1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara overweight dengan status mental emosional pada anak?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui hubungan overweight dengan status mental emosional pada murid Sekolah Menengah Pertama Santo Thomas I Medan.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui status mental emosional pada anak overweight.
2. Mengetahui status mental emosional pada anak dengan
berat badan normal.
1.3 Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti Dapat meningkatkan kompetensi keilmuan dan menambah wawasan.
2. Bagi bidang kedokteran Untuk menambah informasi mengenai overweight pada anak.
3. Bagi bidang penelitian Dapat dijadikan landasan bagi penelitian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJUAN PUSTAKA
2.1 Overweight
2.1.1 Definisi Overweight
Overweight dan obesitas merupakan dua hal yang berbeda. Overweight adalah berat badan yang melebihi berat badan normal, sedangkan obesitas adalah
kelebihan akumulasi lemak dalam tubuh. Tetapi karena lemak tubuh sulit untuk diukur, berat badan tubuh yang berlebihan dianggap akumulasi lemak CDC,
2010. Penentuan kelebihan berat badan pada orang dewasa berbeda dengan
penentuan kelebihan berat badan pada anak. Pada orang dewasa dapat ditentukan berdasarkan hitungan Indeks Masa Tubuh IMT yaitu berat badan kg dibagi
dengan tinggi badan kuadrat m
2
. Dikatakan overweight apabila hasil perhitungan IMT antara 25-29,9 dan obesitas apabila hasil IMT antara 30-39,9. Sedangkan
pada anak, dilakukan perhitungan IMT terlebih dahulu kemudian diproyeksikan ke dalam kurva z-score WHO IMT untuk usia 5-19 tahun. Dikatakan overweight
apabila hasil z-score antara +1SD dan +2SD sedangkan obesitas apabila hasil z- score di atas +2SD WHO, 2007.
2.1.2 Etiologi Overweight pada Anak
Pada dasaranya, kelebihan berat badan pada anak dapat terjadi karena adanya masukan energi yang lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran
energi. Kelebihan energi tersebut kemudian disimpan dalam bentuk lemak. Walaupun dalam masa pertumbuhan tubuh memerlukan kalori yang lebih banyak,
tetapi apabila adanya masukan kalori secara berlebihan dan terus menerus akan mengakibatkan akumulasi jaringan adiposa yang berlebihan. Faktor-faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya obesitas pada anak, diantaranya yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Faktor genetik Genetik memainkan peranan besar dalam perkembangan obesitas anak.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa besarnya pengaruh genetik terhadap berat badan anak sama dengan besarnya pengaruh genetik
terhadap tinggi badan anak Helebrand, Wermter Hinney, 2004 dalam Haugaard, 2008. Bagaimana genetik dapat mempengaruhi
perkembangan sel adiposa belum diketahui dengan pasti. Walaupun demikian, pengaruh spesifik yang dapat menyebabkan obesitas berbeda
pada tiap anak. Misalnya, genetik dapat mempengaruhi aktivitas fisik, mekanisme dan tempat lemak diakumulasikan, serta pilihan makanan,
maupun tingkat metabolisme Rosenbaum et al., 1997, dalam Haugaard, 2008.
2. Obesitas pada orang tua Banyak penelitian yang membuktikan hubungan antara orang tua
obesitas menyebabkan anak menjadi obesitas. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, genetik yang diturunkan orang tua dapat
berperan. Ditambah lagi anak yang meniru kebiasaan orang tua seperti memakan makanan yang tinggi kalori, mengonsumsi makanan dalam
jumlah besar, dan aktivitas fisik yang kurang Burke et al., 2005 3. Aktivitas fisik
Suatu penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Berkey et al., 2000 membuktikan bahwa anak yang sering menonton televisi, bermain
video game, dan aktivitas fisik yang kurang, memiliki peningkatan IMT yang signifikan dalam kurun waktu satu tahun.
4. Diet Peranan diet kurang jelas dibandingkan peranan aktivitas fisik terhadap
kejadian obesitas. Beberapa peneliti melaporkan bahwa anak overweight lebih banyak makan dibandingkan anak yang memiliki
berat badan normal atau mengonsumsi makanan yang mengandung lebih banyak lemak Berkey et al., 2000. Bagaimanapun, peneliti lain
melaporkan bahwa tidak ada perbedaan jumlah asupan kalori pada
Universitas Sumatera Utara
anak overweight dan pada anak yang memiliki berat badan normal Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan karena adanya kesulitan
dalam menghitung keakuratan asupan kalori anak. Dikarenakan anak obesitas cenderung melaporkan asupan makanan yang lebih sedikit
Janssen et al., 2004.
