Status Dan Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (Fma) Pada Tanah Bekas Erupsi Gunung Sinabung Di Kabupaten Karo

LAMPIRAN

Lampir an 1. Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah

Lampir an 2. Data Curah Hujan 2012-2014 Kecamatan Barus Jahe Kabupaten Karo

Lampir an 3. Kategori persen kolonisasi FMA pada akar tanaman

Tabel kategori persen kolonisas FMA pada akar tanaman
Rajapakse dan Miller (1992)
Persen kolonisasi
Persentasi
0-5
kategori
6 - 25
Kelas 1
26 - 50
Kelas 2
51 - 75
Kelas 3
75 - 100

Kelas 4

Kategori
Tidak dikolonisasi
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi

Sumber: Nusantara dkk. (2012)

Lampir an 4. kriteria penelitian sifat kimia tanah

Tabel kriteria penilaian sifat kimia tanah
Sifat tanah Sangat rendah
Rendah
pH
8,5
(alkalis)


Lampir an 5. Dokumentasi di Lapangan
Gambar 1. Kondisi lapangan

Gambar 3. Pengambilan sampel tanah
Kedalaman 0-5 cm

Gambar 2. Penentuan petak sampel

Gambar 4. Pengambilan sampel tanah
kedalaman 5-10 cm

Gambar 5. Pengambilan sampel tanah
Kedalaman 10-20 cm

Lamir an 6. Dokumentasi Laboratorium

Gambar 6. Perendaman akar

Gambar 8. Menimbang sampel tanah


Gambar 10. Penyaringan ekstraksi tanah

Gambar 7. Preparasi akar tanaman

Gambar 9. Ekstraksi tanah

Gambar 11.Hasil endapan ekstrasi tanah

Lampir an 7. Dokementasi di Rumah Kaca

Gambar 12. Bibit jagung

Gambar 13. Hasil stressing

Lampir an 8. Tipe dan karakteristik spora dari lapangan dan hasil trapping

Tipe dan karakteristik spora dari lapangan pada kedalaman 0-5cm terkena debu vulkanik

No
1


Tipe spora

Karakteristik
Spora berwarna kuning, Pecah sehingga sulit di
identifikasi.

2

Spora berwarna kuning transparan, pecah sehingga
sulit di identifikasi.

3

Spora berwana orange, pecah sehingga sulit
diidentifikasi.

4

Spora berwarna kuning, Pecah sehingga sulit di

identifikasi.

5

Spora berwarna kuning, Pecah sehingga sulit di
identifikasi.

Lampir an 8. Lanjutan
Tipe dan karakteritik spora di lapangan pada kedalaman 5-10cm terkena debu vulkanik

No
1

Tipe spora

Karakteristik
Spora berbentuk bulat, warna hitam, tidak
menyerap pewarnaan, tidak jelas bentuknya
sehingga sulit di identifikasi.


2

Spora warna orange, bulat, Pecah, sehingga sulit
diidentifikasi.

3

Spora warna orange, bulat, Pecah, sehingga sulit
diidentifikasi

4

Spora berwarna coklat kekuningan, pecah, sehingga
sulit diidentifikasi

5

Spora berwarna hitam, bulat, pecah, sehingga sulit
diidentifikasi


Lampir an 8. Lanjutan
Tipe dan karakteritik spora di lapangan pada kedalaman 0-20cm tidak terkena debu
vulkanik (kontrol)

No
1

Tipe spora

Karakteristik
Spora berbentuk bulat, warna coklat, dinding spora tipis
dengan permukaan halus

Glomus sp-13
Spora berbentuk bulat, berbwarna orange, dinding spora
tebal, dengan permukaan halus

2

Glomus sp- 8

Spora berbentuk bulat, berwarna orange, dinding spora
tipis, permukaan halus

3

Glomus sp-1
Spora berbentuk bulat, permukaan halus, dinding spora
tebal warnanya coklat

4

Glomus sp-3
Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar,warnanya
coklat orange, dinding halus

5

Glomus sp-4

Lampir an 8. Lanjutan

Tipe dan karakteristik spora hasil trapping pada kedalaman 0-5cm terkena debu vulkanik

No
1

Tipe spora

Karakteristik
Spora berwarna kuning, pecah tak berbentuk
sehingga sulit diidentifikasi

2

Spora berwarna kuning, pecah tak berbentuk
sehingga sulit diidentifikasi

3

Spora berbentuk bulat, warna hitam, tidak
menyerap pewarnaan, tidak jelas bentuknya

sehingga sulit di identifikasi.

4

Spora berbentuk bulat, warna hitam, tidak
menyerap pewarnaan, tidak jelas bentuknya
sehingga sulit di identifikasi.

Lampir an 8.Lanjutan
Tipe dan karakteristik spora hasil trapping pada kedalaman 5-10cm terkena debu
vulkanik

No
1

Tipe spora

Karakteristik
Spora berbentuk bulat lonjong, warna merah bata,
dinding spora tipis, dengan permukaan berbintik.


Glomus sp-11
Spora berbentuk bulat, tidak menyerap larutan,
permukaan halus warna coklat

2

Glomus sp-12
Spora berbentuk bulat lonjong, warna coklat
kekuningan, dinding spora tebal dengan permukaan
berbintik

3

Glomus sp-5
Spora berbentuk bulat, permukaan halus, dinding spora
tebal,tidak menyerap larutan

4

Glomus sp-7

Lampir an 8. Lanjutan
Tipe dan karakteristik spora hasil trapping kedalaman 0-20cm tidak terkena debu
vulkanik (kontrol)

No
1

Tipe spora

Karakteristik
Spora berbentuk bulat berwarna coklat kekuningan,
dinding spora tebal, dengan permukaan kasar.

Glomus sp-2
Spora berbentuk bulat, warnanya kuning, permukaan
kasar, dinding spora tipis.

2

Glomus sp-9
Spora berbentuk bulat, warnanya kuning, permukaan
kasar, dinding spora tipis.

3

Glomus sp-9
Spora berbentuk bulat, warna kuning, dinding spora
tebal, ada tangkai hifa (subtending hyphae)

4

Glomus sp-6
Spora berbentuk bulat, warnanya kuning, permukaan
halus, dan dimding spora tipis.

5

Glomus sp-9
Spora berbentuk bulat lonjong, berwarna coklat
kekuningan, dinding spora tebal, dengan permukaan
kasar.

6

Glomus sp-2

Spora berbentuk bulat lonjong, halus tanpa ornamen,
berwarna coklat kekuningan

7

Glomus sp-2
Spora berbentuk bulat, warna coklat kekuningan,
permukaan halus, menyerap larutan dan ada perbedaan
lapisan

8

Acaulospora sp-3
Spora berbentuk bulat, warnanya kuning, permukaan
halus, ada tangkai hifa (subtending hyphae)

9

Glomus sp-10
Spora berbentuk bulat, warnanya kuning, permukaan
halus, dinding spora tebal. Ada tangkai hifa (subtending

10

hyphae)

Glomus sp-10
11

Spora berbentuk bulat lonjong, berwarna coklat tua,
dinding spora tipis dengan permukaan bercorak
kulit jeruk.

