Optimasi Pemurnian Polisakarida dari Mikroalga BTM 11 sebagai Inhibitor RNA Helikase Virus Hepatitis C

(1)

HELIKASE VIRUS HEPATITIS C

AKSAR CHAIR LAGES

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

RINGKASAN

AKSAR CHAIR LAGES. C34080078. Optimasi Pemurnian Polisakarida dari Mikroalga BTM 11 sebagai Inhibitor RNA Helikase Virus Hepatitis C. Dibimbing oleh IRIANI SETYANINGSIH dan APON ZAENAL MUSTOPA.

Infeksi virus Hepatitis C (HCV) merupakan penyebab utama penyakit hati kronis di seluruh dunia. Pengobatan yang dilakukan terhadap penderita hepatitis C selama ini adalah melalui terapi dengan pemberian interferon yang dikombinasikan dengan ribavirin. Pengobatan ini masih belum optimal, memerlukan biaya yang mahal dan dapat memberikan efek samping.Usaha dalam menemukan obat HCV terus dilakukan dengan mencari unsur antiviral yang melawan virus dengan cara menghambat enzim yang berperan dalam proses replikasi virus HCV, yaitu RNA helikase. Inhibitor enzim RNA helikase dapat diperoleh dari hasil metabolit mikroalga, salah satunya adalah polisakarida. Mikroalga BTM 11 yang diekstraksi menggunakan metanol 80% memiliki aktivitas penghambatan terhadap RNA helikase HCV sebesar 80% (dilusi 5x). Namun, diperlukan teknik pemurnian polisakarida yang terbaik dalam menghasilkan aktivitas inhibisi yang maksimal. Oleh karena itu, perlu adanya optimasi dalam pemurnian polisakarida mikroalga BTM 11.

Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui teknik pemurnian terbaik dari polisakarida mikroalga BTM 11 sebagai inhibitor RNA helikase virus hepatitis C, (2) mengetahui kandungan gula dari polisakarida inhibitor termurnikan, dan (3) mengetahui profil senyawa polisakarida inhibitor yang paling aktif. Tahap satu yaitu preparasi RNA helikase HCV yang meliputi (1) ekspresi RNA helikase dengan cara menumbuhkan bakteri E.coli BL21 (DE3) pLysS yang membawa gen NS3 RNA helikase HCV dalam plasmid pET 21b, (2) pemurnian RNA helikase yang telah terekspresi pada sel bakteri menggunakan kromatografi afinitas. Tahap dua meliputi (1) kultivasi mikroalga BTM 11 dalam media IMK-Sea Water pada suhu ruang dengan pencahayaan 4800 lux, (2) ekstraksi polisakarida dari biomassa mikroalga BTM 11. Penelitian tahap tiga meliputi (1) pemurnian ekstrak polisakarida menggunakan teknik kromatografi gel filtrasi dan kromatografi ion-exchange, (2) penentuan profil senyawa polisakarida inhibitor yang paling aktif menggunakan kromatografi lapis tipis dan kromatografi cair kinerja tinggi.

Hasil analisis enzim dengan SDS-PAGE menunjukkan pita tunggal yang tebal berukuran 54 kDa, sehingga dapat dikatakan RNA helikase telah terpurifikasi, dan dapat digunakan dalam pengujian aktivitas ATPase secara in vitro. Sebanyak 25 fraksi yang dikoleksi dari kromatografi gel filtrasi, menghasilkan fraksi aktif pada fraksi ke-13 dengan nilai penghambatan terhadap RNA helikase sebesar 78,76% dengan kandungan gula sebesar 2,97 mg/mL. Fraksinasi menggunakan kromatografi ion-exchange menghasilkan 30 fraksi dengan aktivitas tertinggi sebesar 74,6% terdapat pada fraksi ke-10, dan kandungan gula sebesar 3,21 mg/mL. Hasil KLT menunjukkan satu spot senyawa aktif pada fraksi ke-13 kromatografi gel filtrasi. Hasil KCKT menunjukkan 3 puncak terdeteksi pada fraksi polisakarida dengan retention time (RT) 4,072; 4,706 dan 5,530.


(3)

HELIKASE VIRUS HEPATITIS C

AKSAR CHAIR LAGES

C34080078

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(4)

11 Sebagai Inhibitor RNA Helikase Virus Hepatitis C

Nama : Aksar Chair Lages

NRP : C34080078

Departemen : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Iriani Setyaningsih, MS A. Zaenal Mustopa, M.Si NIP.19600925 198601 2 001 NIP. 19770412 200502 1 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. RuddySuwandi, MS, MPhil. NIP. 19580511 198503 1 002


(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Optimasi Pemurnian Polisakarida dari Mikroalga BTM 11 Sebagai Inhibitor RNA

Helikase Virus Hepatitis C” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor , September 2012

Aksar Chair Lages


(6)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 27April 1989. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Abdul Chair Husain dan Linda Riau Rita.

Penulis memulai jenjang pendidikan formal di SD Hang Tuah 5 Jakarta Utara (1995-2001), selanjutnya meneruskan pendidikan di SMP Negeri 1 Ternate (2001-2004). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 6 Bekasi (2004-2007). Tahun 2008, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, pada Fakultas Perikanan Ilmu Kelautan, Departemen Teknologi Hasil Perairan melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri).

Penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FPIK sebagai staf Komisi Internal periode 2009-2010, dan staf Komisi Advokasiperiode 2010-2011, staf Badan Pekerja Bidang Konstitusi Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (MPM KM IPB) periode 2010-2011. Penulis juga aktif menjadi panitia dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan di Institut Pertanian Bogor. Prestasi yang pernah diraih penulis diantaranya adalah menjadi delegasi dalam Pekan Ilmiah Nasional (PIMNAS) XXIV (2011) di Makassar dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Penelitian.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Optimasi Pemurnian Polisakarida dari

Mikroalga BTM 11 Sebagai Inhibitor RNA Helikase Virus Hepatitis C”


(7)

Ucapan syukur penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT, atas karunia-Nya yang berlimpah, yang membuat penulis sanggup menyelesaikan skripsi yang berjudul “Optimasi Pemurnian Polisakarida dari Mikroalga BTM 11 Sebagai

Inhibitor RNA Helikase Virus Hepatitis C”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada: 1 Dr. Ir. IrianiSetyaningsih, MS dan Apon Zaenal Mustopa, M.Si. selaku

komisi pembimbing yang telah banyak membimbing dan memberikan saran sehingga penelitian dan penulisan skripsi dapat berjalan dengan baik.

2 Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji atas segala saran, kritik, arahan, perbaikan dan motivasinya, serta ilmu yang telah diberikan.

3 Keluarga besar Laboratorium Bakteriologi dan Virologi Molekuler (mas Ridwan, S.Farm, mba Linda, M.Eng, mba Rifqiyah, MS, bang Adyos, S.Si, Meita, S.Pt, Anggun, S.Si, Neng, Bia, Krisna dan Haryono) yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian.

4 Kedua orang tua tercinta, untuk dukungan yang diberikan baik dukungan moral maupun materil yang telah diberikan pada penulis tanpa batas.

5 Teman-teman THP’45 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dan dukungan moril dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor , September 2012

Aksar Chair Lages


(8)

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1 Mikroalga ... 4

2.2 Pemanfaatan Mikroalga di Bidang Kesehatan ... 6

2.3 Hepatitis C ... 6

2.4 Virus Hepatitis C ... 8

2.5 Ribonucleid Acid (RNA) Helikase ... 9

2.6 Polisakarida ... 10

2.7 Kromatografi ... 12

2.7.1 Kromatografi gel filtrasi ... 12

2.7.2 Kromatografi ion-exchange ... 13

2.7.3 Kromatografi lapis tipis ... 14

2.7.3 Kromatografi cair kinerja tinggi ... 15

2.8 Uji KolorimetriATPase ... 17

3 METODE ... 18

3.1 Waktu dan Tempat ... 18

3.2 Bahan dan Alat ... 18

3.3 Metode Penelitian ... 19

3.3.1 Ekspresi dan purifikasi RNA helikase HCV ... 19

3.3.2 Kultivasi dan pemanenan mikroalga BTM 11 ... 22

3.3.3 Ekstraksi polisakarida BTM 11 ... 22

3.3.4 Pemurnian polisakarida dari mikroalga BTM 11 ... 23

3.3.5 Profil kemurnian fraksi aktif polisakarida inhibitor RNA helikase ... 23

3.4 Prosedur Analisis ... 24

3.4.1 Analisis enzim RNA helikase dengan SDS-PAGE ... 24

3.4.2 Uji aktivitas ATPase RNA helikase HCV ... 25


(9)

v

Halaman

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

4.1 RNA Helikase Virus Hepatitis C ... 28

4.2 Kultivasi Mikroalga BTM 11 ... 32

4.3 Ekstrak Polisakarida Mikroalga BTM 11 ... 34

4.4 Pemurnian Polisakarida Inhibitor RNA Helikase ... 36

4.5 Analisis Kandungan Gula ... 38

4.6 Analisis Kemurnian Fraksi Aktif Polisakarida Inhibitor ... 39

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 43

5.1 Simpulan ... 43

5.2 Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44


(10)

Nomor Halaman

1 Morfologi mikroalga ... 4

2 Tahap perkembangan kerusakan hati pada penderita hepatitis C ... 7

3 Struktur virus hepatitis C (HCV) ... 8

4 Peta genomik HCV ... 9

5 Mekanisme kerja RNA helikase HCV ... 10

6 Polisakarida Porphyridium cruentum ... 11

7 Kromatografi gel filtrasi ... 12

8 Kromatografi ion-exchange ... 14

9 Kromatografi lapis tipis... 15

10 Skematik komponen HPLC... 16

11 Diagram alir prosedur kerja penelitian ... 20

12 Pengikatan resin TALON (A) dengan 6xHis-tag (B) ... 30

13 Analisis SDS-PAGE pemurnian RNA helikase HCV ... 31

14 Kondisi kultivasi mikroalga BTM 11 ... 32

15 Mikroalga BTM 11 dengan perbesaran 1000x... 33

16 Kurva pertumbuhan mikroalga BTM 11 ... 33

17 Inhibisi polisakarida fraksi gel filtrasi terhadap aktivitas ATPase RNA helikase HCV ... 37

18 Inhibisi polisakarida fraksi ion-exchange terhadap aktivitas ATPase RNA helikase HCV ... 38

19 Kromatogram KLT dengan deteksi sinar UV 254 nm ... 40


(11)

Nomor Halaman 1 Komposisi kimia protein, karbohidrat, lipid dan asam nukleat

dalam % dari bobot kering mikroalga ... 5

2 Sistem reaksi enzim untuk satu sampel dengan volume total 175 µ L ... 26

3 Aktivitas inhibisi dari ekstrak polisakarida ... 35

4 Analisis kandungan gula ... 38


(12)

16

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Komposisi media IMK-SW... 51

2 Komposisi larutan yang digunakan dalam SDS-PAGE ... 52

3 Kurva standar fosfat (Uji ATPase) ... 53

4 Tabulasi data hasil fraksinasi kromatografi gel filtrasi ... 54

5 Tabulasi data hasil fraksinasi kromatografi ion-exchange ... 55


(13)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi virus hepatitis C (HCV) merupakan penyebab utama penyakit hati kronis di seluruh dunia. Dampak yang ditimbulkannya sangat bervariasi, mulai dari hepatitis kronis, fibrosis, sirosis hingga kanker hati (hepatocellular carcinoma). Jumlah penderita kronis di seluruh dunia hampir mencapai 200 juta jiwa (EASL 2011).Data yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa pada tahun 2010 jumlah penderita hepatitis C di Indonesia mencapai7 juta jiwa (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2010).

