Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN.

1

BAB I PENDAHULUAN.

A. Latar Belakang Masalah

Kabupaten Sumbawa dapat dikatakan sebagai salah satu kabupaten di wilayah Nusa Tenggara Barat yang memiliki tingkat stabilitas yang amat tinggi. Sangat disayangkan iklim yang kondusif hanya bertahan selama fase pemerintahan, Orde Baru, Orde Lama. Pada fase tersebut kondisi Kabupaten Sumbawa relatif tidak pernah terjadi konflik antara negara dan masyarakat. Pasca reformasi 1998, stabilitas politik mengalami penurunan. Tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan, kesejahteraan yang ditandai oleh makin menjamurnya Perguruan Tinggi di Sumbawa, telah ikut mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Marcuse dalam Abdul Wahib Sitomorang 2007: 51. Menurut Marcuse mahasiswa memiliki kesempatan terbesar melalui pemberontakan melawan terhadap tatanan lama. Peningkatan Sumber Daya Manusia Sumbawa yang tidak diimbangi oleh peningkatan kinerja aparatur pemerintahan, telah merubah stuasi sosial yang terjadi di daerah, dari kondusif menjadi rawan konflik. Kinerja birokrasi yang masih berkutat pada pola-pola lama, yang selalu bertumpuh pada pola pengambilan kebijakan yang bersifat elitis, menjadi bagian yang tak terpisahkan atas perubahan situasi sosial yang ada. Sisi-lain sikap pemerintah yang selalu ingin dilayani bukan melayani menjadi pelengkap dari dinamika konflik sosial yang ada. Akibatnya pemerintah selalu 2 menjadi sasaran inters group kelompok-kelompok kepentingan yang merasa hak- haknya dipolitisir oleh para penentu kebijakan. Pada fase yang demokratis seperti sekarang ini nyaris setiap hari Sumbawa diwarnai ketegangan antara pemerintah dan masyarakat, yang diprakarsai oleh para aktivis mahasiswa. Kisruh antara masyarakat dan pemerintah yang menuntut kesejahteraan terus saja bergulir laksana bola salju. Propaganda yang dimainkan oleh para aktivis daerah, mampu membangun kesadaran masyarakat untuk berpartisispasi dalam mengontrol kebijakan pemerintah, kondisi ini makin meluas hingga kepelosok desa. Aksi masa yang dilakukan oleh organisasi kemahasiswaan, serta organisasi sosial kemasyarakatan lainnya, menjadi sketsa buruknya hubungan negara dan masyarakat. Pembakaran Camp di wilayah Dodo Rinti, konflik Lembaga Adat Cek Bocek Desa Labangkar dengan PT NNT, konflik pemerintah dengan warga transmigrasi UPT Buin Batu Kecamatan Plampang yang menuntut hak tanah jatah hidup sampai saat ini masih belum terselesaikan. Terbukanya ruang partisipasi masyarakat menimbulkan gunjang-ganjing politik yang mendera masyarakat baik secara individu, kelompok, pada ranah konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat. Kehadiran perusahaan besar yang berinvestasi pada dunia pertambangan khususnya galian B, di Kabupaten Sumbawa saat ini makin memperlebar jeratan konflik masyarakat dan pemerintah. Pada konteks ini masyarakat memandang bahwa kehadiran perusahaan besar, baik nasional maupun asing, adalah buah kebijakan pemerintah yang selalu memandang sumber daya alam sebagi sumber pendapatan ketimbang modal. Mental-mental pemimpin yang berpikir 3 instan semacam inilah, kerap dipersoalkan oleh masyarakat Sumbawa yang berakibat pada munculnya kisru antara negara dan masyarakat. Konflik internal dewan perwakilan rakyat daerah DPRD antara yang mendukung investasi dengan yang mendukung peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, makin memperkeruh hubungan negara dan masyarakat. Artinya