Macam-macam Sistem Perkawinan Adat Asas-Asas Perkawinan dalam Hukum Adat

4 masih berlaku hukum perkawinan adat. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang terdiri dari XIV bab dan 67 pasal mengatur tentang dasar-dasar perkawinan, syarat- syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami dan istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan, kedudukan anak, perwalian dan ketentuan yang lainnya. Namun di dalam undang-undang tersebut tidak diatur bentuk-bentuk perkawinan, cara peminangan, upacara-upacara perkawinan yang semuanya ini masih berada dalam lingkup hukum adat. Hal-hal yang tidak terdapat dalam undang-undang perkawinan yang berkaitan dengan perkawinan ini masih tetap dan boleh diberlakukan di Indonesia asal tidak menyimpang dari makna perkawinan itu sendiri.

2. Macam-macam Sistem Perkawinan Adat

Menurut hukum adat, sistem perkawinan di Indonesia terdapat 3 tiga macam yaitu : 2.1. Sistem Endogami Dalam sistem ini, orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini kini jarang terjadi di Indonesia. Menurut Van Vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang secara praktis mengenal sistem endogami ini, yaitu daerah Toraja. Tetapi sekarang, di daerah ini pun sistem ini kan lenyap dengan sendirinya kalau hubungan daerah itu dengan daerah lainnya akan menjadi lebih mudah, erat dan meluas. Sebab sistem tersebut di daerah ini hanya terdapat secara praktis saja dan tidak sesuai dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di daerah itu. 2.2. Sistem Exogami Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku lain. Menikah dengan suku sendiri merupakan larangan. Namun demikian, seiring berjalannya waktu dan berputarnya zaman, sistem tersebut mengalami proses perlunakan sedemikian rupa 5 sehingga larangan perkawinan itu diperlakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja. 2.3. Sistem Eleutherogami Sistem eleutherogami berbeda dengan kedua sistem di atas, yang memiliki larangan- larangan dan keharusan-keharusan. Eleutherogami tidak mengenal larangan-larangan maupun keharusan-keharusan tersebut. Larangan-larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan yang berhubungan dengan ikatan kekeluargaan yang menyangkut nasab keturunan, seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu, juga dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu. Atau larangan kawin dengan musyahrah per-iparan, seperti kawin dengan ibu tiri, mertua, menantu, anak tiri.

3. Asas-Asas Perkawinan dalam Hukum Adat

Asas-asas perkawinan dalam hukum adat dibedakan menjadi 2 golongan, yaitu : 3.1. Bentuk Perkawinan Berdasarkan Arah Persiapan 3.1.1. Pertunangan Suatu keadaan yang bersifat khusus dan dilangsungkan sebelum perkawinan. Pertunangan adalah persetujuan antar pihak laki-laki dan pihak perempuan untuk melangsungkan perkawinan. Persetujuan ini dicapai oleh kedua belah pihak setelah adanya proses lamaran. Pertunangan baru mengikat apabila dari pihak laki-laki sudah memberikan kepada pihak perempuan sebuah tanda pengikat dalam adat Jawa disebut paningset. Pada dasarnya alasan adanya pertunangan adalah :  Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu terjadi dalam waktu yang dekat.  Untuk membatasi pergaulan pihak yang diikat.  Memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling lebih mengenal. Namun pertunangan ini juga masih bisa dibatalkan apabila ada hal-hal berikut : 6  Kehendak kedua belah pihak untuk membatalkan  Salah satu pihak tidak memenuhi janjinya. 3.1.2 Perkawinan tanpa lamaran dan pertunangan Ada beberapa corak perkawinan yang tidak didahului oleh lamaran dan pertunangan. Corak perkawinan yang demikian kebanyakan ditemukan dalam persekutuan yang bersifat patrilineal. Namun dalam matrilineal garis ibu dan patrilineal garis bapak juga ditemukan walaupun hanya sedikit. Seperti di daerah Lampung, Kalimantan, Bali, Sulawesi Selatan. 3.2. Bentuk Perkawinan Berdasarkan Tata Susunan Kekerabatan Antara perkawinan dan sifat susunan kekeluargaan terdapat hubungan yang erat sekali. Bahkan dapat dikatakan bahwa suatu peraturan hukum perkawinan sukar dipahami tanpa peninjauan hukum kekeluargaan yang bersangkutan. Seperti yang telah diketahui, di Indonesia terdapat 3 macam sifat kekeluargaan, yaitu patrilineal, matrilineal, dan parental. Hal ini juga mempengaruhi corak perkawinan dalam masing-masing sifat kekeluargaan. 3.2.1 Kekerabatan Patrilineal Bentuk perkawinan yang umum pada sifat kekerabatan ini adalah perkawinan jujur. Dimana pihak laki-laki memberikan jujur kepada pihak perempuan. Dan setelah perkawinan sang istri akan masuk ke dalam garis keturunan suaminya begitu pula dengan anak-anaknya nanti. Suku yang menganut sistem kekerabatan Patrilineal di Indonesia adalah adalah suku Batak, suku Rejang dan suku Gayo. 3.2.2. Kekerabatan Matrilineal Dalam sifat kekerabatan ini, tidak ada pemberian jujur. Pada saat perkawinan, suami dijemput dari rumahnya kemudian dibawa ke rumah istrinya. Suami disini tidak masuk ke dalam keluarga istri, melainkan tetap pada keluarganya sendiri. Namun 7 anak-anaknya masuk ke dalam keluarga istri dan suami pada hakikatnya tidak memiliki kekuasaan terhadap anak-anaknya. Daerah yang menganut sistem kekerabatan matrilineal adalah Sumatera Barat Suku Minangkabau. 3.2.3 Kekerabatan Parental Setelah kawin keduanya menjadi satu keluarga, baik keluarga suami maupun keluarga isteri. Dengan demikian dalam susunan keluarga parental suami dan isteri masing- masing mempunyai dua keluarga yaitu keluarga suami dan keluarga isteri. Dalam susunan kekerabatan parental terdapat juga kebiasaan pemberian- pemberian oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Namun pemberian disini tidak mempunyai arti apapun tetapi lebih mempunyai arti hadiah perkawinan. Suku yang menganut sistem kekerabatan parental adalah suku Dayak Kanayat.

4. Bentuk-bentuk Perkawinan