Apa yang membuat pertanian tidak
Menguak Realitas Orang muda di Sektor Pertanian Perdesaan –
Yogaprasta A. Nugraha Rina Herawati
| 37 sebagai pekerjaan utama di masa yang akan datang.
Jika pun orang muda tertarik untuk bekerja di bidang pertanian, mereka hanya menjadikan pertanian
sebagai pekerjaan sampingan bukan sebagai pekerjaan utama. Pada dasarnya orang muda di 12
desa masih terlibat di pekerjaan pertanian. Namun keterlibatan orang muda di pekerjaan pertanian
bukan
sebagai pengambil
keputusan dalam
manajemen usaha tani, tetapi lebih sebagai buruh tani, baik sebagai pekerja keluarga family labour
maupun buruh upahan wage labour. Keterlibatan orang muda umumnya tidak terjadi di semua tahapan
produksi. Orang muda-laki lebih banyak terlibat dalam tahapan produksi daripada pemudi.
Kedua,
walaupun orang muda minatnya relatif menurun di sektor pertanian, jumlah petani
kecil dan buruh tani kemungkinan besar masih stabil ke depan. Mereka hidup dengan kerja di pertanian
dan juga di bukan-pertanian. Pola migrasi orang muda perdesaan adalah pola lama dan seringkali
bersifat sementara. Walaupun dukungan bagi pertanian skala kecil minim, banyak orang muda
yang bermigrasi tetap kembali ke desa untuk bertani setelah menikah atau sesudah menabung membeli
tanah. Pertanian masih merupakan peredam shock ekonomi yang penting bagi banyak rakyat Indonesia.
Rumah tangga pertanian mensiasati pendapatannya dengan hidup dengan lebih dari satu alternatif
pekerjaan sekaligus: pertanian dan bukan-pertanian. Penelitian ini mendukung kesimpulan bahwa
reproduksi sosial di sektor pertanian berdasarkan usaha tani kecil tetap terjadi, penyediaan tenaga kerja
untuk sektor pertanian tetap dijamin reproduksi sosialnya jumlah buruh tani dan petani kecil masih
relatif stabil ke depan.
Ketiga,
terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi keterlibatan orang muda dalam
bidang pertanian yaitu akses terhadap tanah, ada tidaknya peluang pekerjaan bukan-pertanian-padi
baik di dalam desa atau luar desa, pola-pola yang umum untuk mengakses pekerjaan di sektor
pertanian padi berdasarkan gender maupun sebagai akibat dari masuknya teknologi atau perubahan
sistem produksi usaha tani padi serta tingkat pendidikan orang muda. Pada penelitian itu juga
ditemukan orang muda yang masih tertarik untuk berinvestasi untuk membelimemiliki lahan pertanian
tetapi hanya sebagai pemilik lahan yang menggarapkan pada orang lain dan bukan sebagai
penggarap.
Keempat,
melihat struktur agraris di desa- desa penelitian, kebanyakan orang muda di desa
tidak punya prospek yang realistis untuk “bertani” dalam arti: mengakses usaha tani untuk mereka
kelola sendiri. Mereka yang orang tuanya punya tanah, mungkin harus menunggu berpuluh-puluh
tahun sebelum menerima tanah warisan; sedangkan mereka yang orang tuanya tidak bertanah hanya
berkesempatan menjadi petani pemaro atau buruh tani, kecuali mereka bisa mencari uang di luar sektor
pertanian dan menabung, untuk nantinya membeli atau menyewa sebidang tanah. Kondisi infrastruktur
pertanian yang tidak memadai juga memiliki implikasi terhadap rendahnya produktivitas sawah,
yang berdampak terhadap keengganan orang muda untuk terlibat dalam pertanian karena secara
ekonomi tidak menjanjikan. Rekomendasi
Rekomendasi yang dapat disampaikan melalui tulisan ini antara lain: Pertama, studi ini
menemukan bahwa akses orang muda terhadap tanah merupakan faktor penting untuk meningkatkan
peluang orang muda bekerja di bidang pertanian. Berdasarkan temuan tersebut maka terdapat beberapa
usulan strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan akses orang muda untuk mendapatkan
tanah. a.
