Performa Komunikasi Resiko dalam Upaya Penanganan dan Pengendalian Avian Influenza (Kasus Penanganan dan Pengendalian Avian Influenza di Kabupaten Tangerang - Banten)

(1)

PERFORMA KOMUNIKASI RESIKO DALAM UPAYA

PENANGANAN DAN PENGENDALIAN AVIAN INFUENZA

(Kasus Penanganan dan Pengendalian Avian Influenza

di Kabupaten Tangerang - Banten)

R. WIWIN IKA INDRIYATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Performa Komunikasi Resiko dalam Upaya Penanganan dan Pengendalian Flu Burung/Avian Influenza : Kasus penanganan dan pengendalian Avian Influenza di Kabupaten Tangerang-Banten) adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya tulis yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2010

R. Wiwin Ika Indriyati NIM I 35070021


(3)

ABSTRACT

R. WIWIN IKA INDRIYATI. Risk Communicatin Perform in the Preventing and Controling Highly Pathogenic Avian Influenza - Study Cases in Tangerang District- Banten Province. Under direction of SUMARDJO and WIDIYANTO DWI SURYA

Risk communication is intended to educate, inform, and give advice in the prevention of risks. Risk communication is open and full of empathy to build a trust for the public during the crisis time. Risk communication determined by various factors. The objectives of this research are to 1) to analyze the risk communication factors that influence behavior related to the preventing and controlling HPAI; 2) to analyze the others factors that influence behavior related to the preventing and controlling HPAI. The result shows that 1). the weakness of people behavior in the preventing AI is determined by the application of the principle of risk communication, especially the low of participation/egalitarian, lack of public recognition, less involvement of experts, and less accuracy of communication, 2). the weakness of people behavior in the preventing AI is also determined by less the functioning of the element of risk communication, especially the nature of risk and uncertainty risk, 3). individual characteristics that are less cosmopolitan, low consumption of poultry and lack of motivation to seek information is also the factor that causes weakness people behavior in the preventing AI, 4) socio-cultural which is trust of AI risk build awareness to the people behavior in the preventing AI 5). AI controlling activity was less preventive in the region which has high population of birds but has not happened AI cases. It can be dangerous condition, so the government must be more preventive and intensive to preventing AI in this area.

Keywords; risk communication, High Pathogenic Avian Influenza (HPAI), people behavior.


(4)

RINGKASAN

R. WIWIN IKA INDRIYATI. Performa Komunikasi Resiko dalam Upaya Penanganan dan Pengendalian Flu Burung(Avian Influenza). Kasus Penanganan dan Pengendalian Avian Influenza di Kabupaten Tangerang-Banten. Di bimbing oleh SUMARDJO dan WIDIYANTO DWI SURYA.

Kasus flu burung yang terjadi pada manusia hingga September 2008 telah mencapai 143 kasus positif (confirm) dengan 112 kasus meninggal. Dikhawatirkan dengan terus meningkatnya kasus kematian pada manusia akan terjadi pandemi flu burung di Indonesia seperti yang terjadi pada tahun 1918, jutaan orang di belahan dunia meninggal akibat pandemi flu burung (US Department of Health & Human Services 2006). Kabupaten Tangerang telah ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai salah satu wilayah endemis.Avian Influenza. Data dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang hingga bulan April tahun 2009 terdapat 19 (sembilan belas) kecamatan dari 36 (tiga puluh enam) kecamatan yang positif kasus AI pada unggas. Selain itu, dari tahun 2005 hingga Maret 2009 tercatat bahwa terdapat 20 kasus konfirm AI dengan 18 orang meninggal dunia.

Menanggapi hal ini, pemerintah melakukan upaya-upaya strategis dalam upaya penangangan dan pengendalian AI. Namun, banyak permasalahan serta hambatan yang dihadapi dalam upaya tersebut. Melihat banyaknya permasalahan dalam upaya penanganan dan pengendalian flu burung di Indonesia, maka perlu kajian mengenai performa komunikasi yang telah dilakukan. Komunikasi resiko mempunyai tujuan pokok untuk memberikan informasi terkait resiko yang bermakna, relevan dan akurat kepada khalayak tertentu. Komunikasi resiko pada saat krisis ditujukan untuk mendidik, menginformasikan, dan himbauan untuk melakukan pencegahan terharap resiko. Tugas dari komunikasi resiko adalah bagaimana menyampaikan pengetahuan tentang Flu Burung serta resikonya kepada masyarakat umum.

Tujuan penelitian ini adalah 1). untuk menganalisa faktor komunikasi resiko yang mempengaruhi perilaku masyarakat terkait dengan upaya penanganan dan pengendalian flu burung, 2). untuk menganalisa faktor-faktor lain selain komunikasi resiko flu burung yang berpengaruh terhadap perilaku masyarakat terkait dengan upaya penanganan dan pengendalian flu burung.

Desain penelitian adalah penelitian eksplanasi (ekplanatory research). Lokasi penelitian pada 4 desa di Kabupaten Tangerang diambil secara purposive

dengan kategori desa positif AI dan desa negatif AI pada manusia. Pengambilan sampel responden di tiap desa dilakukan menggunakan teknik stratified random sampling dengan strata mata pencaharian. Jumlah sampel untuk 4 desa adalah 160 responden, tiap desa 40 responden. Data dikumpulkan pada bulan Juni- Juli 2009. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Uji reliabilitas kuesioner diperoleh nilai koefisien Cronbach’s Alhpa untuk instrumen elemen komunikasi resiko sebesar 0,583, untuk karakteristik individu 0,536, untuk prinsip komunikasi resiko sebesar 0,909, untuk perilaku masyarakat sebesar 0,804 dan untuk lingkungan sosial budaya sebesar 0,990, dan dibandingkan dengan nilai rtabel = 0,305 (α = 0,05 dan n=30) maka koefisien reliabilitas lebih besar dari rtabel sehingga kuesioner yang digunakan dalam penelitian reliabel. Data dianalisis dengan menggunakan analisis statistik deskriptif dalam bentuk rataan skor, total rataan skor, persentade dan tabel distribusi. Hubungan antar variabel dianalisis dengan Uji Regresi Linear dan


(5)

korelasi Rank Spearman yang pengolahan datanya menggunakan program

SPSS forWindows.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1). perilaku masyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya Avian Influenza (AI) lemah terutama dalam hal pemahaman terhadap AI, hal ini disebabkan oleh penerapan prinsip komunikasi resiko yang kurang tepat dalam mengkomunikasikan resiko, partisipasi masyarakat yang rendah terhadap upaya pencegahan AI, kurangnya pengenalan khalayak oleh yang mengembangkan komunikasi resiko, kurang melibatkan pakar, dan strategi komunikasi yang kurang tepat, 2). perilaku masyarakat yang lemah tersebut juga disebabkan oleh kurang berfungsinya elemen komunikasi resiko terutama menyangkut aspek sifat resiko dan ketidakpastian resiko AI, 3). karakteristik individu yang kurang kosmopolit, rendahnya pola konsumsi unggas dan motivasi yang lemah untuk mencari informasi tentang AI juga merupakan faktor yang menyebabkan lemahnya perilaku masyarakat waspada terhadap AI, 4). kepercayaan masyarakat bahwa keberadaan AI sangat beresiko menyebabkan terbentuknya perilaku masyarakat yang lebih waspada terhadap AI, 5). upaya penanggulangan AI ternyata kurang bersifat preventif, hanya intensif di daerah – daerah telah yang terjadi kasus AI. Kondisi seperti ini berbahaya terutama pada daerah yang memiliki populasi unggas yang tinggi dan belum terjadi kasus AI jika pemerintah tidak merubah cara penanggulangan AI secara lebih intensif

Hasil penelitian menyarankan hal-hal sebagai berikut 1). lebih mengenali khalayak dengan baik di daerah-daerah yang berpotensi AI dan melakukan tindakan preventif melalui komunikasi tentang resiko dan pencegahan AI, terutama di daerah yang populasi unggasnya tinggi tetapi belum terjadi kasus AI. 2). dalam mengembangkan komunikasi perlu menekankan aspek resiko dan lebih menekankan keterlibatan pakar terkait dalam upaya pencegahan AI, 3). mengingat sifat resiko dan ketidakpastian resiko kurang tersosialisasikan dalam masyarakat, diperlukan upaya-upaya penekanan kedua faktor tersebut dalam berkomunikasi dan dikemas sesuai dengan hasil upaya pengenalan khalayak sasaran, 4). mengingat partisipasi masyarakat rendah terkait dengan upaya pencegahan AI maka pelibatan masyarakat dalam perencanaan serta pelaksanaan program pencegahan dan pengendalian AI perlu ditingkatkan.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

PERFORMA KOMUNIKASI RESIKO DALAM UPAYA

PENANGANAN DAN PENGENDALIAN AVIAN INFUENZA

(Kasus Penanganan dan Pengendalian Avian Influenza

di Kabupaten Tangerang - Banten)

R. WIWIN IKA INDRIYATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Master Sains pada

Program Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini tepat pada waktunya sesuai dengan harapan dan keinginan penulis. Selesainya karya ilmiah ini tidak terlepas dari bimbingan, perhatian dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan rasa hormat yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang senantiasa memberikan motivasi, bimbingan serta petunjuk kepada penulis yang bersifat membangun.

2. Dr. drh. Widiyanto D Surya, MSc selaku pembimbing ke II yang selalu memberikan arahan dan bimbingan serta dukungan dalam penelitian ini. 3. Dr. Ir. Djuara P Lubis, MS selaku penguji luar komisi dan Dr. Ir. Sarwititi S

Agung, MS yang memberikan dorongan dan masukan kepada penulis. 4. Dr. Bambang Sumantri yang selalu bersabar dalam membimbing penulis

untuk mengolah data-data lapangan.

5. Pemerintah Kabupaten Tangerang, Dinas Peternakan, Dinas Kesehatan, Aparat serta masyarakat Desa Sepatan, Desa Pakuhaji, Desa Kayuagung dan Desa Bunder- Kabupaten Tangerang yang telah bersedia membantu proses kelancaran serta dijadikan objek penelitian.

6. Teman-teman seperjuangan (Pak Ojat, Bang Fuad, Mba Elly, Mba Hanif, Hosea, Bu Lina, Bu Loli, Ipunk, Ria, Uni, Bu Retno, Eka, Aulia, Mas Widi, Rizal) dan sahabatku Husnul Khitam, yang banyak memberikan dorongan dan bantuan kepada penulis.

7. Dan terakhir, kupersembahkan kepada kedua orang tuaku (R. Sujayono dan Hermyn Suprapti) serta kakekku (Soepirman) yang tak henti-hentinya melimpahkan kasih sayang kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini. Untuk itu segala keterbukaan kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang berkepentingan. Amin.

Bogor, Januari 2010


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 13 Oktober 1984 dari Bapak R. Sujayono dan Ibu Hermyn Suprapti. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.

