kekuasaan kehakiman dalam perspektif pol

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Politik Hukum dan Kekuasaan Kehakiman: Tinjauan Awal
a. Politik Hukum
Definisi tentang

politik hukum cukup banyak dijumpai dalam

literature, baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa asing. Imam
Syaukani dan A. Ahsin Thohari7 membagi definisi politik hukum yang
dikemukakan beberapa pakar menjadi dua bagian, yaitu:
1. Perspektif etimologis
Politik hukum dalam perspektif ini lebih dilihat secara kebahasaan.
Politik hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, rechtspolitiek.
Recht dalam bahasa Indonesia berarti hukum, sementara kata hukum
berasal dari bahasa Arab hukm yang berarti putusan (judgement), ketetapan
(provision), perintah (command), dan pengertian lainnya. Sementara kata
politiek mengandung arti beleid, yaitu kebijakan (policy). Politik, dalam
penelusuran beberapa literatur berasal dari bahasa Yunani "Πολιτικά"
(politika) yang berarti hubungan yang terjadi antar individu (anggota
masyarakat) dalam suatu negara. Dalam hubungan (interaksi) yang

resiprokal

tersebut,

terjadi

kesepakatan-kesepakatan

terhadap

suatu

7 Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari. Dasar-dasar Politik Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. 2008. h. 18.

9

keputusan atau kebijakan yang bersifat kolektif8. Dengan demikian, secara
etimologis, politik hukum adalah kebijakan- kebijakan yang direncanakan dan
dilaksanakan dalam bidang hukum, termasuk pengambilan keputusankeputusan hukum yang bersifat kolektif9.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, politik hukum


didefinisikan

sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam

pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara

bertindak10. Definisi dari KBBI tersebut lebih melihat politik hukum sebagai
blueprint terhadap sekalian kebijakan yang akan diambil dalam rangka
penegakan hukum pada segenap dimensi kehidupan masyarakat. Dengan
demikian, politik hukum merupakan patronase bagi

stakeholder

dalam

melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya di bidang hukum.
2. Perspektif terminologis
Definisi politik hukum secara terminologis, banyak diungkapkan

beberapa pemikir yang mendalami kajian politik hukum sebagai berikut 11:
a) Satjipto Rahardjo
Politik hukum adalah aktivitas memilih dan cara (metode) yang akan
digunakan dalam upaya mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu
8 http://en.wikipedia.org/wiki/Politics
9 Imam Syaukani & A. Ahsin Tohari, op.cit, h. 21-22.
10 Ibid, h. 22.
11 Ibid, h. 26-31.

10

dalam masyarakat (negara). Berdasar pada definisi tersebut, Satjipto
Rahardjo mengemukakan beberapa pertanyaan mendasar yang muncul
dalam studi politik hukum, yaitu (1) tujuan apa yang ingin dicapai dengan
sistem hukum yang ada (diterapkan); (2) cara-cara (mekanisme) apa yang
dianggap paling baik (efektif) untuk mencapai tujuan tersebut; (3) kapan dan
bagaimana hukum harus diubah; dan (4) dapatkah dirumuskan suatu pola
yang baku dan mapan yang dapat membantu kita memutuskan tujuantujuan serta cara-cara (mekanisme) untuk mencapai tujuan tersebut secara
baik?
b) Padmo Wahjono

Politik hukum merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah,
bentuk, maupun isi (substansi) hukum yang akan dibentuk, serta bagaimana
penerapan dan penegakannya12.
c) Soedarto
Politik

hukum

adalah

kebijakan

Negara

via

institusi-institusi

negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki
(yang selaras dengan nilai-nilai dan aspirasi masyarakat) untuk mencapai

tujuan negara13.
d) Abdul Hakim Garuda Nusantara
12 Ibid, h. 26.
13 Ibid, h. 28.

11

Politik hukum adalah kebijakan hukum (legal policy) yang hendak atau
telah

dilaksanakan

secara

nasional

oleh

pemerintah


yang

dalam

implementasinya meliputi:
1) Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan hukum dan pembaruan
terhadap bahan-bahan hukum yang dianggap asing atau tidak sesuai dengan
kebutuhan dengan penciptaan hukum yang dibutuhkan.
2)

Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan

fungsi lembaga dan pembinaan para anggota penegak hukum14.
b. Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu bentuk kekuasaan
tertinggi

di Indonesia

(prime


power).

Kekuasaan

kehakiman

adalah

kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Undang

Dasar

Negara

Republik

Indonesia


Pancasila dan UndangTahun

1945,

demi

terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia 15.
Kekuasaan kehakiman di Indonesia diselenggarakan oleh lembaga
peradilan tertinggi yaitu Mahkamah Agung yang membawahi empat lingkup
peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyyah,
14 Dadan Muttaqien. Mimbar Hukum dan Peradilan No. 70, Januari 2010. “Politik Hukum Pemerintah
Republik Indonesia terhadap Perbankan Syariah Pasca Disahkannya Undang-undang No. 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah”. Jakarta: PPHIMM., Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Ibid, h.
30-31.
15 UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 Ayat (1).

12

Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer dan Mahkamah

Konstitusi. Kekuasaan kehakiman, secara global diakui sebagai kekuasaan
yang

harus independen (merdeka) dari

berbagai

anasir,

intervensi,

maupun intimidasi dari pihak lain yang dapat mengganggu proses hukum
yang sedang berjalan (undue process of law).
Argumentasi

tersebut

sejalan

dengan


Zaenal

Fanani

yang

mengemukakan bahwa pada hakikatnya cita-cita untuk menciptakan
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri merupakan cita-cita
universal. Hal tersebut dapat dilihat dalam Basic Principles On Independence
of The Judiciary, yang diajukan oleh Majelis Umum PBB (Resolusi 40/32
tanggal 29 November 1985 dan resolusi 40/146 tanggal 13 Desember 1985).
Juga dapat dilihat pada Beijing Statement Of Principles Of The Independence
The Law Asia Region Of The Judiciary di Manila tanggal 28 Agustus 1997,
dimana di dalamnya ditegaskan bahwa:
1) Kehakiman merupakan institusi nilai yang tertinggi pada setiap
masyarakat;
2) Kemerdekaan hakim mempersyaratkan bahwa hukum memutuskan
sebuah perkara sepenuhnya atas dasar pemahaman undang-undang dan


13

terbebas dari pengaruh dari manapun, baik langsung maupun tidak langsung,
hakim memiliki yurisdiksi atas segala isu yang memerlukan keadilan 16.
Aidul Fitriciada17 mengemukakan bahwa kekuasaan
yang merdeka
kedaulatan
demikian,

dan bertanggung

jawab adalah

perwujudan

rakyat, negara hukum, dan pemisahan
terdapat

perbedaan diametral

dan‘bertanggung-jawab’

dari

kekuasaan

antara

kehakiman
dari asas

kekuasaan. Namun
konsep

‘merdeka’

kehakiman. Makna ‘merdeka’

menunjukkan tidak adanya ikatan dan tidak tunduk pada kekuatan apapun,
sedangkan makna ‘bertanggung-jawab’ menunjuk pada makna sebaliknya.
Dalam perkataan lain, ‘kekuasaan kehakiman yang

merdeka’ bermakna

kekuasaan yang tidak terikat, lepas, dan tunduk pada kekuasaan yang
lain, sedangkan ‘kekuasaan kehakiman yang

bertanggung-jawab’

justru

bermakna kekuasaan kehakiman berada dalam kaitan dengan dan tunduk
pada kekuasaan yang lain.
Bahkan, dalam salah satu

statement-nya, Chief Justice of Canada

dalam salah satu penetapannya menyatakan:
“Judicial independence

is valued, because

it serves important

societal goals - it isa means to secure those goals. One of these goals is
16 Ahmad Zaenal Fanani. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Masa Depan Peradilan Agama:
Analisis UU No. 48 Tahun 2009 dan UU No. 50 Tahun 2009. Makalah. 2009. h. 5.
17 Aidul Fitriciada Azhari. “Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Bertanggung Jawab di
Mahkamah Konstitusi: Upaya Menemukan Kesimbangan”. Jurnal Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret
2005: h. 89-118.

14

the maintenance of publicconfidence in the impartiality of the judiciary, which
is essential

to the

effectiveness

of the

court system.

Independence

contributes to the perception that justice will be done in individual cases.
Another social goal, served by judicial independence is the maintenance
of the rule of law, one aspect of which is the constitutional principle that the
exercise of all public power must find its ultimate source in a legal rule”18.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan keniscayaan karena
eksistensinya sangat menentukan tercapainya tujuan-tujuan sosial
disepakati oleh masyarakat.

yang

Kekuasaan kehakiman menjadi instrument

yang sangat penting untuk mengatur dinamik adalam masyarakat demi
terwujudnya

jagad

ketertiban.

Kekuasaan kehakiman

yang

merdeka

dimaksudkan untuk meningkatkan dan menjaga kepercayaan masyarakat
terhadap system
kepercayaan

peradilan

masyarakat

yang sedang berjalan. Bagaimanapun,

tidak dapat begitu

saja

diabaikan

karena,

secara faktual, sangat berpengaruh terhadap efektifitas sistem peradilan;
bahwa keadilan akan menjangkau setiap individu tanpa melihat statusnya.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka juga dimaksudkan untuk menjaga
agar aturan-aturan hukum benar-benar dijalankan sesuai dengan amanat
yang terkandung di dalamnya. Ini penting, mengingat aturan-aturan hukum

18 Daniel C. Prefontaine QC and Joanne Lee, op.cit., h. 8-9.

15

berangkat

dari aspirasi-aspirasi dan nilai-nilai yang hidup dan berwujud

menjadi kekuatan utama di masyarakat.
Disinilah sesungguhnya letak pertalian (universalitas) kekuasaan
kehakiman

yang merdeka

sebagai

negara-negara

nilai global yang

dijalankan

oleh

berdasar

atas

merdeka

bukan monopoli sebagian negara

hukum

di

dunia,

(rechtstaat).

sebagai doktrin universal mengingat

disepakati

dan

negara

yang

kehakiman

yang

terutama

Kekuasaan

melainkan telah dianggap

eksistensinya

sangat

menentukan

dinamika sosial dan pencapaian tujuan-tujuan sosial yang primordial.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka, hemat penulis, terbangun
dari

beberapa elemen

dasar

yang saling

bertalian.

Elemen-elemen

tersebut adalah:
1) Lembaga peradilan yang mandiri, terpisah dari struktur kekuasaan
eksekutif dan legislatif. Dalam pada itu, lembaga peradilan tersebut
terstruktur secara hirarkis (vertikal), terintegrasi dalam pola dan teknis
administrasi dan yudisial yang unifikatif.
2) Hakim dan aparat peradilan yang jujur, kompeten, berintegritas
tinggi, dan visi yang kuat pada tercapainya keadilan bagi sekalian pencari
keadilan (equality before the law).

16

3) Perundang-undangan yang mendukung terwujudnya kekuasaan
kehakiman yang merdeka.
4) Budaya hukum
yang memegang
mengontrol

peranan

masyarakat

sebagai

unsur

extra

judicial

signifikan, terutama dalam mengawal

proses peradilan.

dan

Budaya hukum dimaksud termasuk di

dalamnya tata nilai, paradigma, perilaku, dan diskresi hukum masyarakat
(masyarakat awam, penstudi hukum, aktivis, NGO, dan elemen masyarakat
lainnya).
Justine LeDain mengemukakan tiga karakteristik utama kekuasaan
kehakiman yang merdeka, yaitu19:
1)

Security of tenure

Security tenure

(jaminan masa kerja) adalah kepastian

tentang

lamanya seseorang menduduki suatu jabatan, khususnya jabatan hakim.
Dalam sistem

hukum Amerika, dapat

menduduki jabatan hakim seumur

hidup sepanjang menunjukkan kinerja positif dan memiliki kepribadian dan
moralitas yang baik. Hal ini dinyatakan dalam Constitution Act, 1867 Section
99:

19 Ibid, h. 11-13.

17

“…the Judges of Superior Courts, shall hold office during good
behaviour, but shall be removable by the Governor General on address of
the Senate and the House of Commons”.
Jaminan masa kerja demikian, hemat penulis, sebagai bagian dari
upaya menjaga integritas hakim sekaligus sebagai motivasi bagi para
hakim untuk senantiasa meningkatkan kemampuannya demi kinerja yang
progresif sekaligus sebagai implementasi dari adagium “jus curia novit”.
2)

Financial security

Financial

security

(jaminan

pendapatan) bagi

para

hakim

merupakan salah satu unsur yang mendapat perhatian luas pada hampir
seluruh sistem hukum negara-negara di dunia. Di amerika misalnya, The
Constitution

Act,

1867

Section

110

mengamanatkan

pendapatan bagi para hakim untuk menunjang peningkatan

penyesuaian
kinerja

dan kemandirian hakim20. Demikian dimaksudkan untuk membentengi para
hakim dari kemungkinan atau kecenderungan

untuk melakukan hal-hal

yang melanggar kode etik profesi maupun yang bertentangan dengan
undang- undang.
3)

Administrative independence

20 Ibid, h. 12.

18

Administrative independence merupakan kontrol yang dilakukan oleh
lembaga

peradilan

terhadap

penyelenggaraan

administrasi

peradilan.

Demikian dimaksudkan untuk menunjang terlaksananya fungsi peradilan
secara signifikan.
Jimly Ashshiddieqy mengkonsepsikan

independensi

kekuasaan

kehakiman ke dalam tiga pengertian dasar, yaitu:
1) Structural independence, yaitu independensi kelembagaan yang
terlihat dari bagan organisasi yang terpisah dari organisasi lain seperti
eksekutif dan yudikatif.
2) Fuctional independence, yaitu independensi dilihat dari segi jaminan
pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman dari intervensi ekstra
yudisial.
3)

Financial independence, yaitu independensi dilihat dari segi

kemandiriannya dalam menentukan sendiri anggaran yang dapat menjamin
kemandiriannya dalam menjalankan fungsi 21.
2.2

Politik

Hukum dalam

UU No. 48 Tahun

2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman
UU No. 48

Tahun

merupakan undang-undang

2009

Tentang

Kekuasaan

paling akhir sampai

21 Ahmad Zaenal Fanani, op.cit., h. 8.

19

Kehakiman

pertengahan tahun

2010 yang mengatur

tentang

kekuasaan

kehakiman

di Indonesia.

Sebelumnya, ketentuan mengenai hal tersebut diatur dalam UU No. 14
Tahun

1970, kemudian

diubah

dengan

UU No. 35 Tahun 1999, dan

terakhir diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004. Ada beberapa hal penting
dalam UU No. 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu 22:
a.

Mereformulasi dan mereposisi sistematika UU No. 4 Tahun 2004

terkait dengan pengaturan secara komprehensif subtansi UU No. 48 Tahun
2009, misalnya adanya bab tersendiri

mengenai

asas penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman;
b.

Pengaturan umum mengenai pengawasan hakim dan hakim

konstitusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan mendasarkan
pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
c. Pengaturan umum mengenai pengangkatan dan pemberhentian
hakim dan hakim konstitusi;
d. Pengaturan
kewenangan untuk

mengenai
memeriksa,

pengadilan
mengadili,

khusus yang mempuyai
dan

memutus

perkara

tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung;
22 Ahmad Zaenal Fanani, op.cit., h. 8.

20

e. Pengaturan mengenai hakim ad hoc yang bersifat sementara
dan memiliki keahlian

serta

pengalaman

di bidang tertentu untuk

memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara;
f. Pengaturan umum mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan;
g.

Pengaturan

umum mengenai

bantuan

umum bagi pencari

keadilan yang tidak mampu dan pengaturan mengenai pos bantuan hukum
pada setiap pengadilan;
h.

Penegasan bahwa hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat

negara; dan
i. Pengaturan umum mengenai jaminan keamanan dan kesejahteraan
hakim dan hakim konstitusi.
Hal pertama yang paling mendasar dalam UU ini adalah mengenai
apa dan siapa hakim itu? Dalam UU ini, hakim, yang sebelumnya hanya
mencakup hakim-hakim yang berada pada peradilan dibawah lingkup
Mahkamah

Agung,

yaitu

hakim

pada

Peradilan

Umum,

Peradilan

Agama/Mahkamah Syar’iyyah, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan
Militer diubah dan diperluas hingga mencakup hakim pada Mahkamah
Konstitusi.

21

Perubahan

demikian merupakan

sesuatu

yang revolusioner

karena telah mengintegrasikan hakim-hakim konstitusi sebagai bagian
penting dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Sebagai
peradila konstitusi, peran dan tanggung jawab hakim-hakim MK memang
tidak kecil karena

mereka

melakukan

fungsi pengawalan

terhadap

konstitusi. Peran dan tanggung jawab demikian harus dipayungi dengan
perundang- undangan khusus agar dalam melaksanakan

peran tersebut

hakim-hakim MK memliki patronase yang sama dengan hakim-hakim di
MA dan peradilan yang dibawahinya. Ini pulalah yang dianggap sebagai
penyatuan visi para hakim agar mereka memiliki, paling tidak, konsep
dasar yang sama dalam menegakkan hukum.
Kekuasaan

kehakiman

di Indonesia

yang merdeka

diupayakan

secara sitematis melalui beberapa langkah strategis. Salah satu diantaranya
adalah dengan melakukan pengawasan yang berkelanjutan dan objektif
terhadap para hakim, baik hakim di MA dan peradilan yang dibawahinya
maupun hakim MK. Pengawasan ini perlu untuk menjamin para hakim
bertindak dan berperilaku sesuai dengan kode etik profesi hakim dan
menjunjung undang-undang sebagai pedoman dalam memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara. Bila diindikasikan adanya pelanggaran, baik
kode etik maupun aturan perundang-undangan, maka akan segera dilakukan

22

tindakan yang dianggap perlu untuk tetap menjaga integritas dan nama
baik insititusi peradilan. Karenanya, dalam Pasal 3 angka (1) disebutkan:
“Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi
wajib menjaga kemandirian peradilan.”
Kemudian, dalam angka (2) disebutkan pula:
“Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman

dilarang, kecuali

dalam hal-hal sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.”
Kekuasaan kehakiman yang merdeka, dalam tinjauan politik hukum,
dengan mengacu pada pasal tersebut di atas dilakukan pada dua lapisan,
yaitu, pertama, hakim sebagai aparat penegak hukum dalam struktur
kekuasaan kehakiman

memiliki tanggung jawab moral untuk senantiasa

menjaga kemandirian peradian dengan menampik godaan, tawaran,
intervensi, hingga intimidasi pihak luar yang ingin menerabas sekalian
proses peradilan yang sedang berjalan. Hakim dituntut memiliki kejujuran dan
keberanian yang tinggi untuk tetap berpegang pada kode etik profesi dan
menjalankan
keadilan

undang-undang

tertinggi

pada

setiap

pemerintah maupun masyarakat)

secara

bijaksana

putusannya.

Kedua,

untuk

mencapai

pihak luar (baik

tidak boleh ikut campur dalam proses

23

peradilan

yang sedang

mempengaruhi

berjalan

objektifitas

karena

hakim dalam

dapat

mengganggu

memeriksa,

memutus,

atau
dan

menyelesaikan suatu perkara.
Seperti telah diurai pada bagian lain dari tulisan ini, hakim MK
merupakan bagian dari penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Padanya, melekat kode etik profesi yang harus senantiasa dijunjung
tinggi dan dijadikan sebagai pedoman

dalam melaksanakan peran dan

tanggung jawabnya. Salah satu muatan dalam kode etik adalah menjaga
wibawa dan nama baik, antara lain dengan tidak terlalu banyak memberikan
opini pada publik mengenai proses hukum tertentu yang sedang berjalan.
Hal

ini

dimaksudkan,

selain

menjada

wibawa,

juga menghindari

penggiringan opini publik sehingga putusan hakim mudah ditebak. Masih
teringat

dalam benak ketika beberapa kali ketua MK berbicara

forum-forum media

maupun

debat

publik tentang proses hukum yang

sedang dijalani oleh beberapa pejabat
tersebut, ketua

MK

beberapa pandangan

dalam

negara. Dalam forum-forum

yang juga merupakan

hakim MK memberikan

hukum (legal opinion) mengenai proses hukum

yang terjadi, padahal, seharusnya, dan memang wajib, seorang hakim
tidak mengumbar kepada publik pandangannya tentang suatu kasus. Akan
lebih elegan jika pandangan tersebut dituangkan dalam pertimbangan
putusannya. Inilah salah satu bagian dari kode etik yang sudah patut

24

menjadi perhatian, terutama bagi para hakim MK, yang sebelumnya rajin
memberikan pandangan atau opini di media.
Pada pasal 5 angka (2) disebutkan:
“Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang
hukum”.
Pasal tersebut menetapkan bahwa
mulia yang senantiasa

terjaga

hakim merupakan

pikiran, lisan, dan

insan yang

tindakannya.

Kalau

memakai jargon yang ditawarkan sebagian seniman, hakim adalah ‘manusia
setengah dewa’ yang memiliki rangkaian keagungan yang menjadikan
orang-orang sekitarnya menyandarkan harapn pada tercapainya keadilan
tertinggi. Profesionalisme

dan kejujuran hakim dibutuhkan

terutama

untuk menciptakan keadilan dan menjaga pelaksanaan dan penerapan
aturan-aturan

hukum pada

setiap

putusan.

Karena itu pula, dalam

website pemerintah Amerika, dinyatakan:
“Independent and professional judges are the foundation of a fair,
impartial, and constitutionally guaranteed system of courts of law known
as the

judiciary. This independence

does not imply judges can make

decisions based on personal preferences but rather that they are free to

25

make lawful decisions – even if those decisions contradict the government
or powerful parties involved in a case.”23
Dari pernyataan tersebut diketahui beberapa hal, yaitu:
a. Hakim yang profesional dan independen merupakan fundamen
dari proses peradilan yang wajar (fair) atau sesuai dengan hukum acara,
netralitas (impartiality), dan jaminan terlaksananya aturan perundangundangan dalam sekalian proses peradilan. Hakim yang professional adalah
hakim yang memiliki kapabilitas

dan integritas tinggi untuk senantiasa

menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan tuntutan profesi,
yaitu mewujudkan tercapainya keadilan, baik keadilan secara hukum
maupun keadilan secara sosial.
b.

Independensi

yaitu, pertama, hakim

hakim

tetap

mencakup

dapat

beberapa

menggunakan

bersifat inheren (personal preferences) dalam

menilai

pengertian,

analisisnya
dan

yang

memutuskan

suatu perkara sepanjang analisis tersebut berangkat dari pemahaman
yang mendalam mengenai asas, norma, dan aturan-aturan hukum yang
berkaitan dengannya. Kedua, hakim memiliki kebebasan untuk membuat
putusan atas suatu perkara meskipun hal tersebut bertentangan dengan
keinginan pemerintah atau
subjektif

bahkan

sebagian

masyarakat

yang secara

dan diametral menginginkan putusan lain. Disinilah dituntut

23 http://www.america.gov/st/democrcyhr-english/2008/May/20080609213257eaifas0.9582788.html

26

keberanian dan progresifitas seorang hakim

untuk

berbeda

dengan

pemerintah dan bersedia menjadi sorotan publik atas putusannya tersebut.
Ijtihad

yang

jaminan

dilakukan

suatu

putusan

hakim

secara

sungguh-sungguh merupakan

yang

bercirikan

keadilan

meski

mendapat

pertentangan dari pemerintah maupun sebagian masyarakat. Ini pulalah
yang oleh Satjipto Rahardjo diistilahkannya sebagai hakim yang progresif,
yaitu hakim yang tidak sekedar menjadi terompet undang-undang tetapi
berusaha menemukan keadilan dalam setiap peraturan yang ada 24.
Lebih lanjut, dikemukakan:
“An independent judiciary assures people that court decisions will be
based on the nation's laws and constitution, not on shifting political power
or the pressures of a temporary majority. Endowed with this independence,
the judicial system in a democracy serves as a safeguard of the people’s
rights and freedoms”25.
Demikian, dan

harus

diakui

bahwa

kekuasaan

kehakiman

yang merdeka dimaksudkan sebagai jaminan bagi masyarakat bahwa
setiap putusan

pengadilan

konstitusi, bukan

pada

pemerintah atau

sebagai

didasarkan

keinginan

untuk

refleksi atas

pada

hukum

mengakomodir

nasional

dan

kepentingan

tekanan-tekanan dari kekuatan-

24 Satjipto Rahardjo. Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta
Publishing. 2009.
25 http://www.america.gov/st/democrcyhr-english/2008/May/20080609213257eaifas0.9582788.html

27

kekuatan luar yang ingin mengarahkan (drive) putusan pengadilan pada
sesuatu yang bersifat pragmatis. Muara
yang merdeka adalah

tegak

dan

dari kekuasaan

terpeliharanya

hak-hak

kehakiman
asasi

dan

kemerdekaan masyarakat.
Salah satu aspek yang mendapat perhatian serius pada undangundang ini adalah perhatian terhadap keamanan dan kesejahteraan para
hakim. Pasal 48 angka (1) menyatakan:
“Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim
dan

hakim konstitusi dalam

menjalankan

tugas dan tanggung

jawab

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.”
Pemberian

perhatian

terhadap keamanan

dan

kesejahteraan

hakim merupakan hal yang sangat mendasar. Bahkan, konstitusi-konstitusi
di dunia pun mengakui pentingnya perhatan terhadap kesejahteraan hakim.
A. Hamzah mengemukakan bahwa pendapatan (gaji) yang representative
kepada hakim penting terutama untuk menjaga independensi

hakim.

Dengan

mudah

pendapatan

terpengaruh

oleh

yang

bujukan

cukup,
atau

hakim

diharapkan

iming-iming

sejumlah

tidak
uang

untuk

mengakomodir putusannya sesuai dengan keinginan pihak tertentu 26.

26 A. Hamzah. Kemerdekaan dan Kemandirian Kekuasaan Kehakiman. Makalah disampaikan pada
Seminar Pembangunan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.
Denpasar: 2003.

28

Sejalan dengan pendapat Hamzah

tersebut,

Luu

Tien

Dung

menyatakan:
“Many have suggested that increasing judicial salaries would make
for a better functioning and less corrupt judiciary. However, judges are still
public servants and do not enjoy any special status; thus increasing
judicial salaries could lead to an expectation of a general increase in the
salaries of a large number of public servants”27.
Peningkatan

pendapatan bagi para

hakim hingga pada

tingkat

yang representatif diyakini sejalan dengan kinerja yang lebih positif dan
memperkecil
menjadi

kemungkinan terjadinya

salah

satu

fundamentasi

praktik-praktik korupsi. Inilah yang
dasar

bagi terwujudnya

kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab.

27 Luu Tien Dung, op.cit., h. 36.

29

idealitas