Latar Belakang Masalah PEMBELAJARAN KIMIA BERBASIS LINGKUNGAN UNTUK MENGEMBANGKAN KARAKTER DAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan usaha sadar dalam mengembangkan dan mengoptimalkan potensi peserta didik agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, akhlak mulia, kepribadian, kecerdasan, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara Depdiknas, 2006. Potensi peserta didik tersebut dapat dikembangkan dan dioptimalkan salah satunya melalui pembelajaran kimia. Pembelajaran tidak terbatas pada empat dinding kelas. Lingkungan fisik, sosial, dan organisasi dimana proses pembelajaran berlangsung memiliki peran yang lebih sentral. Disain dan pengelolaan ruang belajar merupakan hal yang mendasar untuk pencapaian hasil belajar yang positif, dan kesehatan, serta kesejahteraan peserta didik. Komponen dan atribut lingkungan belajar yang dikonsep dengan merujuk pada lingkungan alam sekitar sekolah sebagai ruang belajar, dapat berdampak pada proses pembelajaran dan hasil belajar afektif, kognitif, dan psikomotorik peserta didik UNESCO, 2012. Tobin dalam Arifin 2011 juga menjelaskan bahwa untuk meningkatkan makna lingkungan, peserta didik perlu memperoleh pengalaman belajar dengan cara guru memberikan tiga hal yaitu mempelajari masalah lingkungan, belajar di lingkungan, dan lingkungan dijadikan sebagai alat belajar. 1 2 Pembelajaran berbasis lingkungan akan menghapus kejenuhan dan menciptakan peserta didik yang cinta lingkungan, berkarakter, dan melek pengetahuan sehingga hasil belajar afektif, kognitif, dan psikomotorik peserta didik dapat meningkat Pratiwi, 2011; Abdulmanan, 2013. Manfaat keberhasilan pembelajaran kimia berbasis lingkungan akan lebih terasa manakala apa yang diperoleh dari pembelajaran dapat diaplikasikan dan diimplementasikan dalam realitas kehidupan. Inilah salah satu sisi positif yang melatarbelakangi pembelajaran dengan pendekatan lingkungan. Kehidupan manusia Indonesia dalam dasawarsa terakhir ini menunjukkan terjadinya gejala degradasi moral. Fakta-fakta seperti kasus korupsi pejabat pemerintah yang semakin meningkat, motif kriminalitas yang semakin beragam, dan tawuran pelajar yang semakin mengganas menunjukkan kompleksnya persoalan moralitas bangsa. Realitas ini menunjukkan fenomena kehidupan berbangsa seperti disorientasi penghayatan nilai-nilai pancasila, keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai pancasila. Bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, ancaman disintegrasi bangsa, dan melemahnya kemandirian bangsa merupakan fenomena yang saat ini juga terjadi. Pengaruh perubahan sikap yang terjadi pada peserta didik tersebut dapat diidentifikasi ketika melaksanakan pembelajaran kimia. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sikap tersebut diidentifikasi melalui angket yang diberikan pada awal dan akhir penerapan pembelajaran kimia seperti yang telah dilakukan Berg 2005 kepada mahasiswa kimia di Swedia. Permanasari 2010 3 menyebutkan bahwa pembelajajaran sains terpadu dapat mengembangkan beberapa sikap ilmiah, antara lain aspek mendukung penggunaan informasi faktual dan eksplanasi, menggunakan logika untuk menyimpulkan, mengerjakan tugas secara efektif, memecahkan masalah secara ilmiah, menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi, mendorong kemauan untuk mendapat tambahan ilmu dari berbagai sumber, dan menunjukkan rasa tanggung jawab terhadap lingkungan. Observasi hasil belajar kognitif di SMK Negeri 1 Semarang yaitu nilai UAS kimia 6 dari 10 kelas X menunjukkan bahwa ada 4 kelas yang 100 peserta didiknya mendapatkan nilai di bawah