Tahun 2002 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bandar Lampung dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih mayor Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan dan menamatkannya pada tahun 2006. Pada tahun 2007, penulis berkesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Pascasarjana IPB dan pada mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Selain studi, penulis bekerja sebagai staf di CREATE (Pusat Pengembangan Sumberdaya Manusia dan Aplikasi Teknologi) yang berlokasi di Bogor.


(10)

v

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 6

Tujuan Penelitian ... 8

Manfaat Penelitian ... 8

PENDEKATAN TEORITIS ... 9

Komunikasi resiko ... 9

Aspek-aspek komunikasi resiko ... 12

Unsur-unsur komunikasi resiko ... 15

Prinsip-prinsip komunikasi resiko ... 16

Hambatan dan permasalahan komunikasi resiko ... 19

Perilaku komunikasi ... 20

Avian Influenza ... 22

Karakteristik virus Avian Influenza ... 23

Perkembangan Avian Influenza ... 25

Strategi Nasional Pengendalian Avian Influenza ... 26

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ... 29

Kerangka berpikir ... 29

Hipotesis ... 32

METODE PENELITIAN ... 33

Lokasi dan waktu ... 33

Desain penelitian ... 33

Populasi dan sampel ... 33

Data dan instrumentasi ... 34

Definisi operasional... 34

Validitas dan realibilitas instrumen ... 39

Pengumpulan data ... 40

Analisis data ... 41

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN... 42

Lokasi Penelitian ... 42

Penyakit AI di Kabupaten Tangerang ... 49

Upaya pencegahan AI di Kabupaten Tangerang ... 51

Karakteristik Responden di Empat Lokasi Penelitian ... 55

Karakteristik individu ... 55

Keberfungsian elemen komunikasi resiko ... 59

Penerapan prinsip komunikasi resiko ... 63

Lingkungan ... 72


(11)

vi

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 77

Karakteristik individu ... 77

Performa komunikasi resiko ... 77

Efek prinsip komunikasi resiko ... 85

Lingkungan ... 86

Keterkaitan antara faktor komunikasi resiko dengan perilaku masyarakat .. 87

Pengaruh penerapan prinsip komunikasi resiko terhadap perilaku masyarakat ... 87

Pengaruh keberfungsian elemen komunikasi resiko terhadap perilaku masyarakat ... 91

Keterkaitan faktor-faktor lain selain faktor komunikasi resiko dengan perilaku masyarakat ... 92

Pengaruh aspek lingkungan terhadap perilaku masyarakat ... 93

Pengaruh karakteristik individu terhadap perilaku masyarakat ... 94

KESIMPULAN ... 100

Kesimpulan ... 100

Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 102


(12)

vii

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Gambaran populasi dan sampel responden ... 34 2. Presentase penduduk umur 10 tahun ke atas menurut ijazah tertinggi

yang dimiliki tahun 2007 ... 44 3. Jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan di Kabupaten

Tangerang tahun 2003-2007 ... 45 4. Pembagian kerja satuan Dinas Peternakan Kabupaten Tangerang ... 52 5. Tingkat pendidikan responden di empat lokasi penelitian di

Kabupaten Tangerang ... 55 6. Tingkat pendapatan responden di empat lokasi penelitian di

Kabupaten Tangerang ... 56 7. Tingkat kosmopolitan responden di empat lokasi penelitian di

Kabupaten Tangerang ... 57 8. Motivasi responden di empat lokasi penelitian di Kabupaten

Tangerang ... 58 9. Pola konsumsi responden terhadap unggas dan produknya

di empat lokasi penelitian di Kabupaten Tangerang ... 59 10. Persepsi responden terhadap sifat resiko Avian Influenza di empat

lokasi penelitian di Kabupaten Tangerang ... 60 11. Persepsi responden terhadap manfaat resiko Avian Influenza di empat

lokasi penelitian di Kabupaten Tangerang ... 61 12. Persepsi responden terhadap ketidakpastian di empat lokasi

penelitian di Kabupaten Tangerang ... 62 13. Persepsi responden terhadap manajemen resiko di empat lokasi

penelitian di Kabupaten Tangerang ... 63 14. Persepsi terhadap pengenalan khalayak terkait dengan di empat

lokasi penelitian di Kabupaten Tangerang ... 64 15. Persepsi terhadap keterlibatan pakar di empat lokasi penelitian

di Kabupaten Tangerang. ... 65 16. Persepsi terhadap ketepatan komunikasi di empat lokasi

penelitian di Kabupaten Tangerang. ... 68 17. Persepsi terhadap kredibilitas di empat lokasi penelitian


(13)

viii

18. Persepsi terhadap egalitarian di empat lokasi penelitian

di Kabupaten Tangerang ... 69 19. Persepsi terhadap value judgement (tingkat resiko yang dapat diterima)

di empat desa lokasi penelitian di Kabupaten Tangerang... 70 20. Persepsi terhadap keterbukaan di empat lokasi penelitian

di Kabupaten Tangerang ... 71 21. Persepsi terhadap perspektif resiko di empat lokasi penelitian

di Kabupaten Tangerang ... 72 22. Persepsi terhadap sosial budaya di empat lokasi penelitian

di Kabupaten Tangerang ... 73 23. Persepsi terhadap lingkungan fisik di empat lokasi penelitian

di Kabupaten Tangerang ... 74 24. Pemahaman masyarakat (kognitif) di empat lokasi penelitian

di Kabupaten Tangerang ... 75 25. Sikap masyarakat (afektif) di empat lokasi penelitian

di Kabupaten Tangerang ... 75 26. Tindakan masyarakat (konatif) di empat lokasi penelitian

di Kabupaten Tangerang ... 76 27. Sebaran masyarakat menurut karakteristik individu ... 77 28. Rataan skor penerapan prinsip komunikasi resiko dalam menghadapi

ancaman bahaya AI ... 82 29. Rataan skor keberfungsian elemen komunikasi resiko dalam menghadapi

ancaman bahaya AI ... 85 30. Rataan skor perilaku masyarakat dalam menghadapi ancaman

bahaya AI ... 86 31. Rataan skor kondisi lingkungan dalam menghadapi ancaman bahaya AI 86 32. Koefisien regresi penerapan prinsip komunikasi resiko terhadap perilaku

masyarakat ... 88 33. Koefisien korelasi antara penerapan prinsip komunikasi resiko dengan

perilaku masyarakat ... 88 34. Koefisien regresi keberfungsian elemen komunikasi resiko terhadap

perilaku masyarakat ... 91 35. Koefisien korelasi keberfungsian elemen komunikasi resiko


(14)

ix

36. Koefisien regresi aspek lingkungan terhadap perilaku masyarakat……. 93 37. Koefisien korelasi lingkungan sosial budaya dengan perilaku

masyarakat ... 93 38. Koefisien regresi karakteristik individu terhadap perilaku masyarakat ... 95 39. Hasil uji Annova karakteristik individu (tingkat pendidikan)

terhadap perilaku masyarakat ... 95 40. Koefisien korelasi antara karakteristik individu dengan perilaku


(15)

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Proses komunikasi resiko ... 12

2. Permasalahan pada komunikasi resiko……….. ... 13

3. Gejala klinis AI pada unggas ... 26

4. Mekanisme koordinasi/komando pencegahan dan pengendalian AI ... 28

5. Kerangka analisa performa komunikasi resiko ... 31

6. Peta Kabupaten Tangerang ... 48

7. Pemetaan sebaran kasus AI pada unggas tahun 2006-2007 ... 50

8. Pemetaan keterkaitan kasus AI pada unggas dengan kasus positif pada manusia ... 51

9. Flyer tanggap flu burung ... 53

10. Poster pencegahan flu burung flu burung ... 53

11. Brosur pencegahan flu burung ... 53

12. Stiker pencegahan flu burung ... 54


(16)

1

PENDAHULUAN

Latar belakang

Indonesia merupakan negara berkembang dengan jumlah penduduk terbesar keempat didunia yang jumlahnya diperkirakan mencapai 220 juta jiwa. Jumlah penduduk yang besar tersebut merupakan potensi yang luar biasa bagi pangsa pasar produk asal hewani karena kebutuhan pangan asal hewani (daging, susu, telur) merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi. Protein hewani asal ternak sebagai sumber protein diperlukan untuk kecerdasan, memelihara stamina tubuh, mempercepat regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah pecah. Meskipun disadari pangan hewani kebutuhan primer, hingga kini konsumsi protein hewani penduduk Indonesia sangat rendah. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya konsumsi telur di Indonesia yaitu 2,7 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia 14,4 kg, Thailand 9,9 kg dan Filipina 6,2 kg. Bila satu kg rata-rata 17 butir, maka konsumsi telur penduduk Indonesia 46 butir/kapita/tahun atau 1/8 butir telur per hari. Padahal penduduk Malaysia setiap tahunnya memakan 245 butir telur atau 2/3 butir telur per hari (Rusfidra dimuat Harian Sinar Pembaharuan tanggal 8 September 2005). Konsumsi daging, telur dan susu yang rendah menyebabkan target konsumsi protein hewani 6 gram/kapita/hari belum tercapai. Padahal untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, rata-rata konsumsi protein hewani yang ideal 26 gram/kapita/hari. Analisis oleh Prof. I.K Han, guru besar Ilmu Produksi Ternak Universitas Nasional Seoul, Korea Selatan, yang dimuat dalam Asian Australian Journal of Animal Science (1999) menyatakan adanya kaitan positif antara tingkat konsumsi protein hewani dengan umur harapan hidup (UHH) dan pendapatan perkapita. Semakin tinggi konsumsi protein hewani penduduk semakin tinggi umur harapan hidup dan pendapatan domestik bruto (PDB) negara tersebut. Korea, Brazil, Cina, Fhilipina dan Afrika Selatan memiliki konsumsi protein hewani 20-40 gram/kapita/hari, UHH penduduknya berkisar 65-75 tahun. AS, Prancis, Jepang, Kanada dan Inggris konsumsi protein hewani masyarakatnya 50-80 gram/kapita/hari, UHH penduduknya 75-85 tahun. Negara-negara yang konsumsi protein hewani di bawah 10 gram/kapita/hari seperti Banglades, India dan Indonesia, UHH penduduknya hanya berkisar 55-65 tahun (Rusfidra dimuat Harian Sinar Pembaharuan tanggal 8 September 2005).


(17)

2

Protein hewani banyak mengandung gizi mikro seperti zat besi, iodium, vitamin B6, asam folat dan vitamin B12, sangat berperan dalam pembentukan aspek motorik dan kognitif pada anak usia 4-8 tahun, dan berpengaruh pada tingkat kecerdasan (Hardiansyah 2006). Semakin rendah konsumsi protein hewani akan semakin rendah pula tingkat kecerdasan dan kualitas hidup penduduk Indonesia. Malaysia yang pada tahun 1970-an mendatangkan guru-guru dari Indonesia, sekarang jauh meninggalkan Indonesia dalam kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagaimana ditunjukkan oleh peringkat Human Development Indeks (HDI) tahun 2007-2008 yang dikeluarkan United Nation Development Program (UNDP), Indonesia berada pada peringkat ke-107, dua tingkat dibawah Vietnam (105), namun jauh di bawah negara ASEAN lainnya yaitu Singapura (peringkat 25), Malaysia (63), Thailand (78) dan Filipina (90).

