Bahasa Indonesia: Wajibkah untuk Tenaga Kerja Asing

BAHASA INDONESIA: WAJIBKAH UNTUK TENAGA KERJA ASING?
Patrisius Istiarto Djiwandono

Keputusan Presiden Jokowi melalui Permenaker no 16/2015 untuk tidak mewajibkan
para Tenaga Kerja Asing lulus tes bahasa Indonesia disambut dengan setidaknya dua jenis reaksi.
Reaksi pertama datang dari kalangan yang menyayangkan keputusan itu, sementara reaksi kedua
menyatakan tidak keberatan. Reaksi pertama bergaung lebih keras daripada yang kedua karena
mengaitkan keputusan tersebut dengan harga diri dan martabat bangsa Indonesia. Pada intinya,
para pengecam ini mengatakan bahwa kalau mahasiswa yang belajar di negara-negara Barat
wajib lulus tes bahasa Inggris seperti TOEFL atau IELTS, mengapa hal yang sama tidak
diberlakukan untuk para TKA yang mencari nafkah di negeri ini? Mengapa mereka bebas
berbicara dalam bahasa asing, yang nota bene adalah bahasa Inggris, dan bukan wajib berbahasa
Indonesia? Selanjutnya, kalangan ini mengkhawatirkan merosotnya martabat bangsa Indonesia
akibat kebijakan yang terkesan tidak menaikkan derajat bahasa Indonesia tersebut.
Tulisan ini bermaksud mengkritisi pandangan itu secara lebih cermat. Hal pertama yang
akan disoroti adalah status bahasa Indonesia di mata bangsa-bangsa lain, kemudian disusul
dengan sedikit kilasan introspektif tentang bagaimana kita memperlakukan bahasa Indonesia,
dan sedikit tentang motivasi belajar bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia di panggung dunia
Suatu bahasa meluaskan pengaruhnya ke segala penjuru dunia seiring dengan

meningkatnya peran (baca: dominasi) negara asalnya secara ekonomi, militer, dan teknologi.
Kekuatan ekonomi, kekuatan militer, dan kemajuan teknologi yang dirintisnya menjadikan
sebuah bangsa mempunyai wibawa tersendiri di mata bangsa-bangsa lain. Pada jaman dulu, hal
ini tidak jarang ditunjukkan dengan penjajahan bangsa-bangsa kuat tersebut atas mereka yang
lebih lemah. Maka tidak heran mengapa bahasa Inggris menjadi salah satu bahasa paling dikenal
dan paling banyak digunakan. Ini karena bangsa Inggris yang membawanya memiliki peran
militer dan teknologi yang kemudian diakui oleh banyak negara lain. Bersama-sama dengan
negara Amerika Serikat yang juga berbahasa Inggris, bangsa Inggris meluaskan dan
mengukuhkan hegemoni bahasanya tersebut ke seantero dunia. Sedemikian dalamnya pengaruh
bahasa Inggris ini sehingga muncul istilah “imperialisme linguistik”, suatu gejala dimana bahasa
Inggris menentukan atau setidaknya menancapkan pengaruh ke dalam pola pikir dan cara
pengungkapan gagasan oleh banyak bangsa lain. Dengan jumlah penutur mencapai 360 juta dan
jumlah negara pengguna terbanyak, tak heran bahwa bahasa Inggris diakui sebagai bahasa dunia.
Akhir-akhir ini pula, kita menyaksikan betapa kekuatan ekonomi yang dahsyat dari
Tiongkok membuat dunia tersentak kagum; cadangan devisa yang besar, produktivitas yang
tinggi, dan investasi yang tumbuh di berbagai tempat menjadikan negeri ini sebagai satu
kekuatan utama di panggung dunia. Seiring dengan pertumbuhan ini, bahasa Tionghoa pun
makin menjadi populer di dunia. Data menunjukkan bahwa selain merupakan bahasa dengan
pengguna paling banyak, bahasa ini juga makin banyak dipelajari oleh bangsa-bangsa di luar


