Pengaruh Komposisi Al2o3 dan Milling Time Terhadap Sifat Fisis, Magnet dan Mikrostruktur dari BaFe12O19

(1)

PENGARUH KOMPOSISI Al2O3 DAN

MILLING TIME

TERHADAP SIFAT FISIS, MAGNET DAN MIKROSTRUKTUR

DARI BaFe12O19

SKRIPSI

NENSI M PANJAITAN

110801043

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

PENGARUH TEMPERATUR SINTERING TERHADAP SIFAT

FISIS, MAGNET DAN MIKROSTRUKTUR DARI BaFe12O19

DENGAN ADITIF Al2O3

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

NENSI M PANJAITAN

110801043

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(3)

PERSETUJUAN

Judul : Pengaruh Komposisi Al2o3 Dan Milling Time Terhadap Sifat Fisis, Magnet Dan Mikrostruktur dari BaFe12O19 Kategori : Skripsi

Nama : Nensi M Panjaitan

NIM : 110801043

Program Studi : Sarjana (S1) Fisika Departemen : Fisika

Fakultas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam (Mipa) Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Juli 2015

Disetujui oleh

Departemen Fisika FMIPA USU Pembimbing, Ketua,

(Dr. Marhaposan Situmorang) (Dr. Kerista Sebayang, MS) NIP : 195510301980031003 NIP : 195806231986011001


(4)

PERNYATAAN

PENGARUH KOMPOSISI Al2O3 DANMILLING TIME TERHADAP SIFAT

FISIS, MAGNET DAN MIKROSTRUKTUR DARI BaFe12O19

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2015

NENSI M PANJAITAN 110801043


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan bimbingan-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul Pengaruh Komposisi Al2O3 dan Milling Time terhadap Sifat Fisis, Magnet dan Mikrostruktur BaFe12O19 dalam waktu yang telah ditentukan.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Kerista Sebayang, MS, sebagai Dosen Pembimbing, yang telah banyak meluangkan waktu, pikiran, tenaga, dan memberikan dorongan, semangat serta saran-saran untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Masno Ginting, M.Sc dan Prof. Pardamean Sebayang M.Sc, sebagai Dosen Pembimbing di LIPI, yang telah banyak meluangkan waktu, pikiran, tenaga, dan memberikan dorongan, semangat serta saran-saran untuk membimbing penulis dalam penelitian tugas akhir dan menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Marhaposan Situmorang, sebagai Ketua Jurusan Fisika FMIPA USU.

4. Bapak Drs. Syahrul Humaidi, MSc, sebagai Sekretaris Jurusan Fisika FMIPA USU.

5. Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

6. Semua Dosen Departemen Fisika FMIPA USU yang pernah menjadi dosen pengajar selama penulis kuliah di Fisika USU.

7. Kak Tini, Kak Yuspa, dan bang Jo, sebagai pegawai di jurusan Fisika FMIPA USU.

8. Kedua orangtua penulis, M. Panjaitan dan M. Silaban, terima kasih atas dukungan dan doa yang begitu besar dan sangat berarti kepada penulis.

9. Adik - adik penulis Mery K Panjaitan dan Veri A Panjaitan, yang telah banyak memberi dukungan, doa dan semangat kepada penulis selama kuliah dan menyelesaikan skripsi ini, terkhusus juga buat tante Resni Silaban dan sanak saudara lainnya yang banyak membantu dan memberikan motivasi kepada penulis.

10.Teman – teman Fisika Stambuk 2011 sebagai teman bertukar pikiran selama perkuliahan dan teman berdiskusi dalam penyelesaian skripsi ini (Inten Natanael Simamora, Tabitaria M Sianipar, Juliana S Situmeang, Ancela Simbolon, Dosni Sipahutar, Widya Susanti, Lilis Sagita, Trisno F Manurung, Parasian Simbolon, Hendra Damos, dan semua teman yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu).

11.Abang, Kakak senior dan adik-adik junior Fisika FMIPA USU.

12.Teman – teman satu kos (Juliana S Situmeang, Ancela Simbolon, Tabitaria M Sianipar, dan Reka Simbolon).


(6)

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan – kekurangan baik dari segi isi, struktur kata, maupun tata bahasanya karena pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki penulis terbatas, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya.

Penulis

Nensi M Panjaitan 110801043


(7)

PENGARUH KOMPOSISI Al2O3 DAN MILLING TIME TERHADAP SIFAT FISIS, MAGNET DAN MIKROSTRUKTUR BaFe12O19

ABSTRAK

Telah diakukan pembuatan magnet permanen BaFe12O19 yang ditambahkan aditif Al2O3 dengan variasi komposisi 0, 1, 3, 5 dan 7 (%wt) mengggunakan metode

mechanical alloying dengan milling time 12 dan 36 jam. Serbuk tersebut kemudian ditambahkan bahan perekat Poly Vinyl Alcohol (PVA) dan dicetak kering dengan tekanan 30 kg/cm2 (8 kG). Hasil cetakan berupa pelet dengan diameter rata-rata 20 mm x 3 mm. Selanjutnya dilakukan proses sintering dengan menggunakan vacuum furnace pada suhu 1100oC yang ditahan selama 2 jam. Sampel yang telah disintering kemudian dikarakterisasi sifat fisis (green body density,bulk density dan porositas), dianalisis struktur kristalnya dengan XRD dan Optical Microscope (OM), dimagnetisasi dan diukur kurva histerisisnya. Karakterisasi yang dilakukan meliputi sifat fisis yaitu densitas dan porositas dengan metode Archimedes, dan analisa mikro struktur dengan menggunakan XRD dan OM. Sedangkan untuk analisis sifat magnet dengan menggunakan hasil pengukuran permagraf yang telah dimagnetisasi dengan

Gaussmeter. Dari hasil pengukuran densitas dan porositas magnet BaFe12O19 dengan aditif Al2O3 menunjukkan bahwa nilai densitas cenderung menurun dan porositas meningkat sebanding dengan jumlah aditif Al2O3. Dari hasil karakterisasi fisis diperoleh hasil yang terbaik yaitu pada milling time 36 jam dengan komposisi 0 %wt (tanpa aditif), dengan nilai green body density = 3,07 g/cm3, bulk density = 5,06 g/cm3 dan porositas = 4,62%. Dari salah satu hasil analisa XRD menunjukkan bahwa telah terbentuk struktur kristal BaFe12O19 dan BaAlFe11O19, grainsize 15,6, memiliki Br = 2,01 kG dan Hc = 0,28 MGOe .


(8)

EFFECT OF COMPOSITION AND MILLING TIME OF Al2O3 PHYSICAL

PROPERTIES, MAGNET AND MICROSTRUCTURE BaFe12O19

ABSTRACT

Has waged manufacture permanent magnets BaFe12O19 with Al2O3 additive is added to the composition variation of 0, 1, 3, 5 and 7 (wt%) use traditional methods of mechanical alloying by milling time 12 and 36 hours. The powder is then added to the adhesive Poly Vinyl Alcohol (PVA) and dry printed with a pressure of 30 kg / cm2 (8 kG). The printed form of pellets with an average diameter of 20 mm x 3 mm. Sintering process is then performed using a vacuum furnace at a temperature of 1100oC were held for 2 hours. Samples were then characterized sintering physical properties (green body density, bulk density and porosity), analyzed the crystal structure by XRD and Optical Microscope (OM), magnetized and measured curves histerisisnya. Characterization was conducted on the physical properties, namely density and porosity by Archimedes method, and a micro-structure analysis using XRD and OM. As for the analysis of magnetic properties using permagraf measurement results that have been magnetized by the Gaussmeter. From the results of measurements of density and porosity magnet BaFe12O19 with Al2O3 additive shows that the density tends to decrease and the porosity increases in proportion to the amount of additive Al2O3. From the results of the physical characterization is obtained the best results in milling time of 36 hours with a composition of 0% wt (without additives), with the value of the green body density = 3.07 g / cm3, bulk density = 5.06 g / cm3 and porosity = 4 , 62%. From one of the results of XRD analysis showed that the crystal structure has been formed BaFe12O19 and BaAlFe11O19, grainsize 15.6, has Br = 2.01 kG and Hc = 0.28 MGOe.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak v

Abstrac vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x

Daftar Lampiran xi

Bab 1. Pendahuluan 1.1. LatarBelakang 1

1.2. Rumusan Masalah 4

1.3. Batasan Masalah 4

1.4. Tujuan Penelitian 4

1.5. Manfaat Penelitian 4

1.6. Sistematika Penulisan 5

Bab 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Pengertian Magnet 6

2.2. Medan Magnet 7

2.3. Macam-Macam Magnet 7

2.4. Bahan Magnetik 8

2.4.1. Bahan Diamagnetik 8

2.4.2. Bahan Paramagnetik 9

2.4.3. Bahan Ferromagnetik 9

2.5. Material Magnet Lunak dan Magnet Keras 10

2.6. Barium Heksaferit 12

2.7. Alumina 13

2.7.1. Struktur Keramik Alumina 14

2.7.2. Sifat-Sifat Alumina 15

2.8. Substitusi Al2O3 pada Barium Heksaferit 16

2.9. Pembuatan Magnet 16

2.9.1. Kompaksi 17

2.9.1.1. PVA 18

2.10. Karakterisasi Material Keramik 19

2.10.1. Sifat Fisis 19

2.10.1.1. Densitas 19

2.10.1.2. Porositas 20

2.10.2. Sifat Magnet 21

2.10.2.1. Permagraph 21


(10)

2.10.3.1. XRD 22

2.10.3.2. OM 23

Bab 3 Metodologi Penelitian 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 24

3.2. Peralatan dan Bahan 24

3.2.1. Peralatan 24

3.2.2. Bahan 25

3.3. Tahapan Penelitian 25

3.3.1. Pembuatan Sampel Uji 27

3.3.2. Sintering 28

3.3.3. Magnetisasi 29

3.4. Karakterisasi 29

3.4.1. Uji Densitas 29

3.4.2. Uji Porositas 30

3.5. Sifat Magnet 31

3.5.1. Permagraph 31

3.6. Analisis Struktur 32

3.6.1. XRD 32

3.6.2. OM 33

Bab 4 Hasil dan Pembahasan 4.1. Karakterisasi Sifat Fisis 34

4.1.1. Hasil Karakterisasi Green Body 34

4.1.2. Hasil Karakterisasi Bulk Density dan Porositas 36

4.2. Karakterisasi Mikrostruktur 39

4.2.1. Analisis XRD 39

4.2.2. Analisis OM 40

4.3. Karakterisasi Sifat Magnet 41

Bab 5 Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan 45

5.2. Saran 46


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Sifat-Sifat Fisis Alumina 14

Tabel 2.2. Sifat-Sifat Keramik Alumina 16

Tabel 4.1. Data Hasil Pengukuran Green Body Density 34

Tabel 4.2. Data Hasil Pengukuran Bulk Density 36

Tabel 4.3. Data Hasil Pengukuran Porositas 38

Tabel 4.4. Data Hasil Pengukuran Permagraph 42

Tabel 4.5. Data Pengujian Kuat Medan Magnet Milling Time 12 jam 42

Tabel 4.6. Data Pengujian Kuat Medan Magnet Milling Time 36 jam 43


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Arah Domain-Domain Bahan Paramagnetik 9

Gambar 2.2. Histeresis Material Magnet 11

Gambar 2.3. Struktur Kristal Barium Heksaferit 13

Gambar 3.1. Tahapan Penelitian Pembuatan Magnet Permanen 26

Gambar 3.3. Alat Kompaksi Hydraulic Press 27

Gambar 3.4. Vacum Furnace 28

Gambar 3.5. Alat Magnetizer 29

Gambar 3.6. Alat X-Ray Diffraction (XRD) 33

Gambar 3.7. Optical Microscope 33

Gambar 4.1. Grafik Hubungan Komposisi Al2O3 dan Milling Time terhadap Green Body Density 35