Tingkat konsumsi protein hewani asal unggas pun semakin menurun akibat adanya Avian Influenza. Penyakit Avian Influenza (AI) atau lebih dikenal flu burung muncul pertama kali di Indonesia pada bulan Agustus tahun 2003 di beberapa peternakan ayam ras komersial di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dalam kurun waktu yang singkat, penyakit ini menyebar ke berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Lampung, Bali, Sumatera dan Kalimantan (Data Dirjen Peternakan RI 2004).

Jenis unggas yang terserang meliputi ayam ras petelur, ayam pedaging, ayam bibit, ayam buras, ayam arab, itik, burung puyuh, burung merpati, burung perkutut, dan burung merak. Menurut laporan Departemen Pertanian sejak tahun 2003 – 2008, wilayah tertular Avian Influenza 31 propinsi dari 33 propinsi dan 294 kabupaten/kota dari 498 kabupaten/kota dengan angka kematian 13 juta ekor unggas. Daerah yang tinggi kematian pada unggas dan manusia adalah Jawa Barat, DKI dan Banten (Soedjana Rakornas Komnas FBPI 2008).

Selain itu, adanya kematian manusia oleh serangan flu burung lebih memperburuk situasi di Indonesia. Data dari WHO sampai bulan September 2008 menyatakan bahwa tahun 2003-2008 kasus flu burung pada manusia di Indonesia mencapai 143 kasus positif (confirm)1 dengan 112 kasus meninggal. Dikhawatirkan dengan terus meningkatnya kasus kematian pada manusia akan terjadi pandemi flu burung di Indonesia seperti yang terjadi pada tahun 1918, jutaan orang di belahan dunia meninggal akibat pandemi flu burung (US Department of Health & Human Services 2006). Kabupaten Tangerang

1


(18)

3

ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai salah satu wilayah endemis2 Avian Influenza. Data Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang menyebutkan bahwa hingga bulan April tahun 2009 terdapat 19 (sembilan belas) kecamatan dari 36 (tiga puluh enam) kecamatan yang positif AI pada unggas. Selain itu, dari tahun 2005 hingga Maret 2009 terdapat 20 kasus konfirm AI pada manusia dengan 18 orang meninggal dunia.

Meningkatnya kasus Flu burung menimbulkan serangkaian dampak yang merugikan bagi negara Indonesia. Pertama adalah keselamatan jiwa manusia terancam dan resiko akan terjadinya pandemi3 yang mengakibatkan kematian jutaan orang. Simulasi Pandemi (skenario moderat) menunjukkan bahwa jika terjadi pandemi diperkirakan akan terdapat 66 juta orang yang sakit dan 150.000 orang meninggal. Kedua, flu burung telah menimbulkan kerugian ekonomi. Sejak tahun 2004, flu burung telah menimbulkan kerugian dalam bentuk ayam yang musnah atau dimusnahkan, berkurangnya permintaan ayam, berkurangnya konsumsi ayam di restoran, tambahan biaya yang harus dikeluarkan peternak dan pemerintah dalam penanganan flu burung, serta dampak terhadap sektor-sektor lain (terutama pariwisata). Nilai kerugian sejak tahun 2004 hingga 2007 (4 tahun) diperkirakan telah mencapai Rp. 4,1 trilyun. Nilai tersebut belum termasuk hilangnya kesempatan kerja dan kerugian akibat berkurangnya konsumsi protein masyarakat (Komnas FBPI 2008).

Beberapa permasalahan dan hambatan yang dihadapi Indonesia terkait dengan komunikasi dalam upaya pengendalian dan penanganan flu burung adalah 1). kurangnya koordinasi antar sektor dalam perencanaan dan pengendalian flu burung dan kesiapsiagaan dalam menghadapi pandemi influenza; 2). kurangnya pemahaman dan kesadaran seluruh lapisan masyarakat terhadap flu burung dan resikonya; 3). adanya distorsi informasi yang diterima oleh masyarakat (RENSTRA AI 2005). Hasil riset Small scale pre-AI campaign measurement TNS-UNICEF tahun2006, mengungkapkan bahwa sebagian besar masyarakat menganggap flu burung bukan merupakan penyakit yang berbahaya. Selain itu, keberagaman materi komunikasi, tidak adanya prioritas pesan serta informasi yang diterima terkait flu Burung mengakibatkan masyarakat menjadi bingung (disampaikan pada Rakernas KOMNAS FBPI 2007). Pada tahun 2008, TNS UNICEF kembali mengadakan penelitian pada 1726 orang yang terdiri dari

2

Endemis : daerah yang ada kasus AI yang didiagnosa secara klinis, patologi anatomis, epidemiologis, dan dikonfirmasi secara laboratories (Deptan 2005)

3

Pandemi : wabah influenza yang sangat besar, disebabkan oleh mutasi virus AI dan menular dari manusia ke manusia (Depkominfo 2006).


(19)

4

masyarakat, anak sekolah, wartawan, pemuka masyarakat, pekerja kesehatan pemimpin lokal dan kader kesehatan hasilnya hanya 33 % dari total sampel memahami akan pandemi AI. Mereka hanya memahami bahwa AI dapat menyebabkan kematian serta kepanikan massa, namun tidak memahami bahwa jika terjadi pandemi AI akan menyebar dengan sangat cepat. Mereka juga tidak memahami secara jelas arti pandemi influenza dan apa yang harus dilakukan ketika hal itu terjadi (CIDA 2008).

Menanggapi banyaknya hambatan tersebut, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2007 mengenai strategi pengendalian flu burung dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza kepada Menteri Kordinator Kesejahteraan Rakyat, Menteri Pertanian, Menteri Keuangan, Menteri Pertanian, Menteri Kesehatan, Panglima TNI, para Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia untuk bersama-sama melakukan penanganan dan pengendalian flu burung sesuai dengan lingkup tugas dan kewenangannya masing-masing. Strategi pengendalian flu burung dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza bertujuan untuk memfasilitasi suatu respons nasional yang terkoordinasi, efektif disemua jenjang administrasi dalam menghadapi pandemi influenza, melalui kegiatan pencegahan dan pengendalian untuk mengurangi kesakitan, kematian dan dampak sosial ekonomi. Dalam pelaksanaannya rencana strategis ini dikoordinir oleh Kementerian Kordinator kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI) dibawah komando Presiden Republik Indonesia. Komnas FBPI mengemban tugas melaksanakan koordinasi dalam upaya penanganan dan pengendalian Flu Burung. Banyak program yang disusun oleh KOMNAS FBPI, salah satu programnya adalah KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) pada masyarakat (KOMNAS FBPI 2007).

Walaupun banyak program yang dijalankan sampai kurun waktu tahun 2008, pengendalian dan penanganan Avian Influenza harus tetap ditingkatkan mengingat masih adanya korban, pemahaman tentang penyakit Avian Influenza yang belum tuntas serta sistem penanganan yang belum sempurna (Komnas FBPI 2008). Kaitannya dalam mengatasi hambatan – hambatan yang terjadi serta sebagai upaya untuk mempercepat pengendalian flu burung, diperlukan langkah-langkah komprehensif dan keterpaduan semua pihak yang terkait. Salah satunya adalah dengan melakukan komunikasi yang terbuka dan penuh empati


(20)

5

untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada saat masa-masa krisis (Reynold & Sandra 2008). Prinsip – prinsip komunikasi tersebut merupakan prinsip komunikasi resiko yang harus diintegrasikan dalam setiap perencanaan ataupun strategi pengendalian sebagai bagian dari upaya pencegahan dan respon terhadap kewaspadaan pandemi influenza (Elledge et al. 2008).

Komunikasi resiko pada saat krisis ditujukan untuk mendidik, menginformasikan, dan himbauan untuk melakukan pencegahan terhadap adanya resiko. Komunikasi sangat penting pada saat krisis terjadi dan bertujuan untuk mendampingi masyarakat dan menyediakan informasi seputar kesehatan berupa rekomendasi yang dapat dilakukan melalui media komunikasi (PAHO 1995). Komunikasi resiko merupakan satu kesatuan bentuk keahlian khusus dan ketrampilan yang dapat membantu para komunikator kesehatan (Sandman & Jody Lanard 2005).

Leiss (1994) mendefinisikan komunikasi resiko sebagai proses pertukaran informasi antara pihak-pihak yang terlibat mengenai kesehatan maupun lingkungan. Definisi lain adalah proses pertukaran informasi dan opini tentang resiko dan faktor penyebabnya antara penaksir resiko, manager resiko dan pihak yang berkepentingan (FAO 1995). Dalam konteks ini komunikasi resiko dilakukan oleh pemerintah baik di pusat maupun di daerah, dunia usaha, organisasi profesi, organisasi non pemerintah, perguruan tinggi dan lembaga internasional serta pihak-pihak terkait seperti Lembaga Swadaya Masyarakat dan lainnya. Komunikasi resiko bertujuan untuk memberikan informasi tentang sebuah resiko yang bermakna, relevan dan akurat dalam istilah yang jelas dan mudah dipahami kepada khalayak tertentu (FAO 1995). Berbagai hasil studi menunjukkan pentingnya komunikasi resiko dilakukan terutama dalam upaya penanganan krisis atau masalah mengenai kesehatan (Edward & Elwyn 1999; Edward 2000; Reynold & Quinn, 2008; Thomas et al. 2008; Elledge et al. 2008; Quinn 2008; Freimuth 2008). Berdasarkan teori motivasi diri, dengan melakukan komunikasi resiko masyarakat akan lebih berdaya dan berhasil melewati sebuah resiko (Barr 1994). Komunikasi resiko menarik dikaji lebih dalam performanya karena komunikasi resiko sebagai salah satu alat dalam upaya penanganan dan pengendalian Avian Influenza.


(21)

6

Perumusan masalah

Banyaknya permasalahan serta hambatan yang dihadapi dalam upaya penanganan dan pengendalian flu burung di Indonesia hendaknya perlu mendapatkan perhatian khusus. Upaya penanganan dan pengendalian flu burung harus merupakan upaya terpadu dari semua pihak yang bersangkutan seperti pemerintah, dunia usaha, media (pers), dan masyarakat sendiri. Komunikasi antara pihak-pihak terkait diperlukan dengan tujuan untuk memahami, menginformasikan, melakukan upaya pencegahan serta meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya penyakit (PAHO 1995).