Acaulospora sp-1
Spora berbentuk bulat, ada ornamen seperti kulit jeruk,
permukaan halus, menyerap larutan warnanya orange

12

Acaulospora sp-2

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2004 Studi Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Biota Tanah dengan
Metode Forest Health Monitoring di Taman Buru Masigit Gunung
Kareumbi Sumedang. Skripsi. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.
Burhanuddin, 2012. Keanekaragaman Jenis Jamur Mikoriza Arbuskula pada
Tanaman Jabon (Anthocephalus spp). Fakultas Kehutanan. Universitas
Tanjungpura. Pontianak.
Corryanti. 2011. Jamur Mikoriza Arbuskula Pada Lahan Tanaman Jati Bertumpangsari
Tebu. 16 (1): 1-8. Jurnal Agrotropika.
Daniels B A, Trappe J M. 1980. Factors Affecting Spore Germination of the VesicularArbuscular Mycorrhizal Fungus, Glomus Epigaeus. Mycologia. 72: 457-471.

Delvian. 2005. Respon Pertumbuhan dan Perkembangan Cendawan Mikoriza
Arbuskula dan Tanaman Terhadap Salinitas Tanah. Dapartemen
Kehutanan. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Delvian. 2006. Dinamika Sporulasi Cendawan Mikoriza Arbruskula. Karya Tulis.
Departemen Kehutanan. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Gianinazzi-Pearson V dan Gianinazzi S. 1982.The Physiology of Vesicular Arbuscular
Mycorrhizal Roots.71 : 192-209. Plant and Soil.
Hairiah, K. 2010. Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi Refleksi Pengalaman dari
Lampung Utara.SMT Grafika Desa Putera. Jakarta.
Hardiatmi, Sri. 2008. Pemanfaatan Jasad Renik Mikoriza Untuk Memacu Pertumbuhan
Tanaman Hutan. Jurnal Inovasi Pertanian Volume 7 Nomor
1 (110).Innofarm.

Hardjowigeno, H.S. 2007. Ilmu Tanah . Akademika Presindo. Jakarta.
Hakim, N., M. Y. Nyapka, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.A. Diha. Go Ban Hong,
dan H.H. Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung.
Lampung.
Hanafiah A S ; T Sabrina & H Guchi. 2009. Biologi dan Ekologi Tanah Universitas
Sumatera Utara. Medan.
Hapsoh.2008. Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Budidaya Kedelai DiLahan
Kering. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu
Budidaya Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Medan.
McGeary, D., Plummer, C.C & D. H. Carlson. 2002. Physcal Geology Earth Reavealed.
McGraw Hill Higher Education. Boston. 574 p.

Mukhlis. 2007. Analisis Tanah dan Tanaman. Universitas Sumatera Utara Press. Medan.
Mukhlis. 2011. Tanah Andisol Genesis, Klasifikasi, Karakteristik, Penyebaran
Analisa. USU Press. Medan.

dan

Nurhalimah, S., S. Nurhatika, dan A. Muhibuddin. 2014. Explorasi Mikoriza
Vesikular Arbuskular (MVA) Indegenus pada Tanah Regosol di
Pamekasan, Madura. Jurnal Sains dan Seni Pomits. Vol. 3:30-34.
Nurhandayani, R., R. Linda, dan S. Khotimah. 2013. Inventarisasi Jamur Mikoriza
Vesikular Asbukular dari Rhizosfer Tanah Gambut Tanaman Nanas
(Ananas comosus (L.) Merr). Jurnal Protobiont. Vol. 02:146-251.
Nusantara, A.P., Y.H. Bertham, dan I. Mansur. 2012. Bekerja Dengan Fungi Mikoriza
Arbuskula.Fakultas Kehutanan dan Seameo Biotrop. Bogor.

Prihastuti. 2007. Isolasi dan Karakteristik Mikoriza Arbuskular-Arbuskular di
Lahan Kering Masam, Lampung Tengah. Berk. Penel. Hayati.
Sari, M. L. 2008. Keberadaan Mikoriza Pada Areal Sistem Silvikultur Tebang Pilih
Tanaman Indonesia Intensif (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Sari Bumi
Kusuma Untit Sungai Seruyan Kalimantan Tengah). Skripsi. Departemen
Silvikultur, Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.
Sasli, Iwan. 1999. Tanggap Karakter Morfofisiologi Bibit Kakao Terhadap Cekaman
Kekeringan dan Aplikasi Mikoriza Arbuskula. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Setiadi, Y . 2001. Peranan Mikoriza Arbuskula Dalam Rehabilitasi Lahan Kritis di
Indonesia. Disampaikan dalam Rangka Seminar Penggunaan Cendawan
Mikoriza dalam Sistem Pertanian Organik dan Rehabilitasi Lahan Kritis.
Bandung 23 April 2001.
Sanchez, P.A. 1992. Myths and Science of Soil of The Tropics. Soil Sci. SOC. of Am.,
Inc. Madison.

Siregar, N. 2014. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Areal
Tanaman Kelapa Sawit (Studi Kasus di PTPN III kebun Batang Toru
Kabupaten Tapanuli Selatan). Tesis. Program Pascasarjana. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara.
Medan.

Simanungkalit R D M. 1997. Effectiveness of 10 Species of Arbuscular Mycorrhizal
(AM) Fungi Isolated from West Java and Lampung on Maize and Soybean. Di
dalam: Jenie UA et al., editor. Challenges of Biotechnology in the 21 th century.
Proceedings of the Indonesian Biotechnology Conference Vol II; 17-19 Jun
1997. Jakarta: The Indonesian Biotechnology Consortium. Hlm 267-274.
Smith S E dan Read D J. 1997.Mycorrhizal Symbiosis.Academic Press. New
York.

Sumarni, 2001. Pewarnaan Akar pada Cendawan Mikorriza Arbuskular. Fakultas
Pertanian UNPAD, Bandung.
Suriadikarta, D.A., Abdullah A. I., Sutono, Dedi.E , Edi.S , dan A. Kasno. 2011.
Identifikasi Sifat Kimia Debu Volkanik, Tanah dan Air diLokasi Dampak
Letusan Gunung Merapi. Balai Penelitian Tanah. Bogor.
Soelaeman, Y, dan Abdullah, A.I. 2014. Rehabilitasi Sifat Fisika Tanah Pertanian Pasca
Erupsi Merapi. Balai Peneliti Tanah.

Ulery, A. L. Dan Graham R. C. 1993. Forest Fire Effects on Soil Color and
Texture. Soil Science Society of America Journal, 57 (1):135:140
Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Gava
Media. Yogyakarta.
Yulipriyanto, H. 2010. Biologi Tanah dan Strategi Pengelolaannya. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Zebua, Heronimus. F 2008. Keanekaragaman Cendawan Mikoriza (CMA)
Berdasarkan Ketinggian Tempat (Studi Kasus Hutan Pegunungan
Sinabung Kabupaten Karo). Fakultas Peranian. Universitas Sumatera
Utara. Medan.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei – Agustus 2015. Pengambilan tanah
dilakukan di areal tanah bekas letusan Gunung Sinabung di Desa Sukanalu Kecamatan
Barusjahe Kabupaten Karo, dan sebagai pembanding (kontrol) di Desa Kutagugung
Kecamatan Naman Teran Kabupaten Karo. Ekstraksi spora identifikasi dan penghitungan
ersentase kolonisasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) dilakukan di Laboratorium Biologi
Tanah sertaanalisis sampel tanah di lakukan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Sumatera Utara, kegiatan pemerangkapan dilakukan di rumah kaca Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara.
Alatdan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengambil sampel tanah GIS,
cangkul, tali plastik, kantong plastik, spidol dan kertas label.Alat untuk pengamatan di
laboraturium adalah saringan 710 μm, 425μm, 200μm, dan 53 μm, pinset, erlemenyer,
gelas ukur, pipet tetes, tabung sentrifuge, penggaris, cawan petri, cover glass, mikroskop
binokuler, mikroskopstereo, kamera digital, batang pengaduk, kalkulator, alat tulis,
preparat, dan timbangan. Alat untuk pemerangkapan di rumah kaca berupa pot (aqua

cup)dan sprayer.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah dan akar
tanaman rumput belulang (Eleusene indica ) tegakan yang ada pada petak contoh. Benih
jagung (Zea mays) sebagai inang pada perlakuan pemerangkapan. Untuk ekstraksi dan
identifikasi spora mikoriza digunakan bahan berupa larutan gluksa 60%, larutan Melzer’s
sebagai pewarnaan spora dan larutan polyvinyl lacto glycerol (PVLG) sebagai bahan
pengawet spora. Larutan Trypan Blueuntuk bahan proses pewarnaan akar (staining).
Larutan KOH 10% untuk mengeluarkan cairan sitoplasma dalam akar, sehingga akar
pucat dan sebagai pengawet. Larutan HCl 2% untuk mempermudah masuknya Trypan