2.1.3 Efek Overweight Terhadap Kesehatan
Kebanyakan anak obesitas dan overweight tidak mengalami masalah kesehatan fisik yang signifikan. Bagaimanapun, onset obesitas pada usia muda
meningkatkan risiko masalah kesehatan pada saat remaja atau dewasa. Anak-anak obesitas yang tumbuh menjadi dewasa obesitas memiliki risiko tinggi terjadinya
penyakit jantung koroner. Menariknya, kebanyakan anak-anak obesitas yang tumbuh menjadi dewasa yang memiliki berat badan normal tidak memiliki faktor
risiko terjadinya penyakit jantung koroner American Academy of Pediatrics Comitte on Nutrition, 2003 dalam Haugaard, 2008.
Anak obesitas memiliki risiko masalah kesehatan seperti diabetes mellitus tipe 2. Diagnosis diabetes mellitus tipe 2 banyak ditegakkan pada anak usia belia
dan terus meningkat selama tiga dekade belakangan ini. Anak obesitas juga memiliki risiko tinggi menderita asma dan sleep apnea. Tidak jarang juga anak
obesitas menderita masalah muskuloskeletal. Salah satu masalah muskuloskeletal yaitu telapak kaki yang datar, dimana sudut di bawah kaki yang kecil atau biasa
disebut dengan pes planus. Kondisi ini dapat menyebabkan rasa nyeri pada daerah kaki, betis, lutut apabila anak berjalan maupun berlari dalam waktu yang cukup
lama. Konsekuensi yang paling penting dari masalah muskuloskeletal adalah anak semakin malas melakukan aktivitas fisik dan memperberat kondisi obesitas anak
tersebut American Academy of Pediatrics Comitte on Nutrition, 2003 dalam Haugaard, 2008.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Masalah Mental Emosional
2.2.1 Definisi Masalah Mental Emosional
Kesehatan mental bukan hanya sekedar bebas dari gangguan mental. Kesehatan mental adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat menyadari
kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan dalam kehidupan, dan dapat bekerja dengan produktif, serta mampu berkontribusi dalam masyarakat.
Kesehatan mental, fisik, maupun sosial, tidak dapat berdiri sendiri melainkan saling mempengaruhi. Kesehatan mental dan gangguan mental seseorang
merupakan hasil interaksi dari faktor sosial, psikologis dan biologis seperti kejadian sehat dan sakit pada umumnya WHO, 2001. Gangguan mental adalah
perilaku klinis yang signifikan atau sindrom psikologis atau pola yang terjadi pada suatu individu yang berhubungan dengan rasa nyeri, atau kecacatan seperti
gangguan fungsi pada satu atau lebih bagian tubuh, atau karena peningkatan risiko terjadinya kematian, rasa nyeri, kecacatan, atau hilangnya kebebasan
DSM- IV-TR, 2000.
2.2.2 Jenis-jenis Masalah Mental Emosional
Ada berbagai jenis masalah mental emosional, antara lain: gangguan mood seperti depresi dan kecemasan; gangguan perilaku seperti gangguan pemberontak
oposisi, agresif, dan antisosial; gangguan makan seperti anorexia nervosa dan bulimia nervosa; gangguan adiktif; dan gangguan lain yang sering terlihat pada
anak-anak dan remaja seperti autisme, gangguan belajar, dan attention deficithyperactivity disorder ADHD. Masalah mental yang sering terjadi pada
remaja yaitu gangguan mood depresi, kecemasan, gangguan bipolar dan gangguan perilaku agresif dan gangguan pemusatan perhatian Knopf, Park,
Mulye, 2008.
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mental Emosional
Masa remaja usia 12-19 tahun, merupakan masa yang kritis dalam siklus perkembangan seseorang. Masa remaja dibagi menjadi dua, yaitu remaja awal
usia 13-16 tahun dan remaja akhir 17-19 tahun. Masa remaja awal dan akhir
Universitas Sumatera Utara
dibedakan karena pada masa remaja akhir, individu telah mencapai tansisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa. Pada masa remaja ini terdapat
banyak perubahan, baik perubahan biologik, psikologik, maupun sosial. Fase perubahan tersebut seringkali memicu terjadinya konflik antara remaja dengan
dirinya sendiri maupun remaja dengan lingkungan sekitarnya. Apabila konflik- konflik tersebut tidak dapat teratasi dengan baik maka dalam perkembangannya
dapat membawa dampak negatif terutama terhadap pematangan karakter remaja dan tidak jarang memicu terjadinya gangguan mental Wiguna, 2010.
