Pengaruh Temperatur Sintering Terhadap Sifat Fisis,Magnet dan Mikrostruktur dari BaFe12O19 dengan Aditif Al2O3

(1)

PENGARUH TEMPERATUR SINTERING TERHADAP SIFAT

FISIS, MAGNET DAN MIKROSTRUKTUR DARI BaFe

12

O

19

DENGAN ADITIF Al

2

O

3

SKRIPSI

TABITARIA M SIANIPAR

110801007

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

PENGARUH TEMPERATUR SINTERING TERHADAP SIFAT

FISIS, MAGNET DAN MIKROSTRUKTUR DARI BaFe

12

O

19

DENGAN ADITIF Al

2

O

3

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

TABITARIA M SIANIPAR

110801007

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(3)

PERSETUJUAN

Judul : Pengaruh Temperatur Sintering Terhadap Sifat Fisis,

Magnet dan Mikrostruktur dari BaFe12O19 dengan

Aditif Al2O3 Kategori : Skripsi

Nama : Tabitaria M. Sianipar NIM : 110801007

Program Studi : Sarjana (S1) Fisika Departemen : Fisika

Fakultas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam (Mipa)

Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Juni 2015

Disetujui oleh

Departemen Fisika FMIPA USU Pembimbing, Ketua,

(Dr. Marhaposan Situmorang) (Dr. Anwar Dharma Sembiring, MS) NIP : 195510301980031003 NIP : 195408171983031005


(4)

PERNYATAAN

PENGARUH TEMPERATUR SINTERING TERHADAP SIFAT FISIS, MAGNET DAN MIKROSTRUKTUR DARI BaFe12O19 DENGAN ADITIF Al2O3

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juni 2015

TABITARIA M. SIANIPAR 110801007


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan bimbingan-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul Pengaruh Temperatur Sintering Terhadap Sifat Fisis, Magnet dan Mikrostruktur dari BaFe12O19 dengan Aditif Al2O3dalam waktu yang telah ditentukan.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Anwar Dharma Sembiring, MS, sebagai Dosen Pembimbing, yang telah banyak meluangkan waktu, pikiran, tenaga, dan memberikan dorongan, semangat serta saran-saran untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Perdamean Sebayang M.Sc dan Prof. Dr. Masno Ginting, M.Sc, sebagai Dosen Pembimbing di LIPI, yang telah banyak meluangkan waktu, pikiran, tenaga, dan memberikan dorongan, semangat serta saran-saran untuk membimbing penulis dalam penelitian tugas akhir dan menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Marhaposan Situmorang, sebagai Ketua Jurusan Fisika FMIPA USU.

4. Bapak Drs. Syahrul Humaidi, MSc, sebagai Sekretaris Jurusan Fisika FMIPA USU.

5. Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

6. Semua Dosen Departemen Fisika FMIPA USU yang pernah menjadi dosen pengajar selama penulis kuliah di Fisika USU.

7. Kak Tini, Kak Yuspa, dan bang Jo, sebagai pegawai di jurusan Fisika FMIPA USU.

8. Kedua orangtua penulis, Alm. J. Sianipar dan M. Pardosi, terima kasih atas dukungan dan doa yang begitu besar dan sangat berarti kepada penulis.

9. Kakak dan Abang penulis Paska Uly Sianipar dan Dedi Hutabarat serta Adik - adik penulis Triwinner T. Sianipar dan Nopa Sianipar, yang telah banyak memberi dukungan, doa dan semangat kepada penulis selama kuliah dan menyelesaikan skripsi ini, dan sanak saudara lainnya yang banyak membantu dan memberikan motivasi kepada penulis.

10.Teman – teman Fisika Stambuk 2011 sebagai teman bertukar pikiran selama perkuliahan dan teman berdiskusi dalam penyelesaian skripsi ini (Inten Natanael Simamora, Nensi M. Panjaitan, Juliana S Situmeang, Ancela Simbolon, Dosni Sipahutar, Stefen Sitorus, Widya Susanti, Lilis Sagita, Trisno F Manurung, Parasian Simbolon, Hendra Damos, Rusti Irawaty Simbolon dan semua teman yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu).


(6)

11.Teman dekat penulis David M. Hutajulu yang juga memberi dukungan dan motivasi kepada penulis.

12.Abang, Kakak senior dan adik-adik junior Fisika FMIPA USU.

13.Teman – teman satu kos (Juliana S Situmeang, Ancela Simbolon, Nensi M. Panjaitan, dan Reka Simbolon).

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan – kekurangan baik dari segi isi, struktur kata, maupun tata bahasanya karena pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki penulis terbatas, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya.

Penulis

Tabitaria M. Sianipar 110801007


(7)

PENGARUH TEMPERATUR SINTERING TERHADAP SIFAT FISIS, MAGNET DAN MIKROSTRUKTUR DARI BaFe12O19 DENGAN ADITIF Al2O3

ABSTRAK

Telah diakukan pembuatan magnet permanen BaFe12O19 yang ditambahkan aditif

Al2O3 dengan variasi komposisi 1 dan 3 (%wt) mengggunakan metode mechanical

alloying dengan milling time 48 jam. Serbuk tersebut kemudian ditambahkan bahan perekat Poly Vinyl Alcohol (PVA) dan dicetak kering dengan tekanan 30 kg/cm2 (8 kG). Hasil cetakan berupa pelet dengan diameter rata-rata 20 mm x 3 mm. Selanjutnya dilakukan proses sintering dengan menggunakan vacuum furnace pada suhu 8000C, 9000C, 10000C, dan 1100oC yang ditahan selama 2 jam. Sampel yang telah disintering kemudian dikarakterisasi sifat fisis (bulk density, porositas, Linear Shrinkage), dianalisis struktur kristalnya dengan XRD dan Optical Microscope (OM), dimagnetisasi dan diukur kurva histerisisnya. Karakterisasi yang dilakukan meliputi sifat fisis yaitu densitas , porositas, dan Linear Shrinkage dengan metode Archimedes, dan analisa mikro struktur dengan menggunakan XRD dan OM. Sedangkan untuk analisis sifat magnet dengan menggunakan hasil pengukuran permagraph yang telah dimagnetisasi dengan Gaussmeter. Dari hasil pengukuran densitas dan porositas magnet BaFe12O19 dengan aditif Al2O3 menunjukkan bahwa nilai densitas cenderung

meningkat, porositas menurun sebanding dengan jumlah aditif Al2O3, dan Linear

Shrinkage meningkat. Dari hasil karakterisasi fisis diperoleh hasil yang terbaik yaitu pada milling time 48 jam dengan suhu 11000C pada komposisi 3 %wt, dengan nilai bulk density = 4,90 gr/cm3, porositas = 20,55%, dan Linear Shrinkage = 10,51%. Dari salah satu hasil analisa XRD menunjukkan bahwa telah terbentuk struktur kristal BaFe12O19 dan BaAlFe11O19, grainsize 15,7, memiliki Br = 3,22 kG dan Hc = 4.013

kOe.


(8)

EFFECT ON SINTERING TEMPERATURE PHYSICAL PROPERTIES, MAGNET AND MICROSTRUCTURE OF Al2O3 BaFe12O19 WITH ADDITIVES

ABSTRACT

Has waged manufacture permanent magnets BaFe12O19 with Al2O3 additive is added to

the composition variation 1 and 3 (wt%) use traditional methods of mechanical alloying by milling time of 48 hours. The powder is then added to the adhesive Poly Vinyl Alcohol (PVA) and dry printed with a pressure of 30 kg / cm2 (8 kG). The printed form of pellets with an average diameter of 20 mm x 3 mm. Sintering process is then performed using a vacuum furnace at a temperature of 8000C, 9000C, 10000C, and 11000C were held for 2 hours. Samples were then characterized sintering physical properties (bulk density, porosity, Linear Shrinkage), analyzed the crystal structure by XRD and Optical Microscope (OM), magnetized and measured curves histerisisnya. Characterization was conducted on the physical properties, namely density, porosity, and Linear Shrinkage by Archimedes method, and a micro-structure analysis using XRD and OM. As for the analysis of magnetic properties using permagraph measurement results that have been magnetized by the Gaussmeter. From the results of measurements of density and porosity magnet BaFe12O19 with Al2O3 additive shows

that the density values tend to increase, the porosity decreases in proportion to the amount of additive Al2O3, and Linear shrinkage increases. From the results of the

physical characterization is obtained the best results in milling time of 48 hours at a temperature of 11000C at 3% wt composition, with a bulk density = 4.90 g / cm3, porosity = 20.55%, and 10.51% Linear Shrinkage, From one of the results of XRD analysis showed that the crystal structure has been formed BaFe12O19 and

BaAlFe11O19, grainsize 15.7, has Br = 3.22 kG and Hc = 4.013 Koe.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak v

Abstrac vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x

Daftar Lampiran xi

Bab 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 4

1.3. Batasan Masalah 4

1.4. Tujuan Penelitian 4

1.5. Manfaat Penelitian 5

1.6. Sistematika Penulisan 5

Bab 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Magnet 6

2.2. Pengertian Medan Magnet 6

2.2.1. Momen Magnetik 7

2.2.2. Induksi Magnetik 7

2.2.3. Kuat Medan Magnetik 8

2.3. Macam-Macam Magnet 8

2.3.1. Magnet Permanen 8

2.3.2. Magnet Remanen 9

2.4. Magnet Keramik 9

2.5. Klasifikasi Material Magnetik 10

2.5.1. Diamagnetik 10

2.5.2. Paramagnetik 11

2.5.3. Ferromagnetik 11

2.6. Material Magnet Lunak dan Magnet Keras 12

2.7. Jenis Magnet Permanen 13

2.8. Magnet Permanen Ferrit 14

2.8.1. Barium Heksaferit 14

2.9. Alumina 16

2.9.1. Keramik Alumina 17

2.9.2. Kegunaan Keramik Alumina 18

2.9.3. Sifat-Sifat Alumina 18


(10)

2.10.1. Tahapan Sintering 20

2.11. Karakterisasi Material Magnet Permanen Barium Heksaferit 22

2.11.1. Sifat Fisis 22

2.11.1.1. Densitas 22

2.11.1.2. Porositas 23

2.11.1.3. Susut Bakar 24

2.11.2. Sifat Magnet 24

2.11.2.1. Permagraph 25

2.11.3. Analisa Struktur Kristal 25

2.11.3.1. XRD 25

2.11.3.2. OM 26

Bab 3 Metodologi Penelitian 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 27

3.2. Peralatan dan Bahan 27

3.2.1. Peralatan 27

3.2.2. Bahan Peneltian 28

3.3. Diagram Alir Percobaan 29

3.4. Proses Sintering 30

3.5. Magnetisasi 30

3.6. Karakterisasi Hasil 30

3.6.1. Uji Densitas 30

3.6.1.1. Bulk Density 30

3.6.2. Porositas 31

3.6.3. Susut Bakar 32

3.7. Sifat Magnet 33

3.7.1. Permagraph 33

3.8. Analisa Mikrostruktur 33

3.8.1. XRD 33

3.8.2. OM 34

Bab 4 Hasil dan Pembahasan 4.1. Karakterisasi Sifat Fisis 35

4.1.1. Hasil Karakterisasi Bulk Density, Porositas, dan Linear Shrinkage 35

4.2. Karakterisasi Mikrostruktur 40

4.2.1. Analisis XRD 41

4.2.2. Analisis OM 42

4.3. Karakterisasi Sifat Magnet 43

Bab 5 Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan 47

5.2. Saran 48


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Sifat-Sifat Fisis Alumina 17

