I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tulang adalah organ keras yang berfungsi sebagai alat gerak pasif dan menjadi tempat pertautan otot, tendo, dan ligamentum. Tulang juga berfungsi
sebagai penopang tubuh, melindungi organ tubuh yang lunak dan mudah rusak, memberi bentuk tubuh serta juga sebagai tempat hemopoiesis darah Favus
1993; Leeson et al. 1996. Tulang menjadi keras dan kuat karena dibentuk oleh kristal kalsium yang padat serta serabut kolagen yang lentur Stevenson dan
Marsh 1992, sehingga tulang juga berfungsi sebagai deposit mineral, khususnya kalsium, fosfat, dan magnesium dengan kepadatan tertentu melalui pengaturan
sistem homeostasis tubuh Burger et al. 1995. Tulang skeletal dewasa secara umum memiliki dua bagian, yaitu bagian
kompakta yang mencapai proporsi sekitar 80 dan bagian spongiosa sekitar 20 Stevenson dan Marsh 1992. Bagian kompakta bersifat lebih padat dan
terletak di bagian tepi tulang sehingga dinamakan juga bagian korteks, yaitu bagian yang padat dan tebal sesuai dengan fungsinya sebagai penyangga tubuh.
Bagian spongiosa disebut juga bagian trabekula karena bentuknya yang berongga atau lamelar yang tersusun dalam garis-garis trayektori dengan arah
sesuai dengan tuntutan gerakan yang ditimbulkan oleh tarikan otot-otot dan ligamentum yang bertaut padanya. Pada tulang panjang, bagian korpus
sebagian besar terdiri atas bagian tulang kompakta yang mengelilingi sumsum tulang dan pada kedua ujungnya metafisis mengandung bagian spongiosa
yang dikelilingi oleh tulang kompakta. Seluruh permukaan tulang, kecuali pada permukaan persendian, dibungkus oleh lapisan jaringan ikat khusus yang disebut
periosteum, sedang bagian dalam dilapisi oleh selapis endosteum yang membatasi rongga-rongga di bagian spongiosa, yaitu suatu lapisan jaringan ikat
yang fungsinya sama dengan periosteum, yaitu menjadi tempat sel-sel osteoblas Carola et al. 1990.
Jaringan tulang dibentuk oleh sel-sel tulang, yaitu osteosit, osteoblas, dan osteoklas. Osteosit adalah sel osteoblas yang terpendam di dalam matriks
tulang Leeson et al. 1996. Osteoblas berfungsi sebagai pembentuk osteoid matriks tulang dan serabut kolagen tulang. Osteoklas berfungsi sebagai
2 penghancur tulang. Dalam keadaan normal, osteoblas dan osteoklas bekerja
sama dalam pembentukan struktur tulang yang mencakup proses modeling dan remodeling Smith 1993.
Faktor yang memengaruhi kepadatan tulang adalah cara hidup pola makan, aktivitas fisik, merokok, asupan kalsium, obesitas, paritas jumlah anak,
Iaktasi, usia yang masih terlalu muda pada saat pertama kali hamil, penyakit kelenjar tiroid, dan penggunaan obat-obat kontrasepsi hormonal Winarno 1998.
Secara normal, puncak kepadatan tulang pada manusia dicapai pada usia tiga puluhan. Setelah itu akan terjadi proses penurunan kepadatan tulang yang
biasanya disertai dengan atau tanpa kerusakan arsitektur tulang, sehingga kekuatan tulang akan menurun yang mengarah kepada kerapuhan tulang
porous atau dikenal sebagai osteoporosis. Secara umum keadaan ini dijumpai pada manusia lanjut usia, terutama pada wanita Ott 1990. Satu dari tiga wanita
yang berumur lebih dari 55 tahun akan terkena osteoporosis, sedangkan pada pria, satu dari 12 pria di atas umur 55 tahun akan terkena osteoporosis. Pada
wanita kejadian ini menyebabkan kehilangan massa tulang yang lebih besar dibandingkan pria, sehingga risiko terjadinya osteoporosis dan patah tulang akan
lebih tinggi pada wanita Dawson-Hughes 1996; Magetsari 1999. Kepadatan tulang yang didapat selama masa pertumbuhan merupakan
faktor yang menentukan terjadinya kasus osteoporosis di kemudian hari Karlson et al. 1995. Kepadatan tulang yang tinggi pada masa premenopause
dapat mempertahankan deposit kalsium tulang sehingga mengurangi kehilangan atau penurunan kalsium pada masa menopause. Dengan demikian, individu
dengan kepadatan tulang yang tinggi pada masa pertumbuhan sampai masa premenopause akan terhindar dari osteoporosis pada masa pascamenopause
Compston et al. 1993. Apabila kekurangan kalsium pada usia awal, maka dapat mengalami patah tulang pada usia 57-58 tahun Nguyen et al. 1995.
