Hak Ulayat di Tanah Papua

HAK ULAYAT DI TANAH PAPUA

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Agraria yang dibimbing
oleh Bapak Heru Supriyanto, BEM, MSi
Disusun oleh :
Ach. Febry Priyono

(02) 143030005207

Fikri Fardian Lazuardi

(10) 143030005193

Moch Prabowo Sudibyo

(19) 143030005197

Nasher Huwel

(25) 143030005208


Rizki Harni Manurung
Rohman Juani

(32) 143030005194
(33) 143030005180

PROGRAM DIPLOMA III KEUANGAN SPESIALISASI PENILAI
SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat ilmu
dan nikmat sehat kepada kami sehingga kami dapat meyelesaikan penulisan makalah
ini tepat waktu. Makalah kami yang berjudul “Hak Ulayat di Papua” membahas
tentang hak ulayat dan permasalah permasalahannya di daerah Papua.
Dalam penulisan ini kami mendapat banyak bantuan. Oleh karna itu sudah
selayaknya kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam penulisan makalah kami, khususnya kepada Bapak Heru
Supriyanto, BEM, MSi selaku dosen mata kuliah hukum agraria yang telah

membimbing kami dalam penulisan makalah ini.
Kami sadar dalam makalah ini masih banyak kekurangan oleh karna itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, sehingga
kedepannya kami dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.

Bintaro, 27 Juli 2015

Tim Penyusun

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................3
C. Tujuan ............................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................5
A. Pengertian Hukum Adat.................................................................................4
B. Hukum Adat dalam Perundang-undangan......................................................7
C. Tinjauan Umum tentang Hak Ulayat di Papua...............................................11
1. Pengertian Hak Ulayat, Tanah Ulayat, Masyarakat Hukum Adat, dan

Daerah........................................................................................................11
2. Profil Singkat dan Sejarah Hak Ulayat di Papua.......................................12
3. Subyek dan Obyek Hak Ulayat serta Cara terjadinya...............................13
4. Kedudukan Hak Ulayat setelah berlakunya Peraturan Menteri

Agraria/Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat
15
5. Hak Membuka Hutan sebagai Faktor Penyebab Konflik Pertanahan
adat ............................................................................................................17
6. Pengaruh dan Hubungan Hak Ulayat terhadap Penilaian Properti di
Papua.........................................................................................................25
7. Pelepasan Hak Atas Tanah.........................................................................28

8. Sengketa Perkara Tanah di Papua dan Cara Penyelesaiannya...................29
BAB III PENUTUP....................................................................................................34
A. Kesimpulan.....................................................................................................38
iii

B. Saran ............................................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................41

iv

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konsep hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat, sehingga
mengakui adanya hak ulayat masyarakat hukum adat di berbagai wilayah di Indonesia
yang telah lebih dulu ada dan mendiami tanah-tanah di Indonesia, bahkan sebelum
Indonesia merdeka. Walaupun tidak dijelaskan secara detail mengenai pengertian hak
ulayat, namun Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) memberikan
pengakuan terhadap adanya hak ulayat dalam hukum pertanahan nasional. Hak ulayat

merupakan hak penguasaan tertinggi dalam masyarakat hukum adat tertentu atas
tanah yang merupakan kepunyaan bersama para warganya. Meskipun demikian,
ketentuan dalam UUPA juga memberikan batasan terkait dengan eksistensi dari hak
ulayat masyarakat hukum adat. Adapun batasan tersebut adalah sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, serta tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
G. Kertasapoetra (1985:88) menyatakan bahwa “Hak ulayat adalah hak
tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum untuk menjamin
ketertiban pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Masyarakat memiliki hak untuk
menguasai tanah dimana pelaksanaannya diatur oleh kepala suku atau kepala desa.”
Hak ulayat memiliki wewenang untuk:
1. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman,
bercocok tanam), persediaan (pembuatan pemukiman/persawahan baru), dan
pemeliharaan tanah;
1

2. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dan tanah; dan
3. Menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan hukum
yang berkenaan dengan tanah (jual beli, warisan).
Penguasaan dan pengaturan serta penyelenggaraan penggunaan tanah oleh

Negara diarahkan pemanfaatannya dengan mempertahankan Hak Atas Tanah Ulayat,
Tanah Rakyat dan fungsi sosial untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Hal tersebut lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 6 Undang-Undang Pokok
Agraria No. 5 Tahun 1960 yang berbunyi: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial”. Penguasaan terhadap tanah hak ulayat termasuk di Papua seharusnya
mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960 dan peraturan
pelaksanaan lainnya.
Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua
(Otsus Papua) memberikan pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat yang ada di
Papua. Pasal 1 huruf s menjelaskan bahwa hak ulayat adalah hak persekutuan yang
dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu, yang
merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan
tanah, hutan, air serta isinya sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pengakuan
terhadap hak ulayat di Papua dipertegas juga di dalam Pasal 38 ayat (2) UU Otsus
Papua yang menyatakan bahwa usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang
memanfaatkan sumber daya alam harus dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak
masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, dan
pembangunan berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka pemerintah harus melakukan sinkronisasi antara
kepentingan untuk memberikan perlindungan terhadap hak ulayatdengan memberikan