Tabel 2.2. Sifat-Sifat Keramik Alumina 18

Tabel 4.1. Data Hasil Pengujian Densitas 35

Tabel 4.2. Data Hasil Pengujian Porositas 37

Tabel 4.3. Data Hasil Pengujian Linear Shrinkage 39

Tabel 4.4. Data Hasil Pengujian Permagraph 44

Tabel 4.5. Data Pengujian kuat medan magnet paduan Barium Heksaferrite (BaFe12O19) Pada Komposisi 1% wt Al2O3 dan milling time 48 jam pada suhu 800 oC - 1100oC 44

Tabel 4.6. Data Pengujian kuat medan magnet paduan Barium Heksaferrite (BaFe12O19) Pada Komposisi 3% wt Al2O3 dan milling time 48 jam pada suhu 800 oC - 1100oC 46


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Orientasi momen magnetik bahan paramagnetic 11

Gambar 2.2. Histeresis Material Magnet 12

Gambar 2.3. Arah partikel pada magnet isotropi dan anisotropi 13

Gambar 2.4. Struktur kristal BaO.6Fe2O3 15

Gambar 3.1. Tahapan Penelitian Pembuatan Magnet Permanen Barium Heksaferit dengan Substitusi Al2O3 29

Gambar 4.1. Grafik Hubungan antara penambahan aditif Al2O3 terhadap nilai bulk density BaFe12O19 yang disinter pada suhu 800°C, 900°C, 1000 °C, 1100°C 36

Gambar 4.2. Grafik Hubungan antara penambahan aditif Al2O3 terhadap porositas dari BaFe12O19 yang disinter pada suhu 800oC, 900oC,1000 °C, dan 1100 °C 38

Gambar 4.3. Grafik Hubungan antara penambahan aditif Al2O3 terhadap linier shrinkage dari BaFe12O19 yang disinter pada suhu 800oC, 900oC,1000 °C, dan 1100 °C 40

Gambar 4.4. Grafik Hasil Pengujian XRD BaFe12O19 dengan suhu sintering 800oC,900oC,100oC,1100oC 41

Gambar 4.5. Hasil Mikroskop Optik Magnet Sinter Barium Heksaferit dengan Temperatur a. 800°C, b. 900°C, c. 10000C, d. 11000C dan perbesaran 40x 42

Gambar 4.6. Kurva Histerisis bahan Barium hexaferrite pada suhu sintering 1000 °C dengan aditif Al2O3 43

Gambar 4.7. Grafik Hubungan antara penambahan aditif Al2O3 terhadap nilai fluks magnetik dari paduan Al2O3 + BaFe12O19 yang disinter pada suhu 800°C - 1100 °C dengan milling time 48 jam 45

Gambar 4.8. Grafik Hubungan antara penambahan aditif Al2O3 terhadap nilai fluks magnetik dari paduan Al2O3 + BaFe12O19 yang disinter pada suhu 800°C - 1100 °C dengan milling time 48 jam 46


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Gambar Peralatan dan Bahan 52


(14)

PENGARUH TEMPERATUR SINTERING TERHADAP SIFAT FISIS, MAGNET DAN MIKROSTRUKTUR DARI BaFe12O19 DENGAN ADITIF Al2O3

ABSTRAK

Telah diakukan pembuatan magnet permanen BaFe12O19 yang ditambahkan aditif

Al2O3 dengan variasi komposisi 1 dan 3 (%wt) mengggunakan metode mechanical

alloying dengan milling time 48 jam. Serbuk tersebut kemudian ditambahkan bahan perekat Poly Vinyl Alcohol (PVA) dan dicetak kering dengan tekanan 30 kg/cm2 (8 kG). Hasil cetakan berupa pelet dengan diameter rata-rata 20 mm x 3 mm. Selanjutnya dilakukan proses sintering dengan menggunakan vacuum furnace pada suhu 8000C, 9000C, 10000C, dan 1100oC yang ditahan selama 2 jam. Sampel yang telah disintering kemudian dikarakterisasi sifat fisis (bulk density, porositas, Linear Shrinkage), dianalisis struktur kristalnya dengan XRD dan Optical Microscope (OM), dimagnetisasi dan diukur kurva histerisisnya. Karakterisasi yang dilakukan meliputi sifat fisis yaitu densitas , porositas, dan Linear Shrinkage dengan metode Archimedes, dan analisa mikro struktur dengan menggunakan XRD dan OM. Sedangkan untuk analisis sifat magnet dengan menggunakan hasil pengukuran permagraph yang telah dimagnetisasi dengan Gaussmeter. Dari hasil pengukuran densitas dan porositas magnet BaFe12O19 dengan aditif Al2O3 menunjukkan bahwa nilai densitas cenderung

meningkat, porositas menurun sebanding dengan jumlah aditif Al2O3, dan Linear

Shrinkage meningkat. Dari hasil karakterisasi fisis diperoleh hasil yang terbaik yaitu pada milling time 48 jam dengan suhu 11000C pada komposisi 3 %wt, dengan nilai bulk density = 4,90 gr/cm3, porositas = 20,55%, dan Linear Shrinkage = 10,51%. Dari salah satu hasil analisa XRD menunjukkan bahwa telah terbentuk struktur kristal BaFe12O19 dan BaAlFe11O19, grainsize 15,7, memiliki Br = 3,22 kG dan Hc = 4.013

kOe.


(15)

EFFECT ON SINTERING TEMPERATURE PHYSICAL PROPERTIES, MAGNET AND MICROSTRUCTURE OF Al2O3 BaFe12O19 WITH ADDITIVES

ABSTRACT

Has waged manufacture permanent magnets BaFe12O19 with Al2O3 additive is added to

the composition variation 1 and 3 (wt%) use traditional methods of mechanical alloying by milling time of 48 hours. The powder is then added to the adhesive Poly Vinyl Alcohol (PVA) and dry printed with a pressure of 30 kg / cm2 (8 kG). The printed form of pellets with an average diameter of 20 mm x 3 mm. Sintering process is then performed using a vacuum furnace at a temperature of 8000C, 9000C, 10000C, and 11000C were held for 2 hours. Samples were then characterized sintering physical properties (bulk density, porosity, Linear Shrinkage), analyzed the crystal structure by XRD and Optical Microscope (OM), magnetized and measured curves histerisisnya. Characterization was conducted on the physical properties, namely density, porosity, and Linear Shrinkage by Archimedes method, and a micro-structure analysis using XRD and OM. As for the analysis of magnetic properties using permagraph measurement results that have been magnetized by the Gaussmeter. From the results of measurements of density and porosity magnet BaFe12O19 with Al2O3 additive shows

that the density values tend to increase, the porosity decreases in proportion to the amount of additive Al2O3, and Linear shrinkage increases. From the results of the

physical characterization is obtained the best results in milling time of 48 hours at a temperature of 11000C at 3% wt composition, with a bulk density = 4.90 g / cm3, porosity = 20.55%, and 10.51% Linear Shrinkage, From one of the results of XRD analysis showed that the crystal structure has been formed BaFe12O19 and

BaAlFe11O19, grainsize 15.7, has Br = 3.22 kG and Hc = 4.013 Koe.


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Bahan magnet permanen telah banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang. Penggunaan gelombang elektromagnetik telah meluas diberbagai bidang antara lain telekomunikasi, militer maupun sipil. Pesatnya peningkatan serta kecenderungan pergesaran frekuensi ke ranah Gigahertz (GHz) menjadikan material penyerap gelombang (microwave absorber) sebagai topik penting. Pengembangan material penyerap gelombang terpusat pada dua hal yakni sebagai penangkal interferensi gelombang elektromagnetik (Electromagnetic Interference/EMI) dan sebagai (Radar Absorbing Material / RAMs) (Siregar,Seri D, 2013).

Ferit berbasis bahan magnetik, terutama BaFe O dan SrFe O adalah bahan awal yang paling banyak digunakan sebagai magnet permanen. Hal tersebut disebabkan karena kedua bahan tersebut memiliki stabilitas kimia yang sangat baik dan relatif murah untuk diproduksi. Sifat magnetik, terutama koersivitas pada magnet permanen, sangat tergantung pada ukuran butir. Bahan koersivitas tinggi memiliki kristalit lebih kecil dari domain magnetik (sekitar 1 ). Demikian juga halnya pada produk keramik paduan BaFe12O19 dengan Al2O3 yang mempunyai sifat fisis antara lain

densitas (bulk density), porositas (porosity), shrinkage yang erat kaitannya dengan komposisi bahan, ukuran butir bahan, cara memproses, temperatur sintering, dan waktu pembakaran (Siregar,Seri D, 2013).

Keramik Al2O3 umumnya mempunyai fase corundum (α- Al2O3) dengan struktur

tumpukan padat hexagonal (Hexagonal Closed Packed, HCP). Keunggulan Alumina antara lain mempunyai titik leleh tinggi (20500C), stabil hingga temperature 17000C, kekuatan mekanik yang tinggi, keras, penghantar panas yang baik, sebagai isolator listrik dan tahan terhadap korosi (Syahwin, 2008).


(17)

Pada penelitian ini dilakukan pembuatan magnet permanen berbasis keramik magnet BaFe12O19 yang nantinya dapat diaplikasi untuk kebutuhan elektronik.

(Kharismayanti, 2013).

Pada penelitian ini pembuatan magnet permanen berbasis Barium Heksaferit atau BaFe12O19 yang merupakan bahan material hard magnet. Magnet ada dua

macam, yaitu soft magnetic dan hard magnetic (Kharismayanti, 2013).

Soft magnetic (magnet lunak) hanya memiliki sifat kemagnetan sementara yaitu bila diberi medan induksi luar H, setelah medan induksi tersebut dihilangkan sifat kemagnetannya juga hilang. Material magnet lunak mempunyai koersivitas 1 kA/m. Sedangkan bahan hard magnetic (magnet keras) memiliki sifat kemagnetan yang permanen meskipun medan induksi dihilangkan dan mempunyai koersivitas magnet permanen diatas 10 kA/m (Muh, Arianto 2001). Magnet permanen dapat dibuat dari bahan keramik berbasis oksida besi seperti: feroxdure SrO.6(Fe2O3) dan Barium Heksa ferrite BaO.6Fe2O3. Bahan magnet tersebut memiliki kemampuan menghasilkan remanensi magnet (BH) maksimal sampai: 3-20 MGOe. Magnet permanen berbasis BaO.6Fe2O3 dibuat dengan ukuran butiran sekitar 1 – 2 μm dan dibakar pada suhu sintering sekitar 1250 – 1300oC.

Aplikasi magnet ferrite umumnya banyak dipergunakan sebagai komponen loudspeaker, motor listrik, holder, microphone, dan lain-lain. Sifat-sifat kemagnetan permanen magnet (hard ferrite) dipengaruhi oleh kemurnian bahan, ukuran butir (grain size), kepadatan (densitas) dan orientasi kristal. Tahapan proses dalam pembuatan magnet permanen ferrite yang dapat memberikan pengaruh terhadap sifat-sifat dari magnet permanen adalah: proses preparasi serbuk untuk menghasilkan serbuk dengan morfologi yang homogeneus, dan proses pemadatan pada suhu tinggi (proses sintering). Suhu sintering sangat bergantung sekali pada jenis materialnya, umumnya mendekati titik leburnya. Barium hexaferrite BaO.6Fe2O3 umumnya disinterring pada suhu tinggi 13000C dengan besar ukuran partikel antara 1 -2 μm memiliki kekuatan magnet maksimum hanya sampai 2000 – 3000 Gauss (Afza, Erini. 2001).