Pada saat tulang yang mengalami osteoporosis mencapai puncaknya, maka tulang tersebut akan menjadi rapuh dan mudah patah. Hal ini merupakan
konsekuensi dari berkurangnya jumlah kalsium dalam massa tulang yang merupakan faktor risiko untuk terjadinya osteopenia dan osteoporosis
Rachman et al. 1996; Ott 2002. Kondisi demikian akan sangat berbahaya karena apabila berlanjut dalam jangka waktu yang cukup lama, tulang sebagai
kerangka tubuh tidak dapat lagi menyangga bobot tubuh sehingga apabila terjadi
3 patah tulang maka akan sulit untuk sembuh seperti sediakala. Studi epidemiologi
menunjukkan banyaknya cedera pada penderita osteoporosis adalah pada ossa vertebrae, ossa coxae, dan collum femoris. Tulang-tulang ini lebih banyak
mengandung trabekula dibandingkan tulang kompakta Favus 1993. Bukti substansial mengindikasikan bahwa osteoporosis merupakan
masalah kesehatan global dengan ciri kerusakan mikroarsitektur massa tulang, dan terjadi pada 150 juta orang di seluruh dunia per tahun. Proses osteoporosis
terjadi karena berkurangnya kadar estrogen pascamenopause pada wanita. Estrogen merupakan salah satu faktor yang sangat diperlukan dalam
mengaktifkan osteoblas di jaringan endosteum di sekitar jaringan mieloid sumsum merah pada individu dewasa. Faktor lain yang memengaruhi aktivitas
osteoblas adalah nutrisi, hormon paratiroid, vitamin D, sitokin, kortisol, dan aktivitas individu Smith 1993. Osteoblas ini berfungsi untuk sintesis unsur
organik matriks tulang osteoid, yaitu kolagen, proteoglikan, dan glikoprotein Carola et al. 1990; Telford dan Bridgman 1995; Leeson et al. 1996. Memasuki
usia 40 tahun, secara fisiologis produksi estrogen mulai berkurang hingga konsentrasinya hanya mencapai 10 saat wanita memasuki masa
pascamenopause Smith 1993 yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal Guyton 1996.
Secara medis beberapa jenis preparat hormon estrogen sintetis dapat dipakai untuk mengobati osteoporosis, namun dalam praktiknya hal ini sangat
berat karena harus diberikan seumur hidup Gass dan Neff 1995. Selain itu pengobatan hormonal memiliki banyak kelemahan, misalnya meningkatkan risiko
kanker payudara, karsinoma endometrium, perdarahan per vagina,
tromboflebitis, dan tromboemboli Nguyen et al. 1995; Genant et al. 1998. Oleh karena itu, kini fokus penelitian dan pengobatan osteoporosis diarahkan melalui
pengobatan lain dengan risiko yang lebih rendah terhadap tubuh, antara lain memberikan penambahan dosis asupan mineral, khususnya imbangan kalsium
fosfat di dalam makanan, pemberian vitamin A, vitamin C, vitamin D, peningkatan aktivitas fisik, dan penggunaan bahan alami dari tanaman yang mengandung
fitoestrogen. Bahan alami tanaman ini telah lama digunakan secara tradisional oleh masyarakat untuk mengobati penyakit Tiangburanatham 1996;
Dalimartha 2003. Sementara itu Rachman et al. 1996 menyatakan penggunaan fitoestrogen memiliki efek keamanan yang lebih baik dibandingkan
dengan estrogen sintetis atau obat-obat hormonal pengganti hormonal replacement therapy.