Menciptakan suatu pasar tempat pertemuan antara orang-orang yang mau menyewakan
tanahnya sehingga
pemerintah dapat
memberikan subsidi kepada orang muda yang memang memiliki niat untuk menyewa tanah
untuk dapat menyewa lahan milik orang lain dengan harga yang relatif lebih terjangkau.
b. Desa menggunakan tanah milik desa sebagai
„bank tanah‟ untuk dapat memberikan kesempatan kepada orang muda untuk dapat
mengaksesnya dengan cara diberikan subsidi dalam bentuk pinjaman lunak. Dalam kaitan ini,
desa bisa juga menambah luas tanah milik desa dengan cara membeli dari warga yang ingin
menjual tanahnya.
c. Menggunakan kembali tanah yang terbengkalai
sebagai tanah yang dapat diakses oleh calon petani muda
Kedua , kita harus beralih kepada alam
pemikiran bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat menjadi petani dalam arti memiliki usaha tani
dan manajemen usaha taninya. Jangan hanya laki- laki saja yang menjadi sasaran utama sistem
pendukung untuk petani kecil.
DAFTAR PUSTAKA BPS. 2013. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi,
Edisi 40: September 2013 . Jakarta: Biro Pusat
Statistik. Li, Tania M. 2014.
Land’s End: Capitalist Relations on an Indigenous Frontier.
Durham: Duke University Press.
Mulyandari, R. 2011. Cyber Extension Sebagai Media Komunikasi dalam Pemberdayaan Petani
Sayuran . Disertasi. Bogor: Institut Pertanian
Bogor. Tjandraningsih, I. dan B. White. 1998. Child Workers in
Indonesia. Bandung: AKATIGA.
Van der Ploeg, J.-D. 2013. The Art of Peasant Farming: a Chayanovian Manifesto.
Halifax: Fernwood Press
38 | Jurnal Analisis Sosial | Volume 19 Nomor 1, Edisi Agustus 2015
White, B. 2012. Agriculture and The Generation Problem: Rural Youth, Employment and the
Future of Farming. IDS Bulletin, 43 6, pp. 9- 19.
39 | Jurnal Analisis Sosial | Vol. 19 No. 1 Edisi Agustus 2015
Tabel 1. Karakteristik Desa Berdasarkan Ketersediaan Lapangan Kerja Bukan-pertanian Padi
Desa Pertanian Non Padi
Bukan-pertanian dalamSekitar Desa
Bukan-pertanian Luar DesaLuar kota Bukan-pertanian Luar negeri
Cibalong Sari Karawang
Pertanian sayuran oleh sebagian kecil petani L.
Buruh bangunan L, dagang, jual beli rongsokan, industri menengah dan
besar L+P. Buruh cuci atau pembantu rumah tangga P, buruh pabrik bata
L Industri menengah besar P + L
Buruh migran ke negara-negara Timur Tengah sebagai pembantu
rumah tangga P.
Dawungan Karawang
- Pedagang warung hingga grosir
sembako, PNS L+P, pengrajin bilik P, industri garmen rumahan P
Buruh bangunan L Buruh migran ke Timur Tengah,
Taiwan, Malaysia, Hongkong, buruh migran terutama adalah perempuan
sebagai pembantu rumah tangga
Karang Indramayu
Budidaya jamur merang, sarang walet, ternak domba
L Perdagangan L+P, konstruksi L,
toko sembako L+P, pekerja bangunan L, berjualan makanan kecil P, jasa
pemotongan kayu L, Industri L +P
Buruh migran P, ke Arab, HK, Taiwan, Singapura, sebagai
pembantu rumah tangga. Buruh migran laki-laki umumnya menjadi
buruh pabrik.
Wanakerta Indramayu
Pertanian palawija, sayuran, bawang L+P
Pedagang, industri kecil L+P Industri tekstil P
Buruh migran perempuan menjadi PRT, pengurus bayijompo,
sedangkan buruh migran laki-laki di pabrik. Tujuan utama Hongkong
Sidosari Kebumen
Peternakan sapi, pertanian kacang hijau. L
Kerajinan anyaman bambu caping dan tenong L+P, pembuatan genting
L+P, pembuatan bata merah L+P, perdagangan L+P,
PNS L+P, pedagang L, pegawai swasta L+P, buruh industri pengolahan,
buruh bangunan L Baik laki-laki maupun perempuan,
ada yang menjadi buruh migran dengan tujuan Malaysia, Hongkong
dan Singapura.