(18)

Sedangkan magnet permanen BaO.6Fe2O3 dengan ukuran partikel sekitar 80 – 100 nm memiliki kekuatan magnet bisa mencapai 4000 Gauss, dengan suhu sintering kurang dari 10000C (Afza, Erini. 2001).

Pada penelitian-penelitian sebelumnya telah banyak dianalisa pengaruh suhu kalsinasi, besarnya tekanan kompaksi maupun suhu sintering, maka pada penelitian ini akan difokuskan pada tahapan setelah kompaksi yaitu proses sintering (Ratih, A.1988).

Proses sintering dalam pembuatan magnet permanen berbasis BaFe12O19 adalah

salah satu yang terpenting yang dapat mempengaruhi sifat dan kualitas magnet permanen yang dihasilkan.

Pensinteran adalah proses aglomerasi utama untuk hampir semua jenis keramik (kecuali gelas), untuk membuat produk-produk logam serbuk dan untuk mengikat material polimerik tertentu (misalnya teflon). tanpa adanya cairan sama dengan prinsip pertumbuhan butir, yaitu pengurangan energi permukaan dan energi batas, sehingga akan meminimalkan daerah batas.

Salah satunya keramik Al2O3 yang tergolong keramik oksida. Oleh karena itu

dalam pembuatan keramik alumina yang padat dan kuat diperlukan suhu pembakaran/sintering yang mendekati titik leburnya yaitu sekitar 1800-1900oC. Beberapa cara yang dapat mengurangi suhu sintering keramik alumina antara lain : memperkecil ukuran butiran hingga ukuran nano, atau menambahkan bahan aditif yang memiliki titik lebur yang rendah dari alumina (Nerrus, T.2006).


(19)

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Pengaruh temperatur sintering terhadap sifat fisis (bulk density, dan porositas) dari BaFe12O19 dengan aditif Al2O3

2. Pengaruh temperatur sintering terhadap magnetic flux density, kurva histerisis dari BaFe12O19 dengan aditif Al2O3

3. Pengaruh temperatur sintering terhadap mikrostruktur dari BaFe12O19

dengan aditif Al2O3.

1.3 BATASAN MASALAH

1. Sampel yang digunakan adalah BaFe12O19 + Al2O3.

2. Variasi Komposisi Al2O3 : 1 dan 3 (% wt)

3. Waktu milling 48 jam

4. Variasi Temperatur sintering : 8000C, 9000C, 10000C dan 11000C (holding time 2 jam).

5. Pengujian : Bulk Density, Porositas, Linier Shrinkage, Magnetic Flux Density, XRD, OM, Permagraph.

1.4 TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui Pengaruh temperatur sintering terhadap sifat fisis dari BaFe12O19 dengan aditif Al2O3.

2. Mengetahui Pengaruh temperatur sintering terhadap magnetic flux density, kurva histeresis dari BaFe12O19 dengan aditif Al2O3.

3. Mengetahui Pengaruh temperatur sintering terhadap mikrostruktur dari BaFe12O19 dengan aditif Al2O3.


(20)

1.5 MANFAAT PENELITIAN

Dari penelitian ini diharapkan dapat :

1. Memberikan informasi pembuatan magnet keramik campuran Barium heksaferit dengan aditif Alumina.

2. Menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya.

1.6 SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan penelitian ini dibuat sesuai urutan bab serta isinya yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut :

BAB 1 Pendahuluan

Pada bab ini berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB 2 Teori Dasar

Pada bab ini membahas tentang landasan teori yang menjadi acuan untuk proses pengambilan data, analisa data serta pembahasan, berisi materi – materi pendukung penelitian yang terdiri atas : kemagnetan bahan, histerisis magnet, sifat – sifat magnet.

BAB 3 Metode Penelitian

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai tempat penelitian, alat dan bahan yang digunakan, serta langkah kerja yang dilakukan dalam penelitian ini.

BAB 4 Hasil dan Pembahasan

Pada bab ini berisi tentang hasil– hasil penelitian dan pembahasannya. BAB 5 Kesimpulan dan Saran

Penutup berisi tentang kesimpulan hasil penelitian yang telah dilakukan serta saran-saran yang berkaitan dengan hasil kesimpulan penelitian.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Magnet

Magnet atau magnit adalah suatu obyek yang mempunyai suatu medan magnet. Magnet dapat dibuat dari bahan besi, baja, dan campuran logam serta telah banyak dimanfaatkan untuk industri otomotif dan lainnya. Sebuah magnet terdiri atas magnet-magnet kecil yang memiliki arah yang sama (tersusun teratur), magnet-magnet- magnet-magnet kecil ini disebut magnet elementer. Pada logam yang bukan magnet, magnet elementernya mempunyai arah sembarangan (tidak teratur) sehingga efeknya saling meniadakan, yang mengakibatkan tidak adanya kutub-kutub magnet pada ujung logam. Setiap magnet memiliki dua kutub, yaitu: utara dan selatan. Kutub magnet adalah daerah yang berada pada ujung-ujung magnet dengan kekuatan magnet yang paling besar berada pada kutub-kutubnya (Siregar, Seri D. 2013).

Magnet dapat menarik benda lain, beberapa benda bahkan tertarik lebih kuat dari yang lain, yaitu bahan logam. Namun tidak semua logam mempunyai daya tarik yang sama terhadap magnet. Besi dan baja adalah dua contoh materi yang mempunyai daya tarik yang tinggi oleh magnet. Sedangkan oksigen cair adalah contoh materi yang mempunyai daya tarik yang rendah oleh magnet. Satuan intensitas magnet menurut sistem metrik Satuan Internasional (SI) adalah Tesla dan SI unit untuk total fluks magnetik adalah weber (1 weber/m2 = 1 tesla) yang mempengaruhi luasan satu meter persegi (Theresya, 2014).

2.2 Pengertian Medan Magnet

Medan magnet adalah daerah disekitar magnet yang masih merasakan adanya gaya magnet. Jika sebatang magnet diletakkan dalam suatu ruang, maka terjadi perubahan dalam ruang ini yaitu dalam setiap titik dalam ruang akan terdapat medan magnetik.


(22)

Arah medan magnetik di suatu titik didefenisikan sebagai arah yang ditunjukkan oleh kutub utara jarum kompas ketika ditempatkan pada titik tersebut.

2.2.1 Momen Magnetik

Bila terdapat dua buah kutub magnet yang berlawanan + m dan m terpisah sejauh l, maka besarnya momen magnetiknya ( ⃑⃑ ) adalah:

⃑⃑ = mlrˆ (2.1)

dengan ⃑⃑ adalah sebuah vektor dalam arah vektor unit rˆ berarah dari kutub negativ ke kutub positif. Arah momen magnetik dari atom bahan non magnetik adalah acak sehingga momen magnetik resultannya menjadi nol. Sebaliknya di dalam bahan-bahan magnetik, arah momen magnetik atom-atom bahan itu teratur sehingga momen magnetik resultan tidak nol. Momen magnet mempunyai satuan dalam cgs adalah gauss.cm3 atau emu dan dalam SI mempunyai satuan A. m2.

2.2.2 Induksi Magnetik

Definisi induksi magnet, Induksi magnet adalah kuat medan magnet akibat adanya arus listrik yang mengalir dalam konduktor. Adanya kuat medan magnetic disekitar konduktor berarus listrik diselidiki pertama kali oleh Hans Christian (Denmark, 1774 – 1851). Jika jarum kompas diletakkan sejajar dengan konduktor itu dialiri arus listrik. Bila arah arus dibalik, maka penyimpangannya juga berbalik.

Suatu bahan magnetik yang diletakkan dalam medan luar ⃑⃑⃑ akan menghasilkan medan tersendiri ⃑⃑⃑ yang menigkatkan nilai total medan magnetic bahan tersebut. Induksi magnetik yang didefinisikan sebagai medan total bahan ditulis sebagai :

⃑ = ⃑⃑ + ⃑⃑⃑ (2.2)

Hubungan medan sekunder ⃑⃑⃑ = 4 ⃑⃑ , satuan ⃑ dalam cgs adalah gauss, sedangkan dalam geofisika eksplorasi dipakai satuan gamma (g) dan dalam SI adalah tesla (T) atau nanoTesla (nT).


(23)

2.2.3 Kuat Medan Magnetik

Kuat medan magnetik disuatu titik adalah gaya magnetik yang dialami tiap satu - satuan kuat kutub magnet utara disuatu titik yang berada didalam medan magnetik magnet lain. Kuat medan magnetik yang disebabkan oleh arus listrik disebut dengan induksi magnetik.

Kuat medan magnet ⃑⃑ pada suatu titik yang berjarak r dari m1 didefinisikan sebagai gaya persatuan kuat kutub magnet, dapat dituliskan sebagai :

⃑⃑ =

=

(oersted) (2.3)

Dengan :

F = Gaya (Newton)

⃑⃑ = Kuat medan magnet luar (Gauss)

m1,m2 = Kuat kutub magnet 1 dan 2 (Ampere meter)

r1,r2 = Jarak titik ke kutub magnet

= Permeabilitas ruang hampa (4 x 10-7 H/m) / udara (1 H/m) (Afza, Erini. 2001).

2.3 Macam – Macam Magnet

Berdasarkan sifat kemagnetannya magnet dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

2.3.1 Magnet Permanen

Suatu magnet permanen harus mampu menghasilkan fluks magnet yang tinggi dari suatu volume magnet tertentu, stabilitas magnetik yang baik terhadap efek temperatur dan waktu, serta memiliki ketahanan yang tinggi terhadap pengaruh demagnetisasi. Pada prinsipnya, suatu magnet permanen haruslah memiliki karakteristik minimal dengan sifat kemagnetan remanen, Br dan koersivitas intrinsik, Hc serta temperatur Curie, Tc yang tinggi. (Azwar Manaf, 2013)


(24)

2.3.2 Magnet Remanen

Magnet remanen adalah suatu bahan yang hanya dapat menghasilkan medan magnet yang bersifat sementara. Medan magnet remanen dihasilkan dengan cara mengalirkan arus listrik atau digosok-gosokkan dengan magnet alam. Bila suatu bahan pengantar dialiri arus listrik, besarnya medan magnet yang dihasilkan tergantung pada besar arus listrik yang dialirkan. Medan magnet remanen yang digunakan dalam praktek kebanyakan dihasilkan oleh arus dalam kumparan yang berinti besi. Agar medan magnet yang dihasilkan cukup kuat, kumparan diisi dengan besi atau bahan sejenis besi dan sistem ini dinamakan electromagnet. Keuntungan electromagnet adalah bahwa kemagnetannya dapat dibuat sangat kuat, tergantung dengan arus yang dialirkan. Dan kemagnetannya dapat dihilangkan dengan memutuskan arus listriknya (Afza, Erini. 2001).

2.4 Magnet Keramik

Bahan keramik yang bersifat magnetik umumnya adalah golongan ferit,yang merupakan oksida yang disusun oleh hematit sebagai komponen utamanya. Ferit juga dikenal dengan magnet keramik yang biasanya diaplikasikan sebagai magnet permanen. Magnet ini mampu menghasilkan medan magnet tanpa harus di berikan arus listrik terlebih dahulu (Simbolon, Silviana, 2013).

Ferrites adalah senyawa kimia yang terdiri dari keramik bahan dengan besi (III) oksida (Fe2O3) sebagai komponen utama. Bahan ini digunakan untuk membuat magnet permanen, seperti core ferit untuk transformator, dan berbagai aplikasi lain. Ferit keras banyak digunakan dalam komponen elektronik, diantaranya motor-motor DC kecil, pengeras suara (loud speaker), meteran air, KWH-meter, telephone receiver ,circulator , dan rice cooker (Theresya, 2014).

