5 Predisposisi osteoporosis dimulai sejak masa kanak-kanak dan remaja.
Oleh karena itu tahap pencegahan osteoporosis lebih ditekankan sejak usia dini melalui perbaikan proses fisiologi seperti peningkatan massa tulang selama
pertumbuhan sampai mencapai puncak massa tulang Karlson et al. 1995. Untuk itu maka perlu diteliti pengaruh sipatah-patah pada hewan percobaan yang
diberi ekstrak sipatah-patah pada masa pertumbuhan dan menopause. Hewan percobaan yang akan dipakai adalah tikus sesuai dengan penelitian
Shirwaikar et al. 2003. Dengan demikian maka diperlukan dua kelompok penelitian, yaitu untuk mengetahui kemampuan sipatah-patah dalam mencegah
osteoporosis pada tikus betina normal masa pertumbuhan dan mengobati osteoporosis pada tikus betina yang dikondisikan mengalami menopause melalui
ovariektomi.
1.2. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan melalui tiga hal yaitu:
1. Mengetahui kandungan mineral kalsium dan fosfat serta komposisi fitokimia tanaman sipatah-patah Cissus quadrangula Salisb asal Aceh.
2. Menguji kemampuan ekstrak etanol batang sipatah-patah dalam mencegah osteoporosis pada tikus betina normal masa pertumbuhan.
3. Mengobati osteoporosis pada tikus betina yang dikondisikan mengalami menopause melalui ovariektomi.
1.3. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi kandungan mineral dan bahan fitokimia tanaman sipatah-patah Cissus quadrangula Salisb asal
Aceh dalam rangka memperkaya data biologi sumber daya alam hayati tanaman asli Indonesia dan memperteguh keyakinan kearifan lokal masyarakat dalam
pemanfaatan tanaman asli Indonesia, khususnya sipatah-patah dalam mencegah dan mengobati osteoporosis pada tikus melalui proses kajian ilmiah.
1.4. Hipotesis
Hipotesis yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah: 1. Komponen utama sipatah-patah mengandung kalsium, fosfat, dan
fitoestrogen. 2. Pemberian ekstrak etanol batang sipatah-patah asal Aceh dapat :
a. Mencegah kejadian osteoporosis pada tikus betina prepubertas b. Mengobati osteoporosis pada tikus ovariektomi.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Struktur Tulang
Tulang adalah organ keras yang berfungsi sebagai alat gerak pasif, menjadi tempat pertautan otot, tendo, dan ligamentum. Tulang juga berfungsi
sebagai penopang tubuh, memberi bentuk tubuh, dan melindungi organ tubuh yang lunak dan mudah rusak, serta menjadi tempat terjadinya proses
hemopoiesis darah Favus 1993; Leeson et al. 1996. Tulang-tulang membentuk kerangka skeleton. Kerangka manusia dibentuk oleh 206 buah tulang
Akers dan Denbow 2008 sedangkan kerangka kuda mempunyai 208 buah tulang Getty 1975. Tulang berfungsi sebagai alat gerak pasif karena gerakan
tulang dilakukan oleh kontraksi otot yang bertaut ke tulang melalui tendo-tendo Leeson et al. 1996.
Tulang kerangka secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi ossa longa tulang panjang, ossa plana tulang pipih, ossa brevia tulang pendek,
dan ossa irregularia tulang tidak beraturan. Tulang panjang ossa tibia-fibula, ossa radius-ulna bentuknya silindris dan panjang dengan kedua ujungnya
membesar. Tulang panjang berfungsi untuk menahan beban tubuh dan di daerah metafisis bagian dorsal terdapat sumsum merah. Berbeda dengan tulang
panjang, tulang pipih seperti os ilium dan ossa cranii bertugas untuk melindungi bagian tubuh yang lunak. Tulang pendek ossa carpi, ossa tarsi, dan
ossa sesamoidea mempunyai panjang, lebar, dan tinggi yang hampir sama dan berfungsi untuk menahan benturan atau mengurangi pergeseran dan perubahan
arah dari tendo. Ossa vertebrae termasuk tulang tidak beraturan, yang terbagi dalam segmen-segmen yang terletak pada sumbu tubuh sehingga sangat
fleksibel dipakai untuk pergerakan tulang belakang dan menjadi tempat beradanya sumsum merah Carola et al. 1990.
Tulang tersusun atas tulang kompakta pada bagian luar dan tulang trabekula pada bagian dalam Smith 1993. Dengan susunan seperti ini massa
tulang menjadi lebih ringan tanpa mengurangi tingkat kekuatannya sehingga fungsinya menjadi optimal Fleisch 1993.
Bagian luar dari tulang berbentuk lapisan padat yang disebut tulang kompakta substansia compacta, sedangkan bagian dalamnya merupakan
lempeng-lempeng tipis tersusun seperti bunga karang kasau-kasau tulang yang halus dan berjalan ke berbagai arah yang disebut tulang trabekula
8 substansia spongiosa Stevenson dan Marsh 1992; Carola et al. 1990.
Proporsi substansia kompakta dan spongiosa masing-masing sekitar 80 dan 20 Goldberg 2004, namun ditemukan banyak variasi sesuai dengan jenis
tulang dan dipengaruhi oleh daya tekan dan tarik yang dialami tulang tersebut Stevenson dan Marsh 1992; Leeson et al. 1996. Dengan struktur seperti ini,
tulang mempunyai kekuatan yang optimum dengan bobot yang minimal sehingga dapat menahan
bobot badan maupun beban kerja
Parfitt 1984; Carola et al. 1990.
Tulang kompakta terdiri atas jaringan kolagen dan hidroksiapatit yang membentuk 3 lapisan, yaitu lapisan periosteum, intrakompakta, dan endosteum
Rachman 1999. Periosteum adalah selubung fibrosa yang membungkus tulang, kecuali pada permukaan sendi Leeson et al. 1996. Periosteum pada
hewan dewasa terdiri atas dua lapisan, tanpa batasan yang jelas. Lapisan luar terdiri atas jaringan ikat padat fibrosa yang mengandung anyaman pembuluh
darah. Lapisan dalam terdiri atas jaringan ikat yang lebih longgar, mempunyai sedikit unsur kolagen yang memasuki tulang sebagai serat Sharpey
Carola et al. 1990, mengandung banyak sel jaringan ikat berbentuk gelondong yang disebut lapisan kambium, lapisan ini mengandung sel-sel osteoprogenitor
dan disebut periosteum. Sel-sel osteoprogenitor adalah sel-sel yang berfungsi untuk membentuk jaringan tulang. Pada tulang yang sedang tumbuh, lapisan
kambium aktif membentuk tulang sehingga dinding tulang menjadi tebal. Dalam keadaan normal, periosteum lebih tipis, kurang vaskularisasi dan berada dalam
keadaan istirahat, tetapi masih berpotensi osteogenik. Jika tulang mengalami fraktura retak, maka lapisan kambium dari periosteum akan aktif kembali dalam
usahanya mengadakan regenerasi tulang Leeson et al. 1996. Bagian intrakompakta merupakan bagian utama dari tulang kompakta
yang dibentuk oleh sistem Haver, membentuk bangun berupa tabung dengan panjang 2 mm dan diameter 22 µm yang terdiri atas lapisan konsentrik dengan
osteosit yang berada di antaranya. Pada bagian tengah tulang kompakta terdapat saluran Volkmann berisi pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf
yang berperan mengangkut nutrisi dan sebagai alat sensoris Carola et al. 1990. Dari periosteum dan endosteum akan masuk saluran Volkman atau saluran
nutrien secara tegak lurus ke dalam tulang dan berhubungan dengan saluran Haver. Dengan demikian, di dalam tulang terdapat suatu sistem yang kompleks
9 Gambar 1. Struktur tulang panjang
dimodifikasi dari Warwick dan Williams 1973. dan saling berhubungan antara pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf
untuk tulang Carola et al. 1990; Leeson et al. 1996. Setiap saluran Haver memiliki sejumlah lamel konsentris 5 sampai 20 lamel. Lamel matriks tulang,
sel-sel dan saluran pusatnya membentuk sistem Haver. Kanalikuli pada sistem Haver akan berhubungan langsung dengan saluran Haver sehingga semua
lakuna akan berhubungan langsung dengan saluran Haver. Kanalikuli pada tepi sistem Haver biasanya tidak berhubungan dengan kanalikuli yang berasal dari
sistem sebelahnya, melainkan membentuk lengkungan dan kembali ke lakunanya sendiri. Sistem Haver terutama tersusun menurut sumbu panjang
tulang, sehingga pada potongan melintang terlihat sebagai lubang bulat yang dikelilingi oleh lamel-lamel yang melingkar Gambar 2, sedangkan pada
potongan memanjang sistem Haver terlihat sebagai celah memanjang yang dibatasi kolom-kolom lamel Leeson et al. 1996.