2

kepastian hukum kepada pengusaha. Pasal 43 UU Otsus juga memberikan legitimasi
adanya pengakuan dari Pemerintah Provinsi Papua terhadap hak ulayat masyarakat
hukum adat di Papua dimana pada pasal tersebut membahas mengenai perlindungan
terhadap hak-hak masyarakat adat.
Akan tetapi, pada pelaksanaannya acap kali terjadi konflik antara masyarakat
hukum adat Papua dengan pemerintah, baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah
Kabupaten terkait dengan hak-hak masyarakat adat Papua, khususnya hak ulayat.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa saja faktor yang menyebabkan konflik antara
masyarakat hukum adat Papua dengan pemerintah terkait hak ulayat
2. Mencari penyelesaian hukum terhadap sengketa Tanah Hak Ulayat.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dapat diidentifikasi masalah sebagai
berikut:
1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan konflik antara masyarakat hukum adat
Papua dengan pemerintah terkait hak ulayat?
2. Bagaimana penyelesaian hukumnya terhadap sengketa Tanah Hak Ulayat yang
sudah didaftarkan dan telah terbit sertifikatnya?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Adat
Hukum adat merupakan istilah tehnis ilmiah, yang menunjukkan aturan-aturan
kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat yang tidak berbentuk peraturan

3

perundangan yang dibentuk oleh penguasa pemerintahan. Beberapa definisi hukum
adat yang dikemukakan para ahli hukum, antara lain sebagai berikut:
1. Prof.Van Vallenhoven, yang pertama kali menyebut hukum adat memberikan
definisi hukum adat sebagai : “ Himpunan peraturan tentang perilaku yang
berlaku bagi orang pribumi dan timur asing pada satu pihak yang mempunyai
sanksi (karena bersifat hukum) dan pada pihak lain berada dalam
keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat).Abdulrahman , SH menegaskan
rumusan Van Vallenhoven dimaksud memang cocok untuk mendeskripsikan
apa yang dinamakan Adat Recht pada jaman tersebut bukan untuk Hukum
Adat pada masa kini.
2. Prof. Soepomo, merumuskan Hukum Adat: Hukum adat adalah synomim

dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislative (statuary law),
hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara
(Parlemen, Dewan Propinsi dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai
peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di
kota maupun di desa-desa.
3. Prof. Soekanto, merumuskan hukum adat: Komplek adat adat inilah yang
kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan
mempunyai sanksi (dari itu hukum), jadi mempunyai akibat hukum, komplek
ini disebut Hukum Adat
4. Prof. Soeripto: Hukum adat adalah semua aturan-aturan/ peraturan-peraturan
adat tingkah laku yang bersifat hukum di segala kehidupan orang Indonesia,
yang pada umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat dianggap patut dan
mengikat para anggota masyarakat, yang bersifat hukum oleh karena ada
4

kesadaran keadilan umum, bahwa aturan-aturan/ peraturan itu harus
dipertahankan oleh petugas hukum dan petugas masyarakat dengan upaya
paksa atau ancaman hukuman (sanksi).
5. Hardjito Notopuro: Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, hukum
kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam

menyelenggarakan tata kedilan dan kesejahteran masyarakat dan bersifat
kekeluargaan.
6. Suroyo Wignjodipuro: Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang
bersumber apada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta
meliputi peraturan tingkat laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai akibat hukum
(sanksi).
7. Seminar Hukum Adat dan pembinaan Hukum Nasional: Hukum adat diartikan
sebagai Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundangundangan Republik Indonesia, yang disana sini mengandung unsur agama.
8. Sudjito Sastrodiharjo menegaskan: Ilmu hukum bukan hanya mempelajari apa
yang disebut das sollen, tetapi pertama kali harus mengingat das sein. Hukum
adat merupakan species dari hukum tidak tertulis, yang merupakan genusnya.
Selanjutnya dalam memahami perkembangan hukum adat dalam masyarakat,
maka Prof. Van Vallenhoven merumuskan: Jikalau dari atas (penguasa) telah
diputuskan untuk mempertahankan Hukum Adat padahal hukum itu sudah mati, maka
penetapan itu akan sia-sia belaka. Sebaliknya seandainya telah diputuskan dari atas
bahwa Hukum Adat harus diganti, padahal di desa-desa, di ladang-ladang dan di
pasar-pasar hukum itu masih kokoh dan kuat, maka hakim-pun akan sia-sia belaka.
5


Dengan kata lain memahami hukum adat harus dilakukan secara dinamik, dan selaras
antara atas – yang memutuskan – dan bawah yang menggunakan - agar dapat
diketahui dan dipahami perkembangannya.
Menurut Soepomo, Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena
ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Dalam berbagai seminar,
maka berkembang kemudian hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) yang
lazim dipergunakan untuk, menunjukkan berbagai macam hukum yang tumbuh dan
berkembang dengan sendirinya di dalam masyarakat, yang menurut Satjipto Raharjo,
akan tetap ada sebagai kelengkapan dari Hukum Nasional. Penyebutan Hukum Adat
untuk hukum yang tidak tertulis tidak mengurangi peranannya dalam memberikan
penyaluran dari kebiasaan, kepentingan-kepentingan yang tidak terucapkan dalam
hukum tertulis.

B. Hukum Adat dalam Perundang-undangan
Pada tahun 2000 MPR melakukan amandemen II terhadap UUD 1945 dan
pengaturan tentang keberadaan MHA (Masyarakat Hukum Adat) yang keberadaannya
diatur di dalam Pasal 18 B ayat (2) dalam bab tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal
28 l ayat (3) dalam bab tentang Hak Asasi Manusia. Adapun bunyi lengkap kedua
pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 18 B ayat (2) :

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
6

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Keratuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang”.

Pasal 28 l ayat (3):

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban”.

Berbeda dengan perumusan Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 lama, dalam
perumusan Pasal 18 B ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 hasil amandemen tersebut
dicantumkan sejumlah persyaratan terhadap pengakuan dan penghormatan atas
keberadaan kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat tersebut. Asal-usul dan
kedudukan istimewa yang dimiliki daerah-daerah tersebut sebagaimana diakui oleh
Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 lama tidak lagi diakui, sehingga harus
dihapuskan dengan tidak dicantumkannya kembali dalam U.U.D 1945 amandemen II.