Pengobatan yang dilakukan terhadap penderita hepatitis C selama ini adalah terapi dengan pemberian interferon yang dikombinasikan dengan ribavirin. Akan tetapi terapi ini memiliki tingkat efektivitas yang tidak lebih dari 50% terhadap infeksi HCV genotip 1 dan 4, dan tidak lebih dari 80% terhadap genotip 2 dan 3. Terapi ini juga dapat menimbulkan efek samping berupa flu, depresi dan anemia (Clercq 2004), oleh karena itu diperlukan suatu obat baru yang dapat mengatasi infeksi virus hepatitis C.

Upaya dalam menemukan obat HCV terus dilakukan dengan mencari unsur antiviral yang melawan virus dengan cara menghambat enzim yang penting bagi HCV, salah satunya adalah ribonucleid acid (RNA) helikase. Borowski et al.

(2008) menjelaskan bahwa enzim RNA helikase berperan dalam proses replikasi virus HCV, yaitu membuka ikatan dupleks RNA virus agar dapat direplikasikan.Utama et al. (2000) menjelaskan bahwa apabila proses pembukaan ikatan dupleks RNA virus sebagai induk (template) genetik tidak dapat dilakukan, maka proses translasi informasi genetik tidak dapat berjalan sehingga siklus hidup HCV terhenti.

Borowski et al. (2002) menjelaskan bahwa selain membuka ikatan dupleks, RNA helikase juga memiliki aktivitas ATPase, yaitu aktivitas yang menguraikan ATP (adenosine triphosphate) menjadi ADP (adenosine diphosphate) dan Pi (fosfat anorganik). Proses penguraian ini menghasilkan energi yang digunakan untuk menguraikan pasangan DNA atau RNA. Hal ini menjelaskan bahwa


(14)

penghambatan terhadap aktivitas enzim RNA helikase dianggap lebih potensial sebagai target obat hepatitis C.

Inhibitor enzim RNA helikase dapat diperoleh dari senyawa metabolit, misalnya metabolit dari mikroalga. Ye et al. (2008) menjelaskan bahwa mikroalga memiliki banyak komponen bioaktif yang sangat berpotensi sebagai obat anti-inflamasi, antitumor, antimikroba dan antivirus. Sanchez et al. (2007) menjelaskan bahwa biomassa mikroalga mengandung beberapa komposisi kimia yang potensial, misalnya protein, karbohidrat, pigmen (klorofil dan karotenoid), asam amino, lipid dan hidrokarbon. Karbohidrat yang dihasilkan dapat ditemukan dalam bentuk pati, glukosa, gula dan polisakarida lainnya. Umumnya objek yang dijadikan target penemuan obat adalah senyawa kimia. Sebaliknya, jarang yang memfokuskan pada polisakarida sebagai antivirus hepatitis C.

Hasil-hasil penelitian sebelumnya juga telah menjelaskan potensi polisakarida dari mikroalga dalam aktivitasnya sebagai antivirus. Salah satunya adalah Huleihel et al. (2001) yang menunjukkan bahwa terdapat beberapa polisakarida mikroalga yang diketahui memiliki aktivitas antivirus dalam melawan berbagai jenis virus pada hewan. Polisakarida ini tidak berpengaruh terhadap penetrasi atau infeksi virus ke dalam sel inang, akan tetapi menghambat sintesis protein virus di dalam sel.

Laboratorium Bakteriologi dan Virologi Molekuler, Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI Cibinong telah melakukan penapisan terhadap 30 isolat mikroalga dengan pelarut metanol. Hasilnya menunjukkan bahwa ekstrak kasar mikroalga BTM 11 memiliki aktivitas penghambatan tertinggi terhadap RNA helikase HCV dan bersifat stabil dibandingkan isolat lainnya, namun dalam pengembangan polisakarida dari mikroalga BTM 11 sebagai inhibitor RNA helikase HCV dibutuhkan informasi awal mengenai teknik pemurnian yang terbaik dalam menghasilkan aktivitas inhibisi yang optimum. Oleh karena itu perlu adanya optimalisasi dalam pemurnian polisakarida dari mikroalga BTM 11 sehingga dapat diaplikasikan sebagai inhibitor RNA helikase HCV.


(15)

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1) Mempelajari teknik pemurnian terbaik dari polisakarida mikroalga BTM 11 sebagai inhibitor RNA helikase virus hepatitis C;

2) Mengukur kandungan gula dari polisakarida inhibitor termurnikan; 3) Mempelajari profil senyawa polisakarida inhibitor yang paling aktif.


(16)

16

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mikroalga

Mikroalga merupakan mikroorganisme fotosintetik yang dapat ditemukan di perairan tawar dan laut. Mekanisme fotosintesis mikroalga mirip dengan tumbuhan darat, dikarenakan kesamaan pada struktur selulosa yang dimilikinya.Bila dibandingkan dengan organisme fotosintetik lainnya, mikroalga paling efisien dalam menangkap dan memanfaatkan energi matahari dan CO2

untuk keperluan fotosintesis karena organisme ini mengandung klorofil serta pigmen-pigmen lain untuk mengkonversi fotosintesis menjadi biomassa dan akumulasi pati. Mikroalga hidup secara planktonik di perairan, namun juga dapat hidup secara epifit dan bentik di dasar perairan yang memiliki intensitas cahaya yang cukup (Rodjaroen et al. 2007; Gouveia 2011; Barsanti & Gualtieri 2005). Mikroalga juga memiliki bentuk yang bervariasi seperti filamen, spiral dan bulat. Berbagai macam morfologi mikroalga dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Morfologi mikroalga A: Pterosperma, B: Nephroselmis, C:Tetraselmis

D: Chlorella, E: Oocytis, F: Haematococcus, G: Pediastrum, H:

Bulbochaete, I: Chaetophora dan J: Ulothrix (Leliaert et al. 2012). Mikroalga dapat dibagi ke dalam empat kelompok utama (NREL 2003): 1) Diatom (Bacillariophyceae).

Mikroalga dalam kelompok ini mendominasi mikroalga di laut, namun beberapa jenis diketahui hidup di air tawar. Sebanyak 100.000 jenis mikroalga yang termasuk dalam kelompok ini. Diatom mengandung silika yang


(17)

terpolimerisasi dalam dinding sel. Karbon disimpan dalam bentuk minyak nabati maupun polimer karbohidrat yang disebut chrysolaminarin.

2) Alga hijau (Chlorophyceae).

Mikroalga yang memiliki kelimpahan tinggi terutama di perairan tawar dan hidup dalam bentuk soliter maupun koloni. Karbon disimpan dalam bentuk pati. 3) Alga hijau biru (Cyanophyceae).

Mikroalga kelompok ini memiliki struktur yang lebih menyerupai bakteri dan berperan dalam fiksasi nitrogen. Sekitar 2000 jenis mikroalga yang termasuk dalam kelompok ini tersebar dalam berbagai habitat.

4) Ganggang emas (Chrysophyceae).

Kelompok alga ini menyerupai diatom, namun memiliki pigmen yang lebih rumit, dan nampak berwarna kuning, jingga atau cokelat.

Mikroalga telah sejak lama dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan, terutama sebagai sumber vitamin, antioksidan, pewarna atau bahan aditif yang aman, serta digunakan pula dalam industri farmakologi dalam skala besar. Hal ini tidak lepas dari komposisi kimia yang terkandung dalam mikroalga, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia protein, karbohidrat, lipid dan asam nukleat dalam % dari bobot kering mikroalga.

Mikroalga Protein Karbohidrat Lipid As. Nukleat

Scenedesmus obliquus Scenedesmus quandricauda Scenedesmus dimorphus Chlamydomonas rheinhardii Chlorella vulgaris Chlorella pyrenoidosa Spirogyra sp.

Dunaliella salina Euglena gracilis Prymnesium parvum Tetraselmis maculata Porphyridium cruentum Spirulina platensis Spirulina maxima Synechoccus sp.

Anabaena cylindrica 50-56 47 48-18 48 51-58 57 56-20 57 39-61 28-45 52 28-39 46-63 60-71 63 43-56 10-17 10- 21-52 17 12-17 26 33-64 32 14-18 25-33 15 40-57 48-14 13-16 15 25-30 12-14 11,9 16-40 21 14-22 12 11-21 16 14-20 22-38 23 29-14 24-9 26-7 11 14-7 3-6 3- 3- 3- 4-5 4- 4- 4- 4- 1-2 1- 1- 2-5 3-4,5 5 5- Sumber: Becker (1994)


(18)

2.2 Pemanfaatan Mikroalga di Bidang Kesehatan

Mikroalga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri farmasi dan kosmetika, karena adanya kandungan berbagai senyawa kimia yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar untuk pengobatan dan pencegahan berbagai macam penyakit. Yuan dan Walsh (2006) menjelaskan bahwa konsumsi alga laut berkorelasi dengan rendahnya tingkat penderita kanker payudara di Asia Timur. Sebagai contoh, prevalensi kasus penderita kanker payudara dalam 1 tahun per 100.000 penduduk di Jepang dan Cina masing-masing adalah 42,2 dan 13,1, dibandingkan dengan kasus di Amerika Utara dan Eropa yang masing-masing sebesar 125,9 dan 106,2. Teas et al. (2004) juga menjelaskan bahwa sebagian besar kelompok masyarakat di Chad mengkonsumsi Spirulina rata-rata sebanyak 1-2 sendok makan (3-13 g) per harinya, hal ini diyakini dapat mencegah infeksi virus HIV.

Hasil-hasil riset menjelaskan bahwa terdapat komponen aktif mikroalga yang menunjukkan aktivitas biologis sebagai antivirus. Talyshinsky et al. (2002) menjelaskan bahwa dekstran sulfat dan polisakarida yang dihasilkan mikroalga berpotensi menghambat HIV tipe 1 dan 2 dengan cara menghambat induksi sitopatogenetik dan ekspresi antigen dari virus HIV. Sulfat polisakarida yang dihasilkan juga dapat menghambat aktivitas reversetranscriptase dan RNAse pada proses replikasi retrovirus. Hasil riset Shih et al. (2003) menjelaskan bahwa allophycocyanin yang dihasilkan oleh Spirulina platensis dapat menetralisir efek sitopatik dari enterovirus pada sel manusia secara in vitro.

2.3 Hepatitis C

Hepatitis merupakan penyakit yang menyebabkan pembekakan pada hati. Penyakit hepatitis terdiri atas beberapa jenis, yaitu hepatitis A, B, C, D, E, F dan G. Ketujuh hepatitis ini disebabkan oleh virus yang berbeda (WHO 2002). Penderita hepatitis C seringkali tidak menunjukkan gejala khusus walaupun telah bertahun-tahun terinfeksi. Gejala yang ditunjukkan sangat umum seperti lelah, hilangnya selera makan, mual, sakit perut, urin menjadi gelap dan kulit atau mata berwarna kuning (Solga et al. 2007). Penderita baru menyadari bahwa telah


(19)

terinfeksi virus hepatitis C (HCV) ketika berada pada tahap yang lebih kritis. Kerusakan organ hati penderita hepatitis C dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Tahap perkembangan kerusakan hati pada penderita hepatitis C (Solga et al. 2007).

Kerusakan hati dapat ditandai dengan adanya konsentrasi enzim alanin aminotransferase (ALT) yang lebih tinggi dari normal. Pada penyakit hepatitis C, setelah terjadinya infeksi (tahap infeksi akut), 15-40% penderita akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu 6 bulan dan tidak beresiko menderita penyakit hati melalui hepatitis C serta tidak menularkan kepada yang lainnya. Pada tahap ini, hati dapat melawan patogen dan mengembalikan fungsinya yang terganggu dengan membentuk fibrosis (luka kecil atau parut). Namun, sekitar 60-80% penderita hepatitis C akut ini tidak dapat sembuh dan berkembang menjadi hepatitis kronis. Pada tahap ini, penderita akan rentan terhadap sirosis hati, kegagalan fungsi hati, dan kanker hati (hepatocellular carcinoma), tetapi untungnya, perkembangan ini terjadi sangat lambat. Hanya 10 hingga 15% penderita kronis yang mengalami sirosis hati dalam jangka waktu 20 tahun (Shiffman 2006).