Blue pada saat pewarnaan. Hyponexmerah sebagai pupuk untuk memperbanyak spora
pada saat trapping dan buku panduan mikoriza.
Pr osedur Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanah bekas letusanGunung Sinabung di Desa
Sukanalu Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo danpengambilan sampel tanah sebagai
pembanding (kontrol)di Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten
Karo.Kegiatan penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan kegiatan yang diawali dengan
pengambilan sampel (eksplorasi) lapangan, analisis tanah, dan identifikasi sporafungi
mikoriza arbuskula (FMA). Diagram alur dari kegiatan penelitian ini disajikan pada
gambar berikut ini.
Pengambilan Contoh Tanah dan Akar
Analisis Tanah

Pengamatan Contoh Tanah dan Akar

Pemerangkapan (Trapping culture)
Kolonisasi FMA pada Akar
Tanaman sampel

Ekstrasi Spora

Variabel Pengamatan
Gambar 1. Alur Prosedur Penelitian
Pengambilan Sampel Tanah dan Akar
Pengambilan sampel tanah dilakukan di areal tanah bekas letusan Gunung
Sinabung di Desa Sukanalu Kecamatan
pembanding

BarusjaheKabupaten Karo, dan sebagai

(kontrol) di Desa Kutagugung Kecamatan Naman Teran Kabupaten

Karo.Petak penelitian dibuat sesuai metode ICRAF(Ervayenridkk., 1999). Ukuran petak
sampel tanah adalah 20 m x 20 m dengan jarak antar petak 100 m. Sampel tanah di ambil
dari kedalaman kedalaman 0-5 cm, 5-10cm dan 0-20 cm. Setiap petak terdapat limatitik

sampel tanah secara diagonal. Sampel tanah setiap titik dalam 1 petak dikompositkan
sehingga homogen mewakili 1 petak. Selanjutnya diambil hanya 500 g tanah yang
komposit, sehingga total sampel tanah yang diambil untuk setiap petak pengamatan
sebanyak 2500 gr.
Akar tanaman yang diambil yaitu akar tanaman rumput belulang

(Eleusene

indica ) yang berada pada setiap petak contoh. Setiap jenis yang tumbuh pada petak
contoh dicabut sebagai sampel yang mewakili tiap jenis tanaman tersebut. Akar yang
diamati adalah akar yang memiliki diameter 0.5-1.0 cm.

20 m

20 m

100 m

20 m

20 m

20 m

100 m

20 m

Gambar 2. Petak Pengambilan Sampel Tanah
Analisis Tanah
Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan analisa awal terhadap
kondisi tanah, meliputi pH, C-Organik, P-tersedia,S dan KTK untuk mengetahui sifat
tanah.

Pengamatan Contoh tanah dan Akar
1. Ekstr asi dan Identifikasi Spor a Fungi Mikor iza Ar buskula (FMA)
Teknik

yang

digunakan

dalam

mengekstraksi

spora

fungi

mikoriza

arbuskula(FMA) adalah teknik tuang – saring dari Pacioni (1992) dan akan dilanjutkan
dengan teknik sentrifugasi dari Brundrett dkk. (1996). Prosedur kerja teknik tuang –
saring ini, pertama adalah mencampurkan tanah sampel sebanyak 50 g dengan 200-300
ml air dan diaduk sampai butiran-butiran tanah hancur. Selanjutnya disaring dalam satu
set saringan dengan ukuran 710 μm, 250 μm, dan 53 μm secara berurutan dari atas ke
bawah. Dari saringan bagian atas disemprot dengan air kran untuk memudahkan bahan

saringan lolos. Kemudian saringan paling atas dilepas dan saringan kedua kembali
disemprot dengan air kran. Setelah saringan kedua dilepas sejumlah tanah sisa yang
tertinggal pada saringan terbawah dipindahkan ke dalam tabung sentrifugase.
Ekstraksi

spora

teknik

tuang–saring

ini

kemudian

diikuti

dengan

tekniksentrifugasi dari Brundrett dkk. (1996). Hasil saringan dalam tabung sentrifugasi
ditambahkan dengan larutan glukosa 60% yang diletakkan pada bagian bawah dari
larutan tanah dengan menggunakan pipet. Tabung sentrifugasi ditutup rapat dan
disentrifuse secara manual selama 3 menit serta didiamkan selama 1 hari. Selanjutnya
larutan supernatan tersebut dituang ke dalam saringan 53 μm, dicuci dengan air mengalir
(air kran) untuk menghilangkan glukosa. Endapan yang tersisa dalam saringan di atas
dituangkan ke dalam cawan petri dan kemudian diamati di bawah mikroskop binokuler
untuk penghitungan kepadatan spora danpembuatan praparat guna identifikasi spora fungi
mikoriza arbuskula (FMA) yang ada.
Pembuatan preparat spora menggunakan bahan pewarna Melzer’s yang diletakan
secara terpisah pada satu kaca preparat. Spora-spora fungi mikoriza arbuskula (FMA)
yang diperoleh dari ekstraksi setelah dihitung jumlah diletakan dalam larutan Melzer’s
dan jenis spora fungi mikoriza arbuskula (FMA) yang ada di larutan ini sama.
Selanjutnya spora-spora tersebut dipecahkan secara hati-hati dengan cara menekan kaca
penutup preparatmenggunakan ujung pinset. Perubahan warna spora dalam larutan
Melzer’s adalah salah satu indikator untuk menentukan tipe spora yang ada.
2. Kolonisasi FMA Pada Akar Tanaman Sampel
Pengamatan kolonisasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada akar tanaman
contoh dilakukan melaluiteknik pewarnaan akar (staining). Metoda yang digunakan untuk
pembersihandan pewarnaan akar sampel adalah metode dari Kormanik dan McGraw
(1982). Langkah pertama adalah memilih akar-akar halus dengan diameter 0,5-2,0 mm
(Rajapakse dan Miller Jr., 1992) segar dan dicuci dengan air mengalir hinggabersih.

