BAB I LATAR BELAKANG
A. Latar Belakang Permasalahan
Penderita dengan gangguan jiwa saat ini jumlahnya mengalami peningkatan terkait dengan berbagai macam permasalahan yang dialami oleh bangsa
Indonesia, mulai dari kondisi perekonomian yang memburuk, kondisi keluarga, dan latar belakang pengasuhan anak yang tidak baik, serta bencana alam yang
melanda Maramis, 2004. Sandra, Rahayu, dan Munjiati 2009 menguatkan dampak yang dapat dimunculkan dari kondisi masalah-masalah psikososial,
misalnya kondisi keluarga yang tidak baik dan pengasuhan anak pada waktu kecil yang tidak baik, maka ada kecenderungan anak mengalami skizofrenia.
Data American Psychiatric Association, APA 2000 menunjukkan 1 populasi penduduk dunia menderita skizofrenia, sedangkan di Indonesia penderita
skizofrenia sekitar 1 hingga 2 dari total jumlah penduduk. Arif 2006 menjelaskan prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3-1 dan
biasanya timbul pada usia sekitar 18-45 tahun, namun ada juga yang baru berusia 11-12 tahun atau usia remaja awal sudah menderita skizofrenia. Apabila
penduduk Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka diperkirakan 2 juta jiwa menderita skizofrenia atau sekitar 99 penderita di rumah sakit jiwa di Indonesia
adalah penderita skizofrenia Widodo, 2014. Di Pulau Jawa khususnya Provinsi Jawa Tengah, prevalensi gangguan jiwa
berat skizofrenia sebesar 12 Depkes RI, 2008. Data Rumah Sakit Jiwa
1
Provinsi Jawa Tenga yang dirawat sebanyak 3.613 orang terdiri dari raw
skizofrenia merupakan kasus yang terbanyak dibandingkan kasus gangguan jiwa yang lain yaitu sebanyak 2.589 orang atau 71,66 dari total
jiwa RSJD Prov. Jateng, 2014.
Di Surakarta yaitu prevalensi gangguan skizofrenia
1.883 dari 2.605 penderita penderita skizofrenia
72,7 dari jumlah kasus yang ada. Kriteria hebefrenik, 648 paranoid,
sebanyak 15 dalam kriteria remisi Berdasarkan data
RSJD Surakarta 2014
Diagram 1.
Provinsi Jawa Tengah sampai bulan Desember tahun 2014, penderita yang dirawat sebanyak 3.613 orang terdiri dari rawat inap dan rawat jalan. Kasus
kizofrenia merupakan kasus yang terbanyak dibandingkan kasus gangguan jiwa yang lain yaitu sebanyak 2.589 orang atau 71,66 dari total penderita
jiwa RSJD Prov. Jateng, 2014.
Surakarta yaitu di Rumah Sakit Jiwa Daerah RSJD prevalensi gangguan skizofrenia menjadi jumlah kasus terbanyak
1.883 dari 2.605 penderita yang tercatat mulai tahun 2004 seluruh penderita skizofrenia. Hal tersebut berarti kasus skizofrenia terjadi
7 dari jumlah kasus yang ada. Kriteria kasus skizofrenia paranoid, 317 tak khas, 231 akut, 95 katatonik, 116 residual
5 dalam kriteria remisi Rekam Medik RSJD Surakarta, 2014 Berdasarkan data APA 2000; RSJD Prov. Jateng 2014;
RSJD Surakarta 2014; dan Widodo 2014, diketahui bahwa penderita gangguan
Gangguan Skizofrenia
72 Gangguan
Jiwa Lainnya
28
Diagram 1. Perbandingan gangguan skizofrenia dan gangguan jiwa lain di Jawa Tengah
2014, penderita skizofrenia dan rawat jalan. Kasus
kizofrenia merupakan kasus yang terbanyak dibandingkan kasus gangguan jiwa penderita gangguan
Rumah Sakit Jiwa Daerah RSJD Surakarta, nyak yaitu jumlah
eluruhnya adalah terjadi sebanyak
kizofrenia terdiri dari 471 116 residual, dan
Rekam Medik RSJD Surakarta, 2014. RSJD Prov. Jateng 2014; Rekam Medik
diketahui bahwa penderita gangguan
nia dan
jiwa berat terutama skizofrenia sekarang ini semakin meningkat dan tidak mengenal usia. Anak-anak usia 11-12 tahun atau usia yang masuk dalam tahap
perkembangan remaja awal dapat menderita gangguan skizofrenia. Keberadaan anak skizofrenia di dalam masyarakat terkadang dianggap
berbahaya. Salah satu beban psikologis yang berat bagi orang tua adalah stigmatisasi dari masyarakat mengenai skizofrenia Vera, 2010. Finzen dalam
Schultz dan Angermeyer, 2003 menyebut stigmatisasi sebagai ‘penyakit kedua’, yaitu sebuah penderitaan tambahan yang tidak hanya dirasakan oleh penderita,
namun juga dirasakan oleh orang tua. Stigmatisasi semakin membuat kedudukan anak dikucilkan dari lingkungan sosial dan hanya dipandang sebelah mata oleh