Pengakuan terhadap hukum adat atau hak-hak adat khususnya dalam bidang
pertanahan salh satunya diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan peraturan di bawahnya. Dalam Penjelasan
Umum angka III Undang-Undang Pokok Agraria dinyatakan, bahwa : “Dengan
sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum
aripada rakyat banyak, oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada
hukum adat, maka hukum agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada
ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan
dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dalam
7

hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme
Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka Hukum Adat dalampertumbuhannya tidak
terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan
masyarakat swapraja yang feodal”.

Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan
Negara diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya
didalam alam bernegara dewasa ini. Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada
pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum-agraria yang baru. Sebagaimana
diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta
diperhatikan pula didalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut
diakui secara resmi didalam Undang-Undang, dengan akibat bahwa didalam
melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu
sering kali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat didalam Undangundang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka
pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut
kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan.
Misalnya didalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna-usaha)
masyarakat hukum yang bersangkuatan. sebelumnya akan didengar pendapatanya dan
akan diberi “recognitie“, yang memang ia berhak menerimanya selaku pegang hak
ulayat itu.

Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu
masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna-usaha itu,
8

sedangkan pemberian hak tersebut didaerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang
lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum
berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara
besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam
rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan
penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu
sendiri seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah
yang merupakan pangkal pikiran kedua dari pada ketentuan dari padal 3 tersebut
diatas. Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan
nasional dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus
sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan, jika
didalam

alam

bernegara

dewasa

ini

sesuatu

masyarakat

hukum

masih

mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan- akan ia
terlepas dari pada hubungannya dengan masyarakat- masyarakat hukum dan daerahdaerah lainnya didalam lingkungan Negara sebagai kesatuan.

Sikap yang demikian terang bertentangan dengan azas pokok yang tercantum
dalam pasal 2 dan dalam prakteknya pun akan membawa akibat terhambatnya usahausaha besar untuk mencapai kemakmuran Rakyat seluruhnya. Tetapi sebagaimana
telah jelas dari uraian diatas, ini tidak berarti, bahwa kepentingan masyarakat hukum
yang bersangkutan tidak akan diperhatikan sama sekali.

Dalam pasal 5 dinyatakan bahwa, “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi,
air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
9

sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
undang-undang ini (UUPA) dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Selanjutnya dalam
penjelasan pasal 16 dinyatakan bahwa, Pasal ini adalah pelaksanaan daripada
ketentuan dalam pasal 4. Sesuai dengan asas yang diletakkan dalam pasal 5, bahwa
Hukum Pertanahan yang Nasional didasarkan atas Hukum Adat, maka penentuan
hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari
Hukum Adat. Dalam pada itu hak guna usaha dan hak guna usaha bangunan
diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat modern dewasa ini, perlu kiranya
ditegaskan bahwa hak guna usaha bukan hak erepacht dari Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, dan hak guna bangunan bukan hak opstal. Lembaga erepacht dan
opstal ditiadakan dengan dicabutnya ketentuan-ketentuan dalam buku ke II Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.Dalam pada itu, hak-hak adat yang bersifat
bertentangan dengan Undang-undang ini tetapi berhubungan dengan keadaan
masyarakat sekarang ini belum dapat dihapuskan, diberi sifat sementara dan akan
diatur.Pasal 56 juga menjelaskan bahwa, Selama undang-undang mengenai hak milik
sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah
ketentuan-ketentuan Hukum Adat setempat. Sepanjang tidak bertentangan dengan
jiwa dan ketentuan undang-undang ini (UUPA).

C. Tinjauan Umum tentang Hak Ulayat di Papua
1. Pengertian hak ulayat, tanah ulayat, masyarakat hukum adat, dan daerah

10

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :
1.

Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk
selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenagan yang menurut hukum adat
dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang
merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari
sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan
hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahirian dan
batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat

tersebut dengan wilayah yang bersangjitan.
2. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu
masyarakat hukum adat tertentu.
3. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal atauopun atas dasar keturunan.
4. Daerah adalah daerah otonom yang berwenang melaksanakan urusan
pertanahan sebagaiman dimaksud dalam undang-undang Nomor 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah.

2.

Subyek dan obyek hak ulayat serta cara terjadinya
Menurut Boedi Harsono subyek Hak Ulayat adalah masyarakat hukum adat
yang mendiami suatu wilayah tertentu. Masyarakat hukum adat terbagi menjadi 2
(dua) yaitu :
11

1. Masyarakat hukum adat teritorial disebabkan para warganya bertempat tinggal
di tempat yang sama.
2. Masyarakat hukum adat geneologik, disebabkan para warganya terikat oleh
pertalian darah.
Selanjutnya, Bushar Muhamad mengemukakan obyek Hak Ulayat meliputi:
a. Tanah (daratan)
b. Air (perairan seperti : kali, danau, pantai, serta perairannya)
c. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon untuk
kayu pertukangan atau kayu bakar dan sebagainya).
d. Binatang liar yang hidup bebas didalam hutan.

3.

