Dukungan Sosial, Gaya Pengasuhan, dan Dampak Negatif Perceraian pada Anak Usia 7 – 15 Tahun

DUKUNGAN SOSIAL, GAYA PENGASUHAN, DAN DAMPAK
NEGATIF PERCERAIAN PADA ANAK USIA 7 – 15 TAHUN

LELA NESVI

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dukungan Sosial, Gaya
Pengasuhan, dan Dampak Negatif Perceraian pada Anak Usia 7-15 Tahun adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2013
Lela Nesvi
NIM I24090020

ABSTRAK
LELA NESVI. Dukungan Sosial, Gaya Pengasuhan, dan Dampak Negatif
Perceraian pada Anak Usia 7-15 Tahun. Dibimbing oleh HERIEN
PUSPITAWATI dan ALFIASARI.
Perceraian beresiko terhadap terganggunya perkembangan anak sehingga
dukungan sosial dan gaya pengasuhan berperan penting memfasilitasi anak untuk
sukses beradaptasi menghadapi dampak negatif dari perceraian. Tujuan penelitian
ini adalah menganalisis hubungan dukungan sosial, gaya pengasuhan, dan dampak
negatif perceraian pada anak usia 7-15 tahun dari keluarga bercerai di Kabupaten
Cianjur. Contoh dalam penelitian ini adalah anak usia 7-15 tahun dengan orang
tua tunggal yang bercerai minimal satu tahun dan tidak menikah lagi, yang
diambil dengan nonprobability sampling menggunakan teknik convenience
sebanyak 60 orang dilokasi penelitian. Hasil uji beda menunjukkan bahwa secara
signifikan anak mempersepsikan pengasuhan penolakan yang lebih tinggi setelah
perceraian serta merasakan penurunan dampak negatif perceraian pada dimensi

psikologis dan ekonomi seiring dengan semakin lamanya jarak perceraian dengan
kondisi saat ini. Uji korelasi menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan ibu,
dukungan yang dirasakan anak dari orang tua, dan pengasuhan penerimaan dari
ibu setelah perceraian berhubungan dengan menurunnya dampak negatif
perceraian pada dimensi ekonomi, fisik, dan sosial anak.
Kata kunci: Anak usia 7-15 tahun, dampak perceraian, dukungan sosial, dan gaya
pengasuhan

ABSTRACT
LELA NESVI. Social Support, Parenting Styles, And the Negative Impact of
Divorce on 7-15 Years Old Child. Supervised by HERIEN PUSPITAWATI and
ALFIASARI.
Divorce is one of child development risk factor that means positive
parenting style are important roles to support child to addapt with the changes that
were happened between before and after divorce. The aim of this research of was
to analyze correlations of social support, parenting style, and the negative effects
of divorce on 7-15 years old child of divorced families in Cianjur. The sample of
this study were 7-15 years old child who had single parent and has been divorced
at least one year and has not married again taken with nonprobability sampling
techniques convenience as much as 60 people based at the research. The

difference results show that is a significant higher of rejection parenting child
after a divorce and feel a reduction in the negative impact of divorce on
psychological and economy stats along with the distance to the present. The result
of correlation test showed that there is a higher education of the mother, higher
social support from parents, and higher of affective parenting were correlated with
lower negative impact of divorce on economical, physical, and social stats of child.
Keyword: Children aged 7-15 years, divorce effects, parenting style, and social
support.

DUKUNGAN SOSIAL, GAYA PENGASUHAN, DAN DAMPAK
NEGATIF PERCERAIAN PADA ANAK USIA 7 – 15 TAHUN

LELA NESVI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen


DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Dukungan Sosial, Gaya Pengasuhan,
Perceraian pada Anak Usia 7 - 15 Tahun
Nama
: Lela Nesvi
NIM
: 124090020

Disetujui oleh

Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc
Pembimbing I

Tanggal Lulus :


,0

dan Dampak Negatif

Judul Skripsi : Dukungan Sosial, Gaya Pengasuhan, dan Dampak Negatif
Perceraian pada Anak Usia 7 – 15 Tahun
Nama
: Lela Nesvi
NIM
: I24090020

Disetujui oleh

Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc
Pembimbing I

Alfiasari, S. P., M.Si
Pembimbing II

Diketahui oleh


Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwan, M.Sc
Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Bapa yang Maha Mulia untuk
segala kasih karunia-Nya sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Dukungan
Sosial, Gaya Pengasuhan, dan Dampak Negatif Perceraian pada Anak Usia 7 – 15
Tahun” telah terselesaikan dengan baik. Terima kasih dan rasa hormat penulis
ucapkan kepada:
1. Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc dan Alfiasari, S.P., M.Si selaku
dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu dan ilmuilmunya untuk membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.
2. Ir. MD. Djamaluddin, M.Sc sebagai dosen pembimbing akademik dan
penguji yang telah membimbing dan memberikan banyak saran demi
perbaikan skripsi ini.
3. Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc selaku penguji yang telah memberikan banyak
saran demi perbaikan skripsi dan Agus Surachman, S.Si selaku pemandu
seminar serta seluruh dosen pengajar dan staf IKK FEMA atas kebersamaan

dan ilmu yang telah diberikan.
4. Bapak Eliakim, Mamak Tiurlan, dan adik-adik tersayang Tommy, Fitri,
Reta atas segala jerih payah, doa, kesabaran, dan kasih sayang tak terbalas
yang senantiasa diberikan demi keberhasilan penulis.
5. PEKKA Kabupaten Cianjur dan seluruh responden yang telah berpartisipasi
membantu dalam kelancaran penelitian ini.
6. Teman dan sahabat terbaik Grace dan Vina yang selalu memberikan
semangat dan doa, serta keluarga Komkes 46 PMK IPB atas dukungan dan
keceriaannya selama ini.
7. Teman seperjuangan penelitian Merisa, Rena, Aida, dan Salsabila atas
waktu, kebersamaan, motivasinya, dan dukungannya. Rekan-rekan IKK 46
untuk kebersamaannya selama penulis menempuh pendidikan S1 di
Departemen IKK, IPB.
8. Kepada semua pihak yang belum disebutkan, yang telah memberikan
kontribusi dalam penyelesaian tugas akhir ini, penulis ucapkan terima kasih.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Harapan penulis adalah semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2013
Lela Nesvi


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

4

TINJAUAN PUSTAKA

4

Keluarga dan Perceraian

4


Pandangan Teori Struktural Fungsional

5

Dukungan Sosial pada Keluarga Bercerai

6

Gaya Pengasuhan Penerimaan-Penolakan

6

Dampak Perceraian

7

KERANGKA PEMIKIRAN
METODE


8
10

Desain Tempat dan Waktu Penelitian

10

Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh

10

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

11

Pengolahan dan Analisis Data

11

Definisi Operasional

12

HASIL

13

Karakteristik Anak dan Ibu Keluarga Orangtua Tunggal

13

Dukungan Sosial Ibu

14

Gaya Pengasuhan

15

Dampak Negatif Perceraian kepada Anak

16

Hubungan antara Karakteristik Ibu, Karakteristik Anak, Dukungan Sosial Ibu
dengan Gaya Pengasuhan Sesudah Perceraian
17
Hubungan antara Sebaran Koefisien Korelasi Karakteristik Anak, Dukungan
Sosial Anak, Gaya Pengasuhan dengan Dampak Negatif Perceraian pada Anak
di Enam Bulan Pertama Perceraian dan Saat Ini
18