Magnet permanen ini juga menghasilkan medan yang konstan tanpa mengeluarkan daya yang kontinyu (Darminto, 2011).Magnet dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu, soft magnetic (magnet lunak) adalah merupakan suatu sifat


(25)

bahan yang akan berubah dan sifat magnetnya akan hilang bila arus dilepaskan. Sedangkan bahan hard magnetic (magnet keras) merupakan suatu sifat bahan yang sengaja dibuat bersifat magnet permanen (priyono,2011).

2.5 Klasifikasi Material Magnetik

Material magnetik adalah material yang mempunyai sifat magnetik. Sifat magnetik adalah fenomena suatu bahan menarik atau menolak material lain yang berada di dekatnya. Berdasarkan nilai suseptibilitas material magnetik dibedakan menjadi 3 yaitu diamagnetik, paramagnetik, dan ferromagnetik (Theresya, 2014).

2.5.1 Diamagnetik

Bahan diamagnetik merupakan bahan yang memiliki nilai suseptibilitas negatif dan sangat kecil. Sifat diamagnetik ditemukan oleh Faraday pada tahun 1846 ketika sekeping bismuth ditolak oleh kedua kutub magnet, hal ini memperlihatkan bahwa medan induksi dari magnet tersebut menginduksi momen magnetik pada bismuth pada arah berlawan dengan medan induksi pada magnet (Tipler, 2001).

Bahan diamagnetik tidak mempunyai momen dipol magnet permanen. Jika bahan diamagnetik dibalik diberi medan magnet luar, maka elektron-elektron dalam atom akan berubah gerakannya sedemikian hingga menghasilkan resultan medan magnet atomis yang arahnya berlawanan. Sifat diamagnetik bahan ditimbulkan oleh gerak orbital elektron sehingga semua bahan bersifat diamagnetik karena atomnya mempunyai elektron orbital. Bahan dapat bersifat magnet apabila susunan atom dalam bahan tersebut mempunyai spin elektron yang tidak berpasangan. Dalam bahan diamagnetik hampir semua spin elektron berpasangan, akibatnya bahan ini tidak

menarik garis gaya. Permeabilitas bahan diamagnetik adalah μ < μ0 dan susepbtibilitas

magnetiknya < 0. Contoh bahan diamagnetik yaitu bismut, perak, emas, tembaga dan seng. ( J.D. Kraus, 1988).


(26)

2.5.2 Paramagnetik

Material paramagnetik mempunyai nilai suseptibilitas positif di mana magnetisasi M paralel dengan medan luar. Material yang termasuk dalam paramagnetik adalah logam transisi dan ion logam tanah jarang (rare-earth ions). Ion-ion ini mempunyai kulit atom yang tidak terisi penuh yang berisi momen magnet permanen. Momen magnet permanen terjadi karena adanya gerak orbital dan elektron (Theresya, 2014).

Setiap elektron berperilaku seperti magnet kecil yang pada medan magnet memiliki salah satu orientasi yaitu searah atau berlawanan arah dengan medan magnet tergantung dengan arah spin elektron. Ketika tidak ada medan luar orientasi momen magnet acak, tetapi ketika medan luar diterapkan maka orientasi momen magnetik sebagian mengarah ke medan luar.

Gambar 2.1 Orientasi momen magnetik bahan paramagnetic (a) Tanpa adanya medan luar, (b) Dengan adanya medan luar (Theresya, 2014)

Dalam bahan ini hanya sedikit spin elektron yang tidak berpasangan, sehingga bahan ini sedikit menarik garis-garis gaya. Dalam bahan paramagnetik, medan B yang dihasilkan akan lebih besar dibanding dengan nilainya dalam hampa udara. Suseptibilitas magnet dari bahan paramagnetik adalah positif dan berada dalam rentang 10-5 sampai 10-3 m3/Kg, sedangkan permeabilitasnya adalah μ > μ 0. Contoh bahan paramagnetik : alumunium, magnesium dan wolfram (Theresya, 2014).

2.5.3 Ferromagnetik

Ferromagnetik merupakan bahan yang memiliki nilai suseptibilitas magnetik positif yang sangat tinggi. Dalam bahan ini sejumlah kecil medan magnetik luar dapat menyebabkanderajat penyearahan yang tinggi pada momen dipol magnetik atomnya.


(27)

Dalam beberapa kasus, penyearahan ini dapat bertahan sekalipun medan kemagnetannya telah hilang. Hal ini terjadi karena momen dipol magnetik atom dari bahan – bahan ferromagnetik ini mengarahkan gaya – gaya yang kuat pada atom disebelahnya. Sehingga dalam daerah ruang yang sempit, momen ini disearahkan satu sama lain sekalipun medan luarnya tidak ada lagi. Daerah ruang tempat momen dipol magnetik yang disearahkan ini disebut daerah magnetik. Dalam daerah ini, semua momen magnetik disearahkan, tetapi arah penyearahnya beragam dari daerah sehingga momen magnetik total dari kepingan mikroskopi bahan ferromagnetik ini adalah nol dalam keadaan normal (Tipler, 1991).

2.6 Material Magnet Lunak dan Magnet Keras

Material magnetik diklasifikasikan menjadi dua yaitu material magnetik lemah atau soft magnetic materials maupun material magnetik kuat atau hard magnetic materials. Penggolongan ini berdasarkan kekuatan medan koersifnya dimana soft magnetic atau material magnetik lemah memiliki medan koersif yang lemah sedangkan material magnetik kuat atau hard magnetic materials memiliki medan koersif yang kuat. Hal ini lebih jelas digambarkan dengan diagram histerisis atau hysteresis loop sebagai loop.


(28)

Diagram histeresis diatas menunjukkan kurva histeresis untuk material magnetic lunak pada gambar (a) dan material magnetik keras pada gambar (b). H adalah medan magnetik yang diperlukan untuk menginduksi medan berkekuatan B dalam material. Setelah medan H ditiadakan, dalam specimen tersisa magnetisme residual Br, yang disebut residual remanen, dan diperlukan medan magnet Hc yang disebut gaya koersif, yang harus diterapkan dalam arah berlawanan untuk meniadakannya. Magnet lunak mudah dimagnetisasi serta mudah pula mengalami demagnetisasi, seperti tampak pada Gambar 2.2 Nilai H yang rendah sudah memadai untuk menginduksi medan B yang kuat dalam logam, dan diperlukan medan Hc yang kecil untuk menghilangkannya. Magnet keras adalah material yang sulit dimagnetisasi dan sulit di demagnetisasi. Karena hasil kali medan magnet (A/m) dan induksi (V.det/m2) merupakan energi per satuan volume, luas daerah hasil integrasi di dalam loop histerisis adalah sama dengan energi yang diperlukan untuk satu siklus magnetisasi mulai dari 0 sampai +H hingga – H sampai 0. energi yang dibutuhkan magnet lunak dapat dapat diabaikan; medan magnet keras memerlukan energi lebih banyak sehingga pada kondisi-ruang, demagnetisasi dapat diabaikan. Dikatakan, magnetisasi permanen (Afza, Erini. 2001).

2.7 Jenis Magnet Permanen

Produk magnet permanen ada dua macam berdasarkan teknik pembuatannya yaitu magnet permanen isotropi dan magnet permanen anisotropi.

Gambar 2.3 Arah partikel pada magnet isotropi dan anisotropi (a) Arah partikel acak (Isotrop) (b) Arah partikel searah (Anisotrop) [Masno G, dkk, 2006].

Magnet permanen isotropi magnet dimana pada proses pembentukkan arah domain magnet partikel-partikelnya masih acak, sedangkan yang anisotropi pada


(29)

pembentukkan dilakukan di dalam medan magnet sehingga arah domain magnet partikel-partikelnya mengarah pada satu arah tertentu seperti ditunjukkan pada gambar 2.3 untuk membedakan isotropi dan anisotropi. Magnet permanen isotropi memiliki sifat magnet atau remanensi magnet yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan magnet permanen anisotropi.

2.8 Magnet Permanen Ferrit

Magnet permanen ferrit juga dikenal sebagai magnet keramik dikembangkan pada tahun 1950-an sebagai suatu hasil dari teori Stoner – Wohlfarth yang mengindikasikan bahwa koersivitas dari sistem pada partikel bidang tunggal sebanding terhadap anisotropi.

Magnet ferrit yang banyak dipakai yaitu Barium Ferrit BaO.6 (Fe2O3)

disamping SrO.6 (Fe2O3) dan PbO.6 (Fe2O3). Magnet Ferrit mempunyai sifat mekanik

yang kuat dan tidak mudah terkorosi. Disamping itu magnet ferrit mempunyai koersivitas yang tinggi dengan tingkat kestabilan yang tinggi terhadap pengaruh medan luar serta temperatur (Culity, 1972).

2.8.1 Barium Heksaferit

Material magnet oksida BaO(6Fe2O3) merupakan jenis keramik yang banyak dijumpai disamping material magnet lain, seperti SrO.6(Fe2O3) dan PbO.6(Fe2O3). Pengembangan material BaFe12O19 (M-type feritte hexagonal) sebagai bahan magnetik sangat dibutuhkan dalam berbagai bidang aplikasi, karena memiliki karakteristik : temperatur Curie yang relative tinggi, nilai koersifitas, saturasi magnetik dan anisotropi magnetik tinggi pula serta stabilitas kimia yang sangat baik (Simbolon, Silviana, 2013).

Salah satu aplikasi material magnet permanen barium heksaferit yang menjadi perhatian saat ini adalah sebagai alat penyerap gelombang mikro (RAM). Hal ini karena sifat istrik dan magnetik dari material ferrimagnetik ini sangat mendukung dalam aplikasi tersebut, yaitu memiliki permeabilitas dan resistivitas yang tinggi.


(30)

Material oksida magnet tersebut memiliki sifat mekanik yang sangat kuat dan tidak mudah terkorosi. Namun material tersebut sangat rentan terhadap proses perlakuan panas sehingga mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dan memiliki dampak negatif terhadap sifat kemagnetan, tetapi proses ini tidak dapat dihindarkan dalam proses metallurgi serbuk untuk membuat magnet menjadi kuat dan dapat dimanfaatkan dalam teknologi (Simbolon, Silviana, 2013).

Barium hexa Ferrite BaO.6Fe2O3 yang memiliki parameter kisi a = 5,8920 Angstrom, dan c = 23,1830 Angstrom. Gambar struktur kristal barium hexa Ferrite BaO.6Fe2O3 diperlihatkan pada gambar 2.3

Gambar 2.4. Struktur kristal BaO.6Fe2O3 [Moulson A.J, et all., 1985].

Barium heksaferit dapat disintesa dengan beberapa metoda seperti kristalisasi gas, presipitasi hidrotermal, sol-gel, aerosol, copresipitasi dan pemaduan mekanik. Diantara metoda ini pemaduan/gerus mekanik adalah ekonomis karena ketersediaan bahan baku secara komersial dan relatif murah. Selain itu, penanganan material


(31)

relative sederhana untuk proses pemaduan mekanik dan produksi skala besar dapat diimplementasikan dengan mudah.

2.9 Alumina

Alumina merupakan persenyawaan kimia antara logam aluminium dengan oksigen (Al2O3). Alumina di alam ditemukan dalam bentuk bauksit. Alumina merupakan

bahan baku utama dalam proses elektrolisa aluminium. Aluminia mempunyai morfologi sebagai bubuk berwarna putih denagn berat molekul 102, titik leleh pada 2050oC, dan spesifikasi gravity 3,5 - 4,0.

