BAB III MISI GKI DI TANAH PAPUA

(1)

BAB III

MISI GKI DI TANAH PAPUA

A. PENDAHULUAN

Kehadiran dan keterlibat an gerej a didal am duni a tidak t erlepas dari panggilan dan pengutusannya, sebab gereja berada didalam dunia karena diutus oleh Allah. Misi gereja tidak dapat berhasil tanpa campur tangan dari

Allah. Seperti dikatakan Yesus sama seperti Engkau telah mengutus Aku

kedalam dunia" (Yohanes 17:18).

Gerej a ada karena di utus Al l ah kedal am "duni a" sebagai a l at kar ya penyelamatan Allah. Dunia yang dimaksudkan adalah dunia dimana gereja itu hidup dan melakukan segala aktifitasnya. Dunia dimana umat manusia hidup, bekerja dan berjuang, dunia yang penuh dengan persoalan -persoalan disegala bidang baik itu bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, ekologi dan teknologi. Dalam situasi seperti itulah gereja terpanggil untuk melaksanakan misi Allah dalam kata dan perbuatan setiap hari.

Misi Allah yang diemban oleh gereja harus dilakukan. Keterpanggilan GKI di Tanah Papua merupakan bagian yang mutlak dalam proses pemenuhan misi Allah. GKI TP merupakan gereja yang missioner untuk mewartakan kabar sukacita dan damai sejahtera khususnya bagi umat Allah di Tanah Papua. Dengan demikian dalam Bab ini akan diuraikan tentang misi GKI TP dan menjelaskan


(2)

bentuk-bentuk misi yang dilakukan oleh GKI di Tanah Papua umumnya dan bagaimana pola pelaksanaannya pada tingkat klasis dan seterusnya di jemaat-jemaat.

B. GAMBARAN UMUM PAPUA

Papua138 merupakan propinsi139 yang paling luas wilayahnya dari seluruh Propinsi yang ada di Indonesia. Luas Propinsi Papua +_410.660 Km2 atau merupakan +_ 21 % dari luas wilayah Indonesia. Lebih dari 75 % masih tertutup hutan-hutan tropis yang lebat, dengan +_ 80% penduduknya masih dalam keadaan semi terisolir di daerah pedalaman bagian tengah Papua. Jumlah penduduk 2,3 juta jiwa atau kurang dari satu persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Dan tinggal di wilayah yang luasnya tiga kali pulau jawa. Walaupun penduduknya sedikit, akan tetapi daerah ini memiliki diversivitas budaya paling banyak dibanding penduduk lain di Indonesia. Sebab terdapat 253 etnik dan bahasa daerah. Kebanyakan diantara mereka tidak atau kurang saling mengenal satu sama yang lain, ditambah lagi puluhan atau bahkan ratusan etnik, bahasa dan kedaerahan masyarakat kelompok migran spontan dan trasmigran. Kemajemukan masyarakat telah melahirkan suatu struktur sosial, relasi sosial, lapisan sosial, dan jaringan sosial yang belum banyak terjadi sebelumnya, serta diantara relasi-relasi sosial itu terdapat relasi kekerasan dan konflik antara individu dan antar kelompok-kelompok masyarakat.

Secara geografis Papua berada diantara garis miridian 0,19-100 45 LS dan antara garis bujur130o 45-141o 48 BT yang membentang dari barat ke timur dengan silang 11o atau 1.200 km yaitu dari kota Sorong sampai Jayapura, sedangkan lebarnya dari utara ke selatan sejauh +_ 736 km yaitu dari kota Jayapura ke Merauke. Batas wilayah provinsi Papua meliputi, sebelah utara berbatasan dengan samudera Pasifik, sebelah selatan berbatasan dengan laut Arafura, sebelah barat berbatasan

139 Saat ini Propinsi Papua telah terbagi atas dua sistim pemerintahan yakni, Propinsi Papua dengan

ibukota Jayapura dan Propinsi Papua Barat dengan Ibukota Manokwari. Oleh karena medan pelayanan GKI TP meliputi kedua daerah tersebut, penulis sengaja memakai data yang digunakan sebelum pembagian wilayah tersebut.


(3)

dengan laut Seram, laut Banda, Propinsi Maluku, dan sebelah Timur berbatasan dengan Negara Papua New Guinea.

Masyarakat Papua secara fisik maupun sosial, menganggap diri berbeda dari masyarakat Indonesia lainnya. Jika mayoritas orang Indonesia tergolong kedalam rumpun Melayu yang berasal dari Yunan Kamboja, maka secara fisik orang Papua adalah Rumpun Melanesia ras Negroid di Pasifik. Demikian pula, secara sosial orang Papua memiliki pandangan dan cara hidup tersendiri yang sangat berbeda dari mayoritas rakyat Indonesia.

Populasi penduduk asli di Propinsi Papua terdiri dari kurang lebih 253 kelompok bahasa140. Masing-masing kelompok memiliki tradisi, konsep agama, struktur sosial dan, bahasa, sama halnya dengan budaya material dan bentuk ekonomi.

Mata pencaharian penduduk Papua dikelompokan dalam tiga wilayah geografis yang berbeda serta menentukan cara hidup rakyat Papua secara umum yakni: daerah pantai yang dihuni nelayan dan pelaut; daerah pegunungan yang dihuni para petani dengan pola berpindah-pindah dan berburu; serta wilayah yang sangat jarang penduduknya, yakni tanah rawa diantara pantai dan pegunungan, dihuni oleh kelompok semi nomadik bermata pencaharian berburu, menangkap ikan dan mengumpulkan bahan makanan141

Patut dicatat bahwa orang Papua memiliki otoritas yang bersifat khas dalam mengatur, mengembangkan kebutuhan, dan menyelesaikan masalah berdasarkan hikum adat yang membebani hak dan kewajiban adat pada para individunya.

Khusus dalam bidang keagamaan menunjukan bahwa di Papua selain terdapat agama-agama besar, Kristen Protestan, Katolik, Islam, Hindu, Budha Kong Hu Cu yang merupakan agama-agama pendatang, karena disana terdapat agama-agama suku yang dimiliki penduduk asli Papua. Dari data jumlah penduduk propinsi yang dikelompokan berdasarkan agama/kepercayaan menunjukan bahwa sebagian besar penduduk Papua merupakan penganut agama Kristen Protentan(54%) dan Katolik

140

Ibid,7 Perkiraan berubah-ubah. Ada yang menyebutkan 329 kelompok bahasa dan mengacu pada data SIL(Summer Institute of Linguistik). Sebagian besar artikel menyebutkan 253.


(4)

(23%) yang keduanya kalau dijumlahkan mencapai 77% dari seluruh penduduk. Penduduk yang beragama Islam hanya berjumlah 21%. Sementara penganut agama lainnya hanya menempati porsi sangat kecil, seperti Hindu berjumlah 0,3% dan Budha berjumlah 0,18%.

Di kota madya jayapura sendiri, data menunjukan bahwa jumlah penganut Kristen Protestan dan pemeluk Islam, hampir berimbang jumlahnya, yakni 89,241 jiwa dan 83,916 jiwa. Sementara penganut agama Budha sedikit lebih banyak daripada yang beragama Hindu. Diantara wilayah kabupaten, penganut Kristen Protestan dan Katolik yang terbanyak terdapat di kabupaten Nabire, Mimika dan Paniai. Penganut agama Kristen Protestan selalu sebih banyak darpada yang beragama Katolik, tetapi di kabupaten Asmat dan Mappi terjadi sebaliknya.

Penganut agama Islam terbanyak terdapat di kota Jayapura, kemudian di ikuti penduduk di kabupaten Merauke, Jayapura, Nabire dan Mimika, yang sebagian besar umumnya merupakan penduduk pendatang dari luar Papua.

Masyarakat Papua secara fisik maupun sosial, menganggap diri berbeda dari masyarakat Indonesia lainnya. Jika mayoritas orang Indonesia tergolong kedalam rumpun Melayu yang berasal dari Yunan Kamboja, maka secara fisik orang Papua adalah Rumpun Melanesia ras Negroid di Pasifik. Demikian pula, secara sosial orang Papua memiliki pandangan dan cara hidup tersendiri yang sangat berbeda dari mayoritas rakyat Indonesia.

Populasi penduduk asli di Propinsi Papua terdiri dari kurang lebih 253 kelompok bahasa142. Masing-masing kelompok memiliki tradisi, konsep agama, struktur sosial dan, bahasa, sama halnya dengan budaya material dan bentuk ekonomi.

Mata pencaharian penduduk Papua dikelompokan dalam tiga wilayah geografis yang berbeda serta menentukan cara hidup rakyat Papua secara umum yakni: daerah pantai yang dihuni nelayan dan pelaut; daerah pegunungan yang dihuni para petani dengan pola berpindah-pindah dan berburu; serta wilayah yang sangat jarang penduduknya, yakni tanah rawa diantara pantai dan


(5)

pegunungan, dihuni oleh kelompok semi nomadik bermata pencaharian berburu, menangkap ikan dan mengumpulkan bahan makanan143

Patut dicatat bahwa orang Papua memiliki otoritas yang bersifat khas dalam mengatur, mengembangkan kebutuhan, dan menyelesaikan masalah berdasarkan hikum adat yang membebani hak dan kewajiban adat pada para individunya.

Khusus dalam bidang keagamaan menunjukan bahwa di Papua selain terdapat agama-agama besar, Kristen Protestan, Katolik, Islam, Hindu, Budha Kong Hu Cu yang merupakan agama-agama pendatang, karena disana terdapat agama-agama suku yang dimiliki penduduk asli Papua. Dari data jumlah penduduk propinsi yang dikelompokan berdasarkan agama/kepercayaan menunjukan bahwa sebagian besar penduduk Papua merupakan penganut agama Kristen Protentan(54%) dan Katolik (23%) yang keduanya kalau dijumlahkan mencapai 77% dari seluruh penduduk. Penduduk yang beragama Islam hanya berjumlah 21%. Sementara penganut agama lainnya hanya menempati porsi sangat kecil, seperti Hindu berjumlah 0,3% dan Budha berjumlah 0,18%.

Di kota madya jayapura sendiri, data menunjukan bahwa jumlah penganut Kristen Protestan dan pemeluk Islam, hampir berimbang jumlahnya, yakni 89,241 jiwa dan 83,916 jiwa. Sementara penganut agama Budha sedikit lebih banyak daripada yang beragama Hindu. Diantara wilayah kabupaten, penganut Kristen Protestan dan Katolik yang terbanyak terdapat di kabupaten Nabire, Mimika dan Paniai. Penganut agama Kristen Protestan selalu sebih banyak darpada yang beragama Katolik, tetapi di kabupaten Asmat dan Mappi terjadi sebaliknya.

Penganut agama Islam terbanyak terdapat di kota Jayapura, kemudian di ikuti penduduk di kabupaten Merauke, Jayapura, Nabire dan Mimika, yang sebagian besar umumnya merupakan penduduk pendatang dari luar Papua.


(6)

C . G K I D I T A N A H P A P U A D A L A M S E J A R A H

1. Arti Nama GKI Di Tanah Papua

Gereja Kristen Injili di Tanah Papua merupakan sebutan yang

diwacanakan oleh para pendiri gereja ini144, Dalam tulisannya Sostenes Sumihe145

mengatakan bahwa nama ini penuh dengan makna teologis, terutama dalam kerangka misi gereja. Hal ini terungkap dalam sebutan-sebutan "Gereja", "Kristen", "Injili", "di", dan "Tanah Papua

Pemahaman gereja sebagai persekutuan orang percaya, yang terbentuk

karena panggilan Tuhan, memiliki dasar Alkitabiah yang kuat dan

melahirkan hakikat pelayanan gereja yang koinonia, marturia, dan

diakonia. Ketiga hal tersebut adalah satu kesatuan yang utuh.

Menonjolkan yang satu dan mengabaikan dua yang lain, berarti gagal menjalankan amanat itu sepenuhnya.

Kata kristen dijabarkan dari istilah "Kristus", dan itu menunjuk

kepada seorang atau lebih yang mengikut Kristus (Kis 11:26). Kristus adalah pusat dalam gereja ini. Dalam Tata Gereja GKI-TP ditegaskan: "Yesus Kristus adalah Tuhan dan kepalanya yang memerintah dan

memelihara gereja dengan Firman dan Roh-Nya146 Gereja ini adalah

milik Yesus Kristus dan Dia adalah Tuhannya, Dia memimpin, memerintah dan memelihara gereja-Nya.