Bagian trabekula
mengandung lempeng-lempeng yang saling
berhubungan dengan pola tertentu yang membentuk garis trayektori spesifik menurut fungsi mekanis tulang tersebut. Tulang trabekula terdiri atas lamel-
lamel, di dalamnya terdapat lakuna yang mengandung osteosit dan sistem kanalikuli yang saling berhubungan. Pada masa prenatal, pada tulang spongiosa
belum terlihat jelas adanya lamel-lamel karena serat-serat kolagen tulang terdapat dalam anyaman tidak beraturan. Hal ini terlihat khas untuk tulang yang
berkembang dengan cepat dan disebut sebagai tulang teranyam woven bone Leeson et al. 1996.
10 Gambar 2. Gambaran substansia kompakta dan substansia spongiosa
trabekula di metafisis bagian proksimal tulang panjang dimodifikasi dari Leeson et al. 1996
Endosteum adalah lapisan halus yang membatasi rongga sumsum dan meluas sebagai pelapis sistem saluran tulang kompakta. Endosteum terdiri atas
jaringan retikular padat yang memiliki kemampuan osteogenik dan hemopoetik Carola et al. 1990.
Endosteum merupakan permukaan dalam dari tulang yang terdiri atas sel osteoprogenitor dan hanya sebagian kecil jaringan ikat yang
melapisi permukaan trabekula dan permukaan medulla tulang kortikal serta kanal Harvesian. Endosteum menyediakan sel osteoprogenitor atau sel osteoblas
secara kontinyu untuk perbaikan dan pertumbuhan tulang yang berfungsi untuk remodeling tulang Einhorn 1996; Leeson et al. 1996.
2.1.1 Komposisi Tulang
Tulang terbentuk dari unsur mineral kira-kira 65 , matriks organik ekstraseluler 30 , sel-sel osteoblas, osteoklas, osteosit, serta air sekitar 5 .
Sebagian besar 95 dari mineral tulang merupakan kristal hidroksiapatit dan 5 sisanya terdiri atas bahan organik Favus 1993; Guyton 1996; Ott 2002.
Mineral tulang merupakan bentuk anorganik dari tulang, dengan campuran utamanya kristal kalsium fosfat atau kristal kalsium hidroksiapatit
[3Ca
3
P0
4 2
CaOH
2
]. Kalsium hidroksiapatit berbentuk piringan kristal tajam seperti jarum di dalam dan di antara serat kolagen dengan panjang 20-80 nm
dan tebal 2-5 nm Puzas 1993; Leeson et al. 1996. Selain komponen tersebut, kalsium hidroksiapatit juga mengandung komponen lain seperti karbonat, sitrat,
magnesium, natrium, fluor, dan strontium yang terdapat pada kisi dari kristal atau terserap ke dalam sampai ke permukaan kristal Rachman 1999.
11 Bahan organik dari mineral tulang terdiri atas 98 jaringan kolagen dan
2 sisanya terdiri atas beberapa protein nonkolagen. Kolagen adalah protein dengan daya larut yang sangat rendah, terdiri atas 3 rantai polipeptida
triple helix yang pada setiap rantai terdapat seribu 1000 asam amino Shenk et al. 1993.
Protein nonkolagen tulang terdiri atas osteonektin, osteokalsin, osteopentin, dan sialoprotein Favus 1993. Osteonektin adalah protein besar
dengan bobot molekul 320 KDa yang disintesis oleh osteoblas. Protein ini berfungsi untuk mengikat kolagen hidroksiapatit. Osteokalsin adalah protein kecil
dengan bobot molekul 5.8 KDa dan berjumlah sekitar 10-12 dari total protein nonkolagen, protein ini berhubungan erat dengan fase mineralisasi tulang
Rachman 1999. Beberapa protein tulang yang lain seperti trombopontin, asam glikoprotein, dan fibronektin merupakan protein yang mengandung asam arginin-
glisin aspartat yang bersifat asam dan berafinitas besar terhadap kalsium. Protein-protein ini mempunyai kemampuan untuk diikat oleh reseptor integrin.
Growth factor dan sitokin seperti transforming growth factor beta TGFβ, insulin
growth factor IGF, interleukin IL, bone morphogenic protein BMP terdapat dalam jumlah kecil di matriks tulang Shenk et al. 1993. Protein-protein tadi
mengikat mineral tulang dan matriks dan dilepaskan saat terjadi proses resorbsi tulang oleh osteoklas Favus 1993.
2.1.2 Metabolisme Tulang
Metabolisme tulang diatur oleh osteoblas, osteosit, dan osteoklas terhadap respons dari berbagai rangsangan di sekelilingnya termasuk
rangsangan kimia dan mekanik Erickson et al. 1992; Puzas 1993. Rangsangan spesifik diatur oleh reseptor sel yang ditemukan pada membran sel atau di dalam
sel. Reseptor yang berada di membran sel menerima rangsangan dari luar dan mengirimkan informasi tersebut ke inti menyeberangi sitoplasma sel melalui
mekanisme transduksi. Sementara itu reseptor dalam sel di sitoplasma atau di inti mengikat rangsangan biasanya hormon steroid yang melewati membran
sel dan masuk ke dalam sel untuk memindahkan efektor ke nukleus yang di dalamnya terdapat reseptor steroid kompleks yang terikat pada asam
deoksiribonukleat DNA spesifik dari rangkaian gen Rachman 1999.
12 Pada tulang dapat dibedakan tiga jenis sel tulang, yaitu osteoblas,
osteosit, dan osteoklas Rachman 1999 Gambar 3. Osteoblas merupakan sel yang berhubungan dengan pembentukan tulang dan ditemukan pada permukaan
tulang, yaitu periosteum dan endosteum. Osteoblas dibentuk dari sel stroma dari mesoderm totipotent mesenchymal stem cell Smith 1993; Ott 2002.
Pembentukan osteoblas dimulai dari prekusor sel stroma menjadi preosteoblas yang kemudian berkembang menjadi osteoblas yang dapat diaktifkan sehingga
akhirnya dapat membentuk osteosit Erickson et al. 1992; Puzas 1993. Osteoblas merupakan sel berinti tunggal yang terdapat di permukaan luar
periosteum dan di dalam tulang endosteum. Sitoplasmanya bersifat basofil karena mengandung nukleoprotein. Apabila sel ini berada dalam keadaan aktif
berbentuk kuboid, sedangkan dalam keadaan tidak aktif, osteoblas berbentuk pipih Einhorn 1996. Dalam proses perbaikan kondisi tulang setelah adanya
perombakan tulang oleh osteoklas, biasanya ditemukan adanya osteoblas aktif di tempat itu untuk mensintesis matriks tulang baru yang diawali dengan proses
mineralisasi dan kolagenasi matriks tulang Price 1995; Lian dan Stein 1996. Osteoblas berfungsi menghasilkan kolagen, proteoglikan, dan glikoprotein untuk
pembuatan dan pertumbuhan tulang baru pada daerah permukaan tulang dan juga untuk pembentukan tulang pada kartilago Telford dan Bridgman 1995.