Mulyoharjo Kebumen
Pertanian sayuran: kangkung, kacang kedelai,
kacang hijau, Perdagangan kelapa, mencari kroto,
ternak ayam lokal Buruh pembuat lanting perempuan,
penyewaan pohon kelapa, membuat gula kelapa, membuat keripik pisang,
membuat kurungan ayam L Buruh bangunan L penjaga toko P,
pedagang pakaian informal di Bandung dan Jakarta
-
Wetanan Cilacap
Ternak itik, kambing, sapi Sebagai petugas keamanan dalam
penggalian pasir besi, pembuat batu bata, pemandu surfing, pengelola
karaoke L PNS atau guru P
Buruh migran untuk ke Hongkong, Taiwan dan korea sebagai buruh
industri.
Sarimulyo Cilacap
Ternak Itik L Tambang pasir, perikanan, buruh
bangunan perusahaan kayu, maupun Perdagangan L+P, buruh industri kayu
L, perkebunan sawit, tambang batu bara Buruh migran ke Hongkong atau
Malaysia
40 | Jurnal Analisis Sosial | Volume 19 Nomor 1, Edisi Agustus 2015
batu bata. L di Kalimantan, buruh bangunan di
JakartaBandung L, pembantu rumah tangga P
Cempaka Bone
Ternak sapi, pertanian palawija, tebu, jati putih,
tanaman coklat L -
Buruh perkebunan sawit di Kalimantan Tidak ada data
Gadingan Bone
Ternak sapi, pisang, bambu dan kelapa L+P
Jasa pengolahan lahan dengan hand traktor L
Buruh perkebunan sawit di Kalimantan Buruh migran ke Malaysia
Parangputih Wajo
Perkebunan coklat, pisang, jeruk, jambu mete,
perikanan danau tempe, L Tenun P, sopir angkot, konstruksi,
dagang L Penjual sarung Polman dan Kolaka.
Berdagang buah Samarinda dan mencari emas Bombana
Tidak ada data
Walian Wajo
Pertanian Sayuran: tanam kangkung, pisang, ternak
unggas L Nelayancari ikan di danau Lapong
Pakka L Penjaga toko di Makasar P
Tidak ada data Sumber: Data Primer
Sistem Pertanian Padi Indonesia dalam Perspektif Efisiensi Sosial
– Herlina Wati Charina Chazali | 41
SISTEM PERTANIAN PADI SKALA KECIL INDONESIA DALAM PERSPEKTIF EFISIENSI SOSIAL
INDONESIAN SMALL SCALE RICE FARMING SYSTEM IN THE PERSPECTIVE OF SOCIAL EFFICIENCY
Herlina Wati
1
Charina Chazali
2
Yayasan AKATIGA Jalan Tubagus Ismail II No. 2, Bandung 40134
E-mail: herlin_na86yahoo.com charinachazaligmail.com
Abstrak
Laporan ini merangkum beberapa temuan dari penelitian yang dilakukan AKATIGA tentang swasembada pangan yang berkaitan dengan perubahan dalam sistem pertanian padi skala kecil di 12
desa penghasil beras. Pertanian skala kecil dalam penelitian ini diteliti dalam kaitannya dengan kerangka efisiensi sosial, yang fokus pada pemerataan sumber daya dan menilai kebijakan dan hasilnya
dalam kaitan dengan kontribusi terhadap tujuan-tujuan pembangunan masyarakat. Penelitian ini menemukan bahwa banyak asumsi umum yang dibuat oleh penelitian dan kebijakan masyarakat
pertanian saat ini di Indonesia perlu diteliti. Ini termasuk hubungan antara ukuran lahan dan produktivitas, ketimpangan struktur agraria yang ada, dan dampak teknologi pertanian di lapangan kerja
dan distribusi pendapatan. Salah satu penyebab keprihatinan adalah tingginya konsentrasi kepemilikan dan penguasaan tanah di desa-desa penghasil beras. Kepemilikan tanah skala besar tidak menghasilkan
pertanian skala besar tetapi peningkatan jumlah saham-penyewa dan sewa-penyewa. Bahkan pertanian sangat kecil dapat menghasilkan hasil yang tinggi, dan ada beberapa indikasi bahwa dalam sektor
rakyat, imbal hasil pertanian yang lebih kecil lebih tinggi dari pada pertanian yang lebih besar. Status kepemilikan tanah tidak muncul secara signifikan mempengaruhi hasil secara signifikan. Kendala yang
paling umum untuk produktivitas adalah gangguan hama di semua desa, tetapi kebanyakan dari semua di desa-desa yang telah ditinggalkan penanaman disinkronkan, dan di beberapa desa banjir kronis.