Kata Injil itu sendiri bermakna "kabar baik", "berita kesukaan". Maka

kata sifat "injili" itu mau menjelaskan sifat atau karakter gereja itu;

144

Awalnya disebut sebagai Gereja Kristen Injili di Nieuw Guinea, kemudian Gereja Kristen Injili di Irian Barat, kemudian menjadi Gereja Kristen Injili di Irian Jaya dan terakhir berdasarkan Sidang Sinode Sorong tahun 2000 menjadi Gereja Kristen Injili di Tanah Papua.

145

S. Sumihe, 50 Tahun GKI di Tanah Papua: Pelajaran dari Perspektif Eklesiologi (Makalah), Jayapura, 146


(7)

yakni bahwa pada diri gereja itu ada nilai-nilai Injil (kebaikan, sukacita, damai-sejahtera, dstnya) dan

kehadirannya merupakan sebuah kabar baik atau berita kesukaan bagi mereka yang mendiami Tanah Papua. Ini berarti melalui GKI TP, jemaat maupun masyarakat merasakan dan mengalami kebaikan, kesukaan dalam kehidupan sekarang ini. jadi, dengan kata "injili" mau ditekankan sifat

misioner gereja. GKI TP adalah gereja yang misioner, gereja yang selalu

dan selamanya terutus untuk menyatakan kebaikan, sukacita, damai dan kesejahteraan bagi masyarakat di Tanah Papua.

Amanat dan tugas tersebut berlangsung dalam sebuah konteks,

yaitu Tanah Papua. Penekanan pada konteks ini diperjelas dan

diperkuat oleh kata penunjuk

di. Gereja itu ada di Tanah Papua, gereja tidak berada dalam sebuah

ruang hampa, melainkan dalam sebuah ruang yang disebut Tanah

Papua. Tanah Papua ini bukan hanya sekedar tempat di mana gereja itu

ada, melainkan menerangkan realitas di dalamnya gereja itu menjalankan amanat dan misinya. Realitas ini bersifat dinamis, karena Tanah Papua (manusianya) selalu mengalami perubahan. Dan karena itu amanat dan tugas di atas selalu harus ditafsirkan ulang. Pada dasarnya amanat dan tugas itu tetap sama, dahulu, sekarang dan akan datang, tetapi isinya harus selalu dimaknai secara baru agar misi gereja ini

selalu kontekstual dan relevan.147

Jadi kata penunjuk di memiliki makna teologis penting dalam

rangka kehadiran gereja tersebut dalam konteks serta realitas yang ada. Oleh karenanya realitas GKI yang dimaksudkan adalah realitas yang ada di Tanah


(8)

Papua dan bukan yang lain. Selain itu kata penunjuk di juga mempertegas sifat oikumenis GKI-TP, yang mengakui kehadiran dan keberadaan gereja-gereja di daerah lain sebagai bagian yang utuh dan esa dari Gereja Kristus di dunia ini. Maka siapa saja yang datang di Tanah Papua, diterima sebagai anggota GKI TP, begitu pula sebaliknya GKI TP tidak mendirikan gereja di luar Tanah Papua, tetapi menganjurkan warganya untuk jadi anggota gereja yang seasas di daerah tersebut.

Tetapi, sifat oikumenis ini tidak hanya mengenai kepelbagaian

latar belakang asal gereja warga GKI-TP, melainkan juga

menggarisbawahi kepelbagaian latar belakang budaya, bahasa, etnis, sosial, ekonomi dan politik dari manusia yang menghuni Tanah Papua. Jadi sifat oikumenis itu tidak hanya menjelaskan bersatunya warga gereja dari berbagai latar belakang tradisi ke dalam satu denominasi (GKI-TP), tetapi juga menjelaskan bahwa dalam GKI-TP terwujud kesatuan manusia dari berbagai latar belakang.

2. Sejarah Berdirinya GKI Di Tanah Papua

Tanggal 26 Oktober 1956, merupakan awal berdirinya Gereja Kristen Injili di Irian jaya. yang saat ini kita kenal dengan Gereja Kristen Injili di-Tanah Papua. GKI TP bila kita mempelajari sejarahnya dengan baik, maka kita harus mengetahui masa sebelum Gereja berdiri sendiri. Sehingga apabila kita menyebut Gereja Kristen di Tanah Papua, maka ini tentu tidak terlepas dari utusan Zending yang datang membawa kabar sukacita ketengah-tengah orang Papua melalui kedua Rasul Papua Carl. Wilhelm Ottow dan Johann Got lob Geissler dan para Zendeling lain yang pernah bekerja dan mengabdi di Tanah Papua. Sehingga ini merupakan hubungan erat yang tidak dapat


(9)

terpisahkan dari sejarah berdirinya Gereja Kristen Injili di Tanah Papua. Tentang

berdirinya gereja ini, mantan ketua sinode ke 3 Pdt W. Maloali,148 mengatakan

bahwa:

Karena GKI Papua yang berdiri sendiri itu hasil karya Zending selama satu abad, di Irian Jaya, yakni dari Tahun 1855- 1956 (awal masukn ya Injil di Pulau Mansinam (Manokwari), Tanggal 5 Februari 1855 sampai berdirinya GKI di Irian Jaya Tanggal 26 Oktober 1956). Sejak GKI dilantik, maka Gereja mengambil alih serta meneruskan. tugas Zending itu sampai sekarang.

Gereja yang berdiri sendiri pada saat itu sudah terdapat sembilan resort dan satu klasis berbahasa Belanda. Sinode- sinode resor itu terdiri dari utusan- utusan dari klasis- klasis yang membentuk resort, yang di pilih secara gerejani. Sedangkan utusan-utusan atau anggota klasis dipilih dari jemaat- jemaat yang terdapat didalam klasis. Jadi anggota- anggota Sinode Umum itulah utusan resort yang telah terpilih secara gerejani yang demokratis dan mereka dibagi dalam beberapa wilayah resort sebagai berikut:

2.1. Resort pertama berada didaerah paling timur, Sukarnapura-Nimboran

(HollandiaNimboran) yakni gabungan dari dua resort, yaitu Hollandia dan Nimboran, ini merupakan daerah perkumpulan para Pendeta, yang berpusat di Genyem.

2.2 Resort yang kedua adalah daerah Sarmi, yang terdapat di daerah


(10)

Sukarnapura dengan sungai Mamberamo yang berpusat di kota Sarmi.

2.3. Resort yang ketiga adalah Yapen-Waropen, yaitu pulau- pulau Yapen,

Kurudu dan pesisir Waropen yaitu antara sungai Mamberamo dan Wapoga, yang pusatnya di Serui.

2.4. Resort yang keempat ialah Biak-Numfor. Sebelumnya merupakan

bagian dari resort Manokwari. Dalam tahun 1946 pada waktu penertiban kembali, maka Ketua Zending menganjurkan supaya klasis Numfor memilih sendiri kemana mereka ingin bergabung, apakah daerah Biak atau Manokwari. Nyatalah bahwa yang d i p i l i h i al a h d a e r a h B i ak ; i t upu n d en ga n h as i l p e r s et uj u an d e nga n pemerintahan distrik Numfor kepada Kepala Pemerintah Biak (1945). Pusat resor mula- mula bertempat di Biak, kemudian pada tahun 1948 dialihkan ke daerah Korido dan tahun 1952 berpindah ke Biak kota.

2.5. Resort kelima ialah Miei yang memanjang dari perbata san sungai

wapoga sampai perbatasan distrik Ransiki dan pulau Rumberpon; serta bagian Idoor dan Bintuni, yang pusatnya di daerah Miei.

2.6. Resort keenam ialah Manokwari antara perbatasan Miei bagian timur

dan perbatasan Sorong sebelah timur dari Sausapor termasuk pedalaman yang meliputi Anggi, Hatam sampai Kebar yang berpusat di Kwawi (Manokwari).

2.7. Resort ketujuh adalah Sorong, yang berbatasan dengan manokwari


(11)

Teminabuan), ditambah dengan bagian pedalaman Karoon, Mooi beserta dengan kepulauan Raja Ampat dengan pusat di Saoka, kemudian tahun 1956 sesudah perang dunia II berpindah ke Doom dan tahun 1960 pindah ke kampung bar u (kabalai) Sorong.

3. Struktur Dasar GKI-TP

Dimaksudkan dengan "struktur dasar" di sini adalah gagasan-gagasan pokok yang di atasnya mekanisme kehidupan gereja ditata sehingga amanat dan misi gereja dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Pemahaman diri GKI-TP sebagaimana dijelaskan sebelumnya mengisyaratkan dua hal sebagai struktur dasar GKI-TP

Pertama adalah koinonia. Hakikat GKI-TP adalah sebuah

persekutuan atau koinonia. Persekutuan ini pertama-tama mengenai relasi

iman dengan Tuhan. Tetapi, relasi ini mendapat wujudnya yang nyata dalam persekutuan dengan sesama umat percaya. Penataan mekanisme kehidupan dalam GKI-TP selalu dan selamanya harus didasarkan pada persekutuan dan senantiasa menceminkan persekutuan itu.

Kedua adalah prebisterial sinodal, sebagai implikasi koinonia dalam

pola dan tata pemerintahan gereja. Peran tua-tua dalam jemaat penting untuk menjalankan mekanisme kehidupan jemaat; dan peranan ini berlangsung dalam prinsip kolegial. Pola prebisterial sinodal sebagai implementasi dari koinonia menjadi nyata bukan saja ke tika para tua jemaat itu berkumpul dalam sebuah sidang sinode, melainkan sudah


(12)

terjadi dalam pelayanan bersama para tua jemaat di setiap jemaat.149 Jadi jemaat setempat sudah merupakan penampakan struktur dasar sebagaimana diuraikan di atas.

Maka apabila mekanisme kehidupan jemaat diperluas ke luar jemaat lokal, perluasan itu tidak mengabaikan struktur dasar tersebut. Mekanisme sinodal misalnya harus mencerminkan mekanisme struktur dasar yang ada pada setiap jemaat lokal. Begitu Pula halnya jika antara jemaat dan sinode diciptakan mekanisme baru dalam bentuk klasis atau lainnya, mekanisme baru ini tidak boleh mematikan mekanisme struktur dasar yang ada pada tiap jemaat, atau mungkin berjalan dengan mekanisme yang sama sekali lain dari struktur dasar yang ada. Apabila hal ini terjadi maka hakikat jemaat sebagai penampakan koinonia pada lingkup, lokal akan mengalami gangguan dan pertumbuhan jemaat menjadi terhambat.

Dari dua konsep struktur dasar di atas jelas bahwa di dalam GKI-TP jemaat mempunyai posisi dan peranan penting dalam kehadiran dan misi gereja ini di Tanah Papua; jemaat merupakan basis gereja dan dari sana dapat diamati tingkat kemisionerannya. Sidang sinode XV di Wamena menggaris bawahi posisi

149


(13)

jemaat demikian dengan menekankan restrukturisasi dan menonjolkan jemaat

sebagai basis GKI-TP150, Maka pertumbuhan jemaat tidak dapat diabaikan

dan perlu langkahlangkah strategis- untuk memberdayakan seluruh komponen dalam jemaat. Pola pembinaan jemaat yang tidak menyentuh dan mendorong warga jemaat mewujudkan imamat am orang percaya itu sudah harus diganti dengan alternatif lain yang dapat menumbuhkan dinamika pelayanan yang baru dalam jemaat.

4. Tata Gereja GKI-TP

Sebagai Gereja yang berdiri sendiri maka GKI TP perlu memiliki Tata Gereja yang mengandung pemahaman teologis atau iman Gereja serta prinsip-prinsip penyelenggaraan Gereja. Tata Gereja ini tunduk dan disorot oleh Firman Allah dalam alkitab serta merupakan suatu alas atau sarana dalam menolong Gereja melakukan tugas-tugas kesaksian, persekutuan dan pelayanan kasih secara teratur, bertanggung jawab dan semaksimal mungkin.