Kasus flu burung dilaporkan sudah terjadi di 31 (tiga puluh satu) propinsi dari total 33 (tiga puluh tiga) propinsi di Indonesia. Namun tetap saja masyarakat tidak merasa flu burung dapat berjangkit di daerah mereka. Walaupun pengetahuan masyarakat tentang flu burung tinggi, tetapi masyarakat merasa bahwa flu burung bukan ancaman yang serius. Selain itu, dipihak lain yaitu keberagaman materi komunikasi terkait flu burung juga menimbulkan kebingungan diantara khalayak karena tidak adanya prioritas pesan serta informasi yang diterima membingungkan. Hal ini berdasarkan hasil riset Small scale pre-AI campaign measurement TNS-UNICEF tahun 2006 disampaikan pada Rakernas KOMNAS FBPI tahun 2007. Reynold 2007 yang diacu dalam (Quinn 2008) mengemukakan bahwa pada kelompok – kelompok masyarakat tertentu terkadang tidak dapat menangkap pesan yang disampaikan melalui saluran komunikasi massa secara efektif. Hal ini disebabkan perbedaan tingkat pengetahuan, bahasa, kekhawatiran mengenai bahaya, akses terhadap media massa, faktor sosial maupun politik.

Melihat banyaknya permasalahan dalam upaya penanganan dan pengendalian flu burung di Indonesia, maka perlu kajian mengenai performa komunikasi yang telah dilakukan. Komunikasi resiko mempunyai tujuan pokok untuk memberikan informasi terkait resiko yang bermakna, relevan dan akurat dalam istilah yang jelas dan mudah dipahami kepada khalayak tertentu. Komponen paling penting dalam komunikasi resiko adalah upaya membangun kepercayaan dan persepsi. Dengan membangun kepercayaan dan persepsi akan menentukan bagaimana individu-individu masyarakat bereaksi terhadap suatu resiko (Chartier & Gabler 2001). Sandmann (2004) mengungkapkan kunci utama dalam komunikasi resiko yang paling penting adalah keterbukaan, empati, sharing kekuasaan.


(22)

7

Ping Yan Lam (2008) mengemukakan untuk membangun kepercayaan serta mendapatkan dukungan dari masyarakat pada saat krisis harus menerapkan prinsip keterbukaan, ketepatan, keakuratan, konsisten dan merupakan informasi terkini. Komunikasi resiko yang efektif sangat penting untuk membangun dan menjamin kesiapan masyarakat dalam menghadapi pandemi. Reynolds & Barbara (2008) menambahkan bahwa dengan melakukan komunikasi yang terbuka dan penuh empati akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan pada akhirnya mendorong mereka melakukan tindakan- tindakan positif untuk menghindari bahaya.

Pada kasus mengkomunikasikan resiko Flu Burung, tugas berat dari komunikasi resiko adalah bagaimana menyampaikan pengetahuan tentang Flu Burung serta resikonya kepada masyarakat umum. Karena masyarakat yang beresiko adalah masyarakat awam, maka informasi ini harus dikemas dengan baik agar mudah dimengerti. Sumber informasi ini tentu adalah ilmuan, peneliti, atau ahli yang berkompeten di bidangnya. Sering sekali, informasi yang diproduksi oleh ahli ini sangat rumut dan sulit dimengerti oleh awam. Fokus komunikasi kemudian adalah bagaimana menyamakan persepsi tentang resiko yang dipersepsi oleh masyarakat dengan resiko yang benar secara teknis.

Oleh karena itu, permasalahan yang diangkat dalam penelitian adalah untuk menjelaskan sejauh manakah faktor-faktor komunikasi resiko berpengaruh terhadap perilaku masyarakat dalam upaya menghadapi ancaman bahaya AI? Selain itu, untuk menganalisis sejauh mana faktor-faktor lain selain faktor komunikasi resiko berpengaruh terhadap perilaku masyarakat dalam upaya menghadapi ancaman bahaya AI?.


(23)

8

Tujuan penelitian

Sejalan dengan permasalahan di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisa faktor komunikasi resiko yang mempengaruhi perilaku masyarakat terkait dengan upaya penanganan dan pengendalian flu burung.

2. Menganalisa faktor-faktor lain selain komunikasi resiko flu burung yang berpengaruh terhadap perilaku masyarakat terkait dengan upaya penanganan dan pengendalian flu burung.

Kegunaan penelitian

Komunikasi merupakan elemen terpenting dalam upaya mendukung program penganganan dan pengendalian penyakit Avian Influenza. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai :

1. Rekomendasi bagi pemerintah dan pihak terkait dalam upaya penyusunan program komunikasi yang tepat dalam upaya diseminasi informasi terkait dengan penanganan dan pengendalian penyakit Avian influenza.

2. Masukan bagi pengambil kebijakan di level Pemerintah Pusat, Lokal dan Regional dalam melibatkan masyarakat terkait dengan penanganan dan pengendalian penyakit Avian influenza.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji performa komunikasi resiko pada aras masyarakat. Faktor-faktor yang dikaji dalam penelitian ini meliputi karakteristik individu, keberfungsian elemen komunikasi resiko, penerapan prinsip komunikasi resiko, aspek lingkungan dan perilaku masyarakat.


(24)

9

PENDEKATAN TEORITIS

Komunikasi Resiko

Komunikasi resiko merupakan bagian dari ladang ilmu komunikasi secara umum, akan tetapi lebih fokus dalam kajian manajemen resiko kesehatan maupun lingkungan (CFIA 1998). Saat ini, banyak orang yang tertarik pada kejadian yang terjadi di alam seperti bencana, hasil sampingan dari teknologi industri, dan semua hal yang berhubungan dengan resiko kesehatan (Leiss 1994). Fisher (1991) dalam Morgan et al. 2002 mengemukakan urutan resiko yang menjadi perhatian masyarakat yaitu resiko lingkungan (44,1%), resiko kesehatan sebesar 22,9 %, resiko keamanan (22,4%), dan kondisi sosial (10,6%).

Komunikasi resiko diartikan sebagai proses pertukaran informasi terkait resiko kesehatan maupun lingkungan yang beresiko antara pihak terkait. Komunikasi resiko juga didefinisikan sebagai komunikasi antar individu yang menfokuskan pada perubahan pengetahuan, persepsi, kebiasaan serta tingkah laku yang berkaitan dengan resiko (Edwars dan Bastian 2001). Komunikasi resiko diperkenalkan pertama kali di Inggris pada pertengahan tahun 1980. Saat itu, fokus utama komunikasi resiko adalah bagaimana cara penyampaian pesan resiko dari para ahli dengan baik kepada masyarakat (Leiss 1994). Seiring dengan perkembangan, Leiss mendefinisikan komunikasi resiko lebih luas yaitu sebagai proses pertukaran informasi antara pihak-pihak yang terkait mengenai kesehatan maupun lingkungan.

The National Research Council (NRC) mengartikan komunikasi resiko sebagai pertukaran informasi mengenai tipe, level serta metode dalam mengelola sebuah resiko (U.S. Public Health Service 1995). Definisi lain yaitu proses pertukaran informasi dan opini tentang resiko dan faktor penyebabnya di antara penaksir resiko, manager resiko, dan pihak yang berkepentingan. Pihak yang terlibat dalam komunikasi resiko adalah pemerintah, dunia usaha, media, para ahli (akademisi dan lembaga penelitian), organisasi masyarakat dan masyarakat (FAO 1995). Berdasarkan beberapa definisi di atas disimpulkan bahwa komunikasi resiko merupakan sebuah proses pertukaran informasi di antara pihak-pihak yang terkait dengan sebuah resiko di mulai dari analisis resiko, hingga managemen resiko.


(25)

10

Komunikasi resiko mempunyai tujuan pokok untuk memberikan informasi terkait resiko yang bermakna, relevan dan akurat dalam istilah yang jelas dan mudah dipahami kepada khalayak tertentu. Selain itu, komunikasi resiko bertujuan : 1) meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang berbagai persoalan spesifik yang harus dipertimbangkan oleh pihak terkait dalam proses analisis resiko; 2) meningkatkan konsistensi dan keterbukaan dalam pengambilan keputusan manajemen resiko serta implementasinya; 3) memberikan landasan yang kuat untuk memahami keputusan manajemen resiko yang diusulkan atau diimplementasikan; 4) meningkatkan keefektifan dan efisiensi proses analisis resiko; 5) turut memberikan kontribusi pada pengembangan dan penyampaian program informasi dan pendidikan yang efektif, jika kedua hal tersebut terpilih sebagai pilihan manajemen resiko; 6) memperkuat hubungan kerja dan saling menghargai di antara semua partisipan; 7) meningkatkan keterlibatan semua pihak yang berkepentingan dalam proses komunikasi resiko; 8) saling bertukar informasi tentang pengetahuan, sikap, nilai-nilai, praktik dan persepsi berbagai pihak yang berkepentingan dalam hal resiko yang berkaitan dengan topik terkait (FAO 1995).

Berry (2004), mengungkapkan bahwa komunikasi resiko harus mencakup beberapa hal yaitu : 1). menginformasikan kepada masyarakat mengenai besar kecilnya sebuah resiko; 2). berkomunikasi antara ilmuan, pembuat kebijakan dan manager resiko untuk membuat sebuah keputusan mengenai resiko tersebut; 3). mengkomunikasikan resiko dan hal-hal yang terkait dengan resiko tersebut ke semua pihak terkait (stakeholder); 4). menyediakan informasi resiko yang baku untuk masyarakat. Oleh karena itu, komunikasi resiko sejalan dengan prinsip pembangunan komunikasi partisipatif yaitu komunikasi dua arah serta dinamis antara akar rumput (penerima pesan) dengan sumber informasi yang diperantarai oleh komunikator yang membantu jalannya proses komunikasi tersebut (White dan Nair 1994).

Prinsip komunikasi resiko merupakan bagian dari upaya pencegahan sekaligus respons dalam menghadapi masa krisis dan harus diintegrasikan baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan semua kegiatan untuk masyarakat (Reynolds & Seeger 2005). Menurut Reynold (2006), kaitannya dalam upaya pencegahan dan pengendalian Avian Influenza konsep komunikasi resiko harus diterapkan dalam beberapa hal yaitu :


(26)

11

Resiko-resiko kesehatan yang tidak pasti dimana masyarakat membutuhkan informasi yang akurat untuk mengindari resiko.

Koordinasi dalam penyusunan dan pendistribusian pesan/informasi diantara pemerintah pusat, pemerintah daerah serta ahli kesehatan untuk mengurangi distorsi informasi serta membantu menciptakan kepercayaan masyarakat, meredakan kepanikan dan menghindari respon yang negatif. Memandu kelompok/komunitas masyarakat dalam untuk melindungi diri dan keluarga mereka, yang merupakan salah satu komponen dalam managemen krisis.

Menyajikan informasi ke masyarakat yang benar dan ringkas.

Berkomunikasi selama masa krisis harus minim spekulasi, jelas dan didukung dengan data terkini yang akurat.

Ketepatan dan keterbukaan informasi yang membantu membangun kepercayaan di masyarakat.