masyarakat sekitar sehingga rentan mengalami kekambuhan. Hal tersebut menjadikan jumlah penderita skizofrenia terus bertambah, namun masalahnya
banyak orang tua yang belum mengerti benar apa itu skizofrenia. Ketidakmengertian tersebut rata-rata melahirkan jalan pintas orang tua dengan
memasukkan anak ke rumah sakit jiwa Sandra, Rahayu, Munjiati, 2009. Banyak orang tua yang menyerahkan sepenuhnya penanganan dan perawatan anak
kepada petugas medis. Orang tua menggambarkan pengalaman merawat penderita ‘sebagai
pengalaman yang traumatis’, ‘sebuah malapetaka besar’, ‘pengalaman yang menyakitkan’, ‘menghancurkan’, ‘penuh dengan kebingungan’, dan ‘kesedihan
yang berkepanjangan’ Pejlert, 2001. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa orang tua yang kurang memiliki pemahaman dan justru memperlakukan anak dengan
kurang baik. Orang tua masih melakukan pembatasan-pembatasan atas apa yang
berhak dilakukan anak, tidak diberi dukungan, dan kesempatan dalam bersosialisasi Nolen, 2001.
Dolnick 2005 menyatakan bahwa kondisi keluarga yang cenderung tidak sehat dapat memunculkan kembali gejala skizofrenia pada anggota keluarganya,
terutama pada anak. Salah satu faktor penyebab munculnya skizofrenia berasal
dari lingkungan keluarga. Penderita berasal dari keluarga yang disfungsi dan
perilaku keluarga yang patologis seperti pola komunikasi atau interaksi orang tua yang tidak tepat, tidak memberikan dukungan, serta pengasuhan orang tua yang
tidak sesuai dapat meningkatkan stres emosional yang mengarah pada kekambuhan anak. Hal tersebut menjadikan orang tua tidak mengerti bagaimana
perannya dalam kesembuhan anak, maka orang tua sendirilah yang dapat menjadi salah satu faktor penyebab kambuhnya gangguan skizofrenia pada anak Kaplan
Sadock, 2010. Dukungan sosial orang tua terutama yang menyangkut aspek emosi yaitu
aspek penghargaan dan kebutuhan akan rasa memiliki terhadap anak menjadikan faktor utama orang tua tidak memberikan dukungan Deni, 2010; Linda, Aat,
Metty, 2012. Orang tua tidak memberikan pujian atau penghargaan, tetapi justru menampilkan berbagai ekspresi emosi yang tinggi pada anak. Ekspresi emosi
tinggi yang ditampilkan yaitu orang tua terlihat berlebihan, kejam, kritis, dan perilaku intrusive serta tidak mendukung sehingga anak yang menderita
skizofrenia cenderung mengalami kekambuhan Nolen, 2001. Dukungan sosial orang tua merupakan bantuan atau sokongan yang diterima
anak dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi yang terdapat di dalam sebuah
keluarga Francis Satiadarma, 2004. Keberhasilan perawatan di rumah sakit yakni pemberian obat dan penyembuhan akan menjadi sia-sia apabila tidak
ditunjang oleh peran serta dukungan orang tua. Penelitian yang dilakukan oleh Jenkins, Garcia, Chang, Young, dan Lopez 2006 menunjukkan bahwa family
caregivers adalah sumber yang sangat potensial untuk menunjang pemberian obat dan penyembuhan pada skizofrenia sehingga dapat mencegah terjadinya
kekambuhan kembali. Nurdiana, Syafwani, dan Umbransyah 2007 menyebutkan bahwa orang
tua berperan penting dalam menentukan cara atau perawatan yang diperlukan oleh anak di rumah sehingga menurunkan angka kekambuhan. Dinosetro 2008
menguatkan bahwa orang tua memiliki fungsi strategis dalam menurunkan angka kekambuhan, meningkatkan kemandirian dan taraf hidupnya, serta anak dapat
beradaptasi kembali pada masyarakat dan kehidupan sosialnya. Dukungan yang dimiliki oleh anak dapat mencegah berkembangnya masalah akibat tekanan yang
dihadapi. Individu dengan dukungan yang tinggi akan lebih berhasil menghadapi dan mengatasi masalahnya dibanding dengan yang tidak memiliki dukungan
Taylor, 2014. Pendapat Taylor 2014 diperkuat oleh pernyataan dari Commission on the
Family dalam Dolan, Canavan Pinkerton, 2006 bahwa dukungan dari orang tua dapat memperkuat setiap individu, menciptakan kekuatan keluarga,
memperbesar penghargaan terhadap diri sendiri, mempunyai potensi sebagai strategi pencegahan yang utama bagi seluruh keluarga dalam menghadapi
tantangan kehidupan sehari-hari.
