasi dan degenerasi pellucid). .(1,2,3,4)

Ulkus marginal dapat ditemukan pada penderita blepharitis staphylococcus,konjunctivitis haemophilus influanzae biotype II , infeksi Moraxella lakunata kronis. Ulserasi di daerah perifer dapat juga terjadi pada Herpes simplex. Perbedaannya adalah pada lesi herpetik biasanya disertai dengan gejala klinis yang lebih ringan, dimulai dengan ulserasi epitel yang diikuti dengan terjadinya infiltrasi didaerah stroma dan disartai dengan hilangnya atau turunnya sensasi pada kornea. .(1)

Pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan keratitis ulseratif didaerah perifer yang diduga disebabkan penyakit sistemik dimulai dengan melakukan pemeriksaan komplit dan diffrensial blood cell count; erythrocyte sedimentation rate (ESR); rheumatoid faktor, fixasi komplemen, antinuclear antibody, immune komplex; urinalysis;chest x-ray dan sinus film; pemeriksaan enzim liver, veneral disease research(VDRL) test; fluorescent treponemal antibody absorption (FTA-ABS); juga blood urea nitrogen (BUN) dan jumlah kreatinin. Pemeriksaan darah tersebut dilakukan untuk


(2)

menyingkirkan adanya penyakit vaskular kolagen, infeksi, malignansi, dan penyakit-penyakit lain yang disebakan adanya iskemik dan oklusi. (1,2,3,4-10)

TERAPI (1-7,10-20)

Kebanyakan para ahli setuju dengan dilakukannya beberapa langkah pendekatan dalam menangani ulkus mooren, seperti yang dijelaskan dibawah ini :

1. Steroid topikal

Terapi inisial harus mencakupi program topikal intensif: predisolon asetat atau prednisolon phosphate 1% tiap jam,yang disertai dengan pemakaian sikloplegik dan antibiotik profilaksis. Penyembuhan epitel tidak akan terjadi dalam 2-3 hari, frekuensi penggunaan steroid topical dapat ditingkatkan menjadi tiap 30 menit. Jika penyembuhan epitel terjadi maka penggunaan tipokal steroid harus dikurangi secara perlahan-lahan selama beberapa bulan. Pada ulkus mooren yang jinak dan unilateral hal ini memperlihatkan hasil yang baik.

Penggunaan steroid secara oral ( prednison 60-100 mg tiap hari ) dapat dipertimbangkan jika pengobatan dengan steroid topical tidak efektif dalam 7-10 hari atau pada beberapa kasus dimana penggunaan steroid menjadi kontraindikasi. Penggunaan soft kontak lens dan patching pada mata yang terlibat sangat berguna untuk menghindari trauma pada saat mata berkedip.

2. Reseksi konjunctiva

Jika ulkus terus berkembang walaupun sudah diterapi dengan steroid, maka reseksi konjunctiva harus dilakukan.denagn menggunakan anestesi topikal dan subkonjunctiva, konjunctiva dieksisi kearah sclera setidaknya seabanyak 2 jam dari arah sisi perifer ulkus , dan sekitar 4 mm ke arah posterior dari corneoscleral


(3)

limbus dan sejajar dari ulkus. Penggunaan soft kontak lens setelah dilakukan reseksi konjunctiva berguna untuk membantu penyembuhan epitel. Penyembuhan konjunctiva dan ulkus tersebut dapat terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu setelah dilakukan prosedur ini.

Kryoterapi pada konjunctiva di daerah limbus oleh beberapa ahli dapat memberikan hasil yang sama. Resesksi konjunctiva dan thermocoagulasi juga dapat memperbaikai daerah ulkus, tetapi kekambuhan dapat terjadi, angka kekembuhannya sampai 50%.

3. Immunosuppressive chemotherapy

Pada kasus – kasus bilateral atau progresif dimana ulkus mooren gagal diterapi dengan steroid dan reseksi konjunctiva, maka penggunaan kemoterapi sistemik diperlukan untuk menghentikan kerusakan lanjut pada kornea. Penggunaan immunosuppressive sistemik seperti kortikosteroid, cyclphosphamide (2 mg/kgBB/hr), methotrexate (7,5-15 mg/minggu, azathioprin2 ( 2 mg/kgBB/hr )dan topical cyclosporine A (0,05%) menunjukkan hasil yang menjanjikan pada kasus-kasus ulkus mooren.