Gambar 4.2. Grafik Hubungan Komposisi Al2O3 dan Milling Time terhadap Bulk Density 37

Gambar 4.3. Grafik Hubungan Komposisi Al2O3 dan Milling Time terhadap Porositas 38

Gambar 4.4. Grafik Hasil Pengujian XRD BaFe12O19 dengan aditif Al2O3 39

Gambar 4.5. Hasil Mikroskop Optik Magnet Sinter Barium Hexaferrite 40

Gambar 4.6. Kurva Histerisis bahan Barium hexaferrite 41

Gambar 4.7. Grafik Hubungan Komposisi Al2O3 dan Milling Time 12 jam terhadap Flux Magnetic 43

Gambar 4.8. Grafik Hubungan Komposisi Al2O3 dan Milling Time 36 jam terhadap Flux Magnetic 44


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Gambar Peralatan dan Bahan 50


(14)

PENGARUH KOMPOSISI Al2O3 DAN MILLING TIME TERHADAP SIFAT FISIS, MAGNET DAN MIKROSTRUKTUR BaFe12O19

ABSTRAK

Telah diakukan pembuatan magnet permanen BaFe12O19 yang ditambahkan aditif Al2O3 dengan variasi komposisi 0, 1, 3, 5 dan 7 (%wt) mengggunakan metode

mechanical alloying dengan milling time 12 dan 36 jam. Serbuk tersebut kemudian ditambahkan bahan perekat Poly Vinyl Alcohol (PVA) dan dicetak kering dengan tekanan 30 kg/cm2 (8 kG). Hasil cetakan berupa pelet dengan diameter rata-rata 20 mm x 3 mm. Selanjutnya dilakukan proses sintering dengan menggunakan vacuum furnace pada suhu 1100oC yang ditahan selama 2 jam. Sampel yang telah disintering kemudian dikarakterisasi sifat fisis (green body density,bulk density dan porositas), dianalisis struktur kristalnya dengan XRD dan Optical Microscope (OM), dimagnetisasi dan diukur kurva histerisisnya. Karakterisasi yang dilakukan meliputi sifat fisis yaitu densitas dan porositas dengan metode Archimedes, dan analisa mikro struktur dengan menggunakan XRD dan OM. Sedangkan untuk analisis sifat magnet dengan menggunakan hasil pengukuran permagraf yang telah dimagnetisasi dengan

Gaussmeter. Dari hasil pengukuran densitas dan porositas magnet BaFe12O19 dengan aditif Al2O3 menunjukkan bahwa nilai densitas cenderung menurun dan porositas meningkat sebanding dengan jumlah aditif Al2O3. Dari hasil karakterisasi fisis diperoleh hasil yang terbaik yaitu pada milling time 36 jam dengan komposisi 0 %wt (tanpa aditif), dengan nilai green body density = 3,07 g/cm3, bulk density = 5,06 g/cm3 dan porositas = 4,62%. Dari salah satu hasil analisa XRD menunjukkan bahwa telah terbentuk struktur kristal BaFe12O19 dan BaAlFe11O19, grainsize 15,6, memiliki Br = 2,01 kG dan Hc = 0,28 MGOe .


(15)

EFFECT OF COMPOSITION AND MILLING TIME OF Al2O3 PHYSICAL

PROPERTIES, MAGNET AND MICROSTRUCTURE BaFe12O19

ABSTRACT

Has waged manufacture permanent magnets BaFe12O19 with Al2O3 additive is added to the composition variation of 0, 1, 3, 5 and 7 (wt%) use traditional methods of mechanical alloying by milling time 12 and 36 hours. The powder is then added to the adhesive Poly Vinyl Alcohol (PVA) and dry printed with a pressure of 30 kg / cm2 (8 kG). The printed form of pellets with an average diameter of 20 mm x 3 mm. Sintering process is then performed using a vacuum furnace at a temperature of 1100oC were held for 2 hours. Samples were then characterized sintering physical properties (green body density, bulk density and porosity), analyzed the crystal structure by XRD and Optical Microscope (OM), magnetized and measured curves histerisisnya. Characterization was conducted on the physical properties, namely density and porosity by Archimedes method, and a micro-structure analysis using XRD and OM. As for the analysis of magnetic properties using permagraf measurement results that have been magnetized by the Gaussmeter. From the results of measurements of density and porosity magnet BaFe12O19 with Al2O3 additive shows that the density tends to decrease and the porosity increases in proportion to the amount of additive Al2O3. From the results of the physical characterization is obtained the best results in milling time of 36 hours with a composition of 0% wt (without additives), with the value of the green body density = 3.07 g / cm3, bulk density = 5.06 g / cm3 and porosity = 4 , 62%. From one of the results of XRD analysis showed that the crystal structure has been formed BaFe12O19 and BaAlFe11O19, grainsize 15.6, has Br = 2.01 kG and Hc = 0.28 MGOe.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pasir Besi merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan agar memiliki nilai jual yang optimal. Pasir besi memiliki mineral-mineral magnetik seperti magnetit (Fe3O4), hematit (α-Fe2O3) dan maghemit ( -Fe2O3). Ketiga mineral tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan magnet permanen.

Magnet ferit mempunyai sifat mekanik yang kuat dan tidak mudah terkorosi dengan tingkat kestabilan terhadap pengaruh medan luar serta temperatur yang cukup baik. Penelitian magnet permanen ferit yang telah banyak dikaji yaitu barium hexaferrite yang termasuk dalam ferit keras (Nur, dkk, 2014).

Barium Heksaferrit dapat disintesis dengan beberapa metode seperti kristalisasi gas, presipitasi hidrotermal, sol-gel, aerosol, pemaduan mekanik dan kopresipitasi. Sifat magnetik, terutama koersivitas pada magnet permanen sangat tergantung pada ukuran butir .

Bahan magnet dengan koersivitas yang tinggi, cenderung memiliki kristalit lebih kecil dari domain magnetik (sekitar 1µm). Untuk pengolahan bahan-bahan tersebut beberapa metode telah dikembangkan, diantaranya kristalisasi dari kaca, mekano-kimia, metalurgi serbuk (mechanical alloying) dan mekanik paduan. Pada metoda paduan mekanik, bahan yang digunakan adalah serbuk BaFe12O19 dan Al2O3. Proses ini terdiri dari dua tahap yaitu penggilingan (milling) dan annealing (ferritization). Pada umumnya penggilingan ini dilakukan di dalam jar mill dengan media air, agar diperoleh distribusi ukuran partikel yang lebih homogen, melindungi terjadinya aglomerasi dan adhesi. Distribusi yang homogen dari partikel tersebut setelah penggilingan (milling) merupakan faktor penting yang mempengaruhi proses ferritization dan sifat magnetik setelah dimagnetisasi. Adapun fungsi penambahan bahan logam dalam pembuatan magnet barium heksaferit agar terjadinya


(17)

perubahan bentuk dari hard magnetic (H=+10 kAm) menjadi soft magnetic (H=-10kAm). Sifat bahan ini mempunyai permeabilitas, hambatan jenis, dan konduktivitas yang tinggi serta koersivitas yang rendah. Sifat-sifat inilah yang dibutuhkan sehingga bahan tersebut dapat dijadikan sebagai absorber (Siregar,

Seri D, 2013).

BaFe12O19 merupakan material magnetik yang sangat diminati dalam pembuatan magnet permanen. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya beredar magnet permanen dari bahan barium heksaferit di pasar magnet dunia. Beberapa kelebihan meterial ferrimagnetik ini adalah memiliki saturasi magnetik (78 emu/g), temperatur Currie yang tinggi (450oC) dan koersivitas tinggi (6700 Oe). Selain itu material tersebut juga tahan terhadap korosi dan memiliki sifat resistivitas yang tinggi dan bervariasi antara 10-5 Ωm hingga 109 Ωm yang bergantung pada komposisi dan strukturnya serta stabilitas kimia yang baik. Dalam penelitian ini digunakan bahan aditif Alumina (Al2O3) yang ditambahkan ke dalam barium heksaferit. Karena alumina adalah senyawa yang terdiri dari aluminium dan oksigen, sehingga alumina disebut juga senyawa oksida logam.

Alumina (Al2O3) yang sering digunakan umumnya mempunyai fasa Corondum (α - Al2O3) dengan struktur tumpukan heksagonal (Hexagonal Closed Packed, HCP) karena merupakan bentuk struktur yang paling stabil sampai suhu tinggi. Keunggulan alumina antara lain: mempunyai titik lebur yang tinggi (2050oC), stabil digunakan hingga suhu 1700oC, kekuatan mekaniknya tinggi, keras, penghantar panas yang baik, sebagai isolator listrik dan tahan terhadap korosi (Kaston Sijabat, 2007).

Komposisi bahan baku dan aditif mencirikan keadaan yang original sehingga dapat dibedakan terhadap faktor penyusutan dan beberapa sifat fisisnya setelah dicampur dengan variasi penambahan aditifnya (0%, 1%, 3%, 5% dan 7% wt), yang meliputi perubahan porositas, densitas, kekerasan dan perubahan mikrostrukturnya. Kekuatan magnet sangat ditentukan oleh ukuran butir, jenis dan fasa butir, temperature pembakaran, pembentukan dan sebagainya.

Penambahan bahan campuran dapat memberi pengaruh yang besar terhadap kenaikan maupun penurunan kekuatannya, hal ini bergantung pada jenis bahan baku


(18)

dan bahan paduannya. Dalam penelitian ini, variasi komposisi yang digunakan adalah 0%, 1%, 3%, 5% dan 7%wt karena diharapkan magnet yang terbaik dengan keunggulannya yaitu : keras, kuat, tahan suhu tinggi dan menghasilkan magnet keramik bukan komposit.

Pembuatan magnet keramik dapat dilakukan dengan dua metoda yaitu isotropi dan anisotropi. Pada pembuatan magnet secara isotropi adalah dengan proses cetak kering, dengan bahan aditif polyvinil alkohol (PVA) sebagai perekatnya dan kemudian tanpa dilakukan orientasi partikel dengan menggunakan medan magnet. Sedangkan pada proses anisotropi, dimana dalam pembuatan magnetnya digunakan orientasi partikel dengan medan magnet dan pada pembentukannya ditambahkan bahan perekat PVA (Spaldin, Nicola, 2011).

Material magnet berbahan dasar ferit juga sangat efektif untuk absorber elektromagnet frekuensi Ultra tinggi seperti pada frekuensi radar yang bekerja pada frekuensi ratusan MHz hingga GHz. Sehingga dengan berbagai sifat yang dimiliki, ferit mampu mereduksi daya dan intensitas radiasi pada radar (Radar Cross Saction Reduction (RCSR) (Mirabel, 2002).

Prinsip kerja ferit sebagai material absorber adalah dapat meminimalisasi bahkan menghilangkan intensitas dan daya radiasi yang dipantulkan oleh radar. Dengan kemampuan ini material magnet ferit sering dimanfaatkan sebagai salah satu material anti deteksi radar (Simbolon, Silviana, 2013).