Terapi hepatitis C pada umumnya dengan pemberian interferon seminggu sekali yang dimasukkan ke tubuh melalui injeksi. Pemberian interferon tersebut dikombinasikan dengan ribavirin. Mekanisme terapi untuk hepatitis C dari kedua bahan tersebut masih belum banyak diketahui. Selain itu, terapi tersebut kurang efektif karena menimbulkan efek samping, seperti mual, anemia, depresi, dan harganya relatif mahal. Manfaat terapi kedua bahan tersebut berbeda hasilnya di

tiap individu, tergantung pada genotip dari virus hepatitis C (Jawaid & Kuwaja 2008)


(20)

2.4 Virus Hepatitis C

Virus Hepatitis C (HCV) merupakan anggota dari famili Flaviviridae dengan genus Hepacivirus. Virus ini merupakan virus RNA positif. Virus berbentuk bulat dengan diameter partikelnya 55-65 nm, dan memiliki selubung glikoprotein. Selain itu, terdapat inti (core) dan di dalamnya terdapat viral RNA. Virus hepatitis C dibagi menjadi enam genotipe yang disandikan dengan angka, yaitu genotipe satu sampai enam (Worman & Lin 2000). Bentuk dari virus hepatitis C dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Struktur virus hepatitis C (HCV) (Moradpour et al. 2007). Genom HCV berukuran 9,6 kilobasa yang mengkodekan sekitar 3011 asam amino. Poliproteinnya dipotong setelah proses translasi dan dibagi menjadi protein struktural dan nonstruktural. Protein struktural terdiri dari sebuah nukleokapsid inti, protein p7, dan dua glikoprotein selubung virusnya (E1 dan E2). Dua daerah pada E2 merupakan daerah hipervariabel 1 dan 2. Daerah tersebut menunjukkan hipermutasi dari selubung sehingga sangat spesifik terhadap antibodi. Daerah E2 juga terdapat sisi pengikatan terhadap cluster of differentiation 81 (CD81), reseptor virus pada hepatosit dan sel limfosit B (Tellinghuisen et al. 2007).

Protein nonstruktural pada HCV terbagi menjadi empat macam, yaitu NS1, NS2, NS3, NS4 (NS4A dan NS4B), dan NS5 (NS5A dan NS5B). Protein nonstruktural tersebut berfungsi dalam reaksi enzimatis yang berperan dalam replikasi virus. NS1 berinteraksi dengan NS4A dibutuhkan untuk replikasi RNA. NS2A bersifat hidrofobik yang berfungsi dalam perakitan virion (virus baru) dan


(21)

pelepasan partikel virus. NS2B membentuk kompleks dengan NS3 berperan sebagai kofaktor bagi serin protease dari NS3. Protein NS3 mengkodekan RNA helikase yang berperan dalam replikasi virus. NS5A merupakan daerah yang sensitif terhadap interferon, sedangkan NS5B berperan di dalam RNA-dependent

RNA polimerase (RdRp) (Tellinghuisen et al. 2007). Peta genomik dari HCV dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Peta genomik HCV (Anzola dan Burgos 2003).

2.5 Ribonucleid Acid (RNA) Helikase

Helikase berasal dari kata “helix” yang berarti struktur pasangan DNA “double helix” dan “ase” yang berarti enzim, sehingga helikase berarti enzim yang

memisahkan pasangan rantai DNA (DNA helikase) atau RNA (RNA helikase). Helikase pertama kali ditemukan dalam proses replikasi DNA bakteri

Eschericia coli. RNA helikase ditemukan pada bakteri, khamir, dan virus. Pada virus hepatitis C, enzim ini dikodekan oleh protein NS3 RNA helikase (Kadare & Haenni 1997).

Mekanisme kerja RNA helikase HCV secara umum adalah pertama-tama

helikase akan berikatan pada ujung 3’ RNA utas ganda. Tahap kedua, ATP akan berikatan pada sisi aktif RNA helikase dan dihidrolisis pada gugus fosfat terluar menghasilkan ADP dan fosfat anorganik (Pi). Pada proses hidrolisis ATP ini mengeluarkan energi yang cukup besar dan digunakan untuk memisahkan RNA utas ganda menjadi utas tunggal. Pemisahan RNA utas ganda dilakukan dengan


(22)

(Utama et al. 2005). Mekanisme kerja RNA helikase HCV dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Mekanisme kerja RNA helikase HCV (Hairany 2010).

Berdasarkan mekanisme kerja tersebut, selain memiliki aktivitas untuk memisahkan utas ganda RNA, RNA helikase juga memiliki aktivitas untuk menghidrolisis ATP (ATPase) dan aktivitas pengikatan RNA (RNA-binding). Ketiga aktivitas ini saling berpengaruh satu dengan lainnya. Oleh karena itu, helikase menjadi target yang potensial untuk penemuan obat antivirus. Obat antivirus ini dapat dikembangkan dengan suatu senyawa yang dapat menghambat (inhibitor) aktivitas helikase.

2.6 Polisakarida

Polisakarida, atau bisa disebut “glikan”, terdiri dari monosakarida dan turunannya. Polisakarida terbagi menjadi homopolisakarida dan heteropolisakarida. Homopolisakarida atau homoglikan merupakan polisakarida yang penyusunnya hanya terdiri dari satu jenis monosakarida, sedangkan penyusun heteropolisakarida lebih dari satu jenis monosakarida. Komponen umum polisakarida adalah glukosa, fruktosa, galaktosa, mannosa, arabinosa dan xylosa. Beberapa turunan monosakarida yang terdapat pada polisakarida adalah gula amino (glukosamin dan galaktosamin) dan asam gula sederhana (glukuronat dan asam iduronat). Penyebutan homopolisakarida dapat berdasarkan unit gula


(23)

penyusunnya, sehingga glukosa homopolisakarida dapat disebut “glukan”, sama

halnya dengan mannosa homopolisakarida yang dapat disebut “mannan”

(d’Ayala et al. 2008).

Polisakarida telah digunakan sebagai pengental, flokulan dan minyak pelumas. Beberapa polisakarida dari mikroalga berpotensi sebagai antivirus (Huleihel et al. 2001). Salah satu jenis mikroalga merah, Porphyridium cruentum

merupakan salah satu penghasil polisakarida ekstraseluler dalam jumlah besar. Sel-sel mikroalga dibungkus oleh polisakarida sulfat dalam bentuk gel. Selama pertumbuhan dalam media cair, viskositas medium meningkat karena pengeluaran polisakarida dari permukaan sel ke dalam media (polisakarida larut air). Kapsul polisakarida paling tipis selama fase pertumbuhan dan tebal selama fase stasioner (Arad & Richmond 2004). Menurut Laurienzo (2010) bahwa mikroalga diketahui memanfaatkan polisakarida yang disintesisnya untuk bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang ekstrim. Letak polisakarida pada sel mikroalga dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Polisakarida Porphyridium cruentum (Arad & Richmond 2004). Prosedur isolasi polisakarida dari mikroorganisme tergantung pada letak polisakarida terikat pada dinding sel atau diekskresikan oleh sel sebagai pelindung atau pengotor. Isolasi dapat dilakukan dengan ekstraksi dari biomassa sel. Namun, pada masa ini isolasi polisakarida dilakukan dengan sentrifugasi maupun filtrasi untuk memisahkan produk dari sel (Giavasis & Bilianderis 2006).


(24)

2.7 Kromatografi

Kromatografi merupakan suatu proses migrasi diferensial, komponen-komponen senyawa yang dibawa oleh fasa gerak, dan ditahan secara selektif oleh fasa diam. Peristiwa tersebut terjadi di dalam kolom kromatografi. Adanya peristiwa yang komplek pada metode kromatografi, menjadikan kromatografi dapat digunakan untuk menganalisis senyawa sampai sedetail mungkin. Prinsip kromatografi adalah penggunaan dua fase yang berbeda yaitu fasa tetap dan fasa bergerak. Proses pemisahan tergantung pada gerakan relatif dari dua fasa tersebut (Al Baarri 2003). Penelitian ini menggunakan 4 teknik kromatografi, yaitu kromatografi gel filtrasi, kromatografi penukar ion (ion-exchange), kromatografi lapis tipis dan kromatografi cair kinerja tinggi.

2.7.1 Kromatografi gel filtrasi

Kromatografi gel filtrasiatau sering disebut filtrasi gel merupakan salah satu metode yang digunakan untuk memisahkan senyawa menurut ukuran dan bentuk. Sampel kemudian dimasukan pada ujung atas kolom dan elusi dilakukan dengan memberikan larutan bufer melalui kolom. Larutan bufer ini memiliki prinsip tidak boleh lebih polar dibandingkan dengan fase diam atau yang disebut juga kolom. Besar molekul akan terbagi menjadi 3 bagian yang ditunjukkan oleh berbagai warna pada Gambar 7.

Gambar 7 Kromatografi gel filtrasi (Koolman 2005).

Molekul yang berukuran besar tidak mampu menembus matriks dari kolom sehingga akan melewati kolom lebih dahulu. Bobot molekul menengah dan bobot


(25)

molekul kecil akan tertahan oleh kolom lebih lama (Koolman 2005). Batas pemisahan dari sebuah ukuran merupakan indikasi bobot molekul untuk tipe polimer (Hagel 1998).

Keuntungan dari metode ini adalah dapat memisahkan dengan baik molekul besar dari molekul kecil serta dapat menggunakan berbagai pelarut tanpa harus mengganggu proses pemisahan. Penggunaan kromatografi gel filtrasi ini akan didapatkan pemisahan yang baik, sensitifitas yang baik, dan waktu yang diperlukan untuk pemisahan cepat. Selain itu tidak ada sampel yang tertinggal karena pelarut tidak berinteraksi dengan fase diam (Skoog 2006). Namun Kehilangan molekul dapat terjadi selama proses pemurnian dengan menggunakan teknik kromatografi gel filtrasi karena autolisis (Scopes 1987).

Prinsip dasar kromatografi gel filtrasi adalah partikel dengan ukuran yang berbeda akan dielusi melalui fase stasioner pada tingkat yang berbeda. Hal ini menyebabkan pemisahan partikel berdasarkan ukuran. Setiap kolom memiliki jangkauan berat molekul yang dapat dipisahkan. Molekul besar tidak dapat terjebak dalam matriks fase diam sehingga akan terlebih dahulu terlewati kolom. Bobot molekul menengah dan kecil terjebak dalam matriks sehingga akan lebih lama untuk terlewati fase diam (Skoog 2006).

2.7.2 Kromatografi ion-exchange

Kromatografi penukaran ion (ion-exchange chromatography) biasa digunakan untuk pemurnian materi biologis. Purwadaria (1999) menjelaskan bahwa pada sistem kromatografi ini, molekul senyawa dipisahkan berdasarkan perbedaan afinitas terhadap penukar ion. Afinitas molekul dengan penukar ion dapat dilepaskan dengan mengubah kadar garam atau pH larutan eluen. Selain itu sistem pengaturan perubahan kadar garam atau pH eluen baik dengan gradasi linier ataupun gradasi bertingkat dapat pula mempengaruhi jumlah molekul yang terpisah.

Metode ini dapat dilakukan dalam dua tipe, yaitu dalam kolom maupun ruang datar (planar). Terdapat dua tipe penukaran ion, yaitu penukaran kation (cation exchange) dan penukaran anion (anion exchange). Pada penukaran kation, fase stasioner bermuatan negatif sedangkan pada penukaran anion, fase stasioner bermuatan positif, dapat dilihat pada Gambar 8.