Perbedaan komunikasi resiko dengan komunikasi umum yang biasa dilakukan adalah adanya partisipasi publik dan penyelesaian konflik serta keterpaduan antara taksiran dan managemen resiko. Komunikasi resiko dapat membantu menciptakan sebuah konsensus tanpa mengeliminasi adanya perbedaan pendapat (U.S. Public Health Service 1995). Faktor utama dalam komunikasi resiko adalah mekanisme distribusi, isi, ketepatan waktu penyampaian, ketersediaan materi, tujuan, kredibilitas dan makna pesan itu sendiri (FAO 1995). Renn mengemukakan elemen utama dalam komunikasi resiko adalah informasi (mengubah pengetahuan), persuasi (mengubah sikap dan perilaku) dan konsultasi (CFIA 1998).

Komunikasi resiko harus dapat menjelaskan konsep ketidakpastian sebuah resiko serta membangun kredibilitas sumber informasi (Renn 2003). Komunikasi harus terbuka, interaktif dan transparan. Karakteristik resiko yang diperoleh dari penilaian risiko, cara mengendalikan resiko, dan kebijakan yang akan diimplementasikan, harus dikomunikasikan kepada semua pihak yang terkait, sehingga semua pihak memperoleh informasi yang cukup mengenai bahaya, cara pencegahan serta tindakan yang harus dilakukan.

Komunikasi dengan berbagai pihak baik kepada tokoh agama, tokoh masyarakat, peternak, dan masyarakat sangat penting sehingga tidak ada prasangka bahwa masyarakat akan selalu dirugikan atau diberi beban oleh peraturan atau kebijakan. Komunikasi resiko harus bersifat mendidik dan


(27)

12

melindungi masyarakat, serta meningkatkan kesadaran pentingnya pencegahan flu burung dan kemungkinan bahaya yang akan terjadi seperti bahaya pandemi flu burung. Tujuan utama komunikasi resiko adalah memberi pengertian kepada masyarakat dan hal ini merupakan titik awal rantai pencegahan flu burung. Komunikasi yang efektif menentukan seberapa besar informasi yang diterima oleh masyarakat dan dapat meredakan konflik atau perbedaan pendapat di antara pihak yang terlibat dengan baik.

Aspek – aspek komunikasi resiko

Konsep penting dalam komunikasi resiko yaitu membuat pesan resiko menjadi lebih sederhana, terstruktur dan dapat dikelola. Proses dalam merekonseptualisasi pesan resiko merupakan hasil adaptasi dari teori transimisi pesan sebagai model pendekatan komunikasi persuasif. Pertukaran informasi dan kebijakan terkait resiko harus dimaksudkan untuk dapat menterjemahkan hal tersebut dengan bahasa yang teknis. Kaitannya dengan hal ini, peran aktor komunikasi resiko sangat dibutuhkan (Leiss 1994). Berikut adalah gambaran aliran proses komunikasi resiko di antara para aktor komunikasi resiko :

Gambar 1. Proses komunikasi resiko ( diadaptasi dari Leiss & Krewsi 1989)

Wilayah resiko diolah Wilayah resiko diterima

Ruang para ahli Ruang publik

Dunia usaha Media massa

Pemerintah

Peneliti/ para ahli

Masyarakat

Kelompok masyarak


(28)

13

Aktor komunikasi resiko sangat penting peranannya pada saat proses analisis kebutuhan dan proses managemen resiko untuk meningkatkan kualitas dalam pengambilan keputusan serta menghindari terjadinya konflik. Bergantung dari level keterlibatannya, peran aktor komunikasi resiko dalam proses analisis dan managemen resiko adalah :

menyediakan data dan fakta dari lapangan untuk membantu analisis menyediakan informasi yang didasarkan pada pengalaman terdahulu mentaksir nilai kerugian akibat resiko dan efek sampingnya

partisipasi dalam menformulakan keluaran yang akan disampaikan pada khalayak (Renn 2009)

Namun, dalam komunikasi resiko banyak dijumpai permasalahan pada seperti digambarkan oleh Leiss di bawah ini :

Sumber Masalah pada Masalah pada Tujuan Informasi sumber penerima

Pesan yang bermasalah Pesan yang bermasalah

Masalah pasa saluran

Gambar 2. Permasalahan pada komunikasi resiko (diadaptasi dari Shanon & Weaver dalam Mathematical Theory of Communication)

Permasalahan terjadi pada semua unsur komunikasi resiko dimulai dari sumber, pesan, saluran dan penerima pesan. Masalah pada sumber terjadi pada saat ketidaksepakatan di antara para ahli (dalam menyusun pesan/informasi), tidak adanya pemahaman dan informasi yang tidak fokus, keakuratan informasi, kenetralan, kredibilitas para ahli, ketepatan, kejujuran serta kelengkapan pesan yang disampaikan. Masalah pada pesan yaitu ada tidaknya data ilmiah yang mendukung dalam pengambilan sebuah keputusan/penyusunan pesan, banyaknya kemungkinan resiko yang terjadi serta tingkat kompleksitas resiko itu sendiri (Leiss 1994). Hal yang harus dipahami bahwa dalam masa krisis masyarakat cenderung sulit untuk mendengarkan, memahami dan mengingat informasi atau pesan yang disampaikan. Tugas komunikator mengatasi hambatan tersebut, membuat pesan yang akurat dan dapat disampaikan pada


(29)

14

masyarakat yang sedang mengalami stress tinggi akibat krisis serta melakukan komunikasi yang efektif dan efisien (WHO 1995).

Masalah pada saluran sering terjadi akibat ketidakmampuan media massa dalam mengungkapkan kejadian secara objektif. Informasi yang bias, sensasional serta melebih-lebihkan suatu kejadian merupakan fenomena yang sering terjadi pada pemberitaan di media massa. Terakhir adalah permasalahan pada penerima, hal ini dikarenakan perbedaan persepsi setiap individu yang menerima pesan tersebut (Leiss 1994).

Kriteria dalam menciptakan komunikasi resiko yang efektif adalah keterbukaan dalam melihat dan memandang perbedaan pemikiran para ahli dibandingkan hanya melihat opini masyarakat serta tindakan yang dilakukan untuk mencari sumber komunikasi. Kunci utama komunikasi resiko yang paling penting adalah keterbukaan, empati, berbagi kekuasaan (kontrol juga diberikan pada masyarakat), tidak ragu untuk berkata jujur, selalu berusaha memberikan yang terbaik, tetap peduli dengan orang yang tidak memperdulikan kita (Sandmann 1994). Hal serupa juga dikemukakan Reynolds and Sandra (2008) bahwa selama masa krisis, komunikasi yang terbuka dan penuh empati paling efektif untuk menumbuhkan kepercayaan publik ketika pemerintah melakukan usaha- usaha yang positif untuk mencegah keadaan yang dapat membahayakan masyarakat. Kepercayaan dan kredibilitas yang diikuti dengan empati dan kepedulian, kompetensi dan keahlian, kejujuran dan keterbukaan serta dedikasi dan komitmen merupakan unsur utama dalam rangka menciptakan komunikasi persuasif.

Hal lain dikemukakan CFIA (1998) bahwa komponen terpenting dalam komunikasi resiko adalah membangun kepercayaan, persepsi dan kewaspadaan (dread values). Untuk membangun kepercayaan diperlukan kompetensi, objektivitas, kekonsistenan, kejujuran serta itikad baik. Sedangkan persepsi sebagai penentu sikap suatu resiko dan persepsi seringsekali berbeda antara satu anggota masyarakat dengan yang lain. Hal serupa diungkapkan oleh Berry (2004) bahwa komunikasi resiko sering sekali mengalami kegagalan dan banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Faktor – faktor penyebab kegagalan tersebut adalah keterbatasan dan kondisi sosial individu masyarakat, fakta bahwa tiap orang/individu memiliki penilaian yang berbeda, terjadi ketidakcocokan antara informasi yang didiseminasikan dengan yang dibutuhkan oleh individu masyarakat dan ketidakpercayaan individu masyarakat terhadap informasi yang


(30)

15

disampaikan. Selain itu, dalam komunikasi resiko unsur budaya juga sangat penting. Douglas dalam Lupton (1999) menyatakan bahwa budaya mempengaruhi individu serta komunitas untuk mengkalkulasi sebuah resiko dan tanggapan terhadap resiko tersebut. Komunitas dalam masyarakat akan membentuk penilaian tertentu terhadap resiko sesuai dengan persepsi mereka. Selain budaya, menurut Douglas persepsi resiko dipengaruhi juga oleh kontruksi sosial yang terbentuk di masyarakat.

Unsur-unsur dalam komunikasi resiko

Komunikasi resiko dibagi menjadi tiga tahap yaitu sebelum krisis (pra krisis), saat krisis berlangsung dan pasca krisis. Menurut FAO (1995), pesan-pesan komunikasi resiko dapat mengandung informasi sebagai berikut :

a. Sifat resiko

1. Karakteristik dan pentingnya ancaman bahaya 2. Besaran dan intensitas resiko

3. Mendesaknya situasi

4. Tren resiko yaitu semakin membesar atau mengecil 5. Probabilitas pajanan terhadap ancaman bahaya 6. Distribusi pajanan

7. Jumlah pajanan mengandung resiko yang signifikan 8. Karakteristik dan besarnya populasi yang beresiko 9. Siapa yang paling beresiko

b. Manfaat

1. Manfaat yang diharapkan kaitannya dengan setiap resiko 2. Siapa yang memperoleh manfaatnya dan bagaimana caranya 3. Letak titik keseimbangan antara resiko dan manfaat

4. Besaran dan pentingnya manfaat

5. Manfaat keseluruhan bagi semua populasi yang terkena resiko c. Ketidakpastian dalam pengkajian resiko

1. Metode yang digunakan untuk mengkaji resiko 2. Pentingnya masing-masing ketidakpastian

3. Kelemahan atau ketidakakuratan data yang tersedia 4. Asumsi yang menjadi dasar estimasi

5. Sensitivitas estimasi terhadap perubahan asumsi


(31)

16

d. Pilihan manajemen resiko

1. Tindakan yang diambil untuk mengendalikan atau memanajemen resiko 2. Tindakan yang dilakukan seseorang untuk mengurangi resiko perorangan 3. Pembenaran dalam memilih pilihan manajemen resiko yang spesifik 4. Keefektifan sebuah pilihan yang spesifik

5. Manfaat sebuah pilihan yang spesifik

6. Biaya manajemen resiko dan siapa yang membiayainya

7. Resiko yang tetap ada setelah sebuah pilihan manajemen resiko diimplementasikan

Prinsip-prinsip komunikasi resiko

Beberapa prinsip dalam menerapkan komunikasi resiko adalah : a. Mengenali khalayak

Merumuskan pesan komunikasi resiko, khalayak harus dianalisis untuk mengetahui motivasi dan pandangan mereka. Selain untuk mengetahui siapa yang menjadi khalayak, perlu mengenalinya sebagai kelompok dan secara ideal sebagai perorangan untuk memahami kekhawatirannya serta kondisi mereka dan untuk mempertahankan tetap terbukanya saluran komunikasi. Mendengarkan semua pihak yang berkepentingan merupakan bagian penting dalam komunikasi resiko.