Petani sangat tergantung pada input eksternal dan umumnya pada aktor lokal yang kuat untuk mendapatkan mereka, sering dalam hubungan hutang. Berbagai teknologi baru dan praktis mesin
Atabela, penanaman langsung, dan menggabungkan pemanen tidak meningkatkan produktivitas per hektar tetapi mengurangi peluang kerja di tanam dan panen, yang tetap sumber pendapatan penting bagi
yang tidak memiliki tanah dan dekat-tak bertanah, terutama perempuan. Kata kunci
: pertanian skala kecil, efisiensi sosial, reproduksi sosial, pertanian padi, pekerjaan Pedesaan, Indonesia
Abstract
This report summaris es some of the findings of AKATIGA’s study on food self-sufficiency relating to
changesin small-scale rice farming systems in 12 rice-producing villages. Small-scale farming in this study is examined in relation to the social efficiency framework, which focuses on the equitable
distribution of resources and assesses policies and their outcomes in relation to their contribution to society’s developmental goals. This study found that many common assumptions made by todays
agricultural research and policy community in Indonesia need to be scrutinized. These include the relationship between farm size and productivity, the inequality of the existing agrarian structure, and
the impact of agricultural technology on employment and income distribution.One cause for concern is the high degree of concentration of ownership and control of land in rice-producing villages. Large-
scale land ownership does not generate large-scale farms but an increase in the number of share- tenants and lease-tenants. Even very small farms can produce high yields, and there is some indication
that within the ‘smallholder’ sector, yields on smaller farms are higher than on larger farms. Land tenure status does not appear to significantly affect yields.The most common constraint to productivity
is pest damage in all villages, but most of all in those villages that have abandoned synchronised planting, and in some villages chronic flooding. Farmers are highly dependent on external inputs and
generally on powerful local actors to obtain them, often in debt relationships.Various new technologies and practices Atabela transplating machines, direct planting, and combine harvesters do not increase
1
Peneliti di AKATIGA, Pusat Analisis Sosial.
2
Peneliti di AKATIGA, Pusat Analisis Sosial.
42 | Jurnal Analisis Sosial | Volume 19 Nomor 1, Edisi Agustus 2015
per hectare productivity but reduce labour opportunities in transplanting and harvesting, which remain important sources of income for the landless and near-landless, particularly women.
Keywords : Small-scale agriculture, Social efficiency, Social reproduction, Rice farming, Rural
employment, Indonesia
PENDAHULUAN
Seperti yang telah dijelaskan di bagian awal
3
, beras merupakan komoditi yang penting bagi penyediaan pangan di Indonesia. Oleh karena itu,
penelitian Kemandirian
Pangan AKATIGA
menunjukkan kenyataan di lapangan bahwa beberapa asumsi yang dipakai pemangku kebijakan dan publik
terkait pertanian skala kecil perlu dicermati, misalnya kecenderungan untuk mengubah pertanian
ke arah pertanian korporat skala besar. Tulisan ini menunjukkan bahwa pertanian skala kecil beras
masih unggul dibandingkan pertanian skala besar, baik dari produktivitas dan masih menjadi unggulan
dalam mengatasi persoalan kemiskinan lokal.
Studi ini menerapkan kerangka efisiensi sosial dalam membahas hasil penelitian AKATIGA
di dua belas desa terpilih di tiga propinsi penghasil beras Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan
di tahun 2013. Untuk penelitian ini, penulis menggunakan konsep efisiensi sosial. Efisiensi sosial
dipilih sebagai kerangka berfikir dan alat analitis untuk menilai perubahan-perubahan yang terjadi
karena mengarahkan kebijakan menuju kondisi dimana distribusi dan penggunaan sumber daya di
dalam suatu masyarakat mencapai titik yang optimal.
Konsep „efisiensi‟ di sini bukanlah merujuk pada produktivitas tenaga kerja atau keuntungan usaha,
tetapi pada sumbangan sumber daya yang ada terhadap pencapaian tujuan pembangunan untuk
masyarakat. Dari hal tersebut, mengingat bahwa pertanian padi skala kecil berperan ganda a.l.
sebagai penyedia utama pangan dan sekaligus sumber penghasilan dan peluang kerja bagi orang
banyak, kita perlu mengembangkan sistem pertanian yang paling baik dalam menggunakan sumber daya
seperti tenaga kerja dan seberapa banyak pendapatan yang masuk untuk orang miskin. Hal-hal ini sangat
relevan sebagai tujuan analisis kebijakan.