Dalam penerapan tata gereja yang menyangkut hal-hal tehnis, bilamana di suatu saat ternyata bahwa pemahaman teologis dan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya tidak lagi sesuai dengan alkitab atau tidak lagi menolong Gereja dalam menjalankan tugasnya,

maka Tata Gereja tersebut dapat ditinjau kembali atau dirubah151

150

Perhatikan Amandemen Tata Gereja pada Sidang Sinode ke-15 di Wamena. Tahun 2006

151


(14)

melalui usulan amandemen pada sidang sebelumnya.

Tata Gereja ini merupakan perumusan ulang atas naskah-naskah Tata Gereja yang pernah berlaku dalam GKI di Irian Jaya (Papua) sesuai Keputusan Sidang Sinode ke IX GKI- di Irian Jaya tahun 1980 di Biak. Naskah-naskah Tata Gereja tersebut adalah sebagai berikut: Tata Gereja tahun 1956, Tata Gereja tahun 1968, Tata Gereja tahun 1971, Tata Gereja tahun 1977. Dalam perumusan ulang naskah -naskah tersebut diperlakukan sebagai berikut: a). Hal -hal yang prinsipil gerejawi dalam naskah-naskah tersebut tidak mengalami perobahan. b). Hal-hal tersebut adalah dasar teologis yang menjiwai terbentuknya GKI di Irian Jaya sebagaimana yang terkandung dalam Pengakuan, Amanat, Jabatan pelayanan dan susunan jenjang organisasi gerejawi; hal-hal yang karena bersifat tehknik pelaksanaan mengalami penyesuaian atau perobahan; c). Hal-hal yang telah menjadi praktek gerejawi dan yang diterima secara umum namun yang belum tertampung dalam

naskah-naskah tersebut, dicantumkan dalam Tata Gereja yang bar u.152 Tata

152

Hal-hal tersebut ditampung dalam 4 (empat) macam tingkatan peraturan yaitu:

a. TataGereja yang memuat pemahaman teologis' Gereja serta prinsip - prinsip dasat

penyelenggaraan Gereja. b). Peraturan Pokok yang memuat prinsip-prinsip pokok sebagai penjabaran dari Tata Gereja, tentang penyelenggaraan jabatan pelayanan, penyelenggaraan Jemaat, Klasis dan Sinode. c). Peraturan-Peraturan Khusus yang memuat pedoman pelaksanaan hal-hal khusus dalam gereja seperti struktur organisasi dan tugas-tugas organisasi, penggembalaan Gereja, pedoman pelayanan Gereja, pemilihan, kepegawaian, vikariat, penggajian dan perbendaharaan Gereja. d). Peraturan-peraturan pelaksanaan yang berisikan petunjuk-petunjuk untuk melaksanakan peraturanperatuan khusus di atas, antara lain mengenai pensiun, cuti, penggantian biaya pengobatan dan perawatan, perjalanan dinas dalam dan luar negeri, tunjangan jabatan, Badan pemeriksa keuangan, pemberian Beasiswa dan pedoman pelayanan unsur-unsur Jemaat.


(15)

Gereja ini tetap mempertahankan 3 (tiga) jenjang dalam struktur

organisasi GKI yaitu Jemaat, Klasis dan Sinode153.

Dengan demikian Amanat Pelayanan dan Penggembalaan gereja, diuraikan secara khusus dalam rumusan-rumusan Peraturan dan Petunjuk bagi pelaksanaan pelayanan agar diuraikan secara terbuka dan terarah bagi seluruh bagian kelengkapan pelayanan yang ada dalam di GKI di TP.

5. Struktur Organisasi dan Kepemimpinan GKI-TP

Keseriusan dalam menjalankan Amanat Penggembalaan dalam visi dan misi GKI TP dapat terlihat dalam Struktur Organisasi Gereja Kristen Injili Di Tanah

Papua Tingkat Sinode.154 Uraian data statistik155 yang menunjukkan

pertumbuhan Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua dengan luas wilayah pelayanan ± 422.000 km2, sebagai berikut:

5.1. Sekretariat Kantor Sinode terdiri dari: Bidang Umum, Bidang Tata Usaha,

Bidang Personalia, Bidang Pensiun dan Kesejahteraan Pegawai, Bidang Keuangan, Bidang Kemitraan dan Hubungan Oikumenis, Bidang Hukum, dan Bidang Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan.

5.2. Departemen-departemen156 terdiri dari: Departemen Pekabaran Injil (DPI),

Departemen Pembinaan Jemaat (DPJ), Departemen Pendidikan

153

Lih. Struktur GKI secara Teologis.

154

Lih. Struktur Gereja Kristen Injih Di Tanah Papua Tingkat Sinode

155Data Perayaan 50 GKI TP, Jayapura: Sinode GKI 2006. 156

Departemen-departeman adalah alat kelengkapan Badan Pekerja Am Sinode dalam melaksanakan Amanat Sidang Sinode dan bertanggungjawab terhadap BP. Am Sinode. Tiap Departemen dipimpin oleh seorang sekretaris yang mempunyai ketramplian khusus sesuai dengan pembidangan tugas Departemen tersebut, dan yang diangkat oleh BP.Am Sinode. Lih. Ketetapan Sidang Sinode GKI X, (Manokwarl, 1984) 54.


(16)

(DP), Departemen Ekonomi Keuangan dan Pembangunan (DEKUBANG) dan Departemen Penelitian dan Pengembangan (LITBANG); Yayasan Pendidikan Kristen di Tanah Papua (YPK); Yayasan Percetakan GKI Di Tanah Papua; Yayasan Diakonia GKI Di Tanah Papua; Yayasan Ottow & Geissler GKI Di Tanah Papua : Yayasan Izaak Samuel Kijne GKI Di Tanah Papua; PT Mansinam Global Mandiri . Gambaran ini jelas menunjukan perkembangan pelayanan yang cukup matang terutama dalam mengantisipasi perkembangan dan pergumulan yang senantiasa berubah dan tidak menentu dalam konteks gereja di Tanah Papua, sejak berdiri tahun 1956 hingga sekarang. Hal ini bermaksud agar pelayanan yang dilakukan gereja menjadi relevan dengan situasi dan kondisi yang berkembang saat itu. Data pertumbuhan pelayanan, termasuk tenaga pelayan, baik yang ada di perkotaan maupun


(17)

Bagan 2: Pertumbuhan Pelayanan dan SDM GKI TP157

NO URAIAN JUMLAH (UNIT) JUMLAH

I. KLASIS

Klasis yang berada di Kota

6

42 Klasis yang berada di

kampung

33

Bakal Klasis 3

II. JEMAAT

Gereja/Jemaat 1.159

1.306

Bakal Jemaat 135

Pos Pelayanan 12

III. POS PEKABARAN INJIL

Pos Pekabaran Injil 23

Suku Terasing 14

IV. ANGGOTA JEMAAT 404.407

V. PENDETA158

Laki-laki 315

527

Perempuan 212

VI. GURU JEMAAT

Laki-laki 290

325

Perempuan 35

VII. PENGINJIL

Laki-laki 119

119

Perempuan

VIII. PENGAJAR

Laki-laki 8

22

Perempuan 14

IX. PEGAWAI ADMIMSTRASI

Laki-laki 109

162

Perempuan 53

Jumlah Seluruh Pegawai GKI Di Tanah Papua 1.155

157

Data dikelolah dari data statistik dalam makalah Pdt. C. Berotabui, "Gereja Kristen Injili di Tanah Papua Visi dan Misinya di masa yang akan datang", Makalah disampaikan

pads seminar dalam rangka memperingati 50 nn. GKI di Tanah Papua 2006 158

Para Pendeta ini tamat dari 15 Sekolah Tinggi Teologi yang berbeda, dengan kurikulum pendidikan teologi yang berbeda pula.


(18)

Disamping itu, untuk meningkatkan mutu pelayanan dan pembinaan, GKI juga mempersiapkan berbagai lembaga pendidikan baik Formal maupun non formal serta sarana pendukung lainnya seperti yang terlihat pada tabel berikut:

Bagan 3: Lembaga Pendidikan Formal dan Non Formal

No Nama Lembaga Jumlah

1 Lembaga

Pendidikan Dasar (Taman, SD, SLIP) 520

2. Lembaga Pendidikan Menengah, (umum & Kejuruan) 18

3. Perguruan Tinggi 2

4. Lembaga Pendidikan Non-Formal159 10

5. Pendidikan Sekolah Pola Asrama 11

6. Asrama Umum 6

Jumlah Keseluruhan 565

Dalam GKI TP, lembaga-lembaga ini berfungsi untuk menopang Gereja dalam menjalankan dan mengevaluasi program-program gereja, sedangkan di tingkat jemaat melakukan kegiatan-kegiatan pembinaan dan

peningkatan sumber daya manusia atau jemaat secara praktis dan

berkesinambungan.

6. Realitas Sosial di Papua

Berdasarkan situasi dan keadaan Jemaat-jemaat di Papua dewasa ini persoalan kemajemukan telah membawa perubahan secara positif tetapi juga negati f di

159

Dua lembaga Pendidikan Non-Formal yang didirikan oleh Sinode GKI, yakni P3W-GKI, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Wanita GKI (P3W-GKI) didirikan di Jayapura tanggal 2 April 1962 oleh GKI Di TP untuk tujuan pendidikan dan latihan bagi wanita GKI sebagaimana yang dialami oleh kaum laki-laki Papua. Dan, Puspenka GKI; Pada Tahun 1974, GKI TP dalam partisipasinya terhadap pembangunan masyarakat menitik beratkan pads program pendidikan dengan mendirikan "Pusat Pendidikan Kader" (Puspenka). Pusat ini didirikan dengan asumsi dasar bahwa perubahan hendak dimulai dari pendidikan. Untuk itu selain sekolah-sekolah secara formil, pendidikan massa bagi orangorang dikampung guns memperoleh pengetahuan dasar dan ketrampilan digiatkan. Dalam Puspenka, pars Kader dilatih untuk tiga tujuan: a. Supaya kader memiliki keahlian pads sesuatu bidang yang dapat dijadikan sumber penghasilan. b). Kader dilatih untuk menjadi pemimpin. c). Kader dilatih untuk memperoleh pengetahuan/ketrampilan tambahan. Secara teknis, seluruh program pendidikan/kurus dikordinasikan melalui klasis-klasis. Bdn. F. Ukur & Cooley, Benih Yang Tumbuh, Jakarta: Littbang DGI, 1977)362.


(19)

berbagai bidang kehidupan. Gereja sementara diperhadapkan dengan kemajemukan suku yang ada di Tanah Papua sendiri (± 255) sekaligus kehadiran suku-suku lain di luar Papua yang juga menjadi suatu keragaman yang tidak bisa

ditolak atau diabaikan160. Keadaan ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap

pelayananan dan pertumbuhan GKI Di TP di masa sekarang dan masa yang akan datang. Kebutuhan pelayanan secara holistik semakin mendesak dan berkembang ketika perbedaan antara warga jemaat yang satu dengan warga jemaat yang lain, juga antara jemaat yang satu dengan jemaat yang lain ditemukan. Gereja tidak lagi hanya mengandalkan kemampuan pelayanan secara rohani tetapi juga dituntut untuk melayani dalam wawasan pengetahuan yang lu as

termasuk juga ahli dalam bidang-bidang tertentu161, seperti keputusan

menghadirkan Bidang Hukum dan bidang Keadilan, Perdamaian dan

Keutuhan Ciptaan (KPKC)162 Hal ini bahkan semakin urgen -ketika

gejala-gejala perubahan social dalam kehidupan warga yang majemuk ini lantas melahirkan pula konflik-konflik secara sosial, ekonomi, bahkan politik yang berujung pada meningkatnya kasus-kasus kekerasan baik disektor domestik maupun

publik.163 Situasi ini pada akhirnya membuat GKI TP akhirnya memutuskan

dalam Sidang Sinode XIV di Sorong tahun 2000 bahwa suatu proteksi pelayanan yang terpadu terhadap persoalan Pastoral dan Penggembalaan di Papua sudah harus diprioritaskan melalui berbagai cara penanganan.

