Kajian Sifat Fungsional Daging Lumat dan Surimi Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) serta Aplikasinya menjadi Dendeng Giling dan Pendugaan Umur Simpannya

(1)

KAJIAN SIFAT FUNGSIONAL DAGING LUMAT DAN

SURIMI IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus) SERTA

APLIKASINYA MENJADI DENDENG GILING DAN

PENDUGAAN UMUR SIMPANNYA

SURYANTI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa penelitian Kajian Sifat Fungsional Daging Lumat dan Surimi Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) serta Aplikasinya menjadi Dendeng Giling dan Pendugaan Umur Simpannya adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2009

Suryanti


(3)

ABSTRACT

SURYANTI. F251060181. Study on The Functional Properties of Minced and Surimi Patin Siam (Pangasius hyphopthalmus) and their application to Dendeng and its Shelf Life Prediction. Supervised by RIZAL SYARIEF, HARI EKO IRIANTO and SUKARNO.

Development imported fisheries products in local market is faster than that of local ones. This is a defiance for local fisheries industry to diversify its product in order to competite with imported one. Therefore, it is needed a production guideline about functional properties of minced and surimi patin siam which most of them still used for processed product. One of meat product that has been consumed is dendeng. This product is processed by some of preservation steps. This research aimed to recognize of functional properties of minced and surimi patin siam, main nutrition content (composition of amino acid from protein) of

Patin Siam meat. Moreover, there were needed to know the characteristics of dendeng from minced and surimi Patin Siam with protein content and prediction of its`shelf life.

The research consisted of three steps. First step was characterization of functional properties of minced and surimi Patin Siam using parameters i.e. proximate, salt soluble protein, pH, water holding capacity (WHC), emulsion properties and gel strength. Secondly, processing dendeng from minced and surimi Patin Siam by sensory test and dendeng texture properties. In this step, there also was done amino acid analysis from fresh meat and dendeng of Patin Siam. The third was prediction shelf life of dendeng using Arhenius model. LDPE (Low Density Polyethylene) with seal was used as containers at 25oC, 35oC and 45oC. Observation time of 25oC, 35oC and 45oC respectively was 0, 10, 20 and 30 days; 0, 7, 14 and 21 days; and 0, 3, 6 and 9 days.

The final result showed that washing treatment affects moisture, fat, protein, ash and carbohydrate contents. Functional properties of minced i.e. WHC, emulsion characteristics (activity and stability emulsion) increased with more washing treatment. While gel strengh of minced with and without washing was not different. Whereas functional properties of surimi was higher than minced.

Sensory test of dendeng from minced and surimi showed panelists preferred to choose dendeng from minced three times washed. Dendeng textures properties also showed dendeng from minced three times washed had tensile strenght (67.16 kgf/cm2) and elongation (66,19%), these values is closed with commercial dendeng had tensile strenght (70.30 kgf/cm2) and elongation (63.53%).

Observation results shelf life for dendeng from minced three times washed showed at temperature 25oC was 32.01 days, at temperature 35oC was 23.30 days and at temperature 45oC was 17.30 days.


(4)

RINGKASAN

SURYANTI. F. 251060181. Kajian Sifat Fungsional Daging Lumat dan Surimi Ikan Patin Siam (Pangasius hyphopthalmus) serta aplikasinya menjadi Dendeng Giling dan pendugaan Umur Simpan. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF, HARI EKO IRIANTO dan SUKARNO.

Perkembangan variasi produk perikanan dari luar negeri (import) di pasar domestik saat ini semakin meningkat jika dibandingkan dengan produk perikanan dari dalam negeri. Hal ini merupakan tantangan bagi industri perikanan dalam negeri untuk melakukan diversifikasi produk perikanan agar dapat bersaing dengan luar negeri. Untuk itu sangat dibutuhkan suatu dasar/acuan bagi industri perikanan dalam memproduksi produk perikanan yaitu sifat fungsional daging lumat dan surimi ikan yang umumnya digunakan untuk memproduksi produk olahan. Salah satu produk olahan daging yang telah lama dikonsumsi masyarakat adalah dendeng giling yang diolah dengan melalui beberapa proses pengawetan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik/sifat fungsional daging lumat dan surimi ikan patin siam, dengan kandungan gizi utama (komposisi asam amino dari protein) daging ikan patin siam. Selain itu juga untuk mengetahui karakteristik dendeng giling dari daging lumat dan surimi ikan patin siam dengan kandungan gizi protein dan umur simpannya.

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah karakterisasi sifat fungsional daging lumat dan surimi ikan patin siam dengan parameter pengamatan yaitu komposisi proksimat, protein larut garam, pH, Water holding capacity (WHC), sifat emulsi dan kekuatan gel. Tahap kedua adalah pengolahan dendeng giling dari daging lumat dan surimi ikan patin siam dengan parameter pengamatan adalah uji organoleptik, komposisi proksimat, dan uji sifat tekstur dendeng (kekuatan tarik dan elastisitas). Pada tahap ini juga dilakukan analisa asam amino dari daging segar dan dendeng giling ikan patin siam. Tahap ketiga adalah penyimpanan dendeng giling yang terbaik dari tahap dua dengan menggunakan metode Accelerated Shelf Life Testing model Arhenius. Kemasan yang digunakan adalah plastik LDPE (Low Density Polyethylene) tertutup rapat pada suhu 25oC, 35 oC, dan 45 oC. Waktu pengamatan pada suhu 25 oC yaitu pada ke- 0 hari, 10 hari, 20 hari dan 30 hari. Waktu pengamatan pada suhu 35oC yaitu waktu penyimpanan ke- 0 hari, 7 hari, 14 hari dan 21 hari. Waktu pengamatan pada suhu 45oC yaitu waktu penyimpanan ke- 0 hari, 3 hari, 6 hari dan 9 hari.

Hasil pengamatan menunjukkan perlakuan pencucian berpengaruh terhadap kandungan air, lemak, protein, abu dan karbohidrat. Sifat fungsional daging lumat seperti WHC, sifat emulsi (aktivitas emulsi dan stabilitas emulsi) cenderung meningkat dengan semakin banyaknya pencucian. Sedangkan kekuatan gel pada daging lumat tanpa pencucian dan dengan pencucian tidak jauh berbeda nilainya. Sedangkan sifat fungsional surimi cenderung lebih tinggi dari pada daging lumat.

Dari hasil uji subyektif (organoleptik) dendeng giling daging lumat tanpa dan dengan pencucian serta surimi menunjukkan panelis cenderung menyukai dendeng giling daging lumat pencucian tiga kali. Sedangkan dari uji obyektif dengan alat Tensile strenght juga menunjukkan bahwa dendeng giling daging


(5)

lumat pencucian tiga kali memiliki nilai kekuatan tarik (67.16 kgf/cm2) dan elongasi (66.19%) yang lebih mendekati dengan dendeng komersial yaitu nilai kekuatan tarik (70.30 kgf/cm2) dan elongasi (63.53%). Hal ini menunjukkan bahwa elastisitas dendeng giling daging lumat pencucian tiga kali mendekati dendeng sapi komersial sehingga dapat diterima oleh panelis.

Dari hasil pengamatan selama penyimpanan dendeng giling daging lumat pencucian tiga kali diketahui umur simpan pada suhu penyimpanan 25 oC adalah selama 32.01 hari, pada suhu 35 oC adalah 23.30 hari dan pada suhu 45 oC adalah selama 17.30 hari.


(6)

@ Hak Cipta milik IPB tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan narasumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh


(7)

KAJIAN SIFAT FUNGSIONAL DAGING LUMAT DAN

SURIMI IKAN PATIN SIAM (Pangasius hypopthalmus) SERTA

APLIKASINYA MENJADI DENDENG GILING DAN

PENDUGAAN UMUR SIMPANNYA

SURYANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

(9)

Judul Tesis : Kajian Sifat Fungsional Daging Lumat dan Surimi Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) serta Aplikasinya menjadi Dendeng Giling dan Pendugaan Umur

Simpannya Nama Mahasiswa : Suryanti Nomor Pokok : F251060181 Program Studi : Ilmu Pangan (IPN)

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Ketua

Prof. Dr. Ir. Hari Eko Irianto Dr. Ir. Sukarno, M.Sc Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ratih Dewanti Haryadi,M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,MS


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT atas rahmat dan hidayah-Nya karya tulis ilmiah ini telah berhasil diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dengan judul “Kajian Sifat Fungsional Daging Lumat dan Surimi Ikan Patin Siam (Pangasius hypopthalmus) serta Aplikasinya menjadi Dendeng Giling dan Pendugaan Umur Simpannya”. Dengan terselesainya tesis ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan dan memberi perhatian kepada penulis dengan bijaksana hingga penulisan tesis ini selesai.

2. Prof. Dr. Ir. Hari Eko Irianto, Kepala Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, dan selaku Anggota Komosi Pembimbing yang telah memberikan kesempatan penulis untuk menempuh program S2 Pascasarjana IPB atas biaya Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan serta atas arahan, bimbingan, perhatian dan mengupayakan pendanaan dalam pelaksanaan penelitian hingga selesai.

3. Dr. Ir. Sukarno, M.Sc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas kesempatan waktunya untuk memberikan arahan, bimbingan dan perhatian dalam mengevaluasi penelitian penulis hingga selesai.

4. Dr. Ir. Yadi Hariyadi M.Sc, selaku Penguji Luar Komisi atas segala saran dan evaluasi terhadap penelitian penulis.

5. Dr. Ir. Arpah, MSi atas saran dalam pelaksanaan penelitian uji penyimpanan.

6. Teman-teman di Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, atas bantuan dan perhatian yang diberikan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian hingga selesai.

7. Teman-teman di program studi Ilmu Pangan terutama ibu Elvira Syamsir, Hendra, Baryono, Emma, Akhyar serta teman-teman IPN angkatan 2006 atas bantuan dan dorongan semangat yang diberikan kepada penulis dalam melaksanakan penelitian hingga selesai.

8. Suami tercinta Rehartono dan kedua anak kami Rivana dan Ravina serta ibunda tercinta Hj. Sundjiah atas kasih sayang, perhatian dan kesabaran dalam mendampingi penulis selama ini.

9. Keluarga besar penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas bantuan dan doa yang diberikan kepada penulis.


(11)

Kesempurnaan adalah hal yang sangat didambakan, namun tidaklah mungkin tercapai karena kesempurnaan hanyalah milik Alloh SWT. Oleh karena itu, penulis berkenan untuk menerima segala kritik dan saran dari pembaca terhadap hasil penelitian ini

Akhir kata, penulis berharap semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Juni 2009


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 Januari 1975 sebagai anak keenam dari enam bersaudara dari pasangan Bapak H. Soewargo Drais (Alm) dan Ibu Hj. Sundjiah.

