6 | Jurnal Analisis Sosial | Volume 19 Nomor 1, Edisi Agustus 2015
e. Peralihan Nilai Antarpelaku dan
Antargolongan
Konsep peralihan nilai surplus transfer, surplus capture
sebagai alat untuk menggambarkan dinamika stuktur agraris dan
proses reproduksi usaha tani dan masyarakat tani pertama kali diuraikan secara rinci oleh
Deere de Janvry 1979. Penulis meng- gambarkan sembilan mekanisme yang secara
potensial bisa mengakibatkan peralihan nilai dari petani kecil ke pihak lain yaitu: sistem
sewa tanah dalam bentuk hasil bumi, sewa tanah dalam bentuk tenaga kerja, sewa tanah
dalam bentuk uang, sistem pengupahan natura, pengupahan uang, bunga pinjaman,
pajak, dan nilai tukar petani. Selain itu, tentu akan ada kemungkinan muncul mekanisme lain,
misalnya
yang berdasarkan
paksaan, penangkapan subsididana lain oleh elit lokal,
dan sebagainya.
f. Hubungan Luas Usaha Tani
dengan Produktivitas
Dalam studi agraria telah terjadi perdebatan yang panjang terkait adatidaknya
hubungan berbanding lurus atau balik antara luas usaha tani dan produktivitas usaha tani
dalam arti hasil per hektar. Pada banyak penelitian di negara lain ditemukan hubungan
berbanding balik inverse relationship.
19
Perdebatan ini masih relevan untuk Indonesia masa kini, melihat banyak ekonom pertanian,
teknokrat, dan pembuat kebijakan, juga golongan menengah, dan elit perkotaan, yang
sangat yakin bahwa usaha pertanian skala
besar tentunya adalah lebih „efisien‟ dibanding petani skala kecil atau gurem.
g. Interaksi Akses dan Kegiatan Pertanian
dan Non Pertanian dalam Proses Akumulasi dan Diferensiasi Sosial-
Ekonomi Masyarakat Desa Studi White dan Wiradi pada tahun
1989 yang menyoroti perubahan dalam 9 desa di
Jawa selama
periode 1971-1981,
menunjukkan bahwa tanah merupakan sumber daya utama yang sangat memengaruhi
akumulasi modal rumah tangga petani RTP. Akumulasi modal di sektor bukan-pertanian
berbanding lurus dengan pemilikan tanah. RTP yang menguasai tanah yang luas juga memiliki
kekuatan untuk melakukan akumulasi modal pada sektor bukan-pertanian. Akhir-akhir ini,
peranan hubungan sektor pertanian dan bukan- pertanian dalam proses diferensiasi sosial dan
pembentukan kelas di pedesaan menjadi bahan perdebatan. Misalnya, studi baru tentang proses
perubahan pedesaan dalam 14 lokasi di Asia
19
Lihat antara lain Lipton 2009: Ch 2, Berry, 2011. Tenggara
20
menunjukkan beberapa kecende- rungan umum yang memengaruhi sifat dan
proses perubahan, di antaranya makin
pentingnya kegiatan bukan-pertanian dan pola berpenghasilan
ganda; fleksibilisasi
dan “feminisasi” kerja di perdesaan; makin
intensnya interaksi perdesaan-perkotaan, serta makin pentingnya migrasi domestik maupun
internasional.
21
Dalam studi yang sama, Rigg Hirsch dan Vandergeest mengusulkan suatu
“politik ekonomi agraris yang baru” di mana para petani dilihat sebagai “kelas yang sedang
dibentuk kembali dengan pengaruh kekuatan- kekuatan globalisasi”. “Kelas” dalam visi ini
tidak lagi ditentukan terutama oleh penguasaan tanah dan hubungan produksi agraris, tetapi
bersifat “multidimensional”. Hal ini membawa kita
ke arah
pengertian ketimpangan
inequality perdesaan yang lebih bernuansa dan
dinamis, tidak
hanya berdasarkan
penguasaan atas tanah.
22
Meskipun porsi sektor pertanian menurun dengan adanya semua
perkembangan ini,
23
namun pertanian masih merupakan sektor dan pemberi lapangan kerja
yang paling besar, dan menjadi unsur penting dalam proses diferensiasi sosial ekonomi.
Pada saat ini, tanah bukan satu-satunya faktor
penentu akumulasi
modal dan
diferensiasi sosial-ekonomi dalam masyarakat petani, meskipun di beberapa desa penelitian
masih menunjukkan struktur yang sama dengan yang terjadi dalam studi White dan Wiradi.
24
Akumulasi modal pada RTP dipengaruhi juga oleh akses petani terhadap kesempatan di luar
sektor pertanian.
h. Konsep Efisiensi Sosial
Seluruh penggambaran
sistem reproduksi sosial pertanian padi akan dianalisis
dampaknya terhadap efisiensi sosial. Efisiensi sosial sebagai kerangka berfikir dalam
penelitian ini dipilih karena merupakan kondisi di mana distribusi sumber daya di dalam suatu
masyarakat mencapai titik yang optimal.
Konsep „efisiensi‟ di sini bukanlah merujuk pada
produktivitas tenaga
kerja atau
keuntungan usaha, tetapi pada sumbangan terhadap pencapaian tujuan pembangunan
untuk masyarakat. Dari itu, kita perlu memikirkan sistem pertanian yang paling baik
dalam menggunakan sumber daya seperti tenaga kerja dan seberapa banyak pendapatan
yang masuk untuk orang miskin. Hal-hal ini
20
Rigg dan Vandergeest eds 2012
21
De Konincke et al, 2012
22
ibid , p. 20-22
23
ibid, p. 32
24
White dan Wiradi, 1989