(26)

Gambar 8 Kromatografi ion-exchange (Harper 2005).

Muatan-muatan molekul akan memiliki sifat ketika muatan molekul yang sama dengan kolom, maka molekul tersebut akan terelusi, namun muatan pada molekul tidak sama dengan kolom, maka molekul tersebut akan membentuk ikatan ionik dengan kolom (Carrier 1997). Prinsip dasar yang digunakan adalah molekul dengan muatan positif bersih pada pH tertentu akan berikatan dengan gugus fungsional bermuatan negatif seperti carboxylates atau sulfat (penukar kation). Demikian pula, molekul bermuatan negatif bersih berikatan dengan molekul bermuatan positif pada gugus fungsional, biasanya tersier atau kuaterner amina (penukar anion).

2.7.3 Kromatografi lapis tipis

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Berbeda dengan kromatografi kolom yang mana fase diamnya diisikan atau dikemas di dalamnya, pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium atau pelat plastik (Gandjar & Rohman 2007). Teknik ini biasa digunakan untuk memisahkan komponen dari suatu campuran senyawa organik alam, sintetis, dan campuran kompleks anorganik. Fase gerak yang digunakan tergantung dari senyawa yang ingin dipisahkan (Harjadi 1976).

Pemisahan komponen melalui berbagai tahap. Pertama dilakukan pemisahan sampel dengan penotolan pada plat silika yang telah didesain. Plat silika pada bagian bawah diberi sebuah garis untuk menandakan posisi awal penotolan.


(27)

Selanjutnya dibuat pula sebuah garis akhir menggunakan pensil. Jarak antara garis awal dengan garis akhir biasanya 5 cm. Plat yang telah ditotol dengan sampel dimasukkan ke dalam bejana pengembang yang telah terdapat eluen hasil proses penjenuhan yang dilakukan selama 20 menit. Penjenuhan berfungsi agar eluen lebih efektif dalam memisahkan komponen tersebut. Eluen akan memisahkan komponen hingga garis akhir yang telah didesain. Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan eluen maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut (Wilson & Walker 1994). Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Kromatografi lapis tipis (Tissue 1996).

Tahapan selanjutnya adalah visualisasi atau deteksi. Deteksi atau visualisasi sampel yang tidak berwarna dapat menggunakan dua cara, yaitu penyinaran dengan sinar UV (254 nm dan 356 nm) dan pereaksi kimia (ninhidrin, FeSO4,

Dragendroff, dan anilin). Pada saat disinari dengan sinar UV, komponen yang terpisahkan akan terlihat seperti spot atau bidang kecil yang berwarna gelap. Deteksi komponen juga dapat dilakukan dengan menempatkan kromatogram pada bejana tertutup yang telah dijenuhkan dengan kristal iod. Uap kristal iod bereaksi dengan komponen yang terpisahkan dan terlihat seperti bercak-bercak kecoklatan. Aplikasi dari teknik ini dapat digunakan untuk analisis kuantitatif (membandingkan retardation factor (Rf) senyawa murni dengan komponen, pola

sidik jari, dan menentukan jumlah komponen) dan preparatif (untuk memperoleh senyawa murni). Nilai Rf yang akan dihasilkan dari suatu senyawa bernilai sama

meskipun jarak plat yang digunakan berbeda (Wilson & Walker 1994). 2.7.4 Kromatografi cair kinerja tinggi

Kromatografi cair kinerja tinggi atau High Performance Liquid Chromatography (HPLC) merupakan suatu metode yang sensitif dan akurat untuk penentuan kuantitatif serta baik untuk pemisahan senyawa yang tidak mudah


(28)

menguap. Pemisahan dengan HPLC mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan metode konvensional seperti waktu analisis yang cepat, biaya yang rendah dan kemungkinan untuk menganalisis sampel yang tidak stabil (Nurhamidah 2005). Komponen penyusun HPLC secara skematik dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 10 Skematik komponen HPLC (LC Resources Inc. 2001)

Mardiana dan Ramdani (2008) menjelaskan komponen HPLC yang terdiri dari :

1) Tandon (Reservoir)

Reservoir terbuat dari gelas atau stainless stell. Jumlahnya bisa satu, dua atau lebih. Reservoir yang baik disertai degassing system yang berfungsi untuk menghilangkan gas-gas yang terlarut dalam solven. Gas terlarut tersebut antara lain adalah oksigen. Degassing dilakukan dengan mengalirkan gas inert dengan kelarutan yang sangat kecil.

2) Pompa

Fungsi pompa adalah untuk memompa fase gerak (solvent) ke dalam kolom dengan aliran yang konstan dan reproducible.

3) Katup injektor

Bagian ini merupakan tempat dimana sampel diinjeksikan untuk selanjutnya dibawa oleh fase gerak ke dalam kolom.

4) Kolom

Kolom merupakan jantung kromatografi. Berhasil atau tidaknya suatu analisis tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi percobaan yang sesuai.


(29)

Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kolom analitik dan kolom preparatif.

5) Detektor

Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen sampel di dalam kolom (analisis kualitatif) dan menghitung kadarnya (analisis kuantitatif). 6) Recorder

Hasil pembacaan detektor kemudian diolah oleh suatu processor kemudian dikirim ke recorder. Recorder akan membuat suatu tampilan kromatogram. Untuk HPLC dilengkapi seperangkat software yang dapat menghitung luas kromatogram dan bahkan sekaligus menghitung kadarnya.

2.8 Uji Kolorimetri ATPase

Penentuan aktivitas penghambatan RNA helikase HCV menggunakan uji kolorimetri ATPase (Utama et al. 2000). Pengujian ini mengukur besar penghambatan terhadap RNA helikase pada salah satu aktivitas enzimatiknya, yaitu ATPase (RNA-stimulated ATPase). Penghambatan terhadap aktivitas ATPase, secara tidak langsung juga menghambat aktivitas RNA helikase secara keseluruhan, karena helikase membutuhkan energi yang dihasilkan dari hidrolisis ATP untuk memisahkan untai ganda RNA (Hairany 2010).

Prinsip ujinya adalah pengukuran fosfat bebas/anorganik (Pi) yang terbentuk dari hidrolisis ATP oleh RNA helikase. Fosfat bebas akan membentuk kompleks warna dengan amonium molibdat membentuk fosfomolibdat. Fosfomolibdat akan bereaksi dengan enzim RNA helikase sehingga protein akan mengendap dan menimbulkan kekeruhan. Polivinil alkohol akan melarutkan kembali protein yang mengendap sehingga tidak terjadi kekeruhan. Warna yang terbentuk sebanding dengan konsentrasi fosfat bebas yang dihasilkan dari hidrolisis ATP. Penghentian reaksi warna dengan penambahan Na-sitrat yang dapat mencegah pembentukan warna yang berlebih (Chan et al. 1986).


(30)

16

3 METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2012, dan bertempat di Laboratorium Bakteriologi dan Virologi Molekuler, Laboratorium Biorekayasa Lingkungan, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong, Bogor dan Laboratorium Analisis Kimia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, PUSPIPTEK Serpong, Tangerang.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan untuk ekspresi dan pemurnian enzim RNA helikase meliputi bakteri Escherichia coli BL21 (DE3) pLysS yang membawa gen NS3 RNA helikase virus hepatitis C dalam plasmid pET 21b (koleksi Andi Utama, Puslit Bioteknologi LIPI), media Luria Bertani (LB), akuades, ampisilin,

isopropil β-D-thiogalaktopiranosidase (IPTG) 0,3 M; bufer B (Tris HCl 10 mM pH 8,5; NaCl 100 mM, dan Tween 20 0,25%), resin TALON, dan bufer elusi (400 mM imidazola dalam bufer B).

Bahan-bahan yang digunakan untuk menganalisis bobot molekul protein RNA helikase meliputi akuabides; Tris-HCl 1,5 M pH 8,8; akrilamid 30%, sodium dedosil sulfat (SDS) 10%, TEMED, amonium persulfat (APS) 10%,

comassie blue, dan loading dye.

Bahan-bahan yang digunakan untuk ekstraksi dan pemurnian polisakarida dari mikroalga BTM 11 adalah isolat BTM 11 (koleksi Dwi Susilaningsih, Laboratorium Biorekayasa Lingkungan, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI),

trichloroacetic acid (TCA), etanol, metanol, tris HCl 10 mM pH 8, glukosa 1 mg/mL, fenol, asam sulfat, sepharose 4B, media IMK-Seawater; adenosin trifosfat (ATP) 0,1 mM; 4-asam morfolinopropana sulfonat (MOPS) 0,1 mM; MgCl2 1 mM, larutan hijau malakit, polivinil alkohol 2,3%; amonium molibdat,

natrium sitrat, dan akuades.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ultrasentrifus Sorvall RC-26 plus, sonikator, waterbath, tabung sentrifus, erlenmeyer, inkubator, rotator,


(31)

kolom kromatografi, SDS-PAGE, tabung vial, hot plate magnetic stirer, dan timbangan digital.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap satu yaitu preparasi RNA helikase HCV yang meliputi (1) ekspresi RNA helikase dengan cara menumbuhkan bakteri E. coli BL21 (DE3) pLysS yang membawa gen NS3 RNA helikase HCV dalam plasmid pET 21b (Utama et al. 2000), (2) pemurnian RNA helikase yang telah terekspresi pada sel bakteri menggunakan kromatografi afinitas (Utama et al. 2000). Tahap dua meliputi (1) kultivasi mikroalga BTM 11 dalam media IMK-Sea Water pada suhu ruang dengan pencahayaan 4800 lux, (2) ekstraksi polisakarida dari biomassa mikroalga BTM 11 (Wang et al. 2004). Tahap tiga meliputi (1) pemurnian ekstrak polisakarida menggunakan teknik kromatografi gel filtrasi dan kromatografi ion-exchange, (2) penentuan profil senyawa polisakarida inhibitor yang paling aktif menggunakan kromatografi lapis tipis dan kromatografi cair kinerja tinggi. Diagram alir prosedur kerja penelitian dapat dilihat pada Gambar 11.

3.3.1 Ekspresi dan purifikasi RNA helikase HCV (Utama et al. 2000)

Ekspresi RNA helikase protein NS3 HCV dilakukan berdasarkan metode Utama et al. (2000). Ekspresi dilakukan pada skala 400 mL. Sebanyak 10 µ L stok gliserol bakteri E. coli BL21 (DE3) pLysS yang membawa vektor ekspresi pET-21b/HCV NS3 helikase diinokulasi ke dalam 10 mL medium LB cair yang mengandung 1 µg/mL ampisilin, kemudian dikultur selama satu malam dalam inkubator goyang (shaker incubator) pada suhu 37 °C dengan kecepatan 150 rpm.

Hasil kultur diinokulasikan ke dalam 400 mL medium LB yang mengandung ampisilin, selanjutnya dikultur dalam inkubator berpenggoyang pada suhu 37 °C dengan kecepatan 150 rpm, selama 30 menit sampai dengan 1 jam hingga OD600 mencapai ±0,3. Apabila OD600 telah mencapai ±0,3 maka

ditambahkan 0,3 M isopropil β-D-thiogalaktopiranosidase (IPTG). Kultur E. coli

BL21 (DE3) pLysS kemudian diinkubasi selama 3 jam dalam inkubator goyang pada suhu 37 °C dengan kecepatan 150 rpm selama 3 jam atau hingga OD600


(32)

Gambar 11 Diagram alir prosedur kerja penelitian. Mikroalga BTM 11

Kultivasi mikroalga BTM 11

Biomassa Mikroalga BTM 11

Ekstraksi polisakarida

Ekstrak polisakarida

Pemurnian polisakarida (kromatografi gel filtrasi)

Pemurnian polisakarida (kromatografi ion-exchange)

Uji ATPase Analisis total gula

Analisis total

gula Uji ATPase

Fraksi paling aktif polisakarida terpurifikasi

Analisis kemurnian (kromatografi lapis tipis)

Analisis kemurnian (kromatografi cair kinerja tinggi)

Uji ATPase

E.coli BL 21(DE3) pLysS pembawa gen

helikase

Ekspresi dan purifikasi enzim helikase

RNA helikase terpurifikasi

SDS PAGE

Uji ATPase


(33)

Hasil kultur disentrifugasi pada suhu 4 °C dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit. Pelet diresuspensi dengan sisa medium LB cair, kemudian disentrifugasi kembali. Pelet yang diperoleh disimpan pada suhu -20 °C.