Akar sampel dimasukan ke dalam larutan KOH 10% dan dibiarkan selama
lebih kurang 24 jam sehingga akar akan berwarna putih atau pucat. Tujuannya adalah
untuk mengeluarkan semua isi sitoplasma dari sel akar sehingga akan memudahkan
pengamatan struktur infeksi fungi mikoriza arbuskula (FMA). Larutan KOH kemudian
dibuang dan akar contoh dicuci pada air mengalir selama 5-10 menit. Selanjutnya akar
contoh direndam dalam larutan HCl 2% dan diinapkan selama satu malam.Larutan HCl
2% kemudian dibuang dengan mengalirkannya secara perlahanlahan. Selanjutnya akar
sampel direndam dalam larutan Trypan Blue 0,05%. Kemudian larutan Trypan Blue
dibuang. Selanjutnya kegiatan pengamatan siapdilakukan.
Penghitungan persentase kolonisasi akar menggunakan metoda panjangakar
terkolonisasi (Giovannetti dan Mosse, 1980). Secara acak diambil potong-potonganakar
yang telah diwarnai dengan panjang ± 1 cm sebanyak 10 potonganakar dan disusun pada
kaca preparat, untuk setiap tanaman sampel dibuat duapreparat akar. Potongan-potongan
akar pada kaca preparat diamati untuk setiapbidang pandang.Bidang pandang yang
menunjukan tanda-tanda kolonisasi (terdapat hifa dan atau arbuskula dan atau vesikula)
diberi tanda positif (+), sedangkan yang tidak terdapat tanda-tanda kolonisasi diberi tanda
negative (-). Derajat atau persentase kolonisasi akar dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
% kolonisasi akar =

∑ bidang pandang bertanda (+ )
∑ bidang pandang Keseluruhan

X 100%

Pemer angkapan (Trapping Culture)
Teknik trapping yang digunakan mengikuti metoda Brundrett dkk (1996) dengan
menggunakan pot kultur terbuka. Media tanam yang digunakan berupa campuran contoh
tanah dan pasir. Teknik pengisian media tanam dalampot kultur adalah pot kultur diisi
dengan pasir sampai setengah volume pot,kemudian dimasukkan contoh tanah dan
terakhir ditutup dengan pasir sehinggamedia tanam tersusun atas pasir – contoh tanah –
pasir. Benih yang digunakan untuk ditanam sebagai inang adalah jagung (Zea mays).

Dari setiap contoh tanah dibuat 5 pot kultur. Di samping itu diberikan
penambahan terabuster guna merangsang pembentukan spora yang lebih baik. Perlakuan
terabuster diberikan dengan konsentrasi 1:250 sebanyak 20 ml tiap pot. Frekuensi
pemberian terabuster adalah 3x1 minggu selama satu bulan pertama dan1x1 minggu
selama 1 bulan kedua. Penambahan terabuster ini diharapkan berpengaruh terhadap
sporulasi cendawan mikoriza.
Pemeliharaan kultur meliputi kegiatan penyiraman, pemberian hara dan
pengendalian hama secara manual. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagidan sore
selama 8 minggu. Ketika umur jagung mencapai 8 minggu,

selama 2 minggu agar

tanaman berada dalam keadaan stress kekeringan. Proses pengeringan ini berlangsung
secara perlahan sehingga dapat merangsang pembentukan spora lebih banyak. Larutan
hara yang digunakan adalah Hyponex merah (25-5-20) dengan konsentrasi 1 g/l.
Pemberian larutanhara dilakuan setiap minggu sebanyak 20 ml tiap pot kultur.
Pengendalian hama secara manual dilakukan dengan cara membuat tatakan.
Pemanenan dilakukan setelah pembentukan spora-spora baru diasumsikan cukup
baik setelah dilakukan proses stressing pada kultur. Variabel yang diamati adalah jumlah
spora per 50 g media tanam dan jenis spora. Selanjutnya spora-sporayang diperoleh dari
kultur ini akan diidentifikasi jenisnya.

Var iabel Pengamatan
Pengamatan

yang dilakukan meliputi analisis tanah lokasi penelitian,

penghitungan kepadatan spora fungi mikoriza arbuskula (FMA) hasilisolasi dari
lapangan, kepadatan spora fungi mikoriza arbuskula (FMA) hasil pemerangkapan,
penyajian tabel hasil identifikasi hasil tipe-tipe sporafungi mikoriza arbuskula (FMA)
secara deskriftif.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Kimia Tanah Bekas Er upsi Gunung Sinabung
Sifat kimia tanah dapat mempengaruhi keberadaan mikoriza di dalam tanah.
Hasil analisis sifat kimia tanah dapat di lihat pada Tabel 1.
Tabel1. Data Hasil Analisi Sifat Kimia Tanah Bekas Erupsi Gunung Sinabung
Analisis
Kimia
pH (H2O)
C-Organik
(%)
P-Tersedia
(Ppm)
KTK
(Me/100)
S
(ppm)

0-5 Cm

Sampel Tanah
(Terkena Debu Vulkanik)
Kriteria
5-20 Cm

Kriteria
Sangat
Masam

Sampel Tanah
(Kontrol)
0-20
Kriteria

4,54

Masam

4,43

5,14

0,91

Sangat
Rendah

3,01

Tinggi

7,19

19,23

Sedang

27,80

Tinggi

0,61

13,14

Rendah

24,88

Sedang

3,65

480.44

Sedang

646,43

Sedang

89.39

Sumber kriteria: staf pusat penelitian tanah (1983) dan BPP (1982) dalam
(2007)

Masam
Sangat
Tinggi
Sangat
Rendah
Sangat
Rendah
Rendah

Muklis

Erupsi menyebabkan perubahan sifat kimia pada tanah. Berdasarkan Staf Pusat
Penelitian Tanah (1983) dan BPP Medan (1982) dalam Mukhlis (2007) hasil analisis sifat
kimia tanah diketahui bahwa pada sampel tanah yang terkena debu vulkanik dengan
kedalaman 0-5 cmmemiliki kriteria pH yang masam dengan KTK yang rendah
kandungan C-Organik sangat rendah dan P-tersedia sedang. Untuk kedalaman 5-20 cm
dapat dilihat bahwa memiliki pH yang bereaksi sangat masam, kandungan C-organik
tinggi, P-tersedia tinggi dan KTK sangat rendah. Hal ini dikarenakan tanah tersebut sudah
bercampur dengan debu vulkanik yang kemudian dapat merubah sifat kimia tanah. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Soelaeman dan Abdullah (2014) bahwa sifat masam dari debu
vulkanik dapat memasamkan tanah, sehingga mengubah sifat kimia tanah yaitu pH dan
KTK tanah yang sangat rendah. Sedangkan pada tanah yang tidak terkena erupsi Gunung
Sinabung (kontrol) memiliki kreteria pH yang sangat masam dengan KTK sangat rendah
P-tersedia sedang dan kandungan C-organikyang sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Sanchez (1992), bahwa nilai KTK pada tanah Andisol termasuk rendah

dengan nilai kejenuhan basanya sangat rendah. Hal ini diduga karena tanah Andisol telah
mengalami pelapukan lanjut serta berada pada daerah curah hujan yang tinggi sehingga
lapisan yang kaya bahan organik cepat tererosi.
Unsur hara S yang terendah terdapat pada tanah yang terkena debu vulkanik,
sampel tanah yang terkena debu vulkanik dengan kedalaman 5-20 cm memiliki pH yang
lebih rendah dibandingkan dengan sampel tanah yang terkena debu vulkanik pada
kedalaman 0-5 cm dan sampel tanah yang tidak terkena debu vulkanik, hal ini
dikarenakan curah hujan yang tinggi pada daerah tersebut mengakibatkan terjadinya
pencucian hara, sehingga unsure S yang banyak terkandung dalam debu vulkanik tercuci
kelapisan dibawahnya yang mengakibatkan unsure S pada tanah yang terkena debu
vulkanik pada kedalaman 5-20 cm lebih tinggi dibandingkan pada tanah yang terkena
debu vulkanik pada kedalaman 0-5 cm. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hairiah, dkk
(2010) bahwa curah hujan yang tinggi mengakibatkan banyak hara yang hilang terbawa
aliran air kelapisan bawah dan samping sehingga kemasaman tanah meningkat.
Penurunan pH tanah ini juga berdampak pada nilai KTK tanah dan P-tersedia
dalam tanah. Pada penelitian ini pH tanah rendah dan KTK tanah yang rendah juga
berbanding lurus nilainya.Hal ini karena pH tanah yang rendah konsentrasi hydrogen
dalam tanah tinggi dan terikat kuat pada kation-kation masam sehingga yang terbentuk
adalah asam kuat dan pertukaran kation yang terjadipun rendah. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Hakim dkk. (1986) bahwa seiring dengan peningkatan pH maka jumlah kation
yang dapat dipertukarkan (KTK) dalam tanah akan meningkat karena kation-kation
masam tadi dapat dipertukarkan. Kondisi sebaliknya diperoleh jika pH menurun maka
kation-kation akan terjerap dalam tanah dan tidak dapat dipertukarkan sehingga KTK
tanah jadi rendah juga.
Tingkat kemasaman pH tanah mencapai rata-rata 4,5. Sifat kimia tanah diketahui
sangat mempengaruhi kemampuan fungi mikoriza arbuskula (FMA) berasosiasi dengan
tanaman, hal ini sesuai dengan pernyataan Prihastuti (2007), mikoriza dapat hidup dengan