Proses perkembangan dan pembentukan tulang oleh osteoblas dipengaruhi oleh faktor yang bersifat lokal maupun sistemik. Faktor lokal yang
berpengaruh dalam meningkatkan pembentukan tulang adalah BMP bone morphogenic protein, TGF-
β, IGF insulin-like growth factor-1, estrogen, triiodotironin T
3
, tetraiodotironin T
4
, kalsitriol [1,25-OH
2
D
3
Saat menjalankan fungsinya, osteoblas juga memproduksi enzim alkalin fosfatase. Enzim ini mempunyai sifat spesifik dibandingkan dengan alkalin
fosfatase yang dihasilkan oleh jaringan lainnya. Fungsi alkalin fosfatase ini bekerja dengan cara membebaskan protein nonkolagen osteokalsin dalam
proses pembentukan tulang. Aktivitas osteoblas dapat dipantau secara biokimia ],
dan prostaglandin E2 PGE2. Faktor sistemik yang meningkatkan pembentukan
tulang adalah fluorida, PTH hormon paratiroid nutrisi, vitamin D, sitokin, kortisol, dan aktivitas individu Gambar 4. Faktor sistemik lainnya yang bekerja dengan
menghambat formasi tulang adalah hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh korteks adrenal Smith 1993; Ott 2002.
13 Gambar 3. Gambaran sel osteogenik, osteoblas, osteosit, dan osteoklas
dimodifikasi dari Leeson et al. 1996. dengan menilai kadar enzim alkalin fosfatase tulang dan kadar osteokalsin dalam
serum Price 1995. Dalam perkembangan penelitian selanjutnya telah ditemukan reseptor estrogen dan reseptor kalsitriol di osteoblas Gallaher 1986;
Reid 1996. Tipe sel tulang yang kedua adalah osteosit, yaitu osteoblas yang sudah
menetap dalam lakuna pada saat pembentukan lapisan permukaan tulang berlangsung. Osteosit merupakan sel peralihan dari sel-sel osteoblas yang
berhenti membentuk matriks tulang dan terperangkap di dalam tulang. Sel ini memiliki peran dalam memelihara matriks tulang sehingga tersimpan di dalam
tulang Erickson et al. 1992; Puzas 1993. Sel tersebut berhubungan satu dengan yang lainnya melalui penjuluran sitoplasma yang melewati kanalikuli dan
berperan dalam membantu koordinasi respons tulang terhadap stres atau deformasi Stevenson dan Marsh 1992. Tidak semua osteoblas berkembang
menjadi osteosit hanya 10-12 , hal ini disebabkan oleh kegagalan difusi nutrisi. Pembuluh darah masuk melalui kanal kecil yang dikenal sebagai
kanalikuli. Kanalikuli adalah satu-satunya saluran untuk nutrisi dan pertukaran gas yang akan digunakan oleh osteosit. Bentuk kanalikuli beraturan seperti
tubulus penghubung Lian dan Stein 1996. Osteosit juga diduga memiliki kemampuan merespons mekanisme rangsangan gaya mekanik dan neuroelektrik
yang berhubungan dengan aktivitas individu. Gaya fisioelektrik ini diduga merangsang pengeluaran IGF-1 untuk mengaktifkan osteoblas dan juga
merangsang proses pembentukan osteoblas yang baru Erickson et al. 1992; Hosking 1994.
14 Sel ketiga pada tulang adalah osteoklas yang bertanggung jawab
terhadap resorbsi kalsium tulang dan kartilago Ott 2002. Osteoklas memiliki progenitor yang berbeda dari sel tulang lainnya karena tidak berasal dari sel
mesenkim, melainkan dari jaringan mieloid, yaitu monosit atau makrofag pada sumsum tulang Smith 1993; Ott 2002. Osteoklas ini bersifat mirip dengan sel
fagositik lainnya dan berperan aktif dalam proses resorbsi tulang. Osteoklas merupakan sel fusi dari beberapa monosit sehingga bersifat multinukleus
10-20 nuklei dengan ukuran besar dan berada di tulang kortikal atau tulang trabekular Marcus et al. 1996. Di dalam menjalankan tugasnya, osteoklas
mensekresi enzim kolagenase dan proteinase lainnya, asam laktat, serta asam sitrat yang dapat melarutkan matriks tulang. Enzim-enzim ini memecah atau
melarutkan matriks organik tulang sedangkan asam akan melarutkan garam- garam tulang. Osteoklas mempunyai ruffled border yaitu daerah spesifik dari
membran sel berbentuk jari-jari atau gelambir-gelambir, yang biasanya berhadapan dengan permukaan tulang. Sekresi enzim-enzim, asam laktat, dan
asam sitrat dilepaskan keluar sel melalui ruffled border. Di area ruffled border ini terjadi proses resorbsi tulang sehingga mengakibatkan terbentuknya
Gambar 4. Faktor-faktor yang memengaruhi fungsi osteoblas dimodifikasi dari Smith 1993
Osteoblas
Kortisol
Osteosit Pre-osteoblas
Osteoblas pasif
Sintesis kolagen protein non-kolagen
proteoglikan Sitokin
Sel pengendali osteoklas
Mineralisasi
PTH 1,25OH
2
D
3
Jarak jauh Estrogen
Nutrisional Mekanik
Endokrin Jarak pendek
15 cekungan sebagai akibat hilangnya matriks di daerah itu, dan cekungan yang
terbentuk ini dinamakan lakuna Howship Telford dan Bridgman 1995; Leeson et al. 1996.
Interaksi antara osteoklas dan osteoblas Gambar 5 secara normal selalu terjadi pada proses remodeling tulang. Osteoblas diduga mengambil bone
morphogenetic protein BMP sebelum osteoklas merusak tulang. Resorbsi tulang akan membebaskan protein tulang yang berpengaruh timbal balik yaitu
dapat menstimulasi aktivitas osteoblas. Proses remodeling ini masih belum diketahui dengan pasti Smith 1993. Sel-sel osteoklas menangkap partikel-
partikel matriks tulang dan kristal melalui fagositosis yang akhirnya melarutkan benda-benda tersebut dan melepaskannya ke dalam darah Guyton 1996;
Smith 1993. Proses ini selalu dalam keadaan seimbang dalam mengatur formasi dan resorbsi tulang sehingga dikenal dengan istilah berpasangan atau
coupling Suda et al. 1992; Smith 1993. Dalam proses peningkatan aktivitas osteoklas, osteoblas menghasilkan beberapa sitokin seperti tumor necrosis factor
beta TNF β, IL-1, dan IL- 6, sehingga dapat dikatakan terdapat poros osteoblas-
osteoklas dalam pengendalian densitas tulang. Sebaliknya, aktivitas osteoklas dihambat oleh estrogen,
kalsitonin, TGF β, interferon gamma IFN- , dan prostaglandin PGE2 Suda et al. 1992.
Gambar 5. Diagram interaksi osteoblas dan osteoklas dalam proses remodeling pada permukaan tulang Smith 2003.
16 Bone morphogenetic protein merupakan pemicu osteoblastogenesis
dengan merangsang osteoblastic specific factor-2 OSF-2 atau core binding factor A1 Cbf A1 yang berfungsi mengaktifkan gen spesifik osteoblas, seperti
osteokalsin, osteopontin, sialoprotein, dan kolagen tipe I. Selain hormon sistemik dan sinyal mekanis, perkembangan dan diferensiasi osteoblas dan osteoklas
diatur juga oleh growth factor GF dan sitokin Manolagas 2000.
2.1.3 Modeling dan Remodeling Tulang
Carola et al. 1990 menyatakan bahwa tulang merupakan suatu organ yang mengalami metabolisme aktif berupa proses penyerapan dan pembentukan
tulang. Proses ini berlangsung secara simultan dan menyangkut semua perubahan yaitu modeling dan remodeling.