konflik dapat terjadi pada batas wilayah kerja works area bonds serta ancaman terhadap nilai, tujuan, kebijakan. Robinson 1927dalam Alo Liliweri 2005:270. Berkaca dari realitas yang ada saat ini, makin memperjelas asumsi masyarakat terhadap negara, kalau negara hanya melindungi kepentingan pemodal saja. Budaya politik siapa dukung siapa dan mendapatkan apa masih saja tumbuh subur diranah yang demokratis semacam ini dan masih belum dapat kita amputasi. Konflik antara negara dan masyarakat kapan saja dapat terjadi. Pluralis negara menjadi mesin konflik, negara dan masyarakat, akibat dominasi, yang dilakukan oleh negara, hegomoni, dan distribusi otoritas baik di internal pemerintah maupun masyarakat. Konflik negara dan masyarakat bisa bersifat terbuka dan tertutup. Semua bentuk konflik, perlawanan masyarakat terhadap negara kurang lebih ditentukan oleh tingkat kekecewaan yang dialami masyarakat. Aksi demonstrasi yang dilakukan buruh, konflik bersenjata di Papua, aksi penolakan daerah atas kebijakan pusat, menjadi presedent buruk hubungan negara dan masyarakat. 4 Dominasi negara terhadap sumber daya alam serta keikutsertaan investasi asing maupun manca negara pada pengelolaan sumber daya alam diberbagai daerah saat ini makin memperpanjang jeratan konflik antara negara dan masyarakat akibat dari kuatnya dominasi negara. Mental pemerintah yang terlalu memberikan keleluasaan pada investor mendiskreditkan masyarakat turut melengkapi konflik negara dan masyarakat. Tarik menarik antara kepentingan elit dan kontrol sosial setidaknya ikut mempengaruhi tingkat kepentingan dalam pengambilan kebijakan publik. Kontrol sosial yang kuat akan mempersempit bagi munculnya ruang kepentingan dan begitu sebaliknya. Besar kecilnya efek kepentingan ditentukan oleh besarnya nilai ekonomi dari suatau kegiatan pengelolaan sember daya alam. Jika efek kepentingan besar maka efek yang dihasilkan-pun akan semakin besar. Keberadaan tambang raksasa PT. Newmont Nusa Tenggara di Kabupaten Sumbawa Besar tepatnya di blok Elang Dodo dan Rinti serta kehadiran beberapa perusahaan swasta nasional dibeberapa wilayah di Kabupaten Sumbawa belakangan ini merupakan contoh dari kuatnya eksistensi korporasi baik asing maupun mancanegara dalam pengelolaan SDA Sumber Daya Alam, hingga memicu gonjang-ganjing politik. Pro-kontra dikubuh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Kabupaten Sumbawa seakan-akan menjadi pembenaran dari kuatnya politik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam. 5 Upaya perlawan yang dilakukan oleh komisi III DPRD Sumbawa atas KK Kontrak Karya PT NNT serta dukungan yang bersifat personal dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap keberadaan tambang rakyat, hingga memunculkan konflik internal dalam Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah atas kebijakan politik yang dikeluarkan oleh pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa tahun 2009 yang lalu. Kisruh yang terjadi di internal elit politik berdampak pada terjadinya perubahan situasi sosial masyarakat. Sebagai akibat dari kuatnya politik kepentingan. Derasnya kecaman dan penolakan atas investasi asing maupun nasional seraya menyodorkan tawaran nasionalisasi aset asing masih belum mampu merubah kebijakan politik pemerintah yang cenderung praktis dan sarat akan kepentingan. Politisasi modal asing tekait pengelolaan sumber daya alam menimbulkan refleksi konflik kepentingan antara elit politik dan