Tiongkok, menyusul popularitas bahasa Inggris, Spanyol, Perancis, Arab, Jepang, dan Jerman.
Kesimpulannya, popularitas sebuah bahasa ternyata banyak tergantung pada faktor-faktor non
bahasa.
Bagaimana dengan bahasa Indonesia?
Karena dalam ketiga hal yang tersebut diatas, yakni ekonomi, militer, dan teknologi,
Indonesia belum memiliki kharisma atau wibawa di mata bangsa lain, tak heran bahasa Indonesia
pun belum sepopuler bahasa-bahasa lain. Minat untuk belajar bahasa ini di beberapa negara
tetangga juga masih muncul secara sporadis, tidak semasif bahasa Inggris atau bahasa Tionghoa.
Lalu tibalah kita pada era Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) yang membuka pintu bagi
banyak pekerja asing untuk mendapatkan pekerjaan di Indonesia.

Indonesia, sama seperti

berbagai belahan dunia lain, sudah menjadi bagian dari panggung global, sehingga bahasa yang
digunakan sebagai alat komunikasi pun sebaiknya memang bahasa yang sudah mantap sebagai
sarana komunikasi global. Maka tak heran bahwa di mata pemerintah, khususnya Presiden kita
dan para TKA itu, bahasa Inggris atau Tionghoa menjadi bahasa yang dipilih sebagai sarana
komunikasi. Pendek kata, dari sudut pandang ini, hal tentang berbahasa itu sederhana saja:
karena MEA adalah panggung global dan interaksinya pun berlangsung antar beberapa atau
banyak penghuni kampung global, sudah masuk akal kalau komunikasinya pun menggunakan

bahasa yang sudah diakui secara global, yakni bahasa Inggris.
Masalah timbul ketika sebagian kalangan mengecam keputusan Presiden itu sebagai
tekad yang tidak senapas dengan Nawacitanya sendiri, utamanya dalam hal berkepribadian
dalam budaya. Memperbolehkan kaum asing yang bekerja disini menggunakan bahasa selain

bahasa Indonesia tidak mendukung martabat secara budaya. Kalangan ini bahkan menganggap
keputusan itu sebagai “melecehkan bahasa Indonesia di tanahnya sendiri”.

Sikap kita terhadap bahasa Indonesia
Menurut hemat penulis, martabat bahasa Indonesia tidak terletak pada pengharusan orang
asing untuk bisa berbahasa Indonesia. Martabat itu terletak di tangan kita sendiri sebagai bangsa
Indonesia. Kita lah yang menentukan apakah bahasa Indonesia memang punya martabat atau
malah menjadi bulan-bulanan pelecehan.
Dari titik ini, ada baiknya kita mengamati bagaimana bangsa Indonesia memperlakukan
bahasa nasionalnya sendiri. Tanpa usah penelitian sangat mendalam pun akan terungkap fakta
bahwa kita ternyata sudah terbiasa tidak menjunjung tinggi martabat bahasa Indonesia. Kalau
kita menengok iklan baik itu di media massa ataupun di ruang terbuka, kita akan mendapati
sebagian besar kata-kata di media tersebut ditulis dalam bahasa Inggris, padahal hampir seratus
persen orang yang melihatnya adalah orang Indonesia. Tulisan Prof Bambang Kaswanti Purwo di
Kompas beberapa bulan silam menunjukkan bahwa untuk kalangan kelas menengah atas di kotakota besar, bahasa Indonesia adalah bahasa asing di mata anak-anak mereka. Dalam keseharian,

mereka lebih suka berbicara dalam bahasa Inggris dengan alasan “bahasa itu adalah bahasa
internasional yang penting untuk mereka di masa depan”. Makin banyak pula sekolah dasar
yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Penulis pernah menyaksikan
sendiri bagaimana seorang ayah di sebuah SD seperti ini mengatakan kepada kepala sekolahnya
“jangan ajari anak saya berbahasa Indonesia. Itu tidak penting. Mohon diajari bahasa Inggris saja
yang memang lebih penting untuk masa depannya”.