Salah satu aplikasi material magnet permanen barium heksaferit yang menjadi perhatian saat ini adalah sebagai alat penyerap gelombang mikro (RAM). Hal ini karena sifat istrik dan magnetik dari material ferrimagnetik ini sangat mendukung dalam aplikasi tersebut, yaitu memiliki permeabilitas dan resistivitas yang tinggi


(19)

1.2 RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Pengaruh aditif Al2O3 terhadap green body density, bulk density, porositas dari BaFe12O19

2. Pengaruh aditif Al2O3 terhadap fluks density dan kurva histeresis dari BaFe12O19

3. Pengaruh aditif Al2O3 terhadap mikrostruktur dari BaFe12O19 (X-Ray

Diffraction dan Optical Microscope)

1.3 BATASAN MASALAH

Penelitian ini memiliki batasan masalah, meliputi: 1. Variasi komposisi Al2O3 : 0, 1, 3, 5, 7 (% wt) 2. Waktu milling 12 dan 36 jam

Magnetic Field Press : 30 kgf/cm2 (8 kG) Temperatur sintering 1100oC (2 h)

3. Pengujian : Green Body Density, Bulk Density, Porositas, Magnetic Flux Density, XRD, OM, Permagraph

1.4 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui sifat fisis dari BaFe12O19 setelah penambahan aditif Al2O3 2. Mengetahui sifat magnet dari BaFe12O19 setelah penambahan aditif Al2O3 3. Mengetahui mikrostruktur dari Barium Hexaferrite (BaFe12O19) setelah

penambahan aditif Al2O3

1.5 MANFAAT PENELITIAN

Dari penelitian ini diharapkan dapat :

1. Memberikan informasi pembuatan Barium Heksaferit dengan aditif Al2O3. 2. Menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya.


(20)

1.6 SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I Pendahuluan

Bab ini mencakup latar belakang penelitian, batasan masalah yang akan diteliti, rumusan masalah yang akan diteliti, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab ini membahas tentang landasan teori yang menjadi acuan untuk proses pengambilan data, analisa data serta pembahasan.

Bab III Metode Penelitian

Bab ini membahas tentang peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini, diagram alir penelitian, dan prosedur penelitian.

Bab IV Metode Pengujian dan Analisa Data

Bab ini membahas tentang data hasil penelitian dan analisa data yang diperoleh dari penelitian.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari penelitian dan memberikan saran untuk penelitian yang lebih lanjut.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian magnet

Magnet atau magnit adalah suatu obyek yang mempunyai suatu medan magnet. Asal kata magnet diduga dari kata magnesia yaitu nama suatu daerah di Asia kecil. Menurut cerita di daerah itu sekitar 4.000 tahun yang lalu telah ditemukan sejenis batu yang memiliki sifat dapat menarik besi atau baja atau campuran logam lainnya. Benda yang dapat menarik besi atau baja inilah yang disebut magnet.

Di dalam kehidupan sehari-hari kata “magnet”sudah sering kita dengar, namun sering juga berpikir bahwa jika mendengar kata magnet selalu berkonotasi menarik benda. Untuk bisa mengambil suatu barang dari logam (contoh obeng besi) hanya dengan sebuah magnet, misalkan pada peralatan perbengkelan biasanya dilengkapi dengan sifat magnet sehingga memudahkan untuk mengambil benda yang jatuh di tempat yang sulit dijangkau oleh tangan secara langsung.

Bahkan banyak peralatan yang sering digunakan, antara lain bel listrik, telepon, dinamo, alat-alat ukur listrik, kompas yang semuanya menggunakan bahan magnet. Magnet dapat dibuat dari bahan besi, baja, dan campuran logam serta telah banyak dimanfaatkan untuk industri otomotif dan lainnya.

Sebuah magnet terdiri atas magnet-magnet kecil yang memiliki arah yang sama (tersusun teratur), magnetmagnet kecil ini disebut magnet elementer. Pada logam yang bukan magnet, magnet elementernya mempunyai arah sembarangan (tidak teratur) sehingga efeknya saling meniadakan, yang mengakibatkan tidak adanya kutub-kutub magnet pada ujung logam.

Setiap magnet memiliki dua kutub, yaitu: utara dan selatan. Kutub magnet adalah daerah yang berada pada ujung-ujung magnet dengan kekuatan magnet yang paling besar berada pada kutub-kutubnya. Magnet dapat menarik benda lain, beberapa benda bahkan tertarik lebih kuat dari yang lain, yaitu bahan logam. Namun tidak semua logam mempunyai daya tarik yang sama terhadap magnet. Besi dan baja adalah


(22)

dua contoh materi yang mempunyai daya tarik yang tinggi oleh magnet. Sedangkan oksigen cair adalah contoh materi yang mempunyai daya tarik yang rendah oleh magnet. Satuan intensitas magnet menurut sistem metrik Satuan Internasional (SI) adalah Tesladan SI unit untuk total fluks magnetik adalah weber(1 weber/m2= 1 tesla) yang mempengaruhi luasan satu meter persegi.

2.2. Medan Magnet

Medan magnet adalah daerah disekitar magnet yang masih merasakan adanya gaya magnet. Jika sebatang magnet diletakkan dalam suatu ruang, maka terjadi perubahan dalam ruang ini yaitu dalam setiap titik dalam ruang akan terdapat medan magnetik. Arah medan magnetik di suatu titik didefenisikan sebagai arah yang ditunjukkan oleh kutub utara jarum kompas ketika ditempatkan pada titik tersebut.

2.3. Macam-macam magnet

Berdasarkan sifat kemagnetannya magnet dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a. Magnet permanen.

Magnet permanen adalah suatu bahan yang dapat menghasilkan medan magnet yang besarnya tetap tanpa adanya pengaruh dari luar atau disebut magnet alam karena memiliki sifat kemagnetan yang tetap. Magnet permanen dibuat orang dalam berbagai bentuk dan dapat dibedakan menurut bentuknya menjadi :

1 Magnet batang

2 Magnet ladam (sepatu kuda) 3 Magnet jarum

4 Magnet silinder 5 Magnet lingkaran b. Magnet remanen

Magnet remanen adalah suatu bahan yang hanya dapat menghasilkan medan magnet yang bersifat sementara. Medan magnet remanen dihasilkan dengan cara mengalirkan arus listrik atau digosok-gosokkan dengan magnet alam. Bila suatu bahan pengantar dialiri arus listrik, besarnya medan magnet yang dihasilkan tergantung pada besar arus listrik yang dialirkan. Medan magnet remanen yang digunakan dalam praktek


(23)

kebanyakan dihasilkan oleh arus dalam kumparan yang berinti besi. Agar medan magnet yang dihasilkan cukup kuat, kumparan diisi dengan besi atau bahan sejenis besi dan sistem ini dinamakan electromagnet.

Keuntungan electromagnet adalah bahwa kemagnetannya dapat dibuat sangat kuat, tergantung dengan arus yang dialirkan. Dan kemagnetannya dapat dihilangkan dengan memutuskan arus listriknya.

2.4 Bahan Magnetik

Bahan magnetik adalah suatu bahan yang memiliki sifat kemagnetan dalam komponen pembentuknya. Berdasarkan perilaku molekulnya di dalam Medan magnetik luar, bahan magnetik terdiri atas tiga kategori, yaitu paramagnetik, feromagnetik dan diamagnetik.

2.4.1 Bahan Diamagnetik

Bahan diamagnetik adalah bahan yang resultan medan magnet atomis masing masing atom/molekulya adalah nol, tetapi medan magnet akibat orbit dan spin elektronnya tidak nol (Halliday & Resnick, 1978). Bahan diamagnetik tidak mempunyai momen dipol magnet permanen.

Jika bahan diamagnetik diberi medan magnet luar, maka elektron-elektron dalam atom akan mengubah gerakannya sedemikian rupa sehingga menghasilkan resultan medan magnet atomis yang arahnya berlawanan dengan medan magnet luar tersebut. Sifat diamagnetik bahan ditimbulkan oleh gerak orbital elektron.

Karena atom mempunyai elektron orbital, maka semua bahan bersifat diamagnetik. Suatu bahan dapat bersifat magnet apabila susunan atom dalam bahan tersebut mempunyai spin elektron yang tidak berpasangan. Dalam bahan diamagnetik hampir semua spin elektron berpasangan, akibatnya bahan ini tidak menarik garis gaya.

Permeabilitas bahan ini: µ< dengan suseptibilitas magnetik bahan: . Nilai bahan diamagnetik mempunyai orde -10-5m3/kg. Contoh bahan diamagnetik yaitu: bismut, perak, emas, tembaga dan seng.


(24)

2.4.2 Bahan Paramagnetik

Bahan paramagnetik adalah bahan yang resultan medan magnet atomis masing masing atom/molekulnya tidak nol, tetapi resultan medan magnet atomis total seluruh atom/ molekul dalam bahan nol, hal ini disebabkan karena gerakan atom/ molekul acak, sehingga resultan medan magnet atomis masing-masing atom saling meniadakan

(Halliday & Resnick, 1978).

Di bawah pengaruh medan eksternal, mereka mensejajarkan diri karena torsi yang dihasilkan. Sifat paramagnetik ditimbulkan oleh momen magnetik spin yang menjadi terarah oleh medan magnet luar.

Gambar 2.1 Arah domain-domain dalam bahan paramagnetik (a) sebelum diberi medan magnet luar (b) setelah diberi medan magnet luar (Masno G,dkk, 2006)

Bahan ini jika diberi medan magnet luar, elektron-elektronnya akan berusaha sedemikian rupa sehingga resultan medan magnet atomisnya searah dengan medan magnet luar. Sifat paramagnetik ditimbulkan oleh momen magnetik spin yang menjadi terarah oleh medan magnet luar. Dalam bahan ini hanya sedikit spin elektron yang tidak berpasangan, sehingga bahan ini sedikit menarik garis-garis gaya. Dalam bahan paramagnetik, medan B yang dihasilkan akan lebih besar dibanding dengan nilainya dalam hampa udara. Suseptibilitas magnet dari bahan paramagnetik adalah positif dan berada dalam rentang 10-5 sampai 10-3 m3/kg, sedangkan permeabilitasnya adalah µ> µ0. Contoh bahan paramagnetik : alumunium, magnesium dan wolfram.

2.4.3. Bahan Ferromagnetik

Bahan ferromagnetik mempunyai resultan medan magnet atomis besar, hal ini disebabkan oleh momen magnetik spin elektron. Pada bahan ini banyak spin elektron yang tidak berpasangan, masing-masing spin elektron yang tidak berpasangan ini akan


(25)

menimbulkan medan magnetik, sehingga medan magnet total yang dihasilkan oleh satu atom menjadi lebih besar (Halliday & Resnick, 1978). Medan magnet dari masing-masing atom dalam bahan ferromagnetik sangat kuat, sehingga interaksi diantara atom-atom tetangganya menyebabkan sebagian besar atom akan mensejajarkan diri membentuk kelompok-kelompok, kelompok inilah yang dikenal dengan domain.

Domain-domain dalam bahan ferromagnetik, dalam ketiadaan medan eksternal, momen magnet dalam tiap domain akan paralel, tetapi domain-domain diorientasikan secara acak, dan yang lain akan terdistorsi karena pengaruh medan eksternal. Domain dengan momen magnet paralel terhadap medan eksternal akan mengembang, sementara yang lain mengerut.

Semua domain akan menyebariskan diri dengan medan eksternal pada titik saturasi, artinya bahwa setelah seluruh domain sudah terarahkan, penambahan medan magnet luar tidak memberi pengaruh apa-apa karena tidak ada lagi domain yang perlu disearahkan, keadaan ini disebut dengan penjenuhan (saturasi).