b. Melibatkan pakar ilmiah

Pakar ilmiah dalam kapasitasnya sebagai pengkaji resiko harus mampu menjelaskan konsep dan proses pengkajian resiko. Mereka harus dapat menerangkan hasil-hasil pengkajian serta data-data ilmiahnya, asumsi dan pertimbangan objektif yang menjadi dasar penjelasan itu sehingga manajer resiko serta pihak berkepentingan lainnya dapat memahami dengan jelas resiko tersebut. Sebaliknya, manajer resiko harus mampu menjelaskan bagaimana cara keputusan manajemen resiko itu diambil.

c. Menciptakan keahlian dalam berkomunikasi

Komunikasi resiko memerlukan keahlian dalam menyampaikan informasi yang mudah dipahami pada semua pihak yang berkepentingan. Kemungkinan besar para manajer resiko dan pakar teknis tidak mempunyai waktu atau ketrampilan untuk melaksanakan komunikasi resiko yang kompleks seperti memberikan respons terhadap kebutuhan berbagai khalayak (masyarakat, industri, media dll) dan menyiapkan pesan-pesan yang efektif. Oleh karena itu, orang yang ahli dalam melakukan komunikasi resiko (komunikator) harus


(32)

17

dilibatkan sedini mungkin. Keahlian ini harus dikembangkan melalui pelatihan dan pengalaman.

d. Menjadi sumber informasi yang dapat dipercaya

Informasi dari sumber yang dipercaya memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap suatu resiko dibandingkan dengan sumber yang kurang dapat dipercaya. Persepsi kredibilitas oleh khalayak sasaran dapat bervariasi sesuai karakteristik bahaya, budaya, status sosial dan ekonomi mereka, serta faktor-faktor lainnya. Kredibilitas akan semakit kuat apabila pesan yang diterima masyarakat dari berbagai sumber konsisten. Faktor-faktor yang menentukan kredibilitas sumber informasi meliputi kompetensi atau keahlian, kelayakan untuk dipercaya, dan kejujuran. Kepercayaan dan kredibilitas harus terus dijaga karena kedua hal ini berpotensi terkikis atau hilang melalui metode komunikasi yang tidak efektif atau tidak tepat. Dalam sejumlah penelitian, tanggapan masyarakat menunjukkan bahwa ketidakpercayaan dan kredibilitas yang rendah terjadi akibat informasi yang berlebihan, menyimpang, dan terkesan untuk kepentingan pribadi.

Komunikasi yang efektif harus dapat mengenali persoalan dan isu yang mutakhir, bersifat terbuka terutama kaitannya dalam isi, pendekatan dan waktu yang tepat untuk menyampaikan informasi tersebut. Ketepatan waktu dalam penyampaian suatu informasi merupakan hal yang paling penting karena banyak kontroversi lebih terfokus pada pertanyaan “Mengapa anda tidak memberitahukannya lebih awal?”. Informasi yang lupa disampaikan, informasi yang menyimpang, dan informasi demi kepentingan sendiri berpotensi merusak kredibilitas jangka panjang.

e. Tanggung jawab bersama

Pemerintah memiliki tanggung jawab pokok dalam pelaksanaan komunikasi resiko dan bertugas mengatur di tingkat nasional, regional maupun lokal. Masyarakat berharap pemerintah dapat memainkan peran utama dalam pelaksanaan manajemen berbagai resiko kesehatan. Untuk memahami kekhawatiran masyarakat dan memastikan bahwa keputusan yang diambil dalam manajemen resiko diimplementasi dengan tepat, pemerintah mengetahui pandangan masyarakat mengenai berbagai pilihan yang dipertimbangkan untuk mengelola resiko tersebut.


(33)

18

f. Membedakan antara “science judgement” dan “value judgement”.

Fakta dan nilai-nilai dalam mempertimbangkan pilihan manajemen resiko harus dapat dipisahkan. Pada tingkat praktis sangat bermanfaat bila fakta yang diketahui pada saat itu dilaporkan, di samping melaporkan ketidakpastian yang ada dalam setiap keputusan menyangkut manajemen resiko. Value judgement

diartikan sebagai konsep tingkat resiko yang dapat diterima. Konsekuensinya, komunikator resiko harus mampu menetapkan tingkat resiko yang dapat diterima pada masyarakat. Misalnya banyak orang mengartikan istilah “makanan yang aman” sebagai makanan dengan resiko nol padahal kenyataannya belum tentu tidak beresiko. Membuat sesuatu hal menjadi lebih jelas merupakan fungsi komunikasi resiko yang penting.

g. Menjamin keterbukaan

Proses analisis resiko dan hasil akhirnya, akan diterima oleh masyarakat jika prosesnya transparan. Meskipun masalah legitimasi untuk menjaga kerahasiaan (misalnya informasi atau data yang merupakan milik pribadi) perlu dihormati, transparansi dalam analisis resiko harus terbuka dan dapat diteliti oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Komunikasi dua-arah yang efektif antara manajer resiko, masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan merupakan bagian yang esensial dalam manajemen resiko serta merupakan kunci untuk mencapai keterbukaan.

h. Menjadikan resiko ke dalam perspektif

Salah satu cara untuk menjadikan resiko ke dalam perspektif dengan mengkajinya dalam konteks manfaat, yang berkaitan dengan teknologi atau proses yang menimbulkan resiko tersebut. Metode lainnya dengan membandingkan resiko yang dipersoalkan dengan resiko lain yang serupa tetapi lebih dikenal. Kendati demikian, metode terakhir tersebut dapat menimbulkan permasalahan jika terlihat pembandingan resiko itu sengaja dipilih untuk membuat resiko yang dipersoalkan menjadi lebih dapat diterima oleh masyarakat. Secara umum, pembandingan resiko hanya dapat digunakan jika:

kedua (atau semua) estimasi resiko sama-sama aman;

kedua (atau semua) estimasi resiko relevan dengan khalayak yang spesifik;

derajat ketidakpastian pada seluruh estimasi resiko serupa; kekhawatiran khalayak diakui dan diperhatikan;


(34)

19

substansi, produk atau aktivitasnya dapat dibandingkan secara langsung, termasuk konsep pajanan yang sengaja dan tidak sengaja (FAO 1995).

Hambatan dan permasalahan dalam komunikasi resiko

Mengkomunikasikan sebuh resiko merupakan hal yang sangat kompleks dan mempunyai berbagai sudut pandang. Calman (2002) mengidentifikasi tiga faktor penting yang harus diperhatikan yaitu 1). kepastian dari resiko tersebut (bukti adanya resiko); 2). level dari resiko; 3). efek resiko pada individu maupun masyarakat. Jungerman (1997) dalam Berry (2004) mengemukakan bahwa komunikasi resiko merupakan komunikasi yang rawan permasalahan baik sisi teknis, pendekatan ilmiah, pengetahuan dan kondisi sosial.

Kelebihan komunikasi resiko yaitu adanya interaksi dan pertukaran informasi. Tergantung dari situasinya, dengan komunikasi resiko ketakutan/kepanikan individu maupun kelompok masyarakat terhadap resiko dapat menurun atau sebaliknya meningkat. Kelebihan lain, proses komunikasi resiko dapat mendidik publik dalam menggunakan sumber yang terbatas serta menentukan pilihan yang sulit dan terakhir dapat meningkatkan koordinasi di antara instansi pemerintah serta membangun kerjasama dengan pihak-pihak lain seperti dunia usaha, organisasi masyarakat (U.S. Public Health Service 1995).

Hambatan dan permasalahan dalam komunikasi resiko cukup banyak, hal ini dikarenakan komunikasi resiko selalu berhubungan dengan masalah-masalah sosial. Hambatan utama komunikasi resiko adalah perbedaan persepsi masing-masing pihak karena tidak semua orang memahami resiko seperti apa yang diharapkan. Beberapa hambatan komunikasi lainnya adalah kesulitan dalam menterjemahkan informasi yang ilmiah agar dapat dipahami semua orang, munculnya konflik, pesan yang mengandung resiko, ketidaksepakatan tentang resiko itu sendiri dan bagaimana cara mengakses pesan tersebut. Hambatan juga terjadi karena tidak lazimnya budaya komunikasi dua-arah di antara para ahli (U.S. Public Health Service 1995). FAO (1995) mengemukakan banyak hambatan yang terjadi sepanjang proses komunikasi resiko baik masalah teknis maupun non teknis. Hambatan-hambatan tersebut adalah perbedaan persepsi dan daya penerimaan, ketidakpastian resiko, kredibilitas sumber, media dan faktor sosial. Covello & Sandman (2001) menambahkan bahwa beberapa hal yang menjadi hambatan komunikasi resiko selain faktor-faktor di atas adalah tidak tepatnya komunikasi yang dilakukan, faktor psikologis serta kondisi sosial


(35)

20

masyarakat, keengganan masyarakat untuk merubah suatu budaya tertentu dan relatif seringnya pemberitaan yang bersifat negatif saja oleh media komunikasi.

Perilaku Komunikasi

Manusia diciptakan sebagai makhluk multidimensional, memiliki akal pikiran, dan kemampuan berinteraksi secara personal maupun sosial. Oleh karena itu, manusia disebut sebagai manusia unik yang memiliki kemampuan sebagai makhluk individual, makhluk sosial dan spiritual. Sebagai makhluk sosial manusia pada dasarnya tidak mampu hidup sendiri baik dalam konteks fisik maupun dalam konteks sosial budaya. Terutama dalam konteks sosial budaya, manusia membutuhkan manusia lain untuk saling berkolaborasi dalam pemenuhan fungsi-fungsi sosial satu dengan lainnya.

Fungsi-fungsi sosial dan berbagai kebutuhan manusia diawali dengan melakukan interaksi sosial atau tindakan komunikasi satu dengan yang lain. Aktivitas interaksi sosial dan tindakan komunikasi dilakukan baik secara verbal, non verbal maupun simbolis. Kebutuhan akan sinergi fungsional dan akselerasi positif dalam melakukan pemenuhan kebutuhannya, sehingga tercipta keseimbangan sosial yang pada akhirnya juga akan menciptakan tatanan sosial dalam kehidupan bermasyarakat (Bungin 2008). Mulyana (2005) mengemukakan bahwa salah satu fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial, artinya komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri, aktualisasi diri, kelangsungan hidup, kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan serta memupuk hubungan dengan orang lain. Pada dasarnya fungsi komunikasi beserta aspek yang terkait, dapat menimbulkan perubahan pada individu,dan pada akhirnya berpotensi mendorong terjadinya perubahan dalam masyarakat. Peran komunikasi dalam perubahan masyarakat adalah penggugah, pengarah, dan pengendali perubahan agar perubahan tetap bermanfaat dan berlangsung secara teratur. Sementara perubahan dan dinamika sosial yang terus berlangsung, dalam suatu masyarakat akan berpengaruh pada perilaku komunikasi (Dilla 2007).