PEMBAHASAN

19

SIMPULAN DAN SARAN

21

Simpulan

21

Saran

22

DAFTAR PUSTAKA

22

LAMPIRAN

25

RIWAYAT HIDUP

40

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

5

6
7

Nilai minimal, maksimal, rata-rata, dan SD karakteristik anak dan ibu
keluarga orang tua tunggal
Nilai rata-rata, standar deviasi, dan koefisien perbedaan dukungan
sosial ibu
Nilai rata-rata, standar deviasi dan koefisien perbedaan dukungan
sosial anak
Nilai rata-rata, standar deviasi, dan koefisien perbedaan gaya
pengasuhan anak usia SD dan SMP serta kondisi sebelum dan
sesudah perceraian
Nilai rata-rata, standar deviasi, dan koefisien perbedaan dampak
perceraian anak usia SD dan SMP serta dampak negatif di enam
bulan pertama perceraian dan saat ini
Koefisien korelasi karakteristik ibu, karakteristik anak, dukungan
sosial ibu dengan skor gaya pengasuhan sesudah perceraian
Koefisien korelasi karakteristik anak, dukungan sosial anak, gaya
pengasuhan dengan skor dampak negatif perceraian pada anak di
enam bulan pertama dan saat ini

14
14
15

16

17
18

19

DAFTAR GAMBAR
1
2

Kerangka pemikiran dukungan sosial, gaya pengasuhan, dan dampak
negatif perceraian pada anak usia 7-15 tahun
Skema cara pengambilan contoh

9
10

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Jenis data, variabel, alat dan cara pengukuran, skala data dan uji
reliabilitas
Data dan cara pengolahannya
Sebaran dukungan sosial ibu
Sebaran dukungan sosial anak
Sebaran responden berdasarkan kategori gaya pengasuhan
Persentase item nilai gaya pengasuhan sebelum dan sesudah
perceraian
Sebaran responden berdasarkan kategori dampak perceraian
Persentase item dampak di enam bulan pertama perceraian dan
kondisi saat ini
Uji korelasi karakteristik ibu dan anak, dukungan sosial ibu dengan
gaya pengasuhan setelah perceraian
Uji korelasi karakteristik ibu dengan dampak negatif perceraian di
enam bln pertama perceraian dan kondisi saat ini
Hubungan Karakteristik Anak, Gaya Pengasuhan, Dukungan Sosial
dengan Dampak 6 Bulan

25
26
27
27
27
28
30
30
32
33
34

12
13
14
15
16

Hubungan Karakteristik Anak, Gaya Pengasuhan, Dukungan Sosial
dengan Dampak saat ini
Hasil penelitian terdahulu
Hasil indepth interview
Kronologi instrumen dan pengukuran
Peta lokasi penelitian

35
36
37
38
39

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perceraian adalah berakhirnya suatu ikatan perkawinan yang telah dibina
oleh pasangan suami istri yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian dan
atas keputusan pengadilan. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari
suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup
terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku (UU No 1 tahun 1974).
Menurut Bell (1979), perceraian merupakan putusnya ikatan legal yang
menyatukan sepasang suami istri dalam satu rumah tangga dan secara sosial
membangun kesadaran pada masing-masing individu bahwa perkawinan mereka
telah berakhir. Perceraian merupakan refleksi dari kegagalan suatu pernikahan
(Simamora 2005). Seringkali ketidakmampuan suami dan istri dalam
memanajemen konflik rumah tangga akan melahirkan keputusan cerai yang
sebenarnya tidak perlu terjadi dan bahkan dapat dihindari.
Data dari Kementerian Agama RI di tahun 2009 tercatat terjadinya 250 ribu
kasus perceraian di Indonesia. Angka ini setara dengan 10 persen dari jumlah
pernikahan di tahun 2009 sebanyak 2.5 juta. Jumlah perceraian tersebut naik 25%
dibanding tahun 2008 yang mencapai 200 ribu perceraian (Bolang 2012). Provinsi
Jawa Barat memiliki angka perceraian yang cukup tinggi, salah satunya
Kabupaten Cianjur dengan jumlah perceraian hidup mencapai 52 502 jiwa (4,98%
dari total pernikahan di tahun 2010) dan jumlah penduduk yang berstatus cerai
mati mencapai 92 096 jiwa (8,74% dari total pernikahan di tahun 2010) (Susenas
2010 , Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat 2010).
Perceraian memberikan dampak yang kurang baik bagi semua anggota
keluarga yang terlibat terutama anak meskipun dalam beberapa kasus memberikan
manfaat bagi sebagian orang. Perceraian juga menyebabkan penurunan pada
kualitas kehidupan individu atau keluarga yang mengalaminya serta memberikan
pengaruh pada keadaan psikososial anak. Hal ini disebabkan oleh hilangnya salah
satu orang tua yang selama ini berperan dalam kehidupan anak sehingga anak
tidak memiliki model untuk penyesuaian diri dalam berperilaku. Menurut Stahl
(2004), perceraian berdampak pada kegagalan akademis, ketidakteraturan waktu
makan dan tidur, depresi, bunuh diri, kenakalan, penyalahgunaan narkoba, dewasa
sebelum waktunya, kekhawatiran hilangnya keluarga, cenderung tidak
bertanggung jawab, merasa bersalah, dan pemarah.
Menurut Witherington (1952), usia 9-12 tahun memiliki ciri perkembangan
sikap individualis sebagai tahap lanjut dari usia 6-9 tahun dengan ciri
perkembangan sosial yang pesat. Pada tahapan ini anak berupaya ingin mengenal
siapa dirinya dengan membandingkan dirinya dengan teman sebayanya dan jika
proses tersebut tanpa bimbingan orang tua maka anak cenderung sulit beradaptasi
dengan lingkungannya. Remaja yang orang tuanya mengalami perceraian akan
sulit menyesuaikan diri dalam berperilaku, kesulitan belajar, dan akan menarik
diri dari lingkungan sosial (Cole 2004).
Perceraian memiliki dampak yang signifikan dalam mengubah
kesejahteraan hidup dan menyebabkan terganggunya perkembangan anak dan
remaja ke tahapan selanjutnya. Dalam hal ini anak harus menyesuaikan diri