Bahan ini juga mempunyai sifat remanensi, artinya bahwa setelah medan magnet luar dihilangkan, akan tetap memiliki medan magnet, karena itu bahan ini sangat baik sebagai sumber magnet permanen. Permeabilitas bahan : µ dengan suseptibilitas bahan: . Contoh bahan ferromagnetik : besi, baja. Sifat kemagnetan bahan ferromagnetik akan hilang pada temperatur Currie. Temperatur Currie untuk besi lemah adalah 770oC dan untuk baja adalah 1043oC.

Sifat bahan ferromagnetik biasanya terdapat dalam bahan ferit. Ferit merupakan bahan dasar magnet permanen yang banyak digunakan dalam industri- industri elektronika, seperti dalam loudspeaker, motor-motor listrik, dinamo dan KWH- meter (Afza, erini.2011).

2.5 Material Magnet Lunak (Soft Magnetic) dan Magnet Keras (Hard Magnetic)

Material magnetik diklasifikasikan menjadi dua yaitu material magnetik lemah atau

soft magneticmaterials maupun material magnetik kuat atau hard magnetic materials. Penggolongan ini berdasarkan kekuatan medan koersifnya dimana soft magnetic atau


(26)

material magnetik lemah memiliki medan koersif yang lemah sedangkan material magnetik kuat atau hard magnetic materials memiliki medan koersif yang kuat. Hal ini lebih jelas digambarkan dengan diagram histerisis atau hysteresis loop sebagai

loop.

Gambar 2.2 histeris material magnet (a) Material lunak (soft magnetic), (b) Material keras (hard magnetic)

Bahan magnetik lunak (soft magnetic) dapat dengan mudah termagnetisasi dan mengalami demagnetisasi. Magnet lunak mempertahankan sifat magnet pada medan magnet. Magnet lunak (soft magnetic) menunjukkan histeresis loop yang sempit, sehingga magnetisasi mengikuti variasi medan listrik hampir tanpa hysteresis loss. Magnet lunak (soft magnetic) digunakan untuk meningkatkan fluks, yang dihasilkan oleh arus listrik di dalamnya. Faktor kualitas dari bahan magnetik lunak adalah untuk mengukur permeabilitas yang sehubungan dengan medan magnet yang diterapkan. Parameter utama lainnya adalah koersivitas, magnetisasi saturasi dan konduktivitas listrik.

Bahan magnetik lunak ideal akan memiliki koersivitas rendah (Hc), saturasi yang sangat besar (Ms), remanen (Br) nol, hysteresis loss nol dan permeabilitas yang sangat besar. Kurva histerisi bahan magnetik lunak ditunjukkan pada Gambar 2-2. Beberapa bahan penting magnetik lunak diantaranya Fe, paduan Fe-Si, ferit lunak (MnZnFe2O4), besi silikon dan lain-lain (Poja Chauhan,


(27)

Bahan magnetik keras memiliki loop histeresis lebar karena magnetisasi yang kuat yang ditunjukkan pada gambar 2-2. Bahan Magnet keras (hard magnetic) juga disebut sebagai magnet permanen yang digunakan untuk menghasilkan medan yang kuat tanpa menerapkan arus ke koil. Magnet permanen memerlukan koersivitas tinggi, sehingga magnet harus mempunyai medan magnet yang kuat dan stabil terhadap bidang eksternal, yang membutuhkan koersivitas tinggi. Dalam bahan magnet keras (hard magnetic) anisotropi diperlukan magnetik uniaksial dan sifat magnetik berikut :

1. Koersivitas tinggi (high coercivity): koersivitas, juga disebut medan koersif, dari bahan feromagnetik adalah intensitas medan magnet yang diterapkan atau diperlukan untuk mengurangi magnetisasi bahan ke nol setelah magnetisasi sampel telah mencapai saturasi. Koersivitas biasanya diukur dalam satuan Oersted atau ampere / meter dan dilambangkan Hc. Bahan dengan koersivitas tinggi disebut bahan ferromagnetik keras, dan digunakan untuk membuat magnet permanen.

2. Magnetisasi besar (large magnetization): Proses pembuatan subtansi sementara atau magnet permanen, dengan memasukkan bahan dalam medan magnet Rectangular hysteresis loop: Sebuah loop hysteresis menunjukkan hubungan antara diinduksi kerapatan fluks magnet (B) dan gaya magnet (H). bahan magnetik keras memiliki histeresis loop yang persegi panjang

(Poja Chauhan, 2010). 2.6 Barium Heksaferit

Barium heksaferit adalah salah satu bahan magnetik yang sudah dipakai dalam waktu yang lama. Bahkan barium heksaferit sudah mulai difabrikasi pada tahun 1950. Jadi barium heksaferit adalah „barang lama‟ dalam dunia kemagnetan dan sains.

Barium heksaferit memiliki struktur heksagonal. Struktur heksagonal memiliki nilai a dan b yang sama sedang c berbeda. Nilai sudut alfa dan beta 900 sedang nilai gamma adalah 1200. Setiap satu kristal barium heksaferit terdapat dua molekul barium heksaferit. Jadi setiap satu kristal barium heksaferit terdapat 2 atom Ba, 24 atom Fe dan 38 atom O.


(28)

Barium heksaferit terdiri dari beberapa lapisan dengan arah momen magnet berbeda, sehingga barium heksaferit adalah bahan ferrimagnetik. Setiap atom Fe pada barium heksaferit memiliki momen dipole magnet 5.9 magneton Bohr (Q Pameela,

2011).

Gambar 2.3. Struktur kristal Barium Heksaferit (Moulson A.J, et all., 1985) 2.7 Alumina

Alumina merupakan persenyawaan kimia antara logam aluminium dengan oksigen (Al2O3). Alumina di alam ditemukan dalam bentuk bauksit. Alumina merupakan bahan baku utama dalam proses elektrolisa aluminium. Alumina mempunyai morfologi sebagai bubuk berwarna putih dengan berat molekul 102, titik leleh pada 2050oC, dan spesifikasi gravity 3,5 - 4,0.

Dalam industri peleburan alumina memegang 3 fungsi penting yaitu: 1. Sebagai bahan baku utama dalam memproduksi aluminium.

2. Sebagai insulasi ternal untuk mengurangi kehilangan panas dari atas tungku reduksi, dan untuk mempertahankan temperatu operasi.

3. Melindungi anoda dari oksidasi udara (Cyntia Ayu, 2011).

Satu-satunya oksida aluminium adalah alumina (Al2O3). Meskipun demikian, kesederhanaan ini diimbangi dengan adanya bahan-bahan polimorf dan terhidrat yang sifatnya bergantung kepada kondisi pembuatannya. Terdapat dua bentuk anhidrat Al2O3 yaitu α-Al2O3 dan -Al2O3. Logam-logam trivalensi lainnya (misalnya Ga, Fe)


(29)

membentuk oksida-oksida yang mengkristal dalam kedua struktur yang sama. Keduanya mempunyai tatanan terkemas rapat ion-ion oksida tetapi berbeda dalam tatanan kation-kationnya. α-Al2O3 stabil pada suhu tinggi dan juga metastabil tidak terhingga pada suhu rendah. Ia terdapat di alam sebagai mineral korundum dan dapat dibuat dengan pemanasan -Al2O3 atau oksida anhidrat apa pun di atas 1000oC. -Al2O3 diperoleh dengan dehidrasi oksida terhidrat pada suhu rendah (~450o). α-Al2O3 keras dan tahan terhadap hidrasi dan penyerapan asam. -Al2O3 mudah menyerap air dan larut dalam asam; alumina yang digunakan untuk kromatografi dan diatur kondisinya untuk berbagai kereaktifan adalah -Al2O3 (Max Well, 1968).

Tabel 2.1 Sifat-Sifat Fisis Alumina Al2O3

No Sifat Fisis Satuan

Jenis-jenis Alumina

Catatan Sandy

-Al2O3

Floury α-Al2O3

1 Al2O3 % 5 90 Sinar-X

2 Berat Jenis gr/cm3 3,5 3,9

3 Sudut Letak Derajat 30 40 1100o

4 Permukaan Letak M2 42 2

5 Densitas Bebas gr/cm3 1,1 0,8

6 Densitas Terikat gr/cm3 1,3 1,0

7 Kehilangan dalam

Pemijaran % 1,8 0,2

(Burkin A.R, 1987)

2.7.1 Struktur Keramik Alumina (Al2O3)

Senyawa alumina (Al2O3) bersifat polimorfi yaitu dintaranya memiliki struktur alpha (α)-Al2O3 dan ( )-Al2O3. Bentuk struktur yang lain misalnya beta ( )- Al2O3 adalah alumina tidak murni yang merupakan paduan antara Al2O3-Na2O dengan formula Na2O.11 Al2O3 (Walter 1970). Alpha (α)-Al2O3 merupakan bentuk struktur yang paling stabil sampai suhu tinggi dan memiliki nama lain yaitu korundum. Struktur dasar korondum adalah tumpukan padat heksagonal (Hexagonal Closed Packed, HCP)


(30)

oktohedral, sedangkan anionnya (O2-) menempati posisi HCP. Bilangan koordinasi dari struktur korundum adalah 6, maka tiap ion Al3+ dikelilingi oleh 6 ion O2-, dan tiap ion O2- dikelilingi oleh 4 ion Al3+ untuk mencapai muatan yang netral. Struktur gamma ( )-Al2O3 merupakan senyawa alumina yang stabil dibawa 1000oC dan umumnya lebih reaktif dibandingkan dengan struktur alpha (α)-Al2O3 (Walter 1970).

2.7.2 Sifat-Sifat Alumina

Aluminium oksida adalah insulator (penghambat) panas dan listrik yang baik. Umumnya Al2O3 terdapat dalam bentuk kristalin yang disebut dengan corondum atau α-aluminium oksida (Andry Adhe, 2010). Umumnya keramik alumina disamping tahan suhu tinggi juga memiliki sifat tahan kimia dan tahan korosi pada suhu tinggi. Keramik korundum murni dibuat melalui suhu tinggi (1800-1900oC) (Reynen, 1986). Aluminium oksida dipakai sebagai bahan abrasive, sebagai komponen dalam alat pemotong, peralatan listrik atau elektronik, refraktori, komponen mekanik, dan sebagai bio-inert material (Ichinose, 1983). Sedangkan -Al2O3 yang sifatnya reaktif dan stabil dibawah suhu 1000oC, aplikasinya banyak digunakan sebagai reagen kimia dan bahan katalis (Worral, 1986). Aluminium oksida berperan penting dalam ketahanan logam aluminium terhadap pengkaratan dengan udara. Logam aluminium sebenarnya amat mudah bereaksi dengan oksigen di udara. Aluminium bereaksi dengan oksigen membentuk aluminium oksida, yang terbentuk sebagai lapisan tipis yang dengan cepat menutupi permukaan aluminium. Lapisan ini melindungi logam aluminium dari oksida lebih lanjut.

Alumina yang dihasilkan melalui anodiasi bersifat amorf, namun beberapa proses oksidasi seperti plasma electrolytic oxydation menghasilkan sebagian besar alumina dalam bentuk kristalin, yang meningkatkan kekerasan. Menjelaskan sifat-sifat aluminium oksida dapat menimbulkan kebingungan karena dapat berada pada beberapa bentuk yang berbeda. Salah satu bentuknya sangat tidak reaktif. Ini diketahui secara kimia sebagai α-Al2O3 dan dihasilkan pada temperatur yang tinggi. Aluminium oksida merupakan senyawa amfoter, artinya dapat bereaksi baik sebagai basa maupun asam (Andry Adhe, 2010).