Dalam industri peleburan alumina memegang 3 fungsi penting yaitu: 1. Sebagai bahan baku utama dalam memproduksi aluminium.

2. Sebagai insulasi ternal untuk mengurangi kehilangan panas dari atas tungku reduksi, dan untuk mempertahankan temperatu operasi.

3. Melindungi anoda dari oksidasi udara. (Cyntia Ayu, 2011)

Satu-satunya oksida aluminium adalah alumina (Al2O3). Meskipun demikian,

kesederhanaan ini diimbangi dengan adanya bahan-bahan polimorf dan terhidrat yang sifatnya bergantung kepada kondisi pembuatannya. Terdapat dua bentuk anhidrat Al2O3 yaitu α-Al2O3 dan -Al2O3. Logam-logam trivalensi lainnya (misalnya Ga, Fe)

membentuk oksida-oksida yang mengkristal dalam kedua struktur yang sama. Keduanya mempunyai tatanan terkemas rapat ion-ion oksida tetapi berbeda dalam tatanan kation-kationnya.

α-Al2O3 stabil pada suhu tinggi dan juga metastabil tidak terhingga pada suhu

rendah. Ia terdapat di alam sebagai mineral korundum dan dapat dibuat dengan pemanasan -Al2O3 atau oksida anhidrat apa pun di atas 1000o. -Al2O3 diperoleh

dengan dehidrasi oksida terhidrat pada suhu rendah (~450o). α-Al2O3 keras dan tahan

terhadap hidrasi dan penyerapan asam. -Al2O3 mudah menyerap air dan larut dalam

asam; alumina yang digunakan untuk kromatografi dan diatur kondisinya untuk berbagai kereaktifan adalah -Al2O3. (Max Well, 1968).


(32)

Tabel 2.1 Sifat-Sifat Fisis Alumina Al2O3

No Sifat Fisis Satuan

Jenis-jenis Alumina

Catatan Sandy

-Al2O3

Floury

α-Al2O3

1 Al2O3 % 5 90 Sinar-X

2 Berat Jenis gr/cm3 3,5 3,9

3 Sudut Letak Derajat 30 40 1100o

4 Permukaan Letak M2 42 2

5 Densitas Bebas gr/cm3 1,1 0,8

6 Densitas Terikat gr/cm3 1,3 1,0

7 Kehilangan dalam

Pemijaran % 1,8 0,2

(Burkin A.R, 1987)

2.9.1 Keramik Alumina

Alumina adalah senyawa yang terdiri dari senyawa aluminium dan oksigen sehingga alumina disebut juga senyawa oksida logam. Keramik alumina yang sering digunakan umumnya mempunyai fasa corundum ( – Al2O3) dengan struktur tumpukan padat

heksagonal ( Hexagonal Closed Packed, HCP ).

Keunggulan alumina antara lain : mempunyai titik lebur tinggi (20500C), stabil digunakan hingga suhu 17000C, kekuatan mekaniknya tinggi, keras, penghantar panas yang baik, sebagai isolator listrik dan tahan terhadap korosi. Karena titik leburnya


(33)

tinggi maka proses densifikasi dari material ini juga membutuhkan suhu sintering yang relatif tinggi (0.85 x titik lebur = 17500C) (Kaston, S 2007).

Tabel 2.2 Sifat-Sifat Keramik Alumina Al2O3

Parameter Al2O3

Densitas, gr/cm3 3,96

Koefisien termal ekspansi, oC-1 (8-9) x 10-6

Kekuatan Patah, Mpa 350

Sifat daya hantar panas Konduktor Kekerasan (Hv), kgf/mm2 1500-1800

Titik lebur, oC 2050

Ketangguhan, Mpa m1/2 4,9

(Awan Maghfirah, 2007)

2.9.2 Kegunaan Keramik Alumina

Keramik alumina kegunaannya cukup luas sekali yaitu digunakan dibidang mekanik (bearing, cutting tools, pelapis bagian dalam pompa (inner linning), di bidang elektronik (bahan isolator listrik, substrat elektronik), di bidang refraktori sebagai bahan tahan panas pada tungku pembakaran, di bidang medis sebagai biomaterial yang inert (Nerrus,T 2006).

2.9.3 Sifat – Sifat Alumina

Senyawa Al2O3 bersifat polimorfi yang diantaranya adalah struktur – Al2O3 dan -

Al2O3. Bentuk struktur lainnya adalah - Al2O3 yang merupakan alumina tidak murni. – Al2O3 merupakan bentuk struktur yang paling stabil pada suhu tinggi dan disebut


(34)

sebagai korundum. Struktur dasar Kristal korundum adalah struktur tumpukan padat heksagonal ( Hexagonal Closed Packed, HCP ). Kation (Al+3) menempati bagian dari sisipan octahedral sedangkan anion (O2-) menempati HCP (Worrall.W.E,1986).

Struktur - Al2O3 merupakan senyawa alumina yang stabil pada suhu kurang

dari 10000C dan pada umumnya lebih reaktif dibandingkan dengan struktur – Al2O3. (Nerrus,T 2006).

Pada umumnya kemurnian Al2O3 cukup tinggi (>90%) sehingga dapat

digunakan sebagai bahan keramik tembus cahaya. Sifat fisis dari keramik Al2O3

adalah Densitasnya 3,96 gr/cm3 (Nerrus,T 2006).

2.10 Sintering

Sintering adalah pengikatan massa partikel pada serbuk oleh interaksi antar molekul atau atom melalui perlakuan panas dengan suhu sintering mendekati titik leburnya sehingga terjadi pemadatan. Tahap sintering merupakan tahap yang paling penting dalam pembuatan keramik. Melalui proses sintering terjadi perubahan struktur mikro seperti pengurangan jumlah dan ukuran pori, pertumbuhan butir serta peningkatan densitas. Faktor-faktor yang menentukan proses dan mekanisme sintering antara lain jenis bahan, komposisi bahan dan ukuran partikel (Ika Mayasari, 2012). Selama fasa penaikan suhu dalam ishotermal sintering proses densifikasi dan perubahan mikrostruktur terjadi secara signifikan. Temperatur yang tinggi dapat mempercepat proses densifikasi, tetapi pertumbuhan butir juga meningkat. Jika temperatur sintering terlalu tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan abnormal sehingga dapat membatasi densitas akhir (Ika Mayasari, 2012).

Faktor-faktor yang menentukan proses dan mekanisme sintering antara lain : jenis bahan, komposisi, bahan pengotornya dan ukuran partikel. Jika telah diketahui jenis bahannya maka dapat ditentukan suhu sintering yang akan divariasikan yaitu 2/3 dari titik lebur masing – masing bahan sehingga dapat menghindari terjadinya deformasi sampel saat di sintering. Proses sintering berlangsung apabila :


(35)

A. Adanya transfer materi diantara butiran yang disebut proses difusi.

B. Adanya sumber energi yang dapat mengaktifkan transfer materi, energy tersebut digunakan untuk menggerakkan butiran hingga terjadi kontak da ikatan yang sempurna. Difusi adalah aktivitas termal yang berarti bahwa terdapat energy minimum yang dibutuhkan untuk pergerakan atom atau ion dalam mencapai energi yang sama atau diatas energi aktivitas untuk membebaskan dari letaknya semula dan bergerak ke tempat yang lain yang memungkinkannya. Energi untuk menggerakkan proses sintering disebut gaya dorong (drying force) yang ada hubungannya dengan energi

permukaan butiran (γ) 2.10.1 Tahapan Sintering

Tahapan sintering menurut Hirschorn, pada sampel yang telah mengalami kompaksi sebelumya, akan mengalami beberapa tahapan sintering sebagai berikut:

1. Ikatan mula antar partikel serbuk.

Saat sampel mengalami proses sinter, maka akan terjadi pengikatan diri. Proses ini meliputi difusi atom-atom yang mengarah kepada pergerakan dari batas butir. Ikatan ini terjadi pada tempat dimana terdapat kontak fisik antar partikel-partikel yang berdekatan. Tahapan ikatan mula ini tidak menyebabkan terjadinya suatu perubahan dimensi sampel. Semakin tinggi berat jenis sampel, maka akan banyak bidang kontak antar partikel, sehingga proses pengikatan yang terjadi dalam proses sinter juga semakin besar. Elemen-elemen pengotor yang masih terdapat, berupa serbuk akan menghalangi terjadinya proses pengikatan ini. Hal ini sisebabkan elemen pengotor akan berkumpul dipermukaan batas butir, sehingga akan mengurangi jumlah bidang kontak antar partikel.

2. Tahap pertumbuhan leher.

Tahapan kedua yang tejadi pada proses sintering adalah pertumbuhan leher. Hal ini berhubungan dengan tahap pertama, yaitu pengikatan mula antar partikel yang menyebabkan terbentuknya daerah yang disebut dengan leher (neck) dan leher ini akan terus berkembang menjadi besar selama proses sintering berlangsung.


(36)

Pertumbuhan leher tersebut terjadi karena adanya perpindahan massa, tetapi tidak mempengaruhi jumlah porositas yang ada dan juga tidak menyebabkan terjadinya penyusutan. Proses pertumbuhan leher ini akan menuju kepada tahap penghalusan dari saluran-saluran pori antar partikel serbuk yang berhubungan, dan proses ini secara bertahap.

3. Tahap penutupan saluran pori.

Merupakan suatu perubahan yang utama dari salam proses sinter. Penutupan saluran pori yang saling berhubungan akan menyebabkan perkembangan dan pori yang tertutup. Hal ini merupakan suatu perubahan yang penting secara khusus untuk pori yang saling berhubungan untuk pengangkutan cairan, seperti pada saringan-saringan dan bantalan yang dapat melumas sendiri. Salah satu penyebab terjadinya proses ini adalah pertumbuhan butiran. Proses penutupan saluran ini dapat juga terjadi oleh penyusutan pori (tahap kelima dari proses sinter), yang menyebabkan kontak baru yang akan terbentuk di antara permukaan-permukaan pori.

4. Tahapan pembulatan pori.

Setelah tahap pertumbuhan leher, material dipindahkan di permukaan pori dan pori tersebut akan menuju kedaerah leher yang mengakibatkan permukaan dinding tersebut menjadi halus. Bila perpindahan massa terjadi terus-menerus melalui daerah leher, maka pori disekitar permukaan leher akan mengalami proses pembulatan. Dengan temperatur dan waktu yang cukup pada saat proses sinter maka pembulatan pori akan lebih sempurna.

5. Tahap penyusutan

Merupakan tahap yang terjadi dalam proses sinter. Hal ini berhubungan dengan proses densifikasi (pemadatan) yang terjadi. Tahap penyusutan ini akan menyebabkan terjadinya penurunan volume, disisi lain sampel yang telah disinter akan mejadi lebih padat. Dengan adanya penyusutan ini kepadatan pori akan meningkat dan dengan sendirinya sifat mekanis dari bahan tersebut juga akan meningkat, khususnya kekuatan dari sampel setelah sinter.


(37)

Tahap penyusutan pori ini terjadi akibat pergerakan gas-gas yang terdapat di daerah pori keluar menuju permukaan. Dengan demikian tahap ini akan meningkatkan berat jenis yang telah disinter.

6. Tahap pengkasaran pori

Proses ini akan terjadi apabila kelima tahap sebelumnya terjadi dengan sempurna. Pengkasaran pori akan terjadi akibat adanya proses bersatunya lubang-lubang kecil dari pori sisa akan menjadi besar dan kasar. Jumlah total dari pori adalah tetap, tetapi volume pori berkurang dengan diimbangi oleh pembesaran pori tersebut. (Randall M. German, 1991).

