Viabilitas Spora Beauveria bassiana Tingkat Mortalitas Spodoptera litura

Peubah Amatan 1. Tingkat Mortalitas Spodoptera litura Pengamatan mortalitas S. litura dilakukan setiap hari setelah aplikasi. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah larva yang mati. Persentase mortalitas larva dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : X 100 Keterangan : P = Persentase mortalitas a = Jumlah larva yang mati b = Jumlah total larva 2. Gejala Kematian Spodoptera litura Gejala kematian diamati sejak awal aplikasi hingga munculnya gejala infeksi dan berapa hari sampai kematian larva S. litura.

3. Viabilitas Spora Beauveria bassiana

Viabilitas spora ditentukan dengan cara suspensi spora diteteskan pada pda yang dipotong berbentuk persegi yang diletakkan di atas kaca preparat dan dimasukkan ke dalam petridish. Kemudian dilakukan pengamatan pada 12 jam, 16 jam, 20 jam, 24 jam. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah spora- spora yang berkecambah dan tidak berkecambah di bawah mikroskop. Viabilitas spora dihitung dengan rumus sebagai berikut: Keterangan : P = a b V = x 100 g g + u V = Perkecambahan spora viabilitas g = Jumlah spora yang berkecambah u = Jumlah spora yang tidak berkecambah HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Tingkat Mortalitas Spodoptera litura