160

Wawancara dengan Pdt. A. Yoku (Wasek Sinode GKI) tanggal 10 September 2009.9 Ibid. 161

ibid

162

ibid


(20)

Pandangan gereja, khususnya GKI TP ternyata juga menjadi perhatian lembaga p e r w a k i l a n m a s y a r a k a t A d a t d i P a p u a . K h u s u s n y a t e r h a d a p kemajemukan, pada sisi keagamaan, Realitas heterogenitas jemaat-jemaat

Kristen di Tanah Papua, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP)Agus Alua164

memberikan pandangannya bahwa :

jemaat-jemaat Kristen di Tanah Papua terdiri dari jemaat yang homegen, terutama di karnpung-karnpung; dan jemaat yang heterogen yang ada di kota-kota. Realitas jemaat yang demikian perlu disikapi secara arif dalam kerangka tugas pastoral yang dapat membangun persekutuan kasih yang kokoh. Realitas kemajemukan demikian, dalam kepemimpinan gereja sudah semestinya diakomodasi secara arif dan bijaksana.

Situasi dan kondisi sedemikian rupanya semakin diperhitungkan

mengingat Pengalaman Penderitaan (Memoria Passionis),165 di bidang politik

ekonomi, sosial dan budaya, Lingkungan hidup selama integrasi Papua ke dalam NKRI selama 43 tahun dan pelaksanaan undang-undang No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Provinsi Papua turut mempengaruhi perkembangan Gereja

Kristen Injili di Tanah Papua di masa-masa yang akan datang.166

Keseriusan dan keberpihakan pada situasi kemajemukan diperingatkan

oleh Sostenes Sumihe25 bahwa di tengah pergumulan gereja melakukan tugas

pembaharuan dunia menyangkut kemajemukan ini, gereja dan segenap warganya, wajib memperhatikan unsur-unsur kemajemukan itu sendiri agar tidak jatuh ke dalam persoalan orientasi ekslusif, orientasi pad a kepentingan

164

Agus Alua, Tugas-tugas Gereja di Papua, makalah untuk semiloka 50 tahun GKI TP, (Jayapura,2006) Hlm.3

165

Ibid

166

S. Somihe. GKI Tanah Papua Pasca Sidang Sinode XV: Dari Pluralisme K Ekslusivisme? Makalah. (Jayapura, 2006) 4


(21)

kelompok dan golongan sendiri. Catatan ini, penting untuk direnungkan baik oleh orang (asli) Papua maupun saudara seiman dari luar Papua.

Sementara itu Kemajemukan GKI TP dalam Pandangan W. Maloali,167

sejak awal mula gereja terbentuk sudah terakomodasi dalam kepemimpinan GKI TP. Dalam sebuah Semiloka memperingati 50 tahun GKI TP, ia menguraikan bahwa:

Gereja ini bukan Gereja dari satu bangsa melainkan satu Gereja yang mempersatukan segala oknum dari segala bangsa yang mengaku dasar Gereja ini selaku dasar iman. Sekarang dalam Gereja telah mempersatukan segala suku bangsa di Nieuw Guinea atau Papua dalam satu Badan yaitu Orang Inanwatan, Biak, Serui, Sarmi, Sorong, Wondama, Sentani, Hollandia semuanya terkumpul atas kehendak sendiri dalam satu Gereja di Nieuw Guinea. Dalam perkembangan masyarakat ke depan gerejalah yang berjalan di muka". Dalam Sidang Sinode Umum Ke-IV Tahun 1965 di Silkarnapura, data keanggotaan jemaat GKI sudah makin luas, bukan saja anggota jemaat orang Papua namun juga meliputi anggota jemaat dan Gerejagereja wilayah lain di Indonesia yang anggotanya berpindah ke Tanah Papua oleh karena penugasan kedinasan di Papua. Kebanyakan mereka adalah Punpinan Dinas dan Biro-pada instansi-instansi Pemerintahan, yang bekerja bersama dengan saudara-saudaranya dari Papua.

Kemajemukan dalam warga GKI TP ini tentunya menjadi daya dorong bagi perkembangan Oikumenis baik ke dalam maupun keluar Papua. Hal ini dibuktikan oleh GKI TP di mana ketika membentuk Badan Pekerja Am Sinode Pertama tahun 1956. ketika itu Pdt. F.J.S. Rumainum terpilih sebagai Ketua Umum, dengan anggota yang memiliki dari Oikumenis, yaitu terdiri dari berbagai suku; Papua, Sanger, Menado, Ambon, jawa, kalimantan, Sumatera, bahkan Tenaga Utusan Gereja (TUG)

167

W. Maloali (Mantan Ketua Sinode Umum GKI ke-III dan Ke-W Periode 1971 – 1977), Perkembangan dan Berbagai Permasalahan Dalam GKI TP, (Makalah) Uayapum, 2006) 3


(22)

dari gereja-gereja mitra luar negeri.168 Perkembangan dalam kehidupan bergereja dan berjemaat semakin nampak baik di kota-kota dan desa-desa. Pemandangan dalam. jemaat-jemaat GKI yang berwajah multi bangsa atau heterogen itu telah memberikan dorongan kepada GKI TP untuk tetap, memperhatikan kerjasama Oikumenis dengan Gereja-Gereja di Papua. Hubungan Kerjasama ini bukan saja menyangkut pelayanan kerohanian saja, namun juga untuk memperkuat bidang sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Sehingga dalam perkembangan kehidupan Anggota jemaat yang Oikumenis serta masyarakat Papua secara umum ke depan, Gerejalah yang harus berperan akti.

Akan tetapi realitas kehidupan warga jemaat/masyarakat yang majemuk ini lantas diperhadapkan dengan berbagai fakta yang mengarah kepada munculnya berbagai konflik, b aik secara sosial, ekonomi dan politik yang seolah-olah menempatkan Gereja dan jemaat pada situasi pertentangan

(Ambivalen) menghadapi kondisi dan situasi tersebut. Bahkan muncul sikap

tidak peduli (apatis) antara satu dengan yang lainnya. Namun di sisi yang lain

jemaat/masyarakat sebagai korban dari situasi seperti ini secara tidak sadar telah menjadi pelaku-pelaku kekerasan yang tentu saja semakin memperkeruh dan

memperpanjang terwujudnya cita-cita damai di Tanah Papua.169 di sisi yang lain

fakta-fakta di lapangan menyebutkan bahwa banyak para pekerja sosial, atau HAM

168

Bdn. FJ.S. Rumainum, Sepuluh Tahun...., Idem, 49.


(23)

termasuk para konselor atau Pendeta telah mengalami intimidasi.170 Intimidasi itu sendiri terjadi dalam berbagai bentuk, seperti; penolakkan/larangan pelayanan, tekanan-tekanan dengan cara-cara kekerasan (fisik dan non fisik), dan lain sebagainya. Meskipun demikian, tidak ada pilihan lain kecuali berada di posisi sebagai gembala yang harus menuntun dan mengarahkan jemaat dalam menghadapi

masalah.171 Keputusan untuk bertahan dan menghadapi situasi pelayanan seperti ini

karena GKI TP memahami bahwa Tugas Gereja adalah menegakan kebenaran dan keadilan. Gereja bukan hanya mewartakan kebenaran yang terdapat dalam Alkitab, tetapi juga menyikapi dan menegakkan kebenaran dan keadilan dalam situasi kongkrit yang dialami oleh umatnya. Para Petugas Gereja diharapkan tidak hanya berkata-kata, tetapi juga menyerukan suara kenabian dan mewujudkannya dalam tindakan nyata, dalam kata dan perbuatan atau menjadi "Garam dan Terang".

Usaha keberpihakkan GKI TP dalam situasi seperti ini tentunya bukan sesuatu cita-cita yang mudah. Tahun 2002 dalam sebuah Pertemuan bersama Para pemimpin agama yang diprakarsai oleh GKI TP, Uskup jayapura, menyebutkan Enam sumber konflik di Papua, sebagaimana yang diuraikan sewaktu Konferensi

170

Wawancara dengan Pdt. A. Yoku, Tanggal 14 September 2009.

171 Wawancara dengan Pdt. A. Dimara (Klasis GKI Mimika), jayapura 27 juli 2008. Dalam sebuah pelatihan HAM yang diadakan

di Aula P3W-GKI jayapura oleh KPKC Sinode GKI, Pdt. Dimara, sebagai salah seorang peserta mengakui bahwa sebagai pegawai GKI TP dirinya siap ditempatkan di mans saja, termasuk di jemaat yang menghadapi konflik dengan apar at keamanan. Dalam pengalamannya terhadap situasi yang kompleks ini, dirinya hanya bisa bertahan baik menghadapi

ancaman aparat keamanan tapi juga ancaman warga setempat. Untuk itu menurutnya seorang Pelayan seperti dirinya sangat membutuhkan pelatihan dan pendidikan HAM sebab tanpa itu ia khawatir tidak mampu menempatkan diri secara pribadi dan secara


(24)

Perdamaian,172 yaitu:

[1] perbedaan aspirasi politik – kubu O (Otonomi) dan kubu

M(Merdeka); [2] penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan; [3] pemerintahan yang semu; [4] kecurigaan antar kelompok etnis dan suku, [5] kecurigaan antar kelompok agama; dan [6] kesenjangan sosial ekonotni. Kemudian hari, dalam sebuah diskusi Panel Perayaan Injil masuk di Tanah

Papua,173 Theo van den Broek Ofm,174 menambahkan dua pokok lagi

sumber konflik Papua, yakni; [7] kehilangan pegangan hidup bersama, dan [8] pengurasan sumber daya alam.

Belum lagi berbagai tantangan yang terus -menerus datang dan

menguji komitmen yang sudah dibangun, seperti: a). Tantangan geografis:

Tantangan utama GKI di Tanah Papua, berasal dari dalam. Wilayah yang terlalu luas dengan tingkat kesulitan yang tinggi untuk penjangkauannya. Perlengkapan bentuk transportasi dan alat komunikasi yang belum memadai, yang berdampak kepada terhambatnya arus informasi dan mobilisasi dari satu tempat

ke tempat yang lain. b) Adat-istiadat: berkembangnya fenomena Adat

pembayaran mas kawin dan kebangkitan kembali harapan-harapan mesianis (cargo

cult) akibat kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan politik yang tidak

172 Mgr. Leo L. Ladjar ofin, Uskup Jayapura, Konferensi Perdamaian uniuk Papua, Jayapura,

2002) 3

173

Perayaan Injil Masuk di Tanah Papua dirayakan setiap tanggal 5 Februari oleh seluruh komponen keagamaan di Papua. Berdasarkan ketetapan Sidang DPRD Propinsi Irian Jaya tanggal 16 Agustus 2000.


(25)

menguntungkan warga Papua (asli). c). Arus Migrasi: Tantangan pelayanan terhadap arus migrasi yang masuk ke Papua setiap hari tanpa terbendung, memberi dampak terhadap semakin tingginya persaingan pada sektor tenaga kerja. Nampaknya ruang bagi tenaga kerja orang Papua (asli) dipersempit. Oleh karena itu mereka mulai merasa sebagai minoritas yang mana justru memperlebar efek hilangnya kesempatan ekonomi dan justru memicu

meningkatnya diskriminasi serta konflik.175 Dan itu berarti kerugian kesempatan

kerja dan mencari nafkah untuk dapat hidup layak bagi warga gereja orang Papua semakin jauh. Seluruh komponen warga Papua terutama Gereja "dipaksa" untuk secara serius dan cepat dalam menyikapi arus migrasi dan pemberlakuan

pasar bebas - terhadap keberadaan masyarakat Papua. d). Cara Hidup: Situasi

kehidupan Anggota Jemaat dewasa ini semakin hari menunjukan tanda-tanda kekecewaan warga/masyarakat yang tertindas dan terhimpit akibat persaingan kehidupan, seperti muncul sifat ketidakjujuran yang terus meningkat akibat

pengaruh lingkungan. Hal tersebut kadang-kadang muncul pada praktek money

politic dalam Pelaksanaan PILKADA". Korupsi di Papua dilakukan hampir

tanpa memiliki rasa takut.

Menurut Maloali,176 tindakan-tindakan ini seolah-olah pembalasan

terhadap hidup yang susah dan miskin sebelumnya. Kemalasan, semakin

175

Agus Sumule, Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya di Papua Barat, (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 2006) 157.