2
dengan situasi dan perasaan yang baru. Hasil penelitian menyebutkan bahwa
perceraian memberikan resiko besar pada psikologis, kesehatan, dan akademis
anak (Rice dan Dolgin 2008). Amato (2000) menemukan bahwa perceraian sangat
berhubungan dengan peristiwa stres yang mungkin berbahaya bagi anak yang
akan berpengaruh pada keadaan psikososial anak dan remaja. Anak dari keluarga
bercerai memiliki kesulitan yang lebih awal pada dimensi psikososial dibanding
anak dari keluarga utuh (Amato dan Keith 1991). Hal ini disebabkan oleh
tingginya tingkat ketidakpekaan yang ditunjukan remaja dari keluarga bercerai.
Ketidakpekaan remaja akan mencegah mereka untuk dapat memahami lingkungan
mereka. Dalam hal ini, orang tua berperan penting dalam memfasilitasi anak
sukses dalam beradaptasi dan mengembangkan keterampilan dan sumber daya
untuk tercapainya tugas perkembangan sebagai alat untuk mengelola tantangan
masa depan. Hal ini dapat tercermin melalui pengasuhan yang diterapkan oleh
orang tua pada anak dengan pemberian kehangatan dan kasih sayang sehingga
dapat menghindarkan anak dari perilaku bermusuhan, agresif, dan perilaku negatif
lainnya (Rohner 1975). Pengasuhan kehangatan dan kasih sayang orang tua
diperlukan oleh keluarga pascaperceraian.
Gaya pengasuhan adalah pola perilaku atau tindakan orang tua yang paling
menonjol atau dominan dalam merawat dan menjaga anak-anak sehari-hari.
Pengasuhan yang tepat sangat berperan penting dalam memfasilitasi anak untuk
dapat sukses beradaptasi dengan kondisi perceraian sehingga anak dapat
mengelola tantangan atau kondisi yang kurang mendukung dimasa depan.
Perceraian menyebabkan anak hidup dengan orang tua tunggal sehingga orang tua
tunggal harus menjalankan peran ganda dalam keluarga. Hal ini menyebabkan
kurangnya kontrol perilaku anak sehingga membuka lebih banyak kesempatan
untuk berperilaku negatif dan bereksperimen dengan tindakan beresiko.
Selain gaya pengasuhan, dukungan sosial yang diterima oleh keluarga turut
berpengaruh terhadap proses penyesuaian individu pascaperceraian. Salah satu
penelitian menyebutkan bahwa dukungan sosial dari keluarga merupakan faktor
protektif untuk menggurangi penggunaan alkohol pada remaja sebagai efek dari
perceraian kedua orang tuanya (Chen dan George 2005). Hal tersebut bahwa
dukungan sosial berfungsi sebagai penyangga terhadap dampak perceraian orang
tua dengan kata lain remaja mungkin akan kurang menunjukkan perilaku beresiko
jika ia mendapat dukungan positif dari lingkungannya.
Menurut Hurlock (2001), dukungan yang berasal dari keluarga dalam
bentuk penerimaan, perhatian, dan rasa percaya dapat meningkatkan kebahagiaan
dalam diri remaja. Hal ini dapat memotivasi remaja untuk terus berusaha
mencapai tujuannya. Selain itu, dukungan sosial dari tetangga, keluarga besar, dan
teman bermain juga memberikan pengaruh positif pada penyesuaian anak
terhadap perceraian (Barnes 1999) sehingga memampukan anak untuk mengatasi
ketakutan dan perasaan negatif lainnya yang muncul akibat perceraian orang tua
mereka. Perhatian dan kehangatan yang ditunjukkan oleh guru di sekolah juga
menjadi faktor penting yang menghasilkan pengalaman sekolah yang positif dan
dapat berfungsi sebagai penyangga terhadap stres anak pascaperceraian yang
dapat meningkatkan kemampuan adaptasi anak (Barnes 1999). Berdasarkan
perumusan latar belakang tersebut, keterkaitan antara gaya pengasuhan dan
dukungan sosial terhadap dampak negatif perceraian pada anak dan remaja pada
keluarga bercerai perlu untuk diteliti.

3
Perumusan Masalah
Angka perceraian keluarga di Indonesia terus meningkat secara drastis dari
tahun ke tahun. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung
(MA) mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian
hingga 70 persen dan di tahun 2010 terjadi 285184 perceraian di seluruh
Indonesia.
Cianjur merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat dengan luas
wilayah 350148 km² dan jumlah penduduk di Tahun 2011 sebanyak 2 210 267
jiwa (BPS 2011). Mata pencaharian masyarakat Cianjur adalah sektor pertanian
(52%) yang juga merupakan penyumbang terbesar terhadap PDRB Kabupaten
Cianjur yakni sekitar 42,8 persen. Kabupaten Cianjur juga memiliki angka
perceraian yang cukup tinggi dan setiap tahunnya mengalami peningkatan dalam
perkara cerai. Data Pengadilan Agama Cianjur dari Tahun 2011-2012 menunjukan
peningkatan dalam laporan perkara cerai thalak dan cerai gugat. Tahun 2011
terdapat 194 perkara cerai thalak dan 975 perkara cerai gugat dan di Tahun 2012
meningkat menjadi 199 perkara cerai thalak dan 1135 perkara cerai gugat.
Semakin besarnya angka perceraian dapat menyebabkan semakin besarnya jumlah
anak yang menjadi korban yang tinggal dan diasuh oleh orang tua tunggal.
Amato (2000) menyebutkan bahwa perceraian mengarah pada gangguan
hubungan orang tua anak, perselisihan dengan mantan pasangan, hilangnya
dukungan emosional, kesulitan ekonomi, dan peningkatan jumlah peristiwa
kehidupan negatif lainnya. Perceraian memberikan dampak pada melemahnya
hubungan ibu dan anak dimana ibu kurang memberikan perhatian dan kasih
sayang sehingga anak kurang memperoleh dukungan secara emosional.
Pengasuhan yang beresiko juga menjadi salah satu permasalahan yang harus
dihadapi dalam interasi ibu dan anak pada keluarga bercerai.
Perceraian memberikan dampak pada perubahan sikap dan perilaku anak
yang disebabkan oleh perubahan kehidupan kepada kondisi yang menyebabkan
stress. Berbagai dampak yang timbul akibat perceraian yang berpengaruh pada
kehidupan keluarga yang mengalaminya. Hal ini dapat berkurang dengan adanya
dukungan sosial yang diterima oleh keluarga yang mengalami perceraian.
Berdasarkan permasalahan tersebut dapat dirumuskan pertanyaan utama penelitian
ini adalah bagaimana hubungan karakteristik ibu dan anak, dukungan sosial anak,
dan gaya pengasuhan dengan dampak negatif perceraian pada anak usia 7-15
tahun dari keluarga bercerai.

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
hubungan antara karakteristik ibu dan anak, gaya pengasuhan, dan dukungan
sosial dengan dampak negatif perceraian pada anak usia 7-11 tahun (SD) dan 1215 tahun (SMP).