KKM yaitu 75. Nilai UAS yang mayoritas masih belum mencapai nilai KKM tersebut menunjukkan bahwa kemampuan kognitif peserta didik SMK Negeri 1 Semarang masih rendah. Hasil angket yang dibagikan kepada 29 peserta didik di kelas XII TAV-2 juga menunjukkan masih rendahnya karakter yang dimiliki peserta didik tersebut, yaitu indikator kejujuran, disiplin, rasa ingin tahu, peduli lingkungan, dan tanggung jawab. Mencontek, menyalin pekerjaan teman, berangkat ke sekolah terlambat, malu bertanya pada teman dan guru, membuang sampah sembarangan, tidak memelihara lingkungan kelas, tidak pernah melaksanakan piket, dan tidak mengerjakan pekerjaan rumah PR yang diberikan guru merupakan beberapa sikap yang sering dilakukan sebagian besar peserta didik di kelas XII TAV-2. Tata tertib untuk menjadikan peserta didik di SMK Negeri 1 Semarang disiplin, peduli lingkungan, dan tanggung jawab sering kali diabaikan. Hukuman-hukuman yang diberikan oleh pihak sekolah seperti mengambil sampah di sekitar sekolah dan memanggil orang tua datang ke sekolahpun tidak membuat mereka jera. 4 Perkembangan pendidikan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan tren untuk menguatkan peran psikologi dalam dunia pendidikan. Pergantian kurikulum secara berkala mengalami perubahan secara signifikan terutama dalam hal standarisasi isi, proses dan penilaian pendidikan. Pengembangan kurikulum memberikan prioritas perhatian pada perkembangan psikologi peserta didik. Bahkan, dalam kurikulum pendidikan nasional tahun 2013, pemerintah sudah merumuskan pengintegrasian nilai-nilai karakter bangsa dalam setiap mata pelajaran. Pembelajaran kimia berbasis lingkungan merupakan model pembelajaran yang memiliki posisi strategis dalam pembentukan karakter peserta didik yang berkualitas dan berbudaya lingkungan Abdulmanan, 2013. Kimia sebagai ilmu sains melibatkan tiga dimensi dalam konstruksinya, yaitu proses ilmiah, sikap ilmiah, dan produk ilmiah. Tiga dimensi tersebut dapat diwujudkan dalam pembelajaran kimia materi elektrokimia yang diberikan di kelas X sekolah menengah kejuruan, terutama untuk peserta didik di kelas program otomotif, permesinan, dan elektronika. Menurut guru kimia di SMK Negeri 1 Semarang, pengetahuan yang mereka dapatkan dari materi elektrokimia sering diaplikasikan ketika mereka bekerja di bengkel sekolah, tempat magang, dan dunia kerja agar nantinya untuk lebih hati-hati dan teliti dalam bekerja. Oleh karena itu, proses pembelajaran kimia yang menekankan pada penerapan memahami pengetahuan, dapat meningkatkan karakter dan literasi sains peserta didik. Budaya literasi sains berhubungan dengan nilai-nilai, seperti ketika seseorang membaca dan memahami tentang isu-isu yang berkaitan dengan ilmu 5 pengetahuan dan teknologi di media atau masyarakat. Potensi ilmu pengetahuan yang berbeda pada individu, aktivis masyarakat, atau kelompok ketika menginformasikan dan memberdayakan pemahaman dan pengambilan keputusan. Jenkins 1990, berpendapat bahwa literasi sains tidak bebas nilai. Argumen untuk literasi sains mungkin tidak mudah melintasi batas budaya nasional. Dengan kata lain, literasi sains hanya dapat dipahami dengan mengacu pada nilai-nilai yang mendukung ilmu itu sendiri dalam suatu masyarakat tertentu. Pandangan seseorang yang melek sains adalah bahwa memegang pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk berkarir itu penting. Orang yang memiliki literasi sains mungkin memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mencapai cita-citanya dalam pendidikan dan terlibat produktif dalam karir Holbrook, 2009. Terkait dengan literasi