Modeling adalah perubahan struktur atau bentuk pada jaringan tulang akibat formasi dan resorbsi matriks tulang dalam proses pertumbuhan contoh:
perubahan bentuk tulang kepala dari bayi sampai tua. Pada manusia, memasuki usia 20 sampai 30 tahun Gambar 6 terjadi peningkatan
pembentukan massa tulang dengan tercapainya massa tulang puncak Goldberg 2004. Proses modeling terjadi pada bagian growth plate lempengan
tulang rawan yang aktif berproliferasi atau disebut juga sasaran epifise atau pada lokasi perubahan tulang rawan menjadi tulang termineralisasi
Eriksen et al. 1994. Selama proses pertumbuhan terjadi pemisahan badan tulang corpus dengan area ujung tulang epifisis oleh sasaran epifise.
Gambar 6. Perubahan massa tulang berdasarkan umur pada manusia dimodifikasi dari Goldberg 2004
17 Pertumbuhan memanjang terjadi karena sasaran epifise tersebut terisi oleh
tulang baru pada ujung badan tulang. Lebar sasaran epifise sebanding dengan kecepatan pertumbuhan tubuh dan dipengaruhi oleh sejumlah hormon terutama
hormon pertumbuhan yang dihasilkan oleh hipofisa dan insulin growth factor-1 IGF-1 Ganong 1995. Sementara itu Goldberg 2004 menyatakan bahwa
modeling dimulai sejak di dalam kandungan sampai mencapai puncak massa tulang yang dipengaruh oleh faktor-faktor fisiologis dan mekanis. Pembentukan
tulang terjadi melalui mekanisme pengerasan tulang endokondrial. Hal itu termasuk perubahan dari garis turunan sel mesenkim menjadi kondroblas
selanjutnya menjadi kondrosit dengan mensintesis proteoglikan sebagai dasar dari matriks ekstraseluler. Ketika terjadi kalsifikasi matriks ekstraseluler,
berlangsung juga invasi pembuluh darah termasuk prekursor osteoklas yang menurunkan kalsifikasi tulang rawan dan prekursor osteoblas. Proses kalsifikasi
tulang rawan menghasilkan the primary spongiosum, sedangkan tulang yang terbentuk di antara jaringan disebut the secondary spongiosum yang nantinya
dikenal sebagai tulang woven Leeson et al. 1996. Remodeling adalah proses yang berlangsung terus-menerus secara aktif
dengan membangun dan memperbaiki pembentukan tulang yang dilakukan oleh osteoklas resorbsi tulang dan osteoblas formasi tulang. Proses remodeling
pada kondisi normal adalah massa tulang yang diresorbsi seimbang dengan jumlah massa tulang yang diformasi, terutama pada individu berusia sekitar 30-
40 tahun Goldberg 2004. Remodeling juga berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan biokimia tulang, memelihara dan memperbaiki kerusakan tulang
Rachman 1999. Keseimbangan ini mulai terganggu melewati usia 40 tahun. Pada usia tersebut proses remodeling tulang mulai tidak seimbang yaitu,
kecepatan formasi tulang tidak sama dengan resorbsi tulang dan lebih cenderung ke arah penyerapan tulang ketika wanita mencapai menopause. Pada saat ini
terjadi proses uncoupling, yaitu awal proses penuaan Goldberg 2004. Menurut Leeson et al. 1996 dan Rodan 1996 tahapan proses remodeling tulang
normal meliputi enam tahap, yaitu quiescence istirahat, aktivasi, resorbsi, proses balik reversal, formasi, dan berakhir pada tahap istirahat.
Remodeling tulang dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti hormon paratiroid PTH, kalsitonin, sitokin, kalsitriol dan faktor-faktor lokal nutrisi, faktor
pertumbuhan, TGF β, fibroblast growth factor FGF, IL, prostaglandin, dan
aktivitas individu. Beberapa tahun setelah puncak massa tulang terjadi, proses
18 remodeling tulang masih berjalan normal dengan jumlah massa tulang yang
masih stabil. Memasuki usia 40 tahun atau tepatnya memasuki usia menopause, proses remodeling mulai berjalan tidak seimbang Rachman 1999.
Secara fisiologis, pada wanita pascamenopause karena kadar estrogen yang mulai menurun akan mengakibatkan gangguan keseimbangan antara sel
osteoklas dan osteoblas Mizuno et al. 1995. Kekurangan estrogen akan menyebabkan menurunnya kadar kalsium darah sehingga akan memacu kelenjar
paratiroid untuk meningkatkan sekresi PTH dan memengaruhi osteoblas untuk merangsang pembentukan sitokin IL-1, IL-6, dan TNF. Sitokin mengaktivasi
osteoklas untuk merangsang resorbsi tulang Potu et al. 2009. Secara mikroskopis, proses remodeling tulang dimulai dengan sekresi
kolagen, glikoprotein, dan proteoglikan oleh osteoblas. Kolagen mengalami polimerisasi membentuk serabut kolagen atau semacam tulang rawan yang
belum mengalami proses mineralisasi yang disebut osteoid. Osteoblas yang terperangkap di dalam osteoid akan menjadi osteosit dan berperan dalam
regulasi mineral tulang Favus 1993. Penumpukan mineral terjadi beberapa hari setelah terbentuknya osteoid dengan susunan berselang seling dengan serabut
kolagen menjadi kristal hidroksiapatit. Pada remodeling proses pembentukan mineral diikuti juga oleh proses penyerapan mineral dan berlangsung dalam
keseimbangan yang dinamis di dalam tulang Leeson et al. 1996.
2.2. Osteoporosis
Osteoporosis merupakan suatu kondisi atau perubahan yang terjadi pada tulang sebagai akibat pengurangan massa tulang, mineral maupun matriks tulang
Sabri 2000; Anderson et al. 2008, sehingga kepadatan tulang berkurang atau tulang menjadi keropos. Pengurangan massa tulang tersebut dapat terjadi
sebagai akibat ketidakseimbangan antara resorbsi dan pembentukan tulang Palmer 1993; Shin et al. 2007.
Beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan terjadinya osteoporosis ialah faktor umur, kurangnya aktivitas fisik, jenis kelamin, nutrisi, kelaparan,
hormonal, genetik, kebiasaan hidup, individu seperti perokok, dan peminum alkohol, serta warna kulit Lane, 2001
Setelah mencapai usia 30 tahun pada puncak massa tulang, maka massa tulang berubah seiring dengan bertambahnya usia dan jaringan tulang yang
; Rizer 2006.
19 hilang menjadi lebih banyak daripada yang dibentuk. Pada usia remaja,
pertumbuhan tulang wanita menjadi semakin cepat dengan meningkatnya produksi hormon estrogen dan progesteron. Massa tulang yang didapat selama
masa pertumbuhan merupakan faktor yang menentukan akan terjadinya osteoporosis dalam masa kehidupan selanjutnya Karlson et al. 1995. Setelah
usia antara 35-40 tahun penyerapan tulang sedikit melebihi pembentukan tulang sehingga diperkirakan kehilangan massa tulang sebesar 1 per tahun. Wanita
pada masa pascamenopause mengalami peningkatan kehilangan tulang sampai 2 per tahun akibat peningkatan penyerapan tulang Endris dan Rude 1994.
Osteoporosis mencakup dua mekanisme perubahan mikroanatomi trabekula, yaitu proses penipisan dan erosi tulang trabekula. Kedua proses
tersebut bergantung pada perubahan yang mendasari proses remodeling Eriksen et al. 1994. Selanjutnya Croucher et al. 1994 menegaskan bahwa
struktur trabekula tulang ilium wanita pascamenopause menunjukkan adanya perubahan mikrostruktur, berupa penurunan massa tulang dan matriks tulang.
Pada penelitian lain, Kalu et al. 1993 menyatakan bahwa penentuan dasar proses remodeling tulang berupa penipisan tulang trabekula menuju pada
perubahan arsitektur tulang dan erosi tulang sehingga kehilangan tulang trabekula dapat secara keseluruhan atau proporsional.
Pada penelitian yang dilakukan pada tikus, osteoporosis dapat bertambah parah tidak hanya disebabkan oleh rendahnya konsumsi dan absorbsi kalsium
tetapi juga disebabkan oleh terlalu tingginya rasio fosfat dan kalsium dalam diet Sabri 2000. Tingginya konsumsi fosfat mengakibatkan terjadinya
hiperparatiroidisme sekunder sehingga mengganggu homeostasis kalsium terutama pada manula Anderson 1996. Calvo dan Park 1996 juga
menyebutkan bahwa osteoporosis pada hewan yang disebabkan oleh faktor defisiensi kalsium menjadi faktor penyebab utama, sedangkan faktor lainnya
adalah malnutrisi dan defisiensi fosfor. Manifestasi klinis osteoporosis adalah rasa nyeri, yang baru timbul
setelah ada komplikasi seperti fraktur dan deformitas. Akibat lanjut permasalahan osteoporosis pada wanita pascamenopause terdiri atas 75
patah tulang lumbal fraktur vertebrae dan 25 patah tulang paha Gambar 7. Fraktur tulang lumbal, sering terjadi tanpa gejala, bila terdapat nyeri maka nyeri
20 Gambar 7. Bagan patogenesis proses osteoporosis dimodifikasi dari
Wark 1993 yang dialami bersifat akut, terlokalisasi pada tulang belakang, rasa nyeri akan
berkurang setelah 2-6 minggu. Keadaan kifosis oleh karena fraktur akan muncul secara bertahap sehingga makin lama makin tampak nyata. Fraktur tulang paha
biasanya oleh karena adanya trauma atau jatuh. Fraktur ini ditandai dengan adanya rasa nyeri terlokalisasi pada daerah fraktur dan hilangnya fungsi tulang
sebagai penyangga tubuh. Keadaan tersebut merupakan gejala khas osteoporosis Rachman et al. 1996.
Predisposisi osteoporosis dimulai sejak masa kanak-kanak dan remaja. Oleh karena itu tahap pencegahan osteoporosis lebih ditekankan sejak usia dini
melalui perbaikan proses fisiologi seperti peningkatan massa tulang selama pertumbuhan sampai mencapai puncak massa tulang Karlson et al. 1995;
Goldberg 2004. Menurut Jubb et al. 1993, diagnosis osteoporosis stadium awal banyak mengalami kesulitan, apalagi jika hanya menggunakan metode
diagnostik yang sederhana. Oleh karena itu, osteoporosis biasanya baru dapat terdiagnosa apabila penyakit sudah melanjut. Gambaran radiologi tulang
penderita osteoporosis terlihat radiolucent, kepadatan tulangnya menurun, tetapi gambaran ini umumnya hanya akan terlihat pada kasus osteoporosis yang sudah
melanjut. Tulang rapuh
Mudah kena trauma
Penyakit dan faktor sporadis
Kehilangan massa tulang meningkat
Menopause Puncak massa tulang
tidak optimal - Asupan makanan
- Genetis
Penuaan Densitas tulang
rendah
21
2.2.1. Kalsium.
Kalsium sangat berperan dalam berbagai proses biologik seperti koagulasi darah, aktivitas enzim, kontraksi otot, eksitabilitas saraf, pembebasan
hormon, permeabilitas membran, dan sebagai unsur esensial struktur tulang Nieves 2005. Aktivitas tersebut di atas dapat berlangsung normal apabila
kadar kalsium dalam darah berada dalam kisaran normal Winarno 1998. Untuk mempertahankan dalam keadaan normal kalsium dipengaruhi oleh PTH,
vitamin D, dan kalsitonin Zhang et.al. 2006. Penyerapan kalsium sebagian besar terjadi di duodenum dan jejunum
bagian proksimal karena keadaannya lebih bersifat asam daripada bagian usus yang lainnya. Penyerapan kalsium di usus halus berlangsung melalui dua
mekanisme, yaitu dengan transpor aktif dan transpor pasif. Mekanisme transpor aktif diatur oleh 1,25 - Dehidroxycholecalciferol [1,25-OH
2
Kadar kalsium plasma normal berkisar antara 9,2-10,4 mgdl 2,4 mEqL, dari jumlah tersebut sekitar 6 berikatan dengan sitrat, fosfat dan anion lain,
sedangkan sisanya 94 terbagi dua, yaitu bentuk yang terikat protein plasma dan bentuk terionisasi atau tidak terikat. Bentuk terikat protein plasma terutama
dengan albumin 47 dan bentuk yang terionisasi atau yang tak terikat 47 , dapat berdifusi melalui membran sel semipermeabel Murray et al. 2003.
D], suatu bentuk vitamin D paling aktif yang diproduksi dalam ginjal Baylink 2000; Parfitt 2005.
Transpor aktif diatur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan kalsium tubuh yang meningkat, misalnya pada periode pertumbuhan, kehamilan, laktasi, atau
pada saat diet rendah kalsium. Dehidroxycholecalciferol [1,25-OH2D] menyebabkan terbentuknya protein pengikat kalsium di sel-sel epitel usus.
Protein tersebut berfungsi untuk mengangkut kalsium ke dalam sitoplasma sel, selanjutnya kalsium bergerak melewati membran basolateral dengan cara difusi
terfasilitasi Guyton 1996. Protein pengikat kalsium tetap di dalam sel plasma beberapa minggu sesudah [1,25-OH2D] dikeluarkan dari tubuh sehingga
memperpanjang waktu absorbsi kalsium. Absorbsi kalsium dalam saluran pencernaan biasanya berkisar antara 30-80 dari total asupan kalsium. Tubuh
manusia menyerap sekitar 20 hingga 40 kalsium dari makanan yang dikonsumsi, namun pada umumnya disesuaikan dengan kebutuhan tubuh.
Penyerapan kalsium meningkat apabila terjadi penurunan kadar kalsium darah. Sebaliknya penyerapan kalsium menurun apabila kadar kalsium darah tinggi
Murray et al. 2003.
22 Kalsium dalam bentuk ion diperlukan untuk mengatur sejumlah proses fisiologik
dan biokimia penting termasuk eksitabilitas neuromuskuler, koagulasi darah, proses-proses yang sifatnya sekresi, integritas membran serta pengangkutan
membran plasma, reaksi enzim, pelepasan hormon serta neurotransmiter, dan kerja intrasel sejumlah hormon Bringhurst 1995; Ganong 1995. Aktivitas
biologik seperti tersebut di atas dapat berjalan normal apabila kadar kalsium berada dalam kisaran normal. Kadar kalsium ion dipertahankan oleh mekanisme
homeostasis Guyton 1996. Adanya perubahan 1-5 dari kalsium darah menyebabkan mekanisme homeostasis mulai berperan untuk mengembalikan
kadar kalsium pada kadar yang normal Cunningham, 1992. Kalsium plasma berada dalam keseimbangan dengan kadar kalsium tulang yang siap melakukan
pertukaran. Jumlah kalsium dalam cairan ekstrasel diatur oleh PTH, kalsitriol, dan kalsitonin yaitu dengan cara memengaruhi transpor kalsium melalui
membran yang memisahkan cairan ekstrasel dengan cairan periosteum Ganong 1995.
Kalsium dibutuhkan untuk pertumbuhan normal dan perkembangan kerangka tubuh. Kalsium harus tersedia dengan cukup pada makanan untuk
mempertahankan kadar normalnya dalam serum. Nutrisi rendah kalsium menyebabkan individu akan memasuki kehidupan dewasa dengan massa tulang
yang kurang padat. Hal ini merupakan faktor risiko untuk terjadinya osteopenia dan osteoporosis Ott 2002. Mulai usia sekitar 50-an pada pria dan saat
menopause pada wanita, keseimbangan tulang menjadi negatif dan terjadi kehilangan massa tulang pada seluruh bagian dari kerangka. Kehilangan
kalsium ini dihubungkan dengan makin meningkatnya kejadian patah tulang, khususnya pada wanita Eastwood 2003. Apabila kekurangan kalsium pada
usia awal, maka dapat mengalami patah tulang pada usia 57-58 tahun Nguyen et al. 1995.
Kekurangan asupan kalsium atau gangguan penyerapan kalsium dari usus memberikan pengaruh berbeda pada berbagai tingkat usia. Apabila kondisi
ini terjadi pada masa anak-anak maka akan menimbulkan penyakit rhakhitis atau osteomalasia pada orang dewasa Parfitt 2005; Anderson et al. 2008.
Sejumlah besar kalsium difiltrasi di dalam ginjal, 98-99 dari jumlah kalsium yang difiltrasi akan diserap kembali Cunningham, 1992. Penyerapan kembali
dari kalsium 65 terjadi di tubulus proksimal, sedangkan sisanya sebagian
23 besar diserap kembali melalui tubulus distal dan sebagian kecil melalui bagian
asendens jerat Henle. Penyerapan kembali di tubulus distal merupakan proses transpor aktif yang diatur oleh hormon paratiroid Ganong 1995; Parfitt 2005.
Sebagian besar kalsium diekskresikan lewat tinja dan hanya sebagian kecil lewat urin. Ekskresi kalsium lewat urin maupun tinja menurun apabila terjadi
hipokalsemia Parfitt 2005
2.2.2. Fosfor
Sebagai suatu bahan anorganik, kadar fosfor yang terkandung dalam tubuh manusia menempati jumlah kedua terbanyak setelah kalsium,
dan kira-kira 85-90 fosfor ini terikat dalam kerangka Ganong 1995. Fosfor plasma total sekitar 12 mgdl, dua per tiga dari jumlah
tersebut berupa senyawa organik dan sisanya merupakan fosfor anorganik. Fosfor anorganik dalam plasma terdapat dalam dua bentuk yaitu HPO
4 -
serta H
2
PO
4 -
. Konsentrasi HPO
4 -
adalah sekitar 1,05 mmolL, sedangkan konsentrasi H
2
PO
4 -
sekitar 0,26 mmolL. Apabila jumlah total fosfor dalam cairan ekstraselular meningkat, kedua bentuk ion fosfor tersebut juga akan
meningkat. Secara kimiawi sangat sulit untuk menentukan jumlah yang tepat dari HPO
4 -
dan H
2
PO
4 -
Fosfor berfungsi antara lain sebagai unsur pembentuk tulang, energi metabolik, memelihara integritas membran, metabolisme asam nukleat,
dan sebagai bufer Linder 1985. Di dalam tubuh fosfor secara normal mempertahankan suatu keseimbangan dengan kadar kalsium yang serasi.
Kadar fosfor dalam darah cenderung berbanding terbalik dengan kadar kalsium dalam darah. Naiknya salah satu dari ke dua unsur tersebut akan
diikuti oleh turunnya unsur yang satunya Cunningham 1992 , hal ini karena jumlah total fosfor biasanya
dinyatakan dengan miligram fosfor per desiliter 100 ml darah. Jumlah rata-rata fosfor anorganik dalam plasma pada orang dewasa sekitar
4 mgdl, yang bervariasi antara batas normal sebesar 3 sampai 4 mgdl dan 4 sampai 5 mgdl pada anak-anak Guyton 1996.
Peningkatan konsumsi makanan yang mengandung fosfor akan meningkatkan konsentrasi fosfor serum, sementara kalsium yang
terionisasi dalam serum akan mengakibatkan peningkatan sekresi hormon paratiroid yang potensial dalam menyerap tulang. Jumlah normal fosfor
yang masuk ke dalam tulang sekitar 3-4 mgkghari, jumlah yang sama
24 meningggalkan tulang melalui proses penyerapan kembali. Fosfor dalam
plasma disaring pada glomerulus melalui proses transpor aktif, 80-90 dari jumlah fosfor yang disaring, sebagian besar diserap kembali melalui
tubulus proksimal dan sebagian kecil diserap kembali malalui tubulus distal, sedangkan sisanya sebagian besar dikeluarkan melalui ginjal
Cunningham 1992. Proses transpor aktif ini sangat dihambat oleh hormon paratiroid. Hambatan proses penyerapan kembali fosfor dalam
tubulus proksimal dan distal akan mendorong terjadinya fosfaturia Guyton 1996; Murray et al. 2003.
2.2.3. Vitamin D
Vitamin D merupakan vitamin yang larut dalam lemak dan merupakan turunan dari senyawa sterol serta mempunyai beberapa bentuk senyawa dengan
fungsi yang sama. Sebagian besar vitamin D terdapat dalam bentuk vitamin D
2
ergokalsiferol dan vitamin D
3
Vitamin D kolekalsiferol. Kedua vitamin tersebut
mempunyai aktivitas biologik dan aktivitas nutrisional yang sama. Vitamin ini secara umum merupakan senyawa organik yang selalu dibutuhkan tubuh
untuk kelangsungan proses metabolisme sel normal, pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh. Vitamin D merupakan salah satu vitamin
yang terkait dengan pembentukan jaringan tulang Keith 1994. Fungsi utama dari vitamin D adalah mempertahankan konsentrasi kalsium dan
fosfor serum dalam kisaran normal dengan meningkatkan efisiensi usus halus untuk menyerap mineral dari makanan Muhilal dan Sulaeman 2004.
2
dibentuk melalui irradiasi sinar ultraviolet dari suatu sterol atau ergosterol yang disintesis di dalam tanaman Palmer 1993. Vitamin D
3
dibentuk di dalam kelenjar sebaseus kulit 7-dehidrokolesterol yang diubah oleh sinar
ultraviolet menjadi previtamin D
3
Murray et al. 2003. Vitamin D
3
yang disintesis dalam kulit diangkut oleh α-1-globulin atau α-2-globulin Palmer 1993 yang
terkandung di dalam serum untuk selanjutnya dibawa ke hati Guyton 1996, demikian halnya dengan vitamin D
2
atau vitamin D
3
suplemen yang berasal dari makanan, setelah diserap di dalam usus jejenum dan ileum
selanjutnya dibawa ke hati Palmer 1993. Vitamin tersebut dapat berfungsi setelah diaktifkan melalui beberapa tahapan. Pengaktifan tahap pertama melalui
hidroksilasi kolekalsiferol pada posisi C-25 dilakukan oleh enzim 25-hidroksilase,
25 sehingga terbentuk 25-hidroksikolekalsiferol 25-HCC. Proses ini terjadi di
dalam sitoplasma sel hati Guyton 1996. Perubahan vitamin D
3
menjadi 25- HCC diperlukan ion magnesium, NADPH, oksigen molekuler, protein sitoplasmik,
dan sitokrom P450 untuk mengaktivasi enzim 25- hidroksilase Ganong 1995; Guyton 1996. Aktivitas enzim 25-hidroksilase untuk mengubah kolekalsiferol
menjadi 25-HCC juga diatur oleh suatu mekanisme umpan balik, oleh karena itu jumlah 25-HCC yang dihasilkan relatif tetap meskipun diberikan vitamin D
3
dosis tinggi Bank 1993; Guyton 1996. Kolekalsiferol yang tidak mengalami
hidroksilasi disimpan di dalam hati sebagai cadangan Bank 1993 dengan demikian toksisitas akibat tingginya vitamin D
3
Setelah terjadi proses hidroksilasi, senyawa 25-HCC berikatan dengan protein pembawa yang terdapat di dalam plasma secara cepat
meninggalkan hati menuju ginjal Bank 1993; Freskanich et al. 2003. Pengaktifan tahap ke dua, proses metabolik mengalami hidroksilasi di
dalam mitokondria sel tubulus proksimal ginjal menjadi metabolik aktif yaitu 1,25-dehidrokolekalsiferol 1,25-DHCC yang bertanggung jawab terhadap
fungsi biologis utama vitamin D untuk mempertahankan serum kalsium dalam kondisi fisiologis normal melalui perannya pada usus, ginjal, dan
tulang Dawson-Hughes et al. 1997; Murray et al. 2003. Reaksi pembentukan senyawa 1,25-DHCC di dalam ginjal dirangsang oleh rendahnya
kadar kalsitriol dalam plasma, kalsium, fosfor dan hormon paratiroid. Penurunan konsentrasi kalsium darah akan merangsang kelenjar hipofise
untuk meningkatkan sintesis dan sekresi PTH Guyton 1996. dapat dicegah
Ganong 1995.
Metabolisme kalsium tulang tidak lepas dari peran vitamin D
3
kalsitriol pada saluran pencernaan dan sintesis vitamin D
3
endogen. Apabila terjadi kekurangan vitamin D, absorbsi kalsium dan fosfor berkurang sehingga
menyebabkan hipokalsemia Passeri et.al. 2008. Kondisi ini menstimulasi kelenjar paratiroid untuk mensekresi PTH dalam jumlah tinggi, yakni dengan
menstimulasi secara tidak langsung aktivitas osteoklas untuk meningkatkan proses resorbsi tulang sehingga kalsium dan fosfor masuk ke dalam darah.
Hormon paratiroid juga merangsang ginjal untuk mengabsorbsi kalsium pada tubuli dan meningkatkan ekskresi fosfat, serta
mengubah 25-hidroksikolekalsiferol 25-OHD menjadi 1,25-dihidroksikolekalsiferol
26 [1,25-OH
2
D
3
] yang merupakan metabolit aktif vitamin D, yaitu vitamin D
3
. Selanjutnya vitamin D
3
ini Vitamin D berpengaruh pada kemampuan osteoblas dalam memelihara
kesehatan tulang. Pengaruh ini ditentukan oleh kemampuan vitamin D mempertahankan kadar kalsium dan fosfat ekstraseluler yang cukup, agar dapat
dideposisi ke dalam matriks tulang. Matriks tulang merupakan hasil sintesis osteoblas Hollick 1996 dan vitamin D memengaruhi osteoblas melalui lintasan
genomik maupun nongenomik. Lintasan genomik memengaruhi osteoblas melalui stimulasi biosintesis matriks yaitu meningkatkan produksi osteopontin
OPN dan osteoklasin OCN Khoury et al. 1995. menstimuli usus halus untuk menyerap lebih banyak
kalsium dan fosfor Favus 1993.
Vitamin D memengaruhi metabolisme kalsium dan fosfor pada organ target, yaitu usus halus, tulang, dan ginjal. Metabolit aktif vitamin D
3
kalsitriol mempermudah penyerapan kalsium secara aktif di dalam usus halus dengan merangsang sintesis kalsium yang terikat dengan protein
Ilich-Ernst dan Kerstetter 2000. Vitamin D
3
mempermudah masuknya kalsium ke dalam sel melalui protein pengikat kalsium kalmodulin
Guyton 1996.
2.2.4. Hormon Paratiroid
Hormon paratiroid PTH adalah hormon utama yang bertanggung jawab memelihara konsentrasi kalsium setiap saat. Pengaruh biologis
yang sangat penting dari PTH meliputi: 1. meningkatkan kalsium plasma yang bersamaan dengan penurunan fosfat plasma, 2. meningkatkan
ekskresi fosfat urin fosfaturia, 3. meningkatkan resorbsi kalsium urin, 4. meningkatkan kecepatan remodeling tulang, 5. meningkatkan osteolisis
osteosit, 6. membantu pembentukan 1,25-dihidroksi vitamin D
3
Sebagai respons terhadap keadaan hipokalsemia, PTH disekresikan oleh kelenjar paratiroid. Hormon ini mengikat reseptor khusus pada tulang dan sel
tubulus ginjal. Pada ginjal, PTH merangsang produksi vitamin D yang disebut dengan 1,25-OH
dengan memengaruhi sistem 1-hidrolase, dan 7. meningkatkan absorbsi kalsium
dan fosfat dari usus halus oleh pengaruh langsung pada pembentukan 1,25-dihidroksikolekalsiferol Banks 1993.
2
D
3
. Metabolit ini bekerja pada usus halus untuk merangsang penyerapan kalsium makanan dan bersama dengan PTH mendukung mobilisasi
27 kalsium dari tulang. Pada saat yang sama 1,25-OH
2
D
3
Pelepasan hormon paratiroid menyebabkan meningkatnya kalsium plasma. Pengaruhnya pada kerangka menyebabkan pelepasan 1,66 mol
kalsium untuk setiap mol fosfor Calvo et al. 1988; Banks 1993. Meningkatnya aktivitas kelenjar paratiroid dapat meningkatkan absorbsi
garam-garam kalsium dari tulang sehingga menimbulkan hiperkalsemia, sebaliknya hipofungsi kelenjar tiroid menghasilkan kalsitonin dapat
menimbulkan hipokalsemia Guyton 1996. dan PTH menyebabkan
ginjal meresorbsi lebih banyak ion kalsium, sehingga pada plasma dan kalsium ekstraseluler akan meningkat ke level normal normokalsemia, dan akan
menghambat sekresi PTH melalui puncak umpan balik yang negatif Murray et al. 2003 Gambar 8.
Pengaruh kalsitonin pada sel osteoklas dan osteosit bersifat antagonis terhadap aksi hormon paratiroid. Pengaruh kalsitonin pada
ginjal mengimbangi aksi hormon paratiroid. Kalsitonin juga menunjukkan suatu pengaruh penghambatan penyerapan kalsium dan fosfor pada usus
kecil. Pengaruh kalsitonin dalam sistem homeostasis di antaranya adalah: 1. mereduksi kalsium dan fosfor, 2. menghambat rangsangan hormon
Gambar 8. Peranan kelenjar paratioid dan kelenjar tiroid dalam
homeostasis kadar kalsium darah. Hormon mengaktifkan
stimulasi osteoklas Reabsorpsi tulang
melepaskan Ca ke darah
Mengaktifkan stimulasi osteoblas
Deposit Ca pada tulang
Sensor kel tiroid terhadap
[Ca] darah Sensor kel paratiroid
terhadap [Ca] darah
Sekresi hormon paratiroid
[Ca] darah naik ke
normal Sekresi kalsitoni
[Ca] darah turun ke
normal [Ca] darah tinggi
[Ca] darah rendah
Keadaan normal
28 paratiroid terhadap osteoklas dan osteolisis osteosit, 3. secara tidak
langsung menghambat penyerapan kalsium dan fosfor dari usus halus, dan 4. melakukan perangsangan jangka pendek pada aktivitas osteoblas.
Pengaruh kalsitonin pada lambung diduga terjadi secara tidak langsung, yaitu menghambat sintesis 1,25-dihidroksikolekasiferol. Peranan langsung
kalsitonin pada ginjal belum diketahui dengan jelas. Pengaturan ganda kalsium oleh hormon paratiroid dan kalsitonin lebih jelas dibandingkan
dengan kemungkinan yang dilakukan oleh satu hormon secara tunggal Banks 1993.
2.2.5. Estrogen
Hormon estrogen merupakan salah satu hormon steroid, yang dihasilkan oleh sel teka interna folikel ovarium, korpus luteum, plasenta dan sedikit
dihasilkan oleh korteks adrenal Ganong 1995. Oleh karena itu wanita tetap memiliki estrogen dalam kadar rendah walaupun telah terjadi menopause karena
masih ada estrogen yang dihasilkan oleh korteks adrenal Carola et al. 1990. Tiga jenis estrogen dapat ditemukan pada tubuh wanita, yakni estradiol, estron,
dan estriol Rachman 1999. Kekurangan hormon estrogen akan menyebabkan meningkatnya kadar PTH, sehingga akan meningkatkan resorbsi tulang,
sehingga terjadi penurunan massa tulang Lindsay 1991; Gruber et al. 2002. Tulang merupakan target hormon estrogen, yang memiliki reseptor α dan β
Pollard 1999. Secara seluler, mekanisme kerja hormon estrogen pada tulang dimulai dari interaksi antara reseptor estrogen pada tulang dan kadar hormon
yang bersirkulasi dalam tubuh, sedangkan respons yang timbul merupakan hasil interaksi keduanya Albert et al. 1998.
Estrogen merupakan inhibitor resorbsi kalsium di tulang yang potensial karena keberadaannya dapat menunjang sekresi dan meningkatkan produksi
kalsitonin serta menurunkan sekresi hormon paratiroid. Estrogen juga dapat meningkatkan kadar 1,25 dihidroksikalsiferol sehingga akan meningkatkan
penyerapan kalsium di dalam usus. Penurunan produksi estrogen juga menggagalkan osteoblas mendeposit jaringan matriks osteoid Stevenson dan
Marsh 1992. Estrogen bertanggung jawab pada fase pertumbuhan dan
menutup perkembangan epifisis pada tulang panjang masa pubertas Greenspan dan Strewler 1993
.
Defisiensi estrogen akan menyebabkan terjadinya osteoklastogenesis yang meningkat dan berlanjut dengan kehilangan tulang.
29 Akibat defisiensi estrogen ini akan terjadi peningkatan produksi dari IL-1, IL-6,
dan TNFα lebih lanjut. Estrogen juga merangsang ekspresi dari osteoprotegerin OPG dan transforming growth factor-
β TGF-β oleh sel osteoblas dan sel stroma, sehingga estrogen berfungsi menghambat penyerapan tulang dengan
cara mempercepat atau merangsang apoptosis sel osteoklas Oursler 2003. Pada wanita pascamenopause, kadar estrogen mulai menurun. Akibat
dari penurunan hormon estrogen ini, maka proses resorbsi tulang terganggu Mizuno et al. 1995; Fitzpatrick 2003; Rachman 2004. Estrogen memengaruhi
kehilangan tulang baik secara langsung dengan mengikat reseptor pada tulang dan secara tidak langsung dengan memengaruhi hormon pengatur kalsium PTH
dan Vitamin D dan sitokin interleukin IL-1 , IL- 6 dan TNFα Potu et al, 2009.
Kadar estradiol pada masa premenopause sebesar 100-1000 pmoll, sedangkan pada masa menopause menurun secara drastis hingga 20-50 pmoIl.
Kadar estron masa premenopause juga menurun, namun tidak sebanyak penurunan estradiol. Pada masa pascamenopause tidak dijumpai sama sekali
adanya folikel ovarium sehingga terjadi penurunan kadar estradiol ke tingkat yang sangat rendah dan disertai dengan penurunan kadar progesteron. Rasio
kadar estron dan estradiol pada wanita pascamenopause sangat besar yaitu 930:70 pgml.
2.2.6.
Penggunaan bahan alami yang mengandung hormon atau fitohormon sudah banyak dikembangkan saat ini. Salah satunya adalah fitoestrogen.
Fitoestrogen merupakan suatu substrat dari tanaman yang memiliki aktivitas biologi yang sama dengan estrogen endogen Glover dan Assinder 2006.
Menurut Jefferson et al. 2002, fitoestrogen memiliki banyak kesamaan pada dua gugus –OH dan mempunyai gugus fenol serta jarak antara gugus hidroksil
yang sama dengan inti estrogen endogen sehingga dapat berikatan dengan reseptor estrogen di tulang Adlercreutz et al. 2002; Dewell et al. 2002.
Fitoestrogen
Sementara itu Rachman et al. 1996 menyatakan penggunaan fitoestrogen memiliki efek keamanan yang lebih baik dibandingkan dengan
estrogen sintetis atau obat-obat hormonal pengganti hormonal replacement therapyHRT. Pada tanaman dikenal beberapa senyawa fitoestrogen yang
diketahui antara lain isoflavon, flavon, lignan, kumestan, triterpen, glikosida, dan asiklik Rachman et al.1996; Adlercreutz et al. 2002.
30 Estrogen
Fitoestrogen Gambar 9.
Bangun struktur kimia estrogen endogen dan fitoestrogen Guyton 1996
Umumnya tumbuhan sumber fitoestrogen hampir tidak pernah dijumpai mengandung hanya satu jenis senyawa saja, tetapi selalu dalam bentuk berbagai
senyawa estrogenik secara bersamaan. Fitoestrogen dapat mengurangi gejala menopause, memperbaiki kadar lipid atau lemak dalam plasma, menghambat
perkembangan ateriosklerosis, serta menghambat pertumbuhan sel-sel tumor atau kanker pada payudara dan endometrium Dewell et al. 2002. Hasil
penelitian Turner 2007 menunjukkan bahwa fitoestrogen dapat menempel pada reseptor estrogen pada sel-sel duktus kelenjar susu dan jika seluruh reseptor
diblokir oleh fitoestrogen genestain estrogen asli tidak berpeluang menempel pada reseptor tersebut.
Fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor estrogen sebagai bagian dari aktivitas hormonal. Fitoestrogen menstimulasi aktivitas osteoblas melalui
aktivitas reseptor-reseptor estrogen dan mampu meningkatkan produksi hormon pertumbuhan insulin-like growth factors-1 IGF-1 yang memiliki hubungan positif
terhadap pembentukan massa tulang. Pada saat kadar estrogen menurun, akan terdapat banyak kelebihan reseptor estrogen yang tidak terikat, walaupun
afinitasnya rendah, fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor tersebut. Jika tubuh mendapatkan asupan fitoestrogen maka akan terjadi pengaruh pengikatan
fitoestrogen dengan reseptor estrogen, sehingga dapat mengurangi simptom menopause Rachman 1996.
Oleh karena itu, sumber makanan yang kaya fitoestrogen merupakan salah satu cara praktis dan aman untuk mengatasi
kekurangan estrogen pada wanita postmenopause Arjmandi 2001
.
31
2.3. Ovariektomi
Ovariektomi adalah suatu tindakan pembedahan atau teknik laparatomi untuk pengambilan ovarium bilateral. Secara luas pada bidang biomedis, tikus
ovariektomi merupakan model juvenile osteopenia Yamazaki
dan Yamaguchi 1989; Cesnjaj et al. 1991, dan dapat menjadi model wanita
pascamenopause Shirwaikar et al. 2003; Devareddy et al. 2008. Arjmandi et al. 1996 membuktikan bahwa ovariektomi kedua ovarium pada tikus
percobaan akan menginduksi osteoporosis pada trabekula tulang rahang karena ovariektomi akan menstimulasi kerja osteoklas. Ovariektomi menyebabkan
kehilangan massa tulang di daerah trabekula tetapi tidak terjadi pada tulang kortikal. Selain itu, tindakan ovariektomi dapat segera menimbulkan gejala
menopause tanpa menimbulkan gejala lain. Pada tikus yang dilakukan ovariektomi, ditemukan peningkatan aktivitas
resorbsi tulang, hal ini sesuai dengan peranan estrogen terhadap tulang. Hilangnya fungsi ovarium dalam memproduksi hormon seks steroid, seperti
estradiol akan menimbulkan kondisi hipoestrogenis yang merupakan faktor utama kehilangan massa tulang Miller et al. 1986. Histerektomi dengan
ovariektomi bilateral banyak dihubungkan dengan tingginya risiko osteoporosis Lee dan Kanis 1994. Kalu et al. 1993 dan Dempster et al. 1995 menyatakan
bahwa ovariektomi akan menyebabkan perubahan dan penurunan volume tulang, peningkatan jumlah osteoklas, serta peningkatan kadar enzim serum
alkalin fosfatase.
2.4. Aplikasi Pengobatan Osteoporosis