(26)

terlihat pada kalangan generasi muda baik di kota-kota dan di kampung-kampung. Semangat untuk berprestasi dan bersaing secara sehat di segala bidang kehidupan masih sangat minim. Begitupun hal pemabukan. Di mana-mana di seluruh wilayah pelayanan GKI TP, masalah pemabukan hampir secara pasti ditemukan, terutama terjadi di lingkungan orang muda.

Meskipun gejala ini dianggap sebagai akumulasi terhadap persoalan-persoalan Papua, terbukti sifat konsumerisme terhadap alkohol ini telah mendorong kehdiran banyak sekali rumah -rumah minu m seperti Bar d an Karaoke, Bil yard yang menawarkan berbagai jenis minuman produksi pabrik. Namu n bukan produk-produk berlabel ini saja yang diserbu atau dicari. Ternyata warga jemaat/masyarakat juga secara rutin menghasilkan sendiri "minuman lokal" beralkohol atau yang dikenal dalam berbagai istilah samaran seperti;

Milo (Minuman lokal), SBY (Susu Buatan Yoka)177. Nampaknya kesukaan

terhadap minuman beralkohol ini menjadi salah satu pintu utama siklus

pembodohan terhadap orang Papua.178 Karena itu tidak heran cara hidup seperti

ini justru menjadi "lingkaran setan" yang memunculkan berbagai tindakan kekerasan yang ada di Papua. Terutama di kota Jayapura.

Pola hidup "harap gampang" dan istant, juga lahir dalam pandanga n banyak generasi muda terutama sekali karena topangan budaya kekeluargaan yang masih sangat terpelihara. Sehingga warga jemaat/masyarakat terkesan

177

Kedua istilah ini sangat terkenal di Klasis Jayapura karena merupakan produk lokal


(27)

tidak peduli dengan segala ketertinggalan dan keterpurukan. Bagi banyak orang, itu bukan masalah sebab keadaan demikian terjadi hampir setiap saat dan di mana saja. Nampaknya kesadaran akan buruknya lingkungan sosial justru membingungkan atau menakutkan orang untuk keluar dari tekanan lingkungan yang sudah ada.

7. Misi GKI di Tanah Papua dalam Periodisasi

Gereja Kristen Injili di Tanah Papua179 mulai disebut sebagai suatu

Gereja mandiri ialah pada Sidang Sinode Umum yang pertama tanggal 16-29 Oktober 1956 di Abepura. Kemudian dinyatakan resmi berdiri tanggal 26 Oktober 1956 melalui surat keputusan Gubernur Nederlands Nieuw Guinea

tanggal 8 Februari 1957180 Sejarah sebelumnya disebut Zending di Nederlands

Nieuw-Guinea (5 Pebruari 1855 s/d 26 Oktober 1956).181

Perjalanan waktu penginjilan yang sangat lama untuk menjadi gereja tentu bukan suatu hal yang mudah. Kamma, seorang Zendeling Etnolog Papua,

pernah menyebutkan182 bahwa baik gereja sebagai persekutuan manusia

maupun zending sebagai kegiatan manusia adalah hasil karya Roh Kudus yang kreatif.

Pernyataan Kamma tersebut sangat beral asan mengingat sejarah

179

Tentang. Perubahan nama Gereja Kristen Injili Di Irian jaya.

a. Secara historis culture, pemberitaan Injil di mulai di Tanah Papua. Dan secara teologis mempunyai sifat oikumenis, di mana semua etnis yang berada dan hidup di tanah ini adalah anggota GKI.

b. Pengertian Tanah Papua mengandung pula pemahaman bahwa GKI tidak berekspansi keluar membentuk jemaat-jemaat di luar Tanah Papua.

c. Berdasarkan pemahaman diatas, maka Sidang Sinode XIV GKI Di TP memutuskan untuk merubah nama GEREJA KRISTEN INJILI DI IRIAN JAYA menjadi GEREJA KRISTEN INJILI DI TANAH PAPUA. Lih. Keputusan dan Ketetapan Sidang Sinode XIV GKI Di TP, (Sorong tahun 2000) hal 62.

180

FJS Rumainum, Sepuluh Tahun GKI Sesudah 101 Tahun Zending Di Irian Barat, (Irian Barat:Sukamapura, 1966) 55

181

Kunrad Kreeuw, Perkembangan Tata Gereja GKI 1956 – 1977, Oayapura, 1982) 2


(28)

perjalanan Pekabaran Injil (PI) di Tanah Papua bukan saja diwarnai oleh ketidak mengertian dan penolakaan para zendeling atas makna sosial upacara-upacara dan budaya orang Irian, namun juga karena keputusasaan mereka atas pola hidup

orang Irian saat itu yang masih suka berkelana.183

Cara hidup semacam itu dalam pandangan kaum zendeling seolah -olah mengabaikan benih pekerjaan zending dan tidak memperoleh tempat di kehidupan mereka. Apalagi pad a abad ke-19 itu orang Irian masih

menganut agama asli mereka.184 Akan tetapi Th van den End185 mencatat suatu

fakta lain tentang Pola hidup orang Numfor186 yang suka berkelana itu dan sering

dikecam para pekabar Injil. Oleh karena cara hidup seperti ini sangat tidak memungkinkan orang mengunjungi gereja dan sekolah dengan teratur. Namun menariknya, justru karena pola hidup nomaden itulah orang meneruskan kemana-mana cerita-cerita Alkitab yang pernah mereka dengar dalam kebaktian. Sebenarnya, itu bukan maksud mereka yang utama. Mereka meneruskan cerita-cerita itu ialah untuk menaikkan gengsi. Tetapi ternyata, melalui cara itu

Injil disebarkan bak benih oleh burung-burung di langit.187

Situasi ini diakui dan dicatat pula dalam tulisan sejarah PI karya Kamma, di mana ia hampir tiba dalam suatu kekecewaan menyaksikan bahwa dalam masyarakat

183

ibid

184

Jos Mansoben, Sistim Politik Tradisional di Irian Jaya, (Leiden-Netherland, 1994) 246 "

185

Th van den End, Ragi Carita 2, Jakarta: BPK-GM, 123

186

Orang Numfor adalah komunitas suku yang mina -mina menerima kedatangan dua zendeling pertama di pulau Mansinam (1855). Mereka adalah kelompok suku yang berbahasa. Biak. Menurut Mansoben seorang Antropolog Papua, suku yang menggunakan bahasa Biak adalah suku dengan wilayah penyebaran yang lugs (dalam dan luar Irian) dan memiliki pengaruh yang sangat besar. B and. Jos Mansoben, Sistim..., Ibid, 224


(29)

yang masih sangat tradisional tersebut acapkah dijumpai suatu keteratutan yang sangat bersifat tirani. Ia mengindikasikan bahwa nurani kolektif dari suku-suku yang dijumpai para zendeling turut menentukan terlaksananya

pemberitaan Injil saat itu.188 Sebab setiap orang/keluarga diatur dan diikat oleh

pemahaman kelompok yang ada. jadi dapat dimengerti apabila pengurus zending UZV beberapa kali menimbang untuk menarik diri dari medan PI di Tanah Papua, antara lain pada tahun 1864 dan 1870. Sebab waktu itu mereka segera mendapad bahwa Tanah Papua adalah lapangan kerja yang berbahaya,

mahal, kurang sehat dan tidak subur.189

jika pada kenyataannya pekerjan zending masih bisa diteruskan di Papua

itu tidak terlepas dari peran Ottho Gerhard Heldring190 dalam memainkan

peran pastoralnya sebagai penasihat dari pengurus badan zending UZV (Utrechtse

Zendingsvereniging), terutama karena menurut pendapat Heldring, UZV mempunyai

dua panggilan rangkap di Tanah Papua, yaitu memberitakan Injil dan mengembangkan kesejahteraan rakyat. Untuk melindungi dua tujuan PI ini, ia

188

Bdn.FC. Kamma, Ajaib ... Ibid, 544

189 48 Hommo Reenders, Mendalarni Beberapa Pokok Sejarah Gereja, Gayapura: SIT GKI IS. Mine,

1993) 47

190

Heldring adalah Tokoh PI ke Tanah Papua. Ia dan Gossner menggunakan metode zendeling 'Tukang Kristen' mengirim dua zendeling pertama, Ottow dan Geissler ke Papua tahun 1855. PI dalam perspektif Heldring dapat dirnengerd dalam ada 3 sifat: Pertama, bukan menekankan hal spiritualisme tetapi keinginannya memakai orang-orang emigran yang berpindah ke Indonesia sebagai alas penyebaran agama Kristen. Kedua, tidak bersifat faith-mission. Artinya, seorang tukang Kristen tidak menerima gaji, hal ini dikarena Heldring

berpendapat bahwa 4a seorang zendeling itu hidup karena menantikan pemeliharaan Tuhan, maka seorang tukang Kristen justru harus bertukang dan mencari naflcahnya sendiri. Tugasnya tidak berkhotbah, tetapi bertukang. Ia harus mengarnalkan iman Kristen dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, mini PI-nya tidak bersifat apokalyptis, tidak menyerupai 'semacam' barisan pernadarn kebakaran rohani yang ingin

menyelamatkan sebanyak mungkin orang dengan cepat. Heldring dan panitianya selalu menekankan bahwa 'sebelum membangun menara, biayanya harus dihitung'. jadi kalau rekanya, Gossner, mengatakan seorang zendeling tukang adalah seorang yang memberitakan Injil walaupun tidak mendapat pendidikan dan gaji tetap. Sebab dalam pekerjaannya itulah ia dipimpin oleh Roh Kudos. Namun bagi Heldring seorang tukang Kristen bukanlah seorang yang memberitakan Injil, tetapi sambil bertukang ia memperkuat presensi Kristen di antara penganut-penganut agama.


(30)

sering menasihatkan badan zending UZV untuk bekerjasama dengan pemerintah, pengusaha perkapalan dan melakukan perdagangan supaya memajukan komunikasi ant ar s uku d an m eni n gk at ka n ke m akm ur an m as ya ra kat P apu a. T erm asuk memperbaiki keadaan keuangan badan Zending UZV sendiri. Meski tidak menyetujui hal ini dilakukan oleh zendeling, namun UZV akhirnya mengirim tenaga pembantu zendeling sebagai pedagang kristen untuk maksud tersebut. Nampaknya jalan kolonialis menurut Heldring adalah yang paling

strategis dengan konteks saat itu191

Walaupun demikian, hal menarik lain lagi yang dicatat oleh sejarah

gereja192 bahwa akibat situasi amat sulit saat itu, terutama mengenai metode

yang tepat untuk menarik sebanyak mungkin orang Papua untuk mengenal Injil, para zendeling rupanya sadar bahwa harus ada strategi lain dalam PI mereka, yaitu pendekatan secara Individual.

Kecuali satu dua orang, orang Irian dewasa ternyata tidak dapat ditarik dengan metode tersebut. Maka para zendeling melakukan pendekatan mel alui generasi mud a dengan dua car a. Mereka mendirikan sekolah-sekolah, supaya di sana anak-anak, di samping belajar "tiga m", mendengar cerita-cerita Alkitab dan belajar menyanyi lagu-lagu Kristen. Selain itu, para zendeling menebus anak-anak yang telah diperbudak, lantas mendidik mereka di rumah sendiri. Mereka mengharap anak -anak itu bisa tumbuh

191

ibid, 50


(31)

tanpa mengalami pengaruh jahat masyarakat Numfor, sehingga setelah dewasa bisa menjadi kelompok inti jemaat Kristen, bahkan membantu dalam karya P1. Setelah menjadi dewasa, orang-orang tebusan ini, bersama dengan orang Irian merdeka yang sudah dibaptis, diharuskan tinggal dalam sebuah "kampung Kristen". Di kemudian hari olehnya dihasilkan juga beberapa tenaga bermutu, seperti Filipus dan guru Petrus Kafiar (± 1875-1926).