Dari hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa kerapatan konidia Beauveria bassiana yang berbeda berpengaruh nyata terhadap persentase mortalitas larva Spodoptera litura. Tabel 1. Mortalitas larva S. litura pada berbagai tingkat kerapatan konidia B. bassiana pada 1-7 hari setelah aplikasi hsa. Perlakuan Mortalitas 1 hsa 2 has 3 hsa 4 hsa 5 hsa 6 hsa 7 hsa Po 0,00 b 0,00 c 0,00 c 0,00 c 0,00 d P1 0,00 b 3,75 bc 12,50 b 26,25 b 45,00 c P2 3,5 ab 8,75 ab 21,75 a 37,50 a 58,75 b P3 6,25 a 13,75 a 23,75 a 41,25 a 63,75 a Keterangan: Angka-angka yang diikuti notasi yang sama pada kelompok kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 menurut Duncan Multiple Range Test. hsa: hari setelah aplikasi. P0: Kontrol, P1: Kerapatan spora 10 6 ml, P2: : Kerapatan spora 10 7 ml, P3: : Kerapatan spora 10 8 ml. Tabel 1 menunjukkan bahwa kematian larva terjadi pada 3 hsa hari setelah aplikasi pada kerapatan konidia 10 7 ml sebesar 3,75 dan pada kerapataan konidia 10 8 ml sebesar 6,25. Hal ini erat kaitannya dengan viabilitas, jumlah konidia dan virulensi jamur B. bassiana. Semakin tinggi daya kecambah dan semakin meningkatnya konsentrasi jamur B. bassiana dan konidia semakin banyak akan membuat proses infeksi berlangsung cepat yang membuat sistem metabolisme tergangggu pada tubuh sehingga mempercepat kematian pada larva S. litura. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ummidi et al. 2013 yang menyatakan bahwa ada korelasi yang kuat antara tingkat perkecambahan dan virulensi B. bassiana. Semakin tinggi daya kecambah maka semakin tinggi tingkat patogenisitas. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa larva yang terinfeksi jamur B. bassiana mengalami kematian mulai 3 hsa. Infeksi ini mulai terjadi setelah larva memakan daun kelapa sawit sekaligus tubuh larva bersentuhan dengan suspensi jamur tersebut. Hal ini sesuai pernyataan Mirhaghparast 2013 yang menyatakan bahwa ketika spora menempel pada kutikula serangga, kemudian spora berkecambah dan membentuk tabung kecambah dan akan masuk melalui integumen melalui proses mekanik dan enzimatik. Setelah mencapai haemocoel akan membentuk blastospora dan akan menginfeksi serangga inang. Berdasarkan hasil sidik ragam perlakuan tingkat kerapatan konidia B. bassiana berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva S. litura. Pada akhir pengamatan 7 hsa persentase mortalitas tertinggi terdapat pada perlakukan kerapatan konidia 10 8 ml sebesar 63,75. Hal ini menunjukkan bahwa konidia yang berkembang dari aktivitas konidia yang melekat pada bagian tubuh inang telah melakukan penetrasi dan mengaktifkan berbagai enzim yang mendegradasi kutikula hingga serangga mati. Tingkat kematian larva S. litura tersebut akibat jamur B. bassiana tergolong dalam patogenesitas sedang. Hal ini sesuai dengan literatur Carolina et al. 2014 yang menyatakan bahwa konidia yang telah melekat pada bagian tubuh inang akan mengaktifkan enzim seperti lipase, protease, kitinase yang akan merusak dan mendegradasi kutikula lalu berkembang di dalam hemolift kemudian menyerang haemoceol dengan mengeluarkan destruksin sehingga menyebabkan penyakit dan kematian serangga. Thungrabeab et al. 2006 mengklasifikasikan tingkat patogenisitas menjadi tiga yaitu patogenisitas tinggi dengan persentase kematian lebih dari 64,49 , patogenisitas sedang dengan persentase kematian 64,49–30,99 dan patogenisitas rendah dengan persentase kematian kurang dari 30,99 . Tabel 1 menunjukkan bahwa pada perlakuan kerapatan konidia 10 8 ml pada 3 hsa – 6 hsa tidak berbeda nyata dengan perlakuan kerapatan konidia 10 7 ml. Hal ini diduga karena kerapatan konidia yang optimal untuk menginfeksi dan membunuh larva S. litura terdapat pada kerapatan konidia 10 7 ml sehingga tidak berbeda nyata dengan kerapatan konidia 10 8 ml. Tetapi berbeda nyata pada pengamatan 7 hsa. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kerapatan spora yang berbeda. Semakin tinggi kerapatan spora pada jamur maka akan semakin tinggi tingkat mortalitas larva. Menurut Kaur et al. 2011 yang menyatakan bahwa secara signifikan ada korelasi yang positif antara konsentrasi spora dan mortalitas. Semakin tinggi konsentrasi spora maka semakin tinggi mortalitas. Tabel 1 menunjukkan rataan mortalitas larva S. litura pada akhir pengamatan, kerapatan konidia 10 8 ml sebesar 63,75, kerapatan konidia 10 7 ml sebesar 58,75 dan P1 kerapatan konidia 10 6 ml sebesar 45 berbeda nyata antara P3, P2 dan P1. Hal ini menunjukkan bahwa kerapatan spora sangat berpengaruh terhadap keefektifan jamur entomopatogen dalam menginfeksi dan membunuh larva S. litura. Menurut Ahmed dan Katatny 2007 yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi jamur entomopatogen yang diaplikasi, maka semakin tinggi kematian larva dan efektivitas jamur entomopatogen akan semakin tinggi. Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa terjadinya mortalitas dimulai dari 3 hsa, larva yang mati berubah berwarna hitam. Hal ini disebabkan oleh racun yang telah masuk menggangu sistem saraf maupun metabolisme tubuh sehingga mempengaruhi morfologis larva dan jenis toksin yang dihasilkan oleh jamur entomopatogen tersebut. Menurut Kaur et al. 2011 yang menyatakan bahwa jamur entomopatogen menyebabkan kematian serangga inang dengan menyerap nutrisi dan menyebarkan racun pada hemolymph sehingga dapat mempengaruhi perkembangan serangga terutama reproduksi dan molting yang memiliki tuntutan energik tinggi. Terjadi juga perubahan fisiologis pada serangga setelah diaplikasikan jamur entomopatogen karena racun pada jamur entomopatogen menghancurkan keseimbangan pada sistem fisiologis serangga. Tabel 2. Mortalitas larva S. litura pada waktu aplikasi yang berbeda pada 1-7 hari setelah aplikasi hsa. Perlakuan Mortalitas 1 hsa 2 has 3 hsa 4 hsa 5 hsa 6 hsa 7 hsa I1 3.13 8.75 a 16.88 a 29.38 a 46.25 a I2 1.88 4.38 b 11.88 b 23.13 b 37.50 b Keterangan: Angka-angka yang diikuti notasi yang sama pada kelompok kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 menurut Duncan Multiple Range Test. hsa: hari setelah aplikasi. I1: Waktu aplikasi pukul 07.00 wib, I2: Waktu aplikasi pukul 17.00 wib Tabel 2 menunjukkan bahwa aplikasi pukul 07.00 wib berbeda nyata dengan aplikasi pukul 17.00 wib. Dimana mulai dari 3 hsa – 7 hsa aplikasi B. bassiana pada pagi hari menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan aplikasi sore hari. Hal ini dapat dipengaruhi oleh daya kecambah konidia B. bassiana yang berkorelasi dengan patogenisitas dan virulensi B. bassiana terhadap mortalitas sehingga mortalitas larva lebih tinggi pada aplikasi pagi hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prayogo et al. 2005 yang menyatakan bahwa d aya kecambah viabilitas cendawan entomopatogen merupakan awal dari stadia pertumbuhan cendawan sebelum melakukan penetrasi ke integument serangga. Oleh karena itu, persentase daya kecambah sangat menentukan keberhasilan cendawan dalam pertumbuhan selanjutnya dan semakin cepat waktu yang dibutuhkan konidia untuk berkecambah akan sangat menentukan tingkat keberhasilan proses infeksi inang. Persentase mortalitas pada aplikasi B. bassiana pagi hari lebih tinggi dibandingkan sore hari. Hal ini disebabkan karena pengaruh faktor lingkungan seperti cahaya matahari, kelembapan dan temperatur sehingga mempengaruhi keefektifan jamur entomopatogen. Menurut Abboud et al. 2012 biopestisida memiliki efektifitas membunuh yang tinggi ketika kelembaban diatas 95 dan ketika kelembaban berkisar antara 65-75 efektivitas biopestisida menurun dan menurut Prayogo et al. 2005 faktor lingkungan sinar matahari, kelembapan, dan temperatur sangat menentukan keberhasilan proses infeksi di samping faktor ganti kulit moulting dari serangga.

2. Gejala Kematian S. litura