Pelet E. coli BL21 (DE3) pLysS dipecah dengan metode freeze & thaw

sebanyak 3 kali ulangan yaitu dengan membekukan pelet pada suhu -20 °C selama 30 menit, lalu dicairkan pada suhu ruang selama 30 menit. Pelet kemudiian

diresuspensi dengan 20 mL larutan bufer B (Tris HCl 10 mM pH 8,5; NaCl 100 mM, Tween 20 0,25%). Tahap kedua pemecahan sel dilakukan dengan

metode sonikasi (Amplitudo 40; siklus 0,5; waktu 3x15 detik; interval waktu 1 menit). Suspensi sel disentrifugasi pada suhu 4 °C dengan kecepatan 10.000 rpm selama 20 menit. Supernatan diambil untuk tahapan selanjutnya, sedangkan pelet disimpan untuk analisis SDS-PAGE.

Enzim RNA helikase yang diduga berada dalam supernatan dipurifikasi menggunakan metode kromatografi afinitas. Supernatan ditambahkan dengan 300 µ L resin TALON, kemudian dilakukan tahap pengikatan (binding) menggunakan rotator selama 3 jam dalam ruang pendingin (4 °C). Sampel selanjutnya disentrifugasi pada suhu 4 °C dengan kecepatan 3.500 rpm selama 7 menit. Supernatan (inner volume) disimpan pada suhu 4 °C untuk analisis SDS-PAGE. Pelet (resin binding) diresuspensi dengan 10 mL larutan bufer B dan disentrifugasi pada suhu 4 °C dengan kecepatan 3.500 rpm selama 5 menit. Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali sehingga diperoleh 2 larutan supernatan (washing 1 & washing 2) yang disimpan pada suhu 4 °C dan digunakan untuk analisis SDS-PAGE.

Resin binding dari hasil washing 2 kemudian dielusi untuk melepaskan enzim yang terikat pada resin. Elusi dilakukan dengan menambahkan 150 µ L larutan bufer elusi (imidazol 400 mM dalam bufer B), kemudian diinkubasi menggunakan rotator dalam ruangan pendingin (4 °C) selama satu malam. Sampel disentrifugasi pada suhu 4 °C dengan kecepatan 3.000 rpm selama 1 menit. Supernatan yang mengandung enzim dipindahkan dalam eppendorf yang baru (E1), sedangkan pelet ditambahkan 75 µ L larutan bufer elusi, kemudian diinkubasi dengan menggunakan rotator selama 1 jam. Sampel kembali


(34)

disentrifugasi sehingga diperoleh supernatan (E2). Supernatan (E1 dan E2) disimpan pada suhu 4 °C dan digunakan untuk analisis ATPase dan SDS-PAGE. 3.3.2 Kultivasi dan pemanenan mikroalga BTM 11

Kultivasi BTM 11 dilakukan dengan media IMK-SW. Namun sebelum dikultivasi, inokulum disegarkan terlebih dahulu dengan media IMK. Media IMK-SW digunakan untuk membuat suatu kondisi yang sama dengan media awal pertumbuhan mikroalga tersebut. Penyegaran stok mikroalga dilakukan dalam keadaan aseptik pada erlenmeyer 500 mL dengan penyinaran lampu 4800 lux, dan diberi aerasi. Mikroalga dikultur selama 14 hari sebelum dipindahkan ke kultur dengan skala yang lebih besar. Komposisi media IMK-SW dapat dilihat pada Lampiran 1. Pemanenan dilakukan dengan teknik filtrasi, yaitu hasil kultur disaring menggunakan kain filtrasi sehingga didapatkan biomassa basah. Biomassa basah tersebut dikeringkan menggunakan oven pada suhu 60 °C selama 2 hari. Biomassa kering yang didapatkan kemudian dilakukan pengecilan ukuran menjadi bentuk serbuk dengan menggunakan mortar.

3.3.3 Ekstraksi polisakarida BTM 11 (modifikasi Wang et al.2004)

Serbuk mikroalga BTM 11 sebanyak 5 g dilarutkan dalam 100 mL etanol absolut. Sampel dimaserasi selama 6 jam, kemudian disaring untuk didapatkan peletnya. Pelet tersebut dilarutkan dalam 100 mL aseton dan dimaserasi kembali selama 6 jam. Hasil maserasi tersebut disaring dan diambil peletnya untuk kemudian dilarutkan dalam NaCl 0,9%. Maserasi sampel dilakukan selama satu malam, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 4.500 rpm selama 15 menit. Supernatan hasil sentrifugasi diambil 15 µ L untuk analisis ATPase. Supernatan yang telah didapatkan kemudian dilakukan presipitasi dengan trichloroacetic acid

(TCA) 10%. Hasil pengendapan disentrifugasi selama 15 menit pada kecepatan 7.500 rpm. Supernatan hasil sentrifugasi diambil 15 µ L untuk analisis ATPase. Supernatan dipekatkan dengan freeze dryer untuk mendapatkan ekstrak kasar polisakarida. Ekstrak kasar polisakarida diresuspensi dengan Tris HCl dan diambil 15 µ L untuk analisis ATPase.


(35)

3.3.4 Pemurnian polisakarida dari mikroalga BTM 11 1) Kromatografi gel filtrasi (Amersham 1999)

Matriks gel Sepharose 4B dimasukkan secara perlahan ke dalam kolom kromatografi. Ekstrak kasar polisakarida BTM 11 dilarukan dalam buffer (Tris HCl 10mM pH 8) dan sebanyak 5% dari volume kolom dimasukkan ke kolom gel filtrasi. Sampel dielusi dengan eluen etanol 30%, dengan laju alir 1 mL/menit tiap fraksi. Masing-masing fraksi hasil pemurnian diuji aktivitas penghambatannya terhadap RNA helikase virus hepatitis C dengan uji ATPase. 2) Kromatografi ion-exchange(modifikasi Baumgartner dan Chrispeels 1976)

Kolom kromatografi dibilas dengan menggunakan kation-anion exchange. Setelah itu, sebanyak 1 mL sampel polisakarida inhibitor diinjeksikan ke dalam kolom kromatografi. Eluen yang digunakan adalah NaCl 0,1-1 M. Hasil elusi ditampung dalam tabung vial dengan volume masing-masing 1 mL. Masing-masing fraksi diuji aktivitas inhibisinya dengan uji ATPase.

3.3.5 Profil kemurnian fraksi aktif polisakarida inhibitor RNA helikase Fraksi yang memiliki aktivitas paling tinggi dari masing-masing teknik pemurnian dibandingkan dan dipilih fraksi paling aktif untuk dilihat profil kemurniannya menggunakan kromatografi lapis tipis, dan diperjelas kembali menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi.

1) Kromatografi lapis tipis (modifikasi Putri 2011)

Plat silika F254 disiapkan dan diatur jarak antara garis penotolan dengan

garis akhir. Bejana (chamber) KLT diisi dengan eluen asetonitril : etanol dengan perbandingan 3:7 dan diinkubasi selama beberapa menit hingga jenuh. Plat yang telah ditotol dengan sampel hasil pemurnian yang memiliki aktivitas inhibisi tertinggi dikembangkan dalam bejana sampai eluen mencapai garis akhir. Hasil KLT kemudian divisualisasi menggunakan sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm, setelah itu disemprot dengan penampak bercak serium sulfat dan dipanaskan hingga terlihat spot hasil kromatografi.

2) Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) / HPLC

Sampel atau fraksi paling aktif diambil sebanyak 20 µ L untuk diinjeksikan ke dalam HPLC. Kondisi HPLC yang digunakan adalah sebagai berikut :


(36)

a. Fase Gerak : H2SO4 0,008 N

b. Kolom : Aminex® HPX-87H, 300 mm x 7.8 mm c. Detektor : Refractive Index

d. Flow rate : 1 mL/min e. Suhu kolom : 35 ºC f. Back Pressure : 1553 psi

3.4 Prosedur Analisis

Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi (1) penentuan bobot molekul RNA helikase murni menggunakan SDS-PAGE, (2) uji aktivitas penghambatan RNA helikase HCV terhadap ekstrak polisakarida dan fraksi polisakarida termurnikan, (3) penentuan kandungan gula pada fraksi polisakarida murni yang memiliki aktivitas penghambatan yang tinggi terhadap RNA helikase HCV.

3.4.1 Analisis enzim RNA helikase dengan SDS-PAGE (Speicher 1997)

Analisis menggunakan alat SDS-PAGE. Glass plate sandwich (short plate & spacer plate) dibersihkan dengan etanol. Short plate ditempatkan di depan kaca

spacer plate. Kedua kaca kemudian dimasukkan ke dalam casting frame dengan posisi bagian bawah kedua kaca sama rata lalu dikunci dengan menekan cams.

Casting frame dipasang pada casting stand. Setelah peralatan siap, larutan gel

separating dibuat sesuai dengan prosedur (Lampiran 2a). Larutan tersebut dimasukkan di antara celah short plate & spacer plate sampai duapertiga bagian lalu ditambah akuades sampai dengan batas atas kaca, ditunggu ±20 menit sampai terbentuk gel. Selama menunggu 20 menit, larutan gel stacking dibuat sesuai dengan prosedur (Lampiran 2b). Sebelum larutan gel stacking dimasukkan, air yang ada pada gel separating dibuang. Larutan gel stacking dituang sampai batas atas kaca, comb dimasukan, ditunggu ±20 menit sampai gel terbentuk.

Gel dipindahkan dari casting frame dengan cara menekan cams pada

casting frame.Gel cassette sandwich ditempatkan pada electrode assembly dengan posisi short plate menghadap dalam, lalu ditempatkan ke dalam clamping frame, kemudian ditutup kedua camp levers pada clamping frame. Lower inner chamber


(37)

dimasukan ke dalam tank elektroforesis lalu diisi dengan working solution (Buffer Elektroforesis SDS 1X pH 8,3).

Masing-masing sampel diambil 4 µ L lalu dicampur dengan 2 µ L loading dye (Lampiran 2c). Campuran didenaturasi pada suhu 95 °C selama 15 menit. Marker protein (BIORAD®) sebanyak 4 µ L/gel dimasukkan ke dalam well. Masing-masing sampel yang sudah dicampur dengan loading dye, dimasukkan ke dalam well sebanyak 5 µ L/well.Gel dielektroforesis selama 90 menit dengan arus 40 mA. Gel diangkat lalu direndam dalam Commasie Blue G-250 staining solution (Lampiran 2d) selama 1 jam sambil digoyang-goyang di atas rocker. Gel dibilas dengan Commasie Blue G-250 destaining solution (Lampiran 2e) ±20 menit, dilakukan dua kali. Gel dibilas dengan H2O sampai bau asamnya hilang

dan disimpan pada suhu 4 °C.

Gel menunjukkan elektroforegram dari RNA helikase HCV berupa pita protein dengan bobot molekul 54 kDa. Perhitungan bobot molekul (BM) dilakukan terlebih dahulu dengan menghitung retardation factor (Rf) dari

masing-masing pita protein marker dan pita protein target menggunakan rumus :

Nilai Rf pada pita-pita protein marker digunakan untuk memperoleh kurva

standar terhadap log standar BM dari marker. Bobot molekul dihitung melalui

persamaan regresi linier kurva standar yang diperoleh, yaitu y = ax + b. Nilai “x”

yang dimasukkan merupakan nilai Rfdari pita protein target, sedangkan nilai “y”

merupakan nilai log BM dari pita protein target. Nilai bobot molekul diperoleh dari antilog BM pita protein target.

