mengenai administrasi peradilan, pembagian tugas para hakim, panitera dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Bab VI mengenai ketentuan-ketentuan peralihan, Bab VII tentang
ketentuan penutup. Di sini ditegaskan bahwa pada saat mulai berlakunya Undang-Undang Peradilan Agama di Jawa dan Madura, di sebagian bekas residensi Kalimantan Selatan dan
Timur dan di bagian lain wilayah RI dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dari uraian pasal ini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya sejak Islam masuk ke Indonesia, Peradilan Agama telah ada. Tahun 1882 itu adalah tahun pengakuan Belanda sebagai penjajah
terhadap peradilan agama. Dengan keluarnya Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, berarti peradilan agama dalam melaksanakan tugasnya telah mandiri dalam
melakukan kekuasaan kehakiman.
2. Peradilan Militer A. Sejarah Peradilan Militer
Pada tahun 1997 diundangkan UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer. Undang- undang ini lahir sebagai jawaban atas perlunya pembaruan aturan peradilan militer, mengingat
aturan sebelumnya dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Undang-undang ini
kemudian mengatur susunan peradilan militer yang terdiri dari; a. Pengadilan Militer
b. Pengadilan Militer Tinggi c. Pengadilan Militer Utama
d. Pengadilan Militer Pertempuran.
Dengan diundangkannya ketentuan ini, maka Undang-undang Nomor 5 tahun 1950 tentang susunan dan kekuasaan pengadilankejaksaan dalam lingkungan peradilan ketentaraan,
sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 22 PNPS tahun 1965 dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian halnya dengan UU No. 6 tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada
pengadilan tentara, sebagaimana telah di ubah dengan UU No 1 Drt tahun 1958 dinyatakan tidak berlaku lagi.
B. Yurisdiksi Peradilan Militer di Indonesia. Sesuai Pasal 9 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, diakitkan
dengan Pasal 1 dan 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer KUHPM, maka Peradilan Militer mengadili tindak pidana didasarkan pada subyeknya, yaitu prajurit militer atau yang
dipersamakan. Dengan kata lain, selama ia militer, dan melakukan tindak pidana apa saja, baik tindak pidana militer murni, seperti desersi, insubordinasi, dan lain-lain juga tindak
pidana umum, seperti perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, atau pencurian, dan lain-lain maupun tindak pidana khusus, seperti penyalahgunaan psikotropikashabu-shabu, narkotika,
korupsi, dan lain-lain diadili di peradilan militer yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan tugas-tugasjabatan kemiliteran.
Meskipun bukan prajurit atau yang dipersamakan dengan prajurit melakukan tindak pidana, dan tindak pidana tersebut merugikan kepentingan militer serta dilakukan semata-mata
dengan militer perkara koneksitas dapat diadili di peradilan militer. Apabila orang sipil di luar PNS TNI dapat diadili oleh peradilan militer, maka PNS TNI yang melakukan tindak pidana
yang merugikan TNI seharusnya dapat diadili oleh peradilan militer. Sebagaimana ketentuan yang mengatur tentang koneksitas, maka titik berat diadilinya
seseorang warga sipil civilian di peradilan militer, karena unsur kerugian militer melebihi unsur sipil, sebagaimana Penjelasan Pasal 22 Undang-undang Nomor : 14 Tahun 1970,
sebagai berikut : Penyertaan pada suatu delik militer yang murni oleh seorang bukan militer dan perkara
penyertaan, di mana unsur militer melebihi unsur sipil misalnya, dapat dijadikan landasan untuk menetapkan Pengadilan lain dari pada Pengadilan Umum, ialah Pengadilan Militer
untuk mengadili perkara-perkara demikian.
Dengan demikian, selama akibat tindak pidana tersebut dapat dibuktikan merugikan kepentingan militer, misalnya pencurian senjataamunisi di gudang senjata, membunuh caraka
untuk memperoleh datainformasi militer, membakar gedung arsipdokumen militer, dan lain- lain, maka pelaku akan diadili di Peradilan Militer.
Diadilinya PNS TNI di Peradilan Militer di masa depan dapat merujuk kepeda kewenangan Peradilan Militer jaman Pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu Krijgsraad
berwenang memeriksa dan mengadili perkara pidana pada tingkat pertama terhadap semua anggota militer dan orang-orang sipil yang bekerja di lingkungan kemiliteran. Orang-orang sipil
tersebut, saat ini dapat diartikan sebagai Pegawai PNS TNI, karena kenyataannya bekerja di lingkungan TNI atau orang-orang sipil lainnya bukan PNS TNI tetapi bekerja di lingkungan TNI
atau setidak-tidaknya memperoleh gaji dari TNI. Selain itu, untuk mendukung dapat diadilinya PNS TNI di Peradilan Militer, sebagai contoh adalah pelanggaran lalu lintas oleh PNS TNI,
yaitu apabila PNS TNI mengemudikan kendaraaan dinas TNI, kemudian diberi bukti pelanggaran tilang oleh polisi Militer POM karena kedapatan tidak membawa SIM atau
STNK, maka ia akan diproses oleh POM, Mengingat tugas-tugas pokok TNI juga bergantung pada PNS TNI, maka sudah selayaknya PNS TNI yang melakukan tindak pidana karena
jabatannyatugas-tugasnya juga yang diperkirakan akan mempengaruhi kinerja TNI dapat dijadikan yurisdiksi peradilan militer. Selain itu, keutuhan atau kekuatan suatu bangsa negara
juga bergantung pada keutuhan atau kekuatan militernya. Sebagaimana disampaikan oleh Kasad, yaitu untuk menghancurkan suatu negara.
Dari penyampaian tersebut dapat dikatakan, ada korelasi positif antara tentara militer yang kuat, utuh dan solid dengan eksistensi suatu negara bangsa. Demikian pula
sebaliknya, apabila tentara suatu negara lemah, terpecah-pecah, maka dapat dipastikan negara tersebut akan mudah hancur.
Dimungkinkannya PNS TNI yang melakukan tindak pidana berkaitan dengan tugas-tugasjabatannya atau yang dapat diperkirakan akan mempengaruhi kinerja TNI atau
dengan kata lain merugikan unsur kepentingan militer, diproses melalui Sistem Peradilan Pidana Militer SPPM, maka ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian.
Demikian halnya apabila PNS TNI melakukan tindak pidana tidak berkaitan dengan tugasjabatannya, tetapi tempat kejadian perkara locus delicti terjadi di dalam
markaspangkalan atau yang dipersamakan dengan markaspangkalan military property, apakah penyidik sipil Polri dapat diijinkan melakukan penyelidikan di dalam
markaspangkalan tersebut. Mengingat sampai saat ini, belum ada Undang-Undang yang mengatur dan adanya resistensi, sebagaimana dinyatakan oleh Laksa Mahmilgung, yaitu :
Tradisi keprajuritan seperti, cepat bereaksi, L’esprit de corps, loyalitas, kesetiakawanan, berani dan rela berkorban ini menjadikan setiap prajurit sangat rawan dalam kecenderungan menolak
bahkan melawan terhadap orang lain bukan prajurit yang masuk untuk menangani masalah- masalah yang menyangkut prajurit atau kesatuannya. Lebih rentan lagi, karena tugasnya,
prajurit membawa senjata.
Mengingat masih adanya kesulitan-kesulitan di lapangan nantinya, disarankan diadakan diskusi-diskusi atau tukar pikiran curah pendapat terlebih dahulu dengan pejabat-
pejabat PNS, khususnya di lingkungan TNI juga dari Departemen dibawah Menpan berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan PNS TNI berkaitan dengan tugasjabatannya untuk
diadili di Pengadilan Militer. Selain itu, perlu diadakan amandemen perubahan Undang- undang Nomor 31 Tahun 1997, khususnya Pasal 9 angka 1 dan diletakan menjadi huruf e
dengan bunyi : PNS TNI berkaitan dengan tugas jabatan atau tidak berkaitan dengan tugas jabatan tetapi dilakukan didalam Markas TNI atau yang dipersamakan dengan Markas TNI.
Lebih dari itu, mengingat peran PNS TNI bukan lagi sebagai suplemen Prajurit TNI tetapi sudah menjadi komplemen, dan semata-mata untuk kepentingan tugas pokok TNI, maka
sudah saatnya PNS pejabat PNS TNI atau mereka yang memahami peran-peran PNS TNI diberikan kesempatan untuk memberikan semacam penyuluhan hukum kepada prajurit TNI
berkaitan dengan keberadaan PNS TNI dalam organisasi TNI, peran, hubungannya dengan tugas-tugas pokok TNI dan prajurit TNI status, pendidikan, karir, dan lain-lain, karena
diperkirakan masih banyak prajurit TNI yang belum memahami atau belum mengetahui peran-peran PNS TNI sebagaimana tersebut di atas.
3. Peradilan Tata Usaha Negara