76
Kemampuan tanaman dalam mengatasi stres cahaya rendah adalah tergantung kepada kemampuan tanaman dalam berfotosintesis secara normal
pada kondisi cahaya rendah. Oleh karena itu perubahan karakter morfologi pada genotipe toleran naungan lebih mengarah pada pembentukan arsitektur daun
beserta perangkatnya yang efisien dalam pemanenan cahaya, penggunaan energi eksitasi dan proses fotosintesis yang normal tetap berlangsung pada
kondisi cahaya rendah. Sementara perubahan karakter anatomi cenderung meningkatkan kandungan klorofil a dan mempertahankan nisbah klorofil ab yang
lebih tinggi, menekan peningkatan klorofil b dan menurunkan tingkat ketebalan sel-sel mesofil, guna mempertinggi efisiensi penangkapan cahaya dan
penggunaan energi dari intensitas cahaya yang rendah. Hasil penelitian menunjukkan pada naungan 50 genotipe toleran
naungan memiliki jumlah anakan produktif dan jumlah gabah per malai lebih tinggi, persentase gabah hampa yang lebih rendah dan memiliki produksi relatif
yang tinggi bila dibandingkan dengan genotipe peka naungan Tabel 1. Hal ini didukung oleh hasil analisis sidik lintas Gambar 16 yang memperlihatkan
jumlah anakan produktif, jumlah gabah per malai dan persentase gabah hampa berpengaruh langsung terhadap produksi relatif persen kontrol.
Keterangan : X1 : Jumlah gabah
per Malai X2 : Persen gabah
hampa X3 : Jum. anakan
produktif Z4: Jum. anakan
maksimum Z5 : Panjang
malai Z6 : Bobot 1000
butir Z7 : Jumlah daun
Y Produksi
Relatif Z4
Z5
Z6
Z7 X1
X3
0.76
X2
0.47 -0.44
0.76 0.53
-0.93 0.76
Gambar 16. Diagram lintas karakter morfologi padi gogo pada naungan 50 .
77
Hasil analisis sidik lintas menunjukkan karakter jumlah gabah per malai, jumlah anakan maksimum, jumlah anakan produktif, panjang malai dan jumlah
daun berpengaruh positif terhadap produksi relatif persen kontrol padi gogo. Sebaliknya pada karakter persentase gabah hampa dan bobot 1000 butir
berpengaruh negatif terhadap produksi relatif. Jumlah anakan maksimum dan jumlah anakan produktif berpengaruh sangat nyata terhadap produksi relatif dan
kedua karakter tersebut mempunyai pengaruh total sama yaitu 0.76 . Keadaan
ini menjelaskan bahwa suatu genotipe tanaman membentuk jumlah anakan maksimum yang relatif tinggi mempunyai kemampuan menghasilkan anakan
produktif membentuk malai yang tinggi pula pada kondisi ternaungi. Persentase gabah hampa berpengaruh langsung negatif sangat nyata
terhadap persentase produksi relatif dan pengaruh totalnya sebesar – 0.93 .
Hal ini menunjukkan bahwa persentase gabah hampa sangat berpengaruh terhadap penurunan produksi relatif padi gogo pada kondisi naungan 50 .
Dengan demikian dapat diartikan semakin tinggi persentase kehampaan akan mengakibatkan produksi relatif semakin rendah. Demikian pula dengan bobot
1000 butir pengaruhnya relatif kecil - 0.44 terhadap penurunan produksi relatif. Karakter panjang malai berpengaruh tidak langsung terhadap produksi
relatif melalui persentase gabah hampa. Kedua karakter panjang malai dan persentase gabah hampa menunjukkan korelasi negatif tetapi berkorelasi positif
terhadap jumlah gabah per malai. Keadaan ini menggambarkan semakin panjang malai dapat meningkatkan jumlah gabah per malai dan dapat
menurunkan persentase gabah hampa. Sedangkan jumlah daun dan jumlah anakan maksimum berpengaruh tidak langsung terhadap produksi relatif melalui
jumlah anakan produktif. Jumlah daun berkorelasi positif terhadap jumlah anakan maksimum dan jumlah anakan maksimum berkorelasi positif terhadap
jumlah anakan produktif. Hal ini menunjukkan jumlah daun yang tinggi dapat meningkatkan jumlah anakan maksimum dan pada gilirannya dapat
meningkatkan jumlah anakan produktif. Karakter bobot 1000 butir berpengaruh tidak langsung terhadap produksi relatif melalui jumlah gabah per malai dan
menunjukkan nilai korelasi negatif antara keduanya yang artinya jumlah gabah per malai yang tinggi dapat mengurangi bobot 1000 butir.
Berdasarkan analisis sidik lintas pada Gambar 16 nampak karakter jumlah daun, bobot 1000 butir, panjang malai dan jumlah anakan maksimum
berpengaruh tidak langsung terhadap produksi relatif. Hal ini mengindikasikan
78
bahwa karakter-karakter ini bukan merupakan karakter penentu produksi padi gogo. Dengan demikian, karakter tanaman yang menjadi karakter penentu
produksi padi gogo adalah; jumlah gabah per malai, persen gabah hampa dan karakter jumlah anakan produktif. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa
karakter-karakter tersebut memberi pengaruh langsung terhadap hasil produksi relatif padi gogo.
Galur-galur tanaman padi gogo yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil evaluasi di bawah tegakan karet pengelompokkan genotipe
toleran, moderat dan peka. Untuk melihat konsistensi toleransi galur–galur tersebut pada naungan paranet 50 maka dilakukan evaluasi toleransi dengan
menggunakan metode Analisis Komponen Utama. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh 3 kelompok genotipe toleran, moderat dan peka yang masing-masing
secara nyata dipisahkan oleh karakter tertentu Gambar 4. Hasil Dendogram Gambar 5 menunjukkan 7 galurvarietas yang
konsisten toleran ditunjukkan oleh galur Jatiluhur nomor galur 1, B 9266 F-PN- 7-MR-2-PN-4 nomor galur 6, B 149 F-MR-7 nomor galur 9, TB 13 G-TB-2
nomor galur 8, ITA 247 nomor galur 11, Dodokan nomor galur 10, dan TB 165 E-TB-6 nomor galur 7; dan terdapat 2 galurvarietas konsisten moderat
yaitu S 382 B-2-2-3 nomor galur 3 dan TB 177 E-30-B-3 nomor galur 12 serta dua galurvarietas yang konsisten peka yakni Kalimutu nomor galur 4 dan IRAT
379 nomor galur 5.
Hasil analisis juga menunjukkan galur TB 177 E-28-B-3 nomor galur 2 yang tidak konsisten toleran dan galur TB 154 E-TB-1 nomor galur 13 tidak
konsisten peka. Perubahan atau peralihan ke dua galur tersebut ke kelompok genotipe moderat terutama disebabkan oleh karakter jumlah daun dan jumlah
anakan produktif yang rendah akan tetapi mempunyai jumlah gabah per malai yang cukup tinggi dimana karakter tersebut merupakan salah satu karakter yang
paling menentukan dalam pengelompokan genotipe moderat. Toleransi genotipe berdasarkan hasil analisis komponen utama sangat
ditentukan oleh karakter agronomi dan morfologi yang ditunjukkan terutama karakter bobot gabah kering yang tinggi, jumlah anakan maksimum tinggi dan
persentase gabah hampa yang rendah. Karakter-karakter tersebut sejalan dengan hasil analisis sidik lintas Gambar 16 menunjukkan bahwa bobot gabah
kering produksi relatif yang tinggi dan sangat ditentukan oleh karakter jumlah
79
anakan produktif, jumlah gabah per malai yang tinggi dan rendahnya persen gabah hampa.
Kemampuan tanaman dalam berfotosintesis secara normal pada kondisi cahaya rendah membutuhkan strategi fotosintetik dan strategi fotosintetik ini
dapat dicapai melalui efisiensi fotosintesis. Hal tersebut dapat diperbaiki melalui efisiensi dari proses ini, salah satunya pada tingkat penangkapan cahaya.
Peningkatan efisiensi fotosintesis melibatkan perubahan luas intersepsi cahaya pada tanaman dan organel yang berperan dalam proses ini adalah kloroplas.
Kloroplas merupakan organel yang berada di dalam subseluler perangkat fotosintetik yaitu membran besar kompleks polypeptida yang mempunyai fungsi
untuk kebutuhan pigmen-pigmen untuk absorbsi cahaya, proses transfer energi eksitasi dan pengangkutan muatan seperti rantai transpor elektron yang
digunakan untuk merubah energi cahaya ke dalam energi kimia terutama untuk pelepasan oksigen, NADPH dan produksi ATP.
Sel mesofil kloroplas mengandung organisasi seperti membran tilakoid dibedakan ke dalam wilayah appress lamela grana dan non-appress lamela
stroma. Wilayah ruang ini saling berhubungan yang menunjukkan asimetris polypeptida, lipid dan komposisi pigmennya Hall dan Rao 1994. Protein
kloroplas terdiri atas kompleks pemanen cahaya LHC II, fotosistem II, kompleks Cyt b 6f, fotosistem I termasuk LHC I dan ATPsintase. Protein
fotosintetik termasuk sejumlah besar rubisco dan kompleks protein pemanen cahaya LHC menggambarkan proporsi total nitrogen daun Evans 1983, 1989a;
Field dan Mooney 1986. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi total nitrogen daun meningkat
jauh lebih besar pada genotipe toleran Jatiluhur dibandingkan genotipe peka Kalimutu pada kondisi naungan 50 . Peningkatan konsentrasi total nitrogen
daun diduga sebagai bentuk mekanisme adaptasi terhadap naungan. Dugaan tersebut didukung oleh hasil penelitian Sinclair dan Horie 1989 bahwa nitrogen
daun dibutuhkan untuk memaksimalkan fotosintesis daun melalui pertambahan luas daun. Peningkatan konsentrasi nitrogen pada luas daun dasar tanaman
menghasilkan laju fotosintesis lebih tinggi yang berpengaruh pada efisiensi penggunaan cahaya.
Peningkatan konsentrasi total nitrogen daun kemungkinan sebagai bentuk upaya mempertahankan laju fotosintesis tanaman. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Lawlor 2002 bahwa nitrogen daun dalam jumlah besar
80
digunakan untuk menyusun protein-protein yang bertanggung jawab terhadap proses fotosintesis sehingga daun yang mempunyai konsentrasi total N daun
yang tinggi cenderung memiliki laju fotosintesis potensial lebih tinggi. Besarnya pengaruh dari kandungan nitrogen daun terhadap efisiensi penggunaan cahaya
dari daun adalah tergantung spesies, kemungkinan dalam hubungannya dengan pembagian nitrogen daun antara rubisco dan kompleks protein pemanen cahaya
LHC Evans 1989a. Menurut Levitt 1980 salah satu bentuk adaptasi tanaman terhadap
naungan dengan cara penghindaran melalui peningkatan efisiensi penangkapan cahaya dan penangkapan cahaya per unit area fotosintetik yaitu dengan
meningkatkan proporsi area fotosintetik. Protein sebagai unsur pembentuk struktur dalam membran sel juga sebagai protein yang aktif, umumnya reaktif
dan sangat spesifik. Strukturnya tidak stabil terhadap beberapa faktor seperti radiasi, pH, temperatur dan medium pelarut organik.
Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi total protein daun pada genotipe toleran menurun lebih besar setelah dinaungi dibandingkan dengan
genotipe peka. Menurunnya konsentrasi total protein daun pada genotipe toleran diduga akibat sintesis protein terganggu dan ini sangat erat kaitannya dengan
rendahnya konsentrasi nitrogen terlarut pada genotipe toleran pada fase vegetatif aktif Lampiran 13. Keeratan tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya
korelasi negatif -0.92 antara nitrogen terlarut dan konsentrasi total protein daun. Keadaan ini menunjukkan bila konsentrasi nitrogen terlarut rendah akan
mempengaruhi konsentrasi total protein daun rendah pula. Konsentrasi nitrogen terlarut dan konsentrasi protein N terlarut pada
genotipe toleran rendah pada kondisi naungan 50. Rendahnya konsentrasi nitrogen terlarut dan konsentrasi protein N terlarut kemungkinan terkait dengan
rendahnya jumlah cahaya yang diabsorbsi oleh daun pada kondisi tersebut. Keberadaan nitrogen terlarut rendah menunjukkan nitrogen tidak larut meningkat.
Dengan meningkatnya nitrogen tidak larut mengindikasikan bahwa ketersediaan nitrogen dalam tanaman rendah. Gastal dan Lemaire 2002 mengemukakan
bahwa kandungan nitrogen daun lebih rendah pada bagian kanopi tanaman pada intensitas cahaya rendah. Hal ini terkait dengan jumlah nitrogen daun lebih
rendah dibutuhkan untuk memaksimalkan fotosintesis daun pada intensitas cahaya rendah.
81
Konsentrasi protein kloroplas pada genotipe toleran Jatiluhur menurun pada kondisi naungan 50 dengan derajat yang sama pada genotipe peka
Kalimutu. Menurunnya konsentrasi protein kloroplas nampaknya berhubungan erat dengan konsentrasi nitrogen terlarut yang rendah yang ditunjukkan oleh
korelasi yang sangat erat -0.99 antara nitrogen terlarut dengan konsentrasi protein kloroplas.
Menurut Levitt 1980 peningkatan penangkapan cahaya per area fotosintetik dilakukan dengan menghindari refleksi, transmisi dan absorpsi
cahaya yang tidak berguna. Penghindaran transmisi dilakukan dengan meningkatkan kandungan kloroplas dan kandungan pigmen per kloroplas.
Hipotesis Levitt diperkuat oleh hasil penelitian Burkey et al. 1997 mengemukakan bahwa daun-daun yang ternaungi secara potensial terlibat
dalam merespon penyesuaian cahaya termasuk perubahan kapasitas fotosintesis dan perubahan komposisi kloroplasnya.
Pada kondisi pencahayaan rendah hingga PFD rendah, kloroplas di dalam sel palisade pada daun aklimatisasi-naungan cenderung letaknya
berdekatan pada dinding sel periklinal, tegak lurus pada sorotan cahaya datangnya cahaya dan dengan demikian kloroplas dalam posisi optimal untuk
mengintersepsi energi cahaya Chow et al. 1987. Posisi kloroplas tersebut tidak statis, kloroplas pada tanaman aklimasi-cahaya dan aklimasi-naungan
dapat berpindahbergerak dalam merespon terhadap perubahan kondisi cahaya agar memaksimalkan intersepsi cahaya bila cahaya terbatas dan meminimalisasi
intersepsi cahaya bila kejenuhan cahaya Haupt dan Schenerlein 1990. Hasil penelitian ini menunjukkan naungan 50 menyebabkan perubahan
konsentrasi protein kloroplas. Meskipun demikian, perubahan konsentrasi protein kloroplas ini relatif kecil baik pada genotipe toleran 4.1 maupun genotipe
peka 1.6 . Berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata konsentrasi protein kloroplas pada genotipe toleran lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe peka
pada kondisi naungan 50 Tabel 6. Hasil ini mengindikasikan genotipe toleran Jatiluhur mempunyai kemampuan untuk memelihara perkembangan kloroplas
yang normal meskipun pada kondisi defisit cahaya dan ini diduga sebagai bentuk adaptasi tanaman terhadap naungan.
Tyas 2006 melaporkan bahwa bentuk kloroplas kedelai genotipe toleran Ceneng berbeda dengan genotipe peka Godek. Pada kondisi cahaya normal
100 genotipe toleran Ceneng memiliki bentuk kloroplas memanjang dan
82
mengalami perubahan cenderung cembung pada kondisi cahaya 50. Demikian pula kompak grana lebih banyak ditemukan pada cahaya 50 dibandingkan
cahaya 100. Hal tersebut diduga agar dapat memperluas penangkapan cahaya dari berbagai sisi.
Kloroplas pada daun aklimasi-naungan mempunyai proporsi grana lebih besar, tumpukan membran tilakoid lebih besar Chow et al. 1987; Anderson et al.
1988; Terashima 1989. Bjorkman dan Demmig-Adams 1995 menyatakan bahwa daun yang ternaungi cenderung mempunyai kloroplas dan volume serta
jumlah grana yang lebih besar dan nisbah klorofil pemanen cahayaenzim pada stroma yang lebih besar dibanding daun yang berkembang pada cahaya penuh.
Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Maxwell et al. 1999 menunjukkan daun pada tanaman yang ternaung biasanya mempunyai kloroplas lebih besar dan
lebih banyak, tersusun paralel dipermukaan daun agar supaya memaksimalkan absorbsi cahaya dan mempunyai volume tilakoid lebih besar dan jumlah
tumpukan lebih besar per granum, untuk membantu meregulasi distribusi energi cahaya di antara fotosistem pada lingkungan teresterial atau wilayah membran
appress memberikan interkoneksi pada PS II untuk menangkap energi cahaya lebih efisien.
Protein supramolekul yang melekat dalam membran tilakoid merupakan kompleks protein yang berpartisipasi pada transpor elektron dari air ke NADP
+
. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi protein membran tilakoid meningkat
setelah dianaungi 50 pada kedua genotipe. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Maxwell et al. 1999 yang menunjukkan bahwa jumlah tilakoid per
kloroplas dan jumlah tumpukan membran lebih tinggi pada kondisi cahaya rendah. Volume membran tilakoid kira-kira 38 pada intensitas cahaya rendah,
sedangkan volume membran tilakoid pada intensitas cahaya tinggi hanya 15 . Rata-rata tumpukan membran per granum 14 pada intensitas cahaya rendah dan
rata-rata 5 tumpukan pada intensitas cahaya tinggi. Meningkatnya derajat tumpukan tilakoid dikaitkan dengan konsentrasi tinggi pada kompleks pemanen
cahaya periferal pada fotosistem II LHC IIs Chow et al. 1987 dan berhubungan dengan peningkatan tarikan Van der Waals’ melalui peningkatan
pada kelimpahan protein pemanen-cahaya klorofil ab Chow 1991. Meningkatnya konsentrasi protein membran tilakoid berkaitan erat
dengan meningkatkan konsentrasi total nitrogen daun. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Maxwell et al. 1999 bahwa sintesis kebanyakan protein
83
kloroplastik meningkat sebanding dengan kandungan nitrogen daunnya. Evans 1988 mengemukakan bahwa bagian utama dari nitrogen daun adalah rubisco
dan sisanya adalah protein yang berada di dalam membran tilakoid dan enzim- enzim siklus Calvin.
Berdasarkan data yang diperoleh rata-rata konsentrasi protein membran tilakoid lebih tinggi pada genotipe toleran dibandingkan dengan genotipe peka
Tabel 7. Tingginya konsentrasi protein membran tilakoid pada genotipe toleran diduga sebagai bentuk mekanisme untuk mempertahankan agar tetap
berlangsungnya proses fotosintesis pada kondisi defisit cahaya. Hal ini dimungkinkan mengingat membran tilakoid yang sebagian besar berisi pigmen-
pigmen fotosintesis klorofil a, klorofil b dan pigmen pelengkap karotenoid dan sebagai tempat berlangsungnya pengangkutan elektron dan fotofosforilasi.
Dugaan ini didasarkan pula pada kenyataan bahwa pada naungan 50 klorofil, aktivitas Rubisco, aktivitas sukrosa fosfat sintase, aktivitas fosfogliserat kinase
genotipe toleran lebih tinggi dari pada genotipe peka Sopandie et al. 2003; Juhaeti et al. 2000; Soverda 2002; Lautt et al. 2000. Khumaida 2002 juga
melaporkan bahwa perlakuan naungan 50 tidak menghambat perkembangan membran tilakoid pada kedelai genotipe toleran seperti Pangrango dan B613,
tetapi menghambat perkembangan kloroplas genotipe peka Godek. Konsentrasi protein membran tilakoid sangat nyata dipengaruhi oleh
naungan pada perlakuan uji cepat dan tampak perubahan secara drastis terutama pada genotipe peka. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi protein
membran tilakoid menurun pada genotipe toleran Jatiluhur sebesar 27.38 lebih rendah dibandingkan genotipe peka Kalimutu 45. Gambar 15 menunjukkan
penurunan konsentrasi protein membran tilakoid lebih tajam pada hari ke-9 setelah dinaungi dibandingkan pada hari ke-18 setelah dinaungi. Hal tersebut
mengindikasikan tanaman melakukan optimalisasi pada kondisi cahaya terbatas yang ditandai telah terjadi proses penyesuaian setelah 9 hari naungan.
Sebaliknya pada genotipe peka belum mencapai tahap adaptasi yang cukup. Meskipun demikian, mekanisme tersebut masih belum jelas.
Chow et al. 1990 menyatakan optimalisasi tanaman terhadap kondisi cahaya terbatas dapat dicapai dengan penyesuaian aktual pada jumlah PS II, PS
I dan LHCP’s yang dimodulasi ukuran antena pemanen-cahaya tanaman tersebut. Hal ini dikemukakan pula oleh Anderson et al. 1988 bahwa
penyesuaian pada tanaman ternaung dan kondisi cahaya rendah mempunyai
84
kompleks PS II lebih sedikit dengan ukuran antena pemanen cahaya lebih besar. Prioul et al. 1980 mengemukakan bahwa daun-daun menunjukkan penyesuaian
struktur dan fungsi perangkat fotosintetik pada intensitas cahaya yang dialami selama pertumbuhan sangat reversibel dalam beberapa hari. Waktu yang
dibutuhkan tanaman untuk dapat beradaptasi pada kondisi lingkungan stress cahaya sekitar 8 hari Levitt 1980.
Tanaman telah mengembangkan berbagai strategi untuk dapat beradaptasi pada lingkungan yang terbatas. Kemungkinan perubahan-perubahan
pada tanaman tersebut sebagai bentuk adaptasi morfologi maupun bentuk adaptasi fisiologi yang penting untuk mencegah kerusakan akibat defisit cahaya.
Mullineaux dan Emlyn-Jones 2004 menunjukkan salah satu bentuk adaptasi tanaman adalah kondisi transisi transition-state yang secara fisiologis sangat
penting untuk memaksimumkan efisiensi pemanen cahaya pada intensitas cahaya rendah. Maxwell et al. 1999 mengemukakan bila tanaman terekspos
lama pada kondisi defisit cahaya akan terjadi proses induksi. Hasil penelitian menunjukkan polakomposisi protein yang dianalisis
melalui SDS-PAGE pada kloroplas dan membran tilakoid memperlihatkan perbedaan pola pita yang jelas antara perlakuan tanpa naungan 0 dan
naungan 50 . Perbedaan tersebut ditunjukkan oleh adanya penurunan gradation pita protein pada genotipe toleran atau terjadinya pengurangan
ketebalan pita protein pada kondisi naungan 50, sedangkan pada genotipe peka tidak terlihat adanya pengurangan ketebalan pita ketebalan pita sama
antara naungan 0 dan 50. Protein-protein yang mengalami penurunan ketebalan tersebut adalah
protein yang terlibat di dalam proses fotosintetis yaitu pada rantai pengangkutan elektron pada fotosintem II Gambar 17 dan merupakan protein-pigmen yang
terikat pada antena yang terlibat dalam pemanen cahaya. Fotosistem II ini mengkatalisis proses pemecahan air pada induksi cahaya yang melepaskan
molekul O
2
, dan merupakan membran kompleks protein terdiri atas kompleks pusat, dikelilingi oleh sistim antena dikenal sebagai LHC II yang terdiri atas 20
sub unit yang berbeda, yang ditandai oleh gen psb A sampai psb X mempunyai bobot molekul antara 3 - 47 kDa Irrgang 1999.
Hasil elektroforesis protein kloroplas padi gogo Gambar 13 menunjukkan empat akumulasi pita protein yang mengalami perubahan yakni terjadi pada protein
bobot molekul 64, 55, 33 dan 18 kDa yang secara keseluruhan merupakan
85
protein yang bertanggung jawab dalam proses fotosintesis. Protein tersebut merupakan protein membran instrinsik maupun membran exstrinsik yaitu
kompleks protein-pigmen yang berada pada antena periferal kompleks pemanen-cahaya atau LHC II-b, antena dalam CPs minor dan protein pusat
reaksi yang terikat kuat pada kompleks fotosistem II.
Protein-protein ini telah dikarakterisasi oleh Mattoo et al. 1999 bahwa bobot molekul 64 kDa termasuk protein kloroplas yang mempunyai fungsi
tertentu dalam meregulasi mekanisme fotosintesis yang diidentifikasi sebagai polyfenol oksidase, protein 55 kDa yang dikenal sebagai enzim Rubisco sub unit
besar Rubisco-L dikode oleh gen rbc L yang berperan dalam fiksasi CO
2,
dan protein membran ekstrinsik 33 kDa merupakan kompleks protein pada fotosistem
II yang terlibat dalam proses fotolisa air. Protein membran ekstrinsik 33 kDa ini dikode oleh gen psb O merupakan kompleks protein evolusi-oksigen Oksigen-
Evolving Complex OEC1 yang mempunyai fungsi sebagai protein sub unit regulator pada oksidasi air dan merupakan protein penstabilisasi mangan Mn.
Protein dengan bobot molekul 33 kDa merupakan sub unit protein hidrofilik yang terletak pada lumen tilakoid yang dikenal sebagai Oxygen Evolving Complex
OEC yang terlibat dalam proses oksidasi air Water-Oxidising System. Protein 33 kDa terikat kuat pada komponen PS II dan berhubungan erat dengan jumlah
kompleks PS I juga protein CP 47. Berasosiasi dengan protein D1, protein D2, CP 47, Cytokrom b-559 dan protein psb I. Protein 18 kDa juga merupakan
Gambar 17. Skema Fotosistem II PS II dikutip dari Matto et al 1999
OEC 33 kDa
86
kompleks protein membran ekstrinsik pada fotosistem II yang terlibat dalam proses fotolisa air dan dikode oleh gen psb Q adalah kompleks protein evolusi-
oksigen OEC3 yang mempunyai fungsi sebagai protein sub unit regulator pada oksidasi air.
Hasil elektroforesis protein membran tilakoid Gambar 14 menunjukkan pita protein genotipe toleran Jatiluhur mengalami perubahan berturut-turut terjadi
pada bobot molekul 31 kDa, 23 kDa dan bobot molekul 20 kDa. Sementara hasil elektroforesis protein membran tilakoid pada uji cepat short term Gambar
15 menunjukkan pita protein genotipe toleran Jatiluhur mengalami perubahan pada bobot molekul 33 kDa.
Protein 31 kDa dikenal sebagai protein membran instrinsik komponen dari fotosistem II yang dikode oleh gen psb A, protein sub unit pusat reaksi, mengikat
cofaktor oksidasi-reduksi redoks. Protein dengan bobot molekul 31 kDa juga dikenal sebagai protein D1. Protein D1 berada pada genom kloroplas Kim et al.
1994. Preparasi protein D1 dan D2 dilaporkan dapat mengoksidasi P
680
Satoh 1992. Hal ini menunjukkan bahwa protein D1 berada pada pusat rekasi P
680
, yang berperan untuk mengikat beberapa kofaktor termasuk klorofil donor utama
P
680
, aseptor utama pheofitin QA, QB dan donor utama Tyrozin Z dan Tyrozin D. Protein 23 kDa adalah termasuk kompleks protein membran ekstrinsik
pada fotosistem II yang juga terlibat dalam proses fotolisa air, dikode oleh gen psb Q adalah kompleks protein evolusi-oksigen OEC2 mempunyai fungsi
sebagai protein sub unit regulator pada oksidasi air. Protein dengan bobot molekul 20 kDa dikenal sebagai protein CP 24 CPs minor
merupakan produk gen Lhcb6 yaitu kompleks protein-pigmen pemanen cahaya pada fotosistem II
LHC-II-b dalam membran tilakoid, berperan sebagai bagian integral dari
mekanisme fotoprotektif yang penting. Mereka juga berpengaruh kuat terhadap struktur dan konformasi integritas satabilitas dari pusat PS II Gilmore 1997 juga
bertindak sebagai jembatan dalam mentrasfer energi eksitasi dari antena periferal ke pusat PS II. Protein 24 kDa secara elektrostatis terikat ke 33 kDa
dan18 kDa berhubungan erat dengan PS II. Protein 24 kDa mempunyai peran meregulasi yang berhubungan dengan evolusi O
2
dan esensial untuk evolusi O
2
. Protein extrinsik 33, 23 dan 18 kDa merupakan kompleks protein-Mn dan
sangat berperan dalam evolusi O
2
atau sebagai polypeptida utama pada
kompleks water-splitting. Protein 33 kDa terikat kuat pada 2 atom Mn dan sangat responsif terhadap evolusi oksigen. Diduga protein extrinsik 33 kDa
87
adalah protein penstabilisasi Mn, maka kehilangan Mn akan diikuti kehilangan 33 kDa, sementara Mn berperan menstabilisasi protein extrinsik pada PS II
Vermaas et al. 1993. Protein yang mengalami penurunan ketebalan pita pada genotipe toleran
diduga fungsi-fungsi mereka mengalami gangguan sebagai akibat naungan. Dengan demikian terganggunya protein instrinsik dan protein extrinsik pada
kloroplas dan membran tilakoid dapat menginaktifasi fungsi fotosistem II. Meskipun demikian, nampaknya genotipe toleran mampu melakukan proses
fotosintesis. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe toleran memiliki regulator pengaturan secara fisiologis dengan cara menurunkan atau meningkatkan
konsentrasi protein mereka serta menurunkan ketebalan pita protein yang diduga proses ini sebagai bentuk aklimatisasi tanaman dalam merespon
naungan untuk memaksimalkan penangkapan cahaya pada kondisi cahaya terbatas. Dugaan ini berdasarkan fakta bahwa keberadaan protein-protein yang
mengalami penurunan ketebalan pita tersebut sebagian besar merupakan komponen protein dari PS II yang mempunyai peran yang sangat penting dalam
proses fotosintesis terutama berperan pada rantai transpor elektron pada pengangkutan elektron utama antara PS II dan pusat reaksi. Proses
pengangkutan utama dimulai dari penangkapan foton oleh antena fotosistem dan transfer energi eksitasi ke PS II dan PS I, menyediakan energi untuk oksidasi air
dan pemindahan elektron ke aseptor yang menyumbang elektron ke proses biokimia dan untuk pengangkutan proton ke lumen tilakoid untuk sintesis ATP
Govindjee 2002; Ben-Sem et al. 2004; Allen 2002; Vasil’ev dan Bruce 2004. Perubahan-perubahan karakter fisiologis maupun biokimia padi gogo
genotipe toleran naungan melalui peningkatan konsentrasi total nitrogen daun, protein kloroplas dan membran tilakoid serta terjadi gradasipenurunan ketebalan
pita protein yang diduga sebagai akibat terganggunya fungsi-fungsi mereka sebagai konsekuensi dari cahaya terbatas yang diterima tanaman padi gogo dan
perubahan-perubahan ini kemungkinan terkait dengan bentuk mekanisme aklimatisasi tanaman dan adaptasi terhadap kondisi defisit cahaya. Disamping
itu terjadinya gradasipenurunan ketebalan pita protein diduga sebagai strategi protektif yang penting di dalam tanaman padi gogo agar fungsi fotosistem II tetap
aktif. Namun demikian, secara keseluruhan mekanisme perubahan karakter protein–protein tersebut dalam hubungannya dengan mekanisme adaptasi
terhadap kondisi defisit cahaya relatif belum jelas.
SIMPULAN DAN SARAN
1.
Tanaman padi gogo yang ternaung mengalami perubahan karakter agronomi dan morfo-fisiologi. Perubahan pada padi gogo genotipe
toleran lebih kecil dibanding genotipe peka yang menyebabkan produksi padi gogo genotipe toleran jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
genotipe peka dan karakter agronomi yang menjadi karakter penentu produksi relatif padi gogo toleran naungan adalah jumlah gabah per
malai, persentase gabah hampa dan jumlah anakan produktif
.
2. Toleransi yang tinggi pada genotipe toleran naungan direfleksikan oleh tanaman yang memiliki karakter bobot gabah kering yang tinggi, jumlah
anakan maksimum tinggi dan persentase kehampaan yang lebih rendah. Berdasarkan karakter agronomi, TB 177 E-28-B-3 nomor galur 2 adalah
galur yang tidak konsisten toleran sementara galur yang memiliki konsistensi toleransi yang tinggi pada naungan 50 ditunjukkan oleh
Jatiluhur nomor galur 1, B 9266 -PN -7-MR-2-PN-4 nomor galur 6, TB 165 E-TB - 6 nomor galur 7, TB 13 G -TB - 2 nomor galur 8, B 149 F-
MR-7 nomor galur 9, Dodokan nomor galur 10 dan ITA 247 nomor galur 11.
3. Adaptasi yang tinggi terhadap naungan ditunjukkan genotipe toleran Jatiluhur yang direfleksikan oleh konsentrasi total nitrogen daun
meningkat lebih besar, N terlarut menurun lebih rendah, protein kloroplas dan protein membran tilakoid lebih tinggi dibandingkan genotipe peka
Kalimutu pada fase vegetatif aktif dan pengisian biji. 4. Penurunan konsentrasi total nitrogen daun, nitrogen terlarut dan protein
membran tilakoid pada uji cepat lebih besar ditunjukkan oleh genotipe peka Kalimutu pada kondisi 9 hari naungan.
5. Penurunan ketebalangradasi pita protein kloroplas terjadi pada bobot