Pada tataran bahasa Indonesia akademik, kesan parah memang tidak terelakkan.
Pengamatan seklias pada skripsi atau karya ilmiah lain oleh para sarjana di Indonesia
mengungkapkan penulisan huruf besar dan kecil yang kacau balau, kesalahan penempatan
awalan untuk verba

pasif (“di jual”; “di bangun”, dan bukan “dijual”; “dibangun”),

pengkalimatan yang terlalu panjang sehingga gagasan intinya menjadi kabur, dan penggunaan
kata-kata atau frasa asing yang sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Pidato, ceramah, dan berbagai wacana lisan diujarkan dalam bahasa Indonesia yang juga masih
jauh dari baik dan benar. Tak jarang kita mendengar seorang tokoh, pejabat tinggi, atau bahkan
kaum akademis mengatakan “meng encourage”; “membuat aware” dan beberapa kata lain yang
merupakan pencampuran secara sembrono bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Terkesan

sekali ada keengganan berbahasa Indonesia secara utuh, yang pada gilirannya mengesankan
bahwa mereka malu dengan bahasa nasionalnya sendiri. Maka memang tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa sementara bahasa Mandarin dan Inggris menikmati popularitasnya yang makin
meningkat di berbagai belahan dunia, bahasa Indonesia justru masih harus memperjuangkan
martabatnya di negerinya sendiri.
Maka pihak yang mengatakan bahwa kebijakan Presiden itu berpotensi mengikis
martabat bangsa sebaiknya melakukan tindak introspektif dulu tentang bagaimana sikap kita
semua terhadap bahasa nasional kita sendiri. Sebelum menuding orang asing, seharusnya kita
berkaca dan menyadari bahwa tindakan kita sendiri kurang mendukung apalagi menaikkan
martabat bahasa Indonesia. Akan menjadi hal yang lucu kalau kita menuding pihak asing
merendahkan martabat bahasa kita namun pada saat yang sama kita merendahkan bahasa

Indonesia dengan cara menggunakannya secara serampangan atau bahkan malu untuk
menggunakannya.
Motivasi berbahasa Indonesia di kalangan orang asing
Beberapa pihak menginginkan kesadaran para TKA untuk mau berbahasa Indonesia
dalam komunikasi mereka sehari-hari. Karena bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang sulit
dipelajari, sebenarnya kesadaran ini akan muncul dengan sendirinya. Artinya, tanpa paksaan dari
pihak Pemerintah RI pun, para tenaga kerja asing akan dengan suka rela meluangkan waktunya
untuk sedikit demi sedikit menguasai bahasa Indonesia. Penulis tidak jarang bertemu dengan

beberapa orang dari negeri Barat yang dengan senang hati mempelajari bahasa Indonesia. Jika
iklim kerja dan keseharian di negeri ini dibuat menjadi ramah dan menyenangkan, penulis yakin
mereka juga tidak akan keberatan mempelajari bahasa kita untuk bisa lebih mengetahui
budayanya dan berinteraksi lebih akrab dengan kita.
Setelah dicanangkan sebagai bahasa pemersatu oleh Sumpah Pemuda 87 tahun yang lalu,
Bahasa Indonesia belum layak disebut sebagai salah satu kebanggaan bangsa ini. Masih banyak
tindak berbahasa yang mengesankan bahwa sebagai bangsa kita memang belum menjaga
martabat bahasa kita sendiri. Sebelum kita mengambil sikap memprotes pemerintah yang tidak
memaksa para tenaga kerja asing untuk berbahasa Indonesia, sebaiknya kita memang
merenungkan dulu sudah cukup gigihkah kita mendukung martabat bahasa kita sendiri di Tanah
Air ini.
Prof. Dr. Patrisius Istiarto Djiwandono
Guru besar di bidang pendidikan bahasa di Universitas Ma Chung.

Patrisius Istiarto Djiwandono adalah dosen pendidikan bahasa Inggris di Universitas Ma Chung,
dan sekarang Dekan Fakultas Bahasa dan Seni.
No HP: 081803805637
No rekening BCA: BCA Capem Kawi a.n. P. Istiarto Djiwandono 3850225485