3.4.2 Uji aktivitas ATPase RNA helikase HCV (Utama et al. 2000)

Pengujian aktivitas inhibisi enzim helikase virus hepatitis C dengan sampel hasil pemurnian polisakarida BTM 11 menggunakan uji ATPase kolorimetri (Utama et al. 2000), yaitu dengan mengukur jumlah fosfat yang dilepaskan dari hidrolisis senyawa ATP menjadi ADP dan fosfat anorganik (Pi). Konsentrasi akhir reaksi adalah sebesar 175 µ L/sumur.Sistem reaksi enzim selengkapnya untuk satu sampel dengan volume total 175 µ L dapat dilihat pada Tabel 2.

Rf =Jarak dari titik awal elektroforesis ke pita protein


(38)

Tabel 2 Sistem reaksi enzim untuk satu sampel dengan volume total 175 µ L Blanko (µ L) Enzim (µ L) Kontrol (-) (µ L) Sampel (µL) Sampel

Pelarut H2O

Buffer (MOPS) Kofaktor (MgCl2)

Substrat (ATP) RNA helikase - - 43,5 5 0,5 1 - - - 38,5 5 0,5 1 5 - 5 33,5 5 0,5 1 5 5 - 33,5 5 0,5 1 5 Inkubasi pada suhu ruang selama 45 menit

Dye solution* 100 100 100 100 Inkubasi pada suhu ruang selama 5 menit

Na-sitrat 25 25 25 25

Pembacaan pada λ 620 nm dengan referensi 405 nm (Abs. 620 nm – 405 nm) *H2O : hijau malakit : polivinil alkohol : amonium molibdat (2 : 2 : 1 : 1)

Persentase aktivitas penghambatan senyawa inhibitor terhadap RNA helikase ditentukan dengan rumus:

Keterangan :

A = Absorbansi RNA helikase tanpa senyawa inhibitor

I = Absorbansi RNA helikase dengan adanya senyawa inhibitor

3.4.3 Analisis kandungan gula fraksi polisakarida BTM 11 (Dubois et al. 1956)

Analisis ini bertujuan untuk memastikan bahwa fraksi aktif dari kromatografi gel filtrasi dan ion-exchange terdapat kandungan polisakarida dengan cara mendeteksi komponen gula penyusunnya menggunakan metode fenol-asam sulfat. Langkah awal yaitu membuat kurva standar dengan glukosa (1 mg/mL) sebagai standar dari konsentrasi tertinggi hingga terendah. Sebanyak 0; 0,1; 0,3; 0,5; 0,8; dan 1 mg/mL glukosa dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan akuades hingga mencapai volume 100 µ L. Sebanyak 0,5 mL larutan fenol 5%; 2,5 mL H2SO4 pekat dicampurkan ke dalam tabung tersebut dan

dicampur rata. Standar glukosa diganti dengan akuades untuk blanko, sedangkan untuk analisis sampel, standar diganti dengan (polisakarida 1%). Setelah itu campuran diinkubasi selama 15 menit di ruang asam. Lalu tabung berisi campuran diinkubasi dalam waterbath (40 °C) selama 15-30 menit, dan diamati perubahan warna yang terjadi. Absorbansi dibaca pada panjang gelombang 490 nm. Kandungan gula dihitung melalui persamaan regresi linier kurva standar yang

% Inhibisi = A−I


(39)

diperoleh, yaitu y = ax + b. Nilai “y” yang dimasukkan merupakan absorbansi

yang terbaca dari sampel, sedangkan nilai “x” merupakan kandungan gula dalam sampel.


(40)

16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Ekspresi dan Pemurnian RNA Helikase Virus Hepatitis C

Ekspresi dan pemurnian RNA helikase HCV dilakukan untuk memperoleh RNA helikase HCV murni yang dapat digunakan dalam pengujian aktivitas polisakarida inhibitor terhadap aktivitas ATPase. Ekspresi RNA helikase HCV dilakukan pada bakteri Escherichia coli BL21 (DE3) pLysS dalam plasmid pET 21b. Sambrook & Russell (2001) menjelaskan bahwa E. coli BL21 (DE3) pLysS merupakan sel kompeten yang bersifat resisten terhadap antibiotik kloramfenikol dan berperan sebagai sel inang pada ekspresi gen, sedangkan pET 21b pada ekspresi gen berperan sebagai vektor ekspresiyang memiliki sifat resisten terhadap antibiotik ampisilin.

Ekspresi RNA helikase diawali dengan penumbuhan bakteri E. coli BL21 (DE3) pLysS yang membawa gen NS3 RNA helikase virus hepatitis C dalam plasmid pET 21b ke dalam 10 mL media Luria-Bertani (LB) yang sudah ditambahkan ampisilin. Penggunaan media ini dipilih karena media LB merupakan media yang cocok bagi pertumbuhan bakteri, termasuk E.coli

dikarenakan pertumbuhan yang relatif cepat dan rendemen yang lebih baik (Sezonov et al. 2007). Penambahan ampisilin bertujuan sebagai penanda seleksi

untuk membedakan E. coli rekombinan yang membawa gen NS3 helikase HCV dengan bakteri lain yang tidak membawa gen NS3 helikase HCV. Tahap ini merupakan pembuatan prekultur yang bertujuan untuk menyegarkan kembali stok biakan bakteri ke dalam media baru sehingga dapat tumbuh dengan optimal ketika dikultur ke skala yang lebih besar. Prekultur diinkubasi selama satu malam di inkubator berpenggoyang dengan suhu 37 °C pada kecepatan 150 rpm. Warna kultur yang berubah menjadi kuning keruh menunjukkan bahwa bakteri E.coli

BL21 (DE3) pLysS berhasil ditumbuhkan.

Prekultur yang telah siap, dipindahkan ke dalam LB yang sudah ditambahkan ampisilin dengan volume yang lebih besar. Kultur diinkubasi pada inkubator berpenggoyang dengan suhu 37 °C dan kecepatan 150 rpm hingga

optical density (OD600) mencapai 0,3. Pada nilai tersebut diperkirakan kultur


(41)

bakteri E. coli yang ditumbuhkan pada media LB memasuki fase pertumbuhan eksponensial pada saat nilai OD600 sebesar 0,2 atau 0,3; dan mengakhiri fase

tersebut ketika nilai OD600 sebesar 0,6 hingga 1.

Pembelahan sel E. coli yang mengekspresikan RNA helikase pada fase logaritmik terjadi sangat cepat, sehingga diperlukan penambahan isopropil β -D-thiogalaktopiranosidase (IPTG) yang akan menginduksi gen NS3 RNA helikase HCV agar terjadi ekspresi berlebih. Utama et al. (2000) menjelaskan bahwa ekspresi berlebih pada gen NS3 menyebabkan pembentukan enzim RNA helikase dalam jumlah yang lebih banyak dari fase logaritmik hingga fase awal stasioner.

Koleksi sel E. coli menggunakan sentrifugasi dilakukan setelah nilai OD600

mencapai ±1 (±3 jam), yang menunjukkan bahwa kultur sudah memasuki fase awal stasioner. Sentrifugasi dilakukan pada suhu rendah untuk menghindari protein mengalami denaturasi. Sentrifugasi akan memisahkan E. coli dengan media LB. Bakteri E. coli akan mengendap sebagai pelet, dan disimpan pada suhu -20 °C untuk menjaga stabilitas sel bakteri.

Enzim RNA helikase HCV terekspresi secara intraseluler pada sel E.coli

BL21 (DE3) pLysS, sehingga untuk memurnikannya harus dilakukan pemecahan dinding sel agar komponen intraseluler termasuk RNA helikase HCV dapat keluar dari dalam sel E. coli. Pemecahan sel dilakukan dengan metode freeze-thaw dan sonikasi. Proses freeze-thaw dilakukan dengan mengkondisikan sel E. coli selama ±30 menit secara bergantian di suhu ruang dan suhu beku (-20 °C) sebanyak tiga kali ulangan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya pembentukan kristal es pada sel E. coli, sehingga sel akan lebih mudah untuk dipecah. Pemecahan sel selanjutnya adalah dengan sonikasi. Pada tahap sonikasi, sel E. coli dilarutkan dalam bufer B, dengan komponen penyusunnya yaitu Tween 20, NaCl dan Tris HCl.

Tween 20 merupakan detergen non-ionik yang dapat menghancurkan lipid bipolar pada membran sel. Rusaknya lipid bipolar akan menyebabkan disosiasi membran sel dengan bagian hidrofobik dari RNA helikase yang sebelumnya menempel pada lipid bipolar tersebut (SIGMA-ALDRICH 2008). NaCl berperan sebagai penghilang kontaminan dan asam nukleat yang berikatan tidak spesifik


(42)

dengan RNA helikase (Vanz et al. 2008), sedangkan Tris HCl berfungsi sebagai larutan penyangga.

Hasil pemecahan sel bakteri (cell lysate) diduga telah mengandung enzim RNA helikase HCV, sehingga harus dimurnikan menggunakan kromatografi afinitas. Metode ini didasarkan pada pengikatan spesifik logam Ni2+ atau Co2+ yang dimiliki resin TALON dengan label 6xHis-tag (tag protein dengan enam histidin) yang terdapat pada ujung RNA helikase. Petty (1996) menjelaskan bahwa histidin akan berikatan secara selektif ke logam Co2+ resin TALON meskipun dalam resin tersebut terdapat ion metal bebas lainnya. BD Bioscience Clontech (2003) menjelaskan bahwa resin TALON menggunakan tetradentate metal chelator untuk purifikasi protein rekombinan polyhistidine-tagged.

Chelator tersebut mengikat kuat logam elektropositif pada kantung elektronegatif yang ideal untuk pengikatan ion logam seperti kobalt. Kantung pengikatan tersebut adalah sebuah struktur oktahedral yaitu 4 dari 6 situs logam kobalt berikatan dengan ligan resin TALON, sedangkan dua situs yang bebas akan berikatan dengan 6xHis-tag. Tetradendate metal berarti tidak ada logam yang tidak berikatan selama purifikasi protein dalam berbagai kondisi. Pengikatan resin TALON dengan 6xHis-tag dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Pengikatan resin TALON (A) dengan 6xHis-tag (B) (BD Bioscience Clontech 2003).

Resin yang telah mengikat dengan protein target, dimurnikan kembali dengan pencucian dalam bufer B. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan protein non target. Pemisahan protein target dari ikatan resin dilakukan dengan penambahan imidazol yang terdapat dalam bufer elusi. BD Bioscience Clontech (2003) menjelaskan bahwa konsentrasi imidazol hingga lebih dari 200 mM menyebabkan protein yang memiliki residu His-tag terdisosiasi karena tidak mampu lagi bersaing untuk berikatan dengan resin.


(43)

Analisis kemurnian protein target menggunakan pengukuran bobot molekul dengan SDS-PAGE. Hasil pelisisan sel, pencucian dari hasil pengikatan dengan resin TALON dan hasil elusi dengan imidazol dilihat kemurniannya berdasarkan ada atau tidaknya protein target pada masing-masing tahapan tersebut. Elektroforesis dilakukan menggunakan gel akrilamid dengan konsentrasi 8%. Hal ini dikarenakan protein target (enzim) memiliki bobot molekul yang besar, sehingga dibutuhkan gel akrilamid dengan konsentrasi rendah agar terjadi pemisahan pita protein yang optimal. Elektroforegram SDS-PAGE dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Analisis SDS-PAGE pemurnian RNA helikase HCV. P: pelet sel, S: supernatan hasil lisis, IV: inner volume (supernatan binding), W1: pencucian pertama, W2: pencucian kedua, E1&E2: RNA helikase HCV, M: marker protein.