4
Kriteria yang tepat untuk menilai efisiensi sosial dan bobot relatif yang kita berikan kepada
masing-masing kriteria dapat disesuaikan dengan kondisi, masalah, dan kebutuhan masyarakat, serta
periode tertentu dalam pembangunan. Sebagai contoh, jika kita melihat kondisi Indonesia saat ini
ketika beras dan makanan lainnya kini diimpor dalam jumlah besar, harga pangan tidak stabil dan
tidak dapat diprediksi, terjadi ketimpangan distribusi
3
Lihat tulisan pengantar dari Ben White yang berjudul Meneliti Masalah Petani dan Pangan pada Tingkat
Lokal: Pengantar
Studi Kemandirian
Pangan AKATIGA.
4
Berry, 2011 : 641 pendapatan, pengangguran dan pekerjaan dengan
imbalan yang tidak layak, serta masalah lingkungan menjadi serius, kita bisa mengatakan bahwa jenis
dan bentuk sistem pertanian yang dinilai paling efisien dari segi sosial dan ekonomi akan memenuhi
persyaratan sebagai berikut: 1 mendukung peningkatan
produksi, 2
memaksimalkan penyerapan tenaga kerja dan penyediaan mata
pencaharian, 3 mendukung distribusi pendapatan yang lebih baik, dan 4 mendukung keberlanjutan
lingkungan.
5
Sektor pertanian sebenarnya bisa menghidupi banyak orang dengan menyerap tenaga
kerja dan membagi keuntungan yang lebih baik kepada lebih banyak orang.
Salah satu
perdebatan yang
telah berlangsung lama dalam studi pertanian dan studi
agraria adalah menyangkut hubungan antara ukuran lahan dan hasil panen.
6
Hubungan terbalik inverse relationship
yang sering dijumpai antara luas lahan usaha tani dan hasil per hektar menunjukkan bahwa
semakin besar luas usaha tani, hasil per hektar semakin kecil. Isu ini penting untuk diangkat karena
terdapat anggapan umum yang mengatakan bahwa semakin besar luas usaha tani, maka hasilnya juga
akan semakin besar. Anggapan umum ini yang sering menjadi asumsi kaum teknokrat jelas
mengandung
implikasi terhadap
kebijakan pembangunan pedesaan. Akan tetapi, belum terdapat
konsensus tentang apa yang menyebabkan hubungan terbalik antara luas usaha tani dan hasil panen.
7
Selain itu, terdapat perdebatan antara pengaruh teknologi terhadap peluang kerja dan
penyebaran penghasilan. Misalnya adalah Sen 1999
8
yang berpendapat bahwa pilihan teknologi dalam pertanian sangat penting untuk alokasi sumber
daya dan tenaga kerja karena dibanyak negara- negara
berkembang, yang
sebagian besar
penduduknya bekerja
di sektor
pertanian. Penggunaan teknologi tepat guna, diperlukan untuk
negara yang memiliki kelebihan tenaga kerja tenaga kerja yang berlimpah dibandingkan faktor produksi
lainnya.
Keadaan tersebut mengindikasikan bahwa pertanian skala kecil lebih padat karya daripada
pertanian skala besar, sehingga fungsi dari pertanian skala kecil tidak hanya fokus pada penyediaan
pangan akan tetapi juga merupakan penyedia lapangan kerja. Lebih lanjut lagi, mekanisasi
pertanian yang tidak tepat guna dapat menciptakan
5
White, 2013
6
Unal, 2008.
7
ibid, p.2
8
ibid, p.3
Sistem Pertanian Padi Indonesia dalam Perspektif Efisiensi Sosial
– Herlina Wati Charina Chazali | 43
ketimpangan kelas di pedesaan dan berkurangnya pilihan pekerjaan yang bisa mendukung penghidupan
orang miskin. Kondisi ini serupa dengan kondisi di Indonesia.
Terdapat anggapan umum yang masih dipegang oleh banyak orang kota dan pejabat
pemerintahan, bahwa masyarakat desa kebanyakan terdiri dari rumah tangga tani relatif homogen dan
rata-rata memiliki sebidang tanah. Hal ini merupakan salah satu mitos yang menghambat pembangunan di
bidang pertanian padi. A
rtikel „Tanah untuk Penggarap? Penguasaan Tanah Pertanian dan
Struktur Agraris di Beberapa Desa Penghasil Padi‟ berdasarkan penelitian di dua belas desa yang sama,
Harahap dan Ambarwati menunjukkan bahwa pada umumnya, struktur kepemilikan dan penguasaan
sawah pada dua belas desa penelitian cenderung tidak merata dan di beberapa desa mendekati
polarisasi. Sepuluh desa dari dua belas desa penelitian, jumlah Rumah Tangga Petani RTP yang
tidak memiliki tanah garapannya justru melebihi jumlah petani pemilik.