(31)

Table 2.2 Sifat-Sifat Keramik Alumina Al2O3

Parameter Al2O3

Densitas, gr/cm3 3,96

Koefisien termal ekspansi, oC-1 (8-9) x 10-6

Kekuatan Patah, Mpa 350

Sifat daya hantar panas Konduktor

Kekerasan (Hv), kgf/mm2 1500-1800

Titik lebur, oC 2050

Ketangguhan, Mpa m1/2 4,9

(Awan Maghfirah, 2007)

2.8 Substitusi Al2O3 pada Barium Heksaferit

Barium heksaferit memiliki struktur yang berlapis-lapis. Substitusi pada atom barium heksaferit bertujuan untuk meningkatkan sifat magnetik dari barium heksaferit. Penggantian atau substitusi pada atom Ba lebih kepada untuk mengubah parameter kisi. Sedang penggantian pada atom Fe adalah untuk mengganti atom Fe dengan atom magnetik lain yang momen magnetnya lebih besar atau lebih kecil.

Sebagian besar hasil pengukuran sifat magnetik setelah substitusi menurun dibandingkan sebelum substitusi. Pengurangan ini diakibatkan oleh medan magnet yang lebih kecil dari atom Al yang disubstitusi (Guerro, 2011).

2.9 Pembuatan Magnet

Pembuatan magnet permanen didasarkan atas cara-cara pembuatan keramik secara umum. Dimana pada proses pembuatannya meliputi beberapa tahap antara lain: pencampuran bahan baku, pembentukan dan pembakaran (sintering). Parameter-parameter proses pembuatan keramik sangat tergantung pada jenis keramik yang akan dibuat, aplikasinya dan sifat-sifat fisis yang diharapkan (Erini Afza, 2011). Proses pembuatan keramik tradisional memiliki parameter yang berbeda dibandingkan dengan proses pembuatan keramik teknik. Pada proses pembuatan keramik tradisional hanya diperlukan bahan baku alam dengan tingkat kemurnian yang tidak tinggi, sedangkan pada proses pembuatan keramik teknik diperlukan bahan baku dengan tingkat kemurnian tinggi serta terkontrol agar diperoleh sifat-sifat bahan yang sesuai


(32)

dengan pengaplikasiannya (Gernot, 1988). Adapun tujuan dari pembuatan magnet ini adalah untuk menghasilkan magnet keramik permanen dengan kekuatan fisis yang baik serta menghasilkan kekuatan magnet yang baik pula.

2.9.1 Kompaksi

Ada beberapa cara proses pembentukan keramik tergantung bentuk yang ukuran yang dikehendaki (Read, 1988), yaitu : cetak tekan (die pressing), ekstrusi dan cetak cor (slip casting).

a. Proses pembentukan dengan tekan (die pressing)

Cara ini cocok digunakan untuk membuat bentuk yang tebal dan sederhana. Dalam proses ini ditambahkan bahan pembantu seperti misalnya bahan perekat (cellulose, polyvinyl alcohol) dan bahan pelumas (asam stearat). proses cetak tekan ada dua macam yaitu : dengan tekanan biasa yang arah tekanannya satu arah dan dengan cara isostatik pres yang arah tekannya ke segala arah

(Franklin, 1976).

b. Proses pembentukan dengan ekstrusi

Cara ini dilakukan untuk bahan yang memiliki plastisitas tinggi , biasanya untuk membuat produk dalam bentuk pipa, bata berlubang dan filter honeycomb. Untuk bahan yang tidak plastis perlu ditambahkan bahan tambahan yaitu plastisizing agent.

c. Proses pembentukan dengan cara cor

Cara ini digunakan untuk membentuk produk-produk keramik yang memiliki bentuk yang rumit. Pencetakan dengan cara ini harus disediakan massa tuang dalam bentuk suspensi dengan kekentalan dan kandungan padatan yang tertentu, agar dapat dengan mudah dituangkan pada cetakan yang terbuat dari gips (plaster of Paris). Sifat rheologi massa tuang sangat menentukan hasil cetakannya.

Dalam penelitian ini, teknik pencetakan yang digunakan adalah cetak tekan (die pressing) dengan bahan perekat polyvinyl alcohol (Reed, 1988).

Untuk pencetakan dilakukan kompaksi dengan alat Hydraulic Press (Hydraulic Jack) yang memiliki kekuatan tekanan hingga 100 ton ( 100kgf/cm2). Untuk cetakan


(33)

yang digunakan adalah cetakan yang terbuat dari baja berupa SS316 karena sifatnya yang tahan korosi dan kekuatan mekaniknya keras. Kompaksi atau penekanan digunakan untuk merapatkan material. Semakin besar tekanan semakin rapat butiran-butiran yang ditekan. Penekanan ini biasa dibuat secara isotropi dan anisotropi. Penekanan isotropi berarti dengan kompaksi dalam ruang bebas tanpa medan magnet. Sedang anisotropi berarti kompaksi dilakukan dalam ruang yang diberi medan magnet. Medan magnet berasal dari koil yang dialiri arus.

Cetak anisotropi akan memberikan hasil berbeda dengan cetak isotropi. Material cetak anisotropi akan lebih mudah disearahkan domain-domain magnetnya ketika dimagnetisasi. Karena sifat domainnya sendiri sudah anisotropi. Ini terjadi karena pada hakikatnya magnetisasi adalah pergeseran domain.

Ada juga cetak isotropi. Cetak isotropi adalah cetak dalam kondisi biasa tanpa medan magnet. Setelah dicetak dan disintering kemudian sampel dimagnetisasi. Sehingga sampel akan tetap terorientasi.

Dalam penelitian ini penekanan yang dipakai adalah cetak anisotropi yang dilakukan dalam ruang yang diberi medan magnet yang berasal dari koil yang dialiri arus (Syukur Daulay, 2012).

2.9.1.1 PVA (Polyvinyl Alcohol)

Dalam proses pembuatan keramik biasanya digunakan aditif untuk mempermudah proses pencetakan dan untuk membantu mengontrol microstructure dari material yang dihasilkan. Pada proses pencetakan, aditif memiliki berbagai fungsi antara lain sebagai binder , sebagai plasticer dispersants dan lubricans. Fungsi penting dari binder adalah untuk meningkatkan kekuatan dari keramik hasil pencetakan. PVA sangat mudah untuk menyusut dan sebagai pelarut yang cepat.

PVA memiliki titik leleh pada suhu 2300C dan pada suhu 180-1900C akan terhidrolisis sepenuhnya dengan perubahan hidrolisis secara parsial. Material ini akan terdekomposisi pada suhu diatas 2000C sehingga PVA mampu digunakan dalam proses pirolisis pada temperature tinggi (Karina Okky, 2014).


(34)

PVA dalam penelitian ini digunakan sebagai bahan perekat untuk pencampuran bahan agar lebih menyatu dan mudah dicetak dan menghasilkan bentuk pellet yang baik.

2.10 Karakterisasi Material Keramik

Untuk mengetahui sifat-sifat dan kemampuan suatu material maka perlu dilakukan pengujian dan analisis. Beberapa jenis pengujian dan analisis yang dibahas untuk keperluan penelitian ini antara lain: pengujian sifat fisis (densitas, porositas, kekuatan magnet), analisa struktur dengan menggunakan alat uji OM (Optical Microscope), dan untuk menganalisa struktur kristal dengan menggunakan alat uji XRD(X-Ray Diffraction) (Ahmad Faisal, 2007).

2.10.1 Sifat Fisis

Untuk mengetahui sifat-sifat fisis suatu material maka perlu dilakukan pengujian yaitu densitas, porositas dan susut bakar.

2.10.1.1 Densitas

Densitas merupakan ukuran kepadatan dari suatu material atau sering didefinisikan sebagai perbandingan antara massa (m) dengan volume (v) dalam hubungannya dapat dituliskan sebagai berikut (M M. Ristic, 1979):

(2.1) Dimana:

ρ= Densitas (gram/cm3 ) m = Massa sampel (gram) v = Volume sampel (cm3)

Densitas merupakan ukuran kepadatan dari suatu material. Ada dua macam densitas yaitu : bulk density dan densitas teoritis (true density). Bulk density adalah densitas dari suatu sampel yang berdasarkan volume bulk atau volume sampel termasuk dengan pori atau rongga yang ada pada sampel tersebut. Pengukuran bulk density untuk bentuk yang tidak beraturan dapat ditentukan dengan metode Archimedes, yaitu dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Chester, 1990).


(35)

(2.2)

Dimana :

ρ = Densitas sampel (g/cm3) ρair = Densitas air (g/cm3)

= Massa sampel setelah dikeringkan di oven (g) = Massa sampel setelah direndam selama 10 menit (g)

2.10.1.2 Porositas

Porositas dapat didefenisikan sebagai perbandingan antara jumlah volume lubang-lubang kosong yang dimiliki oleh zat padat (volume kosong) dengan jumlah dari volume zat padat yang ditempati oleh zat padat. Porositas pada suatu material dinyatakan dalam persen (%) rongga fraksi volume dari suatu rongga yang ada di dalam material tersebut.

Besarnya porositas pada suatu material bervariasi mulai dari 0 % sampai dengan 90 % tergantung dari jenis dan aplikasi material keramik tersebut. Ada dua macam porositas yaitu : porositas terbuka dan porositas tertutup. Porositas yang tertutup pada umumnya sulit untuk ditentukan dan pori tersebut merupakan suatu rongga yang terjebak dalam padatan serta tidak ada akses ke permukaan luar. Sedangkan pori terbuka masih ada akses ke permukaan luar, walaupun ronga tersebut berada ditengah-tengah padatan.

Porositas suatu bahan umumnya dinyatakan sebagai porositas terbuka atau

apparent porosity. Porositas terbuka adalah ratio antara volume pori terbuka didalam material terhadap volume material. Persamaan untuk menghitung porositas terbuka adalah (Chester, 1990) :


(36)

Dimana :

P = Porositas (%)

= Massa sampel setelah dikeringkan di oven (g) = Massa sampel setelah direndam selama 10 menit (g)

2.10.2 Sifat Magnet

Untuk karakterisasi sifat magnet menggunakan alat permagraph yaitu alat yang dapat menganalisis sampel dengan output berupa kurva histerisis yang dilengkapi dengan nilai induksi remanensi (Br) dan gaya koersif (Hc). Pada saat pengukuran berlangsung terjadi proses magnetisasi pada sampel, sehingga sampel akan memiliki sifat magnet setelah pengujian dilakukan.

Dalam penelitian ini, alat yang digunakan untuk mengetahui sifat magnetnya adalah Gaussmeter dan Permagraph.

2.10.2.1 Permagraph

Permagraph merupakan salah satu alat ukur sifat magnet dari berbagai kelompok seperti Alnico, Ferrite atau dari logam tanah jarang. Sifat magnet yang akan diukur oleh permagraph diantaranya adalah koersifitas Hc, nilai produk maksimum (BH)max dan remanensi Br.

Untuk permagraph C memiliki perlengkapan dalam pengukuran kurva histerisis bahan permanen magnet seperti : electronik EF 4-1F, elektromagnet EP 2/E (kuat medan magnet sampai dengan 1800 kA/m = 2.2 Tesla), komputer dan printer.

Hasil yang dapat diperoleh dari permagraph C : otomatis mengukur kurva histerisis magnet permanen (B-H curve), dapat menentukan kuantitas magnet seperti koersifitas, remanensi, nilai produk maksimum, pengukuran dengan surrounding coils untuk menentukan nilai rata-rata magnetik dan pengukuran distribusi kuat medan magnet permanen dengan pole coils.


(37)

2.10.3 Analisa Sruktur Kristal 2.10.3.1 XRD (X-Ray Diffraction)

Fenomena interaksi dan difraksi sudah dikenal pada ilmu optik. Standar pengujian di laboratorium fisika adalah untuk menentukan jarak antara dua gelombang dengan mengetahui panjang gelombang sinar, dengan mengukur sudut berkas sinar yang terdifraksi. Pengujian ini merupakan aplikasi langsung dari pemakaian sinar X untuk menentukan jarak antara kristal dan jarak antara atom dalam kristal (Smallman,

1991).

