Rumusan Masalah Metode Penelitian Sistematika Penyajian Hukum Adat di Indonesia

berjalan di daerah otonom dapat menggunakan pendekatan hukum adat dengan tetap mengacu pada hukum publik nasional. Hal itu berarti, berlakunya hukum adat tidak mengabaikan peran komponen-komponen sistem peradilan pidana yang tetap memiliki fungsi sosial dan juga fungsi kontrol di masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat ditarik beberapa rumusan malalah, diantaranya: 1. Bagaimana hukum adat di indonesia? 2. Bagaimana penyelesaian sengketa adat dalam sistem peradilan pidana? 3. Apa fungsi sistem peradilan pidana dalam penyelesaian sengketa? C. Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini yakni untuk mengetahui: 1. Untuk mengetahui bagaimana hukum adat di indonesia 2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa dalam sistem peradilan pidana 3. Untuk mengetahui fungs sistem peradilan pidana dalam penyelesaian sengketa

D. Metode Penelitian

Dalam penyusunan makalah ini penulis menggunakan tinjauan pustaka sebagai metode analisis. Mengambil referensi dari beberapa buku untuk memperoleh informasi yang terkait serta konsep dan teori yang mendukung. Semua yang ditulis dari makalah ini berasal dari buku dan sumber yang terpercaya.

E. Sistematika Penyajian

Untuk mempermudah pemahaman, tulisan ini dibagi atas empat bab dan tiap bab terdiri dari beberapa sub bab. Bab pertama berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab kedua berisi tentang bagaimana hukum adat di indonesia, penyelesaian sengketa dalam sistem peradilan pidana dan fungsi sistem peradilan pidana dalam penyelesaian sengketa. Bab ketiga adalah bab terakhir dalam tulisan ini. Bab ini berisi kesimpulan yang telah penulis paparkan dalam bab analisa kontrastif. BAB II PEMBAHASAN

A. Hukum Adat di Indonesia

Otonomisasi yang berlaku sejak 1 Januari 2001, telah berdampak pada setiap bidang kehidupan masyarakat. Belakunya otonomi pada sebagian daerah di Indonesia agaknya telah memberi banyak harapan pada kehidupan masyarakat setempat. Dalam bidang ekonomi, pemerintah daerah diberi wewenang untuk menjalankan aktivitas perekonomian serta melakukan eksplorasi sumber daya alam yang adadidaerah tersebut. Pasal 7 ayat 1 Undang-undang No. 221999 tentang pemerintahan daerah menyebutkan bahwa “Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.” Dengan demikian bidang peradilan yang masih dipegang oleh pemerintah pusat, kiranya dapat bersifat lebih fleksibel dalam menghadapi otonomisasi. Upaya penyeragaman tentunya bukanlah jalan terbaik untuk mewujudkan keadilan di masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemberlakuan hukum nasional yang melahirkan tindakan anarkis pada sebagian masyarakat Indonesia. Krisis kepercayaan terhadap hukum nasional yang melanda Indonesia, pada kenyataannya juga disebabkan oleh adanya penyeragaman atau sentralistik aturan hukum dan pemonopolian aparat penegak hukum. Terjadinya pengingkaran terhadap adanya perbedaan hukum dalam tiap komunitas masyarakat adat dan daerah yang diperkuat dengan berbagai sikap dan tindakan penguasa pusat yang sering melecehkan nilai dan harga diri masyarakat adat, menjadikan krisis kepercayaan makin menguat dan menunjukkan wajah radikal di masyarakat adat dan daerah. Yang mendasar adalah, bahwa masyarakat Indonesia cenderung menghormati hukum adat yang berlaku didaerahnya, contohnya hukum dan tata cara adat di Kepulauan Nias, Sumatera Utara yang sangat dihormati oleh warga Nias dan menyebabkan masyarakat setempat hidup dengan damai. Hal itu disebabkan sebelum melakukan suatu pelanggaran aturan, orang Nias selalu ingat sanksi hukum adat yang berat. Hal mana dibuktikan dengan rendahnya angka kriminalitas di Kepulauan Nias. Masyarakat setempat memilih untuk tidak melanggar hukum adat karena sanksi yang berat dan keengganan berurusan dengan lembaga adat atau masyarakat adat. Contoh lainnya adalah hukum Nagari di Minangkabau, hukum Islam di Aceh, dan sebagainya. Masyarakat menganggap bahwa hukum yang menjadi patokan untuk berperilaku adalah hukum adat. Kenyataan ini harusnya membuka mata pemerintah untuk memberi ruang pada hukum adat dalam hal ikut serta mengatur kehidupan masyarakat. Aturan-aturan adat kerap memiliki sanksi negatif apabila aturan-aturan itu dilanggar, maka pelanggar akan menderita; penderitaan yang sesungguhnya bertujuan untuk memulihkan keadaan seperti semula sebelum pelanggaran itu terjadi atau dilakukan. 1 Hal tersebut sesuai dengan ciri penghukuman yang dikemukakan oleh Herbert L. Packer dalam bukunya “The Limits of Criminal Sanction”, yaitu bahwa: Penghukuman harus menimbulkan rasa sakit yang tidak menyenangkan; 1. Penghukuman terjadi karena adanya pelanggaran hukum 2. Adanya tindakan dari pelanggar atau tertuduh 3. Tindakan penghukuman ditulis dengan sengaja oleh masyarakat, artinya telah di tulis dalam suatu kesepakatan khusus 4. Penghukuman telah disahkan oleh pemerintah. Dalam kaitannya dengan hukum adat, agaknya empat point teratas telah dipenuhi oleh hukum adat. Pada point kelima sebagai legalisasi penghukuman adat adalah menjadi tugas pemerintah pusat untuk mempertimbangkannya. 1 Soerjono Soekanto. Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia. Jakarta: Kurnia Esa, 1982. hlm. 10 Dan walaupun bidang peradilan masih dikuasai oleh pemerintah pusat, namun seharusnya tidak menutup kemungkinan penggunaan pendekatan adat dalam menyelesaikan masalah pidana di masyarakat. Hukum nasional dalam hal ini KUHP semestinya dapat bersifat elastis dan mau berhubungan dengan hukum adat. Hukum adat Indonesia pada dasarnya memiliki pola yang sama dalam menyelesaikan konflik masyarakat. Setiap masyarakat adat memiliki lembaga adat yang bertugas mengontrol perilaku individu di dalam masyarakat dan menjalankan hukuman jika terjadi pelanggaran akan hukum adat. Contohnya pada kasus perkosaan dikalangan suku Ainan di Nusa Tenggara Timur, di mana jika terjadi perkosaan maka kepala suku Ainan atas dasar pengaduan korban akan membentuk tim untuk menyelidiki pengakuan korban, kemudian memanggil pelaku dan menyelidikinya. Jika pelaku terbukti bersalah, maka ada dua pilihan bagi pelaku, yaitu mau bertanggung jawab dan menikahi korban, atau menerima hukuman yang akan ditetapkan oleh tim yang dibentuk ketua adat tersebut.

B. Penyelesaian Sengketa dalam Sistem Peradilan Pidana