Profil Singkat dan Sejarah Hak Ulayat di Papua
a. Profil Papua
Pulau Papua atau Guinea Baru (Bahasa Inggris: New Guinea, diindonesiakan
menjadi Nugini) atau yang dulu disebut denganPulau Irian, adalah pulau terbesar
kedua (setelah Tanah Hijau) di dunia yang terletak di sebelah utara Australia. Pulau
ini dibagi menjadi dua wilayah yang bagian baratnya dikuasai oleh Indonesia dan
bagian timurnya merupakan negara Papua Nugini. Di pulau yang bentuknya
menyerupai

burung cendrawasih ini

terletak

gunung

tertinggi

di

Indonesia,

yaitu Puncak Jaya (4.884 m).
Nama Irian digunakan dalam Bahasa Indonesia untuk mengacu terhadap pulau
ini juga terhadap provinsi, sebagaimana "Provinsi Irian Jaya". Nama ini diusulkan
pada tahun 1945 oleh Marcus Kaisiepo, saudara dari Gubernur yang akan
datang Frans Kaisiepo. Nama ini diambil dari Bahasa Biak yang berarti beruap,
atau semangat untuk bangkit. Nama ini juga digunakan dalam bahasa pribumi lain
seperti Bahasa Serui, Bahasa Merauke dan Bahasa Waropen. Nama ini digunakan
12

sampai tahun 2001 dimana pulau beserta provinsinya kembali dinamakan Papua.
Nama Irian yang awalnya disukai oleh penduduk asli Papua, sekarang dianggap
sebagai nama yang diberikan oleh Jakarta.

Istilah "Papua" digunakan untuk merujuk kepada pulau ini secara keseluruhan.
Istilah "Papua" sekarang juga digunakan untuk merujuk kepada dua provinsi di Papua
bagian barat yang termasuk dalam wilayah pemerintahan negara Indonesia,
yaitu Papua danPapua Barat. Namun beberapa publikasi (lihat misalnya Kartikasari et
al. 2007) membatasi penggunaan nama "Papua" untuk bagian barat Pulau Nugini.
b. Sejarah Hak Ulayat di Papua
Pola Penguasaan lahan pada Masyarakat Papua Tanah dan hutan bagi
masyarakat adat Papua dan juga masyarakat adat pada umumnya bukan saja
merupakan sumber kehidupan ekonomi semata, namun juga merupakan sentral
kebutuhan spiritual. Terdapat konsep kunci dalam tradisi masyarakat adat Papua,
bahwa tanah adalah “ibu”. Hingga kini sesungguhnya bagi masyarakat adat Papua,
tanah tidak bisa diperjualbelikan (Rahman 2007).
Penguasaan hak akan lahan pada masyarakat adat di Papua sama halnya pada
masyarakat Dayak di Pulau Kalimantan. Pada sebagian masyarakat adat di Papua,
pola penguasaan lahan awalnya dilakukan berdasarkan siapa yang pertama kali
membuka dan mengerjakan areal hutan yang belum dikuasai oleh orang lain. Pada
sebagian yang lain, awal penguasaan wilayah oleh suatu marga didasarkan pada lokasi
yang dijelajahinya pertama kali pada saat berburu binatang di areal hutan yang belum
dikuasaimarga lain. Begitu areal belum bertuan tersebut dikerjakan oleh suatu
13

kelompok marga, maka secara ulayat lahan tersebut adalah milik marga yang
bersangkutan (hak ulayat ) dan penguasaan ini dapat diwariskan kepada
keturunannya, terutama keturunan laki-laki (hak waris) (Tokede,eta1.,2005 dalam
Wiliam, et al.,2005). Seringkali pertumpahan darah dan perang tanding (raha) menjadi
lumrah ketika penyelesaian sengketa tanah melalui lembaga tradisional telah tereduksi
badan peradilan umum. Keputusan hakim yangtidak memenuhi rasa keadilan
masyarakat mefasilitasi perang berkepanjangan. Kasus tertikamnya hakim diRuteng
karena mengabaikan kearifan tradisional dalam pertimbangan pengambilan keputusan
adalahcontoh menarik, betapa harga untuk suatu proses peradilan yang tidak bersih
sangatlah mahal. Protessporadis masyarakat Amungme terhadap kehadiran Freeport
merupakan contoh lain ketika banyak pihak mengabaikan peran tokoh adat tradisional
sebagai pemangku hukum adat.Dari tinjauan dilapangan yang kami lakukan baik dari
beberapa tulisan dan diskusi langsung denganMasyarakat Papua pada penelitian yang
kami lakukan di Taman Nasional Teluk Cendrawasih, bahwa hampirseluruh
masyarakat Papua mempunyai cara pandang yang sama dalam memaknai sumberdaya
alam yangmereka miliki, bahwa menurut mereka alam adalah Mama/Ibu bagi
masyarakat Papua. (Kristiantoet al. 2004).
4.

Kedudukan hak ulayat setelah berlakunya peraturan menteri agraria/badan
pertanahan nasional no.5 tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah
hak ulayat masyarakat hukum adat
Menurut Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1999 menurut Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan Hak Ulayat
adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk
14

mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut,
bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara
lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut yang bersangkutan.
Pasal 2 ayat (1) pelaksanaan Hak Ulayat sepanjang pada kenyataannya masih
ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan
hukum adat setempat. Pasal 2 ayat (2) Hak Ulayat masyarakat hukum adat dianggap
masih ada apabila :
1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang
mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam
kehidupannya sehari-hari.
2. Terdapat tanah Ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya
sehari-hari.
3. Terdapat tatanan hukum adat menguasai pengurusan, penguasaan dan
penggunaan tanah ulayat yang berlau dan ditaati oleh para warga persekutuan
hukum tersebut.
Dalam Pasal 4 ayat (1) penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk Tanah
Ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 oleh perseorangan dan badan hukum
dapat dilakukan :
1. Oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak

penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila
dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah yang
sesuai menurut ketentuan UUPA.
15

2. Oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga

masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut
ketentuan UUPA berdasarkan pemberian hak dari negara setelah tanah tersebut
dilepaskan oleh masyarakat hukum adat atau oleh warganya sesuai dengan
ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.
Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat, dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah melaksanakan
urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah Hak Ulayat
masyarakat adat yang nyata-nyata masih ada didaerah yang bersangkutan.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan
terhadap Hak Ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat, sebagaimana
dimaksud dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria.
Kebijaksanaan tersebut meliputi :
a. Penyamaan persepsi mengenai Hak Ulayat (Pasal 1)
b. Kriteria dan penentuan masih adanya Hak Ulayat hak yang serupa dari
masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan Pasal 5).
c. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah Ulayatnya ( Pasal 2 dan
5.