9
Berdasarkan gambaran di atas, pertanyaan penelitian yang penulis ajukan dalam tulisan ini
adalah: 1.
Bagaimana hubungan antara luas usaha tani dan hasil panen di dua belas desa penelitian?
2. Bagaimana praktik bertani dan teknologi yang
ada saat ini dapat mempengaruhi penyerapan tenaga
kerja pertanian
dan distribusi
pendapatan? 3.
Bagaimana pola pengupahan buruh tani dan seberapa pentingnya upah buruh tani bagi
golongan tak bertanah dan petani kecil?
METODE PENELITIAN
Penelitian studi ini mencakup dua belas desa yang tersebar di enam kabupaten dan tiga provinsi di
Indonesia. Pemilihan lokasi didasarkan pada karakteristik khusus dari setiap lokasi sebagai
lumbung padi nasional maupun lokal di daerahnya masing-masing.
Penelitian ini
menggunakan beberapa teknik pengambilan data seperti survey 30
rumah tangga pertanian di setiap desa penelitian, FGD, dan wawancara mendalam pada informan
kunci di desa penelitian.
10
HASIL DAN PEMBAHASAN Tulisan ini terdiri dari lima bagian, pertama
pendahuluan yang akan mengantarkan pembaca pada konsep efisiensi sosial dan juga fokus dari tulisan ini.
Bagian kedua membahas temuan dari dua belas desa
9
Ambarwati dan Harahap, 2015.
10
Lihat tulisan pengantar dari Ben White yang berjudul Meneliti Masalah Petani dan Pangan pada Tingkat
Lokal: Pengantar Studi Kemandirian Pangan AKATIGA.
penelitian terkait
dengan produktivitas
dan hubungannya dengan luas usaha tani, ditambah
dengan hal-hal yang menjadi faktor penurunan hasil panen. Bagian ketiga adalah pembahasan mengenai
teknologi dan praktik bertani yang mengancam efisiensi sosial seperti penyerapan tenaga kerja dan
distribusi pendapatan yang lebih merata. Bagian keempat adalah gambaran dari serapan tenaga
pertanian padi skala kecil kerja dalam setiap tahapan. Bagian terakhir mencoba merangkum seluruh
argumen dari tulisan ini. Luas Usaha Tani, Hasil Panen dan Produktivitas
Sistem pertanian padi berdasarkan usaha tani skala-kecil mampu meraih tingkat produksiha
yang jauh lebih tinggi dari pertanian padi industrial skala-besar rice estate.
11
Menurut pengakuan petani di dua belas desa penelitian, sawah irigasi memiliki
produktivitas terendah 5 tonha dan tertinggi mencapai 9,8 tonha. Produktivitas pada sawah
irigasi biasanya berkisar antara 5-9 tonha pada musim kemarau dan 5,7- 9,8 tonha pada musim
penghujan. Sementara untuk sawah bukan-irigasi berkisar antara 3-6 tonha.
Akan tetapi, melihat hambatan-hambatan yang masih dihadapi oleh petani kecil, tingkat
produksi usaha tani skala kecil secara potensial sebenarnya bisa jauh lebih tinggi lagi. Usaha tani
padi yang sempit pun sampai di bawah 0.25 ha bisa mencapai produktivitas per ha yang tidak kalah
dengan usaha tani padi yang lebih luas, bahkan terdapat indikasi lebih tinggi.
Survey dengan sampel 30 petani di masing- masing desa memperlihatkan bahwa hasil panen
musim hujan 2012-2013 dan musim kemarau 2013, umumnya berada di bawah hasil biasa lihat
Lampiran Grafik 3.1 dan Grafik 3.2. Di beberapa desa, hasil per hektar pada musim kemarau 2013 dan
musim penghujan 2012-2013 jatuh di bawah 5,0 ton gabah kering panen. Bahkan ada hasil panen di
beberapa desa yang jauh di bawah 5,0 ton, misalnya Cisari, Dawungan, Gadingan, dan Sidosari irigasi
dan Cempaka sawah bukan-irigasi. Menurut pengakuan petani di desa penelitian, sebagian besar
penurunan hasil panen dan gagal panen disebabkan oleh serangan hama.