baik pada pH tanah masam dan mampu menghasilkan asam-asam organik yang
membebaskan P terfiksasi.
Sifat kimia tanah yang lain yang mempengaruhi pada penelitian ini adalah
ketersediaan P dalam tanah. Data hasil analisis sifat kimia tanah laboraturium
menunjukkan bahwa nilai P-teredia dalam tanah termasuk kreteria yang rendah. Menurut
Hapsoh (2008) bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya P untuk tanaman yang
terpenting adalah pH tanah. P paling mudah diserap oleh tanaman pada pH netral (6-7).
Dalam tanah masam banyak unsur P baik yang sudah ada dalam tanah maupun yang
diberikan ke tanah melalui pemupukan terikat oleh unsur-unsur Al dan Fe sehingga P
tidak dapat diserap tanaman.

Keber adaan Fungi Mikor iza Ar buskula (FMA)
Struktur fungi mikoriza arbuskula yang ditemui adalah hifa dan vesikula. Bentuk
struktur hifa dan vesikula dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

Hifa

Gambar 3. Hifa pada Fungi Mikoriza Arbuskula

Vesikula

Gambar 4. Vesikula pada Fungi Mikoriza Arbuskula
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) memiliki beberapa struktur untuk dapat
bertahan hidup didalam akar tanaman dan didalam tanah. Struktur tersebut diantaranya
arbuskula, hifa dan vesikula.Pada penelitian ini strukturyang ditemui adalah hifa dan
vesikula, sedangkan struktur fungi mikoriza arbuskula (FMA) berupa arbuskula tidak
ditemukan. Hasil ini sama dengan penelitian Sari (2008), bentuk kolonisasi yang paling

banyak dijumpai pada pengamatan infeksi akar oleh endomikoriza berupa hifa internal
dan pada beberapa contoh akar ditemukan struktur hifa dengan vesikula. Untuk struktur
arbuskula sangat jarang ditemukan karena masa hidupnya yang pendek didalam sel
korteks dan setelah beberapa hari struktur ini akan mengalami lisis, hal ini yang mungkin
menyebabkan struktur arbuskula jarang ditemukan.
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini bahwa persentase kolonisasi fungi
mikoriza arbuskula (FMA) pada tanaman rumput belulang (Eleusine indica ) di lapangan
yang tertinggi 48,9% dan yang terendah 42,8%. Perbedaan ini tidak menunjukan
perbedaan pada kriteria atau golongan karena menurut Rajapakse dan Miller (1992)
dalam Nusantara dkk. (2012) pada Lampiran 3, nilai persentase ini termasuk
kriteria kelas 2

pada

dan menurut Nusantara dkk. (2012) tergolong sedang.Persentase

kolonisasi fungi mikoriza pada akar tanaman dapat di lihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Data persentase kolonisasi fungi mikoriza arbuskula pada akar tanaman
Sampel tanah
Terkena debu vulkanik

Kedalaman (cm)
0-5

Persentase kolonisasi (%)
42,8

Kriteria

Terkena debu vulkanik

5-20

45,3

Kelas2(sedang)

Tidak terkena debu vulkanik

0-20

48,9

Kelas2(sedang)

Kelas2(sedang)

Sumber: Rajapakse dan Miller (1992) dalam Nusantara dkk. (2012) (Lampiran 3)
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa persentase kolonisasi yang diperoleh
sejalan dengan kondisi sifat kimia sampel tanah yang digunakan yaitu kondisi pH tanah
yang rendah (masam) didukung juga dengan keterediaan unsur P yang sangat rendah
sehingga kolonisasi fungi pada akar tergolong sedang. Hal ini sesuai pernyataan
Gianinazi-pearon dan Diem, (1982) bahwa ketersediaan unsur P dalam tanah memiliki
hubungan yang berbanding terbalik dengan derajat infeksi mikoriza pada akar tanaman
dan kelimpahan spora. Didukung juga oleh pernyataan Supriatna (2010) bahwa kadar P
yang tinggi menyebabkan permeabilitas dan eksudasi akar menurun.

Persentase spora dari sampel tanah dari lapangan dan hasil trapping dapat dilihat
pada Tabel 3. Jumlah kepadatan spora dari lapangan pada kedalaman 0-5 cm 9 spora,
kedalaman 5-20 cm 12 spora,dan kedalaman 0-20 cm (kontrol) 17 spora per 50 gram
tanah. Pada tanah hasil trapping pada kedalaman 0-5 cm 27 spora, kedalaman 5-20 cm 69
spora, dan kedalaman 0-20 cm (kontrol) 108 spora per 50 gram tanah. Dari data tersebut
dapat dilihat bahwa jumlah spora tanah trapping lebih banyak dari pada jumlah dari
lapangan. Kepadatan spora yang bervariasi ini tidak berbeda dengan hasil penelitian yang
di lakukan oleh zebua (2008) yang melakukan pemerangkapan fungi mikoriza arbuskula
(FMA) berdasarkan ketinggian tempat di hutan pegunungan Sinabung Kabupaten Karo.
Pada penelitian ini diperoleh variasi kepadatan spora yang sangat beragam dari hasil
lapangan dengan hasil trapping.
Tabel 3. Kepadatan spora sampel tanah dari lapangan dan hasiltrapping
Sampel tanah
Kedalaman (cm)
Rata-rata kepadatan spora/50 gram
tanah
lapangan
trapping
Terkena debu vulkanik
Terkena debu vulkanik
Tidak terkena debu vulkanik

0-5
5-20
0-20

9
12
17

27
69
108

Berdasarkan data pada Tabel 3 menunjukan bahwa adanya peningkatan jumlah
spora dari hasil trapping dibandingkan dengan jumlah spora yang di temukan dari
lapangan. Nusantara dkk. (2012) menyatakan bahwa proses trapping yang pada dasarnya
digunakan untuk menstimulasi sporulasi atau peningkatan jumlah propagul fungi
mikoriza arbuskula (FMA) yang ada dalam tanah yang diambil dari lapangan. Hal
tersebut perlu dilakukan karena tidak semua fungi mikoriza arbuskula (FMA) aktif pada
priode waktu yang sama. Jumlah fungi mikoriza arbuskula (FMA) melimpah pada waktu
musim kemarau. Delvian (2006) juga menyatakan bahwa pada kondisi kering atau sedikit
hujan pembentukan spora baru akan meningkat dan persentase kolonisasi akan menurun.
Kondisi kering akan merangsang pembentukan spora yang banyak sebagai respon alami

darifungi mikoriza arbuskula (FMA) serta upaya mempertahankan keberadaannya di
alam.
Identifikasi spora padafungi mikoriza arbuskula (FMA) dapat dilakukan setelah
pengambilan dokumentasi dibawah mikroskop. Jumlah tipe dari setiap genus spora yang
ditemukan dari lapangan dan hasil trapping dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah tipe spora setiap genus dari lapangan dan hasil trapping
Sampel Tanah
Kedalaman
Lapangan
Trapping
Terkena debu vulkanik
Terkena debu vulkanik
Tidak terkena debu
vulkanik