Masalah mental emosional remaja dipengaruhi oleh interaksi antara faktor risiko dan faktor protektif. Faktor risiko adalah faktor-faktor yang telah
diidentifikasi dapat meningkatkan risiko terjadinya masalah mental emosional pada remaja. Faktor risiko tersebut antara lain: Wiguna, 2010:
1. Faktor individu a. Faktor genetik atau konstitusional. Berbagai gangguan mental
mempunyai latar belakang genetik yang cukup nyata, seperti gangguan tingkah laku, gangguan kepribadian, dan gangguan
psikologik lainnya. b. Kurangnya kemampuan keterampilan sosial seperti
menghadapi rasa takut, rendah diri, dan rasa tertekan. 2. Faktor psikososial
a. Keluarga. Ketidakharmonisan antara orang tua, orang tua dengan penyalahgunaan zat, gangguan mental pada orang tua,
pola asuh orang tua yang tidak empati dan cenderung dominasi. Semua kondisi di atas sering memicu timbulnya
perilaku agresif dan temperamen pada anak dan remaja. b. Sekolah. Bullying adalah perilaku pemaksaan atau usaha
menyakiti secara psikologik ataupun fisik terhadap seseorangkelompok yang lebih lemah oleh
seseorangsekelompok orang yang lebih kuat. Hazing adalah kegiatan yang biasa dilakukan oleh anggota kelompok
“senior” kepada kelompok “junior”. Bullying dan hazing
Universitas Sumatera Utara
merupakan suatu tekanan yang cukup serius pada remaja karena berdampak negatif bagi perkembangan remaja. Remaja
tersebut menjadi sulit bergaul, tidak percaya diri, dan depresi bahkan sampai usaha bunuh diri.
c. Situasi kehidupan. Terdapat hubungan yang erat antara timbulnya gangguan mental dengan berbagai kondisi
kehidupan dan sosial masyarakat tertentu seperti kemiskinan, pengangguran, perceraian orang tua, dan penyakit kronik pada
remaja. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor protektif adalah faktor yang
memberi penjelasan bahwa tidak semua remaja yang mempunyai faktor risiko akan mempunyai masalah mental emosional. Menurut Rae G N, dkk., faktor
protektif antara lain: karakter atau watak yang positif, lingkungan keluarga yang suportif, lingkungan sosial yang berfungsi sebagai sistem pendukung untuk
memperkuat upaya penyesuaian diri remaja, keterampilan sosial yang baik, serta tingkat intelektual yang baik. Menurut E. Erikson, dengan memperkuat faktor
protektif dan menurunkan faktor risiko pada seorang remaja, remaja dapat mencapai kematangan kepribadian dan kemandirian sosial Satgas Remaja IDAI,
2010.
2.3 Overweight dan Status Mental Emosional Anak
Overweight dan obesitas pada anak tidak hanya menyebabkan masalah kesehatan, tetapi juga dapat menyebabkan masalah psikologis dan sosial. Anak
obesitas cenderung lebih sering diejek atau menjadi target bullying. Teman-teman sebayanya menganggap mereka kurang menarik dan enggan berteman dengan
mereka. Kecenderungan ini dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya depresi, marah, dan kecemasan yang berdampak pada penarikan diri dari
lingkungan sosialnya. Hal ini akan menghambat perkembangan sosial dan psikologis anak tersebut Janssen et al., 2003.
Universitas Sumatera Utara
Anak overweight dan obesitas enggan melakukan aktivitas fisik karena koordinasi fisik yang lemah, penarikan diri dari teman-teman sebayanya, ataupun
alasan lainnya. Anak tersebut akan mengembangkan kegiatan yang tidak memerlukan pergerakan fisik ataupun teman, seperti bermain video game,
melukis, atau membaca. Dengan meningkatnya kesukaan anak pada aktivitas tersebut, anak menjadi semakin malas untuk beraktivitas fisik dan semakin
menarik diri dari lingkungan sosialnya American Academy of Pediatrics Comittee on Nutrition, 2003 dalam Haugaard, 2008.