4 Sejak dahulu, masyarakat telah mengenal beberapa tanaman untuk
mengobati berbagai macam penyakit. Akhir-akhir ini hal tersebut semakin gencar didengungkan dengan slogan back to nature. Di Afrika, India, Sri Lanka,
Malaysia, dan Jawa, Cissus qudrangularis Linn. banyak dipakai untuk mengatasi sakit sendi, sipilis, penyakit kelamin, dan osteoporosis Shirwaikar et al. 2003.
Studi literatur menunjukkan bahwa batang Cissus qudrangularis Linn. mengandung triterpen seperti α- dan β-amirin, β-sitosterol, ketosteroid, β-
karoten, dan vitamin C Attawish et al. 2002, γ-amirin, δ-amiron Mehta et al. 2001. Semua senyawa ini mempunyai potensi efek metabolik dan fisiologik
yang berbeda Shirwaikar et al. 2003; Combaret et al. 2004 dan diketahui memberikan perlindungan terhadap kerusakan lambung pada hewan model
Navarrete et al. 2002; Sairam et al. 2002. Studi fitokimia pada Cissus qudrangularis Linn. menunjukkan adanya kandungan flavonoid seperti kuersetin
dan vitamin C serta resveratrol, piceatannol, palidol, asam askorbat, ketosteroid, dan karoten Tiangburanatham 1996; Swamy et al. 2006. Di India dan Sri
Langka, Cissus qudrangularis Linn. dikenal dapat mengobati patah tulang karena kemampuannya mempertautkan tulang Sivarajan dan Balachandran 1994.
Nadkarni 1954 menjelaskan bahwa akar Cissus qudrangularis Linn. sangat berguna untuk pengobatan retak tulang baik diminum maupun digunakan
sebagai plester eksternal. Di Aceh tanaman sipatah-patah telah lama dikenal sangat mujarab
dipakai sebagai obat patah tulang dengan cara memakai tumbukan batangnya yang dibalutkan pada daerah yang patah. Sipatah-patah mempunyai bentuk
struktur yang hampir sama dengan Cissus quadrangularis Linn. Tanaman ini tumbuh di Kecamatan Lam Nga, Kabupatan Aceh Besar, dan tanaman sipatah-
patah ini telah diidentifikasi sebagai Cissus quadrangula Salisb oleh Herbarium Bogorinsis. Mengingat besarnya potensi tanaman sipatah-patah dan khasiat
yang dikandungnya sebagai obat patah tulang, besar kemungkinan tanaman sipatah-patah yang ada di Aceh juga berpotensi sebagai antiosteoporosis. Oleh
karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai peranan sipatah-patah sebagai antiosteoporosis. Tanaman sipatah-patah ini belum pernah diteliti dan juga
belum diketahui kandungan fitokimia yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu sipatah-patah perlu diteliti kandungan fitokimianya.
5 Predisposisi osteoporosis dimulai sejak masa kanak-kanak dan remaja.
Oleh karena itu tahap pencegahan osteoporosis lebih ditekankan sejak usia dini melalui perbaikan proses fisiologi seperti peningkatan massa tulang selama
pertumbuhan sampai mencapai puncak massa tulang Karlson et al. 1995. Untuk itu maka perlu diteliti pengaruh sipatah-patah pada hewan percobaan yang
diberi ekstrak sipatah-patah pada masa pertumbuhan dan menopause. Hewan percobaan yang akan dipakai adalah tikus sesuai dengan penelitian
Shirwaikar et al. 2003. Dengan demikian maka diperlukan dua kelompok penelitian, yaitu untuk mengetahui kemampuan sipatah-patah dalam mencegah
osteoporosis pada tikus betina normal masa pertumbuhan dan mengobati osteoporosis pada tikus betina yang dikondisikan mengalami menopause melalui
ovariektomi.
1.2. Tujuan Penelitian