2.11 Karakterisasi Material Magnet Permanen Barium Heksaferit 2.11.1 Sifat Fisis

2.11.1.1 Densitas

Densitas merupakan ukuran kepadatan dari suatu material atau Densitas didefenisikan sebagai massa per satuan volum. Jika suatu bahan yang materialnya homogen bermassa m memiliki volume v , densitasnya ρ adalah :

(gram/cm3) (2.4)

Secara umum, densitas suatu bahan tergantung pada faktor lingkungan seperti suhu dan tekanan (Siregar, Seri D. 2013).

Dalam pelaksanaannya kadang-kadang sampel yang diukur mempunyai ukuran bentuk yang tidak teratur sehingga untuk menentukan volumenya menjadi sulit, akibatnya nilai kerapatan yang diperoleh tidak akurat. Untuk menentukan rapat massa (bulk density) dari suatu bahan mengacu pada standar (ASTM C 373). Oleh karena itu untuk menghitung nilai densitas suatu material yang memiliki bentuk yang tidak teratur (bulk density) digunakan metode Archimedes yang persamaannya sebagai berikut :


(38)

Dimana :

ρ = Densitas sampel (g/cm3)

ρair = Densitas air (g/cm3)

= Massa sampel setelah dikeringkan di oven (g) = Massa sampel setelah direndam selama 10 menit (g)

2.11.1.2 Porositas

Porositas dapat didefenisikan sebagai perbandingan antara jumlah volume lubang-lubang kosong yang dimiliki oleh zat padat (volume kosong) dengan jumlah dari volume zat padat yang ditempati oleh zat padat. Porositas pada suatu material dinyatakan dalam persen (%) rongga fraksi volume dari suatu rongga yang ada di dalam material tersebut. Besarnya porositas pada suatu material bervariasi mulai dari 0 % sampai dengan 90 % tergantung dari jenis dan aplikasi material tersebut.

Ada dua jenis porositas yaitu porositas terbuka dan porositas tertutup. Porositas yang tertutup pada umumnya sulit untuk ditentukan karena pori tersebut merupakan rongga yang terjebak di dalam padatan dan serta tidak ada akses ke permukaan luar, sedangkan pori terbuka masih ada akses ke permukaan luar, walaupun ronga tersebut ada ditengah-tengah padatan. Porositas suatu bahan pada umumnya dinyatakan sebagai porositas terbuka dan dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

P = (2.6)

Dimana :

P = Porositas (%)

= Massa sampel setelah dikeringkan di oven (g) = Massa sampel setelah direndam selama 10 menit (g)


(39)

2.11.1.3. Susut Bakar

Merupakan penyusutan dari sampel sebelum dilakukan sintering dan setelah dilakukan sintering. Penyusutan terjadi karena adanya reaksi pembakaran yaitu pelepasan CO2

dan difusi partikel.

% sb = x 100% (2.7)

Dimana :

% sb = persen penyusutan (%)

V0 = Volume sebelum disintering (m3)

Vs = Volume sesudah disinterring (m3)

2.11.2 Sifat Magnet

Untuk karaterisasi sifat-sifat magnet menggunakan alat permagraph yaitu alat yang dapat menghasilkan kurva histerisis loop yang dilengkapi dengan nilai induksi remanen (Br) dan Gaya koersif (Hc). Pada saat pengukuran berlangsung terjadi proses magnetisasi pada bahan sampel, dimana selesai pengukuran bahan sudah memiliki sifat magnetic yang permanen. Sifat-sifat magnet permanen berdasarkan kurva histerisis adalah sebagai berikut : Sulit dimagnetisasi dan didemagnetisasi, Koersivitas tinggi (Hc), dengan Hc yang tinggi maka dapat mempertahankan orientasi momen magnetiknya untuk waktu yang lama, sebagai sumber gaya gerak magnet dalam kumparan magnetic, remanensi tinggi (Br), histeris loss besar, permeabilitas (µ) kecil. Dan setelah itu dihitung medan magnetnya dengan menggunakan Gaussmeter.

2.11.2.1Permagraph

Permagraph merupakan salah satu alat ukur sifat magnet dari berbagai kelompok seperti Alnico, Ferrite atau dari logam tanah jarang. Sifat magnet yang akan diukur oleh permagraph diantaranya adalah koersifitas Hc, nilai produk maksimum (BH)max dan remanensi Br. Untuk permagraph C memiliki perlengkapan dalam pengukuran


(40)

kurva histerisis bahan permanen magnet seperti : electronik EF 4-1F, elektromagnet EP 2/E (kuat medan magnet sampai dengan 1800 kA/m = 2.2 Tesla), komputer dan printer. Hasil yang dapat diperoleh dari permagraph C : otomatis mengukur kurva histerisis magnet permanen (B-H curve), dapat menentukan kuantitas magnet seperti koersifitas, remanensi, nilai produk maksimum, pengukuran dengan surrounding coils untuk menentukan nilai rata-rata magnetik dan pengukuran distribusi kuat medan magnet permanen dengan pole coils.

2.11.3 Analisa Sruktur Kristal

2.11.3.1 XRD (X-Ray Diffraction)

Fenomena interaksi dan difraksi sudah dikenal pada ilmu optik. Standar pengujian di laboratorium fisika adalah untuk menentukan jarak antara dua gelombang dengan mengetahui panjang gelombang sinar, dengan mengukur sudut berkas sinar yang terdifraksi. Pengujian ini merupakan aplikasi langsung dari pemakaian sinar X untuk menentukan jarak antara kristal dan jarak antara atom dalam kristal. (Erini, Afza.2011).

Uji difraksi sinar X (XRD) dilakukan untuk menentukan komposisi fase yang terbentuk pada serbuk hasil kalsinasi di atas. Dari data yang akan dihasilkan dapat diprediksi ukuran kristal serbuk dengan bantuan software X-powder dan Match. Ukuran kristalin ditentukan berdasarkan pelebaran puncak difraksi sinar-X yang muncul. Makin lebar puncak difraksi yang dihasilkan maka makin kecil ukuran kristal serbuk. (Kharismayanti, 2013).

2.11.3.2 Analisis Mikrostuktur dengan Optical Microscope

Optical Microscope mempunyai fungsi yang hampir sama dengan SEM (Scanning Electron Microscope) yaitu untuk mengetahui bentuk dan ukuran dari butir-butir serta mengetahui interaksi satu butir dengan butir lainnya. Melalui observasi dengan OM dapat diamati seberapa jauh ikatan butiran yang satu dengan yang lainnya dan apakah


(41)

terbentuk lapisan diantara butiran atau disebut grain boundary. Analisis mikrostruktur dengan menggunakan OM bertujuan untuk mengetahui susunan partikel-partikel setelah proses sintering,dan juga dapat diketahui perubahannya akibat variasi suhu sintering. Dari foto OM yang dihasilkan dapat diketahui apakah terjadi perbesaran butiran atau grain growth, sejauh mana pori-pori sisa yang terbentuk didalam badan keramik.

Adapun perbedaan antara SEM dan OM adalah terletak pada perbesaran obyek (resolusi) yang lebih tinggi daripada mikroskop optik. Sebenarnya, dalam fungsi perbesaran obyek, SEM juga menggunakan lensa, namun bukan berasal dari jenis gelas sebagaimana pada mikroskop optik, tetapi dari jenis magnet. Sifat medan magnet ini bias mengontrol dan mempengaruhi electron yang melaluinya, sehingga bisa berfungsi menggantikan sifat lensa pada mikroskop optik.


(42)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama empat bulan dimulai dari Februari 2015 - Mei 2015 dibeberapa laboratorium, yaitu :

1. Pusat Penelitian Pengembangan Fisika (P2F) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Puspitek Serpong.

2. Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (P2ET) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung.

3.2 Peralatan dan Bahan : 3.2.1 Peralatan

Pada penelitian ini, peralatan yang digunakan antara lain : a. Neraca Digital

Fungsinya : untuk menimbang massa pellet yang telah tercetak yang akan digunakan dalam pembuatan magnet.

b. Jangka Sorong

Fungsinya : untuk mengukur ketebalan dan diameter pellet. c. Bata

Fungsinya : sebagai tempat untuk membakar/ memanaskan sampel. d. Vacuum Furnace (XD – 1400V)

Fungsinya : sebagai alat untuk proses pembakaran. e. Gelas Ukur

Fungsinya : untuk meletakkan sampel di dalam ultrasonik. f. Pinset

Fungsinya : untuk mengambil sampel yang telah dibakar. g. Ultrasonik

Fungsi : alat untuk memanaskan sampel yang telah tercetak agar diukur massa basah.


(43)

h. Termometer

Fungsinya : untuk mengukur suhu air dalam alat ultrasonik. i. Neraca gantung

Fungsinya : untuk mengukur massa basah dari sampel. j. Oven

Fungsinya : untuk mengeringkan sampel setelah diukur massa basahnya.

k. Kertas Pasir

Fungsi : sebagai kertas penghalus permukaan sampel. l. Gaussmeter

Fungsi : untuk mengukur besarnya medan magnet pada sampel. m. XRD (X-ray Diffractometer)

Fungsi : sebagai alat karakterisasi struktur kristal atau fasa dari sampel. n. OM (Optical Microscope)

Fungsi : untuk melihat struktur morfologi sampel. o. Permagraph

Fungsi : untuk mengetahui sifat magnetik, yaitu nilai remanensi, koersifitas dan energi produk.

3.2.2 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. BaFe12O19

Fungsi : sebagai bahan baku yang digunakan untuk membuat magnet permanen.

b. Al2O3

Fungsi : sebagai campuran yang ditambahkan ke dalam bahan baku dengan perbandingan 1,3,5,7 (% wt).

c. PVA

Fungsi : sebagai perekat. d. Aquades

Fungsi : untuk pengukuran massa dengan metode Archimedes dan dengan menggunakan picknometer.


(44)

3.3 Diagram Alir Percobaan

Berikut adalah diagram penelitian yang dilakukan : terlampir

Gambar 3.1 Tahapan Penelitian Pembuatan Magnet Permanen Barium Heksaferit dengan Substitusi Al2O3


(45)

Penelitian yang dilakukan meliputi : proses sintering, dan karakterisasi bahan.

3.4 Proses Sintering

Proses sintering pada magnet keramik BaFe12O19 dilakukan dengan cara pemanasan

sampel dalam tungku listrik (furnace) dengan variasi suhu 800oC, 900oC, 1000oC, 1100oC yang ditahan selama 2 jam. Sintering dapat meningkatkan kekuatan sampel karena terjadinya pertumbuhan butiran dan butir butir tersebut melebur menjadi satu. Sampel yang telah disintering kemudian dimagnetisasi dengan Magnetizer pada tegangan 1000 volt.

Langkah-langkah untuk melakukan proses sintering adalah sebagai berikut : 1. Menyiapkan sampel yang akan disintering.

2. Memasukkan sampel ke dalam tungku pembakaran dengan menggunakan bata tahan panas.

3. Memutar saklar pada posisi “ON” untuk menghidupkan tungku.

4. Mengatur suhu pembakaran yang diinginkan dan pada puncaknya ditahan selama 2 jam.

5. Mematikan tungku setelah proses sintering selesai.

6. Mengeluarkan sampel dari tungku pembakaran.

3.5 Magnetisasi

Magnetisasi adalah alat yang disebut Magnetizer, fungsinya untuk memberikan medan magnetik pada sampel (magnetisasi) dengan tegangan 1000 volt.