Pasal 4 )
Hak Membuka Tanah sebagai Faktor Penyebab Konflik Pertanahan Adat
Masyarakat hukum adat Papua merupakan masyarakat asli Papua yang hidup
dalam wilayah dan terikat pada adat tertentu dengan rasa solidaritas tinggi di antara
para anggotanya. Dalam hukum adat Papua, hak ulayat adalah hak kepemilikan
komunal atas tanah berdasarkan klan maupun berdasarkan gabungan beberapa klan.
Dalam hak kepemilikan komunal yang berdasarkan satu klan, kepala klan seperti anak
16

laki-laki sulung dari pendiri klan mempunyai kekuasaan untuk mengatur pemanfaatan
tanah, dan kekuasaan tersebut dapat diwariskan. Klan merupakan persekutuan hukum
terkecil secara geneologis patrilineal yang memiliki kesamaan hubungan darah dan
mendiami suatu wilayah hukum adat tertentu.
Dalam hak kepemilikan komunal yang berdasarkan gabungan klan, kepala
Ondoafi mempunyai kekuasaan untuk mengatur hak tersebut dibantu oleh sejumlah
orang (khoselo). Kawasan ulayat yang dimiliki kelompok-kelompok suku ini sangat
luas dan membutuhkan beberapa hari untuk dapat melintasinya. Seringkali ketika kita
melintasi kawasan tersebut tidak dijumpai pemukiman atau bahkan manusia.
Walaupun demikian, mereka mengenal batas-batas hak ulayat, misalnya dalam bentuk
pohon besar, gunung, sungai, rawa, batu besar dan sebagainya. Oleh karena itu,
pendapat yang menyatakan bahwa kawasan demikian tidak bertuan adalah tidak tepat.
Hukum adat sudah mengatur kepemilikan tanah, hutan, gunung dan segala yang ada
di dalamnya di seluruh tanah Papua.
Bagi masyarakat Papua sendiri, tanah mengandung arti yang sangat penting.
Tidak hanya sekedar memiliki nilai ekonomis, tetapi juga memiliki nilai religius.
Pandangan filosofis masyarakat Papua menganggap tanah sebagai “ibu” bagi mereka,
sehingga apapun dan bagaimanapun caranya harus dipertahankan dan tidak dapat
diperjualbelikan. Menurut Oloan Sitorus, konsep yang mendasari hukum adat
mengenai tanah adalah konsep komunalistik religius. Namun, karakteristik
masyarakat Papua yang memandang tanah secara religius ini sering tidak sejalan
dengan kebutuhan pembangunan yang sangat memerlukan tanah sebagai obyek untuk
pembangunan.

17

UU Otsus Papua mengatur segala persoalan pembangunan dalam segala
bidang, seperti ekonomi, sosial, politik, dan budaya, sehingga secara keseluruhan
dapat dikatakan bahwa UU Otsus Papua mengembalikan hak-hak dasar orang asli
Papua. Dalam penjelasan UU Otsus Papua juga diberikan kewenangan kepada
Provinsi Papua dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian diharapkan
Pemerintah Provinsi Papua dapat lebih memanfaatkan kekayaan di Papua, termasuk
dengan memberdayakan potensi sosial budaya yang terdapat di Papua. Pemerintah
Provinsi Papua sangat diharapkan untuk memberikan peran yang lebih penting kepada
masyarakat hukum adat yang ada di Papua.
Bertitik tolak dari landasan yuridis di atas, maka masyarakat adat Papua
mendapat tempat yang sentral khusus di dalam pembangunan Provinsi Papua. Selama
ini pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum
digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat adat, sehingga
telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dengan daerah
lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua. Hak-hak dasar
dimaksud antara lain hak memperoleh kehidupan yang layak dan hak untuk
memperoleh pekerjaan dan hak untuk menyampaikan pendapat. Hak dasar ini
berkorelasi dengan hak kepemilikan masyarakat hukum adat terhadap sumber daya
alam, termasuk di dalamnya hak ulayat.
Beberapa ketentuan dalam UU Otsus Papua menjelaskan tentang bagaimana
Pemerintah Provinsi Papua harus memperhatikan hak ulayat yang dimiliki oleh
masyarakat adat Papua dalam melakukan pengembangan daerah Papua, khususnya
yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam di Papua. Pasal 64 ayat (1) UU
18

Otsus Papua menjelaskan bahwa Pemerintah Provinsi Papua wajib melindungi
sumber daya alam, baik hayati ataupun non hayati, dengan tetap memperhatikan hak
ulayat milik masyarakat adat Papua. Selain itu Pemerintah Provinsi Papua juga harus
mengkaji apakah pemanfaatan sumber daya alam tersebut sudah memperhatikan
kesejahteraan penduduk atau belum.
Menindaklanjuti perlindungan terhadap hak-hak masyarakat asli Papua, UU
Otsus mengeamanatkan untuk dibentuk Majelis Rakyat Papua (MRP). Salah satu
kewenangan dan tugas dari MRP yang berkaitan dengan perlindungan hak ulayat
masyarakat adat Papua adalah memberikan saran, pertimbangan, dan persetujuan
terhadap rencanana kerjasama antara Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan
pihak ketiga di wilayah Papua, khususnya yang menyangkut dengan perlindungan
hak-hak asli orang Papua. Selain itu, MRP juga bertugas untuk menyalurkan aspirasi,
pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan, dan masyarakat pada
umumnya yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat asli Papua dan memfasilitasi
tindak lanjutnya.
Pada tahun 2008, Pemerintah Provinsi Papua menerbitkan Peraturan Daerah
Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.
Tujuan dari diterbitkannya Perda Hak Ulayat ini adalah sebagai bentuk pengakuan
dan perlindungan dari Pemerintah Provinsi Papua terhadap hak ulayat masyarakat
hukum adat. Diharapkan dengan adanya Perda Hak Ulayat ini, peran dari masyarakat
adat Papua dalam pembangunan di Papua semakin diperhitungkan dan dilibatkan.
(Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat

19

Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas
Tanah.)
Akan tetapi, pada kenyataannya isi dari Perda Hak Ulayat ini memiliki banyak
kejanggalan terkait dengan eksistensi masyarakat adat Papua dan keberadaan hak
ulayat masyarakat tersebut. Beberapa pasal di dalam Perda Hak Ulayat cenderung
merugikan keberadaan hak ulayat masyarakat adat Papua. Ketentuan di dalam Perda
Hak Ulayat seakan-akan memposisikan eksistensi masyarakat adat Papua dan
hakhaknya sebagai sesuatu yang harus mendapat pengakuan dari Pemerintah Provinsi
Papua. Aturan dalam Perda Hak Ulayat mengharuskan keberadaan hak ulayat
masyarakat adat Papua didasarkan pada hasil penelitian.
Penelitian tersebut dilakukan pada wilayah masyarakat hukum adat tertentu
sesuai dengan yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota. Penelitian itu jugalah
yang nantinya akan menentukan batas hak ulayat masyarakat hukum adat tersebut.
Hasil penelitian tersebut kemudian disampaikan kepada bupati/walikota dan/atau
gubernur untuk kemudian ditetapkan ada atau tidaknya hak ulayat masyarakat hukum
adat tersebut. Hal inilah yang acapkali menjadi faktor pertentangan hak ulayat antara
masyarakat hukum adat Papua dengan pemerintah. Adanya penetapan dari kepala
daerah terkait keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat maupun penentuan luas
wilayah hak ulayat sangat rentan untuk disalahgunakan oleh pemerintah untuk
menguntungkan pihak lain yang juga ingin memanfaatkan tanah ulayat tersebut untuk
kepentingan pihak tertentu. Permasalahan tersebut bertentangan dengan ketentuan di
dalam Pasal 43 ayat (3) UU Otsus yang menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat
dilakukan oleh masyarakat adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat
setempat.
20

Selain itu, dalam praktiknya pemerintah sering bersikap tidak adil kepada
masyarakat hukum adat dengan cara mengambil tanah adat, tanpa melakukan
pelepasan secara adat. Pemerintah sering melakukan ini untuk memberikan
kewenangan kepada perusahaan-perusahaan untuk mengelola tanah ulayat. Padahal,
hak ulayat itu diberikan kepada masyarakat adat setempat agar dapat mengelola tanah
yang mereka tempati untuk kesejahteraan masyarakat adat itu sendiri. Hal inilah yang
menyebabkan masyarakat adat yang menggantungkan penghidupannya dari tanah
tersebut menjadi kehilangan sumber penghidupannya. Pemerintah juga sering
menggunakan alasan “demi kepentingan umum” sebagai alasan untuk menggunakan
tanah ulayat masyarakat hukum adat di Papua. Hal ini bertentangan dengan aturan
dalam Pasal 43 UU Otsus Papua yang menegaskan bahwa Pemerintah Provinsi Papua
wajib mengakui hak-hak masyarakat adat Papua serta mengembangkannya.
Pemerintah juga tidak jarang enggan melakukan ganti rugi adat kepada masyarakat
hukum adat terkait pemanfaatan tanah ulayat.
Secara umum permasalahan hak ulayat sering mengalami posisi dilematis.
Hak ulayat yang berlaku di Papua menjadikannya lebih dominan digunakan dalam
menyelesaikan permasalahan tanah dibandingkan dengan menggunakan hukum
positif, seperti menggunakan sistem tanah bersertifikasi. Masyarakat hukum ada
Papua sering menggugat sistem pertanahan yang bersertifikasi. Di satu sisi, dilema ini
yang menjadikan hak ulayat menjadi faktor penghambat pembangunan di Papua.
Investor merasakan bahwa kepemilikan tanah secara adat sering menciptakan iklim
investasi yang tidak kondusif dan mengecewakan. Ironisnya, Pemerintah selaku
pemangku kepentingan terhadap jalannya pembangunan sekaligus pelindung terhadap
eksistensi masyarakat hukum adat Papua sering melakukan tindakan yang tidak
21

melakukan pendekatan secara baik. Pemerintah dan pihak ketiga yang diberikan
kewenangan untuk memanfaatkan tanah ulayat di Papua sering menganggap ketika
kompensasi atas pembebasan tanah sudah diberikan kepada masyarakat hukum adat,
maka permasalahan sudah dianggap selesai. Pemerintah sering kali lalai
memperhatikan kesejahteraan dan masa depan dari masyarakat hukum adat tersebut.
Kasus PT Freeport dengan masyarakat Suku Amungme adalah salah satu
contoh kasus sengketa hak ulayat di Papua yang masih belum menemui jalan keluar.
Suku Amungme selaku pemegang hak ulayat di daerah Mimika, tempat PT Freeport
beroperasi, mengaku belum pernah menerima ganti rugi penguasaan tanah ulayat oleh
PT Freeport sejak tahun 1967. Selain itu, suku-suku yang masih tinggal di sekitar
daerah PT Freeport juga tidak mendapatkan kesejahteraan yang layak. Akibatnya,
terjadi kesenjangan antara penduduk asli dengan pendatang. Permasalahan ini belum
lagi ditambah adanya kasus kekerasan terhadap masyarakat adat Papua yang
dilakukan oleh pemerintah, serta kasus penembakan yang dilakukan kelompok
bersenjata terhadap karyawan PT Freeport.
Kesulitan lain dalam penyelesaian sengketa hak ulayat yang ada di Papua
adalah berbeda-bedanya cara penyelesaian yang dilakukan di masing-masing tanah
ulayat. Sebagai contoh, proses penyelesaian tanah ulayat dengan suku-suku di daerah
pesisir berbeda dengan suku-suku di daerah gunung. Hal ini menyebabkan sulitnya
memberikan standar yang sama terkait dengan penyelesaian hak ulayat di Papua. Di
samping itu, pada kenyataannya MRP yang seharusnya bisa menjadi penengah atau
penyalur aspirasi masyarakat adat tidak banyak bekerja dalam proses penyelesaian
sengketa hak ulayat antara pemerintah dengan masyarakat hukum adat Papua. Kondisi
tersebut disebabkan karena masih ketatnya aturan adat yang ada di Papua. Umumnya
22

orang-orang yang duduk di MRP adalah orang-orang yang tidak memiliki kedudukan
penting dalam struktur masyarakat adat, sehingga ketika MRP harus berhadapan
dengan kepala-kepala suku atau tetua adat, MRP tidak dapat berbuat banyak karena
posisi mereka yang tidak tinggi di dalam struktur masyarakat adat.
Namun pada kasus tertentu, ditemukan juga ketidakpastian dari masyarakat
hukum adat itu sendiri terkait kepemilikan hak ulayat atas tanah. Pada kasus tanah
ulayat yang dijadikan Bandara Wamena, pemerintah sudah melakukan ganti rugi
terhadap tanah ulayat milik Suku Wamena. Akan tetapi, ketika satu suku sudah
diberikan ganti rugi oleh pemerintah, suku yang lain juga meminta ganti rugi kepada
pemerintah karena mengklaim memiliki hak ulayat pada tanah yang sama. Banyaknya
jumlah suku di Papua memiliki potensi bagi masing-masing suku untuk mengakui hak
ulayatnya. Kondisi ini menyebabkan batas wilayah hak ulayat menjadi tumpang tindih
dan menjadi kabur.
Keterkaitan hukum dan tanah adat di Indonesia
Menurut hukum adat di Indonesia, ada 2 (dua) macam hak yang timbul atas
tanah, antara lain yaitu:
1. Hak persekutuan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati,
diusahai oleh sekelompok manusia yang hidup dalam suatu wilayah tertentu
yang disebut dengan masyarakat hukum (persekutuan hukum). Lebih lanjut,
hak persekutuan ini sering disebut dengan hak ulayat, hak dipertuan, hak
purba, hak komunal, atau beschikingsrecht.
2. Hak Perseorangan, yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati,
diusahai oleh seseorang anggota dari persekutuan tertentu.

23

Hukum Tanah Adat sebelum berlakunya UUPA Sebelum berlakunya UUPA,
tanah adat masih merupakan milik dari suatu persekutuan dan perseorangan. Tanah
adat tersebut mereka pergunakan sesuai dengan kebutuhan mereka dalam
memanfaatkan dan mengolah tanah itu, para anggita persekutuan berlangsung secara
tertulis. Selain itu dalam melakukan tindakan untuk menggunakan tanah adat, harus
terlebih dahulu diketahui atau meminta izin dari kepala adat. Dengan demikian
sebelum berlakunya UUPA ini tanah adat masih tetap milik anggota persekutuan
hukum, yang mempunyai hak untuk mengolahnya tanpa adanya pihak yang melarang.
6.

Pengaruh dan Hubungan Hak Ulayat terhadap Penilain Properti di Papua
Berikut ini merupakan sebuah kasus nyata pertanahan di Papua yang
berhubungan dengan nilai properti.
Kantor Transmigrasi didatangi oleh seorang putra daerah di sekitar Distrik
Muara Tami, Koya Barat. Dia minta uang pelepasan adat atas tanah yang sudah
dipergunakan oleh sub-unit pelaksana perusahaan kami sejak lama (lebih dari 20
tahunan).
Tanah itu didapat dari Dinas Transmigrasi. Memang dulunya lokasi itu adalah
lokasi transmigrasi. Dinas Transmigrasi pun dulu pernah melakukan pembayaran
ganti-rugi dan pelepasan hak atas tanah adat kepada masyarakat setempat.
Lalu, bagaimana ceritanya masyarakat masih menuntut uang pelepasan adat
kepada perusahaan kami? Ini memang sulit diterima logika orang-orang melayu.
Keliatannya ada perbedaan logika hukum antara orang asli Papua dengan orang
Indonesia ras melayu (tanpa bermaksud membeda-bedakan ras).
Logika melayu berkata demikian:

24

Jika A membeli tanah kepada pihak masyarakat adat, maka masyarakat akan
melepaskannya untuk A. Setelah A mendapat pelepasan, maka bisa dijadikan
pelepasan itu untuk sertifikat hak atas tanah. Setelah jadi sertifikat, kalau A mau jual
kepada pihak B maka itu adalah urusan A dan B sepenuhnya. Jual beli hanya
dilakukan antara A dengan B. Selesai.
Namun demikian, logika Papua mengatakan:
Jika A membeli tanah dari masyarakat adat, maka masyarakat akan membuat
pelepasan adat untuk A. Tanah itu boleh A sertifikatkan dengan dasar ada pelepasan
adat. Jika Å mau menjual kembali tanah itu, maka urusan A memang selesai. A dan B
jual-beli secara biasa. Tapi, B akan berurusan dengan adat karena adat berpikiran
bahwa pelepasan dulu dilakukan oleh adat kepada A, bukan kepada B. Oleh karena
itu, B harus membayar uang pelepasan adat kepada pihak adat. Jadi B harus
membayar dua kali, bahkan mungkin lebih.
Selidik punya selidik, setelah berbicara dalam rapat bersama di kantor
Walikota Jayapura, ternyata karakteristik logika hukum seperti itu memang telah
menjadi common law di Papua. Dari penelitian di sejumlah tempat di Papua, kasusnya
sama: logika hukum yang berbeda dengan hukum positif Indonesia.
Ada sisi positif dan negatif dari keadaan ini. Positifnya, tanah tidak mudah
dimiliki oleh pihak asing. Selamanya tanah bisa menjadi milik masyarakat adat asli.
Ini dimungkinkan karena mereka berpikiran bahwa tanah selamanya adalah milik
adat. Jika mau memakai diperbolehkan, tapi jika sudah tidak dipakai maka
harus dikembalikan kepada adat.
Sisi negatifnya yaitu lemahnya kepastian hukum. Bisa dipastikan investor akan malas
“bercocok tanam” di Papua karena urusan adat yang tidak pernah kunjung selesai.
25

Untung saja perusahaan kami perusahaan besar yang mengelola objek vital nasional
dan didukung Pangdam dan Kapolda. Lalu, bagaimana dengan masyarakat biasa?.
Sampai saat ini Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua
(DPRP) pun masih menggodok Perda tentang Tanah Adat di Papua, sudah lama sekali
belum selesai. Pasti mereka juga mencari titik temu antara hukum adat positif dengan
hukum positif agraria nasional.
Bila masalah pelepasan tanah di Papua dikaitkan dengan penilaian properti
maka properti yang ada di Papua akan jauh berbeda dengan properti yang ada di
daerah lain. Nilai dari properti di Papua lebih rendah, hal ini terjadi karena sistem
pelepasan tanah adat di Papua berbeda dengan pelepasan tanah di daerah lain. Hak
Ulayat terikat dengan hukum adat yang berlaku dimana masyarakat adat seperti
memiliki kuasa penuuh terhadap tanah adat tersebut.

7.

Pelepasan Hak Atas Tanah
Menurut Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum disebutkan bahwa Penyerahan atau
Pelepasan Hak atas Tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara
pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti
kerugian atas dasar musyawarah. Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 3 bahwa
Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.

26

Adapun mengenai syarat-syarat Pelepasan Hak atas Tanah menurut Pasal 2
Perpres ini disebutkan bahwa Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan
cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Selain pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara
lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum dilakukan dengan bantuan Panitia
Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Gubernur untuk pengadaan tanah yang terletak
di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih, sedangkan untuk pengadaan tanah di
wilayah kabupaten/kota, panita pengadaan tanah dibentuk oleh Bupati/Walikota.
Prosesnya sebagai berikut :
a.

Panitia mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan,
tanaman dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya

akan dilepaskan atau diserahkan
b. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan
dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya.
c. Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau
diserahkan.
d. Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena
rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana
dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik
melalui tatap muka, media cetak, maupun media elektronik agar dapat
diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan
dan/atau pemegang hak atas tanah.

27

e. Mengadakan musyarawah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi
pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka
menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi
f. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemgegan hak

8.

atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada diatas tanah.
g. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Sengketa Perkara Tanah dan Cara Penyelesaiannya
Pada umumnya permasalahan tanah yang ditangani oleh Kantor Pertanahan
Kota Jayapura dibagi menjadi 2, yaitu : dengan musyawarah dan melalui
pengadilan

a.

Sengketa tanah diselesaikan melalui musyawarah adat
Sengketa masalah tanah yang diselesaikan dengan musyawarah adat antara

para pihak yang bersengketa Di Kantor Pertanahan Kota Jayapura terdapat 22 kasus
dengan cara membayar kerugian kepada masyarakat adat.
Masalah pertanahan yang ditangani Kantor Pertanahan Kota Jayapura
sebagian adalah pengaduan / laporan sengketa pertanahan yang belum diajukan ke
Sidang Pengadilan. Pengadaan atau laporan sengketa tersebut ada yang dilaporkan
secara langsung baik melalui menghadap langsung kepada Kepala Kantor Pertanahan
atau melalui surat. Dan ada pula yang disampaikan melalui tidak langsung dengan
melaporkan/ mengadakan masalah pertanahan kepada DPRP (Dewan Perwakilan
Rakyat Papua) atau walikota bahkan kepada Kepala Pertanahan Badan Pertanahan

28

Nasional Republik Indonesia, penyelesaiannya harus cepat dan tanggap agar tidak ada
konflik.
Dalam konteks ini, menurut catatan KPA, ada 6 corak sengketa tanah yang
terjadi di Indonesia yang semuanya berhubungan dengan model pembangunan.
Keenam corak itu adalah :
1. Sengketa tanah karena penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil bumi serta
beragam tanaman dan hasil diatasnya sebagai sumbersumber yang akan
dieksploitasi secara massif.
2. Sengketa tanah akibat program swasembada beras yang pada prakteknya
mengakibatkan penguasaan tanah terkonsentrasi di satu tangan dan
membengkaknya jumlah petani tak bertanah.
3. Sengketa tanah di areal perkebunan, baik karena pembangunan perusahaan inti
rakyat /PIR.
4. Sengketa akibat penggusuran tanah untuk industri pariwisata, real estate,
kawasan industri, pergudangan, pembangunan pabrik dan sebagainya.
5. Sengketa tanah akibat