Struktur kristal dapat ditentukan salah satunya dengan menggunakan pengujian X-Ray Diffraction (XRD). X-Ray Diffraction adalah alat yang dapat memberikan data-data difraksi dan kuantitas intensitas difraksi pada sudut-sudut difraksi (2ϴ) dari suatu sampel. Tujuan dilakukannya pengujian analisis struktur kristal adalah untuk mengetahui perubahan fasa struktur bahan dan mengetahui fasa-fasa apa saja yang terbentuk selama proses pembuatan sampel uji (Theresya S,

2014).

Sinar-X merupakan gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 0,5 sampai 2,5 Angstrom yang mendekati jarak antar atom kristal (Cahn, 1992). Sinar-X dapat digunakan untuk mengetahui struktur kristal dan fasa suatu material. Bila sinar-x dengan panjang gelombang λ diarahkan ke suatu permukaan kristal dengan sudut dating sebesar , maka sebagian sinar akan dihamburkan oleh bidang atom dalam kristal. Berkas sinar-x yang dihamburkan dalam arah-arah tertentu akan menghasilkan puncak-puncak difraksi yang dapat diamati dengan peralatan X-Ray Diffraction (Cullity, 1978). Menurut syarat terjadinya difraksi, beda lintasan merupakan kelipatan bilangan bulat dari panjang, sehingga hal tersebut dirumuskan W.L.Brag (Kaston S, 2007).

nλ=βdsin (2.4) Dengan :

n = orde difraksi (n = bilangan bulat 1,β,γ…) λ = panjang gelombang sinar-X


(38)

2.10.3.2 Analisis Mikrostuktur dengan Optical Microscope

Optical Microscope mempunyai fungsi yang hampir sama dengan SEM (Scanning Electron Microscope) yaitu untuk mengetahui bentuk dan ukuran dari butir-butir serta mengetahui interaksi satu butir dengan butir lainnya. Melalui observasi dengan OM dapat diamati seberapa jauh ikatan butiran yang satu dengan yang lainnya dan apakah terbentuk lapisan diantara butiran atau disebut grain boundary. Analisis mikrostruktur dengan menggunakan OM bertujuan untuk mengetahui susunan partikel-partikel setelah proses sintering,dan juga dapat diketahui perubahannya akibat variasi suhu sintering. Dari foto OM yang dihasilkan dapat diketahui apakah terjadi perbesaran butiran atau grain growth, sejauh mana pori-pori sisa yang terbentuk didalam badan keramik. Adapun perbedaan antara SEM dan OM adalah terletak pada perbesaran obyek (resolusi) yang lebih tinggi daripada mikroskop optik. Sebenarnya, dalam fungsi perbesaran obyek, SEM juga menggunakan lensa, namun bukan berasal dari jenis gelas sebagaimana pada mikroskop optik, tetapi dari jenis magnet. Sifat medan magnet ini bias mengontrol dan mempengaruhi electron yang melaluinya, sehingga bisa berfungsi menggantikan sifat lensa pada mikroskop optik.


(39)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan selama empat bulan dimulai dari Februari 2015 – Mei 2015 dibeberapa laboratorium, yaitu :

1. Pusat Penelitian Pengembangan Fisika (P2F) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Puspitek Serpong.

2. Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (P2ET) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung.

3.2 Peralatan dan Bahan 3.2.1 Peralatan

Pada penelitian ini, peralatan yang digunakan antara lain :

a. Spatula , Sebagai alat untuk mengambil sampel yang berbentuk bubuk. b. Gelas ukur (pyrex 100 ml), Sebagai alat untuk mengukur volume

aquades yang akan digunakan dan sebagai tempat air saat pengukuran densitas sampel.

c. Mortar, Sebagai tempat penghancuran bahan sehingga menjadi butiran kecil.

d. Neraca Digital 3 digit, Sebagai alat untuk menimbang bahan-bahan yang akan digunakan dalam pembuatan magnet.

e. Kertas Pasir, Sebagai kertas penghalus permukaan sampel.

f. Molding, Sebagai alat untuk mencetak sampel yang berdiameter 2 cm. g. Hydraulic Press ( Hydraulic Jack ), Sebagai alat untuk menekan

pada proses cold compaction sampel yang telah dimasukkan ke dalam cetakan dengan kekuatan tekanan tertentu dengan kapasitas maksimum tekanan 100 ton ( 100kgf/cm2).

h. Oven, Sebagai alat untuk mengeringkan sampel setelah mengalami pencampuran dan pencetakan.


(40)

i. Jangka sorong, Sebagai alat untuk mengukur besarnya diameter dan tebal sampel dalam bentuk pelet.

j. Tissu, Sebagai lap pembersih peralatan.

k. X-Ray Difraktometer ( XRD), Sebagai alat karakterisasi struktur sampel.

l. Magnetizer, Sebagai alat untuk memberikan medan magnetik pada sampel magnetisasi dengan tegangan 1000 volt.

m. Gaussmeter, Sebagai alat untuk mengukur besarnya medan magnet sampel.

n. Magnet-Physic Dr. Steingroever GmbH Permagraph C, Sebagai alat untuk mengukur kuat medan magnetik dari sampel.

3.2.2 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. BaFe12O19

Fungsi : sebagai bahan baku yang digunakan untuk membuat magnet permanen.

b. Al2O3

Fungsi : sebagai campuran yang ditambahkan ke dalam bahan baku dengan perbandingan 1,3,5,7 (% wt).

c. PVA

Fungsi : sebagai perekat. d. Aquades

Fungsi : untuk pengukuran massa dengan metode Archimedes dan dengan menggunakan picknometer.

3.3.Tahapan Penelitian

Penelitian yang dilakukan meliputi: pencampuran bahan menggunakan Planetary Ball Milling (PBM), pencetakan, proses sintering, magnetisasi, dan pengukuran karakterisasi bahan. Berikut ini adalah tahapan penelitian yang akan dilakukan:


(41)

Ditambahkan

Gambar 3.1 Tahapan Penelitian Pembuatan Magnet Permanen Barium Heksaferit dengan Aditif Al2O3

Mulai

BaFe12O19 Al2O3

Mixing dan Milling Komposisi 100:0 , 99:1 , 97:3 , 95:5 , 93:7 % wt Variasi waktu 12 dan 36 h

Kompaksi 30kgF/cm2 (8kG)

Sintering Suhu 1100 0C (2 h) Green Body Density

1. Bulk Density 2. Porositas 3. XRD

4. Optical Microscope

Dimagnetisasi

Magnet

1. Magnetic Flux Density 2. Permagraph


(42)

3.3.1. Pembuatan Sampel Uji

Pembuatan sampel uji dilakukan dengan cara dry pressing (cetak kering). Proses pembentukan sampel dengan penekanan (dry pressing) ini dengan tambahan Poly Vinyl Alcohol (PVA) sebagai bahan perekat sebanyak 2 %wt dan Alumina (Al2O3) sebagai aditif sebanyak 0%, 1%, 3%, 5%, 7% (wt) yang dicampurkan merata dengan serbuk Barium Heksaferit. Sebelum sampel dimasukkan ke dalam cetakan, dinding cetakan terlebih dahulu dilapisi (diolesi) dengan pelumas agar mempermudah proses kompaksi (penekanan).

Gambar 3.3 Alat kompaksi Hydraulic Press (Hydraulic Jack)

Serbuk magnet dimasukkan ke dalam cetakan dan dilakukan penekanan (kompaksi) dengan hydraulic Jack press kapasitas 30 kgf/cm2 (8 kG) ditahan selama 1 menit. Proses kompaksi ini melalui orientasi partikel magnet (anisotropi), dimana medan magnet yang dihasilkan oleh arus listrik pada coil. Adapun desain alat magnetisasi disesuaikan dengan cetakan agar mudah dikeluarkan dari cetakan dan tidak hancur pada saat pengeringan. Hasil cetakan berupa pelet dengan ukuran rata-rata diameter 20 mm dan tebal 3 mm.


(43)

3.3.2. Sintering

Sintering adalah pengikatan massa partikel pada serbuk oleh interaksi antar molekul atau atom melalui perlakuan panas dengan suhu sintering mendekati titik leburnya sehingga terjadi pemadatan. Tahap sintering merupakan tahap yang paling penting dalam pembuatan keramik. Melalui proses sintering terjadi perubahan struktur mikro seperti pengurangan jumlah dan ukuran pori, pertumbuhan butir serta peningkatan densitas. Faktor-faktor yang menentukan proses dan mekanisme sintering antara lain jenis bahan, komposisi bahan dan ukuran partikel. Proses sintering pada magnet keramik BaFe12O19 dilakukan dengan cara pemanasan sampel dalam tungku listrik (furnace) dengan suhu 1100 oC yang ditahan selama 2 jam. Sampel yang telah disintering kemudian dimagnetisasi dengan magnetizer pada tegangan 1000 volt.

Gambar 3.4 Vacum Furnace

Langkah-langkah untuk melakukan proses sintering adalah sebagai berikut : 1. Menyiapkan sampel yang akan disintering.

2. Memasukkan sampel ke dalam tungku pembakaran dengan menggunakan bata tahan panas.

3. Mengkalibrasi vacuum furnace.

4. Memutar saklar pada posisi “ON” untuk menghidupkan tungku.

5. Mengatur suhu pembakaran yang diinginkan dan pada puncaknya ditahan selama 2 jam.

6. Mematikan tungku setelah proses sintering selesai. 7. Mengeluarkan sampel dari tungku pembakaran.


(44)

3.3.3 Magnetisasi

Magnetisasi adalah merupakan suatu proses menggunakan alat yang disebut

Magnetizer, fungsinya untuk memberikan medan magnetik pada sampel (magnetisasi) maupun menghilangkan medan magnetic (demagnetisasi) dengan tegangan 1000 volt.

Gambar 3.5 Alat Magnetizer 3.4. Karakterisasi

Setelah semua treatment telah dilakukan maka dilanjutkan dengan karakterisasi. Adapun karakterisasi yang dilakukan adalah densitas, porositas, analisa XRD, OM, pengukuran fluks density dengan Gausmeter, B-H curve dengan Permagraph.

3.4.1 Uji Densitas

a. Green Body density

Prosedur kerja untuk menentukan besarnya green body density (g/cm3) suatu sampel berbentuk pellet adalah sebagai berikut :

1. Sampel yang sudah dicetak ditimbang massa, diameter dan tingginya 2. Kemudian dikeringkan ke dalam oven dengan suhu 80oC

3. Setelah dikeringkan sampel ditimbang kembali massa, diameter dan tingginya 4. Hasil pengukuran dikalkulasikan dengan menggunakan rumus


(45)

b. Bulk Density

Bulk density merupakan densitas sampel yang berdasarkan volume sampel termasuk dengan rongga atau pori. Pengujian Bulk density dilakukan untuk megukur benda padatan yang besar dengan bentuk yang beraturan maupun yang tidak beraturan. Pada pengujian Bulk density menggunakan metode Archimedes. Prosedur kerja untuk menentukan besarnya bulk densitas (gr/cm3) suatu sampel berbentuk pellet adalah sebagai berikut:

1. Menyiapkan sampel, aquades, gelas beaker, neraca digital dan kawat penimbang sampel di dalam air.

2. Tuangkan aquades kira-kira ¾ dari volume gelas beaker, sampel dicelupkan kedalam gelas beaker, kemudian panaskan menggunakan kompor listrik sampai suhu kira-kira 50 0C selama 10 menit.

3. Letakkan penyangga pada neraca digital, kemudian kalibrasi. 4. Celupkan kawat ke dalam aquades pada gelas beaker.

5. Kalibrasi neraca setelah kawat dan tiang penyangga diletakkan diatas neraca. 6. Sampel yang telah dipanaskan ditimbang di dalam gelas beaker yang telah

berisi aquades sebagai massa basah (Mb).

7. Mengeringkan sampel yang telah diukur ke dalam oven dengan suhu 750C selam 12 jam.

8. Menimbang massa sampel di udara dengan menggunakan kawat sebagai massa sampel kering (Mk).

9. Menghitung nilai bulk density.

3.4.2. Porositas

Porositas didefenisikan sebagai banyaknya lubang atau pori yang terdapat dalam suatu sampel yang telah selesai dibuat. Pengujian ini juga menghasilkan perbandingan sampel mana yang memiliki nilai terbaik.

Langkah kerja untuk menentukan besarnya porositas (%) suatu sampel yaitu:

1. Menyiapkan sampel, aquades, gelas beaker, neraca digital dan kawat penimbang sampel di dalam air.


(46)

2. Tuangkan aquades kira-kira ¾ dari volume gelas beaker, sampel dicelupkan kedalam gelas beaker, kemudian panaskan menggunakan kompor listrik sampai suhu kira-kira 50 0C selama 10 menit.

3. Letakkan penyangga pada neraca digital, kemudian kalibrasi. 4. Celupkan kawat ke dalam aquades pada gelas beaker.

5. Kalibrasi neraca setelah kawat dan tiang penyangga diletakkan diatas neraca. 6. Sampel yang telah dipanaskan ditimbang di dalam gelas beaker yang telah

berisi aquades sebagai massa basah (Mb).

7. Mengeringkan sampel yang telah diukur ke dalam oven dengan suhu 750C selam 12 jam.

8. Menimbang massa sampel di udara dengan menggunakan kawat sebagai massa sampel kering (Mk).

9. Menghitung nilai porositasnya.

3.5 Sifat Magnet

Untuk karakterisasi sifat-sifat magnet menggunakan alat Impluse magnetizer, berfungsi untuk memberikan medan magnet luar pada sampel agar memiliki magnet. Setelah itu di hitung nilai medan magnetnya menggunakan gaussmeter. Dan untuk karakterisasi sifat magnet yang lainnya menggunakan alat permagraph yaitu alat yang dapat menganalisis sampel dengan output berupa kurva histerisis yang dilengkapi dengan nilai induksi remanensi (Br) dan gaya koersif (Hc). Pada saat pengukuran berlangsung terjadi proses magnetisasi pada sampel, sehingga sampel akan memiliki sifat magnet setelah pengujian dilakukan.

3.5.1. Permagraph

Permagraph merupakan salah satu alat ukur sifat magnet dari berbagai kelompok seperti Alnico, Ferrite atau dari logam tanah jarang. Sifat magnet yang akan diukur oleh permagraph diantaranya adalah koersifitas Hc, nilai produk maksimum (BH)max dan remanensi Br. Untuk permagraph C memiliki perlengkapan dalam pengukuran kurva histerisis bahan permanen magnet seperti : electronik EF 4-1F, elektromagnet EP 2/E (kuat medan magnet sampai dengan 1800 kA/m = 2.2 Tesla), komputer dan printer.


(47)

Hasil yang dapat diperoleh dari permagraph C : otomatis mengukur kurva histerisis magnet permanen (B-H curve), dapat menentukan kuantitas magnet seperti koersifitas, remanensi, nilai produk maksimum, pengukuran dengan surrounding coils untuk menentukan nilai rata-rata magnetik dan pengukuran distribusi kuat medan magnet permanen dengan pole coils.

3.6 Analisa Mikrostruktur

3.6.1 XRD (X-ray Diffractrometer)

Difraksi sinar X atau X-ray diffraction (XRD) adalah suatu metode analisa yang digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel. Profil XRD juga dapat memberikan data kualitatif dan semi kuantitatif pada padatan atau sampel. Difraksi sinar X ini digunakan untuk beberapa hal, diantaranya:

1. Pengukuran jarak rata-rata antara lapisan atau baris atom 2. Penentuan kristal tunggal

3. Penentuan struktur kristal dari material yang tidak diketahui 4. Mengukur bentuk, ukuran, dan tegangan dalam dari kristal kecil Analisis kimia:

1. Identifikasi/Penentuan jenis kristal

2. Penentuan kemurnian relatif dan derajat kristalinitas sampel 3. Deteksi senyawa baru

4. Deteksi kerusakan oleh suatu perlakuan

Untuk interpretasi/pembacaan spektra dengan membandingkan spektra yang berada pada induk data spektra XRD, misalnya pada data JCPDS. Untuk menyimpulkan minimal ada 3 puncak spektra yang identik dengan spektra pada data induk. Peralatan untuk pengujian XRD diperlihatkan pada Gambar 3.6.


(48)

Gambar 3.6 Alat X-Ray Difraction (XRD) Adapun langkah langkah dari pengujian ini adalah :

a. Siapkan sampel yang akan diuji b. Letakan sampel diatas preparat

c. Masukan kedalam XRD kemudian tutup rapat

d. Siapkan software pendukung untuk pengoperasian XRD.

3.6.2 OM (Optical Microscope)

Fungsi Optical Microscope atau OM pada penelitian adalah memberikan informasi secara langsung tentang topografi (tekstur permukaan sampel), morfologi (bentuk dan ukuran), komposisi (unsur penyusun sampel), serta Informasi kristalografi (susunan atom penyusunan sampel).


(49)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1 Karakterisasi Sifat Fisis

Karakterisasi sifat fisis yang diamati pada penelitian ini meliputi green body density,

bulk density dan porositas.

4.1.1 Hasil Karakterisasi Green Body Density

Hasil pengukuran green body density pada Barium Hexaferrite (BaFe12O19) dengan penambahan aditif sebesar 0, 1, 3, 5 dan 7 % wt Al2O3 dan tekanan kompaksi 30 kgf/cm2 dengan medan magnet luar (H) 8 kG (masing – masing ditahan selama 1 menit) dan milling time 12 dan 36 jam, diperlihatkan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Data Hasil Pengukuran Green Body Density BaFe12O19 dengan Aditif Al2O3

Aditif Al2O3 (% wt)

Green Body Density (gr/cm3) untuk milling time

12 jam 36 jam

0 3,03 3,07

1 2,88 2,96

3 2,87 2,93

5 2,85 2,92

7 2,84 2,88

Dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pengaruh milling time 12 jam – 36 jam meningkatkan densifikasi hingga 2,70%. Dimana penambahan aditif Al2O3 pada

milling time 12 jam hanya mampu meningkatkan densifikasi hingga 57,14%, sedangkan pada milling time 36 jam mampu meningkatkan densifikasi hingga 57,98%. Pada Gambar 4.1 menunjukkan Hubungan antara penambahan aditif Al2O3 dan

milling time terhadap nilai green body density dari BaFe12O19. Dari Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa penambahan komposisi Al2O3 semakin menurunkan nilai green body


(50)

Gambar 4.1 Hubungan antara penambahan aditif Al2O3 dan milling time terhadap nilai

green body density dari BaFe12O19

Nilai densitas minimum diperoleh pada penambahan 7 % wt Al2O3 pada milling time 12 jam dengan nilai 2,84 gr/cm3. Dan nilai densitas maksimum diperoleh pada komposisi 0 % wt Al2O3 (tanpa aditif) pada milling time 36 jam dengan nilai 3,07 gr/cm3. Hal ini disebabkan karena nilai densitas dari senyawa Al2O3 (3,96 gr/cm3) yang lebih rendah dari BaFe12O19 (5,3 gr/cm3).

Sehingga semakin meningkatnya komposisi dari Al2O3 akan menurunkan nilai

green body density dari BaFe12O19+Al2O3. Saat proses kompaksi BaFe12O19+Al2O3 telah menjadi suatu padatan yang solid. Tetapi untuk ikatan yang terjadi antara serbuk BaFe12O19 dan serbuk Al2O3 masih terjadi secara mekanik. Sehingga ikatan yang dihasilkan perlu ditingkatkan. Untuk itu proses yang dilakukan selanjutnya adalah proses sintering.

Proses sintering dilakukan agar kepadatan dari serbuk penyusun BaFe12O19+Al2O3 semakin tinggi. Hal ini disebabkan pada proses sintering terjadi proses difusi antar partikel serbuk.

Berdasarkan hasil penelitian Vicko Gestantyo Anugraha dan Widyastuti (2014) menyatakan bahwa pada proses kompaksi terjadi ikatan serbuk yang terjadi secara

3,03

2,88

2,87

2,85 2,84 3,07

2,96

2,93 2,92

2,88 2,8 2,85 2,9 2,95 3 3,05 3,1

0 2 4 6 8

G re e n B o d y D e n si ty ( g r/ cm 3)

Aditif Al2O3 (% wt)

Grafik Hubungan Komposisi

Vs

Green Body

Density

Green Body Density (gr/cm3) 12 jam Green Body Density (gr/cm3) 36 jam


(51)

mekanik. Sehingga perlu dilakukan sintering untuk meningkatkan ikatan antar serbuk agar kepadatannya semakin meningkat.

4.1.2 Hasil Karakterisasi Bulk Density dan Porositas

Hasil pengukuran bulk density pada pada Barium Hexaferrite (BaFe12O19) dengan penambahan aditif sebesar 0, 1, 3, 5 dan 7 % wt Al2O3 pada suhu sintering 1100 °C (yang ditahan selama 2 jam) diperlihatkan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Data Hasil Pengukuran Bulk Density BaFe12O19 dengan Aditif Al2O3

Aditif Al2O3 (% wt)

Bulk Density (gr/cm3)

Milling 12 jam Milling 36 jam

0 4,89 5,06

1 4,84 4,95

3 4,74 4,77

5 4,70 4,76

7 4,66 4,70

Dari Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa pengaruh milling time 12 jam – 36 jam meningkatkan densifikasi hingga 3,36 %. Dimana penambahan aditif Al2O3 pada suhu

sintering 1100oC dengan milling time 12 jam hanya mampu meningkatkan densifikasi hingga 92,22 %, sedangkan pada milling time 36 jam mampu meningkatkan densifikasi hingga 95,38 %.

Pada Gambar 4.2 ditunjukkan Hubungan antara penambahan aditif Al2O3 dan

milling time terhadap nilai bulk density dari BaFe12O19 yang di sinter pada suhu 1100 °C. Dari Gambar 4.2 terlihat bahwa nilai bulk densitas menurun dengan penambahan aditif Al2O3 pada temperatur sintering 1100 °C .


(52)

Gambar 4.2 Hubungan antara penambahan aditif Al2O3 dan milling time terhadap nilai

bulk density dari BaFe12O19 yang disinter pada suhu 1100 °C.

Nilai densitas minimum diperoleh pada penambahan 7 %wt Al2O3 pada suhu sintering 1100 °C dan milling time 12 jam dengan nilai 4,66% gr/cm3. Dan nilai densitas maksimum diperoleh pada komposisi 0 %wt Al2O3 (tanpa aditif) pada suhu sintering 1100 °C pada milling time 36 jam dengan nilai 5,06% gr/cm3. Adanya penambahan aditif Al2O3 menyebabkan nilai bulk density cenderung menurun, hal ini disebabkan oleh nilai densitas Al2O3 (3,96 gr/cm3) yang lebih kecil dari nilai densitas BaFe12O19 (5,3 gr/cm3) . Berdasarkan hasil data diatas dapat diketahui bahwa semakin ditambahinya aditif dengan suhu sintering 1100oC maka nilai densitas akan semakin menurun. Hal ini terjadi karena temperatur pada proses sintering menyebabkan terjadinya pertumbuhan butir sehingga terjadi peningkatan pori pada sampel meskipun tetap terjadi susut pada sampel tersebut.