Hasil SDS-PAGE menunjukkan pita protein tunggal dengan bobot 54 kDa pada hasil elusi dengan imidazol, sehingga dapat dikatakan bahwa RNA helikase HCV telah berhasil dipurifikasi. Hal ini sesuai dengan hasil yang telah dilaporkan Utama et al.(2000) yang menyatakan bahwa bobot molekul RNA helikase yang dimiliki oleh virus hepatitis C adalah sebesar 54 kDa. Hasil pencucian binding

resin TALON (W1 dan W2) tidak menunjukkan terdapatnya pita protein, hal ini dikarenakan yang terdapat pada tahap itu hanya buffer B. Jalur hasil pelisisan sel menunjukkan pita protein target yang dalam hal ini diduga adalah RNA helikase, sehingga dapat dikatakan bahwa sebelumnya RNA helikase telah terekspresi pada sel bakteri.


(44)

4.2 Kultivasi Mikroalga BTM 11

Mikroalga BTM 11 merupakan salah satu ganggang atau fitoplankton yang diisolasi dari perairan laut Batam, dengan lokasi spesifik yaitu pada titik/stasiun ke-11 di area pengamatan. Kultur mikroalga BTM 11 dilakukan dengan media IMK-SW. Penggunaan media ini disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi mikroalga BTM 11 yang mengacu kepada habitat asal isolat mikroalga tersebut. Kultur tersebut berwarna hijau pekat. Warna ini berhubungan dengan pigmen yang dimiliki oleh BTM 11. Warna kultur semakin pekat seiring dengan lamanya waktu kultur. Kepekatan warna yang terjadi menunjukkan kepadatan biomasa pada kultur tersebut. Kondisi kultur mikroalga BTM 11 dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Kondisi kultivasi mikroalga BTM 11.(A: prekultur pada galon, B: Scale-up kultur, C: Hasil panen).

Pertumbuhan BTM 11 diketahui dengan mengukur kepadatan sel menggunakan spektrofotometer. Hal ini dikarenakan morfologi sel dari BTM 11 yang berbentuk filamen, sehingga tidak memungkinkan untuk dihitung secara manual menggunakan hemasitometer. Kepadatan sel diukur pada serapan panjang gelombang 630 nm dikarenakan mikroalga BTM 11 memiliki serapan optimum pada panjang gelombang tersebut. Andersen (2005) menjelaskan bahwa besarnya serapan gelombang cahaya monokromatik pada pengukuran kepadatan sel kultur mikroalga didasari oleh warna yang dihasilkan oleh mikroalga tersebut.

Kultivasi dilakukan pada suhu ruang dengan intensitas pencahayaan sebesar 4800 lux, sehingga mikroalga BTM 11 berhasil tumbuh dengan baik. Kultur yang ditumbuhkan di bawah cahaya secara kontinyu akan tumbuh dengan cepat. Arad & Richmond (2004) menjelaskan bahwa faktor lingkungan yang penting untuk kultur mikroalga adalah cahaya, yang merupakan faktor utama pada fotosintesis. Morfologi sel mikroalga BTM 11 dapat dilihat pada Gambar 15.


(45)

Gambar 15 Mikroalga BTM 11 dengan perbesaran 1000x. (Dokumentasi Laboratorium Biorekayasa Lingkungan 2010).

Biomassa hasil panen mikroalga BTM 11 diperoleh dari Laboratorium Biorekayasa Lingkungan, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI dengan umur panen 14 hari. Kultur mikroalga BTM 11 sebanyak 30 liter menghasilkan biomassa basah hasil panen sebesar 338 g (kering 38 g). Kurva pertumbuhan mikroalga BTM 11 dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16 Kurva pertumbuhan mikroalga BTM 11.

Mikroalga BTM 11 dipanen sebelum mencapai fase stasioner (fase pertumbuhan) (Gambar 16). Hal ini berdasarkan pada waktu pembentukan

makromolekul polisakarida dalam sel mikroalga. Arad et al. (1985) menjelaskan bahwa aktivitas optimum pembentukan polisakarida terjadi pada fase stasioner. Namun pada fase stasioner, pembentukan optimal polisakarida bersamaan dengan sekresi polisakarida tersebut oleh mikroalga ke media tumbuh yang dapat dilihat dari peningkatan viskositas media tumbuh mikroalga. Hasil penelitian Putri (2011) menunjukkan bahwa biomassa mikroalga BTM 11 yang dipanen pada akhir fase pertumbuhan eksponensial (umur 50 hari pada media yang berbeda)

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3

1 2 4 6 8 10 12 14

Ab

sor

b

an

si

Hari ke-Fase lag


(46)

memiliki aktivitas penghambatan yang optimum terhadap RNA helikase HCV, yaitu sebesar 81,2%.

4.3 Ekstrak Polisakarida Mikroalga BTM 11

Teknik ekstraksi polisakarida yang digunakan mengacu kepada metode Wang et al. (2004). Ekstraksi bertujuan untuk memisahkan satu atau lebih senyawa yang diinginkan dalam suatu larutan atau padatan yang mengandung campuran senyawa-senyawa tersebut. Ekstraksi dilakukan terhadap BTM 11 yang sudah dalam bentuk serbuk, dengan tujuan untuk mempermudah kontak antara sampel dengan pelarut. Ekstraksi polisakarida dilakukan dengan cara maserasi pada suhu ruang, sehingga dapat dihindari terjadinya penguraian zat aktif yang terkandung dalam sampel oleh pemanasan. Maserasi dilakukan secara bertingkat dengan menggunakan pelarut yang berbeda tingkat kepolaran secara bergantian (polar dan semi polar). Pelarut yang digunakan secara berurutan adalah etanol, aseton dan air garam.

Penggunaan etanol dapat melarutkan senyawa-senyawa selain polisakarida yang memiliki tingkat kepolaran sama dengan etanol. Polisakarida cenderung tidak larut terhadap etanol, dikarenakan terjadinya interaksi secara kovalen antar monomer penyusunnya yang menyebabkan terbentuknya konformasi ikatan yang lebih rigid dan kompleks sehingga pada beberapa kasus, polisakarida akan mengendap sebagai presipitat (Varki et al. 1999; Shi et al. 2007). Penggunaan aseton pada tingkat ekstraksi selanjutnya akan melarutkan senyawa selain polisakarida yang pada proses sebelumnya tidak larut terhadap etanol dikarenakan tingkat kepolaran yang berbeda. Rianudo (2006) menjelaskan bahwa penggunaan larutan garam (0,9% NaCl) akan melarutkan polisakarida dikarenakan penambahan garam tidak jenuh dengan konsentrasi rendah menyebabkan molekul polisakarida menjadi bermuatan sehingga terjadi interaksi ionik antara molekul polisakarida dengan garam.

Hasil metabolit yang telah larut dibersihkan dari protein dengan menggunakan TCA. Ekstrak kasar polisakarida diperoleh dengan cara pemekatan konsentrasi sampel menggunakan freeze dryer. Pemekatan konsentrasi dengan


(47)

dikarenakan proses berlangsung pada suhu rendah. Hasil ekstraksi dari 2 g biomassa kering menghasilkan 50 mg ekstrak polisakarida. Ekstrak kasar polisakarida inhibitor kemudian diuji aktivitas penghambatannya menggunakan uji ATPase. Hasil pengujian menunjukkan ekstrak kasar polisakarida BTM 11 dapat menghambat aktivitas ATPase dari RNA helikase HCV sebesar 64,65%. Nilai ini menunjukkan bahwa inhibitor menghambat sebesar 64,65% aktivitas enzim per 1 molekul RNA helikase dalam menghidrolisis ATP menjadi ADP dan fosfat anorganik. Aktivitas inhibisi dari ekstrak kasar polisakarida BTM 11 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3Aktivitas inhibisi dari ekstrak polisakarida

No. Tahapan Aktivitas inhibisi (%)

1 2 3

Maserasi akhir Deproteinasi TCA

Pemekatan menggunakan freeze dryer

103,4 35,1 64,6

Aktivitas inhibisi (Tabel 2) fluktuatif selama proses ekstraksi polisakarida. Hasil maserasi tahap akhir oleh NaCl 0,9% memiliki aktivitas penghambatan terhadap RNA helikase lebih besar dari 100%, hal ini dikarenakan masih terdapatnya banyak senyawa yang dalam aktivitasnya secara in vitro dapat menghambat aktivitas RNA helikase. Pada tahap selanjutnya, yaitu deproteinasi menggunakan TCA 10% menunjukkan aktivitas penghambatan yang lebih rendah dari sebelumnya, hal ini dapat terjadi karena sebagian senyawa terendapkan oleh TCA sehingga filtrat hasil presipitasi tersebut memiliki aktivitas yang rendah. Ye et al. (2008) menjelaskan bahwa penambahan TCA dapat menghilangkan protein yang terkandung dalam sampel.

Ekstrak kasar polisakarida memiliki aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan hasil deproteinasi. Hal ini dikarenakan pemekatan oleh freeze dry

dari hasil deproteinasi yang menyebabkan konsentrasi ekstrak meningkat sehingga aktivitas penghambatan terhadap RNA helikase pun ikut meningkat karena minimnya pengaruh dari pelarut. Zhang et al. (2012) menjelaskan bahwa pelarut dapat mempengaruhi nilai aktivitas antivirus, sehingga pelarut harus dihilangkan agar dapat diketahui besarnya aktivitas penghambatan yang murni dimiliki oleh inhibitor.


(1)

Lampiran 2 Komposisi larutan yang digunakan dalam SDS-PAGE

Medium dan larutan-larutan Bahan-bahan

a Larutan separating 8%  H2O 7,25 ml  1,5 M Tris-Cl pH 8,8

containing 0.4% SDS 3,75 ml  30% Akrilamid 4 ml  10% Amonium Persulfat 0,05 ml

 TEMED 0,015 ml

b Larutan stacking 3,9%  H2O 3,05 ml  0,5 M Tris-Cl pH 6,8

containing 0.4% SDS 1,25 ml  30% Akrilamid 0,65 ml  10% Amonium Persulfat 0,025 ml

 TEMED 0,005 ml

c Dapar sampel SDS 2X (Loading Dye)

 4x Tris Cl/SDS pH 6,8 25 ml  Gliserol 20 ml  SDS 4 g  β- mercaptoethanol (2-ME) 2 ml  Bromphenol blue 1 mg  H2O 53 ml d Commasie Blue G-250 Staining

Solution (500 ml)

 45% H2O 225 ml  45% Metanol 225 ml  10% Asam asetat glacial 50 ml  0,05%Commasie brilliant

blue 250 mg e Commasie Blue G-250

Destaining Solution (1000 ml)

 50% H2O 500 ml  10% Asam asetat glacial 100 ml  40% Metanol 400 ml


(2)

Lampiran 3 Kurva standard fosfat (Uji ATPase)

Data :

Konsentrasi K2HPO4 (mM)

Absorbasi 620 nm dengan referensi 405 nm 0,0

0,1 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0

0,000 0,102 0,239 0,417 0,622 0,834 1,022

Grafik :

Perhitungan konsentrasi enzim: y = 1,0207x + 0,0103 1,203666 = 1,0207x + 0,0103

x = 1,203666−0,0103

1,0207

x = 1,1692 mM (konsentrasi enzim tanpa inhibitor)

Konsentrasi enzim yang telah dihambat oleh inhibitor mikroalga BTM 11 Contoh perhitungan pada Fraksi ke-13

y = 1,0207x + 0,0103 0,787593 = 1,0207x + 0,0103

x = 0,787593−0,0103

1,0207

x = 0,7615 mM (besar konsentrasi enzim yang berhasil dihambat) 0

0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1

A

b

s

620/

405 n

m

[K2HPO4] (mM)

y = 1,0207x + 0,0103 R2 = 0,9989


(3)