4
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga bercerai di lokasi penelitian.
2. Menganalisis gaya pengasuhan pada keluarga bercerai dan dukungan sosial
yang diperoleh ibu dan anak pascaperceraian.
3. Menganalisis dampak negatif perceraian terhadap anak.
4. Menganalisis perbedaan gaya pengasuhan sebelum dan sesudah perceraian
pada anak usia 7-11 tahun (SD) dan 12-15 tahun (SMP).
5. Menganalisis perbedaan dampak negatif perceraian pada anak dalam enam
bulan pertama perceraian dan kondisi saat ini pada anak usia 7-11 tahun
(SD) dan 12-15 tahun (SMP).
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan kegunaan, antara lain :
1. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada
masyarakat mengenai dampak perceraian terhadap anak dan pentingnya
peran orang tua dalam pengasuhan anak terhadap kondisi psikososial anak
usia 7-15 tahun
2. Bagi kajian dibidang ilmu keluarga, hasil penelitian ini dapat dijadikan studi
kepustakaan untuk penelitian selanjutnya serta memberikan sumbangan bagi
perkembangan teori-teori ilmu keluarga terutama yang berkaitan dengan
masalah dan dampak dari perceraian terhadap anak.
3. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat mengasah kemampuan berfikir
logis dan sistematik serta bermanfaat bagi pengembangan keilmuan sesuai
bidang peneliti.

TINJAUAN PUSTAKA
Keluarga dan Perceraian
Konflik dan tekanan merupakan hal yang umum terjadi dalam sebuah
keluarga. Ketidakmampuan dan kegagalan keluarga dalam penyesuaian diri
dengan konflik keluarga akan menghasilkan keputusan cerai yang tidak harus
terjadi. Para peneliti menggambarkan beberapa faktor yang menyebabkan
kerusakan dalam perkawinan seperti karakteristik demografi keluarga,
karakteristik psikologis, dan beberapa variabel interpersonal dalam keluarga
(Wolcott dan Hughes 1999). Persoalan yang terjadi dalam keluarga memberikan
tekanan pada setiap anggota keluarga yang akan memunculkan suatu
ketidakstabilan yang berujung pada perceraian.
Perceraian, perpisahan, atau kematian akan membuat seseorang
menyandang status sebagai orang tua tunggal (Wong et al 2009). Status ini
menyebabkan orang tua tunggal berperan mengasuh dan membesarkan anak tanpa
kehadiran pasangan (Usman 2008). Keluarga dengan orang tua tunggal cenderung
memiliki berbagai permasalahan seperti konflik antara tanggung jawab pekerjaan
dan rumah tangga, peran yang terlalu berat, tekanan karena harus membuat

5
keputusan sendiri, menemukan waktu yang cukup untuk anak dan kehidupan
pribadi mereka, kebutuhan fasilitas perawatan anak yang cukup dan isolasi sosial.
Kesulitan keuangan umum terjadi pada keluarga orang tua tunggal
khususnya ibu dimana ibu memiliki peran ganda sebagai pencari nafkah dan
mengasuh anak. Oleh karenanya, kesulitan lain yang dihadapi orang tua tunggal
adalah penyesuaian diri yang menyebabkan timbulnya masalah dalam perawatan
anak-anak mereka (Wong et al 2009). Hasil penelitian para psikolog menemukan
bahwa anak-anak dari keluarga yang tidak utuh memperoleh nilai psikologis yang
rendah terutama dalam hal fleksibilitas, penyesuaian diri, pengertian kepada orang
lain dan situasi di luarnya serta pengendalian diri. Ketidakhadiran ayah dalam
struktur keluarga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan dan penyesuaian remaja di dalam keluarga dengan orang tua
tunggal.
Perceraian membuat anak kehilangan hak untuk mendapatkan pengasuhan
dari kedua orang tua mereka. Hak asuh anak umumnya diberikan kepada ibu dan
ini secara langsung membuat berkurangnya interaksi antara ayah dan anak
(Retnowati 2007). Status individu setelah bercerai (janda dan duda) membuat
individu tidak lagi memiliki keterikatan secara emosional, hukum dan ekonomi
sehingga umumnya mereka akan mengalami kesulitan penyesuaian diri dalam
kehidupan pribadi maupun sosial. Penyesuaian dalam kehidupan pribadi berkaitan
dengan perubahan peran baru yang lebih kompleks yakni berperan secara ganda.
Sementara dalam kehidupan sosial individu mengalami kesulitan dalam
penyesuaian hubungannya dengan pandangan masyarakat tentang perceraiannya
sehingga menyulitkan hubungan sosial dengan lingkungan keluarganya yang
lama, lingkungan kerjanya dan terutama lingkungan masyarakat sekitarnya. Tidak
sedikit kondisi psikologisnya mempengaruhi kehidupan sehingga karena
perceraian mereka mengalami kesepian, stres, hidup tidak tenteram, tidak bahagia,
terisolasi dari lingkungan social dan pada akhirnya terjadi krisis kepribadian
dalam hidupnya (Machasin 2006).
Ibu orang tua tunggal (single mother) yang memilih untuk bekerja lebih
besar dibandingkan yang memilih tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga
(Simamora 2005). Umumnya ibu orang tua tunggal yang tidak bekerja akan
memperoleh nafkah dari mantan suami, pendapatan anak-anaknya dan atau dari
bantuan orang tuanya. Keberhasilan individu dalam penyesuaian diri akan
membuat mereka hidup dan bekerja dengan penuh semangat kebahagiaan serta
dapat terhindar dari kecemasan, kegelisahan, dan kesedihan yang tidak perlu ada.
Keluarga dengan ibu sebagai orang tua tunggal harus mampu menjalankan
tuntutan dalam bekerja serta mampu menghadapi segala permasalahan dalam
memenuhi kebutuhan diri dan anak-anaknya.

Kerangka Teori Struktural Fungsional dalam Analisis Kasus Perceraian
Teori struktural fungsional memandang bahwa peran gender berkontribusi
dalam keberfungsian suatu keluarga dimana perempuan memiliki peran utama
expressive yakni mengelolah tugas keluarga dan menyediakan perawatan fisik dan
mental serta pemelihara seluruh anggota keluarga, sementara laki-laki memiliki
peran utama instrumental yang maksudnya adalah menjadi pencari nafkah utama

6
dan pembuat keputusan utama di dalam keluarga. Perceraian menyebabkan
keluarga tidak berperan sebagaimana mestinya yang mengakibatkan timbulnya
berbagai pernasalahan dalam kehidupan keluarga. Berdasarkan pandangan
tersebut dapat dijelaskan kembali bahwa keluarga dapat mengalami gangguan
sehingga terjadi perubahan peran gender dalam keluarga. Perubahan yang
umumnya ditemukan dalam institusi keluarga yang mengakibatkan munculnya
permasalahan sosial yakni penambahan fungsi perempuan yang utamanya
expressive ditambah dengan instrumental.

Dukungan Sosial pada Keluarga Bercerai
Dukungan sosial adalah bantuan yang diterima individu dari orang lain atau
kelompok di sekitarnya dengan membuat penerima merasa nyaman, dicintai dan
dihargai sehingga dukungan sosial secara teoritis dapat menurunkan
kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stress (Sarafino
1994, Lieberman 1992, dan Maslihah 2011). Konsep operasional dari dukungan
sosial adalah perceived support (dukungan yang dirasakan) yang memiliki dua
elemen dasar diantaranya adalah persepsi bahwa ada sejumlah orang lain dimana
seseorang dapat mengandalkannya saat dibutuhkan dan derajat kepuasan terhadap
dukungan yang ada (Dimatteo 2004). Dukungan sosial dari keluarga memiliki
peranan yang cukup penting bagi individu dalam mengatur proses pembelajarnya.
Selain dukungan sosial dari keluarga, dukungan yang diperoleh dari teman sebaya
juga dapat mempengaruhi anak dan remaja untuk memiliki kesempatan dalam
melakukan berbagai hal yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya serta
belajar mengambil peran yang baru dalam kehidupannya (Tarakanita 2001).
Barnes (1999) menyatakan bahwa dukungan sosial yang diperoleh dari luar
keluarga inti seperti: tetangga, keluarga besar, dan teman bermain juga
memberikan pengaruh pada penyesuaian anak terhadap perceraian sehingga
memampukan anak untuk mengatasi ketakutan dan perasaan negatif lainnya yang
muncul akibat perceraian orang tua mereka. Perhatian dan kehangatan yang
ditunjukkan oleh guru di sekolah menjadi faktor penting yang dapat menghasilkan
pengalaman sekolah yang positif dan dapat berfungsi sebagai penyangga terhadap
stres anak pascaperceraian yang dapat meningkatkan kemampuan adaptasi anak
(Barnes 1999). Orang tua tunggal yang didukung oleh lingkungan mereka
biasanya secara mental dan fisik akan merasa lebih baik. Dukungan sosial yang
paling potensial utamanya bersumber dari keluarga. Penelitian terdahulu
menyebutkan bahwa semakin baik dukungan sosial yang diterima ibu maka akan
semakin baik pula pengasuhan pada anak (Tati 2004). Dukungan sosial positif
yang diterima oleh ibu memberikan perasaan nyaman untuk ibu dapat mengelola
rumah tangga dan melaksanakan pengasuhan (Purnomosari 2004 dalam Tati
2004).

Gaya Pengasuhan Penerimaan-Penolakan
Pengasuhan merupakan suatu proses melatih, membimbing, mengajari, dan
membantu penyesuaian diri anak dengan lingkungannnya (DeMause dalam

7
Gottman dan DeClaire 1999). Orang tua berperan penting dalam memfasilitasi
anak sukses dalam beradaptasi dan mengembangkan keterampilan dan sumber
daya untuk tercapainya tugas perkembangan sebagai alat untuk mengelola
tantangan masa depan. Rohner (1975), pengasuhan kehangatan yang diterapkan
orang tua yang tercermin dari pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada
anak dapat menghindarkan anak dari perilaku bermusuhan, agresi, dan perilaku
negatif lainnya. Rohner (1986) menyatakan bahwa gaya pengasuhan dimensi
kehangatan terbagi menjadi dua kategori yakni gaya pengasuhan penerimaan
(acceptance) dan gaya pengasuhan penolakan (rejection). Pengasuhan penerimaan
dicirikan dengan adanya curahan kasih sayang dari orang tua kepada anak mereka
baik itu secara fisik maupun secara verbal. Orang tua senantiasa mengekspresikan
kasih sayang dan perhatiannya dalam bentuk pujian, penghargaan, dan dukungan
kepada kemajuan anak.
Gaya pengasuhan penolakan merupakan orang tua yang tidak suka, tidak
setuju atau bahkan membenci anak-anak mereka. Pengasuhan penolakan
dikategorikan menjadi tiga, yaitu (1) Gaya pengasuhan pengabaian yang dicirikan
dari ketiadaan perhatian orang tua terhadap kebutuhan anak. Orang tua secara
fisik berada didekat anak namun tidak secara psikologis sehingga anak tidak
merasakan kehadiran orang tua; (2) Gaya pengasuhan penolakan, dicirikan dengan
perkataan dan perilaku orang tua yang menyebabkan anak merasa tidak dicintai,
merasa tidak dikasihi, tidak dihargai, bahkan kehadirannya tidak dikehendaki oleh
orang tua; dan (3) Gaya pengasuhan permusuhan yang dicirikan dengan perkataan
dan perbuatan yang kasar dan agresif. Salah satu penelitian menemukan bahwa
anak yang mendapatkan penolakan dari orang tua secara signifikan menunjukkan
sikap yang lebih bermusuhan dan agresif dibandingkan dengan anak yang
diterima oleh orang tuanya (Rohner 1975). Selain itu hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa anak yang ditolak cenderung untuk menilai diri secara lebih
negatif dan bergantung pada apa yang diterimanya. Anak yang mendapatkan
penolakan cenderung menjadi kesal dan marah pada kedua orang tua mereka serta
lebih menarik diri karena takut akan penolakan.

Dampak Perceraian
Rice dan Dolgin (2008) menyebutkan bahwa anak yang berasal dari
keluarga bercerai umumnya akan memiliki resiko yang besar terhadap psikologis,
kesehatan, maupun akademis. Dampak psikologis dapat dirinci menjadi dampak
kognisi, emosi, dan tindakan atau psikomotor. Dampak kognisi berupa tanggapan
buruk mengenai perceraian, merasa terlantar dan tidak diperhatikan, menganggap
perceraian adalah kesalahan orang tua, lebih dewasa, serta kondisi spiritual
menurun. Dampak emosi dapat berupa kekecewaan, mudah marah atau sensitive,
malu, dan terganggu dengan hal-hal yang berbau konflik. Dampak psikomotor
seperti semangat menurun, melamun, berkhayal, dan terlibat dalam perkelahian.
Perceraian juga memberikan pengaruh terhadap sosial anak dimana anak menjadi
pribadi yang tidak peduli dan cuek, tidak mau bersosialisasi dengan teman,
menyalahkan kedua orang tua, susah bergaul, agresif, dan tidak percaya diri.
Stahl dan Philip M (2004) mengatakan bahwa perceraian berdampak pada
kegagalan akademis, ketidakberaturan waktu makan dan tidur, depresi, bunuh diri,

8
kenakalan, penyalahgunaan narkoba, dewasa sebelum waktunya, kekhawatiran
hilangnya keluarga, cenderung tidak bertanggung jawab, merasa bersalah, dan
pemarah. Anak dari keluarga bercerai umumnya merasakan dampak psikologis,
ekonomis dan koparental yang kurang menguntungkan dari orangtuanya
(Machasin 2006). Anak terkadang tidak bisa menerima kenyataan bahwa orang
tua mereka telah bercerai sehingga sering kali perilakunya tidak menunjukkan
rasa tanggung jawab dan cenderung menyalahkan orang lain termasuk
orangtuanya sendiri. Hubungan sosial anak juga terganggu karena rasa harga diri
yang cenderung rendah diri dan bergantung pada orang lain. Makna dan nilai
hidupnya cenderung terbawa oleh situasi, perasaan dan suasana hati yang bersifat
sesaat. Dampak perceraian tersebut pada umumnya dirasa lebih berat bagi anak
usia remaja karena rasa malu, benci, marah, sedih, takut dan sayang terhadap
orangtuanya bercampur menjadi satu sehingga sering diekspresikan dalam
perilaku yang berlebihan.

KERANGKA PEMIKIRAN
Teori struktural fungsional memandang bahwa peran gender berkontribusi
dalam keberfungsian suatu keluarga dimana perempuan memiliki peran utama
expressive yakni memanajemen tugas, menyediakan perawatan fisik dan mental
serta pemelihara seluruh anggota keluarga, sedangkan laki-laki memiliki peran
utama instrumental yang maksudnya adalah menjadi pencari nafkah utama dan
pembuat keputusan utama di dalam keluarga. Berdasarkan pandangan tersebut
dapat dijelaskan kembali bahwa keluarga bercerai beresiko untuk mengalami
gangguan yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam keluarga, baik dalam
proses pengasuhan yang dilakukan keluarga maupun dampaknya terhadap anak.
Seperti yang tergambar pada Gambar 1, penelitian ini membangun hipotesis
bahwa karakteristik ibu (usia, pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, jumlah
anak, lama perceraian, jumlah perceraian, pendapatan) dan karakteristik anak
(usia, jenis kelamin, dan urutan lahir) berhubungan dengan gaya pengasuhan yang
diterapkan oleh ibu pada keluarga bercerai. Dukungan sosial yang diterima ibu
dari orang spesial, keluarga, teman, dan mantan suami juga dapat berhubungan
dengan gaya pengasuhan ibu pascaperceraian.
Penelitian ini juga ingin melihat hubungan antara karakteristik ibu dan anak
dan gaya pengasuhan orang tua dengan dampak negatif perceraian pada anak usia
7-15 tahun dari keluarga bercerai. Ali (2011) menyatakan bahwa gaya pengasuhan
penerimaan orang tua penerimaan guru di sekolah secara signifikan memberikan
sumbangan terhadap penyesuaian psikologis anak. Hipotesis lainnya ingin melihat
bahwa dukungan sosial yang diterima anak dari orang tua, teman sekelas, guru,
dan sahabat juga berhubungan dengan dampak negatif perceraian pada anak usia
7-15 tahun dari keluarga bercerai.
Pengasuhan kedua orang tua serta dukungan sosial berhubungan dengan
penyesuaian diri anak pascaperceraian. Penyesuaian anak terhadap dampak
negatif perceraian akan memberikan hasil yang berbeda jika terdapat gaya
pengasuhan orang tua dan dukungan sosial yang berbeda yang dirasakan atau
diterima anak. Secara skematis kerangka pemikiran dijelaskan pada Gambar 1.

Karakteristik Anak
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Uritan lahir
Karakteristik Ibu
1. Usia
2. Pendidikan
3. Jumlah tanggungan keluarga
4. Jumlah anak
5. Lama perceraian
6. Jumlah perceraian
7. Pendapatan

Gaya pengasuhan
1. Acceptance
2. Hostility
3. Neglected
4. Rejection

Dampak negatif perceraian
pada anak usia 7-15 tahun

Dukungan sosial yang di terima ibu
− Orang spesial
− Keluarga
− Teman
− Mantan Suami
Dukungan sosial yang di terima Anak
− Orang tua
− Teman sekelas
− Guru
− Sahabat
Gambar 1 Kerangka pemikiran dukungan sosial, gaya pengasuhan, dan dampak negatif perceraian pada anak usia 7-15 tahun
9

10

METODE
Desain Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang menganalisis
beragam variabel pada keluarga bercerai yang menggunakan desain cross
sectional study dan dilakukan di dua lokasi yakni Desa Sukanagalih, Kecamatan
Pacet dan Desa Sindanglaya, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur. Penetapan
lokasi tersebut dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan kekhasan
lokasi sebagai wilayah pertanian dan perdesaan yang masih dominan dan juga
rekomendasi dari Pengadilan Agama Cianjur. Pengambilan data dimulai dari juni
sampai juli 2013.
Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh
Contoh dalam penelitian ini berjumlah 60 keluarga yakni anak dengan orang
tua tunggal yang telah bercerai minimal satu tahun, tidak menikah lagi
(remarried) dan berusia 7-15 tahun. Teknik pengambilan contoh menggunakan
nonprobability sampling dengan cara convinience yakni pengambilan contoh
berdasarkan pada ketersediaan elemen dan kemudahan mendapatkannya. Data
contoh diperoleh dari tujuh belas Rukun tetangga (RT) di Desa Sindanglaya dan
Sukanagalih dengan pertimbangan kedua desa tersebut merupakan desa dengan
anggota PEKKA terbanyak. Setelah data diperoleh dari setiap RT, kemudian
contoh dipilih sesuai dengan kriteria dan melakukan wawancara. Selain itu,
peneliti melakukan indepth-interview kepada responden yang memiliki waktu dan
bersedia untuk menceritakan kehidupan keluarganya sebelum dan sesudah
perceraian baik mengenai pengasuhan ibu, dukungan yang diterima, keadaan
psikolososial, ekonomi dan fisik anak pascaperceraian. Berikut ini disajikan pada
Gambar 2 teknik pengambilan contoh yang digunakan.
Kabupaten Cianjur

Purposive

Kecamatan Pacet

Kecamatan

Purposive

Desa Sukanagalih

Desa Sindang laya

Purposive

SD = 14
SMP = 16

SD = 18
SMP = 12

Nonprobability
teknik convinience

n = 60
Gambar 2 Skema cara pengambilan contoh

11
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer yang diambil meliputi karakteristik ibu (usia, pendidikan
terakhir, jumlah anak, jumlah tanggungan keluarga, lama perceraian, jumlah
perceraian, pendapatan), karakreristik anak (usia, jenis kelamin, dan urutan lahir),
gaya pengasuhan, dukungan sosial yang dirasakan ibu dan anak, dan dampak
negatif perceraian. Data primer diambil dengan metode wawancara dan indepth
interviews. Sedangkan data sekunder meliputi data besarnya angka perceraian
Kabupaten Cianjur (dijelaskan pada Lampiran 1).
Instrumen gaya pengasuhan diadaptasi dari Rohner (1986) dan dimodifikasi
peneliti yang berjumlah 60 pernyataan yang diberikan kepada anak dan terbagi
menjadi Acceptance (20 pernyataan), hostility (15 pernyataan), neglected (15
pernyataan), dan Rejection (10 pernyataan). Instrumen gaya pengasuhan memiliki
nilai Cronbach’s alpha 0.77. Dukungan sosial yang dirasakan ibu diukur dengan
menggunakan instrument Multidimensional Scale of Perceived Social Support
(MSPSS) (Zimet, Dahlem, Zimet & Farley 1988). Instrumen ini terdiri dari 12
pernyataan yang terdiri dari masing-masing 4 pernyataan orang spesial, keluarga
dan teman. Instrumen yang digunakan memiliki nilai Cronbach’s alpha 0.77.
Sementara itu, dukungan sosial yang dirasakan anak diukur dengan menggunakan
instrument Social Support scale for Children: Manual and Questionnaires dari
Harter (1985) yang terdiri dari 23 pernyataan yang terdiri dari masing-masing 6
pernyataan orang tua, teman sekelas, dan sahabat, dan 5 pernyataan guru dengan
nilai Cronbach’s alpha 0.63.
Dampak negatif perceraian terhadap anak menggunakan instrumen
Puspitawati (2012) yang terdiri dari 29 pernyataan (15 pernyataan psikologis dan
12 pernyataan sosial) dengan penambahan 9 pernyataan ekonomi dan 7
pernyataan fisik. Instrumen yang digunakan memiliki nilai Cronbach’s alpha
0.59.

Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data
Data yang diperoleh diolah melalui proses editing, coding, scorring,
entrying, cleaning, recoding serta analyzing menggunakan program Microsoft
Excel dan SPSS for Windows. Data pengasuhan dinilai sebelum dan sesudah
perceraian dengan skala 1=jarang, 2=kadang-kadang, dan 3=sering yang
kemudian dikelompokkan kedalam tiga kategori; rendah, sedang, dan tinggi
dengan menggunakan metode interval kelas yang dinilai dengan semakin tinggi
persentase suatu dimensi gaya pengasuhan kategori tertentu, maka semakin
menerapkan pengasuhan pada kategori tersebut.
Data dukungan sosial yaitu jawaban dari masing-masing peryataan
dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah skor maksimal pada masing-masing
dimensi, kemudian dipersentasekan dan diketegorikan menjadi tiga yakni rendah,
sedang, dan tinggi dengan rumus interval kelas yang dinilai dengan semakin
tinggi persentase dukungan sosial kategori tertentu, maka semakin besar
responden merasakan dukungan sosial pada kategori tersebut.

12
Data dampak negatif perceraian terhadap anak diolah seperti halnya
dukungan sosial. Skor yang diperoleh kemudian diketegorikan menjadi tiga
kategori dengan rumus interval kelas yang dinilai dengan semakin tinggi
persentase suatu dimensi dalam kategori tertentu, maka semakin banyak anak
yang merasakan dampak pada kategori tersebut (dijelaskan pada Lampiran 2).
Penentuan persentase pada tiap dimensi variabel diukur menggunakan rumus skor
indeks.

Keterangan:
Skor Aktual = Skor yang diperoleh dalam hasil penelitian
Min
= Minimum
Maks
= Maksimum
Penentuan kategori diukur dengan menggunakan rumus interval kelas.

Pengelompokkan kategori adalah sebagai berikut:
1. Rendah(Kurang) : NR sampai (NR+A)
2. Sedang (Cukup) : ((NR+A)+0.01) sampai ((NR+A)+A+0.01)
3. Tinggi(Baik)
: ((NR+A)+A+0.02) sampai NT
Analisis data
Analisis deskriptif yang digunakan antara lain: nilai maksimum, minimum,
rata-rata dan standar deviasi sedangkan analisis inferensia yang digunakan, yaitu
uji Beda Paired Samples Test dan korelasi Rank Spearman.
Pengolahan dan analisis tersebut berdasarkan tujuan penelitian, seperti:
1. Uji Beda independent sample t-test. Digunakan untuk melihat perbedaan
antara dukungan sosial ibu dan anak, gaya pengasuhan, dan dampak negatif
perceraian pada anak usia SD dan SMP.
2. Uji Beda Paired Samples Test. Digunakan untuk melihat perbedaan antara
gaya pengasuhan sebelum dan sesudah perceraian serta melihat perbedaan
dampak negatif perceraian pada anak di enam bulan pertama perceraian
dengan kondisi saat ini.
3. Uji Korelasi Rank Spearman. Digunakan untuk melihat hubungan antar dua
variabel, seperti karakteristik ibu, dukungan sosial ibu dengan gaya
pengasuhan sesudah perceraian serta karakteristik ibu dan anak, dukungan
sosial anak, dan gaya pengasuhan dengan dampak negatif perceraian pada
anak di enam bulan pertama perceraian dan kondisi saat ini.

Definisi Operasional
Keluarga bercerai adalah keluarga yang mengalami perceraian hidup minimal
satu tahun terakhir dari saat penelitian dilakukan

13
Lama perceraian adalah lamanya waktu perpisahan ayah dan ibu terhitung dari
keputusan perceraian hingga penelitian dilakukan
Jumlah perceraian adalah banyaknya perceraian yang dialami oleh ibu hingga
penelitian dilakukan
Dukungan sosial yang diterima ibu adalah dukungan yang dirasakan ibu yang
berasal dari orang spesial, keluarga besar, dan teman.
Dukungan sosial yang diterima anak adalah dukungan yang dirasakan anak
yang berasal dari orang tua, teman sekelas, guru, dan sahabat
Gaya pengasuhan adalah perilaku ibu baik fisik maupun verbal yang
mencerminkan sikap penerimaan dan penolakan ibu pada anak
Pengasuhan affection adalah orang tua memberikan kasih sayang baik secara
fisik maupun verbal
Pengasuhan hostility adalah orang tua yang selalu kasar dan agresif baik secara
fisik maupun verbal
Pengasuhan neglected adalah orang tua tidak perhatian terhadap kebutuhan
psikologis anak
Pengasuhan rejection adalah perbuatan dan perkataan orang tua yang membuat
anak merasa tidak dicintai dan dihargai
Dampak negatif perceraian adalah kondisi psikologi, sosial, ekonomi, dan fisik
yang buruk sebagai akibat dari perceraian.
Psikologis adalah kondisi psikologis atau perasaan anak yang buruk akibat
perceraian
Sosial adalah ketidakmampuan anak untuk berinteraksi dengan orang lain atau
masyarakat akibat perceraian
Ekonomi adalah tidak terpenuhinya kebutuhan anak sehari-hari akibat perceraian
Fisik adalah kondisi badan anak yang memburuk akibat perceraian

HASIL
Karakteristik Anak dan Ibu Keluarga Orangtua Tunggal
Sebaran usia anak pada keluarga responden menunjukkan lebih dari
setengah (53.3%) anak berusia SD dan usia SMP sebesar 46.7 persen dengan ratarata usia 11.27 tahun. Sebesar 55 persen anak responden adalah perempuan dan
sisanya laki-laki. Dua dari lima (46.3%) contoh merupakan anak bungsu dan besar
uang saku perharinya kecil dari Rp 6 000 dengan rata-rata Rp 3 519.04 perhari.
Karakteristik ibu menunjukkan bahwa lebih dari separuh ibu (58.3%) berada
pada usia dewasa awal dengan rata-rata 38.72 tahun. Tiga dari lima (60%) ibu
orang tua tunggal menempuh pendidikan hingga tahapan Sekolah Dasar (SD)
dengan rata-rata lama pendidikan 7 tahun dan hanya sebesar 3.3 persen ibu
dengan pendidikan perguruan tinggi. Apabila ditinjau dari sisi pekerjaan, satu dari
tiga (33.3%) ibu bekerja sebagai buruh dan sekitar satu dari lima (21.7 %) adalah
pedagang. Rata-rata pendapatan ibu sebesar Rp 762 236.12 per bulan dan rata-rata
uang yang diterima dari mantan suami sebesar Rp 128 605.55 per bulan.
Lama perceraian yang dialami oleh ibu responden menunjukkan bahwa
lebih dari setengah (61.7%) berada pada kategori kurang dari 6 tahun dan hanya
6.7 persen yang telah bercerai lebih dari 12 tahun dan tetap menjadi orang tua
tunggal. Rata-rata jumlah perceraian ibu responden sebanyak 2 kali dan terdapat 7