Dalam proses komunikasi tiga dimensi yang harus dilalui yaitu dimensi kognitif, afektif dan konatif. Dimensi kognitif berkaitan dengan kesadaran dan pengetahuan (ide/gagasan) yang diketahui, misalnya melalui media massa, seseorang memperoleh informasi tentang kesehatan (Ardianto et al. 2007 & Dilla 2007). Kognitif mempengaruhi afektif melalui interprestasi individu terhadap peristiwa yang memicu emosi dan melalui aktivasi skema yang memuat


(36)

21

komponen afeksi yang kuat. Beberapa teknik kognitif dilakukan untuk mengontrol emosi atau perasaan; melalui berpikir dengan meninjau kembali, dan dalam memilih untuk melakukan aktivitas yang berdampak baik maupun tidak (Baron & Byrne 2003). Sedangkan dimensi afektif berkaitan dengan sikap suka atau tidak kita terhadap sesuatu menuju pilihan-pilihan. Pada dimensi ini efek informasi lebih tinggi kadarnya daripada dimensi kognitif (Ardianto et al. 2007 & Dilla 2007). Hal utama dalam dimensi afektif adalah sikap. Sikap mewakili sebuah integrasi evaluatif dari aspek kognitif dan pengalaman yang berkaitan dengan suatu objek (Crano & Prislin 2008). Pertama, sikap dapat diartikan kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Misalnya, setelah membaca berita mengenai kasus orang meninggal akibat flu burung muncul perasaan takut, sedih atau tidak peduli. Kedua, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Ketiga, sikap relatif lebih menetap. Keempat, sikap mengandung aspek evaluatif artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan. Kelima, sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar (Rahmat 2005). Sikap sering kali diadopsi orang lain melalui pembelajaran sosial (social learning) yang melibatkan classical conditioning, instrumental conditioning atau pembelajaran melalui observasi (observational learning). Sikap juga terbentuk berdasar atas perbandingan sosial (social comparison) yaitu kecenderungan membandingkan diri sendiri dengan orang lain dalam menentukan apakah pandangan terhadap kenyataan sosial benar atau tidak benar. Sikap mempengaruhi tingkah laku dengan dua mekanisme yang berbeda. Ketika seorang individu mampu memberikan pemikiran secara hati-hati pada sikapnya, intensi yang berasal sari sikap secara kuat mampu memprediksikan tingkah laku. Sedangkan dalam situasi dimana individu tidak mampu melakukan pemikiran tersebut, sikap mempengaruhi meprilaku dengan membentuk persepsi individu terhadap situasi. Beberapa aspek dari sikap yang menjembatani hubungan sikap dengan tingkah laku yaitu sifat dari sikap itu sendiri (bagaimana sikap terbentuk), kekuatan sikap (di mana termasuk di dalamnya mudah tidaknya sikap di akses, pengetahuan, tingkat kepentingan dan kepentingan pribadi), dan kekhususan sikap (Baron & Byrne 2003).

Terakhir dimensi konatif (behavioral) adalah aspek volisional, yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak. Kebiasaan merupakan


(37)

22

hasil pelaziman yang berlangsung pada waktu lama atau sebagai rekasi khas yang diulangi seseorang berkali-kali. Sedangkan kemauan merupakan 1). hasil keinginan untuk mencapai tujuan tertentu yang begitu kuat sehingga mendorong orang untuk mengorbankan nilai-nilai yang lain, yang tidak sesuai dengan pencapaian tujuan, 2). berdasarkan pengetahuan tentang, cara-cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan, 3). dipengaruhi oleh kecerdasan dan energi untuk mencapai tujuan, 4). Pengeluaran energi yang sebenarnya dengan cara yang tepat untuk mencapai tujuan (Rahmat 2005).

Melalui mekanisme proses yang bertahap, efektifitas pesan dan diberi makna, sehingga akan menentukan dan membentuk rangkaian struktur kesadaran dalam mengambil keputusan yang tepat. Mekanisme tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yaitu nilai, norma dan kepercayaan. Faktor tersebut menjadi sumber dan modal kepercayaan dan harapan baik bagi individu maupun kelompok di masyarakat (Dilla 2007). Hambatan sosiokultur lainnya yang seringkali menjadi masalah dalam komunikasi adalah beragamnya etnik (suku bangsa) yang mengakibatkan beragamnya budaya; norma sosial (cara, kebiasaan, adat istiadat yang disampaikan secara turun menurun yang dapat memberikan seseorang petunjuk untuk bersikap atau berperilaku); kurang mampu berbahasa Indonesia terutama masyarakat di daerah-daerah terpencil; semantik (pengetahuan tentang pengertian atau makna kata yang sebenarnya) dan pendidikan (Ardianto et al.

2007). Tubss dan Moss (2001) menambahkan bahwa norma akan mengembangkan harapan tertentu tentang bagaimana orang bersikap. Norma dianggap sebagai suatu petunjuk yang membataasi dan mengarahkan perilaku. Selain itu, nilai juga menentukan apa yang dianggap benar, baik, penting dan dalam proses penerimaan apa yang benar dan baik sangat bergantung pada budaya.

Avian Influenza

Avian Influenza (AI) atau lebih dikenal flu burung muncul pertama kali di Indonesia pada bulan Agustus tahun 2003 di beberapa peternakan ayam ras komersial di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dalam kurun waktu yang singkat, penyakit ini menyebar ke berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Lampung, Bali, Sumatera dan Kalimantan (Data Dirjen Peternakan RI 2004). Jenis unggas yang terserang meliputi ayam ras petelur, ayam pedaging, ayam bibit, ayam buras, ayam Arab,


(38)

23

itik, burung puyuh, burung merpati, burung perkutut, dan burung merak. Dari hasil kajian lapangan, klinik, patologik, dan laboratorik yang sesuai dengan uji standar yang telah ditetapkan oleh Office International des epizooties (OIE), Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (WHO) membuktikan bahwa penyebab kematian ayam ras/unggas peliharaan lain di Indonesia sejak bulan Agustus 2003 adalah virus influenza tipe A, subtipe H5N1 yang tergolong virus

Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Virus Avian Influenza oleh Office International des epizooties (OIE) dikelompokkan dalam List A yang artinya virus AI memiliki penyebaran yang cepat dan luas melewati batas-batas antar negara (DEPTAN 2006).

Karakteristik virus Avian Influenza

Virus Avian Influenza dapat menimbulkan gejala penyakit pernafasan pada unggas, dari yang patogen ringan (low pathogenic) sampai bersifat patogen ganas (highly pathogenic). Masa inkubasi penyakit ini adalah 3 hari pada unggas di luar kandang, sedangkan untuk unggas di dalam kandang (flok) mencapai 14-21 hari. Hal ini tergantung pada jumlah virus, cara penularan, spesies/ jenis yang terinfeksi, dan kemampuan peternak untuk mendeteksi gejala klinis. Tanda klinis AI secara umum mirip dengan Infectious Laryngotrachealis (ILT), Infectious Bronchitis (IB), Fowl Cholera, E. Coli dan Newcastle Disease (ND). Gejala penyakit AI hampir sama dengan penyakit yang lain, sehingga harus didiagnosa berdasarkan uji serologi terhadap Antigen AI (Deptan 2005). Sifat virus Avian Influenza sebagaimana virus lainnya memerlukan bahan organik untuk tetap hidup. Di dalam tubuh unggas dan babi, virus AI dapat berkembang biak (replikasi) dalam jumlah banyak. Sifat virus ini labil atau mudah mengalami mutasi dari patogen ringan menjadi patogen yang ganas atau sebaliknya. Virus AI merupakan virus yang lemah dan tidak tahan panas dan zat desinfektan (pencuci hama). Dalam daging ayam, virus ini mati pada pemanasan pada suhu 80 0C selama 1 menit dan 70 0C selama 30 menit. Pada telur ayam, virus ini akan mati pada pemanasan suhu 640C selama 4.5 menit. Namun, pada kotoran ayam virus Avian Influenza mampu bertahan selama 35 hari pada suhu 40C. Sedangkan dalam air, virus tersebut dapat bertahan hidup selama 4 hari pada suhu 220C dan 30 hari pada suhu 00C .


(39)

24

Gejala penyakit Avian Influenza, pada hewan unggas adalah sebagai berikut :

1. Jengger, pial, kulit perut yang tidak ditumbuhi bulu berwarna biru keunguan.

2. Kadang-kadang ada cairan dari mata dan hidung. 3. Pembengkakan di daerah bagian muka dan kepala 4. Perdarahan di bawah kulit (subkutan)

5. Perdarahan titik (ptechie) pada daerah dada, kaki dan telapak kaki. 6. Batuk, bersin dan ngorok.

7. Unggas mengalami kematian dan diare tinggi.

Cara penularan virus AI dari unggas ke unggas atau dari peternakan ke peternakan lainnya dengan cara kontak langsung dari unggas terinfeksi dengan hewan yang peka dan kontak tidak langsung melalui percikan cairan lendir, paparan muntahan, penularan lewat udara yang terinfeksi virus AI, dan melalui sepatu dan pakaian peternak yang terkontaminasi. Dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit AI pada hewan unggas dapat dilakukan dengan : 1). peningkatan keamanan penularan (biosekuriti); 2). vaksinasi; 3). pemusanahan terbatas (depopulasi) di daerah tertular; 4). pengendalian lalu lintas unggas, produk unggas dan limbah peternakan unggas; 5). surveilans dan penelusuran (tracing back); 6). pengisian kandang kembali (restocking); 7). pemusnahan menyeluruh (stamping out) di daerah tertular baru; 8). peningkatan kesadaran masyarakat (public awarness); 9). monitoring dan evaluasi (Deptan 2006).

Cara penularan penyakit Avian Influenza pada manusia melalui cara kontak langsung dengan unggas yang sakit, mati, atau tinja, sekreta unggas yang terserang flu burung. Selain itu, virus flu burung menular dari unggas ke manusia melalui udara yang tercemar virus yang berasal dari tinja atau sekreta unggas yang terserang flu burung. Adapun orang yang beresiko tertular virus flu burung adalah orang yang beresiko tinggi (pekerja peternakan, penjual unggas, pekerja pemotong unggas) dan masyarakat umum. Gejala klinis yang ditemui akibat penyakit ini pada umumnya seperti gejala flu yaitu demam > 380C, sakit tenggorokan, batuk, beringus, nyeri otot, sakit kepala, lemas. Dalam waktu singkat penyakit ini menjadi lebih berat dengan gejala sesak nafas berupa peradangan paru-paru (pneumonia), dan menyebabkan kematian.


(40)

25

Perkembangan Avian Infuenza

Jumlah kumulatif kasus kematian ternak akibat Avian Influenza hingga dengan bulan Desember 2004, mencapai 6,27 juta ekor yang berasal dari 16 propinsi, yang mencakup 100 kabupaten/kota. Angka kematian akibat AI pada ternak unggas terutama ditemukan di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Lampung dengan jumlah kematian masing-masing lebih dari satu juta ekor (Naipospos 2005). Departemen Pertanian melaporkan sejak tahun 2003 – 2008, wilayah tertular Avian Influenza 31 propinsi dari 33 propinsi dan 294 kabupaten/kota dari 498 kabupaten/kota dengan angka kematian 13 juta ekor unggas. Daerah yang tinggi kematian pada unggas dan manusia adalah Jawa Barat, DKI dan Banten (Soedjana Rakornas Komnas FBPI 2008). Sejak tahun 2004, flu burung telah menimbulkan kerugian dalam bentuk ayam yang musnah atau dimusnahkan, berkurangnya permintaan ayam, berkurangnya konsumsi ayam di restoran, tambahan biaya yang harus dikeluarkan peternak dan pemerintah dalam penanganan flu burung, serta dampak terhadap sektor-sektor lain (terutama pariwisata). Nilai kerugian sejak tahun 2004 hingga 2007 (4 tahun) diperkirakan telah mencapai Rp. 4,1 trilyun (Komnas FBPI 2008).

