PENYELENGGARAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN DI I

PENYELENGGARAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
Oleh : Aan Eko Widiarto, SH MHum1
Abstrak
Implikasi dari putusan-putusan MK dalam mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap UUD perlu dikaji
dalam kaitannya dengan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman. Dalam konteks yang demikian ini semakin penting
dikaji
implikasi-implikasi
putusan
MK
terhadap
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman beserta tingkat
konsistensi isi putusan-putusan MK yang terkait dengan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
Kata Kunci : Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Konstitusi
Pendahuluan
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam

pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung
berwenang pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh undang-undang.

1

Pengajar Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

1

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran

partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengintroduksi pula suatu lembaga
baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi
Yudisial. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Akibat perubahan mendasar yang dilakukan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya mengenai penyelengaraan
kekuasaan kehakiman, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dilakukan perubahan secara
komprehensif dengan dibentuknya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2


Dalam Undang-Undang tersebut diatur mengenai badan-badan peradilan
penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan
kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam
hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu diatur pula ketentuan yang
menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan
kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat
peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain
yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan
kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan
peradilan di bawah Mahkamah Agung maka diatur dalam ketentuan peralihan.
Selain diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4
Tahun

2004

tentang

Kekuasaan


Kehakiman,

badan-badan

peradilan

penyelenggara kekuasaan kehakiman diatur dalam beberapa Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UndangUndang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

3

Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan

Pasal 7B yang disahkan pada 9 November 2001 membawa konsekuensi harus
dibentuknya sebuah Mahkamah Konstitusi. Setelah disahkannya Perubahan
Ketiga UUD 1945, maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah
Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung menjalankan fungsi MK untuk
sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil
Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan
Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan
mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan
disahkan oleh Presiden pada hari itu. Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus
2003, Presiden mengambil sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara
pada tanggal 16 Agustus 2003.
Mahkamah Konstitusi (MK) sejak periode Nopember 2003 sampai dengan
Maret 2007 telah memutuskan 16 permohonan judicial review Undang-Undang
yang terkait dengan pengaturan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terhadap
Undang-Undang Dasar 1945. Keenam belas Putusan MK tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Pengujian Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara terhadap UUD 1945;

2. Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) terhadap UUD 1945;
3. Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945;
4

4. Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
terhadap UUD 1945;
5. Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 dan Pengujian UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 terhadap UUD 1945;
6. Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945;
7. Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;
8. Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung terhadap
Undang Undang Dasar 1945;
9. Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman Bab VI Pasal 36 Ayat (1), (2), (3), (4) dan Pasal 11 Ayat (4)
terhadap UUD 1945;

10.Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Pasal 74 Tentang
Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor1 Tahun 1987 tentang
Kamar Dagang & Industri terhadap UUD 1945;
11. Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Pasal 43 ayat (1) Tentang
Pengadilan HAM terhadap UUD 1945;
12.Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung,
khususnya Pasal 36 menyangkut Penasehat hukum terhadap Undang-Undang
Nomor18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 12 terhadap UUD
1945;
13.Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Pasal 74 Tentang
Mahkamah Konstitusi;
14.Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
15.Pengujian Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman;
5

16.Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
Putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim MK sangat bervariasi mulai

dari dikabulkan, dikabulkan sebagian, ditolak, hingga tidak dapat diterima.
Tentunya putusan MK tersebut berimplikasi yuridis dalam penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan kehakiman disini adalah
sebagaimana dimaksud dalam BAB IX Pasal 24 UUD 1945 berikut peraturan
perundang-undangan organiknya yang menjadi dasar pengaturan Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Pajak.
Pembahasan
Telaah yang mendalam tentang implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
terhadap Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia adalah sangat
berguna untuk merekonstruksi kekuasaan kehakiman berdasarkan putusanputusan Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut dibangun dari proses identifikasi
tingkat konsistensi antar isi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait
dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan implikasi putusan Mahkamah
Konstitusi yang terkait dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terhadap
kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Dengan demikian diharapkan akan diperoleh manfaat praktis bagi
pemecahan

masalah


implementasi putusan Mahkamah Konstitusi di bidang

kekuasaan kehakiman. Selain itu

diharapkan pula dapat membangun sistem
6

ketatanegaraan yang mampu menciptakan checks and balances system demi
pengembangan penegakan sepremasi hukum.
Implikasi putusan MK yang cukup mendasar dalam penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman adalah atas perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampaknya telah
menimbulkan persoalan baru yaitu polemik mengenai pengadilan korupsi di masa
depan.

Dalam Putusan MK

Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 dinyatakan

bahwa Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Pasal 53 UU KPK berbunyi, “Dengan Undang-Undang ini dibentuk
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi.” Pemohon mendalilkan, jika ketentuan Pasal 1 Angka 3
dihubungkan dengan Pasal 53 UU KPK dan konsiderans UU KPK huruf b yang
menyatakan, “bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak
pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas
tindak pidana korupsi”, maka undang-undang a quo telah menempatkan
Pengadilan Tipikor sebagai bagian dari fungsi pemberantasan tindak pidana
korupsi yang merupakan fungsi eksekutif, bukan bagian dari kekuasaan yudikatif.
Dengan demikian, menurut Pemohon, Pengadilan Tipikor sulit diharapkan dapat
menjalankan fungsinya secara merdeka, mandiri dan imparsial. Jika memang
Pengadilan Tipikor merupakan bagian dari kekuasaan yudikatif, ia seharusnya
7

dibentuk dengan undang-undang yang terpisah dari undang-undang yang
mengatur tentang suatu lembaga negara tertentu, sebagaimana yang berlaku

selama ini. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat: pertama,
bahwa pelaku kekuasaan kehakiman, menurut Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945,
adalah sebuah Mahkamah Agung (dan badan-badan peradilan yang berada di
empat lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung) dan sebuah
Mahkamah Konstitusi. Kedua, bahwa badan-badan peradilan dari keempat
lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945
adalah badan-badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Keempat,
bahwa dengan demikian pula, pembentukan pengadilan-pengadilan khusus,
sepanjang masih berada dalam salah satu dari empat lingkungan peradilan
sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, dimungkinkan. Kelima,
bahwa selanjutnya, Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945 menyatakan, “Susunan,
kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan
peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.” Pengertian frasa “diatur
dengan undang-undang” dalam Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945 tersebut berarti
pembentukan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung harus dilakukan
dengan undang-undang. Hal ini sesuai pula dengan ketentuan Pasal 15 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai
implementasi dari Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945. Pasal 15 Ayat (1) tersebut
berbunyi, “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undangundang“. Penjelasan ayat tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan ”pengadilan
khusus” dalam ketentuan ini, antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan
8

niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi,
pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan
pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara”. Meskipun UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dibuat lebih
kemudian dari UU KPK, akan tetapi ketentuan yang sama telah tercantum dalam
Pasal 10 Ayat (1) (beserta Penjelasannya) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Bunyi ketentuan
Pasal 10 Ayat (1) tersebut adalah, “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh
Pengadilan dalam lingkungan: a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c.
Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara.” Sementara itu, Penjelasannya
berbunyi, “Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan
yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan
meliputi Badan-badan Peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Peradilan
Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena
mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu,
sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya
mengenai baik perkara perdata, maupun perkara pidana. Perbedaan dalam empat
lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan
(differensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam
Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan lalu lintas,
Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan Undangundang.” Di samping itu, frasa yang berbunyi “diatur dengan undang-undang”
yang tersebut dalam Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945 juga berarti bahwa susunan,
kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan
9

peradilan di bawahnya itu tidak boleh diatur dengan bentuk peraturan perundangundangan lain selain undang-undang.
Dengan demikian maka Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4250) dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Namun demikian MK memandang bahwa peralihan dampak hukum dari putusan
harus smoot/halus sehingga diputuskan bahwa Pasal 53 tetap mempunyai kekuatan
hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung
sejak putusan diucapkan.

Berdasarkan Putusan MK atas Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, struktur lembaga
kekuasaan kehakiman di Indoesia telah berubah.

Draft sementara dari Tim Perumus Undang-Undang Pemberantasan
Korupsi justru bisa berimplikasi pada hilangnya pengadilan khusus korupsi
sebagaimana kita kenal sekarang. Begitu pula eksistensi hakim ad hoc korupsi.
Pada gilirannya juga memandulkan fungsi KPK. Wajar saja, jika putusan MK
mengenai hal ini diwarnai perbedaan persepsi.
Ada yang berpendapat, putusan ini membuat eksistensi Pengadilan
Korupsi dan KPK (bahkan eksistensi pemberantasan korupsi) terancam. Karena
jika dalam waktu tiga tahun pemerintah dan DPR gagal melahirkan UndangUndang Pengadilan Korupsi maka perkara korupsi akan diadili di pengadilan
biasa, yang selama ini telah melahirkan putusan-putusan kontroversial. Itu berarti
10

pada 19 Desember 2009 sudah harus ada Undang-Undang Pengadilan Tipikor
yang menyatukan sistem peradilan tindak pidana korupsi. Jika pada tanggal itu tak
terbentuk, Pengadilan Tipikor yang ada sekarang kehilangan dasar hukumnya.
Akibat lanjutan jika pengadilan korupsi hilang karena tidak adanya UndangUndang Pengadilan Korupsi maka ketajaman KPK dalam memberantas korupsi
pun akan hilang. KPK lebih banyak akan bertindak secara preventif dan
melakukan pendidikan anti korupsi dan sebagainya. Justru tindakan represif dari
KPK yang menyidik dan menuntut perkara korupsi ke pengadilan korupsi lah
yang selama ini menjadi pusat apresiasi masyarakat. Sementara itu, mungkin ada
pandangan berbeda yang menyatakan, putusan MK menimbulkan ketidakpastian
dimana di satu sisi pengadilan Tipikor dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945 tetapi putusannya tidak langsung berlaku dan masih memberi kesempatan
tiga tahun lagi. (Topo Santoso: 2007)
Putusan lain misalnya tentang

uji materiil Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dinyatakan tidak dapat diterima
oleh Mahkamah Konstitusi. Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya
dirugikan dengan adanya pasal 16 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Bunyi
pasal 16, "Peradilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada
atau belum jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili. Menurut
pemohon, hal ini berakibat putusan peradilan menjadi tidak konsisten dan
menyebabkan ketidakpastian hukum, khususnya terhadap kasus yang menimpa
kliennya. Namun Mahkamah Kontitusi berpendapat pasal tersebut tidak
bertentangan sama sekali dengan jaminan bagi setiap orang untuk memperoleh
11

kepastian hukum. Sebaliknya asas ini justru mengukuhkan pengakuan jaminan
perlindungan dan kepastian hukum yang adil, seperti yang termuat dalam pasal
28D ayat 1 UUD 1945. Bila memang pemohon dirugikan dengan putusan
peradilan bukan karena berlakunya pasal 16, melainkan perbedaan penafsiran dan
penerapan hukum yang dilakukan peradilan sehingga tidak terbukti adanya hak
konstitusional pemohon yang dirugikan.
Dalam Putusan

Perkara Nomor 066/PUU-II/2004 dinyatakan bahwa

Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan
Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi menetapkan undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah
undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar
Negara

Republik

Indonesia

Tahun

1945,

sehingga

telah

menghambat

konstitusionalitas dan merugikan hak konstitusi Pemohon untuk mengajukan
permohonan pengujian undang-undang yang diundangkan sebelum perubahan
UUD 1945 dan merugikan hak konstitusi Pemohon dalam memperjuangkan hak
untuk memajukan diri secara kolektif membangun masyarakat, bangsa dan negara
dalam organisasi Kamar Dagang dan Industri Usaha Kecil Menengah, maka Pasal
12

50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tersebut bertentangan dengan Pasal
28C ayat (2) UUD RI 1945. Apabila tetap konsisten berpegang pada Pasal 50
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003, akan tercipta tolak ukur ganda dalam
sistem hukum Indonesia dengan tetap membiarkan berlaku sahnya suatu undangundang yang bertentangan dengan UUD 1945 in casu Pasal 4 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1987 yang berbunyi “dengan undang-undang ini ditetapkan
adanya satu Kamar Dagang dan Industri yang merupakan wadah bagi pengusaha
Indonesia baik yang tidak bergabung maupun yang bergabung dalam organisasi
pengusaha dan/atau organisasi perusahaan”, yang jelas-jelas merugikan hak
konstitusi Pemohon beserta puluhan ribu anggota untuk membentuk organisasi
yang sebanding dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia tersebut. Namun
demikian MK menolak permohonan Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 4
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3346).
Berdasarkan putusan tersebut maka telah terjadi perluasan kewenangan
salah satu lembaga kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi untuk menguji

undang-undang yang diundangkan sebelum perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam Putusan Perkara Nomor 067/PUU-II/2004 dinyatakan Pasal 36
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan Pasal 36
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang
13

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Pasal 36 UU Nomor 5 Tahun 2004 sebagai perubahan atas UU Nomor 14
Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, yang menyatakan bahwa: "Mahkamah
Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan
Notaris" diangap bertentangan dengan ketentuan, semangat dan jiwa UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 24 ayat
(1) dan (3). Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan: "Kekuasaan Kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelengggarakan peradilan guna
menegakkan

hukum

dan

keadilan".

Pasal

24

ayat

(3)

UUD

1945

menyebutkan:"Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
Kehakiman diatur dalam undang-undang”.
Didalilkan Pemohon, Ketentuan Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985
dimaksud seharusnya dengan berlakunya UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat sebagai undang-undang yang khusus di mana isinya kontradiktif. Artinya
ada dua badan yang melakukan pengawasan terhadap Advokat. Dengan
berlakunya UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 14
Tahun 1985 khusus pada Pasal 36 beserta Penjelasannya (selanjutnya disebut UU
Nomor 5 Tahun 2004 juncto Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985) yang sama
sekali tidak dirubah, sehingga masih tetap berlaku ketentuan bahwa “Mahkamah
Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan
Notaris” di satu pihak, sedangkan menurut Pasal 12 UU Nomor 18 Tahun 2003
bahwa pengawasan terhadap Advokat dilakukan Organisasi Advokat. Bahwa
dengan adanya dua badan pengawasan yang diatur dengan undang-undang yang
14

berlainan terhadap suatu materi muatan ayat yang sama, maka timbullah dualisme
hukum dan terjadinya pertentangan antara dua undang-undang yang berlaku.
Akibatnya telah terjadi ketidakpastian hukum dalam pengawasan terhadap
Pemohon dan Advokat umumnya.
Dengan demikian putusan-putusan Mahkamah Konstitusi khususnya yang
berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dapat berimplikasi
merubah konfigurasi pengaturan kehakiman sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan ada pula
yang justru menguatkan pengaturan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
ada.
Beberapa Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diuraikan tersebut tentunya perlu dipandang dalam konteks kekuasaan kehakiman
yang merdeka dan kebebasan hakim.
Konsep

yuridis

“Kekuasaan

kehakiman

yang

merdeka”

secara

konstitusional meliputi:
1. Larangan terhadap upaya campur tangan (intervensi) pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman (termasuk eksekutif) kecuali campur tangan itu
dibolehkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam hal ini,
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2)
secara limititatif menetapkan wewenang “intervensi” eksekutif
terhadap urusan peradilan hanya menyangkut grasi, rehabilitasi,
amnesti, serta abolisi. Wewenang ini disebut “Wewenang Pseudo
Yudisial.” Dalam bentuk aturan hukum, konsepsi “Kekuasaan
15

kehakiman yang merdeka” dituangkan dalam Undang-undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 1, “Kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Dalam
“Penjelasan” Pasal 1 a quo dijelaskan bahwa kekuasaan kehakiman
yang merdeka mengandung pengertian “kekuasaan kehakiman bebas
dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali
dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar
Tahun 1945.” Untuk mengafirmasi ketentuan Pasal 1 a quo, Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 mengancam setiap orang yang dengan
sengaja mengintervensi kekuasaan kehakiman dengan ancaman pidana.
(Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Pasal 4 ayat (4)).
2. Pembentukan “Kekuasaan kehakiman satu atap (one roof system)”.
Munculnya ide one roof system menurut Montesquieu untuk mencegah
munculnya kekuasaan atau pemerintahan yang sewenang-wenang.
Montesquieu berpendapat setiap percampuran di satu tangan antara
legislatif, eksekutif, dan yudisial dipastikan akan menimbulkan
kekuasaan

atau

pemerintahan

yang

sewenang-wenang.

Untuk

mencegah kesewenang-wenangan, badan (alat kelengkapan) organisasi
negara harus dipisahkan satu sama lain. Yang satu independen terhadap
yang lain. Implikasi yuridis pembentukan “Kekuasaan kehakiman satu
atap” adalah adanya borders (tapalbatas) terhadap wewenang cabang
16

kekuasaan, oleh karena itu, hanya organ-organ kekuasaan kehakiman
sajalah yang berhak melakukan tindakan-tindakan untuk menegakkan
hukum dan keadilan. Secara kontrario, tindakan organ eksekutif dalam
proses penegakan hukum dan keadilan merupakan intervensi yang
dilarang oleh konstitusi. (Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa,
halaman 120-121).
Menurut Jur. A. Hamzah dengan mengutip pendapat Paulus E. Lotulong,
kekuasaan kehakiman merdeka atau independen itu sudah bersifat universal.
Ketentuan universal yang terpenting ialah The Universal Declaration of Human
Rights, Pasal 10 mengatakan:
"Everyone is entitled in full equality to a fair and public
hearing by an
independent and impartial tribunal in the determination of his
rights and obligation of any criminal charge agains him. "
(Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya
didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh
pengadilan yang merdeka dan tak memihak, dalam hal
menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam
setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya).
Sehubungan dengan itu, Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
"Everyone has the right to an effective remedy by the competent
national tribunals for act violating the fundamental rights
granted him by the constitution or by law."
(Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakimhakim nasional yang kuasa terhadap tindakan perkosaan hakhak dasar, yang diberitakan kepadanya oleh undang-undang
dasar negara atau undang-undang).
UUD 1945 Ayat (1) sesudah amandemen ketiga berbunyi: "Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan." Ayat (2) mengatakan:
17

"Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi."
Perbedaan dengan Pasal 24 lama ialah kekuasaan kehakiman yang
merdeka sudah disebut dalam rumusan bukan hanya dalam penjelasan. Juga
dirinci peradilan dibawah Mahkamah Agung, termasuk yang baru yaitu
Mahkamah Konstitusi.
Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan masalah
bagaimana hakim dalam mengikuti yurisprudensi. Kebebasan hakim dalam
menemukan hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum, Wirjono Prodjodikuro
menolak pendapat orang yang mengatakan hakim menciptakan hukum. Menurut
beliau hakim hanya merumuskan hukum. Pekerjaan hakim katanya mendekati
pembuatan undangundang tetapi tidak sama. Beliau berpendapat bahwa walaupun
Ter Haar menyatakan isi hukum adat baru tercipta secara resmi dianggap ada
apabila ada beberapa putusan dari penguasa terutama para hakim, ucapan Ter Haar
itupun tidak dapat dianggap bahwa dengan putusan hakim dan lain penguasa itu
terciptalah hukum adat, tetapi hanya merumuskan hukum adat itu.
Untuk menemukan hukum, hakim dapat bercermin pada yurisprudensi
dan pendapat ahli hukum terkenal (doktrin). Mengenai yurisprudensi, van
Apeldoorn berpendapat sejajar dengan Wirjono Prodjodikuro tersebut di muka. Di
negeri Belanda katanya, hakim tidak terikat kepada putusan hakim-hakim lain dan
juga tidak kepada hakim yang lebih tinggi. Apabila suatu peraturan dalam putusan
hakim diterima secara tetap dan nyata menjadi keyakinan hukum umum, atau
dengan kata lain dalam suatu masalah hukum telah terbentuk suatu yurisprudlensi
18

tetap dan peraturan itu menjadi hukum objektif, bukan berdasarkan keputusan
hakim tetapi sebagai kebiasaan. Berdasarkan garis tingkah laku hakim-hakim
terciptalah keyakinan hukum umum. (Jur. A. Hamzah: 2003).
Menurut Jimly Asshiddiqie, sebenarnya Pasal 24 UUD 1945 telah
menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman berpuncak pada Mahkamah Agung
yang merdeka dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Namun, dalam perjalanan,
praktek kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu selalu dipengaruhi oleh kekuasaan
pemerintah yang terpusat di tangan Presiden. Makin lama seorang Presiden
berkuasa, makin kuat pengaruhnya terhadap kinerja kekuasaan kehakiman kita,
sehingga prinsip ‘fair and impartial judiciary’ selalu gagal diwujudkan dalam
kenyataan. Pemisahan unsur pembinaan acara peradilan di bawah Mahkamah
Agung dan pembinaan administrasi peradilan di bawah Pemerintah (c.q.
Departemen Kehakiman) terbukti telah menjadi salah satu penyebab utama
meluasnya pengaruh pemerintah terhadap kinerja kekuasaan kehakiman kita.
Karena itu, setelah reformasi dewasa ini, kita menegaskan prinsip kemandirian
dan kemerdekaan hakim itu dalam wujud pengorganisasian kekuasaan kehakiman
dalam satu atap pembinaan di bawah Mahkamah Agung. Prinsip demikian
dikukuhkan dalam ketetapan MPR tahun 1999 dan kemudian ditegaskan kembali
dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Sejak itu, resmilah
sistem kekuasaan kehakiman kita mandiri dan merdeka. Akan tetapi, bersamaan
dengan itu, pengawasan dan kontrol politik terhadap kekuasaan kehakiman juga
ditingkatkan untuk mengatasi jangan sampai kemandirian kekuasaan kehakiman
itu justru dimanfaatkan untuk melanggengkan praktek-praktek KKN (korupsi,
kolusi dan nepotisme) di lingkungan peradilan pada umumnya.
19

Penutup
Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang berdasarkan
UUD 1945 untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD. Dengan demikian
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan yudikatif
yang antara lain mempunyai wewenang mengawal dan menafsir konstitusi.
Implikasi dari putusan-putusan MK dalam mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
UUD perlu dikaji dalam kaitannya dengan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman.
Dalam konteks yang demikian ini semakin penting dikaji implikasiimplikasi putusan MK terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman beserta
tingkat konsistensi isi putusan-putusan MK yang terkait dengan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman. Harapannya adalah akan diperoleh manfaat praktis bagi
pemecahan

masalah

implementasi putusan Mahkamah Konstitusi di bidang

kekuasaan kehakiman. Selain itu

diharapkan pula dapat membangun sistem

ketatanegaraan yang mampu menciptakan checks and balances system demi
pengembangan penegakan sepremasi hukum.

20