sains, peserta didik di Indonesia masih sangat tertinggal. Hal ini dibuktikan dengan data dari tes Programme for International Student Assessment PISA, Indonesia menduduki peringkat ke-64 dari 65 negara peserta pada tahun 2012. Skor yang diperoleh Indonesia juga mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2012 skor literasi sains peserta didik Indonesia hanya 382, dan skor ini menunjukkan penurunan dari tahum 2009 dengan skor literasi sains 383, dan tahun 2006 sebesar 393 OECD, 2012. Analisis yang dilakukan oleh Firman 2007 berdasarkan data hasil tes PISA Programme for International Student Assesment Nasional 2006, dikemukakan beberapa temuan diantaranya: 1 capaian literasi peserta didik rendah, dengan rat-rata sekitar 32 untuk keseluruhan aspek, yang terdiri atas 29 untuk konten, 34 untuk proses, dan 32 untuk konteks, dan 2 terdapat 6 keberagaman antar-propinsi yang relatif rendah dari tingkat literasi sains peserta didik Indonesia. Dari hasil temuan tersebut, terutama untuk aspek konteks aplikasi sains terbukti hampir dapat dipastikan bahwa banyak peserta didik di Indonesia tidak mampu mengaitkan pengetahuan sains yang dipelajarinya dengan fenomena- fenomena yang terjadi di dunia, karena mereka tidak memperoleh pengalaman untuk mengkaitkannya Firman, 2007. Pembelajaran sains untuk membangun literasi sains peserta didik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatanstrategi yang semuanya bertumpu pada “student active learning”. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, sudah pasti berbasis pada proses inkuiri ilmiah dengan prinsip konstruktivisme Permanasari, 2011. Beberapa pendekatan pembelajaran yang dapat mengembangkan literasi sains peserta didik adalah pendekatan kontekstual, sains, teknologi, dan masyarakat, problem based learning, learning cycle, dan pendekatan inkuiri Permanasari, 2011. Apabila seorang guru bermaksud mengajarkan konsep-konsep dalam suatu pokok bahasan tertentu dengan menggunakan pendekatan lingkungan maka ia perlu terlebih dahulu mencari informasi tentang keterlibatan konsep yang akan diajarkan dengan peristiwa atau kejadian dalam lingkungan yang terdekat. Sebagai contoh seorang guru kimia hendak mengajarkan konsep oksidasi, maka ia dapat mengamati pagar besi atau kawat berduri yang berkarat sebagai sumber belajar. Besi berkarat adalah salah satu contoh proses oksidasi yang terjadi secara perlahan-lahan, yaitu reaksi antara besi dengan oksigen. Melaui pendekatan lingkungan ini peserta didik diajak memahami konsep sains dengan menggunakan 7 lingkungan sebagai sumber belajar. Dengan demikian mereka diharapkan akan memiliki kepedulian terhadap lingkungannya dan berawal dari pemahaman dan kepedulian itu mereka dapat mencari solusi, mengambil keputusan, dan melakukan tindakan nyata apabila mereka suatu ketika menghadapi masalah dalam lingkungan mereka sendiri Poedjiadi, 2005:79. Permanasari 2010 juga menyatakan bahwa pembelajaran sains yang terpadu dapat menyebabkan peserta didik memahami secara utuh fenomena sains terutama dalam kehidupan sehari- hari. Mempertimbangkan pentingnya seorang guru untuk mengaplikasikan pendekatan lingkungan dalam mata pelajaran kimia yang ditujukan untuk mengembangkan karakter dan literasi sains peserta didik, maka implementasi pembelajaran kimia berbasis lingkungan sangat penting dan potensial untuk dilakukan. Penerapan model pembelajaran ini memberikan kesempatan lebih luas kepada peserta didik untuk berperan aktif dalam mengembangkan karakter dan literasi sains serta diharapkan akan memiliki kepedulian terhadap lingkungannya.

1.2 Identifikasi Masalah