pelaku ekonomi yang berujung pada terjadinya kompromitas. Pada konteks inilah kekuasaan sering dijadikan ladang untuk memburu rente hingga tega mengorbankan bisikan nurani penguasa, dan mengorbankan kepentingan rakyat demi mengejar kepentingan diri. Sebagaimana ulasan di atas kisruh yang terjadi di internal Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ikut mempengaruhi situasi sosial masyarakat Sumbawa. Hal ini ditandai oleh munculnya perlawanan masyarakat terhadap kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa atas Ijin Usaha Pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah tahun 2009 yang lalu. 6 Penolakan masayarakat atas 20 Ijin Usaha Pertambangan didasarkan pada : Pertama semua IUP Ijin Usaha Pertambangan seluruhnya milik pengusaha. Kedua Ijin Usaha Pertambangan yang ada sebagian besar dekat pemukiman penduduk dan berada dalam wilayah tanah pribadi rakyat. Ketiga tidak satupun dari ijin pertambangan diberikan kepada rakyat dalam bentuk WPR Wilayah Pertambangan Rakyat. Melihat realitas yang ada masyarakat Sumbawa yang diwakili oleh komunitas penambang tradisional, pemilik lahan, aktivis, dan pemerhati lingkugan merapatkan barisan untuk menolak kebijakan tersebut. Gumam Kekecewaan yang yang kerap mewarnai perpolitikan pantar tau dan tana samawa, disetiap sudut kota dan desa berubah menjadi pekikan dan teriakan yang membelah ketakutan masyarakat, menjadi spirit perlawanan. Mengetahui daerahnya tergadaikan, masyarakat Sumbawa umumnya kecewa. Walau mungkin kekecewaan yang dirasakan oleh masyarakat Sumbawa tidak begitu nampak kepermukaan, dalam bentuk gerakan protes secara masif. Apa yang dilakukan oleh aktivis mahasiswa dan komunitas penambang tradisional, pemilik lahan dan pemerhati lingkungan, menjadi simbul kekecewaan masyarakat Sumbawa terhadap kebijakan pemerintah daerah Sumbawa, serta menjadi bagian yang takterpisahkan dari buruknya hubungan negara dan masyarakat. Berawal dari perang pernyataan di media yang dilakukan oleh aktivis, mahasiswa, aktivis lingkungan hidup dengan pemerintah cukup alot dan tajam. Meski perang pernyataan lewat media nyatanya masih tidak dapat merubah kebijakan politik pemerintah daerah 7 Sumbawa namun yang dilakukan oleh aktivis mahasiswa, dan aktivis lingkungan hidup mendapat simpati dan dukungan dari masyarakat. Keangkuhan pemerintah daerah Sumbawa berakibat pada terjadinya perlawan terbukan dan tertutup dari masyarakat Sumbawa sebagi alaternatif terakhir dari penolakan masyarakat terhadap kebijakan yang ada. Para aktivis mahasiswa yang terhimpun dalam beberapa organ kemasiswaan. antaralain FORDISA Forum Diskusi Sahabat LMND Liga Mahasiswa Nasional Demokratis GERPAD Gerakan Pemuda Demokratik dan PRP Perhimpunan Rakyat Pekerja Kota Sumbawa, intens melakukan diskusi-diskusi kritis ditingkat intra dan ekstra kampus. Diskusi kritis yang dilakuakan para aktivis mahasiswa, dengan mengangkat isu sumbawa tergadaikan mendapat respon positif dari masyarakat. Betapa tidak dari 24 kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Sumbawa hanya empat kecamatan saja yang tidak termasuk dalam wilayah IUP Izin Usaha Pertambagan diantaranya: Kecamatan Sumbawa Besar, Kecamatan Labuhan Badas, Kecamatan Unter Iwes, dan Kecamatan Rhee. Di penghujung tahun 2009 masyarakat secara diam-diam mulai merangsak masuk pada kawasan Izin Usaha Pertambangan. Perlahan namun pasti kekuatan perlawanan masyarakat berhasil menguasai beberapa Izin Usaha Pertambangan yang