3.6 Karakterisasi Hasil

Setelah semua treatment telah dilakukan maka dilanjutkan dengan karakterisasi. Adapun karakterisasi yang dilakukan adalah densitas, porositas, analisa XRD, OM, PSA, pengukuran fluks density dengan Gausmeter, B-H curve dengan Permagraph .

3.6.1 Uji Densitas


(46)

Bulk density merupakan densitas sampel yang berdasarkan volume sampel termasuk dengan rongga atau pori. Pengujian Bulk density dilakukan untuk megukur benda padatan yang besar dengan bentuk yang beraturan maupun yang tidak beraturan. Pada pengujian Bulk density menggunakan metode Archimedes. Prosedur kerja untuk menentukan besarnya bulk densitas (gr/cm3 ) suatu sampel berbentuk pellet adalah sebagai berikut:

1. Menyiapkan sampel, aquades, gelas beaker, neraca digital dan kawat penimbang sampel di dalam air.

2. Tuangkan aquades kira-kira ¾ dari volume gelas beaker, sampel dicelupkan kedalam gelas beaker, kemudian panaskan menggunakan kompor listrik sampai suhu kira-kira 50 0C selama 10 menit.

3. Letakkan penyangga pada neraca digital, kemudian kalibrasi. 4. Celupkan kawat ke dalam aquades pada gelas beaker.

5. Kalibrasi neraca setelah kawat dan tiang penyangga diletakkan diatas neraca. 6. Sampel yang telah dipanaskan ditimbang di dalam gelas beaker yang telah

berisi aquades sebagai massa basah (Mb).

7. Mengeringkan sampel yang telah diukur ke dalam oven dengan suhu 750C selam 12 jam.

8. Menimbang massa sampel di udara dengan menggunakan kawat sebagai massa sampel kering (Mk).

9. Menghitung nilai bulk density.

3.6.2 Porositas

Porositas didefenisikan sebagai banyaknya lubang atau pori yang terdapat dalam suatu sampel yang telah selesai dibuat. Pengujian ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan.

Langkah kerja untuk menentukan besarnya porositas (%) suatu sampel yaitu:

1. Menyiapkan sampel, aquades, gelas beaker, neraca digital dan kawat penimbang sampel di dalam air.


(47)

2. Tuangkan aquades kira-kira ¾ dari volume gelas beaker, sampel dicelupkan kedalam gelas beaker, kemudian panaskan menggunakan kompor listrik sampai suhu kira-kira 50 0C selama 10 menit.

3. Letakkan penyangga pada neraca digital, kemudian kalibrasi. 4. Celupkan kawat ke dalam aquades pada gelas beaker.

5. Kalibrasi neraca setelah kawat dan tiang penyangga diletakkan diatas neraca. 6. Sampel yang telah dipanaskan ditimbang di dalam gelas beaker yang telah

berisi aquades sebagai massa basah (Mb).

7. Mengeringkan sampel yang telah diukur ke dalam oven dengan suhu 750C selam 12 jam.

8. Menimbang massa sampel di udara dengan menggunakan kawat sebagai massa sampel kering (Mk).

9. Menghitung nilai porositasnya.

3.6.3 Susut Bakar

Susut bakar merupakan penyusutan dari sampel sebelum dilakukan sintering dan setelah dilakukan sintering. Penyusutan terjadi karena adanya reaksi pembakaran yaitu pelepasan CO2 dan difusi partikel.

Langkah kerja untuk menentukan besarnya susut bakar (%) suatu sampel yaitu :

1. Sampel yang telah dicetak diukur diameter (cm) dan tebal (cm) dengan menggunakan jangka sorong, sebagai diameter awal (d0) dan tebal awal

(t0).

2. Timbang massa sampel (g) sebagai massa awal (m0).

3. Dihitung volumenya (cm3) sebagai volume awal (v0).

4. Sampel disintering dengan temperatur yang telah ditentukan.

5. Sampel yang telah disinter diukur diameter (cm) dan tebal (cm) dengan menggunakan jangka sorong, sebagai diameter sinter (ds) dan tebal sinter (ts).

6. Timbang massa sampel (g) sebagai massa sinter (ms).


(48)

3.7 Sifat Magnet

Untuk karakterisasi sifat-sifat magnet menggunakan alat Impluse magnetizer, berfungsi untuk memberikan medan magnet luar pada sampel agar memiliki magnet. Setelah itu di hitung nilai medan magnetnya menggunakan gaussmeter. Dan untuk karakterisasi sifat magnet yang lainnya menggunakan alat permagraph yaitu alat yang dapat menganalisis sampel dengan output berupa kurva histerisis yang dilengkapi dengan nilai induksi remanensi (Br) dan gaya koersif (Hc). Pada saat pengukuran berlangsung terjadi proses magnetisasi pada sampel, sehingga sampel akan memiliki sifat magnet setelah pengujian dilakukan.

3.7.1 Permagraph

Permagraph merupakan salah satu alat ukur sifat magnet dari berbagai kelompok seperti Alnico, Ferrite atau dari logam tanah jarang. Sifat magnet yang akan diukur oleh permagraph diantaranya adalah koersifitas Hc, nilai produk maksimum (BH)max dan remanensi Br. Untuk permagraph C memiliki perlengkapan dalam pengukuran kurva histerisis bahan permanen magnet seperti : electronik EF 4-1F, elektromagnet EP 2/E (kuat medan magnet sampai dengan 1800 kA/m = 2.2 Tesla), komputer dan printer.

Hasil yang dapat diperoleh dari permagraph C : otomatis mengukur kurva histerisis magnet permanen (B-H curve), dapat menentukan kuantitas magnet seperti koersifitas, remanensi, nilai produk maksimum, pengukuran dengan surrounding coils untuk menentukan nilai rata-rata magnetik dan pengukuran distribusi kuat medan magnet permanen dengan pole coils.

3.8 Analisa Mikrostruktur

3.8.1 XRD (X-ray Diffractrometer)

Difraksi sinar X atau X-ray diffraction (XRD) adalah suatu metode analisa yang digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam material dengan cara


(49)

menentukan parameter struktur kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel. Profil XRD juga dapat memberikan data kualitatif dan semi kuantitatif pada padatan atau sampel. Difraksi sinar X ini digunakan untuk beberapa hal, diantaranya:

1. Pengukuran jarak rata-rata antara lapisan atau baris atom 2. Penentuan kristal tunggal

3. Penentuan struktur kristal dari material yang tidak diketahui 4. Mengukur bentuk, ukuran, dan tegangan dalam dari kristal kecil Analisis kimia:

1. Identifikasi/Penentuan jenis kristal

2. Penentuan kemurnian relatif dan derajat kristalinitas sampel 3. Deteksi senyawa baru

4. Deteksi kerusakan oleh suatu perlakuan

Untuk interpretasi/pembacaan spektra dengan membandingkan spektra yang berada pada induk data spektra XRD, misalnya pada data JCPDS. Untuk menyimpulkan minimal ada 3 puncak spektra yang identik dengan spektra pada data induk.

Adapun langkah langkah dari pengujian ini adalah : - Siapkan sampel yang akan diuji

- Letakan sampel diatas preparat

- Masukan kedalam XRD kemudian tutup rapat

- Siapkan software pendukung untuk pengoperasian XRD.

3.8.2 OM (Optical Microscope)

Fungsi Optical Microscope atau OM pada penelitian adalah memberikan informasi secara langsung tentang topografi (tekstur permukaan sampel), morfologi (bentuk dan ukuran ), komposisi (unsur penyusun sampel), serta Informasi kristalografi (susunan atom penyusunan sampel).

Melalui observasi dengan OM dapat diamati seberapa jauh ikatan butiran yang satu dengan yang lainnya dan apakah terbentuk lapisan diantara butiran.


(50)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakterisasi Sifat Fisis

Karakterisasi sifat fisis yang diamati pada penelitian ini meliputi bulk density, porositas dan linear shrinkage.

4.1.1 Hasil Karakterisasi Bulk Density, Porositas dan Linear Shrinkage.

Hasil pengukuran bulk density untuk Barium Hexaferrite (BaFe12O19) dengan

penambahan sebesar 1%wt dan 3 %wt dengan Al2O3 dan suhu sintering 800oC, 900oC,

1000°C, dan 1100 °C (masing – masing ditahan selama 2 jam), diperlihatkan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Data Hasil Pengujian Densitas

Temperatur Sintering (oC)

Bulk Density (gr/cm3)

Komposisi 1% wt Al2O3

Komposisi 3% wt Al2O3

800 4.65 4.78

900 4.73 4.84

1000 4.76 4.86

1100 4.87 4.9

Dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa nilai densitas barium hexaferrite (BaFe12O19)

adalah sekitar 5,3 g/cm3. Nilai kepadatan tercapai 91,88 sampai 92,45% yaitu untuk komposisi 1 dan 3% wt Al2O3.

Pada Gambar 4.1 menunjukkan Grafik Hubungan antara penambahan aditif Al2O3 terhadap nilai bulk density BaFe12O19 yang disinter pada suhu 800°C, 900°C,


(51)

1000 °C, 1100°C. Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa nilai bulk densitas menurun seiring dengan penambahan aditif Al2O3, namun nilai bulk densitas semakin meningkat

seiring dengan kenaikan temperatur sintering.

Gambar 4.1 Grafik Hubungan antara penambahan aditif Al2O3 terhadap nilai bulk

density BaFe12O19 yang disinter pada suhu 800°C, 900°C, 1000 °C, 1100°C.

Dari Gambar 4.1 terlihat bahwa nilai densitas maksimum diperoleh pada penambahan 1 %wt Al2O3 pada suhu sintering 1100 °C dengan nilai 4,87 gr/cm3 yaitu

hanya bisa mencapai sekitar 91,88% dari nilai densitas murni BaFe12O19. Nilai

densitas terbaik diperoleh pada penambahan 3% wt Al2O3 pada suhu 11000C dengan

nilai 4,90 gr/cm3 yaitu hanya bisa mencapai sekitar 92,45% dari nilai densitas murni BaFe12O19. Adanya penambahan aditif Al2O3 menyebabkan nilai bulk density

cenderung menurun, hal ini disebabkan oleh nilai densitas Al2O3 (3,96 gr/cm3) yang

lebih kecil dari nilai densitas BaFe12O19 (5,3 gr/cm3) . Berdasarkan hasil data diatas

dapat diketahui bahwa semakin tinggi temperatur sintering maka nilai densitas akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena fasa – fasa dalam keramik yang terjadi semakin banyak dan pori – porinya berkurang. Hal ini terjadi hingga titik optimum sebelum keramik mengalami deformasi. Jika suhu sintering terus dinaikkan dan melewati suhu optimum maka badan keramik akan mengalami deformasi yang ditandai dengan perubahan bentuk setelah proses sintering. (Eva Indiani, 2009 ).

4,6 4,65 4,7 4,75 4,8 4,85 4,9 4,95

800 900 1000 1100

( Bu lk De n sity ( gr /cm

3 )


(52)

Hasil pengukuran porositas pada paduan barium heksaferrite (BaFe12O19)

dengan aditif 1 dan 3 %wt Al2O3 dan suhu sintering 800°C, 900°C,1000°C dan

1100°C (dengan penahanan selama 2 jam) diperlihatkan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Data Hasil Pengujian Porositas

Temperatur Sintering (oC)

Porositas (%)

Komposisi 1% wt Al2O3

Komposisi 3% wt Al2O3

800 20,96 21,51

900 20,70 21,43

1000 20,58 21,03

1100 20,23 20,55

Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa pada penambahan Al2O3 dengan komposisi 1 dan

3% wt Al2O3 menghasilkan nilai porositas terbaik pada suhu 1100OC yaitu 20,23 –

20,55%.