Hasil analisis kasus flu burung pada manusia adanya kecenderungan meningkatnya serangan kasus AI di Indonesia. Data dari WHO sampai bulan September 2008 menyatakan bahwa tahun 2003-2008 kasus flu burung pada manusia di Indonesia mencapai 143 kasus positif (confirm) dengan 112 kasus meninggal. Hal ini pula yang dikhawatirkan oleh dunia saat ini yaitu munculnya subtipe baru virus influenza yang berasal dari mutasi adaptif atau reassortment

genetis yaitu tercampurnya virus influenza pada hewan dan manusia. Virus sub tipe baru ini akan mampu dengan cepat dan mudah menular dari manusia ke manusia dan di khawatiksn terjadi pandemi (Renstra AI 2005).

Permasalahan flu burung memerlukan penanganan yang integratif dari sisi tatalaksana kesehatan hewan dan kesehatan manusia, dengan prinsip cepat, tepat, sistematis dan berkelanjutan. Beberapa alasan spesifik pentingnya penanganan secara terpadu karena dampaknya pada : 1). usaha peternakan yang menyangkut jumlah populasi ternak yang besar; 2). usaha peternakan yang melibatkan banyak pengusaha dan peternak secara langsung dan tidak langsung berkaitan ke belakang dan ke depan; 3). dampak terhadap ketersediaan dan keamanan pangan; 4). potensi penularannya pada manusia dan perkembangannya menjadi pandemi influenza (Renstra AI 2005).


(41)

26

Gambar 3. Gejala klinis Avian Influenza pada unggas

Strategi Nasional Pengendalian Avian Influenza

Tujuan terpadu penanganan Avian Influenza secara nasional adalah 1). mencegah perkembangan flu burung ke arah berikutnya yaitu pandemi influenza; 2). menangani dengan sebaik-baiknya pasien/korban flu burung pada manusia dan hewan; 3). meminimalkan kerugian akibat perkembangan flu burung; 4). mengelola pengendalian flu burung secara berkelanjutan; 5). mengefektifkan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza. Berdasarkan tujuan bersama tersebut maka kebijakan rencana strategis nasional pengendalian flu burung dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza disusun dan dilaksanakan berdasarkan 5 prinsip dasar yaitu 1). mengutamakan keselamatan manusia; 2). mempertimbangkan faktor ekonomi; 3). menekankan upaya terintegrasi seluruh komponen bangsa : pemerintah, dunia usaha, masyarakat, organisasi profesi, lembaga internasional; 4). mengacu pada kesepakatan dan standar nasional dan internasional; 5). kesiapsiagaan dan kewaspadaan dalam mengantisipasi pandemi harus tetap terpelihara secara berkelanjutan dan akan mempengaruhi terhadap dokumen hidup ini yang setiap saat dapat disesuaikan dengan kebutuhan (Renstra AI 2005).

Upaya pelaksanaan rencana strategis Negara Indonesia dalam rangka penanganan dan pengendalian AI mengalami banyak permasalahan dan hambatan diantaranya yaitu : 1). kurangnya koordinasi antar sektor dalam perencanaan dan pengendalian flu burung dan kesiapsiagaan dalam menghadapi pandemi influenza; 2). kurangnya kapasitas peringatan dini dan belum ada jejaring sistem surveilans terpadu antara hewan dan manusia; 3). terbatasnya kemampuan memberikan kompensasi keuangan pada peternak dalam rangka pemusnahan seleksif (depopulasi) dan pemusnahan total (stamping out); 4). keterbatasan vaksin dan rendahnya cakupan vaksinasi pada unggas; 5). terbatasnya persediaan obat dan belum adanya vaksin AI untuk manusia; 6). kurangnya pemahaman dan kesadaran seluruh lapisan masyarakat


(1)

korelasi Rank Spearman yang pengolahan datanya menggunakan program SPSS for Windows.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1). perilaku masyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya Avian Influenza (AI) lemah terutama dalam hal pemahaman terhadap AI, hal ini disebabkan oleh penerapan prinsip komunikasi resiko yang kurang tepat dalam mengkomunikasikan resiko, partisipasi masyarakat yang rendah terhadap upaya pencegahan AI, kurangnya pengenalan khalayak oleh yang mengembangkan komunikasi resiko, kurang melibatkan pakar, dan strategi komunikasi yang kurang tepat, 2). perilaku masyarakat yang lemah tersebut juga disebabkan oleh kurang berfungsinya elemen komunikasi resiko terutama menyangkut aspek sifat resiko dan ketidakpastian resiko AI, 3). karakteristik individu yang kurang kosmopolit, rendahnya pola konsumsi unggas dan motivasi yang lemah untuk mencari informasi tentang AI juga merupakan faktor yang menyebabkan lemahnya perilaku masyarakat waspada terhadap AI, 4). kepercayaan masyarakat bahwa keberadaan AI sangat beresiko menyebabkan terbentuknya perilaku masyarakat yang lebih waspada terhadap AI, 5). upaya penanggulangan AI ternyata kurang bersifat preventif, hanya intensif di daerah – daerah telah yang terjadi kasus AI. Kondisi seperti ini berbahaya terutama pada daerah yang memiliki populasi unggas yang tinggi dan belum terjadi kasus AI jika pemerintah tidak merubah cara penanggulangan AI secara lebih intensif

Hasil penelitian menyarankan hal-hal sebagai berikut 1). lebih mengenali khalayak dengan baik di daerah-daerah yang berpotensi AI dan melakukan tindakan preventif melalui komunikasi tentang resiko dan pencegahan AI, terutama di daerah yang populasi unggasnya tinggi tetapi belum terjadi kasus AI. 2). dalam mengembangkan komunikasi perlu menekankan aspek resiko dan lebih menekankan keterlibatan pakar terkait dalam upaya pencegahan AI, 3). mengingat sifat resiko dan ketidakpastian resiko kurang tersosialisasikan dalam masyarakat, diperlukan upaya-upaya penekanan kedua faktor tersebut dalam berkomunikasi dan dikemas sesuai dengan hasil upaya pengenalan khalayak sasaran, 4). mengingat partisipasi masyarakat rendah terkait dengan upaya pencegahan AI maka pelibatan masyarakat dalam perencanaan serta pelaksanaan program pencegahan dan pengendalian AI perlu ditingkatkan.


(2)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(3)

PERFORMA KOMUNIKASI RESIKO DALAM UPAYA

PENANGANAN DAN PENGENDALIAN AVIAN INFUENZA

(Kasus Penanganan dan Pengendalian Avian Influenza

di Kabupaten Tangerang - Banten)

R. WIWIN IKA INDRIYATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Master Sains pada

Program Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(4)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini tepat pada waktunya sesuai dengan harapan dan keinginan penulis. Selesainya karya ilmiah ini tidak terlepas dari bimbingan, perhatian dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan rasa hormat yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang senantiasa memberikan motivasi, bimbingan serta petunjuk kepada penulis yang bersifat membangun.

2. Dr. drh. Widiyanto D Surya, MSc selaku pembimbing ke II yang selalu memberikan arahan dan bimbingan serta dukungan dalam penelitian ini. 3. Dr. Ir. Djuara P Lubis, MS selaku penguji luar komisi dan Dr. Ir. Sarwititi S

Agung, MS yang memberikan dorongan dan masukan kepada penulis. 4. Dr. Bambang Sumantri yang selalu bersabar dalam membimbing penulis

untuk mengolah data-data lapangan.

5. Pemerintah Kabupaten Tangerang, Dinas Peternakan, Dinas Kesehatan, Aparat serta masyarakat Desa Sepatan, Desa Pakuhaji, Desa Kayuagung dan Desa Bunder- Kabupaten Tangerang yang telah bersedia membantu proses kelancaran serta dijadikan objek penelitian.

6. Teman-teman seperjuangan (Pak Ojat, Bang Fuad, Mba Elly, Mba Hanif, Hosea, Bu Lina, Bu Loli, Ipunk, Ria, Uni, Bu Retno, Eka, Aulia, Mas Widi, Rizal) dan sahabatku Husnul Khitam, yang banyak memberikan dorongan dan bantuan kepada penulis.

7. Dan terakhir, kupersembahkan kepada kedua orang tuaku (R. Sujayono dan Hermyn Suprapti) serta kakekku (Soepirman) yang tak henti-hentinya melimpahkan kasih sayang kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini. Untuk itu segala keterbukaan kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang berkepentingan. Amin.

Bogor, Januari 2010


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 13 Oktober 1984 dari Bapak R. Sujayono dan Ibu Hermyn Suprapti. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.

Tahun 2002 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bandar Lampung dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih mayor Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan dan menamatkannya pada tahun 2006. Pada tahun 2007, penulis berkesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Pascasarjana IPB dan pada mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Selain studi, penulis bekerja sebagai staf di CREATE (Pusat Pengembangan Sumberdaya Manusia dan Aplikasi Teknologi) yang berlokasi di Bogor.


(6)

v

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 6

Tujuan Penelitian ... 8

Manfaat Penelitian ... 8

PENDEKATAN TEORITIS ... 9

Komunikasi resiko ... 9

Aspek-aspek komunikasi resiko ... 12

Unsur-unsur komunikasi resiko ... 15

Prinsip-prinsip komunikasi resiko ... 16

Hambatan dan permasalahan komunikasi resiko ... 19

Perilaku komunikasi ... 20

Avian Influenza ... 22

Karakteristik virus Avian Influenza ... 23

Perkembangan Avian Influenza ... 25

Strategi Nasional Pengendalian Avian Influenza ... 26

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ... 29

Kerangka berpikir ... 29

Hipotesis ... 32

METODE PENELITIAN ... 33

Lokasi dan waktu ... 33

Desain penelitian ... 33

Populasi dan sampel ... 33

Data dan instrumentasi ... 34

Definisi operasional... 34

Validitas dan realibilitas instrumen ... 39

Pengumpulan data ... 40

Analisis data ... 41

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN... 42

Lokasi Penelitian ... 42

Penyakit AI di Kabupaten Tangerang ... 49

Upaya pencegahan AI di Kabupaten Tangerang ... 51

Karakteristik Responden di Empat Lokasi Penelitian ... 55

Karakteristik individu ... 55

Keberfungsian elemen komunikasi resiko ... 59

Penerapan prinsip komunikasi resiko ... 63

Lingkungan ... 72