75
pengelolaan perbankan syariah di mana penyaluran dana dapat berupa unit simpan pinjam, Baitul Maal Wat Tamwil BMT maupun Baitul Qirad.
Selain melalui program PEMP, pemerintah melalui DKP juga telah bekerja sama dengan Bank Mandiri untuk menyalurkan program kredit perikanan
melalui program Kredit Mina Mandiri. Sampai triwulan I dan II tahun 2005 Kredit Mina Mandiri ini telah mencapai Rp 5,6 trilyun. Namun demikian hanya
sekitar 20 dari total kredit tersebut yang disalurkan untuk kegiatan perikanan tangkap sisanya untuk kegiatan pergudangan, konstruksi pelabuhan, perdagangan
dan kegiatan lainnya Kompas, 2005.
4.2 Tipologi Perkreditan Perikanan Dalam Konteks Makro
Sebagaimana dikemukakan di atas, pola pengembangan kredit perikanan pada periode akhir-akhir ini tidak sekedar pada penyediaan modal saja. Kredit
perikanan yang dikembangkan dengan pola PEMP misalnya tidak harus digunakan untuk modal menangkap ikan, namun bisa digunakan untuk usaha lain
oleh masyarakat pesisir sepanjang kredit tersebut digunakan untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Di sisi lain kredit-kredit perikanan yang dikembangkan
melalui Mina Mandiri misalnya banyak pula yang diarahkan pada kegiatan yang secara langsung maupun tidak langsung mendukung pembangunan sektor
perikanan seperti pembangunan infrastruktur pelabuhan dan sebagainya. Jika kita petakan ke dalam peta tipologi kredit maka tipe K1 atau kredit dengam model
input dapat dikategorikan pada kelompok:
K1 : KIKKMKP, PEMP, Kredit oleh NGOLSM, K2 : Mina Mandiri, Loan, Subsidi tidak langsung
76
Pada umumnya tipe K1 diberikan oleh bank-bank pemerintah BUMN seperti BRI yang telah banyak terlibat dalam penyaluran kredit perikanan sejak
lama. Demikian juga kredit yang disalurkan oleh LSM-LSM seperti GTZ di Nusa Tenggara Barat dan juga yang belakangan dilakukan oleh DKP melalui program
PEMP. Tipe kredit K2 yang umumnya skala besar kebanyakan dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk penyediaan infrastruktur perikanan dan juga
program peningkatan pembangunan perikanan lainnya. Selain itu dana pinjaman asing melalui loan baik dari ADB, Bank Dunia dan sebagainya dapat pula
dikategorikan pada tipe K2. Dari matriks di bawah ini terlihat tipologi beberapa kredit yang disalurkan untuk perikanan;
Tabel 7 Matriks tipe kredit perikanan dan karakteristiknya Tipe
Skala ekonomi Pihak terlibat
Besaran Prosedur
K1 Kecil Nelayan,
LSM, Bank, Pemerintah
lokal Di bawah 500
juta Sederhana
sampai sedang
K2 Besar Pemerintah
pusat, donor, Pemda,
Di atas 500 juta
Sedang sampai
kompleks
Jika kita petakan dengan tingkat produktifitas perikanan didukung dengan beberapa hasil studi sebelumnya maka Tipologi I di mana kredit skala kecil justru
dalam pengembangannya tidak menghasilkan produktifitas perikanan yang membaik adalah kasus klasik modernisasi perikanan yang dilakukan di Pantai
Utara Jawa selama periode 1980-1990an. Hasil studi Bailey 1988, McElroy 1991 menunjukkan dampak jangka panjang motorisasi perikanan justru
menurunnya tangkap per unit upaya di Pantura. Bahkan McElroy 1991 menunjukkan tingkat upaya dalam hari laut di Pekalongan semakin meningkat
77
yang menunjukan semakin jauhnya daerah penangkapan dan semakin sulitnya ikan dicari. Hal ini disebabkan karena kredit yang diberikan memungkinkan
terjadinya penangkapan kapal secara signifikan namun tidak dibarengi dengan peningkatan produksi, sehingga menyebabkan produksi per unit upaya menurun.
Pengalaman yang sama dialami oleh beberapa daerah yang menerima bantuan kredit dari lembaga swadaya masyarakat asing seperti HIVOS dan GTZ
di Lombok. Koreuber 1991 melaporkan bahwa karena menyangkut aspek keberlanjutan bantuan, kredit ini cenderung banyak menimbulkan kemacetan di
tingkat usaha dan pada akhirnya dalam jangka panjang tidak menghasilkan peningkatan produksi dan pendapatan di tingkat nelayan. Hal yang sama dialami
oleh program KIK khusus penangkapan ikan yang dilakukan oleh BRI sampai pada akhir tahun 1990an misalnya dari 295 juta KIK yang diberikan kepada 400
orang 100 kredit tersebut mengalami penunggakan olah karena produktivitas yang menurun.
Studi McElroy 1991 juga menunjukkan terjadinya tipologi II pada kredit perikanan yakni kredit kecil dengan peningkatan produksi. Hal ini terjadi pada
awal-awal program motorisasi di mana kredit perikanan mampu mendongkrak produktifitas nelayan. McElroy 1991 melaporkan bahwa pelarangan trawl dan
pemberian kredit bagi eks-trawl untuk membeli alat purse seine telah menyebabkan puncak produksi purse seine tertinggi di pantura sebesar 128.000
ton, dan ini hanya dicapai tiga tahun setelah program motorisasi kreditisasi. Tipologi tipe III dan IV terjadi pada program-program subsidi pemerintah
berupa pembangunan infrastruktur perikanan dan beberapa bantuan atau subsidi tidak langsung lainnya. Pembangunan dan revitalisasi pelabuhan-pelabuhan
78
perikanan di luar Jawa seperti bagian Indonesia timur akan cenderung membantu meningkatkan produktivitas perikanan karena selama ini hambatan yang dialami
oleh daerah-daerah ini adalah masalah infrastruktur. Sebaliknya penambahan infrastruktur di daerah yang sudah padat tangkap seperti di Pantura Jawa dalam
jangka panjang akan menimbulkan crowding out effect efek penyesakan yang mengakibatkan turunnya produktivitas perikanan.
Secara diagramatis tipologi kredit dalam konteks makro di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 8 berikut :
Tabel 8 Tipologi kredit perikanan
K2 IV
Program pengembangan infrastruktur perikanan Pantura longrun, daerah
dengan crowding out effect yang tinggi pulau-pulau kecil
III Program pengembangan
infrastruktur perikanan luar Jawa Medium, Long run
K1 I
Pantura Motorisasi long run PEMP Pantura long run
LSMNGO GTZ long run II
Pantura motorisasi Short run PEMP short run
Kapasitas rendah L Kapasitas tinggi H
Dari beberapa tipologi di atas nampak bahwa peranan keberlanjutan sustainability dari bantuan permodalan dan pemberian kredit short term dan
long term serta aspek kepadatan spasial akan sangat menentukan efektifitas
pemberian kredit. Saat ini secara makro di Indonesia, kebanyakan kredit berada pada tipologi I karena sebagian besar kredit perikanan diberikan di Jawa,
khususnya wilayah pantai utara sebagai konsekuesi logis dari banyaknya nelayan di wilayah ini serta infrastruktur pembangunan yang relatif lebih berkembang
dibanding dengan wilayah lainnya.
79
4.3 Efektivitas Perkreditan