Pada usia remaja, pengaruh yang diperoleh dari lingkungan luar sangat besar, dan pada fase ini terjadi pergolakan tekanan sosial dan seksual sehingga
mereka berusaha untuk tetap diterima di lingkungan sosial mereka. Remaja berusaha untuk menarik perhatian lawan jenis dan berusaha diterima oleh teman
sebaya dengan memiliki tubuh yang ideal. Remaja putri terutama, sangat peduli dengan penampilan fisiknya, sehingga permasalahan berat badan yang tidak ideal
seringkali mengganggu remaja. Hal ini dapat menyebabkan penurunan rasa percaya diri dan tekanan dalam diri mereka sehingga dapat berkembang menjadi
gangguan mental emosional Wiguna, 2010. Gangguan mood, salah satu jenis gangguan mental emosional, terus
menjadi perdebatan selama 50 tahun terakhir ini apakah memiliki hubungan dengan obesitas atau tidak. Sayangnya, studi mengenai obesitas oleh psikiatris
tidak dibahas lebih mendalam dan meninggalkan kontroversi. Bagaimanapun, Faith et al., menyimpulkan bahwa depresi bukanlah faktor tunggal yang
mempengaruhi kejadian obesitas. Oleh karena itu, dibutuhkan studi yang lebih lanjut untuk membahas hubungan erat antara kejadian obesitas dengan depresi
McElroy et al., 2004. Suatu penelitian prospektif pernah dilakukan untuk melihat hubungan
antara tingkat depresi remaja dengan kejadian obesitas pada usia dewasa muda. Hasilnya, IMT yang tinggi pada responden usia dewasa muda berhubungan
dengan depresi pada saat remaja Pine et al., 1992. Penelitian yang serupa juga dilakukan kembali oleh Pine et al., 2001. Responden dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu 90 anak usia 6-17 tahun dengan major depressive disorder dan
Universitas Sumatera Utara
87 anak yang tidak memiliki masalah psikiatris. Hasilnya, anak yang memiliki rasa depresi akan tumbuh menjadi dewasa yang memiliki IMT yang lebih tinggi
dibandingkan dengan anak yang tidak depresi. Banyak penelitian yang telah dilakukan pada anak maupun orang dewasa
yang menemukan adanya hubungan dari masalah mental emosional dengan kelebihan berat badan. Britz et al., 2000 melakukan penelitian yang melibatkan
remaja dan dewasa muda yang mengalami obesitas, obesitas berat, dan kelompok kontrol yaitu masyarakat yang memiliki IMT normal. Ditemukan 20 43 dari
47 responden yang mengalami obesitas berat memenuhi kriteria gangguan mood DSM IV. Sedangkan pada responden yang mengalami obesitas, hanya 8 17
dari 47 responden memenuhi kriteria gangguan mood DSM IV. Dan pada kelompok kontrol ditemukan 247 15 dari 1608 yang mengalami gangguan
mood. Karena rata-rata IMT responden obesitas berat dan obesitas memiliki selisih yang signifikan, tidak dapat disimpulkan bahwa tingginya gangguan mood
berkaitan dengan keparahan obesitas seseorang. Obesitas dan gangguan mental emosional memiliki banyak kesamaan,
yaitu orang cenderung mengembangkan perilaku enggan beraktivitas fisik, peningkatan berat badan, dan makan berlebihan binge eating. Obesitas,
sindroma metabolik, depresi, dan gangguan mental emosional lainnya, dapat meningkatkan risiko mortalitas dan morbiditas dari penyakit jantung dan diabetes
tipe 2. Obesitas dan gangguan mood juga sama-sama memiliki gangguan pada sumbu HPA hipotalamus-pituitary-adrenal, sistem neurotransmitter pusat
monoamine, fungsi leptin, fungsi imun, serta metabolisme glukosa dan lemak. Orang yang memiliki obesitas atau gangguan mental emosional cenderung
memiliki pengalaman masa kecil yang tidak menyenangkan, sehingga sama- sama membutuhkan penanganan farmakologis dan psikiatris. Hubungan antara obesitas
dan gangguan mood dapat disimpulkan dalam tiga poin penting, yaitu Mc.Elroy et al., 2004:
1. Memiliki patofisiologi yang berbeda Obesitas dan gangguan mood tidak berhubungan tetapi terjadi secara
bersamaan.
Universitas Sumatera Utara
2. Memiliki patofisiologi yang sama Obesitas dapat menyebabkan gangguan mood, demikian juga
sebaliknya. 3. Memiliki patofisiologi yang tumpang tindih
Obesitas dan gangguan mood adalah dua hal yang berbeda tetapi berhubungan karena memiliki patofisiologi yang tumpang tindih.
Obesitas dan gangguan mood dapat memiliki faktor penyebab yang sama, misalnya faktor genetik. Jadi, akan ada obesitas yang
berhubungan dengan gangguan mood dari patogenesisnya, tetapi bisa juga tidak berhubungan. Jadi, secara teoritis, besarnya hubungan dari
kedua hal tersebut berbeda-beda pada setiap individu. Hal tersebut bergantung pada besarnya peranan faktor genetik dan faktor yang
didapat. Sejauh ini, hubungan antara obesitas dan gangguan mood masih belum
diketahui secara pasti karena minimnya penelitian yang dikerjakan. Jadi, yang dapat disimpulkan dari penelitian-penelitian sebelumnya adalah, kedua hal
tersebut mungkin terjadi secara kebetulan tetapi bisa juga berhubungan satu sama lain McElroy et al., 2004.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep