Aktivitas ekstrak mikroalga sebagai Inhibitor RNA helikase virus japanese encephalitis

ABSTRAK
MARCEL DAMIANUS. Aktivitas Ekstrak Mikroalga sebagai Inhibitor RNA
Helikase Virus Japanese Encephalitis. Dibimbing oleh SYAMSUL FALAH dan
DWI SUSILANINGSIH.
Virus japanese encephalitis merupakan agen penyebab penyakit radang saraf
pusat yang parah. Terapi target seluler merupakan salah satu cara penanggulangan
penyakit virus japanese encephalitis yang sedang dikembangkan. Ekstrak
mikroalga diduga memiliki kemampuan untuk menghambat virus japanese
encephalitis melalui mekanisme penghambatan NS3 helikase. Isolat mikroalga
yang digunakan berasal dari perairan Batam, Pari, dan Ciater. Masing-masing
isolat diekstraksi dengan 4 pelarut (metanol 80%, aseton 80%, heksan 80%, dan
etil asetat 80%) sehingga dihasilkan 101 isolat. Metode yang digunakan untuk
mengukur nilai inhibisi adalah kolorimetri ATPase assay, sedangkan uji toksisitas
dilakukan dengan metode Brine Shrimp Lethality Test. Hasil analisis
menunjukkan bahwa terdapat 5 ekstrak mikroalga yang memiliki aktivitas inhibisi
tertinggi yaitu CTR 07-09 etil asetat 80% (97,19331%), CTR 07-10 etil asetat
80% (95,61652%), CTR 07-01 etil asetat 80% (95,1661%), CTR 06-08 etil asetat
80% (94,54431%), dan CTR 07-07 etil asetat 80% (94,22955%). Kelima ekstrak
mikroalga tersebut kemudian diuji toksisitasnya untuk menghitung nilai LC50.
Hasilnya adalah ekstrak mikroalga CTR 06-08, CTR 07-09, dan CTR 07-10
bersifat tidak toksik, sedangkan ekstrak mikroalga CTR 07-01 dan CTR 07-07

bersifat toksik.

1

PENDAHULUAN
Penyakit Japanese encephalitis (JE)
merupakan salah satu penyakit infeksi yang
serius karena menyebabkan infeksi akut
sistem saraf pusat. Sekitar 30% dari pasien
yang sembuh masih mengalami kelumpuhan,
kerusakan otak, dan penyakit serius lainnya.
Penelitian vaksin telah dikembangkan sejak
tahun 1960, tetapi belum ditemukan obat yang
efektif untuk penanganan penyakit ini.
Penularan penyakit ini melalui perantara
nyamuk uex
l tieranoic
rnu
hs
dan daerah

penyebarannya di Asia terutama Asia
Tenggara. Daerah di Indonesia yang termasuk
endemik yaitu Kalimantan, Bali, Nusa
Tenggara, Sulawesi, Maluku, Papua, dan
Lombok. WHO mencatat di seluruh dunia
terdapat sekitar 50.000 orang terinfeksi
Japanese encephalitis virus (JEV) (Spicer
2006).
Virus japanese encephalitis termasuk
dalam genus flavivirus. Terapi untuk
menangani infeksi flavivirus hanya terbatas
pada vaksin dan belum dapat mengobati
penyakit secara efektif. Vaksin yang tersedia
untuk manusia hanya dari tiga jenis flavivirus
yaitu Yellow Fever Virus (YFV), JEV, dan
Tick-Borne Encephalitis Virus (TBEV) (Ray
& Shi 2006). Peneliti kesehatan berusaha
untuk mengembangkan dan mendapatkan
vaksin senyawa antivirus untuk mencegah dan
mengobati penyakit infeksi flavivirus secara

lebih efektif.
Beberapa upaya telah dilakukan untuk
menemukan obat penyakit yang disebabkan
oleh flavivirus, diantaranya yaitu pencarian
inhibitor enzim yang esensial pada replikasi
virus tersebut, seperti enzim protease,
helikase, dan polimerase (Borowski et ✁la
2001). Kebutuhan yang mendesak untuk
menemukan inhibitor yang selektif dan sangat
spesifik bagi replikasi flavivirus (Paeshuyse et
✁la 2006).
Banyak pendekatan telah dilakukan untuk
mendapatkan senyawa kemoterapi antivirus
diantaranya adalah dengan mendesain struktur
kristal tiga dimensi dari protein-protein viral
atau struktur sekunder/tersier dari genom
RNA viral, menapis sejumlah besar senyawa
yang berpotensi sebagai agen antivirus,
menguji larutan inhibitor yang telah dikenal
dari virus lain, memodifikasi secara kimiawi

inhibitor virus supaya fungsinya lebih
optimal, dan imunoglobulin intravenus (Ray
& Shi 2006). Pencarian inhibitor enzim RNA
helikase merupakan salah satu teknik untuk
mengembangkan pengobatan terhadap virus

tersebut sehingga menjadi salah satu target
penemuan obat antivirus.
Terapi yang waktu ini sedang berkembang
adalah terapi berdasarkan target seluler/
molekular. Salah satu yang sedang
dikembangkan adalah terapi inhibitor NS3
helikase yang berperan penting dalam siklus
hidup virus. NS3 helikase merupakan salah
satu target dalam terapi berdasarkan target
molekular selain NS2 dan NS3 protease,
NS5B RNA depndtenpoeylasrm
, ribozim,
dan oligonukleotida antisense.
Studi sebelumnya menjelaskan bahwa gen

helikase dari JEV telah berhasil dikloning ke
dalam
plasmid
pET-21b
(komponen
pembangunnya yaitu pET-21b/HCV NS3 hel
dan pET-21b/JEV NS3 hel). Enzim ini dapat
diekpresikan pada ✂✁ coil BL21(DE3)pLysS
s rp
oypl
β
-D
dengan
induksi
✄o
ihtoglc
atoypan
roisde
(IPTG) (Utama et ✁al
2000; Hatsu et ✁la

2002). Enzim murni
helikase dapat diperoleh melalui purifikasi
dari biakan ✂✁ coil BL21(DE3)pLysS dengan
menggunakan kromatografi afinitas. Enzim
akan digunakan sebagai substrat pencarian
senyawa inhibitor terhadap enzim tersebut.
Kinerja dari RNA helikase dapat dihambat
oleh suatu inhibitor yang dapat diperoleh dari
senyawa kimia, ekstrak tanaman, dan hasil
metabolit sekunder organisme tertentu yang
dihasilkan secara alami, misalnya dari
mikroalga. Mikroalga merupakan fitoplankton
yang hidup di air tawar maupun air laut.
Kandungan senyawa kimianya yang lengkap
selama ini sudah banyak dimanfaatkan
sebagai antibakteri, pengurangan akumulasi
(a
itnfouilng
), kosmetik, pewarna makanan
alami, antivirus, dan bahan bakar nabati.

Beberapa penelitian mikroalga sebagai
antivirus yang telah dilakukan adalah antivirus
terhadap virus herpes simpleks (HSV) yang
diperoleh dari Duleina iro
m
pec
l ta
, anti
pilanesp
talin
, dan
enterovirus dari isolat ☎riu
hium
sp.
anti retrovirus dari ✆ hoiyrpd
(Borowitzka & Lesley 1988).
Tujuan dari penelitian ini adalah menguji
aktivitas inhibisi ekstrak mikroalga terhadap
enzim RNA helikase virus japanese
encephalitis.

Hasil
pengujian
ekstrak
mikroalga yang memiliki aktivitas inhibisi
paling tinggi kemudian diuji toksisitasnya.
Hipotesis penelitian ini adalah beberapa
ekstrak mikroalga dari perairan laut Batam,
Pari, dan Ciater memiliki aktivitas untuk
menghambat RNA helikase virus japanese
encephalitis dan ekstrak mikroalga tersebut
bersifat tidak toksik. Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi tentang potensi

2

ekstrak mikroalga sebagai inhibitor RNA
helikase virus japanese encephalitis dan
mengetahui tingkat toksisitasnya.

TINJAUAN PUSTAKA

Japanese Encephalitis Virus (JEV)
(JEV) adalah
suatu virus yang dibungkus oleh protein
v
eno
el ep
(E) yang memiliki satu atau dua sisi
aktif yang terglikosilasi (Chambers et ✟la
1991). Glikosilasi pada protein E sangat
penting untuk konformasi alami dari epitop
protein tersebut (Lad et✟la
2000). Virus ini
memiliki diameter sekitar 50 nm, dan
termasuk dalam famili Flaviviridae. Virus ini
merupakan virus RNA positif, dengan genom
RNA utas tunggal dan panjang sekitar 11 kb.
Genom RNA tersebut ditranslasikan ke dalam
prekursor
poliprotein
tunggal

yang
selanjutnya diproses untuk menghasilkan tiga
protein struktural C (cipsad ), M (m
x
iart
), dan
E (ev
no
el ep
) yang membentuk viral kapsid
dan glikoprotein, serta tujuh protein non
struktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A,
NS4B, dan NS5) yang bertanggung jawab
dalam replikasi viral genomnya. Poliprotein
tersebut tersusun sebagai berikut: NH2-CPrM-E-NS1-NS2A-NS2B-NS3-NS4A-NS4BNS5-COOH. Pembungkus intinya berdiameter
sekitar 30 nm terdiri atas kapsid dan genom
RNA yang dikelilingi oleh suatu lipida lapis
ganda tempat pembungkus viral dan protein
membran terikat (Gambar 1) (Borowski et✟la
2001).

Virus japanese encephalitis
termasuk
famili virus Flaviviridae. Famili Flaviviridae
terdiri atas tiga genus, yaitu genus flavivirus,
pestivirus, dan hepacivirus. Genus flavivirus
terdiri atas lebih dari 70 jenis virus yang pada
umumnya ditularkan melalui perantaraan
nyamuk atau arthropoda. Genus flavivirus
diantaranya adalah virus demam berdarah
(DENV), Japanese Encephalitis Virus (JEV),
Tick-Borne encephalitis virus (TBEV),
Yellow Fever Virus (YFV), West Nile Virus
(WNV), Murray Valley Encephalitis Virus
(MVEV), dan St. Louis Encephalitis Virus
(SLEV).
npec
niteplhsavrius
✝✞esa

Gambar 1 Struktur
virus
japanese
encephalitis (Miller 2003).

Flavivirus merupakan patogen yang sangat
penting dan bertanggungjawab terhadap
banyak penyakit pada manusia dan hewan,
dan menyebabkan banyak kematian (Ray &
Shi 2006).
Infeksi flavivirus YFV dan DENV dapat
menyebabkan demam berdarah dan ensefalitis
serta kerusakan saraf otak (pada JEV, TBEV,
WNV, SLEV, dan MVEV). Pada umumnya
flavivirus yang paling mematikan yaitu JEV,
YFV, TBEV, dan DENV yang memiliki
tingkat mortalitas antara 5-30% (Ray & Shi
2006).
Protein-protein non struktural dalam
genom virus berperan dalam proses replikasi
virus. NS1 yang berinteraksi dengan NS4A
dibutuhkan untuk replikasi RNA (Lindenbach
& Rice 1997; Lindenbach & Rice 1999).
NS2A yang bersifat hidrofobik berfungsi
dalam perakitan virion dan pelepasan partikel
virus yang infeksius. NS2B membentuk suatu
kompleks dengan NS3 dan diperlukan sebagai
kofaktor bagi fungsi serin protease dari NS3
1991; Chambers etal ✟ 1993;
(Chambers et✟la
Falgout et ✟al
1993). Fungsi dari membran
yang berasosiasi antara NS4A dan NS4B
sampai saat ini belum diketahui. NS5 berperan
dalam aktivitas RNA-dependent RNA
polymerase (RdRp) dan metiltransferase. NS3
adalah suatu protein multifungsi yang
berperan dalam aktivitas enzimatik dari serin
protease dengan adanya NS2B, nukleotida
trifosfatase (NTPase), dan RNA helikase
2002; Borowski et✟la
2001;
(Bartelma et✟la
1999). Serin protease, NTPase, dan
Li et✟la
RNA helikase merupakan enzim yang sangat
penting karena berperan dalam proses
replikasi virus (Levin & Patel 1999; Borowski
et✟la 2003).
san✠c
neilha
stpVrius
(JEV) adalah
✝✞ ep
penyakit epidemik ensefalitis yang disebabkan
oleh virus yang paling banyak terjadi di dunia,
sebanyak 50.000 kasus dengan 15.000 orang
meninggal per tahunnya. Galur JEV prototipe
Nakayama pertama kali diisolasi pada tahun
1935. Kasus epidemis dan sporadis dari JEV
banyak terjadi di daerah yang mempunyai
empat iklim dan di daerah tropis di Asia,
diantaranya Kamboja, China, Indonesia, India,
Jepang, Malaysia, Myanmar, Nepal, Sri
Lanka, Thailand, Vietnam, bagian tenggara
1996). JEV
Rusia, dan Australia (Hanna et✟la
menimbulkan penyakit akut dengan tandatanda infeksi seperti sakit kepala, demam,
kejang, dan merupakan agen penyebab
penyakit radang saraf pusat seperti meningitis
dan ensefalitis yang parah dengan tingkat

3

mortalitas antara 20-30% (Borowski et ✡al
2001).
RNA Helikase
Enzim helikase adalah enzim yang terlibat
dalam hampir semua aspek metabolisme DNA
dan RNA. Pengetahuan mekanisme kerja dari
enzim-enzim telah mengalami kemajuan,
tetapi adanya resolusi yang terbatas
menyebabkan mekanisme rinci seperti
penataan ulang struktur asam nukleat hingga
pengikatan dan hidrolisis ATP yang dilakukan
pasangan enzim helikase ini tidak dapat
2006). Fungsi enzim
diketahui (Dumont et✡al
helikase adalah untuk membuka utas ganda
DNA atau RNA menjadi untai tunggal, dan
bergerak sepanjang untai nukleotida pada arah
3’ menuju 5’ (Gambar 2). Seluruh helikase
virus memiliki aktivitas NTP/ATPase yang
tergantung pada keberadaan NTP dan kation
divalen berupa Mg2+. Produk hidrolisis NTP
pada setiap pengkajian helikase adalah
NDP/ADP dan Pi (Fan et✡la
2008).
Enzim helikase diperlukan untuk proses
replikasi genom organisme tersebut. Enzim
helikase dapat dibagi menjadi DNA helikase
dan RNA helikase, sesuai dengan genom yang
dimiliki organisme tersebut. JEV yang
merupakan virus RNA memiliki RNA
helikase. Helikase bekerja secara katalitik
memisahkan untai ganda DNA atau RNA
menggunakan energi yang dihasilkan dari
hidrolisis nukleosida trifosfat dan merupakan
target pencarian obat karena dibutuhkan
dalam replikasi virus. (Utama et✡la 2000).

Gambar 2 Mekanisme kerja enzim RNA
helikase (Utama et✡la 2000).

Aktivitas NTP/ATP helikase secara umum
distimulasikan oleh keberadaan asam nukleat
untai tunggal. Hal ini memungkinkan enzim
berikatan dengan untai RNA dengan energi
yang dihasilkan dari hidrolisis ATP untuk
memisahkan ikatan hidrogen pasangan basa
dari struktur dupleks (Utama et✡la 2000).
Ikatan asam nukleat dapat menginduksi
konformasi protein yang terkarakterisasi
dengan pengembangan situs aktif dari domain
NTP/ATPase dari NTP/ATP. Aktivitas
NTP/ATPase tidak dapat distimulasi pada
kadar garam tinggi. Hal ini disebabkan
kondisi kekuatan ionik kuat asam nukleat
tidak dapat terikat dengan enzim dan enzim
membentuk konformasi untuk pelepasan
untaian. Mekanisme kerja enzim RNA atau
DNA helikase adalah pertama-tama helikase
akan mengikat untai RNA atau DNA utas
ganda pada ujung 3’, selanjunya ATP akan
berikatan pada suatu sisi aktif dari RNA atau
DNA helikase tersebut. Gugus ATP akan
dihidrolisis oleh enzim RNA atau DNA
helikase menjadi ADP dan fosfat inorganik.
Proses hidrolisis ini akan terlepas energi yang
kemudian digunakan oleh enzim RNA atau
DNA helikase untuk menguraikan utas ganda
RNA atau DNA menjadi utas tunggal RNA
atau DNA (Utama et✡al
2000).
Enzim helikase dapat mengurai RNA atau
DNA utas ganda melalui pemutusan ikatan
hidrogen yang mengikat kedua utas tersebut.
Reaksi ini berhubungan dengan hidrolisis
ATP, dimana energi yang dilepaskan selama
hidrolisis ATP dibutuhkan dalam proses
penguraian RNA atau DNA (Shuman 1992;
1998).
Wagner et✡la
Enzim helikase juga dapat berperan dalam
fungsi selular lainnya seperti membantu
proses
translasi,
mengkoordinasi
pembentukan poliprotein, memutus interaksi
RNA-protein, serta menyusun RNA di dalam
pembungkus viral (Lam & Frick 2006). Enzim
helikase juga memiliki aktivitas ikatan RNA
ning ) dan ATPase (R☛☞-situ
metald
(R☛☞ bid
T esa ), dan kedua aktivitas ini berpengaruh
☞✌
terhadap aktivitas RNA helikase. Enzim ini
menjadi
target
yang
potensial untuk
penemuan obat antivirus karena penemuan
inhibitor RNA helikase dapat dilakukan
dengan penemuan inhibitor terhadap aktivitas
R☛☞ bindig
n
atau ATPase (Utama et ✡al
2000). Beberapa penelitian tentang mutasi dan
penghambatan terhadap NS3 diperlukan untuk
propagasi virus, sehingga pengembangan
inhibitor efektif dari enzim helikase japanese
encephalitis virus adalah bagian penting
dalam strategi antiviral.

4

Mikroalga
Mikroalga
adalah
mikroorganisme
fotosintetik dengan morfologi sel yang
bervariasi,
baik
uniseluler
maupun
multiseluler (membentuk koloni kecil).
Sebagian besar mikroalga tumbuh secara
fototrofik, meskipun tidak sedikit jenis yang
mampu tumbuh secara heterotrofik. Ganggang
hijau-biru prokariotik (✍yanobc
aetair
) juga
termasuk dalam kelompok mikroalga (Becker
1994). Mikroalga sudah hidup sejak 3.6 juta
tahun lalu dalam siklus fotosintesis alamiah.
Mikroalga banyak ditemukan pada perairan
darat maupun laut, ukuran diameter antara 330 μm, tanpa akar, batang, dan daun. Biasanya
ditemukan hidup secara individual ataupun
berkelompok. Mikroalga bergerak secara pasif
dengan mengikuti arus air. Morfologi selnya
sangat bervariasi, baik bersel tunggal maupun
bersel banyak, Mikroalga juga memiliki
bentuk yang bervariasi seperti filamen atau
lembaran, spiral, dan bulat (Borowitzka &
Lesley 1988).
Mikroalga terbagi menjadi 11 kelompok,
yaitu
Cyanophyta
(alga
hijau-biru),
Prochlorophyta
(birgth
-genr
lagea
),
Glaucophyta (alga air tawar mikroskopis),
Rhodophyta (alga merah), Heterokontophyta
(alga coklat keemasan yang hidupnya
motil/bergerak aktif), Haptophyta (alga yang
memiliki organel unik bernama haptonema),
Cryptophyta (alga yang termasuk dalam
kelompok uniseluler yang unik dan tidak
memiliki kedekatan dengan kelompok alga
lainnya), Dinophyta (suatu kelompok besar
alga perairan yang berflagella), Euglenophyta
(organisme yang motil dan memiliki 1-3
flagella
di
bagian
anteriornya),
Chlorarachniophyta (kelompok kecil alga
yang biasanya ditemukan di laut tropis), dan
Chlorophyta (alga hijau) (Van Den Hoek etla .
2002).
Biomassa
mikroalga
mengandung
berbagai macam komposisi kimia, misalnya
protein, karbohidrat, pigmen (klorofil dan
karotenoid), asam amino, lipid, dan
hidrokarbon.
Mikroalga
mempunyai
kemampuan untuk mensintesis semua asam
amino, baik esensial maupun non esensial.
Karbohidrat yang dihasilkan dapat ditemukan
dalam bentuk pati, glukosa, gula, dan
polisakarida lainnya. Kandungan lipid dari
mikroalga sangat bervariasi berkisar antara
1%-90%. Lemak mikroalga pada umumnya
terdiri dari asam lemak tidak jenuh, seperti
linoleat, asam eikosapentanoat✎ dan asam
dokosaheksanoat. Mikroalga mengandung
lemak dalam jumlah yang besar terutama

asam arakidonat (AA) yang mencapai 36%
dari total asam lemak dan sejumlah asam
eikosapentaenoat (EPA). Lemak mikroalga
juga kaya akan asam lemak politidakjenuh
(PUFA) dengan 4 atau lebih ikatan rangkap.
Asam lemak yang sering dijumpai yaitu asam
ekosapantenoat (EPA, C20:5) dan asam
dokosaheksanoat (DHA, C22:6). Mikroalga
menghasilkan beberapa vitamin penting,
seperti vitamin A, B1, B2, B6, B12, C, E,
nikotinamida, biotin, asam folat, dan asam
pantotenat. Pigmen yang dihasilkan meliputi
klorofil (0.5% sampai 1% dari berat kering),
karotenoid (0.1% sampai 14% dari berat
kering), dan fikobiliprotein (Becker 1994).
Kandungan senyawa kimia mikroalga
tergantung pada spesies dan kondisi
pengulturan.
Pertumbuhan
mikroalga
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
salinitas, cahaya, suhu, derajat keasaman,
nitrogen, karbondioksida, dan nutrien. Kisaran
suhu 25oC-30oC merupakan kondisi umum
bagi pertumbuhan mikroalga. Derajat salinitas
bergantung pada tiap spesies mikroalga.
Cahaya
diperlukan bagi pertumbuhan
mikroalga dan berperan dalam proses
metabolisme sel seperti fotosintesis. Kisaran
derajat keasaman (pH) bervariasi mulai dari
pH 6-8 (Borowitzka & Lesley 1988).
Mikroalga dapat dimanfaatkan sebagai
bahan bakar nabati, kosmetik, antifouling,
pewarna makanan alami, sumber makanan
baru, dan dalam bidang kesehatan.
Pemanfaatan mikroalga dalam bidang
kesehatan meliputi antibakteri, antijamur, dan
antivirus. Mikroalga dapat digunakan sebagai
antibakteri pada bakteri Gram positif seperti ✏✑
✎u
aeu
rs
maupun Gram negatif seperti ✒✑ coil
aliusu
s btsil
(Becker 1994).
dan ✓ c
Pada tahap budidaya, perkembangbiakan
mikroalga meningkat 2.5 kali bila ke dalam
kolam airnya dipasok CO2, dibandingkan
hanya dengan aerasi atau suplai O2 (Boyer
1986). Hal ini berarti bahwa kultivasi
mikroalga berpeluang mengatasi masalah
lungkungan global karena selama ini CO2
menjadi gas pencemar dominan yang
menyebabkan efek rumah kaca penyebab
pemanasan global. Kultivasi mikroalga
memperhatikan kondisi fisika-kimia yang
terdiri atas nutrisi/medium kultur, cahaya, pH,
aerasi/pengadukan, suhu, dan salinitas
(Borowitzka & Lesley 1988).
Pertumbuhan beberapa isolat mikroalga
perairan laut Batam, Pari, dan Ciater diamati
dengan cara mengukur oc
itpladesytn
i
(OD)
pada panjang gelombang 680 nm. Pengukuran
OD dilakukan pada panjang gelombang 680

5

nm karena sampel mikroalga berwarna hijau
dan panjang gelombang yang spesifik untuk
warna tersebut adalah kisaran 680 nm. Dasar
pemakaian spektrofotometer ini adalah untuk
mengukur kerapatan optik dari suatu zat yang
berwarna (Borowitzka & Lesley 1988).
Lima fase pertumbuhan mikroalga, yaitu
fase lag, fase logaritma atau eksponensial, fase
stasioner, fase transisional, dan fase dteah
(kematian). Fase lag ditandai dengan ukuran
sel meningkat, namun kepadatan belum
bertambah; kultur mulai menyerap nutrien
yang terdapat pada medium kultur. Fase
logaritma atau eksponensial mempunyai ciri
sel bereproduksi dengan cepat. Pada fase
stasioner jumlah atau kepadatan populasi
kultur stabil, reproduksi seimbang dengan
kematian. Fase transisional ditandai dengan
laju pertumbuhan populasi kultur menurun.
Pada fase dteah
(kematian) kepadatan sel
menurun, laju kematian sel melebihi laju
pertumbuhan sel (Gambar 3) (Borowitzka &
Lesley 1988).
Media tumbuh mikroalga merupakan
media yang berisi komponen-komponen yang
dibutuhkan untuk pertumbuhannya. Mikroalga
dapat hidup dan bereplikasi karena adanya
bermacam-macam substrat yang terdiri atas
natrium, kalium, magnesium, kalsium, dan
unsur logam lain seperti besi, seng, tembaga,
dan kobalt yang terdapat dalam media. Media
tumbuh mikroalga yang digunakan dalam
penelitian ini termasuk media cair yaitu media
IMK (IMK-Ciater dan IMK-✔eaWerta
(SW))
yang terdiri atas larutan yang mengandung
bermacam-macam substrat yang dibutuhkan
mikroalga tersebut (Borowitzka & Lesley
1988).

Gambar 3 Kurva pertumbuhan mikroalga
(Borowitzka & Lesley 1988).

Pada media tumbuh mikroalga dilakukan
poses bubilng (pemasukan udara ke dalam
media) dengan diberi iaru
pm
p
yang bertujuan
agar mikroalga dalam keadaan selalu
tercampur dengan media (mikroalga tidak
mengendap di dasar media), selain itu proses
bubilng ini juga berfungsi sebagai sumber
CO2
bagi
pertumbuhan
mikroalga
(Borowitzka & Lesley 1988).
Toksisitas
Toksisitas merupakan suatu sifat relatif
dari senyawa kimia dan sejauh menyangkut
diri manusia secara langsung atau tidak
langsung. Toksisitas selalu menunjuk ke arah
berbahaya atas mekanisme biologi tertentu.
Uji toksikologi dapat dibagi menjadi dua
golongan, golongan pertama terdiri atas uji
toksisitas akut, uji toksisitas subkronis, dan uji
toksisitas kronis. Uji ini merupakan uji
toksikologi
yang
dirancang
untuk
mengevaluasi keseluruhan akibat umum suatu
senyawa
pada
hewan
eksperimental,
sedangkan golongan yang kedua dari uji
toksikologi (terdiri atas uji potensi, uji
teratogenik, uji reproduksi, uji mutagenik, uji
tumorigenisitas, dan uji perilaku) yang
merupakan uji yang dirancang untuk
mengevaluasi dengan rinci toksisitas spesifik.
Suatu senyawa kimia yang mampu
menimbulkan akibat yang jelas, seperti
misalnya kematian organismenya, atau sel
hewan itu sepenuhnya sembuh dalam periode
waktu tertentu, maka dosis atau kadar
senyawa kimia itu dapat dipilih agar dapat
menimbulkan akibat tersebut. Derajat
toksisitas dapat dibedakan menjadi sangat
toksik (LC50 < 30 µg/mL), toksik (LC50 301000 μg/mL) dan tidak toksik (LC50 > 1000
μg/mL) (Meyer et✕la 1982).
Artemia salina Leach
Hewan uji yang digunakan dalam metode
BSLT ini adalah ✖ietram ilans
Leach.
✖aietrmilsan
merupakan kelompok udangudangan dari kelas Branchiopoda. Mereka
berkerabat dekat dengan zooplankton lain
seperti Copepoda dan Daphnia (kutu air). ✖✕
ilans
hidup di danau-danau garam (berair
asin) yang ada di seluruh dunia. Udang ini
toleran terhadap selang salinitas yang sangat
luas, mulai dari hampir tawar sampai jenuh
garam. Secara alamiah salinitas perairan
tempat mereka hidup sangat bervariasi,
tergantung pada jumlah hujan dan penguapan
yang terjadi. Kadar garam kurang dari 6 ppt
(p
tar erp tau
han
sd
), telur artemia akan
tenggelam sehingga telur tidak bisa menetas.

6

Kondisi ini terjadi apabila air tawar banyak
masuk ke dalam perairan pada musim
penghujan. Kadar garam lebih dari 25 ppt,
telur akan tetap berada dakam kondisi
tersuspensi sehingga dapat menetas normal.
Secara
taksonomi
✗✘
✙ilan
diklasifikasikan menjadi ✚ni gdom (Animalia),
filum (Arthropoda), kelas (Branchiopoda),
ordo (Anostraca), famili (Artemiidae), genus
tr
), dan spesies (✗ ietram ilsan
).
(✗ aiem
Siklus hidup ✗✘ ilans
dapat dimulai dari
waktu penetasan kista atau telur. Kista akan
menetas menjadi embrio setelah 15-20 jam
dalam air dengan suhu 250C. Embrio ini masih
akan tetap menempel pada kulit kista selama
beberapa jam. Embrio akan menyelesaikan
perkembangannya kemudian berubah menjadi
naupili yang sudah bisa berenang bebas pada
fase ini. Awalnya naupili akan berwarna
jingga kecokelatan akibat masih mengandung
yang baru menetas tidak
kuning telur. ✗ ietram
akan makan karena mulut dan anusnya belum
terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam
menetas, ✗ etraim
akan mengganti kulit dan
memasuki tahap larva kedua. Dalam fase ini
mereka akan mulai makan dengan pakan
berupa mikroalga, bakteri, dan detritus
organik lainnya. Naupili akan berganti kulit
sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa
dalam waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata
berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian
pada kondisi yang tepat mereka dapat
mencapai ukuran sampai dengan 20 mm.
Kadar oksigen harus dijaga dengan baik
. ✗✘ ilsan
akan
untuk pertumbuhan ✗✘ ilsan
berwarna kuning atau merah jambu dengan
masukan oksigen yang baik. Warna ini bisa
berubah menjadi kehijauan apabila mereka
banyak mengonsumsi mikroalga. Apabila
kadar oksigen dalam air rendah dan air banyak
mengandung bahan organik, atau apabila
salinitas meningkat, ✗✘ ilsan
akan memakan
bakteria, detritus, dan sel-sel khamir (yeast).
Kondisi ini akan menyebabkan ✗etrim
a
memproduksi hemoglobin sehingga tampak
berwarna merah atau jingga. Apabila keadaan
ini terus berlanjut mereka akan mulai
memproduksi kista.
dapat ditetaskan secara
Kista ✗✘ ilans
optimal apabila syarat-syarat yang diperlukan
dapat dipenuhi, yaitu salinitas antara 20-30
ppt atau 1-2 sendok teh garam per liter air
tawar. Suhu air (26-28)0C. Penyinaran selama
penetasan untuk merangsang proses. Aerasi
yang cukup untuk menjaga oksigen terlarut
sekitar 3 ppm. Nilai pH 8.0 atau lebih, apabila
pH turun di bawah 7.0 dapat ditambahkan
Na2CO3 untuk menaikkan pH. Kepadatan

kista sekitar 2 gram per liter. Penetasan dapat
dilakukan pada semua jenis wadah.
Dekapsulasi dapat meningkatkan persentase
keberhasilan
penetasan
sampai
10%.
Dekapsulasi merupakan suatu proses untuk
menghilangkan lapisan terluar dari kista
artemia yang ”keras” (korion). Di samping itu
proses ini juga merupakan proses disinfeksi
terhadap kontaminan seperti bakteri dan jamur
(Meyer et✘la 1982).
Elektroforesis Gel SDS Poliakrilamid
Elektroforesis gel Sodium Dodesil Sulfat
(SDS) poliakrilamid adalah suatu teknik yang
banyak digunakan dalam bidang biokimia,
forensik, genetika, dan biologi molekuler
untuk memisahkan protein sesuai dengan
mobilitas elektroforesis mereka (fungsi dari
panjang rantai polipeptida atau bobot
molekul). Sampel elektroforesis gel SDS
memiliki muatan identik per satuan massa
akibat pengikatan sampel dengan SDS dan
sampel elektroforesis tersebut di fraksinasi
berdasarkan ukuran (Gam & Latiff 2005).
Prinsip
elektroforesis
gel
SDS
poliakrilamid adalah protein yang akan
dianalisis dicampur dengan SDS yang
merupakan sebuah deterjen anionik. Sodium
dodesil sulfat mendenaturasi struktur tersier,
sekunder
dan
ikatan
non-disulfida.
Elektroforesis
gel
SDS
poliakrilamid
menerapkan muatan negatif untuk setiap
protein dalam proporsi dengan massanya.
Pemanasan sampel pada suhu kurang lebih 60
ºC mengguncang molekul dan membantu SDS
untuk mengikat. Penanda berupa pewarna
dapat ditambahkan ke dalam larutan protein
untuk memungkinkan eksperimen dapat
melacak migrasi protein melalui gel selama
elektroforesis dijalankan. Pewarna berukuran
lebih kecil dibandingkan ukuran protein
(Jovanovic et✘la
2007).
Medan listrik diterapkan di seluruh gel
yang menyebabkan protein bermuatan negatif
bermigrasi menuju anoda. Setiap protein akan
bergerak berbeda melalui matriks gel. Protein
yang berbobot molekul kecil akan lebih
mudah melalui pori-pori pada gel, sedangkan
protein yang berbobot molekul lebih besar
akan memiliki lebih banyak kesulitan untuk
melewati pori-pori tersebut. Setelah waktu
yang telah ditentukan protein akan bermigrasi
berdasarkan ukuran; protein yang lebih kecil
akan bermigrasi jauh di bawah gel, sedangkan
yang lebih besar akan tetap lebih dekat ke titik
asal. Protein dapat dipisahkan berdasarkan
ukuran atau bobot molekul (Gam & Latiff
2005).

7

Pewarna yang digunakan dalam teknik ini
terdiri atas dua macam yaitu ✛ ooisaem
le
atau pewarna perak. Pewarna
✜tilnra✜u
le
biasanya dapat
✛ oo✜seiamiltran ✜u
mendeteksi sebuah band 50 ng protein.
Pewarnaan perak meningkatkan sensitivitas
pewarnaan biasanya 50 kali. Banyak variabel
yang dapat mempengaruhi intensitas warna.
Setiap
protein
memiliki
karakteristik
pewarnaan sendiri (Jovanovic et✢la 2007).

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan untuk
ekstraksi mikroalga adalah mikroalga yang
diisolasi dari perairan laut Batam (BTM 03,
BTM 04, BTM 11), perairan laut Pari (PARI
5), Ciater (CTR 06-01, CTR 06-02, CTR 0604, CTR 06-07, CTR 06-08, CTR 06-11, CTR
07-01, CTR 07-05, CTR 07-07, CTR 07-08,
CTR 07-09, CTR 07-10, dan CTR 07-12),
pelarut metanol 80%, aseton 80%, heksan
80%, etil asetat 80%, media IMK (NaNO3,
Na2HPO4, K2HPO4, NH4Cl, Fe-EDTA, MnEDTA,
Na2-EDTA,
ZnSO4.7H2O,
CoSO4.7H2O, Na2MoO4-H2O, CuSO4.5H2O,
H2SeO3, Thiamin HCl, Biotin, Vitamin B12,
MnCl2.4H2O), air laut, air Ciater, dan mili-Q.
Bahan-bahan yang digunakan untuk
ekspresi, pemurnian, dan pengujian inhibisi
RNA helikase JEV adalah bakteri ✣ c
s ec
ir iha
coil BL21 (DE3) pLysS yang membawa gen
NS3 RNA helikase virus japanese encephalitis
dalam plasmid 21b (koleksi Andi Utama,
Puslit Bioteknologi LIPI), media Luria
Bertani (LB), akuades, ampisilin, IPTG
(isopropil β-D-thiogalaktopiranoside), buffer
B (10 mM Tris HCl pH 8.5, 100 mM NaCl,
dan 0.25% Tween 20), resin Talon, dan buffer
elusi (400 mM imidazole dalam buffer B), 0.1
mM ATP (Adenosin trifosfat), 0.1 mM MOPS
(asam 4-morfolinopropana sulfonat), 1 mM
MgCl2, larutan hijau malachite, 2.3% polivinil
alkohol, amonium molibdat, natrium sitrat,
akuades, sukrosa, TEMED, akrilamid,
amonium persulfat, cooisam
eblirtanblue
,
dan marker protein 250 kDa untuk analisis
bobot molekul RNA helikase.
Bahan-bahan yang digunakan untuk uji
✜enir✤irpm
h✥ ytilheaesT
t
adalah air laut dan
telur ✦etraim ilsan
. Air laut digunakan
sebagai media pertumbuhan ✦✢ ilans
.
Alat-alat yang digunakan untuk ekstraksi
mikroalga adalah botol aqua 1 liter, neraca
analitik, peralatan gelas, pipa kapiler, iar
u
ppm , sonikator, evaporator, tabung ulir,

sentrifugasi, pipet volumetrik, sonikator, dan
ultrasentrifugasi Sorvall RC-26 plus.
Alat-alat yang digunakan untuk ekspresi,
pemurnian, dan pengujian inhibisi RNA
helikase
JEV
adalah
sonikator,
ultrasentrifugasi
Sorvall
RC-26
plus,
inkubator bergoyang, ipns down
, rotator,
tabung sentrifus, Erlenmeyer, 96-wle
microtiter (Nalge Nunc), pipet mikro, neraca
analitik, peralatan gelas, im
co
r letpa erader
(Multiscan EX Termo), pemanas plat, tabung
falcon, vial, dan elektroforesis kit.
Alat-alat yang digunakan untuk uji ✜rnie
adalah aerator,
✤ihrpm ✥ilhetay tesT
akuarium kecil, vial BSLT, lampu, dan pipet
mikro.
Metode Penelitian
Ekstraksi
Mikroalga
(Modifikasi
Kusmiyati & Agustini 2007)
Isolat mikrolaga dikulturkan selama 2-3
bulan. Hasil pengulturan dipanen dengan cara
disentrifugasi pada kecepatan 6000 rpm
selama 10 menit. Pelet diambil dan
ditambahkan dengan 10 mL mili-Q, dikocok,
lalu disentrifugasi kembali dengan kecepatan
6000 rpm selama 10 menit. Pelet diambil dan
ditambahkan dengan 10 mL mili-Q. Pelet
tersebut disonikasi selama 1 menit dan 1
menit istirahat dengan empat kali ulangan.
Hasil sonikasi dibagi menjadi empat dengan
volume yang sama rata dan diekstraksi dengan
pelarut metanol 80%, aseton 80%, heksan
80%, dan etil asetat 80%. Hasil ekstraksi
disentrifugasi pada kecepatan 6000 rpm
selama 10 menit untuk diambil supernatannya.
Supernatan tersebut merupakan ekstrak alga
yang akan dievaporasi pada suhu 50-60˚C
dalam keadaan vakum. Ekstrak alga hasil
evaporasi dipipet dan dimasukkan pada
tabung ulir kecil.
Ekspresi RNA Helikase Virus Japanese
Encephalitis (Utama et al. 2000)
Sebanyak 10 mL prekultur enzim
ditumbuhkan ke dalam 400 mL media LB.
Ampicilin dengan volume 400 µL dan
konsentrasi 100 mg/mL ditambahkan ke
dalam campuran prekultur dan media.
Campuran tersebut dikocok dengan kecepatan
150 rpm, suhu 37°C selama 30 menit serta
nilai OD 600 mencapai ± 0.3. Campuran
tersebut ditambahkan 0.3 M IPTG, kemudian
dikocok dengan kecepatan 150 rpm, suhu
37°C selama 3 jam hingga nilai OD 600
mencapai ±1.

8

Kultur enzim yang telah didapatkan
dimasukkan ke dalam tabung sentrifus. Kultur
tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 4000
rpm pada suhu 4ºC selama 10 menit. Pelet
yang didapatkan dicuci dengan media LB,
kemudian campuran pelet dan media tersebut
disentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm, suhu
4ºC selama 10 menit. Pelet yang dihasilkan
dari proses sentrifugasi disimpan pada suhu 20ºC.
Pemurnian RNA Helikase Virus Japanese
Encephalitis (Utama et al. 2000)
Pelet yang dihasilkan pada proses koleksi
pelet dicairbekukan (ferze
taw
h ) selama 30
menit dengan tiga kali ulangan. Hasil proses
pencairbekuan
tersebut
diresuspensi
menggunakan buffer B pH 8.5 (10 mM TrisHCl buffer pH 8.5, 100 mM NaCl, 0.25%
Tween 20). Campuran tersebut dipecah
menggunakan proses sonikasi selama 15
detik dengan tiga kali ulangan dan interval 1
menit dalam es, kemudian hasil sonikasi
tersebut disentrifugasi dengan kecepatan
10000 rpm selama 20 menit. Supernatan yang
diperoleh digunakan untuk tahap selanjutnya
yaitu purifikasi menggunakan kromatografi
afinitas resin TALON elatmf
afytin
.
Resin didapatkan melalui proses kalibrasi
dengan buffer B. Proses tersebut diawali
dengan pencampuran 400 μL resin BD-Talon
dengan 600 μL buffer B dalam tabung
Eppendorf. Campuran tersebut disentrifugasi
dengan kecepatan 3000 rpm selama 1 menit.
Larutan jenih berupa buffer B dari campuran
tersebut dibuang. Resin yang telah mengalami
kalibrasi dicampurkan dengan sampel
menggunakan rotator dalam lemari pendingin
(4ºC) selama 3 jam.
Campuran yang telah dihomogenisasi
disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm
selama 7 menit. Supernatan yang dihasilkan
(ienrvoluem
) disimpan pada suhu 4ºC untuk
dianalisis dengan menggunakan elektroforesis
gel SDS-poliakrilamid (SDS PAGE). Pelet
yang didapat (resin bid
nnig ) diresuspensi
dengan 15 mL larutan buffer B dan
disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm
pada suhu 4ºC selama 5 menit. Supernatan
yang diperoleh dari pencucian dengan buffer
B (wnisg
a
h
1) kemudian dikoleksi sebanyak
100 μL untuk dianalisis SDS PAGE,
kemudian pelet yang dihasilkan diresuspensi
kembali dengan 5 mL buffer B dan
disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm
selama 5 menit. Supernatan yang diperoleh
dari pencucian dengan buffer B (wih
ansg
2)

kemudian dikoleksi sebanyak 100 μL untuk
dianalisis SDS PAGE.
Resin yang merupakan hasil pencucian
kedua dielusi dengan menambahkan buffer
elusi pH 8.5 (400 mM imidazol dalam buffer
B) dan diinkubasi dengan rotator di lemari
pendingin selama 1 malam. Sampel kemudian
disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm
selama 7 menit pada suhu 4ºC. Supernatan
yang dihasilkan mengandung enzim dan
dipindahkan ke dalam tabung Eppendorf yang
baru dan steril dan disimpan pada lemari
pendingin dengan suhu 4ºC.
Pengujian Inhibisi RNA Helikase Virus
Japanese Encephalitis (Utama et al. 2000)
Pengujian aktivitas inhibisi enzim helikase
virus japanese encephalitis dengan sampel
ekstrak mikroalga menggunakan uji ATPase
kolorimetri. Pengujian ini dapat mengukur
jumlah fosfat bebas yang dilepaskan dari
hidrolisis senyawa ATP menjadi ADP.
Metode ini diawali dengan pembuatan master
mix yang terdiri dari 38.5 μL akuades steril,
5.0 µL 0.1 mM MOPS, 0.5 μL 0.1 M MgCl2,
dan 1 μL 0.1 M ATP.
Pengujian kolorimetri ATPase assay
dibagi atas tiga bagian, yaitu: (a) campuran
reaksi (m
etsa
rx
im
) sebanyak 50 µL dengan 3
kali ulangan; (b) campuran reaksi (master
mix) dan enzim sebanyak 50 µL dengan 3 kali
ulangan; (c) campuran reaksi (master mix),
enzim, dan pelarut ekstraksi sebanyak 50 µL
dengan 3 kali ulangan; dan (d) campuran
reaksi (m
etsa
r x
im
), enzim, dan sampel
sebanyak 50 µL dengan 3 kali ulangan,
kemudian proses inkubasi dilakukan selama
45 menit pada suhu ruang. Saat 15 menit
sebelum waktu inkubasi habis, dibuat
pewarna.
Pewarna terdiri dari akuades, 0.081%
lc
amihet gern
, 2.3% polivinil alkohol, dan
5.7%
amonium
molibdat
dengan
perbandingan 2:2:1:1. Sebanyak 100 µL
pewarna dimasukkan ke dalam masingmasing sumur. Larutan tersebut diinkubasi
lagi selama 5 menit. Setelah waktu inkubasi
habis, sebanyak 25 μL natrium sitrat
ditambahkan ke dalam c
imo
r erti letpa
untuk
menghentikan reaksi warna. Larutan tersebut
diukur absorbansinya dengan panjang
gelombang 620 nm dan panjang gelombang
405 nm sebagai referensi. Satu unit aktivitas
RNA helikase virus japanese encephalitis
adalah jumlah mol fosfat bebas (Pi) yang
terhidrolisis dari ATP per menit per mg
protein.

9

Uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
(Modifikasi Nurhayati et al. 2006)
Leach
Sebanyak 0.1 g telur ✧etraimilans
ditumbuhkan ke dalam 500 mL air laut selama
48 jam. Stok larutan ekstak alga sebanyak 500
mg dilarutkan dalam 50 mL air laut sehingga
volumenya menjadi 50,31 mL. Konsentrasi
larutan yang digunakan 0 ppm (kontrol);
9,938 ppm; 99,384 ppm; 198,768 ppm;
500,232 ppm; dan 1000,464 ppm. Air laut dan
ekstrak alga yang dimasukkan ke dalam vial
BSLT menggunakan rumus perhitungan
V1xM1=V2xM2. Nilai Molaritas 1 (M1)
sebesar 9938,382 ppm (stok konsentrasi alga).
Larutan konsentasi 9,938 ppm, sebanyak
2.997 mL air laut ditambahkan dengan 3 µL
ekstrak alga dimasukkan ke dalam vial BSLT,
dan dimasukkan 10 ekor ✧ aietrmilsan
.
Sebanyak 2.97 mL air laut ditambahkan
dengan 30 µL ekstrak alga dimasukkan ke
dalam vial BSLT dan dimasukkan 10 ekor
✧ aietrm lanis
untuk pengujian toksisitas
dengan konsentrasi 99,384 ppm. Larutan
konsentrasi 198,768 ppm, sebanyak 2.94 mL
air laut ditambahkan dengan 60 µL ekstrak
alga dimasukkan ke dalam vial BSLT, dan
dimasukkan 10 ekor ✧ietramilsan
. Sebanyak
2.849 mL air laut ditambahkan dengan 151 µL
ekstrak alga dimasukkan ke dalam vial BSLT
dan dimasukkan 10 ekor ✧ aietrm ilans
untuk pengujian toksisitas dengan konsentrasi
500,232 ppm. Larutan konsentasi 1000,464
ppm, sebanyak 2.698 mL air laut ditambahkan
dengan 302 µL ekstrak alga dimasukkan ke
dalam vial BSLT, dan dimasukkan 10 ekor
✧ aietrmanils
. Pengamatan dilakukan setelah
48 jam dengan menghitung jumlah larva yang
mati dari total larva yang dimasukkan ke
dalam vial. Pengamatan memakai bantuan
lampu neon. Pengolahan data persen
mortalitas dan log konsentrasi digunakan
untuk menghitung nilai LC50 dan regresi
kematian.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kultivasi dan Ekstraksi Mikroalga
Isolat mikroalga yang digunakan berasal
dari perairan laut Batam, Pari, Ciater.
Semuanya berjumlah 17 isolat. Isolat ini dipih
karena diduga bahwa mikroalga ini memiliki
senyawa aktif yang memiliki potensi untuk
menginhibisi kerja RNA helikase virus
japanese encephalitis. Senyawa aktif tersebut
diduga berupa senyawa protein. Masingmasing isolat mikroalga diekstraksi dengan
pelarut metanol 80%, aseton 80%, heksan
80%, dan etil asetat 80%. Keempat pelarut ini

adalah pelarut umum yang digunakan dalam
bidang biokimia. Sifat dari pelarut metanol
dan aseton adalah polar, sedangkan pelarut etil
asetat bersifat semipolar. Untuk pelarut
heksan bersifat nonpolar. Hasil ekstraksi
dengan pelarut heksan 80% dan etil asetat
80% menghasilkan dua fase, yaitu fase polar
dan nonpolar. Kedua fase tersebut dipisahkan
sehingga keseluruhan isolat yang akan diuji
berjumlah 101 isolat.
Semua isolat tersebut ditumbuhkan dalam
media IMK. Mikroalga yang berasal dari laut
Pari dan laut Batam menggunakan media
IMK-Sea Water (IMK-SW) sebagai media
tumbuhnya, sedangkan mikroalga yang
berasal dari Ciater menggunakan media IMKCiater. Lamanya pengkulturan mikroalga
bervariasi tergantung dari laju pertumbuhan
masing-masing
mikroalga.
Dalam
pengkulturan mikroalga, diukur juga nilai OD
dan banyaknya biomassa (Lampiran 7).
Rendemen dari biomassa mikroalga tidak
dihitung karena ekstrak mikroalga yang diuji
berupa larutan atau cairan.
Mikroalga tersebut dapat dipanen apabila
kurva pertumbuhannya telah mencapai fase
stasioner. Hal ini menunjukkan bahwa
pertumbuhan mikroalga sudah mencapai
puncaknya. Dilihat dari kurva pertumbuhan
yang
diperoleh,
menunjukkan
bahwa
mikroalga BTM 04 dan BTM 11 memiliki
waktu yang lebih singkat untuk mencapai fase
stasioner karena hanya membutuhkan waktu
sampai dengan 42 hari, sedangkan untuk
mikroalga PARI 5, CTR 06-01, CTR 06-02,
CTR 06-04, dan CTR 07-01 memiliki waktu
yang lebih panjang untuk mencapai fase
stasioner karena membutuhkan waktu sampai
dengan 134 hari.
Ekstrak mikroalga yang diuji aktivitivitas
inhibisinya berjumlah 101 isolat. Semuanya
diuji aktivitas inhibisi untuk mengetahui
seberapa besar potensi yang dimiliki ekstrak
mikroalga tersebut untuk menginhibisi kerja
RNA helikase virus japanese encephalitis
(Lampiran 8-Lampiran 16).
Ekspresi dan Pemurnian RNA Helikase
Virus Japanese Encephalitis
Ekspresi RNA helikase virus japanese
encephalitis dilakukan untuk mendapatkan
RNA helikase virus japanese encephalitis
yang dihasilkan oleh bakteri ★ c
s erc
h
i ihacoli
BL21 (DE3)pLysS sebagai inang dari hasil
kloning gen NS3 JEV (Utama et✩la
2000).
s rp
oylp
-β -DPenambahan
✪o
ihtoglc
atoypan
roisde
(IPTG) bertujuan untuk
menginduksi ekspresi enzim pada fase

9

Uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
(Modifikasi Nurhayati et al. 2006)
Leach
Sebanyak 0.1 g telur ✫etraimilans
ditumbuhkan ke dalam 500 mL air laut selama
48 jam. Stok larutan ekstak alga sebanyak 500
mg dilarutkan dalam 50 mL air laut sehingga
volumenya menjadi 50,31 mL. Konsentrasi
larutan yang digunakan 0 ppm (kontrol);
9,938 ppm; 99,384 ppm; 198,768 ppm;
500,232 ppm; dan 1000,464 ppm. Air laut dan
ekstrak alga yang dimasukkan ke dalam vial
BSLT menggunakan rumus perhitungan
V1xM1=V2xM2. Nilai Molaritas 1 (M1)
sebesar 9938,382 ppm (stok konsentrasi alga).
Larutan konsentasi 9,938 ppm, sebanyak
2.997 mL air laut ditambahkan dengan 3 µL
ekstrak alga dimasukkan ke dalam vial BSLT,
dan dimasukkan 10 ekor ✫ aietrmilsan
.
Sebanyak 2.97 mL air laut ditambahkan
dengan 30 µL ekstrak alga dimasukkan ke
dalam vial BSLT dan dimasukkan 10 ekor
✫ aietrm lanis
untuk pengujian toksisitas
dengan konsentrasi 99,384 ppm. Larutan
konsentrasi 198,768 ppm, sebanyak 2.94 mL
air laut ditambahkan dengan 60 µL ekstrak
alga dimasukkan ke dalam vial BSLT, dan
dimasukkan 10 ekor ✫ietramilsan
. Sebanyak
2.849 mL air laut ditambahkan dengan 151 µL
ekstrak alga dimasukkan ke dalam vial BSLT
dan dimasukkan 10 ekor ✫ aietrm ilans
untuk pengujian toksisitas dengan konsentrasi
500,232 ppm. Larutan konsentasi 1000,464
ppm, sebanyak 2.698 mL air laut ditambahkan
dengan 302 µL ekstrak alga dimasukkan ke
dalam vial BSLT, dan dimasukkan 10 ekor
✫ aietrmanils
. Pengamatan dilakukan setelah
48 jam dengan menghitung jumlah larva yang
mati dari total larva yang dimasukkan ke
dalam vial. Pengamatan memakai bantuan
lampu neon. Pengolahan data persen
mortalitas dan log konsentrasi digunakan
untuk menghitung nilai LC50 dan regresi
kematian.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kultivasi dan Ekstraksi Mikroalga
Isolat mikroalga yang digunakan berasal
dari perairan laut Batam, Pari, Ciater.
Semuanya berjumlah 17 isolat. Isolat ini dipih
karena diduga bahwa mikroalga ini memiliki
senyawa aktif yang memiliki potensi untuk
menginhibisi kerja RNA helikase virus
japanese encephalitis. Senyawa aktif tersebut
diduga berupa senyawa protein. Masingmasing isolat mikroalga diekstraksi dengan
pelarut metanol 80%, aseton 80%, heksan
80%, dan etil asetat 80%. Keempat pelarut ini

adalah pelarut umum yang digunakan dalam
bidang biokimia. Sifat dari pelarut metanol
dan aseton adalah polar, sedangkan pelarut etil
asetat bersifat semipolar. Untuk pelarut
heksan bersifat nonpolar. Hasil ekstraksi
dengan pelarut heksan 80% dan etil asetat
80% menghasilkan dua fase, yaitu fase polar
dan nonpolar. Kedua fase tersebut dipisahkan
sehingga keseluruhan isolat yang akan diuji
berjumlah 101 isolat.
Semua isolat tersebut ditumbuhkan dalam
media IMK. Mikroalga yang berasal dari laut
Pari dan laut Batam menggunakan media
IMK-Sea Water (IMK-SW) sebagai media
tumbuhnya, sedangkan mikroalga yang
berasal dari Ciater menggunakan media IMKCiater. Lamanya pengkulturan mikroalga
bervariasi tergantung dari laju pertumbuhan
masing-masing
mikroalga.
Dalam
pengkulturan mikroalga, diukur juga nilai OD
dan banyaknya biomassa (Lampiran 7).
Rendemen dari biomassa mikroalga tidak
dihitung karena ekstrak mikroalga yang diuji
berupa larutan atau cairan.
Mikroalga tersebut dapat dipanen apabila
kurva pertumbuhannya telah mencapai fase
stasioner. Hal ini menunjukkan bahwa
pertumbuhan mikroalga sudah mencapai
puncaknya. Dilihat dari kurva pertumbuhan
yang
diperoleh,
menunjukkan
bahwa
mikroalga BTM 04 dan BTM 11 memiliki
waktu yang lebih singkat untuk mencapai fase
stasioner karena hanya membutuhkan waktu
sampai dengan 42 hari, sedangkan untuk
mikroalga PARI 5, CTR 06-01, CTR 06-02,
CTR 06-04, dan CTR 07-01 memiliki waktu
yang lebih panjang untuk mencapai fase
stasioner karena membutuhkan waktu sampai
dengan 134 hari.
Ekstrak mikroalga yang diuji aktivitivitas
inhibisinya berjumlah 101 isolat. Semuanya
diuji aktivitas inhibisi untuk mengetahui
seberapa besar potensi yang dimiliki ekstrak
mikroalga tersebut untuk menginhibisi kerja
RNA helikase virus japanese encephalitis
(Lampiran 8-Lampiran 16).
Ekspresi dan Pemurnian RNA Helikase
Virus Japanese Encephalitis
Ekspresi RNA helikase virus japanese
encephalitis dilakukan untuk mendapatkan
RNA helikase virus japanese encephalitis
yang dihasilkan oleh bakteri ✬ c
s erc
h
i ihacoli
BL21 (DE3)pLysS sebagai inang dari hasil
kloning gen NS3 JEV (Utama et✭la
2000).
s rp
oylp
-β -DPenambahan
✮o
ihtoglc
atoypan
roisde
(IPTG) bertujuan untuk
menginduksi ekspresi enzim pada fase

10

logaritmik hingga fase stasioner ( Utama et✯la
2000).
Setelah penginduksian ekspresi enzim
dilakukan pengoleksian pelet. Pengoleksian
pelet tersebut berguna untuk stabilitas
s erc
ihiha coil
yang
penyimpanan bakteri ✰ c
telah diinduksi dan mengekspresikan gen NS3
helikase untuk pengujian selanjutnya.
Pemurnian RNA helikase virus japanese
encephalitis dilakukan untuk mendapatkan
RNA helikase virus japanese encephalitis
yang murni dari hasil ekspresi gen NS3
helikase japanese encephalitis yang telah
diklonkan dalam bakteri BL21(DE3)pLysS
sehingga dapat digunakan dalam penentuan
aktivitas inhibisi.
Hasil SDS PAGE menunjukkan pita
tunggal pada elusi 2 yang menunjukkan
bahwa pemurnian RNA helikase japanese
encephalitis berhasil. Bobot molekul dari
RNA helikase virus japanese encephalitis
adalah 54 kDa. Berdasarkan data Rf yang
diperoleh dari hasil elusi, didapatkan nilai Rf
sampel yang sesuai dengan Rf standar yaitu
sebesar 0,216. Hal ini berarti bahwa hasil
yang diperoleh sesuai dengan literatur yang
melaporkan bahwa bobot molekul RNA
helikase virus japanese encephalitis memiliki
bobot molekul 54 kDa (Utama et✯la 2000).
Tujuan menganalisis sampel dengan SDS
PAGE adalah agar yakin bahwa enzim yang
diperoleh dari hasil ekspresi dan purifikasi
merupakan RNA helikase virus japanese
encephalitis. Sampel yang dianalisis dengan
SDS PAGE terdiri dari enri vo
luem
(supernatan hasil sentrifugasi dengan resin
talon), wih
ansg
1 (supernatan hasil sentrifigasi
dengan buffer B), elusi 1, elusi 2, elusi 3,
resin, dan marker (Gambar 4).

250 k Da
kkDa
150 kDa
100 kDa
75 kDa
54 kDa

50 kDa

Gambar 4 SDS PAGE RNA helikase
virus japanese encephalitis (IV: ✱ ernvou
l em
,
W: Wisg
h
an
, E: Elusi, RE: Resin, M: Marker).

Proses purifikasi RNA helikase japanese
encephalitis diawali dengan proses pemecahan
sel yang terdiri atas dua metode yaitu
pencairbekuan
dan
sonikasi.
Proses
pencairbekuan dalam pemurnian RNA
helikase japanese encephalitis bertujuan untuk
memecah sel bakteri ✰ scc
ierhiha coil
BL21(DE3)pLysS karena RNA helikase JEV
bersifat intraseluler. Sonikasi merupakan
tahapan selanjutnya dari proses pemecahan
sel. Proses sentrifugasi yang dilakukan pada
tahapan setelah pemecahan sel bertujuan
memisahkan antara supernatan dengan sel
debris dari hasil pemecahan sel. Supernatan
yang mengandung beberapa komponen
intraseluler dikoleksi sebagian untuk proses
identifikasi dengan menggunakan SDS PAGE
sehingga dapat dilihat hasil proses pemurnian
RNA helikase japanese encephalitis.
Kromatografi afinitas metal amobilisasi
merupakan tahapan purifikasi RNA helikase
selanjutnya. Proses ini menggunakan resin
TALON etm
la f
afiytn
yang secara spesifik
dapat menangkap enzim yang memiliki Histag. RNA helikase yang telah terekspresi
dalam bakteri ✰ c
s eh
c
ir ia coil
BL21 ini
memiliki karakteristik yaitu label 6xHis-tag
sehingga dapat terikat secara spesifik oleh
resin TALON etlam affinyt
. Pengikatan
residu His dilakukan oleh logam Co2+ yang
terdapat dalam resin TALON. Penanda yang
terdapat pada enzim RNA helikase yaitu
ujung His dilakukan pada saat konstruksi gen
NS3 yang akan disisipkan pada ✰✯ coil . Proses
pengikatan resin terhadap RNA helikase
japanese encephalitis menggunakan proses
rotasi dan sentrifugasi sehingga pengikatan
resin dengan enzim tersebut dapat diperoleh
secara maksimal. Penambahan buffer B pH
8.5 (10 mM Tris-HCl buffer pH 8.5, 100 mM
NaCl, 0.25% Tween 20) dilakukan untuk
memisahkan antara enzim RNA helikase
dengan komponen intraseluler lainnya.
Pengoleksian sebagian kecil hasil pemisahan
tersebut disimpan untuk identifikasi dengan
menggunakan SDS PAGE.
Proses pemisahan tersebut dilakukan 2 kali
untuk mendapatkan RNA helikase japanese
encephalitis yang murni dari komponen
intraseluler lainnya. Penambahan buffer elusi
pH 8.5 (imidazol dalam buffer B) berfungsi
sebagai eluen dalam proses elusi RNA
helikase japanese encephalitis yang berikatan
dengan resin. Imidazol yang merupakan
komponen penyusun buffer tersebut berfungsi
sebagai analog pengganti residu His enzim
yang diikat oleh logam Co2+, sehingga resin
tersebut akan memutus ikatannya dengan

11

Pengukuran Aktivitas Inhibisi Ekstrak
Mikroalga terhadap RNA Helikase
Ekstrak mikroalga dengan pelarut metanol
80%, nilai inhibisi yang paling tinggi adalah
isolat CTR 07-09 sebesar 32.503% (Gambar
5). Hal ini berarti bahwa ekstrak mikroalga
tersebut
memiliki
kemampuan
untuk
menghambat RNA helikase virus japanese
encephalitis sebesar 32.503%. Nilai inhibisi
ini merupakan nilai yang murni karena nilai
tersebut sudah dikurangi dengan kontrol
negatif berupa pelarut metanol 80% (pelarut
ekstraksi). Penggunaan kontrol negatif
bertujuan untuk mengetahui apakah pelarut
yang
digunakan
dalam
mengekstrak
mikroalga berpengaruh atau tidak dalam
menginhibisi RNA helikase. Dari hasil ini
dapat dikatakan secara umum bahwa ekstrak
mikroalga dengan pelarut metanol 80%
memiliki potensi yang r