Dari Gambar 4.2 menunjukkan Grafik Hubungan antara penambahan aditif Al2O3 terhadap porositas dari BaFe12O19 yang disinter pada suhu 800oC, 900oC,1000

°C, dan 1100 °C. Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu sintering maka nilai porositasnya cenderung mengecil, hal ini sesuai dengan mekanisme proses sintering, dimana terjadi pengurangan pori selama terjadi proses sintering.


(53)

Gambar 4.2 Grafik Hubungan antara penambahan aditif Al2O3 terhadap porositas dari

BaFe12O19 yang disinter pada suhu 800oC, 900oC,1000 °C, dan 1100 °C.

Dari Gambar 4.2 terlihat bahwa nilai porositas mencapai maksimum 20,55% pada penambahan aditif 3% wt Al2O3 dengan suhu sintering 1100°C dan nilai porositas

terendah adalah 20,23% pada komposisi 1%wt Al2O3 dengan suhu sintering 1100 °C.

Hal ini terjadi karena adanya korelasi antara densitas dan porositas yang berbanding terbalik dimana semakin tinggi nilai densitas maka semakin rendah nilai porositasnya. Idealnya porositasnya harus mendekati nol, tetapi hal ini dilihat dari nilai densitasnya juga masih jauh dibawah densitas teoritis. Untuk dapat mencapai porositas yang lebih rendah lagi dan densitas juga dapat meningkat mendekati densitas teoritis, maka perlu dilkakukan penelitian lebih lanjut lagi.

20,00 21,00 22,00

800 900 1000 1100

P

or

osity

(%

)

Temperatur (oC)

1 %wt Al2O3 3 %wt Al2O3


(54)

Hasil pengukuran linier shrinkage pada paduan barium heksaferrite (BaFe12O19) dengan aditif 1 dan 3 %wt Al2O3 dan suhu sintering 800°C,

900°C,1000°C dan 1100°C (dengan penahanan selama 2 jam) diperlihatkan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Data Hasil Pengujian Linier Shrinkage

Temperature Sintering (oC)

Linier Shrinkage (%)

Komposisi 1% wt Al2O3

Komposisi 3% wt Al2O3

800 2,55 3,18

900 5,73 6,99

1000 6,98 7,12

1100 9,53 10,51

Pada Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa pada penambahan Al2O3 dengan komposisi 1 dan

3% wt Al2O3 menghasilkan nilai linier shrinkage terbaik pada suhu 1100OC yaitu 9,53 – 10,51%.

Dari Gambar 4.3 menunjukkan Grafik Hubungan antara penambahan aditif Al2O3 terhadap linier shrinkage dari BaFe12O19 yang disinter pada suhu 800oC,

900oC,1000 °C, dan 1100 °C. Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa nilai linier shrinkage cenderung meningkat seiring dengan penambahan aditif Al2O3 namun linier


(55)

Gambar 4.3 Grafik Hubungan antara penambahan aditif Al2O3 terhadap linier

shrinkage dari BaFe12O19 yang disinter pada suhu 800oC, 900oC,1000 °C, dan

1100 °C.

Dari Gambar 4.3 terlihat bahwa nilai linier shrinkage mencapai maksimum 10,51% pada penambahan aditif 3% wt Al2O3 dengan suhu sintering 1100°C dan

nilai linier shrinkage terendah adalah 9,53% pada komposisi 1%wt Al2O3 dengan

suhu sintering 1100 °C. Semakin tinggi suhu sinteringnya maka susut bakar yang terjadi semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi suhu sintering maka akan terjadi densifikasi dan eliminasi pori yang semakin besar. Sampel yang mengalami kenaikan susut bakar disebabkan meningkatnya kerapatan butiran seiring dengan berkurangnya pori. Hal ini terjadi akibat adanya proses difusi yang dialami molekul penyusun keramik yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan butir dan eliminasi pori. (Eva Indiani, 2009 ).

4.2 Karakterisasi Mikrostruktur

Karakterisasi mikrostruktur merupakan analisis struktur dari suatu bahan material untuk mengetahui pengaruh bahan aditif Al2O3 terhadap struktur BaFe12O19.

Karakterisasi mikrostruktur yang diamati pada penelitian ini meliputi analisis XRD (X-Ray Difraction) dan OM (Optical Microscope).

2,50 4,50 6,50 8,50 10,50 12,50

800 900 1000 1100

L in ier S h rin k age (% )

Temperatur (oC) 1 %wt Al2O3 3 %wt Al2O3


(56)

4.2.1 Analisis XRD (X-Ray Difraction)

Analisa struktur kristal dilakukan dengan menggunakan alat X-Ray Diffraction (XRD) yang bertujuan untuk mengamati fase-fase yang terbentuk pada sampel uji setelah proses sintering dalam pembuatan magnet permanen Barium Hexaferrite.Grafik Hasil Pengujian XRD BaFe12O19 dengan penambahan aditif Al2O3 ( 1, dan 3, %wt)

diperlihatkan pada Gambar 4.4.

Keterangan : = BaAlFe11O19, = BaFe12O19, = Al2O3

Gambar 4.4 Grafik Hasil Pengujian XRD BaFe12O19 dengan suhu sintering

800oC,900oC,100oC,1100oC.

Gambar 4.4 merupakan pola XRD untuk sampel BaFe12O19 murni, Al2O3 murni dan

BaFe12O19 dengan aditif Al2O3 7 %wt. Dari Gambar 4.4 terlihat bahwa pada

BaFe12O19 dengan aditif Al2O3 7 %wt terdapat dua fasa yaitu fasa BaFe12O19 dan fasa


(57)

terjadi substitusi unsur Al terhadap 1 unsur Fe sehingga membentuk suatu fasa baru yaitu BaAlFe11O19. Namun, fasa yang terbentuk tersebut tidak terlalu mempengaruhi

mikrostruktur dari BaFe12O19 karena unsur Al hanya menggantikan 1 unsur Fe. Hal ini

dikarenakan jumlah %wt dari Al2O3 lebih sedikit dibanding %wt dari BaFe12O19

sehingga tidak terlihat perubahan yang signifikan dan juga tidak begitu mempengaruhi mikrostruktur dari BaFe12O19. Sehingga diketahui bahwa fasa BaFe12O19 dan

BaAlFe11O19 yang terbentuk bersifat hard magnetic. Yang berarti bahwa sifat

kemagnetan dari sampel ini kuat.

4.2.2 Analisis OM (Optical Microscope)

Analisis mikrostruktur dilakukan dengan menggunakan Optical Mikroscope (OM). Hasil pengamatan dengan OM ditunjukkan pada Gambar 4.5.

(A) (B)


(1)

Kharismayanti, 2013. Pembuatan Dan Karakterisasi Magnet Permanen Barium Heksaferit Untuk Aplikasi Sensor Meteran Air. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara. Program Sarjana S-1. Jurusan FMIPA Fisika.

Manaf, A, 2013. Intensive Course on Magnetism and Magnetic Materials. In Press. Maghfirah, Awan. 2007. Pembuatan Keramik Paduan Zirkonia (ZrO2) dengan

Alumina (Al2O3) dan Karakterisasinya.[Tesis]. Medan Universitas Sumatera

Utara. Pascasarjana S-2. Fisika.

Masno G,dkk. 2006. Pembuatan Magnet Permanen isotropic Berbasis, Nd-Fe-B dan Karakterisasinya. TEKNOLOGI INDONESIA. Volume 29.

Moulson A.J. and J.M. Herbert. 1985. Electroceramics: Materials, Properties and Applications, Chapman and Hall. London-New York.

Max Well, J.A. 1968. Rock and Mineral Analysis. Interscience Publisher : New York. Mayasari, Ika. 2012. Pengaruh Temperatur Sinter Terhadap Sifat Fisis Dan Sifat

Magnet Pada magnet Permanen Stronsium Heksaferit (Studi kasus di Lembaga Ilmu penelitian Indonesia, Jakarta). [Skripsi]. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Sarjana S-1.

Priyono dan Manaf. A, 2011. Material Magnetik Barium Heksaferit Tipe- M Untuk Material Anti Radar Pada Frekuensi S-Band.Jurnal Sains Materi Indonesia. Vol. 11, No. 2, ISSN : 1411-1098. Hal 75-78.

Ristic, M. M. 1979, Sintering New Developments, Material Science Monographs. Vol 4. Proceeding of 4th International Round Table Conference on Sinterin, Dubrovnik, Yugoslavia, September 5 – 10, 1979. Elsevier Scientif Publishing Company. Amsterdam-Oxford, New York.

Sebayang, Perdamean, dkk, 2013. Sintesis Dan Karakterisasi Barium M-Heksaferit Dengan Doping Ion Mn Dan Temperatur Sintering. Seminar dan Focus Group Discussion (FGD) Material Maju : Magnet dan Aplikasinya, Hotel Orange, Solo. Medan: Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

Simanjuntak, Theresya, 2014. Pengaruh Temperatur Heat Treatment dan holding Time Terhadap Sifat Fisis, Mikrostruktur Dan Sifat Magnet Permanen bonded NdFeB. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara. Program Sarjana S-1. Jurusan FMIPA Fisika.

Simbolon, Silviana, 2013. Pengaruh Komposisi Doping Ion Mn Pada Pembuatan Magnet Barium Heksaferit (Bafe12-XMnxO19) Sebagai Penyerap Gelombang

Mikro. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara. Program Sarjana S-1. Jurusan FMIPA Fisika.


(2)

Sijabat, Kaston, 2007. Pembuatan Keramik Paduan Cordierit (2MgO.2Al2O3.5SiO2) –

Alumina (Al2O3) Sebagai Bahan Refraktori Dan Karakterisasinya. [Tesis].

Medan: Universitas Sumatera Utara. Pascasarjana S-2. Fisika.

Syahwin, 2008. Analisis Simulasi Korelasi Temperatur Sintering Terhadap Sifat Fisis Keramik Paduan Zirkonia (ZrO2) Ber Aditif CaO Dengan Alumina (Al2O3)

Menggunakan Maple 7. [Tesis]. Medan : Universitas Sumatera Utara. Pascasarjana S-2. Fisika.

T,Nerrus, 2006. Pengaruh Penambahan Mullite 3Al2O3. 2SiO2 Dan Variasi Suhu Sintering Terhadap Karakteristik dan Mikrostruktru Dari Keramik Al203. [Tesis]. Medan : Universitas Sumatera Utara.Program Studi Ilmu Fisika.

Tippler, Paul A. 1991. Fisika Untuk Sains dan Tehnik. Edisi Ketiga. Jilid 2. Erlangga: Jakarta

Van Vlack, L. H., 1989. Ilmu dan Teknologi Bahan-bahan Logam dan Bukan Logam, Edisi kelima, Erlangga, Jakarta.

Worral, W.E. 1986. Clays and Ceramic Raw Materials. Elvisier Applied Science Publishers Ltd, 2ed. New York.

(http://www.scribd.com/doc/81178806/makalah-SEM-kel9-nia#scribd) Tanggal 9 april 2015


(3)

LAMPIRAN 1

GAMBAR ALAT DAN BAHAN

Planetary Ball Mill


(4)

Jangka sorong Gaussmeter

Vacum Furnace


(5)

Magnet-Physic Dr. Steingroever GmbH Permagraph C


(6)