Hasil pengukuran porositas pada pada Barium Hexaferrite (BaFe12O19) dengan penambahan aditif sebesar 0, 1, 3, 5 dan 7 % wt Al2O3 pada suhu sintering 1100 °C (yang ditahan selama 2 jam) diperlihatkan pada Tabel 4.3.

4,89 4,84 4,74 4,70 4,66 5,06 4,95

4,77 4,76

4,70 4,6 4,7 4,8 4,9 5 5,1

0 2 4 6 8

B u lk D e n si ty ( g r/ cm 3)

Aditif Al2O3 (% wt)

Grafik Hubungan Komposisi

Vs

Bulk Density

Bulk Density (gr/cm3) 12 jam

Bulk Density (gr/cm3) 36 jam


(53)

Tabel 4.3 Data Hasil Pengukuran Porositas BaFe12O19 dengan Aditif Al2O3

Aditif Al2O3 (% wt)

Porositas (%)

Milling 12 jam Milling 36 jam

0 7,78 4,62

1 8,46 6,33

3 9,97 9,32

5 10,12 8,98

7 10,45 9,66

Dari Tabel 4.3 terlihat bahwa pengaruh milling time 12 jam – 36 jam pada suhu

sintering 1100oC meningkatkan porositas hingga 40,68 %. Dimana penambahan aditif Al2O3 sampai 7 % wt pada milling time 12 jam – 36 jam diperoleh nilai porositas yang berkisar antara 4,62 % - 10,45 %.

Pada Gambar 4.3 diperlihatkan Hubungan antara penambahan aditif Al2O3 dan milling

time terhadap porositas dari BaFe12O19 yang disinter pada suhu 1100 °C.

Gambar 4.3 Hubungan antara penambahan aditif Al2O3 dan milling time terhadap porositas dari BaFe12O19 yang disinter pada suhu 1100 °C.

Dari Gambar 4.3 terlihat bahwa porositas cenderung naik seiring dengan penambahan aditif Al2O3 pada temperatur sintering 1100 °C. Porositas mencapai maksimum

7,78 8,46

9,97 10,12 10,45

4,62 6,33 9,32 8,98 9,66 4 5 6 7 8 9 10 11

0 2 4 6 8

P o ro si ta s (% )

Aditif Al2O3 (% wt)

Grafik Hubungan Komposisi - Vs - Porositas

Porositas (%) 12 jam Porositas (%) 36 jam


(54)

10,45% pada penambahan aditif 7 %wt Al2O3 dengan milling time 12 jam pada suhu

sintering 1100°C dan porositas terendah adalah 4,62% pada komposisi 0% Al2O3 (tanpa aditif) dengan milling time 36 jam pada suhu sintering 1100 °C. Hal ini terjadi karena adanya korelasi antara densitas dan porositas yang berbanding terbalik dimana semakin tinggi nilai densitas maka semakin rendah nilai porositasnya dan sebaliknya.

4.2 Karakterisasi Mikrostruktur

Karakterisasi mikrostruktur merupakan analisis struktur dari suatu bahan material untuk mengetahui pengaruh bahan aditif Al2O3 terhadap struktur BaFe12O19. Karakterisasi mikrostruktur yang diamati pada penelitian ini meliputi analisis XRD ( X-Ray Difraction) dan OM (Optical Microscope).

4.2.1 Analisis XRD (X-Ray Difraction)

Analisa struktur kristal dilakukan dengan menggunakan alat X-Ray Diffraction (XRD) yang bertujuan untuk mengamati fase-fase yang terbentuk pada sampel uji setelah proses sintering dalam pembuatan magnet permanen Barium Hexaferrite.Grafik Hasil Pengujian XRD BaFe12O19 dengan penambahan aditif 7 %wt Al2O3 diperlihatkan pada Gambar 4.4.

Gambar 4.4 Grafik Hasil Pengujian XRD BaFe12O19 dengan aditif 7% wt Al2O3 a

b


(55)

Gambar 4.4 merupakan pola XRD untuk sampel BaFe12O19 murni, Al2O3 murni dan BaFe12O19 dengan aditif Al2O3 7 %wt. Dari Gambar 4.4 terlihat bahwa pada BaFe12O19 dengan aditif Al2O3 7 %wt terdapat dua fasa yaitu fasa BaFe12O19 dan fasa BaAlFe11O19. Pada penambahan aditif Al2O3 pada suhu sintering 1100oC (2h), terjadi substitusi unsur Al terhadap 1 unsur Fe sehingga membentuk suatu fasa baru yaitu BaAlFe11O19. Namun, fasa yang terbentuk tersebut tidak terlalu mempengaruhi mikrostruktur dari BaFe12O19 karena unsur Al hanya menggantikan 1 unsur Fe. Hal ini dikarenakan jumlah %wt dari Al2O3 lebih sedikit dibanding %wt dari BaFe12O19 sehingga tidak terlihat perubahan yang signifikan dan juga tidak begitu mempengaruhi mikrostruktur dari BaFe12O19. Sehingga diketahui bahwa fasa BaFe12O19 dan BaAlFe11O19 yang terbentuk bersifat hard magnetic. Yang berarti bahwa sifat kemagnetan dari sampel ini kuat.

4.2.2 Analisis OM (Optical Microscope)

Analisis mikrostruktur dilakukan dengan menggunakan Optical Mikroscope (OM). Hasil pengamatan dengan OM ditunjukkan pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5 Hasil Mikroskop Optik Magnet Sinter Barium Hexaferrite dengan aditif 7 %wt pada Temperatur Sintering 1100 °C (2 h) dan perbesaran 40x Gambar 4.5 merupakan hasil mikroskop optik dari Barium Hexaferrite dengan aditif 7% wt Al2O3 pada milling time 36 jam menggunakan metode circle intercepts. Dimana pada metode tersebut terdapat 36 titik butir dengan ukuran diameter masing-masing tiap butir 0,1 mm. Sehingga diperoleh grainsize dari tiap ukuran butir rata-rata sebesar 15,6. Jika dibandingkan dengan particle sizepowder, nilai particle size setelah


(56)

sintering mengalami peningkatan dari 10,79 µm menjadi 15,6. Hal ini disebabkan karena terjadinya difusi antar butir sehingga butir-butir tersebut menyatu dan mengalami pertumbuhan butir yang mengakibatkan nilai particle size meningkat dari

particle size awal.

4.3 Karakterisasi Sifat Magnet

Sifat kemagnetan Barium Hexaferrit dapat diidentifikasi dengan pengujian

permagraph dan mengukur langsung dengan menggunakan Gaussmeter. Sifat magnet suatu bahan dapat diketahui dari kurva histeresis bahan seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4.6. Dari kurva tersebut dapat diketahui besarnya induksi remanen (Br), koersivitas (Hc), dan energi produk (BHmax). Hasil pengujian permagraph di tunjukkan pada Gambar 4.6 dan Tabel 4.4 dibawah ini :

Gambar 4.6 Kurva Histerisis bahan Barium hexaferrite pada suhu sintering 1100 °C, (2 h) dengan aditif 7% wt Al2O3

2,037037037

-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5

-15 -10 -5 0 5 10 15

BH Curve

B B'

Suhu sintering 1100oC (2 h)

B [kG]

H [kOe]


(1)

Gernot, K. 1988. High-Tech Ceramic. Academic Press. Zurich.

Guerro, A.L. et al. 2011. Effect of Barium on the Properties of Lead Hexaferrite. Journal of Superkonduktor and Novel Magnetic 24, 2307-2312.

Halliday & Resnick. 1978. Fisika Jilid 2. Terjemahan Pantur Silaban dan Erwin Sucipto. 1992. Erlangga. Jakarta.

Ichinose. 1983. Introduction to Fine Ceramic. NIRIM Publisher. Japan.

Maghfirah, Awan. 2007. Pembuatan Keramik Paduan Zirkonia (ZrO2) dengan

Alumina (Al2O3) dan Karakterisasinya.[Tesis]. Medan Universitas Sumatera

Utara. Pascasarjana S-2. Fisika.

Masno G,dkk. 2006. Pembuatan Magnet Permanen isotropic Berbasis, Nd-Fe-B dan Karakterisasinya. TEKNOLOGI INDONESIA. Volume 29.

Max Well, J.A. 1968. Rock and Mineral Analysis. Interscience Publisher : New York. Moulson A.J. and J.M. Herbert. 1985. Electroceramics: Materials, Properties and

Applications, Chapman and Hall. London-New York.

Okky, Karina, et al. 2014. Pengaruh Suhu Sintering Terhadap Densitas dan Porositas pada Membran Keramik Berpori Berbasis Zeolit, Tanah Lempung, Arang Batok Kelapa, dan Polyvinylalcohol (PVA). [Skripsi]. Jakarta. Universitas Negeri Jakarta. Program Sarjana S-1. Jurusan FMIPA Fisika. Q. Pameela et al. 2011. Effect of Titanium Ion Substitution in the Barium Hexaferrite

Studied by Mossbauer Spectroscopy and X-Ray Diffraction. Hyperfine Interact 202, 97-106.

Reed, James S. 1988. Introduction to the Principles of Ceramic Proscessing. Singapore.

Reynen, P. Bastius. 1986. Powder Metallurgy International. Vol. 8. No.2.

Ristic, M. M. 1979, Sintering New Developments, Material Science Monographs. Vol 4. Proceeding of 4th International Round Table Conference on Sinterin, Dubrovnik, Yugoslavia, September 5 – 10, 1979. Elsevier Scientif Publishing Company. Amsterdam-Oxford, New York.

Sijabat, Kaston. 2007. Pembuatan Keramik Paduan Cordierit (2MgO. 2Al2O3. 5SiO2

)-Alumina (Al2O3) sebagai Bahan Refraktori dan Karakterisasinya . [Tesis].

Medan. Universitas Sumatera Utara. Pascasarjana S-2. Fisika.

Simbolon, Silviana, β01γ,” Pengaruh Komposisi Doping Ion Mn Pada Pembuatan Magnet Barium Heksaferit (Bafe12-XMnxO19) Sebagai Penyerap Gelombang


(2)

Mikro”. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara. Program Sarjana S-1. Jurusan FMIPA Fisika.

Simanjuntak, Theresya. 2014. Pengaruh Temperatur Heat Treatment dan Holding Time Terhadap Sifat Fisis, Mikrostruktur dan Sifat Magnet Permanen Bonded NdFeB. [Skripsi]. Medan. Universitas Sumatera Utara. Program Sarjana S-1. Smallman, R. E. 1991. Metalurgi Fisik Modern. Edisi 4. PT. Gramedia. Jakarta. Walter H.Gilzen. 1970. Alumina as Ceramic Raw Materials. The American Ceramic

Society Inc. Vol. 20.

Worral, W.E. 1986. Clays and Ceramic Raw Materials. Elvisier Applied Science Publishers Ltd, 2ed. New York.

http://www.scribd.com/doc/81178806/Makalah-SEM-kel9-Nia#scribd


(3)

LAMPIRAN 1

GAMBAR ALAT DAN BAHAN

Planetary Ball Mill


(4)

Jangka sorong Gaussmeter

Vacum Furnace

Magnetizer Optical Microscope


(5)

Magnet-Physic Dr. Steingroever GmbH Permagraph C


(6)