Dalam gambaran seperti ini, terlihat bagaimana kerumitan yang dialami di medan PI dan sekaligus keseriusan yang ditunjukan oleh para zendeling dalam menghadapi orang Papua. Bahwa buruknya situasi medan PI ini justru merubah cara pandang para zendeling atas panggilan mereka untuk menjadikan orang Papua pengikut Kristus. Pola Penebusan budak itu sendiri adalah bagian dari upaya melibatkan orang Papua dalam memberdayakan hidup mereka sendiri, menghadapi situasi atau perubahan yang telah datang kepada mereka. Terutama karena memang keadaan orang Irian pada waktu itu sangat jauh berbeda dalam segala hal dengan

keadaan manusia Eropa yang datang menyebarkan agama kristen kepada mereka.193

Itu sebabnya Kamma sekali lagi mencata t194 bahwa

bagaimanapun ada sejumlah alasan terbesar yang membuat orang Irian saat itu menerima Injil dan itu dapat ditemukan dalam sejumlah faktor, yang pengaruhnya masih juga datang dari atau ditentukan oleh kerumitan watak budaya (psychosocial) masyarakat tradisional itu

193

F. Ulcur & Cooley, Benih Yang Tumbuh 8, (Jakarta: BPK GM, 1977) 18 194


(32)

sendiri. Makanya dalam lingkungan masyarakat yang masih sangat dilematis waktu itu munculah sejumlah aliran. Yang pertama: Aliran adisional (bersifat menambahkan), yaitu Injil atau unsur -unsur tertentu yang di dalamnya ditambahkan kepercayaan kepada dew a-dewa dan setan-setan yang sudah ada. Biasanya aliran ini mengarah kepada sinkretisme. Yang kedua; Aliran substitutional (bersifat menggandakan), yaitu agama yang tradisional dilepaskan dan seluruhnya digantikan dengan Injil. Dan yang ketiga, Aliran sekularisasi, yaitu kepercayaan dan agama apa saja dipersoalkan dan diganti sejumlah alternatif (pilihan lain). Pilihan pilihan lain itu seringkali bersifat ekonomis atau intelektualistis -rasionalistis. Waktu itu keadaan ini berlangsung hampir di seluruh perkotaan. Sedangkan di desa masih pada orang-orang tertentu195. Disebutkan bahwa agar orang Irian tertarik, maka sehabis kebaktian mereka ini disuguhi tembakau atau gambir 196 . Namun di samping itu sudah muncul pula tradisi; sekunder, yaitu tradisi para zendeling dan penghantar jemaat dari masa awal. Tradisi sekunder itu digenggam orang seolah sama kuatnya seperti tradisi primer (adat) sebelumnya. Kuatnya tradisi sekunder ini nampaknya telah berhasil membawa kepada institusionalisme

(terkurungnya iman dalam lembaga yang kaku).197

Di kemudian hari, tepatnya setelah 130 tahun Pekabaran Injil di Tanah

195

Ibid. 196

ss1b van den End, R4 ....Ibid, 121


(33)

Papua, dalam suatu perayaan 29 tahun GKI Di TP, ditemukan suatu situasi dan kondisi yang tidak jauh beda dari gambaran Kamma diatas. Sejumlah gejala seperti

Formalisme, sinkritisme dan apatisme ditemukan secara nyata dalam konteks

bergereja GKI Di TP. Dalam sebuah tulisan evaluatif terhadap GKI Di TP, K.Ph

Erari198 menyampaikan bahwa bahaya formalisme seperti pemahaman dan

penerapan nilai-nilai injil dalam hidup bergereja telah dilakukan secara kaku,

hanya sebagai warisan199 turun-temurun. Disamping itu data sejumlah klasis

menunjukan bahwa gejala-gejala sinkritisme semakin kuat dan bahkan semakin berani menyatakan diri dalam bentuk gerakan -gerakan messianic yang semakin subur setelah Perang Dunia II. Kondisi dan situasi ini seumpama

mengembalikan, warga jemaat ke wilayah lingkaran kekafiran. Akibatnya

munculah praktek-praktek sinkritisme yang Illegetim200. Sementara itu di

kalangan warga jemaat, dijumpai sikap apatisme yang diakibatkan oleh pengalaman-

pengalaman dalam masyarakat yang jug a mengecewakan. Akibat situasi yang mempengaruhi sisi -sisi psikologis warga itulah yang turut memicu sikap masa bodoh, ketidakpercayaan, saling mencurigai bahkan pemberontakan. Salah satu yang paling mempengaruhi situasi gereja dan masyarakat saat itu ialah kondisi sosial politik yang dialami sejak Perang Dunia II hingga Papua diintegrasi kedalam wilayah NKRI.

Berbagai soal diatas telah dimuat dalam catatan sidang-sidang Sinode

198

K. Ph. Erari, Upaya Menemukan Identitas Berteologi, (makalah Sidang Sinode 29), (Manokwari., 1985) 4

199

Contoh: Liturgi-liturgi Ibadah


(34)

GKI TP selama 13 tahun, sejak 1967-1980. Ketegangan yang dialami baik secara internal maupun eksternal gereja ini akhirnya dibahas dalam Sidang

Sinode IX di Biak tahun 1980.201 Berdasarkan sejumlah catatan persoalan yang ada,

terungkaplah suatu situasi di mana telah terjadi perpecahan dalam pelayanan akibat

strukturalisme, masalah kemiskinan dan penderitaan warga

jemaat/masyarakat, dan ketegangan akibat politik dualisme yang mengarah kepada disintegrasi.

Bagi GKI TP, berdasarkan kondisi nyata jemaat -jemaat yang ada saat

itu, maka melalui Sidang Sinode IX tahun 1980 ini menyatakan

kepeduliaannya secara tegas mengenai masalah-masalah kemanusiaan. Bahwa solidaritas gereja bersama orang banyak dan kesediaan untuk berkorban demi memperjuangkan nilai keadilan dan kebenaran patut dipayungi dalam program-program pelayanan secara konkrit. Tuntutan pembaharuan dalam lingkungan GKI TP, terutama di bidang Pastoral dan Penggembalaan, menjadi tugas utama bagi seluruh pelayan dan warga jemaatnya.

Perjuangan gereja melalui tugas pastoral tersebut meliputi segala aspek, yaitu: spiritual, mental, sosial, psikologis. Dalam hal ini digariskan secara strategi s dalam tiga langkah besar yang menjadi program utama GKI Di TP, yaitu:

201


(35)

kedewasaan Iman (Teologia, kemandirian Daya, dan kemadirian dana202. Selanjutnya dalam Sidang Sinode XIII di fak-fak, berdasarkan sejumlah pertimbangan ditambahkan lagi satu program untuk mengakomodir sejumlah jenis persoalan baru, yakni di Program Bidang umum, sehingga dengan demikian, Empat program utama tersebut menjadi cara atau petunjuk untuk memetakan permasalahan yang dialami warga GKI di TP, termasuk kondisi umum masyarakat Papua sebagai implementasi dari misi gereja.

Menurut FJS Rumainum203 Ketua Sinode GKI yang pertama, bahwa untuk

memahami kondisi pelayanan GKI di TP, maka perlu untuk mengetahui situasi pekerjaan zending sebelumnya karena bukan saja hal ni mempunyai hubungan yang erat tetapi oleh karena GKI di TP sendiri adalah hasil karya zending selama satu abad

melayani di Irian Barat204. Cara ini merupakan bagian paling penting dari usaha

memahami pekerjaan zending selama satu abad di Tanah Papua, sejak 1855-1956, termasuk juga cara memandang situasi dan kondisi pelayanan yang harus dihadapi dan diteruskan dalam pelayanan GKI TP hingga kini.

Periodisasi yang dimaksud adalah : periode pertama: dimulai 1855-1863,

merupakan masa perintisan yang dimulai dengan kedatangan dua orang Zendeling dan permulaan pekabaran Injil di Pulau Mansinam (manokwari) oleh utusan Gosner-Heldring, yaitu C.W.Ottow dan J.G. Geissller dari Jerman yang disebut Zendeling

202

Ibid. 203

FJS Rumainum, Sepuluh Tahun GKI Sesudah 101 Tahun Zending Di Irian Barat, (Irian Barat Sukarnapura ,1966) 7


(36)

(utusan tukang). Menurut teori,205 kedua, zendeling tukang ini, setelah tiba di tanah penginjilan akan menggunakan keahlian sebagai 'tukang' dalam mencari nafkah, di samping tugas pokok mereka yaitu memberitakan Injil dan mengajar orang asli Papua. Namun sayang rupanya, keadaan yang ditemui berbeda sekali dengan kenyataanya. Sebab penduduk tidak memerlukan hasil pertukangan. Dalam masa ini, pekerjaan dua zendeling perintis belum lagi menunjukan hasil. Bahkan keadaan semakin suram manakala Ottow

meninggal tahun 1869. Istrinya, Ny. Ottow-Letz, sempat mendirikan sekolah

gadis tahun 1857 tetapi akhirnya tutup karena adat tidak menginjinkan perempuan

bersekolah. Istri Ottow kemudian pergi dari Tanah Papua menuju Ternate

untuk bersalin. Ia berangkat tanggal 17 April 1863, sehari sebelum Para

zendeling utusan UZV tiba.

Periode kedua: dari tahun 1863 — 1907, dalam tahun ini empat pendeta

zending dari Utrechtsche Zendings Vereeniging (UZV) diutus. Mereka adalah: J.L. van Hasselt, Klaassen, Otterspoor dan Jaesrich. Mereka tiba di teluk Dore

(Manokwari) tanggal 18 April 1863. Badan zending ini, tidak mengijinkan Para

Pendeta ini untuk berdagang atau mencari pekerjaan lain karena mereka di gaji secara teratur. Kemudian hari, UZV mengirim 2 tenaga baru, yaitu, Tn. Bink, sebagai tukang kayu dan T. Kamps, seorang penginjil dan petani. Pada masa ini, baik Geissller dan zendeling lain sudah mulai melakukan


(37)

pengajaran katekisasi dan membaptis orang pribumi. Di samping mengajar hal-hal rohani mereka juga melakukan pengajaran dalam hal-hal berdagang atau bersosialisasi dengan pedagang Tionghoa yang pada zaman itu sudah datang ke Tanah Papua. Bukan itu saja, bahasa melayu (Indonesia) sudah diajarkan di sekolah desa yang ada di Mansinam dan Kwawi. Maklum saja P ara zendeling rupan ya t el ah m empel aj ari bahasa ini dalam t ugas mereka

sebelumnya.206 Namun karena orang pribumi tidak mengerti penggunaan bahasa

ini maka zendeling berusaha keras untuk mempelajari bahasa Numfor. Itulah sebabnya sejak tahun 1859 kebaktian-kebaktian mulai diadakan dalam bahasa Numfor (bahasa suku Biak). Bahkan pada tahun 1861 sudah dapat diterbitkan sebuah kumpulan lagu-lagu Kristen dalam bahasa itu dan sebelum 1870 beberapa

kitab PB sudah berhasil diterjernahkan.207 Di kemudian hari Wilayah

pengijinlanpun semakin meluas, bukan saja di pulau Mansinam dan Kwawi,

melainkan sudah merambah jauh ke bagian pedalaman Manokwari.208

Periode ketiga, dari tahun 1907 – 1924: selama jangka waktu ini

pekerjaan Zending telah merambat ke berbagai tempat seumpama mengikuti arah mata angin. Ke arah Barat ada daerah Sorong dan kepulauan Raja Ampat, ke Utara ada Biak- Numfor dan Supiori, sedangkan ke Selatan ada Inanwatan-Teminabuan, Babo dan FakFak. Selanjutnya menuju Timur ke daerah Sentani dan

206

Idem 11

207

1b van den End, Ragi Ibid. 122 67 F. 208


(38)

Teluk Yotefa Jayapura). Pada periode ini, disebutkan bahwa perkembangan PI kian berpengaruh. Banyak orang menjandi kristen. Banyak pemuda yang mulai di didik untuk menjadi guru sekolah dan guru jemaat dalam sekolah guru yang didirikan oleh F.J.F van Haselt. Subsidi pemerintahpun diberikan secara penuh. Di masa ini mulai didirikan 11 resort yang dipimpin oleh seorang pendeta zending. Akibat dari perkembangan yang mencolok tersebut, periode ini dikenal sebagai periode keemasan perkerjaan zending.

Periode ke-empat: dari tahun 1924 – 1942. Periode ini merupakan

langkah selanjutnya yang menentukan. Karena dalam periode ini bertambah banyak tenaga Zending Belanda yang datang dan bekerja. Bukan itu saja badan misi lain termasuk Katolik turut serta membuka daerah Papua. Namun setelah itu terjadi penghematan baik dari pihak pemerintah maupun zending maka penurunan usaha-usaha di berbagai bidang mengalami gangguan. Walaupun begitu, susunan dan organisasi gereja berkembang terus dan menjadi lebih kokoh. Resort-resort mulai dipimpin oleh orang-orang pribumi, termasuk guru -guru

ambon yang sangat berperan saat itu bagi pekerjaan PI.209 Masa ini ditutup

dengan pecahnya PD II.