0-5 cm
5-10 cm
0-20 m

Glomus

Acaulospora

Glomus

5

-

4
4

Acaulospora
3

Berdasarkan data jumlah tipe spora setiap genus dari lapangan dan hasil trapping,
genus Glomus memiliki jumlah tipe spora lebih banyak dibandingkan dengan genus

Acaulospora. Sejalan dengan hasil penelitian mengenai keberadaan spora fungi mikoriza
arbuskula (FMA), seperti yang dilaporkan oleh Ragupathy dan Mahadevan (1991) dalam
Delvian (2006) yang mempelajari fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada hutan pantai
juga menyimpulkan bahwa Glomus adalah jenis fungi mikoriza arbuskula (FMA) yang
paling dominan penyebarannya, yaitu 25 spesies dari 37 spesies yang di temukan adalah
tipe Glomus.
Penyebaran tipe spora yang ditemukan berbeda-beda pada setiap kedalaman
tanah dari hasil di lapangan dan hasil trapping. Pada tanah yang terkena debu vulkanik
kedalaman 0-5 cm banyak ditemukan spora yang hancur dan pecah sehingga sulit untuk
di identifikasi jenis nya. Hal di karenakan kandungan pada abu vulakanik terdapat
kandungan sulfur atau blerang yang tinggi didalam tanah sehingga secara perlahan akan
diubah menjadi sulfit, dan secara bertahap akan menurunkan pH sehingga membuat fungi
mikoriza tidak dapat tumbuh secara maksimal Hal ini sesuai dengan pernyataan
Hardjowigeno (2007).

Pada tanah yang terkena debu vulkanik kedalaman

5-10 cm dari lapangan

ditemukan spora yang hancur dan pecah sama halnya dengan hasil yang didapat pada
tanah yang terkena debu vulkanik kedalaman 0-5 cm, sedangkan pada hasil trapping di
temukan 4 tipe spora yaitu jenis Glomus. Hal ini terjadi karena pada saat trapping
diberikan perlakuan khusus seperti pemeliharaan kultur meliputi penyiraman, pemberian
hara dan pengendalian hama.
Sedangkan pada tanah yang tidak terkena debu vulkanik kedalaman 0-20 cm
dilapangan di dapat 5 tipe spora Glomus dan pada saat trapping didapat 4 tipe spora

Glomus dan 3 tipe spora Acaulospora . Hal ini terjadi karena pada tanah yang tidak
terkena debu vulkanik pada hasil analisi kimia tanah kandungan pH yang didapat 5,14
(masam) sehingga keberadaan fungi mikoriza arbuskula (FMA) dapat di temukan. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Sasli (1999) yaitu Glomus berkembang dengan baik pada pH
5,5 sampai 6,5 dan Acaulospora pH 5,0.
Hasil ekstraksi tanah dan identifikasi terhadap spora fungi mikoriza arbuskula
(FMA) dari lapangan dan trapping, ditemukan 2 genus spora fungi mikoriza arbuskula
(FMA) yaitu Acaulospora yang terdiri dari 3 Tipe spora dan Glomus yang ditemukan
terdiri dari 13 Tipe spora. Tipe dan karakteristik spora fungi mikoriza arbuskula (FMA)
dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Tipe dan karakteristik spora pada tanah dari lapangan dan hasil trapping
No
Tipe Spor a
Per besar an Kar akter itik
Lapangan Trapping
1

40x

Acaulospora sp-1
2

40x

Acaulospora sp-2
3

40x

Acaulospora sp-3

4

40x

Spora berbentuk
bulat lonjong,
berwarna coklat
tua, dinding
spora tipis
dengan
permukaan
bercorak kulit
jeruk.
Spora berbentuk
bulat, ada
ornamen seperti
kulit jeruk,
permukaan
halus, menyerap
larutan
warnanya
orange.
Spora berbentuk
bulat, warna
coklat
kekuningan,
permukaan
halus,ada
perbedaan
lapisan, ada
ornamen seperti
kulit jeruk
Spora berbentuk
bulat, berwarna
orange, dinding
spora tipis,
permukaan
halus.

-



-



-





-

-



Glomus sp-1
40x

5

Glomus sp-2

Spora berbentuk
bulat berwarna
coklat
kekuningan,
dinding spora
tebal, dengan
permukaan
kasar.

6

40x

Spora berbentuk
bulat,
permukaan
halus, dinding
spora tebal
warnanya coklat.



-



-

-



-



-





-

-



Glomus sp-3
40x

7

Glomus sp-4
8

40x

Glomus sp-5
9

40x

Glomus sp-6
10

Spora berbentuk
bulat lonjong,
warna coklat
kekuningan,
dinding spora
tebal dengan
permukaan
berbintik
Spora berbentuk
bulat, warna
kuning, dinding
spora tebal, ada
tangkai hifa
(subtending

hyphae)
40x

Glomus sp-7
11

Spora berbentuk
bulat, ukuran
lebih
besar,warnanya
coklat orange,
dinding spora
halus.

40x

Spora berbentuk
bulat,
permukaan
halus, dinding
spora tebal,tidak
menyerap
larutan.
Spora berbentuk
bulat, berbwarna
orange, dinding
spora tebal,
dengan
permukaan halus

Glomus sp-8
12

40x

Glomus sp-9

Spora berbentuk
bulat, warnanya
kuning,
permukaan
kasar, dinding
spora tipis.

13

40x

Glomus sp-10

Spora berbentuk
bulat, warnanya
kuning,
permukaan
halus, dinding
spora tebal. Ada
tangkai hifa
(subtending

-



-



-





-

hyphae),
14
40x

Glomus sp-11

15

40x

Glomus sp-12
16

40x

Glomus sp-13

Spora berbentuk
bulat lonjong,
warna merah
bata, dinding
spora tipis,
dengan
permukaan
berbintik.
Spora berbentuk
bulat, tidak
menyerap
larutan,
permukaan halus
warna coklat.
Spora berbentuk
bulat, warna
coklat, dinding
spora tipis
dengan
permukaan halus

Berdasarkan data tipe dan karakteristik spora pada tanah dari lapangan dan

trapping, pada hasil trapping menunjukan ada tipe spora yang baru tapi sebaliknya ada
juga tipe spora dari lapangan tidak ditemukan lagi dari hasil trapping. Penyebaran tipe
spora yang terjadi karena dipengaruhi pH tanah,