Tahun 1993 lulus dari SMA Negeri 46 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada jurusan Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan, dan penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 1998. Tahun 2001 penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil di Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Jakarta. Tahun 2006 penulis mendapat kesempatan untuk melaksanakan tugas belajar pada Sekolah Pasca sarjana program S2 di Institut Pertanian Bogor program studi Ilmu Pangan atas beasiswa dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Ikan Patin ... 4

Daging Ikan ... 5

Komposisi Daging Ikan ... 5

Sifat Fungsional Protein ... 8

Surimi ... 10

Dendeng ... 13

Kemasan ... 14

Pendugaan Umur Simpan ... 15

Oksidasi lemak ... 19

BAHAN DAN METODE ... 21

Waktu dan Tempat ... 21

Bahan dan Alat ... 21

Metode Penelitian ... 21

Penelitian Tahap Pertama ... 21

Persiapan bahan ... 22

Proses pengolahan daging lumat tanpa pencucian ... 22

Proses pengolahan daging lumat dengan pencucian ... 22

Proses pengolahan surimi ... 22

Penelitian Tahap Kedua ... 23

Proses pengolahan dendeng giling ikan patin siam ... 23

Rancangan percobaan ... 24

Penelitian Tahap Ketiga ... 26

Metode Pengamatan ... 27

Kadar air ... 27

Kadari lemak ... 27

Kadar abu ... 27

Kadar protein ... 28

Kadar total karbohidrat (Metode fenol) ... 28

Kadar protein larut garam (Salt Soluble Protein) ... 29


(14)

Analisis asam amino ... 30

Water Holding Capaciy (WHC) ... 31

Sifat emulsi ... 31

Kekuatan gel (Gel Strenght) ………... 31

Nilai anisidin ... 32

Bilangan peroksida ... 32

Nilai total oksidasi (Totox Value) ... 32

Tensile Strenght dan Elongasi ... 33

Penentuan angka lempeng total (ALT) ... 33

Analisa Kapang ... 33

Uji organoleptik ... 34

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

Sifat Fungsional Daging Lumat dan Surimi Ikan Patin Siam ... 35

Kadar air ... 35

Kadar protein ... 36

Kadari lemak ... 37

Kadar abu ... 38

pH ... 39

Protein larut garam / Salt Soluble Protein (SSP) ... 40

Sifat emulsi ... 41

Water Holding Capacity (WHC) ... 44

Kekuatan gel (Gel Strenght) ... 45

Karakteristik Dendeng Ikan Patin Siam Lumat dan Surimi ... 47

Uji organoleptik ... 47

Sifat tekstur dendeng giling ikan patin siam ... 51

Analisa proksimat ... 53

Profil asam amino ... 55

Analisa mikrobiologi ... 61

Penyimpanan Dendeng Ikan Patin Siam (Pangasius Hypopthalmus) ... 63

Bilangan Peroksida ... 63

Angka Anidisin ... 65

Nilai Totoks ... 66

Pendugaan Umur Simpan ... 67

Plot ordo nol ... 69

Plot ordo satu ... 70

KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

Kesimpulan ... 76

Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Tipe daging merah pada berbagai jenis ikan ... 5

2 Mekanisme oksidasi lemak ... 19

3 Prosedur pembuatan dendeng giling dari ikan patin siam ... 25

4. Protein larut garam (ssp) daging lumat dan surimi ikan patin siam ... 40

5. Sifat emulsi daging lumat dan surimi ikan patin siam ... 42

6. Water Holding Capacity (WHC) daging lumat dan surimi ikan patin siam. 44 7. Kekuatan gel daging lumat dan surimi ikan patin siam ……….. 45

8. Daging lumat tanpa pencucian (P0), daging lumat pencucian satu kali (P1), daging lumat pencucian dua kali (P2), daging lumat pencucian tiga kali (P3) ………... 46

9. Hasil uji organoleptik metode pembedaan atribut dendeng giling mentah.. 48

10. Hasil uji organoleptik metode pembedaan atribut dendeng giling matang... 48

11. Hasil uji organoleptik metode hedonik dendeng giling ikan patin siam ... 50

13. Awal reaksi maillard ... 60

14. Nilai bilangan peroksida selama penyimpanan ... 64

15. Nilai angka anisidin selama penyimpanan ... 65

16. Nilai totoks dendeng ikan patin siam selama penyimpanan ... 67

17. Plot ordo nol pada penyimpanan 25oC ... 69

18. Plot ordo nol pada penyimpanan 35oC ... 69

19. Plot ordo nol pada penyimpanan 45oC ... 70

20. Plot ordo satu pada penyimpanan 25oC ... 70

21. Plot ordo satu pada penyimpanan 35oC ... 71

22. Plot ordo satu pada penyimpanan 45oC ... 71


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Sifat fungsional protein dalam sistem pangan ... 8

2. Hasil analisa proksimat daging lumat dan surimi ikan patin siam ... 35

3. pH daging lumat dan surimi ikan patin siam …………... 39

4. Sifat tekstur dendeng giling ikan patin siam ... 52

5. Hasil analisa proksimat dendeng giling ikan patin siam ... 54

6. Komposisi asam amino daging dan dendeng ikan patin siam ... 57

7. Komposisi asam amino esensial daging segar dan dendeng ikan patin siam ... 61

8. Hasil analisa angka lempeng total dan kapang dendeng ikan patin siam ... 62

9. Nilai slope k dari persamaan ordo nol dan ordo satu ... 72

10. Tabulasi parameter persamaan Arhenius pada ordo nol ... 73


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey analisa proksimat daging lumat

dan surimi ikan patin siam …... 86 2. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey protein larut garam (Salt soluble

protein/ssp) dan persen protein ………... 90 3. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey Sifat Emulsi ………... 92 4. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey Water Holding Capaity (WHC) .. 94 5. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey Kekuatan gel ... 95 6. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey kekuatan tarik dan elongasi ..…. 96 7. Skorsheet Uji Organoleptik pembedaan atribut ... 97 8. Skorsheet Uji Organoleptik hedonik ... 99 9. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey uji organoleptik hedonik ... 101 10. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey uji organoleptik pembedaan

atribut dendeng giling mentah ... 103 11. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey uji organoleptik pembedaan

atribut dendeng giling matang ... 106 12. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey analisa dendeng giling ikan

patin siam ... 108 13. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Tukey analisa angka lempeng total ... 113 14. Syarat Mutu Dendeng ( SNI Dendeng sapi : SNI 01-2908-1992) …….. 114 15. Gambar tekstur dendeng giling ikan patin siam (Pangasius


(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beberapa tahun terakhir ini, komoditas ekspor hasil perikanan tidak hanya di dominasi oleh hasil perikanan tangkap saja, namun sudah mulai banyak diisi oleh hasil perikanan budidaya. Hal ini disebabkan oleh semakin menurunnya produksi hasil perikanan tangkap dan semakin banyaknya masalah penolakan ekspor hasil perikanan tangkap yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini, yang dikarenakan oleh adanya kandungan logam berat yang telah melebihi batas normal. Kandungan logam berat pada hasil perikanan tangkap ini umumnya berasal dari cemaran polusi perairan di laut. Menurut data statistik perikanan (Anonim. 2008), sejak tahun 2004 – 2007 diketahui terjadi kenaikan nilai ekspor hasil perikanan dengan nilai rata-rata sebesar 7.62%. Total nilai ekspor perikanan ini meningkat sejak dilakukan ekspor hasil perikanan budidaya yang mulai banyak diminati oleh pasar di luar negeri. Salah satu komoditas potensial perikanan untuk meningkatkan daya saing produk perikanan didalam maupun luar negeri adalah ikan patin (Pangasius sp). Komoditas ekspor hasil perikanan ini umumnya diekspor masih dalam keadaan segar atau daging fillet tidak dalam bentuk produk olahan.

Pada umumnya, bahan baku ikan yang digunakan untuk memproduksi produk olahan ikan berupa daging lumat atau berupa surimi. Surimi adalah daging lumat yang telah dibersihkan dan dicuci secara berulang – ulang dengan tujuan agar sebagian besar bau, darah, pigmen dan lemak hilang. Selain itu, untuk meningkatkan sifat elstisitas gel surimi dapat diberikan bahan tambahan makanan (Peranginangin et al. 1999). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan dilaporkan bahwa daging ikan patin siam sangat baik diolah menjadi surimi dengan dengan warna daging putih dan kekuatan gel tekstur yang bervariasi (Suryaningrum et al. 2007).

Surimi yang berasal dari ikan air tawar lebih baik mutunya dari pada surimi yang berasal dari ikan laut karena kandungan daging berwarna gelap didalam ikan laut lebih banyak. Daging ikan yang berwarna gelap sangat rentan


(19)

kestabilan mutunya karena tingginya kandungan histidin yang dengan cepat dapat berubah menjadi histamin setelah ikan mati (Suzuki. 1981). Selain itu di dalam daging berwarna gelap banyak terdapat hemoglobin dan myoglobin yang dapat mempengaruhi kualitas mutu warna surimi yang dihasilkan.

Salah satu produk olahan daging yang telah lama dikenal masyarakat adalah dendeng. Dendeng merupakan produk olahan daging semi basah yang telah melalui beberapa proses pengawetan dengan tujuan untuk memperpanjang daya simpan. Proses pengawetan yang dilakukan adalah dengan menggunakan bahan tambahan makanan seperti garam, gula dan rempah-rempah serta penerapan proses pengeringan. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam bahan pangan sampai tingkat tertentu yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan dan untuk memperpanjang daya simpannya. Selain itu, pengeringan juga dapat untuk mengurangi beban selama pengemasan, penyimpanan dan transportasi (Hariyadi dan Kusnandar. 2006).

Perkembangan variasi produk perikanan dari luar negeri (import) di pasar domestik saat ini semakin meningkat jika dibandingkan dengan produk perikanan dari dalam negeri. Hal ini merupakan tantangan bagi industri perikanan dalam negeri untuk melakukan diversifikasi produk perikanan agar dapat bersaing dengan luar negeri. Untuk itu sangatlah dibutuhkan suatu dasar/acuan bagi industri perikanan dalam memproduksi produk perikanan. Karakteristik sifat fungsional daging ikan lumat dan surimi merupakan salah satu dasar/acuan yang sangat dibutuhkan dalam memproduksi produk perikanan. Berdasarkan sifat-sifat fungsional tersebut dapat diproduksi produk perikanan dengan karakteristik mutu yang diinginkan. Pada penelitian ini akan dilakukan karakterisasi sifat fungsional daging lumat dan surimi ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) serta aplikasinya menjadi produk dendeng giling dan pendugaan umur simpannya.

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah :

1. Mengetahui karakteristik/sifat fungsional daging lumat dan surimi ikan patin siam.


(20)

2. Mengetahui kandungan gizi utama (komposisi asam amino dari protein) daging ikan patin siam

3. Mengetahui karakteristik dendeng giling dari daging lumat dan surimi ikan patin siam

4. Mengetahui kandungan gizi protein dan umur simpan dendeng giling dari ikan patin siam.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakteristik/sifat fungsional daging lumat dan surimi ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) yang dapat dijadikan sebagai dasar/acuan dalam proses pengolahan produk perikanan selanjutnya. Selain itu juga diharapkan dapat diketahui karakteristik dan kandungan gizi protein dendeng giling dari ikan patin siam serta pendugaan umur simpannya.


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Patin

Ikan patin berasal dari golongan familia Pangasidae yaitu jenis ikan berkumis yang hidup di perairan air tawar yang berarus lambat seperti sungai atau muara-muara sungai yang tersebar di sebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan. Ikan patin (Pangasius sp) berasal dari perairan umum dengan distribusi penyebarannya meliputi Thailand, Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam dan Indonesia. Di Indonesia dikenal dua jenis ikan patin yaitu ikan patin lokal (Pangasius sp) dan ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus). Salah satu jenis varietas ikan patin lokal yang telah menjadi komoditas ekspor hasil perikanan adalah ikan patin jambal (Pangasius djambal) (Djarijah. 2001). Adapun klasifikasi penamaan ikan patin (Saanin. 1984) sebagai berikut :

Filum : Chordata Kelas : Pisces Sub – Kelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi

Subordo : Siluroidea

Famili : Pangasidae Genus : Pangasius

Spesies : Pangasius pangasius.

