Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA

a TAP MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; b Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; c Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah; d Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; e Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; f Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Komisi Ombudsman Nasional;

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1 Kerangka pemikiran Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 State auxiliary organs Komisi Pemberantasan Korupsi Good Governance Keterangan: Kerangka pemikiran tersebut mencoba untuk memberikan gambaran selengkapnya mengenai alur berpikir penulis dalam menemukan jawaban dari permasalahan yang menjadi perhatian dalam penelitian yaitu eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai salah satu state auxiliary organs dalam rangka mewujudkan good governance di Indonesia. Dalam implementasinya, UUD 1945 hasil perubahan ternyata masih belum memberikan jawaban atas format ketatanegaraan yang ideal utamanya dalam hal kelembagaan negara. Hal ini dapat terlihat dengan munculnya beberapa lembaga negara baru, seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Mahkamah Konstitusi. Hal yang tidak kalah menariknya adalah munculnya beberapa lembaga negara yang bersifat penunjang state auxiliary organs dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Salah satu state auxiliary organs yang akan menjadi fokus penelitian ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi. Penelitian ini akan membahas secara lebih mendalam apa yang menjadi latar belakang eksistensi state auxiliary organs sebagai sebuah lembaga negara dalam struktur ketatanegaraan Indonesia dan bagaimana eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai salah satu state auxiliary organs dalam rangka mewujudkan good governance di Indonesia. 42

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Eksistensi State Auxiliary Organs Sebagai Lembaga

Negara Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia Globalisasi dan dinamika masyarakat yang luar biasa menjadi momen bagi negara untuk menyempurnakan tatanan pemerintahan negara yang efektif dan efisien dalam rangka mengatasi permasalahan ketatanegaraan yang semakin kompleks. Luasnya cakupan tugas negara untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, terkadang tidak dapat sepenuhnya diakomodasi oleh lembaga-lembaga yang secara konvensional ada dalam sebuah negara, yakni eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Atas dasar itulah, diperlukan sebuah respon dari negara untuk berbenah secara cepat dan tepat untuk melakukan transformasi kelembagaan negara, yang meliputi cara kerja dan pengorganisasian kerja yang sesuai dengan dinamika kebutuhan masyarakat dan tuntutan global tersebut. Respon dari negara tersebut adalah terbentuknya sebuah lembaga negara yang bersifat sampiran atau penunjang. Berbagai istilah lain juga sering digunakan untuk menyebut lembaga ini, misal lembaga kuasi negara, state auxiliary agencies , state auxiliary bodies, lembaga ekstra struktural, state auxiliary organs , independent regulatory bodies, dan komisi negara. Sesuai dengan istilah yang diberikan kepadanya, fungsi dari lembaga- lembaga semacam ini adalah sebagai lembaga penunjang dari lembaga negara utama main state organ. Lebih lanjut, menurut A. Irmanputra Sidin, kehadiran lembaga- lembaga negara penunjang ini adalah perkembangan reaktif meluas dari sejarah kegagalan konsep negara penjaga malam nachwachtaersstaat. Ketika peran negara minimalis kemudian muncul antitesis berupa negara kesejahteraan welfare state, yang ternyata akhirnya juga berlebihan. Akibatnya, inefisiensi, korupsi, dan depresi ekonomi pada abad ke-18 sampai