C-Organik, P-Tersedia, KTK dan S,

dan ada juga karena pada saat pengambilan sampel tanah dilapangan tidak ditemukan
spora tapi pada saat proses trapping selamadua bulan sehingga terjadi pembentukan spora
yang dirangsang karena respon fisiologis dari spora untuk membentuk spora menjadi
lebih banyak. Sesuai pernyataan Burhanuddin (2012) bahwa pada kondisi tanah lembab,
proses sporulasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) menjadi rendah sehingga jumlah spora
yang terkandung dalam tanah juga sedikit. Kekeringan tidak menghambat pertumbuhan

tapi sebaliknya pada kelembaban tinggi akan menghambat perkembangan spora dan juga
meningkatkan perkembangan akar lateral dan setelah kolonisasi akan membantu laju
pemanjangan akar dan jumlah mikoriza meningkat dengan cepat sehingga menghasilkan
spora-spora yang baru.
Menurut Brundet dkk. (1996) dalam Nurhalimah dkk. (2014) proses
perkembangan spora Acaulospora berawal dari ujung hifa (subtending hyphae) yang
membesar seperti spora yang disebut hyphal terminus. Di antara hyphal terminus dan

subtending hypae akan muncul bulatan kecil yang semakin lama semakin membesar dan
terbentuk spora. Dalam perkembangannya, hifa terminus akan rusak dan isi nya akan
masuk ke spora. Rusaknya hifa terminus akan meninggalkan bekas lubang kecil yang
disebut Cicatric. Dalam penelitian Nurhalimah dkk, (2014), spora Acaulospora yang
ditemukan di dua lokasi yaitu Kecamatan Larangan dan Pelenggaan memiliki
karakteristik yang sama yaitu bentuk bulat lonjong dan memiliki dinding spora relative
tebal tidak beraturan, sedangkan warna spora coklat tua dan kuning kecoklatan.
Menurut schenk dan

Perez (1990) dalam Nurhandayani dkk. (2013), proses

perkembangan spora Glomus adalah ujung hifa yang membesar sampai ukuran yang
maksimal dan terbentuk spora. Sporanya berasal dari perkembangan hifa maka disebut

chlamydospora . Spora ditemukan tunggal ataupun lonjong.Warna spora mulai dari
kuning, oranye sampai merah bata.Spora tidak bereaksi saat ditetesi larutan Meilzer’s.
Dinding spora fungi mikoriza arbuskula (FMA) genus Glomus ini terdiri atas 1-3 lapis
dinding sel. Genus spora yang ditemukan terdiri dari 4 spesies. Spora Glomus sp 1
berbentuk bulat, memiliki hanya 1 lapis dinding spora yang sangat tipis sehingga mudah
pecah pada saat di buat di preparat. Spora Glomus sp 2 berbentuk bulat, sporanya tampak
jernih serta memiliki 2 lapis dinding sel. Spora Glomus sp 3 berbentuk lonjong dan
memiliki 2 lapis dinding sel yang tebal. Spora Glomus sp 4 berbentuk bulat, warna orange
memiliki dinding sel 3 lapis (Nurhandayanu dkk, 2013).

Menurut Nusantara dkk, (2012) morfologi spora fungi mikoriza arbuskula (FMA)
merupakan karakter biologi yang mudah diamati dengan bantuan mikroskop. Spora dapat
dipisahkan dari tanah dan kemudian dikelompokan karakter morfologinya, misalnya
ukuran, warna, jumlah dan tebal dinding spora, ada tidaknya struktur khas, hiasan dnding
spora (ornamen) dan lain sebagainya. Berdasarkan identifikasi tersebut kemudian fungi
mikoriza arbuskula (FMA) dapat ditentukan genus dan spesiesnya. Mutu mikroskop dan
pengalaman peneliti dapat mempengaruhi terhadap hasil identifikasi morfologi spora.
Akibat letusan Gunung Sinabung yang terjadi menunjukan pengaruh terhadap
status dan keanekaragman fungi mikoriza arbuskula (FMA) bisa diketahui dengan
banyaknya jumlah spora yang ditemukan dan persen kolonisasi yang tergolong sedang.
Sebaran genus Acaulospora dan Glomus dalam penelitian ini belum bisa diidentifikasi
secara akurat tentang penyebaran dan nama spesiesnya, karena dari seluruh jumlah spora
yang ditemukan hanya sedikit yang dapat diidentifikasi. Kondisi ini dikarenakan banyak
spora-spora ditemukan yang rusak, pecah, kotor dan belum terpisah oleh tanah. Proses
identifikasi spora juga terkendala oleh terbatasnya peralatan di laboratorium dalam proses
identifikasi sehingga penamaan spora belum dapat mencapai penamaan spesies.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil penelitian status dan keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula (FMA)
pada tanah bekas letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo memiliki 2 genus spora
yaitu, Acalauspora 3 tipe spora dan Glomus 13 tipe spora, jumlah tipe spora fungi
mikoriza arbuskula (FMA) per 50 gram tanah hasil di lapangan dan trapping pada
kedalaman 0-20 cm 12 tipe spora, kedalaman 5-20 cm 4 tipe spora dan pada kedalaman
0-5 tidak di temukan tipe spora. Persentase kolonisasi fungi mikoriza arbuskula (FMA)
termasuk dalam kriteria kelas 2 atau katagori sedang.

Sar an
Hasil penelitian menunjukan bahwa pada tanah bekas letusan Gunung Sinabung
berpengaruh terhadap status dan keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula (FMA).
Untuk mengkaji tentang keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula (FMA) pada tanah
bekas letusan Gunung Sinabung sebaiknya dilakukan penelitianlanjutan supaya hasil yang
di peroleh dapat di aplikasikan untuk memperbaiki pertumbuhan lahan dan tanaman yang
terkena debu vulkanik.

TINJ AUAN PUSTAKA
Dampak Letusan Gunung Mer api
Letusan gunung merapi secara lansung mempengaruhi seluruh kelompok
organisme tanah dan mengalami penurunan. Pengaruh langsung ini akibat panas yang
dikeluarkan oleh erupsi gunung merapi, sehingga organisme tanah banyak yang
mengalami kematian. Perubahan suhu tanah juga bisa menyebabkan perubahan terhadap
karakteristik habitat dan iklim mikro. Abidin (2004) menyatakan bahwa penurunan
organisme tanah setelah erupsi gunung merapi baik secara langsung maupun tidak
langsung berhubungan dengan makanan untuk organisme kecil dan tersedianya
makananbagi predator.
Letusan gunung merapi menyebabkan bahan makanan untuk organisme tanah
menjadi sedikit, kebanyakan organisme tanah mudah mati oleh panas yang dikeluarkan
akibat erupsi gunung merapi dan segera menyebabkan perubahan dalam habitat, hal ini
kemungkinan menyebabkan penurunan jumlah mikroorganisme yang sangat besar dalam
habitat. Efek negatif ini biasanya bersifat sementara dan populasi organisme tanah
akhirnya kembali menjadi banyak lagi dalam beberapa tahun (Muklis, 2011)
Letusan gunung merapi mempengaruhi tekstur tanah. Komponen tekstur tanah
(pasir, debu, dan liat) memiliki ambang batas suhu tinggi dan biasanya tidak dipengaruhi
oleh erupsi gunung merapi kecuali mengalami pengaruh suhu tinggi dipermukaan
meneral tanah (horizon A). Fraksi tekstur tanah yang paling sensitif adalah tanah liat,
yang mulai berubah pada suhu tanah sekitar 400°C ketika hidrasi tanah liat dan struktur
kisi tanah liat mulai runtuh. Pada suhu 700°C – 800°C kehancuran total struktur tanah liat
dapat terjadi (Suriadikarta dkk, 2011).
Sifat Kimia Tanah
Sifat kimia tanah berperan besar dalam menentukan sifat dan ciri tanah pada
umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Pertumbuhan tanaman sangat