Periode ke-lima, tahun 1942 – 1945, disebut dengan nama "Masa Ujian

dan Pencobaan atau masa perombakan dan pembangunan kembali. Salah satu

209


(39)

indikator dampak PD II yang dilancarkan oleh Kekaisaran Jepang di Tanah

Papua ialah 'diamankannya' para, pemimpin Gereja.210 Semua Zendeling di

internir di kamp-kamp tawanan di Pare-Pare Sulawesi Selatan dan ke Sumatera,

(I.S.Kijne, dan HJ.Teutcher).211 Banyak Guru jemaat dan Penginjil pribumi

meninggalkan pekerjaan dan bekerja di kota akibat tuntutan kebutuhan, sandang dan pangan. Di m an a-mana t empat muncu l pergerakan sukuism e,

nasionalisme yang bernuansa Cargo Cult. Keadaan ini terutama dialami pada

masa peralihan antara Hindia Belanda. Kehidupan masyarakat, baik secara mental maupun spiritual rusak akibat kekejaman perang termasuk jug a gerakan-gerakan keagamaan yang mencampurkan unsur agama kristen dengan mythe nenek-moyang yang ada.

Periode ke-enam: tahun 1945 – 1956 disebut masa Pembangunan

kembali persiapan menuju Gereja yang berdiri sendiri. Belajar dari peristiwa periode lalu, maka kesadaran untuk mengikut sertakan tenaga-tenaga pribumi

sebagai pimpinan resort mulai muncul di kalangan zendeling. Periode: 1956 –

1971, merupakan fase pengujian kedua (masa pergumulan dibawah tekanan

pemerintah zending Belanda (1956-1962) dan masa pergumulan di bawah

pemerintah RI (1963-1971).

Periode ketujuh:1971-1980-an, merupakan masa pengharapan dan

pembangunan gereja serta pembinaannya yang terarah. Dalam mas a ini sudah

210

FJS Rumainum, Sepuluh Tahun GKI.. Ibid. 23


(40)

tercapai kestabilan politik dan keadaan ekonomis yang mulai membaik serta dalam kepemimpinan GKI sudah mulai terlihat pendeta muda yang berpendidikan baik.

Periode kedelapan: 1980- sekarang, merupakan upaya

kemandirian di tiga bidang pelayanan GKI TP; Teologia, Daya dan Dana. Menurut Pdt. B. Wamblolo, mantan Rektor STT GKI "IS Kijne", meski sejarah PI di Tanah Papua adalah produk dari situasi keagamaan Barat, terutama situasi di Eropa yang mengalami penderitaan rohani akibat

Rasionalisme dan formalisme serta ritualisme.212 Akan tetapi yang menarik

dan penting untuk diteladani ialah bahwa cara Pandang dan pelayanan para zendeling di zaman yang masih kafir itu bersifat "komprehensip" terhadap masyarakat. Terutama semangat memanusiakan manusia melalui bermacam-macam pelayanan gereja seperti pendidikan, pertanian, pertuk angan, perdagangan, budak tebusan, bahkan mempelajari bahasa asli setempat agar Injil dapat dipahami dan dihayati oleh masyarakat asli. Ketahanan para zendeling itulah yang patut diteladani dalam pelayanan gereja-gereja dewasa ini. Sebab mereka tidak saja melakukan tugas dan tujuan mereka ke tanah Papua, melainkan juga mengadakan suatu pendampingan dan penggembalaan dimasa yang sulit, bukan saja untuk melahirkan GKI TP tetapi juga masyarakat Papua yang lebih beradab.


(41)

D. MISI GKI DI TANAH PAPUA

Berdasarkan Tata Gereja GKI TP213 disebutkan bahwa Visi dan misi

GKI Di TP ialah "menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah" sebagai visi yang menjadi dasar, pedoman dan tujuan hidup persekutuan dan pelayanannya di

Tanah Papua. Yang dimaksud dengan Kerajaan Allah214 adalah suasana dan

keadaan kekuasaan dan pemerintahan Allah yang mencakup, seluruh alam semesta, termasuk manusia. K h u s u s b a gi m a n u s i a , s u a s a n a K e r a j a a n

A l l a h m e n c a k u p s e l u r u h a s p e k kehidupannya, rohani dan jasmani.

Sedangkan yang dimaksudkan dengan Tanda -Tanda kerajaan

Allah215 adalah segala hal yang baik dan menyenangkan kehidupan manusia

sebagaimana disebutkan pada aspek rohani dan jasmani, antara lain kesetiaan dan ketaatan kepada Tuhan, k e b e b a s a n , p e r d a m a i a n , k e s e j a h t e r a a n , k e s e h a t a n , k e m a m p u a n d a n ketrampilan, keamanan, ketertiban dan lain sebagainya yang mendatangkan sukacita dan kebahagiaan (Syaloom) kepada manusia. Singkatnya : Tanda- Tanda Kerajaan Allah adalah tanda-tanda syaloom atau tanda-tanda keselamatan bagi manusia. Tanda-t anda Keraj aan All ah dal am aspek rohani manusi a m encakup hubungan (relasi) yang baik, benar, erat dan harmonis dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitar, di man a manusia menaati perintah Allah, m enghormati dan

213

Tata Gereja & Pedoman Pelayanan GKI Di TP,-Jayapura: Sinode GKI, 1,998,8.

214

Tata Gereja & Pedoman Penggembaaan GKI Di TP, (Jayapura: Sinode GKI, 1998) 3


(42)

menghargai harkat sert a m artabat sesama m anusi a sert a memelihara, melindungi dan mengolah alam sekitar secara bertanggungjawab sebagai ciptaan Allah.

Tanda-tanda Kerajaan Allah dalam aspek jasmani manusia mencakup seluruh keberadaan (eksistensi) manusia, yaitu segala hal yang dimiliki manusia, seperti kemampuan, perasaan, keinginan, pengetahuan (hikmat), dan lain sebagainya yang dapat dimanfaatkan seseorang untuk mencapai segala kebutuhannya, seperti sukacita, kesehatan, kekuatan, kesejahteraan, kebebasan, perdamaian, ketertiban dan lain sebagain ya, sehi ngga seorang manusia dapat menikm ati hidup yang l a yak sebagaimana dimaksudkan Tuhan Allah, Sang Pencipta-Nya.

Berdasarkan Visi GKI di Tanah Papua ini, maka visi yang

dirumuskan216 adalah mewujudkan Tanda-Tanda Kerajaan Allah atau Tanda-Tanda

Syaloom yang mencakup segala bidang kegiatan (ekonomi, kesehatan, pendidikan, perdamaian, keamanan dan lain-lain) secara konkrit dan relevan

melalui persekutuan (koinonia), kesaksian (marturia) dan pelayanan kasih

(diakonia).

Berkaitan dengan penj el asan di at as m aka konsekwensi logi s dal am menguraikan Peraturan Penggembalaan dalam GKI Di TP ialah bagaimana supaya Pedoman Pelayanan dan Penggembalaan yang ada mampu

216


(43)

mencerminkan visi dan misi yang dirumuskan di atas, yakni mewujudkan tanda-tanda kerajaan Allah yang mencakup berbagai aspek-aspek kehidupan (fisik, psikis, social, spiritual) secara konkrit dan relevan melalui Tri

panggilan gereja itu sendiri, yakni: Persekutuan. Kesaksian dan Pelayanan.217

Selanjutnya secara konkrit makna itu diatur dalam Struktur Organisasi

Pembinaan Jemaat GKI Di TP,218 yaitu melalui program-program kerja dan

pelayanan mulai dari tingkat Sinodal hingga jemaat, untuk mencapai kemandirian219 di bidang: Theologia, Daya dan Dana.220

Dalam pandangan C. Berotabui,221 Visi dan Misi GKI itu dapat

dipahami dan dicapai jika, Pertama, ada sikap kepedulian terhadap sesama

akibat penghargaan dan teladan kepada sejarah pelayanan ke Tanah Papua.

Kedua, pelayanan dalam konteks Papua membutuhkan pekerja yang tekun dan

217

Pemahaman gereja sebagai persekutuan orang percaya, yang terbentuk karena panggilan Tuhan, memiliki dasar alkitabiah yang kuat. Hal ini dapat dicermati dalam Markus 3:13 -15. Dari bagian Alkitab ini empat hal dapat dicatat sebagai hakikat gereja: (1) bahwa terbentuknya persekutuan orang percaya itu karena panggilan dan kehendak serta jawaban atasnya, (2) panggilan itu adalah dalam rangka menyertai (bersama-sama di dalam) Yesus, (3) dan untuk ini mereka diutus memberikatan Inp, (4) serta diberi kuasa untuk mengusir setan. Berdasarkan hakikat ini, gereja menjalankan amanat koinonia sebagai wujud hakikat "menyertai Dia", marturia sebagai pewujudan "diutus memberitakan Injil" dan diakonia sebagai implementasi "diberi kuasa untuk mengusir setan". Ketiga amanat tersebut adalah satu kesatuan yang utuh. Menonjolkan yang satu dan mengabaikan dua yang lain, berard gagal menjalankan amanat itu sepenuhnya.

218

Lih. Lampiran Struktur Organisasi Pembinaan Jemaat GKI di TP

219 Yang dimaksudkan oleh GKI TP dengan Kemandirian di Bidang: Teologi, Daya dan Dana ialah: a).

Kemampuan di Bidang teologia yaitu kemampuan untuk menggumuli semua persoalan yang dihadapi gereja dalam kontaks Papua dan mencari pemecahannya secara teologis Pula tanpa hares terikat pads rumusan-rumusan teologis dari dunia Barat. b) Di bidang Daya ialah kemampuan untuk melaksanakan segala tugas gereja dengan mengandalkan kekuatan/tenaga dari warga GKI sendid baik secara kuantitas maupun kualitas. Q. Di Bidang Dana ialah kemampuan untuk membiayai segala pekerjaan gereja itu atas kemampuan dana yang diperoleh dari dalam GKI sendiri. Lih. Ketetapan Sidang Sinode GKI TP ke X, (Manokwati, 1984) 2.

220

ibid

221

C. Berotabui, GKI TP, Visi dan Misi Di Masa yang Akan Datang, (Semiloka 50 Thn GKI) (Jayapura, 2006), 2


(44)

rendahan hati. Sebab hanya dengan sikap inilah seseorang yang bekerja melalui GKI DI TP mampu memahami dan melaksanakan Amanat Penggembalaan dalam konteks gereja di Papua. Bahkan menurut K Ph.

Erari,222 telah menguatkan Gereja-gereja di Papua secara umum dan

khususnya GKI DI TP ketika berperan mengambil langkah dalam program penguatan dan pemberdayaan masyarakat agar mampu membuat keputusan etis sesuai moral keagamaan yang mereka miliki.

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Pdt. Willem Malolali223

bahwa jemaat sebagai bagian dari mata rantai perdamaian di dalam gereja dan

terutama masyarakat hendaknya melakukan amanat penggembalaan yang di tugaskan oleh Kristus sendiri mulai dari keluarga masing-masing, supaya pada suatu ketika anak-anak Tuhan yang dilahirkan dalam keluarga itu menjadi juru damai, seperti yang dim aksudkan Tuhan. Keluarga merupakan basis unt uk memutuskan keadaan damai di Papua (Matius 5: 9)

Dengan demikian terang kasih Allah melalui GKI Di TP dapat terus diakui dan di terima oleh semua keragaman manusia yang ada sebagai karuma Allah untuk membangun persekutuan hi dup dan mewujudkan keadaan dam ai di

tengah pergumulan di Tanah Papua.224

Jadi Amanat penggembalaan dalam pemahaman visi dan misi GKI Di

222

K Ph. Erari, Yubileum & Pembebasan menuju Papua Baru, (Jakarta: Aksara Kurnia, 2007) 59

223

Mantan ketua Sinode GKI ke III – fV (1971-1977) dan mantan ketua DPR Papua, Membangun Tubuh Kristus, (makalah Semiloka Menuju 50 Th GKI Di TP), (Jayapura, 2006)


(45)

TP merupakan tugas panggilan yang ruang cakupnya tidak hanya untuk dilakukan bagi dan di dalam lingkungan jemaat/gereja, melainkan melampaui batas-batas pelayanan di mana hendak menjangkau semua orang di dalam masyarakat, semua orang dipersatukan oleh Roh Kudus di dalam Kristus kepala dari segala sesuatu (Ef


(1)

menghargai harkat sert a m artabat sesama m anusi a sert a memelihara, melindungi dan mengolah alam sekitar secara bertanggungjawab sebagai ciptaan Allah.

Tanda-tanda Kerajaan Allah dalam aspek jasmani manusia mencakup seluruh keberadaan (eksistensi) manusia, yaitu segala hal yang dimiliki manusia, seperti kemampuan, perasaan, keinginan, pengetahuan (hikmat), dan lain sebagainya yang dapat dimanfaatkan seseorang untuk mencapai segala kebutuhannya, seperti sukacita, kesehatan, kekuatan, kesejahteraan, kebebasan, perdamaian, ketertiban dan lain sebagain ya, sehi ngga seorang manusia dapat menikm ati hidup yang l a yak sebagaimana dimaksudkan Tuhan Allah, Sang Pencipta-Nya.

Berdasarkan Visi GKI di Tanah Papua ini, maka visi yang dirumuskan216 adalah mewujudkan Tanda-Tanda Kerajaan Allah atau Tanda-Tanda Syaloom yang mencakup segala bidang kegiatan (ekonomi, kesehatan, pendidikan, perdamaian, keamanan dan lain-lain) secara konkrit dan relevan melalui persekutuan (koinonia), kesaksian (marturia) dan pelayanan kasih

(diakonia).

Berkaitan dengan penj el asan di at as m aka konsekwensi logi s dal am menguraikan Peraturan Penggembalaan dalam GKI Di TP ialah bagaimana supaya Pedoman Pelayanan dan Penggembalaan yang ada mampu

216


(2)

mencerminkan visi dan misi yang dirumuskan di atas, yakni mewujudkan tanda-tanda kerajaan Allah yang mencakup berbagai aspek-aspek kehidupan (fisik, psikis, social, spiritual) secara konkrit dan relevan melalui Tri panggilan gereja itu sendiri, yakni: Persekutuan. Kesaksian dan Pelayanan.217 Selanjutnya secara konkrit makna itu diatur dalam Struktur Organisasi Pembinaan Jemaat GKI Di TP,218 yaitu melalui program-program kerja dan pelayanan mulai dari tingkat Sinodal hingga jemaat, untuk mencapai kemandirian219 di bidang: Theologia, Daya dan Dana.220

Dalam pandangan C. Berotabui,221 Visi dan Misi GKI itu dapat dipahami dan dicapai jika, Pertama, ada sikap kepedulian terhadap sesama akibat penghargaan dan teladan kepada sejarah pelayanan ke Tanah Papua.

Kedua, pelayanan dalam konteks Papua membutuhkan pekerja yang tekun dan

217

Pemahaman gereja sebagai persekutuan orang percaya, yang terbentuk karena panggilan Tuhan, memiliki dasar alkitabiah yang kuat. Hal ini dapat dicermati dalam Markus 3:13 -15. Dari bagian Alkitab ini empat hal dapat dicatat sebagai hakikat gereja: (1) bahwa terbentuknya persekutuan orang percaya itu karena panggilan dan kehendak serta jawaban atasnya, (2) panggilan itu adalah dalam rangka menyertai (bersama-sama di dalam) Yesus, (3) dan untuk ini mereka diutus memberikatan Inp, (4) serta diberi kuasa untuk mengusir setan. Berdasarkan hakikat ini, gereja menjalankan amanat koinonia sebagai wujud hakikat "menyertai Dia", marturia sebagai pewujudan "diutus memberitakan Injil" dan diakonia sebagai implementasi "diberi kuasa untuk mengusir setan". Ketiga amanat tersebut adalah satu kesatuan yang utuh. Menonjolkan yang satu dan mengabaikan dua yang lain, berard gagal menjalankan amanat itu sepenuhnya.

218

Lih. Lampiran Struktur Organisasi Pembinaan Jemaat GKI di TP

219 Yang dimaksudkan oleh GKI TP dengan Kemandirian di Bidang: Teologi, Daya dan Dana ialah: a).

Kemampuan di Bidang teologia yaitu kemampuan untuk menggumuli semua persoalan yang dihadapi gereja dalam kontaks Papua dan mencari pemecahannya secara teologis Pula tanpa hares terikat pads rumusan-rumusan teologis dari dunia Barat. b) Di bidang Daya ialah kemampuan untuk melaksanakan segala tugas gereja dengan mengandalkan kekuatan/tenaga dari warga GKI sendid baik secara kuantitas maupun kualitas. Q. Di Bidang Dana ialah kemampuan untuk membiayai segala pekerjaan gereja itu atas kemampuan dana yang diperoleh dari dalam GKI sendiri. Lih. Ketetapan Sidang Sinode GKI TP ke X, (Manokwati, 1984) 2.

220

ibid

221

C. Berotabui, GKI TP, Visi dan Misi Di Masa yang Akan Datang, (Semiloka 50 Thn GKI) (Jayapura, 2006), 2


(3)

rendahan hati. Sebab hanya dengan sikap inilah seseorang yang bekerja melalui GKI DI TP mampu memahami dan melaksanakan Amanat Penggembalaan dalam konteks gereja di Papua. Bahkan menurut K Ph. Erari,222 telah menguatkan Gereja-gereja di Papua secara umum dan khususnya GKI DI TP ketika berperan mengambil langkah dalam program penguatan dan pemberdayaan masyarakat agar mampu membuat keputusan etis sesuai moral keagamaan yang mereka miliki.

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Pdt. Willem Malolali223 bahwa jemaat sebagai bagian dari mata rantai perdamaian di dalam gereja dan terutama masyarakat hendaknya melakukan amanat penggembalaan yang di tugaskan oleh Kristus sendiri mulai dari keluarga masing-masing, supaya pada suatu ketika anak-anak Tuhan yang dilahirkan dalam keluarga itu menjadi juru damai, seperti yang dim aksudkan Tuhan. Keluarga merupakan basis unt uk memutuskan keadaan damai di Papua (Matius 5: 9)

Dengan demikian terang kasih Allah melalui GKI Di TP dapat terus diakui dan di terima oleh semua keragaman manusia yang ada sebagai karuma Allah untuk membangun persekutuan hi dup dan mewujudkan keadaan dam ai di tengah pergumulan di Tanah Papua.224

Jadi Amanat penggembalaan dalam pemahaman visi dan misi GKI Di

222

K Ph. Erari, Yubileum & Pembebasan menuju Papua Baru, (Jakarta: Aksara Kurnia, 2007) 59

223

Mantan ketua Sinode GKI ke III – fV (1971-1977) dan mantan ketua DPR Papua, Membangun Tubuh Kristus, (makalah Semiloka Menuju 50 Th GKI Di TP), (Jayapura, 2006)


(4)

TP merupakan tugas panggilan yang ruang cakupnya tidak hanya untuk dilakukan bagi dan di dalam lingkungan jemaat/gereja, melainkan melampaui batas-batas pelayanan di mana hendak menjangkau semua orang di dalam masyarakat, semua orang dipersatukan oleh Roh Kudus di dalam Kristus kepala dari segala sesuatu (Ef


(5)

Bagan : Struktur GKI TP Tingkat : Sinode, Klasis dan Jemaat

BADAN PEKERJA AM SINODE GKI: KETUA WAKIL KETUA SEKRETARIS WAKIL SEKRETARIS BENDAHARA BADAN PEMERIKSA PERBENDAHARAAN GEREJA: KETUA SEKRETARIS SIDANG SINODE BADAN PEKERJA KLASIS GKI: KETUA WAKIL KETUA SEKRETARIS WAKIL SEKRETARIS BENDAHARA SEKRETARIS

TATA KEUANGA KEPEGAWAI

STAF STAF BADAN PEMERIKSA PERBENDAHARAAN GEREJA: KETUA SEKRETARIS SIDANG SINODE YAYASAN PERCETAKAN KETUA YAYASAN OTTOW-KETUA YAYASAN DIAKONIA KETUA YAYASAN PENDIDIKAN KETUA DEPARTEMEN PEKABARAN SEKRETARIS DEPARTEMEN PENELITIAN SEKRETARIS DEPARTEMEN PENDIDIKAN SEKRETARIS DEPARTEMEN PENDIDIKAN SEKRETARIS DEPARTEMEN PEMB. JEMAAT SEKRETARIS YAYASAN PENDIDIKA N KRISTEN TK SD KOMISI PEKABARAN INJIL SEKRETARIS SUKU TERASIN G PEMUKIM KOMISI PEMB. JEMAAT SEKRETARIS 4 ANGGOTA PAR PAM PW PKB KOMISI PENDIDIKAN ANAK SEKRETARI S PENDIDIK AN SOSIAL KOMISI EKUBANG SEKRETARI S EKONOMI KEUANGAN PEMBANGUN AN SIDANG SINODE URUSAN PEMBINAAN PAR. PAM. PW.

PKB URUSAN DIAKONIA KEGIATAN SOSIAL/KESEH ATAN URUSAN EKUBANG EKONOMI KEUANGAN PEMBANGUNA URUSAN PEKABARAN URUSAN PEKABARAN INJIL URUSAN TATA USAHA KESEKRETARIA TAN URUSAN PEMBINAAN PAR. PAM. PW.

PKB URUSAN DIAKONIA KEGIATAN SOSIAL/KESEH ATAN URUSAN EKUBANG EKONOMI KEUANGAN PEMBANGUNA URUSAN PEKABARAN URUSAN PEKABARAN INJIL URUSAN TATA USAHA KESEKRETARIA TAN MAJELIS JEMAAT

. KETUA .

WAKIL SEKRETARIS

. WAKIL KETUA .

BADAN PELAYANAN

BADAN PELAYANAN

JEMAAT GKI DI TANAH PAPUA

BADAN PELAYANAN BADAN PELAYANAN URUSAN PEMBINAAN PAR. PAM. PW.

PKB URUSAN DIAKONIA KEGIATAN SOSIAL/KESEH ATAN URUSAN EKUBANG EKONOMI KEUANGAN PEMBANGUNA URUSAN PEKABARAN URUSAN PEKABARAN INJIL URUSAN TATA USAHA KESEKRETARIA TAN


(6)

B. : Struktur GKI TP di Tingkat Jemaat

URUSAN PEMBINAAN

JEMAAT

PAR. PAM. PW. PKB URUSAN DIAKONIA KEGIATAN SOSIAL/KESEH ATAN URUSAN EKUBANG EKONOMI KEUANGAN PEMBANGUNA URUSAN PEKABARAN INJIL URUSAN PEKABARAN INJIL URUSAN TATA USAHA KESEKRETARIA TAN URUSAN PEMBINAAN JEMAAT

PAR. PAM. PW. PKB URUSAN DIAKONIA KEGIATAN SOSIAL/KESEH ATAN URUSAN EKUBANG EKONOMI KEUANGAN PEMBANGUNA URUSAN PEKABARAN INJIL URUSAN PEKABARAN INJIL URUSAN TATA USAHA KESEKRETARIA TAN MAJELIS JEMAAT

. KETUA .

WAKIL SEKRETARIS

. WAKIL KETUA .

BENDAHARA

. SEKRETARIATAN .

ANGGOTA (disesuaikan)

BADAN PELAYANAN

PAR - GKI

BADAN PELAYANAN

PAM - GKI

JEMAAT GKI DI TANAH PAPUA

BADAN PELAYANAN

PKB - GKI BADAN

PELAYANAN PW - GKI

URUSAN PEMBINAAN

JEMAAT

PAR. PAM. PW. PKB URUSAN DIAKONIA KEGIATAN SOSIAL/KESEH ATAN URUSAN EKUBANG EKONOMI KEUANGAN PEMBANGUNA URUSAN PEKABARAN INJIL URUSAN PEKABARAN INJIL URUSAN TATA USAHA KESEKRETARIA TAN SIDANG JEMAAT