Lampiran 4 Tabulasi data hasil fraksinasi kromatografi gel filtrasi

Rata-rata Selisih λ620-λ405 Abs Blanko Abs Enzim (Abs enzim-Abs Sampel)/ Abs enzim

0,442 0,147666667 blanko

2,002 1,351333333 1,203666333 enzim 17x

1,812333333 1,227666667 1,079999667 0,123666333 0,102741403 10,27414028 etanol : air (3:7) 1,811333333 1,237333333 1,089666333 0,113999667 0,094710382 9,471038201 -0,803101799 Fraksi 1

1,815 1,234333333 1,086666333 0,116999667 0,097202768 9,720276777 -0,553863223 Fraksi 2 1,836666667 1,249666667 1,101999667 0,101666333 0,084463907 8,446390721 -1,827749279 Fraksi 3 1,851666667 1,258333333 1,110666333 0,092999667 0,077263682 7,726368167 -2,547771833 Fraksi 4 1,777 1,218666667 1,070999667 0,132666333 0,11021856 11,02185601 0,747716008 Fraksi 5 1,874333333 1,276 1,128333 0,075333 0,062586299 6,258629886 -4,015510114 Fraksi 6 1,312 0,858666667 0,710999667 0,492666333 0,409304851 40,93048515 30,65634515 Fraksi 7 1,284333333 0,798 0,650333 0,553333 0,45970643 45,97064302 35,69650302 Fraksi 8 1,129 0,698666667 0,550999667 0,652666333 0,542232092 54,22320921 43,94906921 Fraksi 9

1,177 0,73 0,582333 0,621333 0,516200507 51,62005074 41,34591074 Fraksi 10

0,965 0,555 0,407333 0,796333 0,661589677 66,15896769 55,88482769 Fraksi 11

0,735333333 0,370333333 0,222666333 0,980999667 0,815009867 81,50098671 71,22684671 Fraksi 12 0,619333333 0,279666667 0,131999667 1,071666333 0,890335303 89,03353034 78,75939034 Fraksi 13 0,810666667 0,436 0,288333 0,915333 0,760454312 76,04543121 65,77129121 Fraksi 14 1,188 0,733333333 0,585666333 0,617999667 0,51343119 51,34311899 41,06897899 Fraksi 15

2,092 1,337 1,189333 0,014333 0,011907788 1,190778837 -9,083361163 Fraksi 16

2,045333333 1,319 1,171333 0,032333 0,026862103 2,686210294 -7,587929706 Fraksi 17 2,070666667 1,322 1,174333 0,029333 0,024369717 2,436971718 -7,837168282 Fraksi 18 2,089333333 1,347 1,199333 0,004333 0,003599836 0,359983583 -9,914156417 Fraksi 19 1,741666667 1,185 1,037333 0,166333 0,138188667 13,8188667 3,544726696 Fraksi 20 1,730666667 1,184666667 1,036999667 0,166666333 0,138465599 13,84655987 3,572419871 Fraksi 21 1,760333333 1,185666667 1,037999667 0,165666333 0,137634803 13,76348035 3,489340345 Fraksi 22 1,722 1,179666667 1,031999667 0,171666333 0,142619575 14,2619575 3,987817498 Fraksi 23 1,715333333 1,192 1,044333 0,159333 0,1323731 13,23731002 2,963170018 Fraksi 24 1,698333333 1,149 1,001333 0,202333 0,168097296 16,80972961 6,535589609 Fraksi 25


(4)

Lampiran 5 Tabulasi data hasil fraksinasi kromatografi ion-exchange

Rata - Rata Selisih λ620-λ405 Abs Blanko Abs Enzim (Abs enzim-Abs Sampel)/ Abs enzim Nama sampel

0,7583 0,3893 blanko

2,0220 1,2657 0,8763 enzim 26x

1,2617 0,7633 0,7467 0,0657 0,0808 8,0837 NaCl 0,25 M

1,3127 0,7990 0,7823 0,0300 0,0369 3,6931 NaCl 0,5 M

1,2710 0,7640 0,7473 0,0650 0,0800 8,0017 NaCl 0,75 M

1,8357 1,2320 0,8427 0,0337 0,0384 3,8418 3,8418 fraksi 1

1,8793 1,2467 0,8573 0,0190 0,0217 2,1682 2,1682 fraksi 2

1,9003 1,2607 0,8713 0,0050 0,0057 0,5706 0,5706 fraksi 3

1,9360 1,2723 0,8830 -0,0067 -0,0076 -0,7607 -0,7607 fraksi 4

1,9653 1,2847 0,8953 -0,0190 -0,0217 -2,1681 -2,1681 fraksi 5

1,9673 1,2640 0,8747 0,0017 0,0019 0,1902 0,1902 fraksi 6

1,9490 1,2380 0,8487 0,0277 0,0316 3,1571 -4,9266 fraksi 7

2,0140 1,2483 0,8590 0,0173 0,0198 1,9780 -6,1058 fraksi 8

1,8893 1,2443 0,8550 0,0213 0,0243 2,4344 -5,6493 fraksi 9

0,9453 0,5413 0,1520 0,7243 0,8265 82,6550 74,5712 fraksi 10

0,9677 0,5557 0,1663 0,7100 0,8102 81,0194 72,9356 fraksi 11

0,9930 0,5777 0,1883 0,6880 0,7851 78,5089 70,4252 fraksi 12

1,0117 0,5943 0,2050 0,6713 0,7661 76,6071 72,9140 fraksi 13

1,0653 0,6377 0,2483 0,6280 0,7166 71,6622 67,9691 fraksi 14

1,1193 0,6837 0,2943 0,5820 0,6641 66,4131 62,7200 fraksi 15

1,0960 0,6657 0,2763 0,6000 0,6847 68,4671 64,7740 fraksi 16

1,0193 0,6053 0,2160 0,6603 0,7535 75,3518 71,6587 fraksi 17

1,0440 0,6233 0,2340 0,6423 0,7330 73,2978 69,6047 fraksi 18

1,1977 0,7583 0,3690 0,5073 0,5789 57,8927 49,8911 fraksi 19

1,9197 1,2220 0,8327 0,0437 0,0498 4,9829 -3,0188 fraksi 20

2,0147 1,1567 0,7673 0,1090 0,1244 12,4382 4,4365 fraksi 21

2,0180 1,0930 0,7037 0,1727 0,1970 19,7033 11,7017 fraksi 22

1,9543 1,0480 0,6587 0,2177 0,2484 24,8384 16,8367 fraksi 23

1,9060 1,1000 0,7107 0,1657 0,1890 18,9046 10,9029 fraksi 24

1,9390 1,0667 0,6773 0,1990 0,2271 22,7083 22,7083 fraksi 25

1,9383 1,0687 0,6793 0,1970 0,2248 22,4801 22,4801 fraksi 26

1,9447 1,1293 0,7400 0,1363 0,1556 15,5573 15,5573 fraksi 27

1,9183 1,1377 0,7483 0,1280 0,1461 14,6063 14,6063 fraksi 28

1,9400 1,1607 0,7713 0,1050 0,1198 11,9818 11,9818 fraksi 29

1,9580 1,1657 0,7763 0,1000 0,1141 11,4112 11,4112 fraksi 30


(5)

Lampiran 6 Kurva standard glukosa (Uji kandungan gula)

Data :

Konsentrasi Glukosa

(mg/mL) Absorbasi 490 nm 0,0

0,1 0,3 0,5 0,8 1,0

0,000 0,022 0,137 0,273 0,395 0,399

Grafik :

Perhitungan kandungan gula (glukosa) pada fraksi ke-10 ion-exchange: y = 0,4427x + 0,0051

0,151 = 0,4427x + 0,0051 x = 0,151−0,0051

0,4427

x = 0,3212 x 10 (dilusi sampel 10x) x = 3,212 mg/mL

y = 0,4427x + 0,0051 R² = 0,9583

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35

0,4

0,45

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1

A

b

so

r

b

an

si

490n

m


(6)

AKSAR CHAIR LAGES. C34080078. Optimasi Pemurnian Polisakarida dari Mikroalga BTM 11 sebagai Inhibitor RNA Helikase Virus Hepatitis C. Dibimbing oleh IRIANI SETYANINGSIH dan APON ZAENAL MUSTOPA.

Infeksi virus Hepatitis C (HCV) merupakan penyebab utama penyakit hati kronis di seluruh dunia. Pengobatan yang dilakukan terhadap penderita hepatitis C selama ini adalah melalui terapi dengan pemberian interferon yang dikombinasikan dengan ribavirin. Pengobatan ini masih belum optimal, memerlukan biaya yang mahal dan dapat memberikan efek samping.Usaha dalam menemukan obat HCV terus dilakukan dengan mencari unsur antiviral yang melawan virus dengan cara menghambat enzim yang berperan dalam proses replikasi virus HCV, yaitu RNA helikase. Inhibitor enzim RNA helikase dapat diperoleh dari hasil metabolit mikroalga, salah satunya adalah polisakarida. Mikroalga BTM 11 yang diekstraksi menggunakan metanol 80% memiliki aktivitas penghambatan terhadap RNA helikase HCV sebesar 80% (dilusi 5x). Namun, diperlukan teknik pemurnian polisakarida yang terbaik dalam menghasilkan aktivitas inhibisi yang maksimal. Oleh karena itu, perlu adanya optimasi dalam pemurnian polisakarida mikroalga BTM 11.

Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui teknik pemurnian terbaik dari polisakarida mikroalga BTM 11 sebagai inhibitor RNA helikase virus hepatitis C, (2) mengetahui kandungan gula dari polisakarida inhibitor termurnikan, dan (3) mengetahui profil senyawa polisakarida inhibitor yang paling aktif. Tahap satu yaitu preparasi RNA helikase HCV yang meliputi (1) ekspresi RNA helikase dengan cara menumbuhkan bakteri E.coli BL21 (DE3) pLysS yang membawa gen NS3 RNA helikase HCV dalam plasmid pET 21b, (2) pemurnian RNA helikase yang telah terekspresi pada sel bakteri menggunakan kromatografi afinitas. Tahap dua meliputi (1) kultivasi mikroalga BTM 11 dalam media IMK-Sea Water pada suhu ruang dengan pencahayaan 4800 lux, (2) ekstraksi polisakarida dari biomassa mikroalga BTM 11. Penelitian tahap tiga meliputi (1) pemurnian ekstrak polisakarida menggunakan teknik kromatografi gel filtrasi dan kromatografi ion-exchange, (2) penentuan profil senyawa polisakarida inhibitor yang paling aktif menggunakan kromatografi lapis tipis dan kromatografi cair kinerja tinggi.

Hasil analisis enzim dengan SDS-PAGE menunjukkan pita tunggal yang tebal berukuran 54 kDa, sehingga dapat dikatakan RNA helikase telah terpurifikasi, dan dapat digunakan dalam pengujian aktivitas ATPase secara in vitro. Sebanyak 25 fraksi yang dikoleksi dari kromatografi gel filtrasi, menghasilkan fraksi aktif pada fraksi ke-13 dengan nilai penghambatan terhadap RNA helikase sebesar 78,76% dengan kandungan gula sebesar 2,97 mg/mL. Fraksinasi menggunakan kromatografi ion-exchange menghasilkan 30 fraksi dengan aktivitas tertinggi sebesar 74,6% terdapat pada fraksi ke-10, dan kandungan gula sebesar 3,21 mg/mL. Hasil KLT menunjukkan satu spot senyawa aktif pada fraksi ke-13 kromatografi gel filtrasi. Hasil KCKT menunjukkan 3 puncak terdeteksi pada fraksi polisakarida dengan retention time (RT) 4,072; 4,706 dan 5,530.