Foster dkk melaporkan hasil yang sangat memuaskan dengan menggunakan cyclophosphamide ( Cytoxan ) dengan dosis 2-3 mg/kg BB.

Penggunaan kemoterapi harus dibawah pengawasan rheumatologist, oncologist atau internist.

4. Prosedur operasi lainnya

Jika pengobatan dengan steroid topikal, reseksi konjunctiva dan penggunaan immunosuppressive sistemik ternyata gagal dalam menangani ulkus mooren,


(4)

prosedur operasi tambahan perlu dipertimbangkan. Superficial lamellar keratectomy dapat menghentikan proses inflamasi dan dapat memacu proses penyembuhan.

Pada beberapa kasus, perforasi dapat juga terjadi walaupun pengobatan telah dijalankan dengan baik. Perforasi kecil dapat ditangani dengan melekatkan jaringan sekitarnya ( conjunctival flap ) dan penggunaan soft kontak lens. Jika perforasi terlalu besar maka partial penetrating keratoplasty dapat dilakukan.

PROGNOSA

Ulkus mooren dapat terjadi pada kasus ringan yang unilateral dan tidak mengancam visus sampai dengan kasus yang bilateral dan mengancam visus. Oleh karena ulkus mooren merupakan kasus yang jarang terjadi maka pengetahuan yang lebih terperinci tentang keparahan penyakit ini tidak ada. Beberapa studi telah mencoba mencari hubungan antara jenis kelamin, umur, dan ras, namun tidak ada lagi penelitian lebih lanjut untuk mengkonfirmasikan studi ini . (2)


(5)

DAFTAR PUSTAKA

1. Smolin G, Thoft RA: The Cornea, Scientific Foundations and clinical Practice, 3rd edition , Boston, Little Brown, 1989, p.408-413

2. http://www.uveitis.org/medical/articles/case/MU.html

3. http://www.eMedicine.com/Americanuveitissociety/MU.html

4. Daniel MA, Jakobiec FA: Principles and Practice of Ophthalmology,vol.1, Phlladelphia,WB.Sounders, 1992, p.64-66

5. American Academy of Ophthalmology, External Disease and Cornea,section 8, Basic and Cinical Sience Course, p.2002-2003.

6. Miller SHJ, Parson’s Disease of The Eye, 18TH edition, Longman Singapore Publishers (P) Limited, Singapore, 1990, p.153

7. Kanski JJ: Clinical Ophthalmology, 5th edition, Butterworth Heinemann, 2003, p.117-119.

8. Khurana AK, Ophthalmology, New Age International (P) Limited Publishers, New Delhi 1998, p.137-138.

9. http://www.eMedicine.com/corneal/article

10. Elder Duke Sir Steward, Disease of The Outer Eye, System of Ophthalmology,vol.VIII,Part.2,London,1997,p.916-920.

11. http://www.google.com/cornea/ulcer

12. Allen JH, May’s Manual of the Disease of the Eye for student and general preactitioners, The William and Wilkins Company, Baltimore,1968, p.103-104.


(6)

13. Wong T Yin, The Ophthalmology Examinations Review, World scientific Publishing Co.Pte.Ltd, Singapore, 2001, p.106-108

14. http://www.optometry.co.uk/BasicImmunology

15. Adler FH, Gifford’s Text Book of Ophthalmology, 6th edition, WB.Sounders Company,Philadelphia, 1957, p.216-219

16. http://www.google.com/fatalsight/MU.html

17. Van Heuven WAJ, Zwaan J, Decission Making in Ophthalmology, An Algorithmic Approach, 2nd edition, Mosby, St.Louis, 2000, p.208-209

18. Vaughan Daniel, Asbury Tailor, Paul Riordan-Eva, General Ophthalmology, 15th edition, Appleton and Lange, 1999, p.129

19. Langston DP, Manual of Ocular Diagnostic and Therapy, 4th edition, Little Brown and Company, Boston , 1996, p. 99-100.

20. Nema VH, Textbook of Ophthalmology, 4th edition, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Limited, New Delhi, 2002, p.156-158