14
ibu yang telah bercerai sebanyak 3 kali. Rata-rata jumlah tanggungan ibu yang
menjadi orangtua tunggal saat ini 4 orang, sedangkan jumlah anak dari keluarga
orang tua tunggal rata-rata sebanyak 3 orang. Kehadiran nenek, kakak ipar atau
keluarga lain di luar keluarga inti yang hidup bersama dalam satu rumah membuat
jumlah tanggungan ibu lebih besar dari jumlah anak.
Tabel 1 Nilai minimal, maksimal, rata-rata, dan SD karakteristik anak dan ibu
keluarga orang tua tunggal
Variabel

Min

Karakteristik anak
Usia (thn)
Urutan lahir
Besar uang saku (Rp/hari)
Karakteristik ibu
Usia (thn)
Lama pendidikan (thn)
Pendapatan ibu (Rp/bln)
Uang dari mantan suami (Rp/bln)
Lama perceraian (thn)
Jumlah Perceraian (kali)
Jumlah Tanggungan Keluarga (org)
Jumlah Anak (org)

Keluarga orang tua tunggal
Max
Rata-rata±SD

7
1
1 000

15
7
15 000

11.270±2.335
2.550±1.578
3 519.040±2.327

24
0
0
0
1
1
0
1

54
16
6 000 000
2 250 000
14
4
8
7

38.720±7.726
6.420±3.876
762 236.120±975 264.559
128 605.550±400 309.629
5.670±3.952
1.530±0.833
3.380±1.896
3.030±1.507

Dukungan Sosial Ibu
Dukungan sosial yang diterima ibu berasal dari orang spesial, keluarga, dan
sahabat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 56.30 persen ibu dengan anak usia
SD memperoleh dukungan yang tinggi dari keluarga dengan nilai rata-rata sebesar
80.21, sedangkan 81.30 persen ibu merasakan dukungan yang rendah dari orang
spesial dan 59.4 persennya merasakan hal yang sama dari sahabat. Sementara
untuk ibu dengan anak usia SMP lebih dari setengah (78.60%) merasakan
dukungan yang tinggi dari sahabat, 42.90 persen ibu merasakan dukungan yang
sedang dari keluarga dan 75.50 persennya merasakan dukungan yang rendah dari
orang spesial. Hasil lain menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan dukungan sosial yang diterima ibu dengan anak usia SD dan SMP pada
keluarga bercerai (dijelaskan pada Lampiran 3 ).
Tabel 2 Nilai rata-rata, standar deviasi, dan koefisien perbedaan dukungan sosial
ibu
SD (n=32)
Rata-rata±SD
Orang spesial
41.670±16.800
Keluarga
80.210±17.680
Sahabat
52.600±15.030
Total
58.159±10.652
Ket : SD : Usia 7-11 tahun, SMP: Usia 12-15 tahun
Dukungan

SMP (n=28)
Rata-rata±SD
44.940±17.170
70.240±21.690
49.700±15.130
54.960±8.430

Sig. 2-tailed
.460
.058
.460
.200

Dukungan Sosial Anak
Dukungan sosial merupakan dukungan yang diterima anak dari orang tua,
teman sekelas, guru, dan sahabat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 84.4

15
persen anak usia SD merasakan dukungan yang tinggi dari orangtua dan 68.8
persennya merasakan dukungan yang tinggi dari guru. Setengah (50%) anak
merasakan dukungan yang sedang dari teman sekelas dan 59.40 persennya
merasakan hal yang sama dari sahabat mereka. Sementara untuk anak usia SMP,
tujuh dari sepuluhnya merasakan dukungan yang tinggi dari orangtua (78.60%)
dan guru. Setengah (50.00%) anak merasakan dukungan yang sedang dari teman
sekelas dan 42.90 persennya merasakan hal yang sama dari sahabat. Hasil ini
menunjukkan bahwa orang tua dan guru lebih mengerti dan memahami kondisi
anak pascaperceraian sehingga mereka cenderung memberikan dukungan yang
lebih besar kepada anak dibandingkan teman atau sahabat. Namun dalam hal ini
tidak ditemukan adanya perbedaan yang singnifikan antara dukungan sosial yang
diterima anak usia SD dan SMP (dijelaskan pada Lampiran 4).
Tabel 3 Nilai rata-rata, standar deviasi dan koefisien perbedaan dukungan sosial
anak
Dukungan
Orangtua
Teman
Guru
Sahabat
Total

SD (n=32)
Rata-rata±SD
85.160±16.630
61.980±23.750
75.940±21.830
64.320±23.780
71.848±10.487

SMP (n=28)
Rata-rata±SD
82.440±16.250
70.530±19.170
75.710±20.800
66.960±27.820
73.913±11.231

Sig. 2-tailed
.526
.128
.968
.696
.467

Gaya Pengasuhan
Gaya pengasuhan dimensi kehangatan terbagi menjadi dua kategori yakni
gaya pengasuhan penerimaan (acceptance) dan gaya pengasuhan penolakan
(rejection) (Rohner 1986). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lima dari sepuluh
(50.00%) anak usia SD mempersepsikan gaya pengasuhan affection pada kategori
sedang sebelum perceraian dan 59.40 persennya mempersepsikan pengasuhan
affection kategori tinggi setelah perceraian. Sementara untuk anak usia SMP,
lebih dari setengahnya mempersepsikan gaya pengasuhan affection kategori tinggi
baik sebelum (57.10%) maupun sesudah bercerai (64.30%). Lebih dari setengah
anak usia SD mempersepsikan pengasuhan penolakan dimensi hostility pada
kategori rendah sebelum (84.40%) dan sesudah perceraian (53.10%), sama halnya
dengan anak usia SMP yang lebih dari separuhnya mempersepsikan pengasuhan
penolakan dimensi hostility sebelum (71.40%) dan sesudah perceraian (67.90%).
Lebih dari separuh (71.90%) anak usia SD mempersepsikan gaya
pengasuhan penolakan dimensi neglected dalam kategori rendah sebelum
perceraian, namun separuh anak (50%) mempersepsikan pengasuhan yang sama
pada proporsi rendah dan sedang. Sementara untuk anak SMP, lebih dari
setengahnya (53.60%) mempersepsikan pengasuhan neglected pada kategori
rendah sebelum perceraian dan dengan proporsi yang sama mempersepsikan
pengasuhan neglected dalam kategori sedang setelah perceraian. Lebh dari
setengah anak usia SD maupun SMP mempersepsikan pengasuhan rejection
dalam kategori rendah baik sebelum maupun sesudah bercerai meskipun dengan
proporsi yang berbeda (dijelaskan pada Lampiran 5).
Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara persepsi pengasuhan anak usia SD dan SMP sebelum dan sesudah

16
perceraian. Perbedaan yang signifikan ditemukan pada persepsi pengasuhan
penolakan di ketiga