Karakteristik fisologi ikan patin adalah kulit halus dan memiliki dua pasang sungut yang relatif pendek sehingga sering disebut sebagai catfish serta terdapat patil di sirip punggung dan sirip dadanya. Ciri khas ikan patin lainnya yaitu jari-jari sirip punggung dan sirip dada sempurna dengan tujuh jari-jari bercabang, sirip dubur panjang dan bersambung dengan sirip ekor, sedangkan sirip ekor berbentuknya seperti gunting. Ukuran kepala ikan patin relatif kecil, dengan mulut terletak diujung kepala agak sebelah bawah dan pada sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba (Susanto dan Amri. 1998). Selain itu, ikan ini memiliki warna khas pada tubuhnya kelabu kehitaman, sedangkan warna perut dan sekitarnya putih


(22)

(Hernowo. 2001). Daging ikan patin juga memiliki karakteristik rasa gurih yang sangat khas sehingga banyak diolah menjadi berbagai macam produk olahan seperti bakso, sosis, dan lainnya. Selain itu, dari hasil analisa kandungan gizi daging ikan patin diketahui mengandung protein yang cukup tinggi yaitu mencapai 19,26% (Suryaningrum et al. 2007).

Daging Ikan

Berdasarkan warnanya, daging ikan dibedakan menjadi dua yaitu daging merah dan daging putih. Daging merah atau gelap terdapat di sepanjang tubuh bagian samping di bawah kulit, sedangkan daging putih terdapat hampir di seluruh bagian tubuh ikan (Suzuki. 1981). Bentuk dan volume daging merah dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe seperti yang terlihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Tipe daging merah pada berbagai jenis ikan A = Cod, B = Mackerel, C = Frigate Mackerel.

Daging ikan tersusun atas serabut – serabut otot yang saling berikatan oleh adanya jaringan penghubung (endomisium) dan dilindungi oleh miokotomma. Ukuran ketebalan dan panjang jaringan serabut ini berbeda-beda pada setiap jenis ikan. Serabut otot ikan terdiri dari beberapa miofibril yang tersusun paralel dan sarkoplas yang mengisi ruang di antaranya.

Komposisi Daging Ikan

Pada umumnya, komposisi daging ikan terdiri dari 15 – 24% protein, 0.1 – 22% lemak, 1 – 3% karbohidrat, 0.8 – 2% substansi anorganik dan 66 – 84% air


(23)

(Suzuki. 1981). Sedangkan komposisi daging ikan patin siam siam (Pangasius hypopthalmus) mengandung protein 19.26%, lemak 5.8%, abu 1.13%, dan air 79.16% dengan rendemen daging sekitar 40% (Suryaningrum et al. 2007). Kandungan lemak dalam daging ikan bervariasi tergantung pada spesies, umur, kondisi sebelum atau setelah perkembangbiakan (bertelur) dan kondisi pakan. Semakin tinggi kandungan lemaknya, maka semakin rendah kandungan air daging ikan (Suzuki. 1981).

Pada daging merah ikan lebih banyak mengandung lemak dari pada daging putih, sedangkan kandungan protein dalam daging merah lebih sedikit dari pada daging putih. Protein daging ikan terdiri dari protein sarkoplasmik dan miofibrilar, yang dihubungkan oleh jaringan sel yang mengandung stroma. Protein sarkoplasmik terdapat di dalam membran plasma yang mengandung protein terlarut dalam air (water soluble protein) disebut miogen dan diperoleh dari proses penekanan daging ikan, atau dengan cara ekstraksi dalam larutan garam yang berkekuatan ion rendah. Pada beberapa spesies ikan, kandungan protein sarkoplasmik didalam daging merah lebih sedikit daripada didalam daging putih (Suzuki. 1981).

Protein miofibrilar memiliki sifat larut dalam larutan garam (salt soluble protein) (Muchtadi dan Sugiyono. 1992). Protein miofibrilar merupakan protein yang paling banyak dalam daging ikan yang terdiri dari miofibril yang mengandung miosin, aktin, tropomiosin, aktinin dan troponin (Suzuki. 1981). Miosin merupakan komponen terbesar dari fraksi protein miofibrilar yaitu 50 – 60%, aktin sekitar 20%, sedangkan troponin dan tropomiosin sekitar 10%. Protein miofibrilar ini berperan dalam pembentukan koagulasi dan gel dari daging (Sikorski. 2001). Protein ini diekstrak dari daging ikan dalam larutan garam netral dengan kekuatan ionik. Aktin dan miosin diekstraksi secara berurutan dapat membentuk aktomiosin. Ketika protein miofibrillar diekstrak dengan larutan garam, diperoleh ekstrak dalam waktu singkat (terutama miosin) yang memiliki nilai viskositas lebih rendah dari pada ekstrak yang diperoleh dari ekstraksi dalam waktu yang lebih lama (aktomiosin). Protein miofibrilar mengalami perubahan selama rigor mortis, pemecahan rigor mortis dan


(24)

penyimpanan beku dalam waktu lama. Tekstur produk ikan dan pembentukan gel daging ikan lumat dipengaruhi oleh perubahan ini (Suzuki. 1981).

Protein sarkoplasmik dapat memberikan efek yang merugikan terhadap kemampuan protein miofibrilar dalam pembentukan gel. Ketika diberikan perlakuan suhu tinggi pada daging lumat ikan, protein sarkoplasmik akan menempel pada protein miofibrilar, sehingga tidak mudah untuk memperoleh kekuatan gel tinggi dari daging lumat dan water holding capacity (WHC) menjadi rendah. Oleh karena itu, dalam proses pembuatan daging ikan lumat atau surimi dilakukan pencucian untuk membuang darah, lemak dan juga protein sarkoplasmik yang dapat menghambat pembentukan gel (Suzuki. 1981).

Stroma adalah protein yang membentuk jaringan penghubung sel yang terletak dibagian terluar dari sel otot atau disebut jaringan ikat (Muchtadi dan Sugiyono. 1992). Protein ini banyak terdapat pada ikan berdaging merah, tidak larut air, larutan asam, larutan alkali atau garam netral pada konsentrasi 0.01 – 0.1 M. Stroma mengandung kolagen, yang jika dipanaskan pada periode waktu tertentu akan berubah menjadi suatu larutan gelatin dan dapat membentuk gel (Suzuki. 1981).

Selain itu beberapa jenis ikan laut terutama yang termasuk dalam kelompok scombroidae seperti cakalang, tuna, tongkol marlin dan sardine diketahui mengandung asam amino histidin bebas yang tinggi. Histidin diubah menjadi histamin oleh enzim histidin dekarboksilase yang dihasilkan oleh bakteri – bakteri pembentuk histamin seperti Morganella morganii, Klebsiella pneumonia, Hafnia alvei, Clostridium perfringens, Lactobacillus spp., Aeromonas

spp., Eschericia spp., Salmonella spp., Shigella spp., Photobacterium spp., Vibrio

spp., Enterobacter aerogenes dan bakteri yang berasal dari famili

Enterobacteriaceae lainnya (Wei et al. 1990 di dalam Indriati at al. 2006). Pada umumnya, kandungan histamine antara 50 – 100 mg/100 g dianggap berbahaya karena dapat mengakibatkan keracunan (Wonggo. 1995 di dalam Dwiyitno et al. 2004) yang ditandai dengan gejala sakit kepala, pembengkakan lidah, kerongkongan terbakar, mual, muntah-muntah, gatal-gatal dan diare (Mangunwardoyo W et al. 2007).


(25)

Sifat Fungsional Protein

Sifat fungsional protein merupakan sifat fisikokimia protein yang berperan dalam menentukan karakteristik bahan pangan yang diinginkan, terutama sensori bahan pangan. Sifat ini juga dapat menentukan sifat fisik produk pangan yang dihasilkan akibat proses penanganan, proses pengolahan ataupun penyimpanan yang dilakukan. Sifat fungsional protein terbagi menjadi tiga kelompok utama yaitu : (1) sifat hidrasi (tergantung pada interaksi protein–air) yang meliputi penyerapan dan pengikatan air, swelling (pengembangan), adesi, dan kelarutan, (2) sifat yang berhubungan dengan interaksi protein-protein seperti gelasi dan (3) sifat-sifat permukaan seperti tegangan permukaan, emulsifikasi (Fennema. 1985). Beberapa sifat fungsional protein dalam produk pangan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat fungsional protein dalam sistem pangan

Sifat Fungsional Mekanisme Bahan Pangan Tipe protein

Kelarutan Hidrofilik Minuman Whey protein

Viskositas Pengikatan air,

ukuran dan bentuk hidrodinamik

Soup, gravies, salad dressing, dessert

Gelatin

Pengikatan air Ikatan hidrogen, hidrasi ionik

Sosis, cake, roti Protein otot, protein telur

Gelasi Memerangkap air,

dan immobilisasi

Daging, gel, cake, roti, keju

Protein otot, telur dan susu

Kohesi-Adesi Ikatan hidrofobik,

ionik dan hidrogen

Daging, sosis, pasta,

baked goods

Protein otot, telur, whey Elastisitas Ikatan hidrofobik Daging, bakery Protein otot,

sereal

Emulsifikasi Pembentukan film

dan adsorpsi pada interfase

Sosis, bologna, soup, cake, dressing

Protein otot, telur, susu,

Daya buih Adsorpsi interfasial dan pembentukan film

Whipped toppings, es krim, cakes, dessert

Protein telur, susu

Pengikatan lemak dan flavor

Ikatan hidrofobik Bakery lemak

rendah, donat

Protein susu, telur, sereal. Sumber : Fennema. 1985


(26)

Sifat kelarutan protein sangat dipengaruhi oleh komposisi asam amino, pH, suhu dan pelarut yang digunakan. Asam amino sebagai penyusun protein mengandung grup molekul polar dan non polar yang kemudian dapat diketahui bersifat hirofobik dan hidrofilik yang dapat mempengaruhi kelarutan protein. Pengaruh pH didasarkan pada adanya perbedaan muatan antara asam-asam amino yang menyusun protein. Pada pH tertentu perbedaan tersebut dapat mencapai nol atau terjadinya kesetimbangan muatan yang dikenal dengan titik isoelektrik. Pada pH di atas titik isoelektrik, muatan protein menjadi negatif dan kelarutan protein menjadi meningkat. Interaksi protein dengan air meningkat pada nilai pH yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada titik isoelektrik karena protein dapat bermuatan positif atau negatif. Perubahan muatan ini menyebabkan menurunnya daya tarik menarik antara molekul protein, sehingga molekul protein lebih mudah terurai dan kelarutan protein akan semakin meningkat. Sedangkan adanya perlakuan suhu selama proses pemanasan dapat menyebabkan denaturasi protein yang selanjutnya dapat mempengaruhi kelarutan protein, dimana terjadi perubahan struktur protein. Kelarutan protein ini merupakan syarat awal untuk terjadinya gelasi, emulsifikasi dan proses fungsional lain dari protein (Zayas. 1997).

Penggunaan larutan garam dalam pengolahan produk pangan juga dapat mempengaruhi kelarutan protein. Winarno (2004) menyatakan senyawa garam dapat memecah ikatan hidrogen dalam struktur molekul protein yang akhirnya dapat menyebabkan denaturasi protein. Dengan cara tersebut garam dapat memecah interaksi hidrofobik dan meningkatkan daya kelarutan gugus hidrofobik dalam air. Sedangkan Zayas (1997) menyatakan penggunaan NaCl dalam proses pengolahan produk daging dapat meningkatkan kelarutan protein. Pada proses pengolahan produk daging terutama comminuted dan restructured daging, kelarutan protein dengan garam sangat penting diperhatikan untuk mendapatkan kualitas produk yang baik yaitu akan mengikat komponen formulasi yang tidak larut menjadi matriks protein yang stabil membentuk sistem stabil sebelum dan setelah perlakuan panas.

WHC pada daging dan produknya adalah kemampuan untuk mengabsorpsi dan menahan air selama perlakuan mekanis (pemotongan, penggilingan,


(27)

pengadonan, stuffing, dan perlakuan panas (Zayas. 1997). Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), WHC menunjukkan kemampuan daging untuk mengikat air bebas. Sifat ini penting dalam pembuatan produk emulasi daging karena WHC merupakan faktor penting dalam pembentukan gel. WHC ini merupakan fungsi protein yang berkaitan dengan interaksi protein dengan air yang selanjutnya dapat mempengaruhi mutu daging seperti tekstur, citarasa dan warna. Interaksi protein dengan air ini juga menentukan fungsi protein lainnya seperti swelling, kelarutan dan emulsifikasi, serta gelasi. Faktor-faktor yang berpengaruh pada WHC selama proses pengolahan adalah struktur molekul protein daging, komposisi jaringan protein, pH, garam, dan suhu perlakuan (Zayas. 1997).

Sifat emulsifikasi protein miofibril dan sarkoplasmik sangat penting dalam proses emulsifikasi daging. Protein larut air (sarkoplasmik) menunjukkan sifat emulsifikasi yang sangat rendah daripada protein larut garam (miofibril). Kandungan komponen grup sulfihidril, hidrofobik dan kelarutan dari protein daging yang larut garam sangat mempengaruhi sifat emulsifikasi (Zayas. 1997). Sifat fisik dan kimia miosin berperan dalam pembentukan emulsifikasi yaitu (1) grup hidrofobik yang dapat berikatan dengan molekul lemak, (2) grup hidrofilik yang selanjutnya membentuk matriks, (3) membentuk molekul permukaan yang rendah tegangannya. Miosin bebas dapat membentuk suatu lapisan pada permukaan interaksi lemak – air dalam sosis daging (Sikorski. 2001).

Gelasi protein merupakan proses fisik kimia yang terjadi pada interaksi protein dengan protein sehingga tersusun jaringan viskoelastik tiga dimensi yang dapat manahan sejumlah air. Pembentukan gel terjadi karena adanya ikatan hidrogen, ikatan ionik, ikatan hidrofobik dan ikatan disulfida (Fennema. 1985). Gelasi protein yang dihasilkan oleh protein miofibril sangat menentukan tekstur produk daging. Pembentukan ikatan disulfida berperan dalam pembentukan gel dari protein miosin dan aktomiosin daging ikan pada suhu yang relatif rendah yaitu 40oC. Sedangkan protein sarkoplasmik menunjukkan kemampuan membentuk gelasi pada suhu 70 - 80oC. (Sikorski. 2001).

Surimi

Surimi adalah daging ikan lumat beku yang telah mengalami proses pencucian (leaching), penambahan garam dan bahan anti denaturasi


(28)

(gula/sorbitol) dan pembekuan sehingga dihasilkan produk yang mempunyai elastisitas (kekuatan gel) yang dapat memenuhi kriteria sebagai bahan baku produk fish gel (baso, sosis, burger, otakotak, siomay, nugget) dengan daya tahan simpan yang tinggi (Wahyuni. 2007).

Menurut Suzuki (1981), surimi dibedakan menjadi dua tipe yaitu : (1) Mu-en surimi yaitu surimi bebas garam dan (2) Ka-en surimi yaitu surimi yang diberikan perlakuan garam. Garam merupakan bahan tambahan makanan yang paling umum digunakan untuk mengawetkan hasil perikanan daripada jenis bahan pengawet atau bahan tambahan lainnya. NaCl memiliki daya awet yang tinggi karena (1) dapat menyebabkan berkurangnya jumlah air dalam daging sehingga kadar air dan afinitasnya akan rendah, (2) dapat menyebabkan protein daging dan protein mikroba terdenaturasi, (3) dapat menyebabkan sel-sel mikroba menjadi lisis karena perubahan tekanan osmosis, (4) ion klorida mempunyai daya toksisitas yang tinggi terhadap mikroba dan dapat memblokir sistem respirasinya. Pada proses pengolahan ikan pada umumnya digunakan NaCl sekitar 3 – 40% (Hadiwiyoto. 1994).

Proses pengolahan surimi meliputi proses penyiangan (pembuangan kepala dan isi perut), pemisahan daging, penggilingan/pelumatan, pencucian, dan pembekuan. Tujuan dari proses pencucian tidak hanya membuang darah dan kotoran lain, tetapi juga mempertahankan keutuhan protein yang larut air agar tidak rusak (Suryaningrum et al. 2007). Pada proses penggilingan daging ikan diperlukan penambahan larutan garam untuk meningkatkan kekuatan ionik dari daging agar dapat larut dalam aktomiosin sehingga terbentuk gel (Suzuki. 1981). Selain itu, dalam pengolahan surimi dari ikan yang banyak mengandung lemak biasanya juga digunakan natrium bikarbonat (NaHCO3) sebanyak 0.5% yang

berfungsi dapat membantu mengurangi kandungan lemak dari daging dan mengubah warna menjadi lebih baik (Bledso et al. 2000).

Pada proses pencucian fillet daging ikan dilakukan berulang kali untuk meningkatkan sifat hidrofilik daging menjadi swelling. Pada umumnya pH daging ikan adalah 7.3 – 7.6, namun apabila daging dalam keadaan tidak segar, perpindahan air dari daging menjadi sulit sehingga diperlukan perlakuan pada pH rendah untuk mendekatkan titik isoelektrik dari protein daging ikan. Air dapat


(29)

berpindah dengan mudah dari daging dalam keadaam pH 4.8 – 5.6. Penggunaan 0.01 – 0.3% larutan garam seperti natrium klorida pada proses pencucian berikutnya dapat mengurangi kandungan air dari daging dengan mudah. Setelah proses pencucian, dilakukan penghilangan kandungan air dalam daging yang dicuci sampai dengan 80% dengan menggunakan alat sentrifugasi atau screw press (Suzuki. 1981).

Proses penggilingan dapat menghasilkan panas akibat dari interaksi antar friksi molekul dalam daging yang dapat mengakibatkan terjadinya proses denaturasi protein. Hal ini dapat dicegah dengan menggunakan sistem alat penggiling dingin yaitu dengan menambahkan jaket pendingin atau es pada alat penggiling. Penggilingan daging ikan dilakukan dengan menggunakan alat silent cutter dan ditambahkan garam 2.5 - 3% (dari berat daging). Penambahan garam ini berperan dalam pembentukan gel dari protein daging (Suryaningrum et al. 2007). Sedangkan pada proses pembekuan, pada suhu -1oC sampai -5oC terjadi pembentukan kristal-kristal es, sehingga perlu dilakukan pembekuan cepat dengan

contact plate freezer (Tan et al. 1988). Pada saat penyimpanan beku pada suhu -35oC menunjukkan surimi sangat stabil, pada suhu -20oC kurang stabil dan pada suhu -10oC terjadi penurunan mutu gelasi protein setelah 2 bulan (Matsumoto and Noguchi. 1992).

Sifat fungsional surimi sangat berperan dalam menentukan mutu surimi, terutama kemampuan dalam pembentukan gel. Pembentukan gel surimi berkaitan erat dengan komposisi protein daging ikan yang digunakan. Hal yang perlu diperhatikan adalah penyiapan bahan utama (daging) dalam pembuatan surimi, yaitu pencegahan terjadinya denaturasi protein, yang dapat dilakukan dengan cara yaitu (1) faktor fisikokimia yang meliputi pengaruh leaching, suhu, pH dan proses pembekuan/penyimpanan dan (2) faktor kimia yang meliputi penggunaan antidenaturan (senyawa krioprotektan) (Matsumoto and Noguchi. 1992).

Selama proses pembekuan dan pengeringan dapat terjadi denaturasi protein yaitu air di sekeliling molekul protein, yang menstabilkan ikatan hidrogen intra molekul dan ikatan hidrofobik yang menstabilkan molekul pada struktur asalnya dihilangkan. Untuk mencegah denaturasi, maka perpindahan air harus dikontrol dan protein distabilkan secara struktur, dengan penggunaan


(30)

antidenaturan yaitu krioprotektan seperti sukrosa, sorbitol dan polifospat. Molekul krioprotektan berinteraksi dan terikat dengan molekul protein sehingga setiap molekul protein tertutup oleh molekul krioprotektan yang terhidrasi. Dengan demikian, interaksi diantara molekul protein berkurang, sehingga meningkatkan hidrasi dan mengurangi agregasi protein (Matsumoto and Noguchi. 1992).

Dendeng

Dendeng adalah produk pangan semi basah yang dapat dimakan tanpa rehidrasi dan tidak memberikan rasa kering pada produk. Dalam pembuatan dendeng biasanya diberikan rempah-rempah sebagai bumbu yang berguna untuk menghasilkan aroma, rasa khas dan daya awet. Rempah-rempah ini dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan dapat berfungsi juga sebagai antioksidan. Rempah – rempah yang sering digunakan dalam pembuatan dendeng adalah jahe, ketumbar, bawang putih, asam jawa dan lengkuas (Peranginangin. 2002).

Sebagian besar komponen di dalam rempah-rempah bersifat sebagai antimikroba, sehingga dapat mengawetkan makanan. Komponen rempah-rempah yang mempunyai aktivitas antimikroba adalah bagian minyak asiri yang terdapat dalam kunyit, jahe bawang putih dan bawang merah. Ekstrak bawang merah mempunyai efek bakterisidal terhadap Staphylococcus aureus dan Shigella dysentriae. Jahe mempunyai efek bakterisidal terhadap Micrococcus varians,

Leuconostoc sp., dan Bacillus subtilis, serta bersifat bakteri statik terhadap

Pseudomonas sp. dan Enterobacter aerogenes. Ekstrak bawang putih mentah juga mempunyai aktivitas antimikroba terhadap Escherichia coli, Staphylococcus sp, Proteus vulgaris, Bacillus subtilis, Serratia marcescens, dan Shigella dysentriae (Astawan. 2005).

Adapun prinsip dari pembuatan dendeng adalah substitusi air dari bahan dengan rempah - rempah sebagai bahan pengawet. Sedangkan untuk memperpanjang daya awet sebagian air dari bahan dihilangkan dengan proses pengeringan (Peranginangin. 2002). Pada umumnya, pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam bahan pangan sampai sangat rendah sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan dan memperpanjang daya simpannya. Pengeringan


(31)

adalah proses pengeluaran air dari bahan pangan dengan menggunakan energi panas sehingga tingkat kadar air dari bahan tersebut menurun. Dalam proses pengeringan, terdapat dua proses penting yaitu pindah panas yang mengakibatkan penguapan air dalam bahan pangan dan pindah massa yang menyebabkan pergerakan air atau uap air melalui bahan pangan yang kemudian mengakibatkannya terpisah dari bahan pangan. Pengerakan air dalam bahan pangan terjadi melalui proses difusi yang disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan uap air diantara bagian dalam dan permukaan bahan pangan (Hariyadi dan Kusnandar. 2006).

Menurut Arifudin (2007), dalam pengolahan dendeng ikan diperlukan bahan tambahan makanan dan rempah-rempah seperti gula (20%), garam (4%), ketumbar (2.5%), asam jawa (5%), lengkuas (2.5%), jahe (1.5%) bawang putih (1%), bawang merah (1.5%) dengan lama pengeringan sinar matahari selama 12 jam.

Kemasan

Dalam menentukan pilihan bahan kemasan perlu diketahui berbagai informasi mengenai hal-hal yang dapat menyebabkan kerusakan produk sebelum dikonsumsi. Permasalahan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah perubahan kadar air, pengaruh gas dan cahaya. Akibat dari perubahan kadar air akan timbul jamur dan bakteri, pengerasan pada produk bubuk dan pelunakan pada produk kering. Sedangkan akibat dari pengaruh gas oksigen yaitu dapat menimbulkan ketengikan (pada produk yang berlemak) dan perkembang biakan jasad renik (Syarief. 1989). Terjadinya perubahan kadar air ataupun pengaruh gas tersebut umumnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan penyimpanan produk yang dapat mempengaruhi kelembaban udara. Menurut Matz (1997), pertukaran kelembaban uap air diantara produk dengan lingkungan kemasan dapat dicegah jika kemasan dalam dua kondisi yaitu (1) kemasan harus memiliki nilai rata-rata penyebaran kelembaban uap air yang rendah (low moisture vapor transmission), (2) kemasan harus dapat tertutup rapat (kedap udara) tanpa ada pembukaan.

Beberapa komponen flavor dapat ditahan oleh jenis plastik polyethylene. Jenis plastik ini juga dapat mencegah hilangnya flavor volatil dari produk (Matz. 1997). Polyethylene dibuat dengan proses polimerisasi adisi dari gas etilen yang


(32)

diperoleh dari industri arang dan minyak. Polyethylene merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan dalam industri pangan karena sifat-sifatnya yang mudah dibentuk, tahan terhadap berbagai bahan kimia, penampakan jernih dan mudah digunakan sebagai laminasi (Syarief. 1989).

Pendugaan Umur Simpan

Umur simpan suatu bahan pangan didefinisikan sebagai suatu periode selama produk pangan masih dalam keadaan baik karakteristiknya dari segi sensori, kimia dan mikrobiologi maupun dari kandungan gizinya (IFST. 1993). Dalam proses pelaksanaan pendugaan umur simpan suatu produk pangan biasanya diperlukan waktu yang cukup lama, mengingat banyak hal yang terkait di dalam produk pangan yang dapat mempengaruhi karakteristiknya. Namun beberapa tahun terakhir ini telah dikembangkan metode pendugaan umur simpan dalam waktu yang tidak lama, yaitu model Accelerated (percepatan).

Menurut Floros (1993) dalam Arpah (2001) umur simpan produk pangan dapat diduga dan ditetapkan masa kadaluwarsanya dengan menggunakan dua metode yaitu metode konvensional dan metode percepatan (accelerated). Metode konvensional adalah penentuan umur simpan dengan menyimpan produk pangan pada kondisi normal (suhu, kelembaban udara) dan dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutu produk hingga mencapai tingkat mutu kadaluwarsa yaitu mutu produk pangan ditolak oleh konsumen. Sedangkan metode percepatan (Accelerated Shelf Life Testing) adalah penentuan umur simpan suatu produk pangan dengan mempercepat terjadinya penurunan mutu produk pangan tersebut. Keuntungan metode ini membutuhkan waktu pengujian yang relatif singkat (3 sampai 4 bulan), namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi (Arpah. 2001).

Metode Accelerated ini diterapkan dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan kadar air kritis dan model Arrhenius. Pendekatan kadar air kritis dilakukan dengan bantuan teori difusi, yaitu suatu cara pendekatan yang diterapkan untuk produk kering dengan menggunakan kadar air atau aktivitas air sebagai kriteria kadaluwarsa. Sedangkan pendekatan dengan model Arrhenius prinsipnya adalah menyimpan produk pangan pada suhu ekstrem, dengan


(33)

demikian kerusakan produk pangan terjadi lebih cepat, kemudian umur simpan ditentukan berdasarkan ekstrapolasi ke suhu penyimpanan. Metode Arrhenius ini umumnya digunakan untuk melakukan pendugaan umur simpan produk pangan yang sensitif oleh perubahan suhu, di antaranya produk pangan yang mudah mengalami ketengikan (oksidasi lemak), perubahan warna oleh reaksi kecoklatan ataupun kerusakan vitamin C. Beberapa contoh produk pangan yang dapat ditentukan umur simpannya dengan menggunakan model Arrhenius adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk/formula, produk

chip/snack, jus buah, produk pasta, daging (ikan, udang), saus sambal/tomat, bumbu, selai, tepung, serta produk lainnya yang mengandung lemak tinggi (berpotensi terjadinya oksidasi lemak) atau yang mengandung gula pereduksi dan protein (berpotensi terjadinya reaksi kecoklatan) (Kusnandar. 2006).

Menurut Labuza (1982), reaksi kinetika dasar suatu bahan pangan untuk memperkirakan terjadi kemunduran mutunya disajikan dalam bentuk persamaan di bawah ini.

dA = k A n ... (1) dt

dimana ;

dA = Perubahan rata-rata faktor mutu terhadap waktu. dt

A = Faktor mutu yang diukur t = Waktu

k = Konstanta

n = Orde reaksi yang terkait dengan jumlah faktor mutu terukur yang ada.

Hasil studi umur simpan tidak diperoleh sebagai nilai rata-rata, tetapi sebagai jumlah faktor mutu yang terukur sebagai fungsi terhadap waktu. Kemudian, untuk memperoleh nilai kemunduran, harus dirubah dahulu dalam bentuk plot grafik kinetika.

Berdasarkan persamaan (1), diasumsikan nilai n = 0 disebut orde nol reaksi, yaitu kemunduruan mutu yang terjadi secara konstan pada suhu yang sama. Reaksi kimia yang mengindikasikan kemunduran mutu produk pangan yaitu (1)


(34)

degradasi enzimatis (pada buah dan sayur segar, bahan/produk pangan beku), (2) nonenzimatis browning (pada dairy produk, sereal), (3) oksidasi lemak (perkembangan ketengikan pada snack food, dry foods dan makanan beku). Persamaan ordo nol dinyatakan dalam persamaan 2.

dA = k ... (2)

dt

Persamaan 2 menyatakan bahwa perubahan kemunduran mutu adalah konstan pada suhu yang konstan. Asumsi ini digunakan dalam penurunan persamaan 3. Sedangkan dalam pendugaan umur simpan produk pangan ordo nol digunakan persamaan 4 dan 5.

At t

ƒ

dA =

-

ƒ

kdt ... (3) Ao to

A = Ao – kt ... (4)

Kemudian, nilai kemunduran mutu diplot pada grafik sehingga diperoleh slope nilai k. Pendugaan umur simpan pada ordo nol digunakan persamaan 5.

t = A – Ao ... (5)

k Keterangan :

Ao = nilai mutu awal

A = nilai mutu setelah waktu tertentu At = nilai mutu pada akhir

t = umur simpan.

Menurut Labuza (1982)

,

dalam pendugaan umur simpan beberapa produk pangan tidak semuanya menggunakan pada ordo nol karena kemunduran mutu pada suhu tertentu dapat terjadi tidak konstan. Apabila hal ini dimasukkan pada persamaan 1 (reaksi kinetika dasar bahan pangan) maka nilai n = 1, sehingga persamaannya yaitu :

dA = k A 1 ... (6) dt


(35)

Pada persamaan ordo satu dihasilkan persamaan eksponensial seperti yang terlihat pada persamaan 7 dan 8.

At t

ƒ

dA

=

-

ƒ

kdt ... (7) Ao A to

ln A = - k t ... (8) Ao

Kemudian, nilai kemunduran mutu diplot pada grafik sehingga diperoleh slope nilai k. Pada pendugaan umur simpan orde satu digunakan persamaan 9.

t = ln A – ln Ao ... (9)

k

Beberapa reaksi yang mengindikasikan kemunduran mutu produk pangan yang termasuk dalam ordo satu diantaranya adalah ketengikan, pertumbuhan mikroba, kerusakan vitamin dan kerusakan protein. Sedangkan penentuan ordo persamaan dilakukan dengan melihat kesesuaian data terhadap persamaan yang diperoleh dari grafik plot data pada ordo nol dan ordo satu (Labuza. 1982).

Pendugaan umur simpan produk pangan, dengan menggunakan persamaan Arhenius digunakan nilai slope k yang diperoleh dari persamaan ordo nol ataupun ordo satu dari masing-masing suhu yang diterapkan dan kemudian dihubungkan dengan variable suhu. Rahayu dan Arpah (2003) menyatakan persamaan Arhenius menggambarkan hubungan antara umur simpan dan suhu dengan menggunakan nilai k, yaitu :

k = ko e -[Ea/RT] atau ln k = ln ko – [Ea/R] 1/T

Persamaan tersebut diperoleh melalui grafik hubungan ln k (sumbu y) dengan 1/T (sumbu x), yang akan memberikan persamaan garis lurus : y = a + bx, dimana slope b = (Ea/R) dan intersep a = ln ko. Sedangkan temperatur yang digunakan pada persamaan Arhenius ini dalam skala Kelvin (oK). Dari persamaan Arhenius ini dapat diketahui pendugaan umur simpan pada suhu tertentu sesuai dengan keberadaan bahan/produk pangan.


(36)

Oksidasi Lemak

Pada umumnya ketengikan yang sering terjadi pada produk perikanan dapat menurunkan mutu produk. Ketengikan disebabkan karena terjadinya proses oksidasi lemak yang biasanya terjadi secara spontan antara oksigen di atmosfer dengan lemak dalam bahan yang disebut reaksi autooksidasi. Kelompok asam lemak tidak jenuh sangat potensial mengalami dekomposisi secara autooksidasi (Gordon. 2001). Mekanisme terjadinya oksidasi lemak terdiri dari tiga tahap yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Tahap inisiasi dimulai dari reaksi lemak radikal dari molekul lemak dengan atom hidrogen yang sangat reaktif sebagai radikal hidroksi. (Gordon. 2001). Reaksi ini dapat berlangsung cepat dengan adanya cahaya, panas, logam-logam berat (Cu, Fe, Co dan Mn) dan enzim lipoksidase (Winarno. 2004).

Pada tahap propagasi terjadi reaksi autooksidasi yaitu oksigen dari atmosfer bereaksi dengan alkil radikal menghasilkan peroksida radikal. Peroksida radikal yang dihasilkan lebih banyak dari pada alkil radikal karena reaksi yang terjadi cepat. Reaksi yang terjadi pada tahap propagasi lebih cepat terjadi dari pada tahap inisiasi karena nilai entalpi reaksi propagasi lebih kecil dari pada inisiasi (Gordon. 2001). Enthalpi merupakan energi dalam suatu zat yang dapat memulai terjadinya suatu reaksi (Chang R. 1977). Sedangkan pada tahap terminasi, hidroksiperoksida terdekomposisi menjadi molekul-molekul volatil hidrokarbon, alkohol dan aldehid yang dapat menimbulkan aroma dari reaksi oksidasi lemak (Gordon. 2001). Proses terjadinya oksidasi lemak pada setiap tahap rekasi tersbut diatas dapat terlihat pada Gambar 2.

Inisiasi X• + RH R• + XH Propagasi R• + O2 ROO•

ROO• + R’ H ROOH + R•

Terminasi ROO• + ROO• ROOR + O2

ROO• + R• ROOR

R• + R• RR


(37)

Menurut Hurrel (1984) degradasi hidroperoksida melalui radikal bebas menjadi produk sekunder yang bervariasi seperti aldehid, hidrokarbon serta terjadi polimerisasi produk primer dan sekunder menjadi produk akhir yang stabil.

Pada ikan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh yang sangat tinggi sehingga oksidasi lemak sangat mungkin terjadi selama proses pengolahan. Menurut Nair dan Gopakumar (1978) dalam Amin (2008) menyatakan ahwa kandungan asam eikosapentanoat (EPA) catfish air tawar, air laut dan air payau adalah 3.78%, 5.54% dan 4.36% sedangkan kandungan asam dokosaheksanoat (DHA) masing – masing adalah 0.28%, 4.83% dan 1.59%.

Asam lemak omega-3 dan omega-6 yang dikenal dengan asam eikosapentanoat (EPA) dan asam dokosaheksanoat (DHA) merupakan asam lemak tidak jenuh tinggi (Polyunsaturated Fatty Acid /PUFA) yang banyak terdapat dalam minyak ikan. Menurut Pak (2005), asam lemak omega-3 dan omega-6 bermanfaat bagi kesehatan, yaitu dapat mencegah penyakit jantung, hipertensi dan radang sendi, serta DHA penting untuk perkembangan otak.

Menurut Irianto (1992) dan Pokorny et al (2001) untuk mengetahui tingkat oksidasi lemak dalam produk pangan dapat dilakukan pengukuran terhadap kehilangan materi lemak seperti asam lemak atau trigliserida, dan dengan mengukur produk oksidasi lemak primer ataupun sekunder seperti bilangan peroksida dan nilai anisidin. Kombinasi hasil oksidasi primer dan sekunder secara empiris diketahui sebagai nilai total oksidasi (totox value). Nilai total oksidasi diperoleh dengan perhitungan nilai anisidin ditambah dengan dua kali nilai peroksida.


(38)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Desember 2008 di laboratorium kimia, laboratorium pengolahan dan laboratorium mikrobiologi pada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan serta di laboratorium rekayasa proses pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) yang diperoleh langsung dari kolam budidaya ikan patin di Parung Bogor Jawa Barat, es batu dan rempah - rempah (jahe, ketumbar, lengkuas, bawang putih, bawang merah). Bahan kimia yang digunakan adalah NaHCO3, NaCl, sodium tripolyphosphate (STPP), sorbitol, metanol, klorofom,

potassium iodida, sodium tiosulfat, p-anisidin, akuades, fenol, BSA (Bovine Serum Albumine). Sedangkan alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi bak penampung ikan, pisau, talenan, saringan, timbangan, sealer blender, cawan porselin, labu kjedhal, tabung reaksi, erlenmeyer, kertas saring, soxhlet, tanur, cawan petri, pipet, lampu bunsen dan gelas piala, serta peralatan laboratorium seperti meat bone separator, dehydrating, spektrofotometer UV-VIS elektrobeam,

TA - XT Texture Analyzer, tensile strength dan HPLC.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu penelitian tahap pertama, penelitian tahap kedua dan penelitian tahap ketiga.

Penelitian Tahap Pertama

Tujuan dari penelitian tahap pertama ini adalah untuk mengetahui sifat-sifat fungsional daging lumat dan surimi ikan patin siam yang diperlukan sebagai dasar pengolahan produk selanjutnya. Selain itu juga untuk mengetahui kandungan gizi utama dan komposisi asam amino dari protein daging ikan patin siam.


(39)

Penelitian tahap pertama ini terdiri dari persiapan bahan serta pengolahan daging lumat dan surimi. Pengolahan daging lumat dilakukan dengan empat perlakuan yaitu daging lumat tanpa pencucian, daging lumat pencucian satu kali, daging lumat pencucian dua kali dan daging lumat pencucian tiga kali.

Persiapan Bahan

a. Pengambilan sampel ikan patin siam dari kolam yang diangkut dalam keadaan hidup,

b. Pemberokan selama 24 jam dalam bak penampung ikan dengan tujuan untuk membuang kotoran dan lumpur dalam tubuh ikan.

c. Perendaman ikan di dalam air es sampai mati d. Pemfilletan daging ikan

Proses pengolahan daging lumat tanpa pencucian

a. Penggilingan dan pemisahan tulang/duri ikan dalam fillet daging dengan menggunakan alat meat bone separator.

b. Pengepresan dengan menggunakan mesin dehydrating.

Proses pengolahan daging lumat dengan pencucian

a. Penggilingan dan pemisahan tulang/duri ikan dalam fillet daging dengan menggunakan alat meat bone separator.

b. Perlakuan pencucian masing – masing dilakukan sebanyak satu kali, dua kali dan tiga kali dengan menggunakan air dingin (suhu 4-5oC) dengan volume pencucian daging lumat ikan : air = 1 : 5 selama 15 menit.

c. Pengepresan dengan menggunakan mesin dehydrating.

Proses pengolahan surimi (Suryaningrum et al. 2007).

a. Penggilingan dan pemisahan tulang/duri ikan dalam fillet daging dengan menggunakan alat meat bone separator.

b. Pencucian pertama dan kedua dengan menggunakan air dingin (suhu 4-5oC) dengan volume pencucian daging lumat ikan : air = 1 : 5 yang ditambahkan 0.5% NaHCO3 selama 15 menit.

c. Pencucian ketiga dengan menggunakan air dingin (suhu 4-5oC) dengan volume pencucian daging lumat ikan : air = 1 : 5 yang ditambahkan 0.2% NaCl selama 15 menit.


(40)

d. Pengepresan dengan menggunakan mesin dehydrating.

e. Penambahan bahan antidenaturasi yaitu sorbitol 4% dan sodium tripolyphosphate 0.2 %. dan dilanjutkan dengan pengadukan selama 15 menit

f. Pengemasan dan pencetakan dengan menggunakan plastik polyethilene g. Penyimpanan beku dalam freezer pada suhu ≤ - 20oC

Analisis yang dilakukan terhadap daging lumat tanpa pencucian dan dengan pencucian satu kali, dua kali dan tiga kali serta surimi yaitu analisis proksimat, pH, Salt Soluble Protein, Water Holding Capacity (WHC), sifat emulsi, dan kekuatan gel. Selain itu, pada daging segar tanpa pencucian juga dilakukan analisis asam amino.

Penelitian Tahap Kedua

Tujuan dari tahap penelitian kedua ini adalah untuk mengetahui karakteristik dendeng giling yang dihasilkan dari daging lumat dan surimi ikan patin siam. Pada tahap ini dilakukan pengolahan dendeng giling dari daging lumat ikan patin siam yang diperoleh dari perlakuan tanpa pencucian, pencucian satu kali, pencucian dua kali, pencucian tiga kali serta surimi.

Proses pengolahan dendeng giling ikan patin siam (Arifudin. 2007 dimodifikasi).

a. Pencampuran bahan utama (daging lumat atau surimi) dan bahan tambahan (20% gula putih dan 3% garam) serta rempah-rempah seperti ketumbar (2.5%), asam jawa (3%), lengkuas (2.5%), jahe (0.5%) bawang putih (2%), bawang merah (1.5%)

b. Pencetakan

c. Pengeringan dengan sinar matahari selama 15 jam.

Prosedur proses pengolahan dendeng giling dari ikan patin siam dapat dilihat pada Gambar 2.

Analisis yang dilakukan terhadap dendeng giling meliputi : analisis proksimat, sifat tekstur (tensile strenght dan elongasi), uji organoleptik serta analisis mikrobiologi yaitu penentuan angka lempeng total (ALT) dan kapang. Uji organoleptik dilakukan dengan uji kesukaan (hedonik) dan uji pembedaan


(41)

atribut (tekstur, warna, rasa dan aroma). Selain itu juga dilakukan analisis asam amino pada dendeng giling ikan patin siam yang terbaik dipilih oleh panelis dari hasil uji organoleptik.

Rancangan Percobaan

Pada tahap penelitian tahap pertama dan kedua digunakan analisis data dengan Rancangan Acak Lengkap dengan ulangan 3 kali dengan model rancangan yaitu :

Yij = µ + α i + Eij

Yij = respon yang ditimbulkan dari perlakuan jenis bahan baku taraf ke-i dan ulangan ke-j

µ = rataan/nilai tengah

αi = pengaruh jenis bahan baku taraf ke-i Eij = galat percobaan

Apabila perlakuan berpengaruh nyata pada taraf 5% maka akan dilanjutkan dengan uji Tukey untuk mengetahui apakah ada perbedaan nyata diantara perlakuan.


(42)

Filet daging ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) segar

Penggilingan dan pemisahan tulang/duri

Daging lumat

Pencucian I Pencucian I (ikan : air = 1: 5

(b/v),(ikan : air = 1: 5 (v/v), 4-5oC) 4-5oC, 0.5% NaHCO3)

Pencucian II Pencucian II (ikan : air = 1:5

(b/v), (ikan : air = 1: 5 (v/v), 4-5oC) 4-5oC, 0.5% NaHCO3)

Pencucian III Pencucian III (ikan : air =1: 5

(b/v), (ikan : air = 1: 5 (v/v), 4-5oC) 4-5oC, 0.2% NaCl)

Pengepresan Pengepresan

Penambahan antidenaturan (sorbitol 4% dan STPP 0.2%)

Pencetakan dan pengemasan

Surimi

Penyimpanan pada suhu ≤ -20oC

Pencampuran bahan Bahan tambahan : gula, garam, rempah - rempah Penipisan adonan (ketebalan ± 2 mm) dan pencetakan

Pengeringan (sinar matahari (suhu 31-33oC ; 15 jam) Dendeng giling ikan patin siam


(43)

Penelitian Tahap Ketiga

Pada tahap ini dilakukan pendugaan umur simpan dendeng giling ikan patin siam yang disukai berdasarkan uji organoleptik dengan menggunakan metode Accelerated Shelf Life Testing model Arhenius. Kemasan yang digunakan adalah plastik LDPE (Low Density Polyethylene) tertutup seal rapat pada suhu 25oC, 35oC, dan 45oC. Waktu pengamatan pada suhu 25oC yaitu pada ke- 0 hari, 10 hari, 20 hari dan 30 hari. Waktu pengamatan pada suhu 35oC yaitu pada ke- 0 hari, 7 hari, 14 hari dan 21 hari. Waktu pengamatan pada suhu 45oC yaitu pada ke- 0 hari, 3 hari, 6 hari dan 9 hari. Menurut Kusnandar (2006), tahap percobaan penyimpanan produk yang menggunakan Metode Accelerated Shelf Life Testing

(ASLT) dengan model Arhenius yaitu:

1. Identifikasi karakteristik produk yaitu menentukan faktor-faktor (komposisi produk, proses produksi, penyimpanan serta pengemasan produk hingga sampai di konsumsi konsumen) yang berpengaruh terhadap titik kritis produk. 2. Penentuan atribut mutu produk yang dapat menyebabkan penolakan konsumen

terhadap produk.

3. Penentuan metode analisis yang akan dilakukan untuk mengukur perubahan mutu produk selama penyimpanan.

4. Penentuan 3 (tiga) suhu penyimpanan percobaan dan selang waktu pengamatan.

5. Pengumpulan data : identifikasi nilai mutu awal dan batas kritisnya.

6. Membuat pola hubungan nilai kT terhadap suhu percobaan (1/T) menurut

model Arhenius : k = ko.e-Ea/RT ; di mana Ea : energi aktivasi yaitu tingkat energi minimum yang diperlukan untuk memulai suatu reaksi perubahan yang nilainya dianggap konstan pada suatu kisaran suhu tertentu, R: konstanta gas (8,314 J/g), dan T: suhu (oK). Dari pola hubungan ini diperoleh persamaan : Ln kT = Ln ko – Ea/RT.

7. Perhitungan umur simpan pada suhu penyimpanan dengan menggunakan persamaan : ts = [ln(Qo/Qt)]/kT , dimana : t : umur simpan (hari), Qo : nilai

mutu awal, Qt : nilai batas kritis/batas mutu akhir dan kT : konstanta


(44)

Pengamatan kritis yang dilakukan pada penelitian penyimpanan dendeng giling ikan ini adalah nilai total oksidasi (totox value) yang diperoleh dari perhitungan analisis nilai peroksida dan angka anisidin sebagai titik kritis yang mengindikasikan penolakan konsumen terhadap produk.

Metode Pengamatan Kadar Air (SNI -01-2354.2-2006)

Cawan porselin dikeringkan dalam oven selama 30 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya (A). Sampel dihaluskan atau dikecilkan ukurannya sampai homogen, dan ditimbang sekitar 2 g dimasukkan ke dalam cawan porselin dan ditimbang seluruhnya (B). Cawan porselin berisi sampel dimasukkan ke dalam oven bersuhu 102oC selama ± 18 jam lalu ditimbang (C). Kemudian cawan didinginkan dalam desikator selama 30 menit. Kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Kadar air (%bb) = (B – C) x 100% (B – A)

Kadar Lemak (SNI-01-2354.3-2006)

Labu soxhlet kosong dikeringkan dalam oven selama 30 menit kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel dihaluskan atau dipotong kecil-kecil (homogen) dan ditimbang dengan berat tertentu (B) dan diisikan ke dalam selongsong lemak. Sebanyak 150 ml klorofom dimasukkan ke dalam selongsong lemak berisi sampel dan selanjutnya dimasukkan ke dalam extractor soxhlet untuk diekstraksi pada suhu 600oC selama 6 jam. Setelah selesai kloroform yang tersisa dalam labu lemak diuapkan di dalam oven bersuhu 105oC selama ± 2 jam lalu didinginkan ke dalam desikator dan ditimbang (C). Kadar lemak dihitung dengan rumus : % kadar lemak = [ (C – A) : B] x 100%

Kadar Abu (SNI-01-2354.1-2006)

Cawan abu porselen kosong dimasukkan ke dalam tungku pengabuan suhu 550oC selama semalam kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang berat cawan abu porselen kosong (A). Sampel dihomogenkan dan ditimbang ±2 g (B) dimasukkan ke dalam cawan abu. Cawan abu berisi sampel diabukan didalam tungku pengabuan pada suhu 550±5oC selama semalam.


(45)

Setelah selesai, cawan berisi abu didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (C). Kadar abu dihitung dengan rumus :

Kadar abu (%bb) = (C – A) x 100% B

Kadar Protein (SNI -01-2354.4-2006)

Penetapan kadar protein dengan metode kjeldahl meliputi tiga tahap yaitu destruksi, distilasi dan titrasi. Pada tahap destruksi : 0.5 g sampel dimasukkan ke dalam tabung kjeldahl dan ditambah 5 g garam kjedahl sebagai katalis dan 10 ml H2SO4. Kemudian didestruksi hingga larutan berwarna menjadi hijau jernih.

Setelah selesai, destruksi, labu kjedahl diangkat dan didinginkan dan selanjutnya dipindahkan larutan contoh dari labu kjedahl kedalam labu takar 50 ml secara kuantitatif dan diencerkan dengan aquades hingga batas tera. Kemudian dilakukan destilasi yaitu dengan memasukkan sebanyak 5 ml sampel ke dalam alat destilasi, lalu ditambahkan 10 ml NaOH 30%. Campuran diatas didistilasi dan eluatnya ditampung dalam 10 ml H3BO3 yang telah ditambahkan 2 tetes indikator

tashiro. Distilasi dilakukan sampai filtrat tertampung sebanyak 75 ml. Selanjutnya dilakukan titrasi filtrat tersebut dengan HCl 0.1 N sampai berubah warna hijau menjadi merah jambu. Kadar proteinn dihitung dengan rumus sebagai berikut :

% kadar protein = 50/5 x (N x V) HCl x 14.007 x FK x 100% W x 1000

Keterangan : Faktor 50 = Larutan contoh yang telah didestruksi diencerkan 50ml Faktor 5 = Banyaknya larutan contoh yang didestilasi

N = Normalitas HCl yang digunakan V = Volume HCl yang digunakan W = Berat sampel

14.700 = Berat atom Nitrogen

FK = Faktor koreksi N-protein untuk ikan = 6.25.

Kadar Total Karbohidrat (Metode Fenol) (Apriyantono et al. 1989)

Prinsip analisa yaitu karbohidrat dalam sampel dihidrolisis dengan HCl menjadi gula monomernya. Gula monomer bereaksi dengan fenol membentuk


(46)

kompleks fenol- gula monomer yang berwarna merah dan diukur dengan spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 490 nm. Prosedur kerja analisa meliputi pembuatan kurva standar dan analisis sampel.

Pada pembuatan kurva standar, larutan glukosa 1000 mg/l dipipet untuk mendapatkan konsentrasi deret standar 10; 20; 30; 40; 50; dan 60 ppm ke labu 50 ml. Setiap larutan standar tersebut dipipet 1 ml ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 ml akuades. Blanko disiapkan sebanyak 2 ml akuades. Masing-masing larutan ditambahkan 1 ml larutan fenol 80% dan dihomogenkan dengan vorteks, kemudian didiamkan selama 10 menit. Selanjutnya absorban masing-masing larutan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Pada analisa sampel, ditimbang 0,1–5 g sampel dan dimasukkan dalam erlenmeyer 500 ml. Kemudian ditambahkan 200 ml HCL 3%, didihkan selama 3 jam dengan pendingin tegak. Setelah itu didinginkan dan dinetralkan dengan larutan NaOH 30% dan ditambahkan sedikit CH3COOH 3% agar suasana larutan

sedikit asam. Kemudian pindahkan isinya ke dalam labu ukur 500 ml dan himpitkan hingga tanda tera, selanjutnya disaring. Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambahkan 1 ml akuades dan 1 ml larutan fenol 5% lalu dihomogenkan segera dengan vorteks. Setelah itu, ditambahkan 5 ml asam sulfat pekat dengan cepat dan diamkan selama 10 menit, selanjutnya diukur absorbansi pada panjang gelombang 490 nm. Perhitungan total karbohidrat sebagai berikut :

Karbohidrat (%) = C x V x 100 W

Keterangan : C = konsentrasi karbohidrat dari kurva standar (mg/g) V = volume pelarutan sampel (ml)

W = bobot sampel (g)

Kadar Protein Larut Garam (Salt Soluble Protein/SSP) (Park et al. 1996 modifikasi)

Sebanyak 1 g sampel dihomogenasi dalam 20 ml larutan garam 3% dingin selama 1 menit dalam ice bath. Campuran didiamkan selama 3 menit lalu dihomogenasi kembali selama 1 menit. Kemudian disentrifuse selama 10 menit pada 3020 x g. Filtrat dipisahkan, dan disentrifuse lagi selama 10 menit pada 3020 x g. Sebanyak 1 ml supernatan digunakan untuk menentukan kadar protein


(47)

dengan metode Kjeldahl. Salt soluble protein dinyatakan sebagai persen total protein.

pH (AOAC. 1975)

Sampel sebanyak 20 g dihomogenkan dan ditambahkan aquadest sebanyak 40 ml ke dalamnya. Kemudian diblender selama 1 menit dan hasilnya dituang ke dalam gelas piala 100 ml. Alat pH meter ditera terlebih dahulu dengan larutan buffer standar yang memiliki pH 4.0 dan dengan larutan buffer yang memiliki pH = 7.0 sebelum digunakan. Pembacaan nilai pH setelah jarum pH meter konstan kedudukannya.

Analisis Asam Amino (Baxter. 1996)

Tahap hidrolisis asam yaitu sample sebanyak 0.5-1 g dimasukkan ke dalam gelas piala 50 ml tertutup kemudian ditambahkan 5 ml HCl 6 N dan dikocok hingga homogen lalu dimasukkan dalam oven bersuhu 100oC 24 jam. Setelah itu cairan tersebut didinginkan dan disaring dengan kertas saring Whatman 40.

Tahap pengeringan dilakukan dengan cara mepipet 30 µl hasil hidrolisis ke dalam tabung reaksi berskala kemudian ditambahkan 30 µl larutan pengering (methanol : picoiotiocianat : trymetilamin dengan perbandingan 3 : 3: 4) lalu dikeringkan.

Tahap derivatisasi yaitu residu ditambahkan 30 µl larutan derivatisasi (methanol : Na asetat : trymethilamine) dan dibiarkan selama 20 menit pada suhu kamar lalu diencerkan dengan 1 ml larutan pengencer (Natrium asetat 1M). Larutan sampel dan standar asam amino siap diinjekkan ke HPLC sebanyak 20 µl. Kondisi HPLC pada saat dilakukan analisis :

- Temperatur kolom : 38oC

- Kolom : Vicotag untuk asam amino - Kecepatan alir : 1 ml/menit

- Panjang gelombang : 262 nm, 0.02 AuFs - Detector : UV/Vis

Perhitungan : Kadar contoh (ppm)/(mg/kg) = Ac x Bs x BM x Fp x 100% As Bc


(48)

Keterangan : Ac = Luas area sample As = Luas area standar Bc = Berat sample (µg) Bs = Berat standar (µg)

BM = Berat molekul masing-masing asam amino Fp = Faktor pengenceran / Volume contoh

Analisis WHC (Water Holding Capacity) (Wroldstad et al. 2005)

Sampel dalam kertas saring Whatman no.1 sebanyak 3 lembar ditimbang dengan berat tertentu dan disentrifus pada kecepatan 5000 rpm pada suhu ruang selama 15 menit. Kemudian sampel dipisahkan dari kertas saring dan ditimbang. Perhitungan nilai WHC sebagai berikut :

%WHC = berat sampel (g) setelah disentrifus x 100 berat sample (g) sebelum disentrifus

Sifat Emulsi (Xie and Hettiarachchy. 1997)

Sebanyak 2 ml minyak jagung murni dan 6 ml 0.1% larutan sampel dihomogenizer pada skala 6 selama 1 menit. Emulsi sebanyak 1 μl diambil dari dasar wadah pada 0 dan 10 menit dan dicampur dengan 0.1% SDS. Absorbansi dari emulsi diukur pada 500 nm. Absorbansi yang diukur segera setelah terbentuk emulsi dinyatakan sebagai aktivitas emulsi (EA). Stabilitas emulsi ditentukan sebagai berikut : ES = T/To ; dimana To dan T adalah turbidity pada 0 dan 10 menit.

Kekuatan Gel (Rawdkuen et al. 2009 modifikasi)

Preparasi sampel dengan menyiapkan sampel dengan berat tertentu (g) ditambah NaCl 2,5% (w/w) dicampur selama 3-4 menit pada suhu 4oC. Kemudian dimasukkan dalam casing plastik PVC (Polyvinylidine Chloride) dengan ukuran diameter : 3.5 cm; panjang 4-5 cm dan dipanaskan pada suhu 40oC selama 30 menit dan 90oC selama 15 menit. Selanjutnya diamkan selama 30 menit dalam air dingin dan disimpan semalam pada suhu 4oC. Pengukuran kekuatan gel dengan alat TAXT-Texture Analyzer menggunakan probe 0.5S dan kecepatan 1.1 mm/s serta jarak 1.5 mm.


(49)

Nilai Anisidin (AOCS. 1997)

Sebanyak 0.5–4 g minyak ikan ditambah 25 ml isooktan dan larutan ekstrak tersebut diukur absorbannya (Ab) pada 350 nm dengan spektrofotometer UV-VIS. Kemudian sebanyak 5 ml ekstrak minyak dipipet ke dalam tabung, kemudian ditambahkan 1 ml p-anisidin 0.25% dalam asam asetat glasial. Tabung ditutup, dikocok dan dibiarkan pada tempat gelap selama 10 menit. Absorban larutan (As) diukur pada panjang gelombang 350 nm. Angka anisidin dihitung dengan rumus :

Bilangan Anisidin = 25 x (1,2 As – Ab) Berat sample (g)

Bilangan Peroksida (Apriyantono et al. 1989)

Penentuan bilangan peroksida biasanya didasarkan pada pengukuran sejumlah Iod yang dibebaskan dari potassium Iodida melalui reaksi oksidasi oleh peroksida dalam lemak/minyak pada suhu ruang didalam medium asam asetat/kloroform.

Prosedur penentuan bilangan peroksida yaitu ; sample minyak sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam 250 ml Erlenmeyer dan ditambahkan 30 ml pelarut, kocok sampai semua contoh minyak larut. Kemudian ditambahkan potassium Iodida jenuh dan didiamkan selama 2 menit di ruang gelap sambil digoyang. Selanjutnya ditambahkan air destilasi dan larutan amylum sebanyak 1 ml. Kelebihan Iod dititer dengan larutan sodium tiosulfat 0.01 N. Bilangan peroksida dihitung dengan rumus : Bilangan peroksida = A x N x 1000/g sampel

Keterangan : A = ml sodium tiosulfat

N = Normalitas sodium tiosulfat

Nilai Total Oksidasi (Totox value) (Irianto. 1992)

Nilai total oksidasi untuk mengetahui jumlah hasil oksidasi primer dan sekunder yang dihitung dengan rumus : Nilai total oksidasi = 2 PV + An. V Keterangan : PV = nilai peroksida


(50)

Tensile Strenght dan Elongasi (Caner et al. 1998)

Pengukuran sifat tekstur dendeng menggunakan alat Tensile Strenght

dengan adanya gaya tarik sehingga menghasilkan sifat kekuatan tarik dan elastisitas tekstur yang diketahui dari nilai elongasi. Pengujian diawali dengan membuat ukuran contoh tertentu dan masing-masing sisi contoh bagian bawah dan atas dikaitkan pada alat. Pengukuran dimulai dengan menarik kedua sisi contoh hingga terputus dan menghasilkan besaran gaya tertentu. Tensile Strenght

dihitung berdasarkan gaya maksimum per luas area yang menyebabkan contoh terputus. Sedangkan persen elongasi dihitung pada saat elongasi contoh terputus yang dibandingkan dengan elongasi contoh semula. Hasil perhitungan tensile strenght dinyatakan dalam kgf/cm2 dan elongasi dinyatakan dalam persen.

Penentuan Angka Lempeng Total (ALT) (SNI 01-2332.3-2006)

Pengenceran sampel dilakukan secukupnya (sampai 10-5) sebelum dibiakkan dalam nutrien agar. Kemudian 1 ml dari setiap pengenceran dimasukkan ke dalam cawan petri steril (dilakukan secara duplo). Setelah itu ditambahkan 12–15 ml PCA yang sudah dingin ke dalam cawan petri yang berisi sampel dan lakukan pemutaran cawan secara sempurna. Inkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC. Perhitungan koloni bakteri pada cawan dilakukan setelah inkubasi. Perhitungan jumlah bakteri total : jumlah bakteri per gram sampel dapat dihitung berdasarkan jumlah yang layak dihitung (25-250 koloni) pada cawan petri dengan memperhitungkan tingkat pengencerannya.

Analisis Kapang (SNI 01-2332.7-2006)

Timbang sampel secara aseptik sebanyak 25 g kemudian dimasukkan dalam wadah atau plastik steril. 225 ml larutan butterfield’s phospate bufferred

ditambahkan ke dalam sampel, dihomogenkan selama 2 menit. Homogenat ini merupakan larutan pengencer 10-1 dengan menggunakan pipet steril homogenat diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml sampel dari pengenceran 10-2. Pengenceran selanjutnya juga dilakukan dengan mengambil 1 ml sampel dari pengenceran 10-2 ke dalam 9 ml larutan butterfield’s phospate buffered dst. Pipet 1 ml setiap pengenceran 10-1, 10-2, dst dan masukkan ke dalam cawan petri steril. Lakukan secara duplo untuk setiap pengenceran. Tambahkan 12–15 ml PDA yang sudah didinginkan sampai suhu (45±1)°C ke dalam masing-masing cawan


(1)

Gambar 19. Plot ordo satu pada penyimpanan 25oC

Gambar 20. Plot ordo satu pada penyimpanan 35oC

SUHU 25oC ORDO SATU y = 2.1333e0.1204x

R2 = 0.7564

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00

0 10 20 30 40

Hari ke

-N

ila

i T

o

to

x

SUHU 35oC ORDO SATU

y = 2.0959e0.1718x R2 = 0.7711

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00

0 5 10 15 20 25

Hari ke

-N

il

a

i Tot


(2)

Gambar 21. Plot ordo satu pada penyimpanan 45oC

Berdasarkan hasil plot data yang terlihat pada Gambar diatas, diperoleh nilai k dari masing-masing persamaan pada ordo nol dan ordo satu, yang selanjutnya akan digunakan dalam perhitungan umur simpan dendeng ikan patin siam dengan metode Arhenius. Tabulasi data nilai k dari ordo nol dan ordo satu disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai slope k dari persamaan ordo nol dan ordo satu Suhu

(oC)

Ordo nol Ordo satu

Persamaan Slope k R2 Persamaan Slope k R2

25 y = 1.396x + 4.1173 1.396 0.88 y = 2.1333 e 0.1204x 0.120 0.76 35 y = 2.0273x + 2.9167 2.027 0.98 y = 2.0959 e 0.1718x 0.172 0.77 45 y = 3.5255x + 5.5442 3.526 0.87 y = 2.267 e 0.3684x 0.368 0.70

Berdasarkan gambar grafik pada ordo nol dan ordo satu di atas kurang menunjukkan pola grafik yang spesifik untuk dapat diperoleh persamaan regresi dan eksponensial, sehingga korelasi hubungan antara parameter kemunduran mutu dendeng giling yaitu nilai totoks dengan waktu penyimpanan rata - rata relatif kecil yaitu kurang dari 0.90. Menurut Arpah (2001), pola penurunan mutu produk pangan karena oksidasi lemak biasanya mengikuti pola penurunan mutu ordo nol atau linear. Berdasarkan Tabel 9 ordo nol memberikan nilai korelasi antara kemunduran mutu dendeng giling yaitu nilai totoks dengan waktu penyimpanan

SUHU 45oC ORDO SATU

y = 2.267e0.3684x R2 = 0.7015

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00

0 2 4 6 8 10

Hari ke

-N

ila

i T

o

to


(3)

0.87. Hal ini menunjukkan bahwa perhitungan pendugaan umur simpan dendeng giling ikan patin siam lebih akurat data yang diperoleh dari persamaan ordo nol dan selanjutnya digunakan persamaan rumus Arhenius.

Pada kenyataannya, produk pangan berada pada kondisi suhu lingkungan yang selalu berubah - ubah yaitu mulai saat setelah proses produksi, penyimpanan dalam gudang pabrik, distribusi ke lokasi pemasaran / pengecer hingga sampai ke konsumen. Oleh karena itu perlu diketahui umur simpan produk pada suhu tertentu dengan membuat korelasi diantara konstanta laju reaksi yang diperoleh dari hasil pengamatan dari ketiga suhu hingga diperoleh persamaan Arhenius.

Menurut Rahayu dan Arpah (2003), pendugaan umur simpan pada suhu tertentu dapat diketahui dengan menggunakan persamaan Arhenius yang menggambarkan hubungan nilai k dan suhu penyimpanan dalam Kelvin (1/T) yang disajikan sebagai berikut.

k = ko e -[Ea/RT] atau ln k = ln ko – [Ea/R] 1/T

Grafik diperoleh dari hubungan ln k (sumbu y) dengan 1/T (sumbu x), yang akan memberikan persamaan garis lurus : y = a + bx, dimana slope b = (Ea/R) yang merupakan slope garis regresi, dan intersep a = ln ko. Nilai k yang digunakan dalam persamaan Arhenius ini diperoleh dari ordo nol dan ordo satu yang selanjutnya digunakan untuk menghitung umur simpan. Tabulasi data persamaan Arhenius pada ordo nol yang diperoleh dari Tabel 9 terlihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Tabulasi parameter persamaan Arhenius pada ordo nol Suhu (oC) Suhu (oK) 1/T Slope k Ln k

25 298 0.0034 1.396 0.3336

35 308 0.0032 2.027 0.7065

45 318 0.0031 3.526 1.2602

Dari tabulasi data di atas, selanjutnya dibuat grafik hubungan antara nilai ln k dengan 1/T sehingga akan diperoleh persamaan linearnya sebagai berikut.


(4)

Gambar 22. Grafik persamaan Arhenius ordo nol

Dari Gambar 22 diketahui persamaan y = -2913.8 x + 10.188 dengan nilai R2 = 0.9114, sehingga diperoleh persamaan Arhenius yaitu :

ln k = 10.188 – 2913.8 (1/T).

Dari persamaan Arhenius tersebut maka dapat diketahui umur simpan pada suhu yang dikehendaki. Pendugaan umur simpan dihitung dengan rumus sebagai berikut.

t = A – Ao k

dimana ; A = batas kadaluwarsa nilai totox yaitu 49.18 Ao = nilai totox awal yaitu 0.94

Berdasarkan persamaan Arhenius dari Grafik 22 dan persamaan pendugaan umur simpan diatas dapat diketahui nilai k pada masing-masing suhu yang selanjutnya dapat diketahui umur simpannya yang dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Umur simpan dendeng ikan patin siam pada ordo nol Suhu penyimpanan

(oC)

Suhu (oK)

(1/T) ln k k Waktu simpan

(hari)

25 298 0.00335 0.410 1.507 32.01

35 308 0.00325 0.728 2.071 23.30

45 318 0.00318 1.025 2.79 17.30

y = -2913.8x + 10.188

R2 = 0.9114

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4

0.003 0.0031 0.0032 0.0033 0.0034 0.0035

1/T (oK)


(5)

simpan dendeng ikan patin siam pada suhu penyimpanan 25oC selama 32.01 hari, pada suhu 35oC umur simpan dendeng selama 23.30 hari dan pada suhu 45oC umur simpan dendeng selama 17.30 hari.

Dari hasil perhitungan pendugaan umur simpan dendeng giling ikan patin siam pada ordo nol diketahui bahwa suhu sangat berpengaruh terhadap reaksi oksidasi lemak karena berkaitan dengan laju reaksi oksidasi yang lebih cepat terjadi pada suhu yang lebih tinggi. Dengan semakin tinggi suhu maka akan lebih cepat terjadinya oksidasi lemak dimana ikatan rangkap dalam asam lemak tidak jenuh mudah terlepas dan selanjutnya dapat menghasilkan senyawa – senyawa radikal bebas (peroksida) dan senyawa-senyawa volatil yang dapat menimbulkan bau tengik. Menurut Amin (2008) kandungan asam lemak tidak jenuh pada daging ikan patin siam sebesar 56.83 % lebih besar dari pada kandungan asam lemak jenuh sebesar 43.17%.

Penggunaan rempah - rempah dalam pengolahan dendeng cukup efektif sebagai antioksidan selain sebagai pemberi rasa pada produk pangan. Tanaman rempah - rempah banyak mengandung minyak asiri yang didalamnya banyak terdapat senyawa - senyawa kimia yang bersifat antioksidan seperti carnosol, eugenol, phenol. Namun senyawa antioksidan dalam rempah - rempah ini bersifat volatil, sehingga selama pengolahan dendeng giling senyawa antioksidan tersebut menguap dan melepaskan ikatannya dari molekul komponen pangan.

Umur simpan dendeng giling ikan patin siam juga dipengaruhi oleh kemasan yang digunakan yaitu plastik LDPE (Low Density Polyethylene) dan dan cara pengemasannya yaitu tidak dalam kondisi vakum. Keberadaan oksigen dalam kemasan dapat memicu terjadinya oksidasi lemak, terutama pada produk pangan yang mengandung asam lemak tidak jenuh. Menurut Rahayu dan Arpah. (2004) LDPE memiliki sifat permeabilitas terhadap uap air dan gas oksigen (cc.mm/detik.cm2,cmHg) sebesar 800 sebesar 55. Sifat permeabilitas LDPE ini cukup besar jika dibandingkan dengan jenis plastik lainnya seperti PP

(Polypropilene). PP memiliki sifat permeabilitas terhadap air dan oksigen sebesar

680 dan 23. Sedangkan HDPE (High Density Polyethylene) memiliki sifat permeabilitas terhadap air dan oksigen sebesar 130 dan 10.6. Namun demikian,


(6)

plastik LDPE lebih banyak digunakan dalam industri pangan karena penampakannya yang bening / transparan dan bersifat elastis apabila ditarik memanjang. Penggunaan jenis plastik yang paling banyak digunakan dalam industri pangan yaitu LDPE sebesar 32%, dan HDPE sebesar 29,1%, sedangkan lainnya yaitu jenis plastik PP, PS (Polistyrene) dan Polivynil Choride (PVC).