dipengaruhi oleh pH tanah. Setiap kelompok jenis tanaman membutuhkan pH tertentu
untuk pertumbuhan dan produksinya yang maksimum. pH tanah (reaksi tanah) adalah
suatu hal yang penting untuk mempelajari tanah, sebab salah satu fisiologi yang khas dari
larutan tanah adalah reaksinya. Dan bagi organisme tanah dalam menanggapi lingkungan
kimianya begitu nyata (Yuliprianto, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pH tanah antara lain dekomposisi bahan
organik, pengendapan, kedalaman tanah, penggenangan. Bahan organik tanah yang
diuraikan oleh mikroorganisme menjadi bentuk-bentuk asam organik, karbon dioksida,
dan air, senyawa pembentukan asam karbonat. Selanjutnya asam karbonat ini akan
bereaksi dengan unsur hara Mg dan Ca yang ada dalam tanah, untuk membentuk
bikarbonat yang lebih mudah larut dalam tanah yang bisa tercuci keluar yang akhirnya
akan meninggalkan tanah yang lebih masam. Curah hujan yang tinggi akan mencuci
kation-kation basa yang ada di tapak jerapan tanah yang kemudian akan digantikan oleh
kation- kation masam seperti Al, H dan Mn. Oleh karena itu tanah yang terbentuk
biasanya lebih masam dibandingkan dengan tanah-tanah pada lahan kering. Pengaruh
keseluruhan dari penggenangan adalah pH tanah (winarso, 2005).
Keasaman tanah merupakan salah satu sifat yang penting, sebab terdapat antara
pH dan semua pembentukan tanah serta sifat-sifat tanah. Sejumlah organisme memiliki
toleransi yang agak kecil terhadap variasi pH, tetapi beberapa organisme lain toleran
terhadap kisaran pH yang besar (Hardjowigono, 2007)
Pengaruh pH tempat tumbuh terhadap sifat mikroba sangat bervariasi. Beberapa
tidak berbeda, seperti halnya sejumlah besar jamur. Umumnya jamur toleran terhadap
kemasaman (pH 4,0 – 6,5) sedangkan untuk bakteri lebih menyukai kondisi netral (pH
6,0 – 7,5). Sebagian bersifat neutrofil (Azotobacter, Nitrobacter ) yang lain bersifat
acidicil m (Thiobacillus thiooxidans) (Hanafiah dkk, 2009).
Hubungan pH dengan KTK sangat erat yaitu pada pH rendah, hanya muatan
permanen liat, dan sebagian muatan koloid organik memegang ion yang dapat digantikan

melalui pertukaran kation. Dengan demikian KTK relatif rendah. Hal ini disebabkan oleh
kebanyakan tempat pertukaran kation koloid organik dan beberapa fraksi liat, H+ dan
mungkin hidroksi – Al terikat kuat, sehingga sukar dipertukarkan. Dengan meningkatnya
pH, hidrogen yang diikat koloid organik dan liat

berionisasi dan dapat digantikan.

Demikian pula ion hidrokso-Al yang terjerap akan dilepaskan dan membentuk Al (OH)3.
Dengan demikian terciptalah tapak-tapak pertukaran baru pada koloid liat. Beririnagn
dengan perubahan-perubahan itu KTK pun meningkat (Hakim dkk, 1986).
Selain faktor kimia tanah, faktor lingkungan yang lain seperti curah hujan dan
temperatur juga dapat mempengaruhi unsur hara S yang terkandung dalam debu vulkanik,
sehingga unsur hara Stercuci kelapisan bawah tanah ini di sebabkan karena curah hujan
yang tinggi unsur hara pada tanah terbawa aliran air kelapisan bawah dan samping
sehingga kemasaman tanah meningkat (Hairah dkk, 2010).
Letusan gunung merapi mempengaruhi biologi organisme baik secara langsung
maupun tidak langsung. Efek langsung menyebabkan perubahan dalam jangka panjang.
Pada efek langsung setiap organisme tertentu terpapar langsung pada larva yang
dikeluarkan oleh gunung merapi, uap panas yang dikeluarkan terjebak dilingkungan tanah
dan lainnya dimana cukup banyak ditransfer langsung ke lingkungan organisme dan
menaikan suhu yang cukup untuk membunuh atau merusak organisme. Efek tidak
langsung biasanya menyebabkan menyebabkan perubahan jangka pendek dalam
lingkungan yang mempengaruhikehidupan dari biologis (biota tanah). Efek tidak
langsung ini dapat melibatkan persaingan untuk habitat, perediaan makanan dan
perubahan yang lebih halus lain yang mempengaruhi pembentukan kembali suksesi
tanaman dan hewan (Verma dan Jayakumar, 2012).
Mengenal Mikor iza
Mikoriza adalah suatu struktur yang dibentuk oleh akar tanaman dancendawan
tertentu. Mikoriza merupakan suatu bentuk hubungan simbiosis mutualisme, antara fungi
dengan perakaran tumbuhan tinggi. Istilah mikorizapertama kali digunakan oleh Robert

Hartig pada tahun 1840, yang berasal daribahasa Latin “Myhes” yang berarti cendawan
dan “Rhiza” yang berarti akar. Mikoriza dapat dikelompokan menjadi tiga golongan,
yaitu;

Ektomikorhiza,

tersebutberdasarkan

Endomikoriza,

struktur

tubuh

buah

dan
dan

Ektendomikoriza .
cara

infeksi

Penggolongan

terhadap

tanama

(Hardiatmi, 2008).
Fungi mikoriza arbuskula (FMA)
darikelompok

jamur

yang

bersimbiosis

adalah salah satu jasad renik tanah
dengan

akar

tanaman.

Jamur

ini

mempunyaisejumlah pengaruh yang menguntungkan bagi tanaman yang bersimbiosis
dengannya. Fungi mikoriza arbuskula (FMA) mampu meningkatkan pertumbuhan
tanaman karena status hara tanaman tersebut dapat ditingkatkan dan diperbaiki.
Kemampuannya yang tinggi dalam meningkatkan penyerapan air dan hara terutama P
(Hapsoh, 2008).
Di dalam tanah mikoriza dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH,suhu, Fe,
Al, dan mikro organisme tanah. Glomus berkembang dengan baik pada pH 5,5 sampai 6,5
dan Acaulospora pada pH 5,0 (Sasli, 1999).Glomus memiliki hifa yang relatif lurus,
menjulur sepanjang kortek akarsering kali membentuk percabangan tipe H yang
memungkinkan hifa tumbuh kedua arah yang berbeda. Acaulospora , hifa pada titik masuk
(entry point) memiliki karakteristik bercabang-cabang. Hifa pada kortek terluar biasanya
memiliki percabangan yang lebih tidak teratur, lebih ikal, atau keriting dibandingkan
dengan hifa Glomus (Nusantara, 2012).
Hifa yang ada di dalam sel atau akar tanaman terdiri dari hifa yang tidak
bercabang yang terletak di antara sel, hifa intraseluler. Selain itu, terdapat hifa intraseluler
yang bercabang secara diktomi (arbuskular) atau yang membengkak menjadi bulat atau
bulat memanjang (vesikel) dan hifa mengering (hifa gelung) (Hapsoh, 2008).

Per anan Fungi Mikor iza Ar buskula (FMA)
Status kesuburan lahan erat berkaitan dengan kondisi mikrobia tanah
yangberlimpah, memiliki fungsi simbiosis dengan perakaran tanaman, sertaditunjukkan
dengan pertumbuhan tanaman yang baik (Corryanti, 2011).
Proses infeksi dimulai dari pembentukan appresorium yaitu struktur yangberupa
penebalan masa hifa yang kemudian menyempit seperti tanduk.Appresorium membantu
hifa menembus ruang sel epidermis melalui permukaanakar, atau rambut-rambut akar
dengan cara mekanis dan enzimatis. Hifa yangtelah masuk ke lapisan korteks kemudian
menyebar di dalam dan diantara sel-selkorteks, hifa ini akan membentuk benang-benang
bercabang yang mengelompokdisebut arbuskula yang berfungsi sebagai jembatan transfer
unsur