ada. Berawal dari penguasaan Izin Usaha Pertambangan yang dipegang oleh PT. Ayubi Mineral tepatnya di Olat gunung Labaong di Desa Hijrah Kecamatan Lape. Sukses gerakan perlawanan masyarakat menguasai Izin Usaha Pertambangan yang 8 saat itu dipegang oleh PT. Ayubi Mineral, menjadi spirit perjuangan masyarakat untuk merangsak masuk meguasai wilayah-wilayah IUP Izin Usaha Pertambangan yang lainya diantaranya wilayah Desa Lantung Aimual Kecamatan Lantung, Desa Padesa Kecamatan Lantung yang saat itu telah dikuasai oleh PT. Zam, dan PT. Antam. Dalam hitungan detik hutan belantara berubah menjadi lautan manusia yang datang dari berbagai desa yang ada di Kabupaten Sumbawa. Bukan hanya itu gelombang pendatang yang mencoba mengadu nasib di dunia pertambangan makin berdatangan dari berbagai daerah diantaranya Lombok, Mbojo Bima, Tasik, Jawa, dan Ambon. Kondisi ini makin melengkapi harapan warga negara untuk mengolah sendiri sumber daya alam yang ada dalam perut bumi negara tercinta ini, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 3. Mereka bersatu dalam ikatan kekerabatan yang amat tinggi. Ini dibuktikan oleh tidak adanya konflik antar suku. Siang malam Labaong dan beberapa daerah lainya seperti Omal Pandan Desa Lantung Padesa Kecamatan Lantung, Olat Treng Desa Kakiang Kecamatan Moyo Hilir, dan yang lainnya berubah menjadi lautan manusia yang datang dari berbagai penjuru tanpa mengenal status. Dari yang berstatus pegawai negeri sipil, militer, tukang ojek, tukang parkir, pedagang bakulan dan lainnya. Labaong dan beberapa daerah yang sempat disinggung di atas memang telah menjadi magnet ekonomi yang cukup menjanjikan. 9 Bermodalkan palu betel para penambang tradisional dapat menggondol uang ratusan ribu rupiah, bahkan sampai jutaan rupiah perhari. Derasnya arus perlawanan masyarakat untuk menguasai IUP Izin Usaha Pertambangan yang ada, pemerintah melalui aparat penegak hukum Polres Sumbawa, gencar melakukan tindakan-tindakan represif yang berujung pada terjadinya penangkapan terhadap para penambang yang disertai barang bukti berupa bongkahan batu dan lumpur sisa pengolahan emas dari gelondong, yang diangkut untuk diperoses dengan mengunakan tong. Upaya penangkapan terhadap para penambang dilakukan oleh aparat penegak hukum Polres Sumbawa di jalan raya, dan pelabuhan penyebrangan, dengan maksud memberikan efek jera bagi masyarakat. Selain itu razia yang dilakukan di jalan raya dan pelabuhan penyebrangan juga bertujuan untuk menghindari arus penambang yang masuk dari daerah-daerah sekitar, seperti Bima, Lombok, Jawa, dan Manado. Meski demikian hal ini ternyata tidak mengendorkan semangat masyarakat dalam melawan bahkan sikap aparat yang seperti itu dianggap pengecut, karena tidak berani masuk pada wilayah pertambangan tempat dimana masyarakat melakukan kegiatan menambang mining. Memang tidak mudah bagi aparat untuk memaksa masyarakat keluar dari area pertambangan milik PT. Ayubi dan PT lainnya yang telah dikuasai masyarakat karena jumlah aparat tidak sepadan dengan jumlah masyarakat, serta kuatnya persatuan antar penambang tradisonal. Dilain pihak lahan tempat dimana masyarakat melakukan 10 penambangan adalah milik peribadi masyarakat. Sukses perlawanan masyarakat erat kaitanya dengan stuasi politik Sumbawa yang sedang tercerai berai menjelang pemilihan kepala daerah tahun 2010. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Peter Eisinger dengan mendadopsi pemikiran Tocquevilly dalam Abdul Wahib Sitomorang 2007:3, bahwa aksi kolektip masyarakat terjadi ketika sistem politik dan ekonomi mengalami keterbukaan. Hampir semua calon yang berkompetensi saat itu menyuarakan dukungan penuh kepada upaya perlawanan masyarakat kecuali pasangan incumbent. Sesekali para calon bupati yang sedang berkompetisi datang kelokasi tempat di mana masyarakat melakukan kegiatan menambang, akibatnya gemuruh dukungan kepada calonpun terus berkumandang, laksana gemuruh takbir saat malam lebaran tiba. Kaitan dengan penangkapan yang dilakukan oleh aparat terhadap rekan mereka, ternyata masyarakat memiliki pandangan yang berbeda. Sebagian besar memilih diam, sebagian lagi memilih melakukan perlawanan terbuka dalam bentuk demontrasi, menolak penangkapan yang dilakukan oleh aparat terhadap rekan mereka dan menuntut agar rekan mereka dibebaskan. Sikap diam dari sebagian besar penambang, menimbulkan pertanyaan besar bagi aparat. Dibalik sikap diam para penambang ternyata pemerintah melalui aparat penegak hukum Kanit Intel Polres Sumbawa telah mencium pandangan masyarakat kalau upaya penangkapan yang mereka lakukan hanya sekedar teskis untuk mempengaruhi semangat mereka dalam melawan. Lebih penting lagi aparat mengetahui motif dibalik sikap diam masyarakat penambang, tersimpan semangat 11 perlawanan yang pantang menyerah. Anehnya masyarakat penambang berharap agar semuanya ditangkap dan dipenjarakan bersama. Mengetahui hal tersebut akhirnya pemerintah melalui Polres Sumbawa, memilih diam. Sikap diam aparat selain disebabkan oleh keinginan masyarakat untuk masuk penjara juga disebabkan oleh keterlibatan elit politik, dan oknum anggota polres dan TNI dalam kegiatan penambangan. Keterlibatan oknum elit politik dan oknum aparat negara seperti polisi dan TNI dalam penambangan rakyat dengan modus yang berbeda: Para oknum elit politik menjadi penyandang dana lubang ekpeloitasi. Misalnya menyediakan kebutuhan penambang antara-lain mesin jenzet, rokok, makanan, gelondong dan lain- lain. Sementara oknum anggota polisi, dan TNI, sebagian ada yang memiliki lubang espeloitasi dan meminta sumbangan kepada para pemilik pengelohan emas diantaranya pemilik gelondong, dan tong. Policy kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Sumbawa, dengan memberikan seluruh izin usaha pertambangan kepada investor, dipandang oleh masyarakat Sumbawa terlampau ekspeloitatif dan diskriminatif. Menurut masyarakat tidak sepantasnya pemerintah melakukan hal semacam itu, karena hakekat keberadaan pemerintah tidak lebih dari hakim yang menengahi kepentingan kelompok dalam masyarakat. Meminjam istilah kelas Karl Marx kelompok kapitalis dan proletar. Bila hal tersebut tidak dilakukan inilah yang dikatakan oleh Robert K Merton dengan istilah pemerintahan yang disfungsi, yang akan mempengaruhi hubungan negara dan masyarakat. 12 Negara dan konflik menjadi kesatuan yang tidak mungkin untuk dipisahkan, mengingat nasioanal kita berdiri di atas keanekaragaman suku, adat istiadat yang amat jauh berbeda, yang dipersatukan oleh semangat ingin meredeka melepaskan diri dari tangan penjajah menjadi bagian tak-terpisahkan dari tumbuhnya semangat nasionalisme. Untuk menjaga semangat nasionalisme seperti ini pemerintah pusat dan daerah harus dapat merumuskan keputusan politik yang tepat dalam pengelolaan dan pemanfaatkan sumber daya alam pertambangan, dengan tetap berpegang pada prinsif keadilan dan pemerataan dan kesinambungan pembangunan.

B. Permasalahan