Anak penderita skizofrenia memerlukan dukungan untuk menjadi individu yang lebih kuat dan menghargai diri sendiri. Dukungan orang tua menjadikan
anak dapat mencapai taraf kesembuhan yang lebih baik, meningkatkan keberfungsian dirinya, mengurangi kekambuhan, dan meningkatkan kualitas
hidupnya kembali Sarason, 2010. Tanpa dukungan sosial dari orang tua, anak akan sulit sembuh, mengalami perburukan, dan sulit untuk menjalani peran
kehidupan. Penderita skizofrenia yang pernah dirawat di rumah sakit jiwa akan kambuh
50-80 dari jumlah total Puspitasari, 2009. Kekambuhan adalah kondisi pemunculan kembali tanda dan gejala suatu penyakit setelah mereda Dorland,
2002. Nasir 2011 menjelaskan penderita skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50 pada tahun pertama, 70 pada tahun kedua, dan 100 pada tahun
berikutnya. Kekambuhan biasanya terjadi karena adanya kejadian-kejadian buruk yang terjadi sebelum penderita kambuh Wiramihardja, 2007. Yosep 2009
menyatakan kekambuhan penderita gangguan jiwa disebabkan oleh banyak faktor, salah satu faktor yang menyebabkan kekambuhan penderita gangguan jiwa adalah
orang tua yang tidak tahu cara menangani perilaku penderita sehingga tidak mendukung kesembuhan ketika di rumah.
Tomb 2004 mengungkapkan gejala-gejala kekambuhan pada skizofrenia cenderung tumpang tindih, dan diagnosis dapat berpindah dari satu subtipe seiring
berjalannya waktu baik dalam satu episode atau dalam episode berikutnya. Faktor penyebab kekambuhan pada skizofrenia sifatnya cenderung menyeluruh
dan tidak mengacu pada subtipe tertentu. Kekambuhan seringkali timbul setelah adanya peningkatan peristiwa hidup.
Rangsangan yang berlebihan telah terbukti menyebabkan kekambuhan, sedangkan rangsangan yang terlalu kecil terbukti meneruskan penarikan diri dan kronisitas.
Keliat 2006 menjelaskan ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kekambuhan penderita gangguan skizofrenia meliputi: penderita yang gagal
meminum obat secara teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh; dokter yang memberi resep diharapkan tetap waspada mengidentifikasi dosis terapeutik
yang dapat mencegah kambuh dan menurunkan efek samping; penanggung jawab case manager atau petugas medis tetap bertanggungjawab atas program adaptasi
di rumah setelah penderita pulang ke rumah; penderita yang tinggal dengan
20 40
60 80
100 120
Tahun Kambuh Tahun Pertama
Tahun Kedua Tahun Ketiga
Diagram 2. Persentase kambuh pada skizofrenia setiap tahun
keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi diperkirakan kambuh dalam waktu 9 bulan; dan lingkungan sekitar tempat tinggal yang tidak mendukung dapat juga
meningkatkan frekuensi kekambuhan. Orang tua dan orang sekitar atau masyarakat menganggap skizofrenia sebagai individu yang tidak berguna,
mengucilkan, mengejek penderita, dan seterusnya. Berdasar hasil studi pendahuluan tahun 2014-2015 di RSJD Surakarta,
faktor-faktor yang dapat membuat penderita mengalami kekambuhan sehingga harus kembali menjalani rawat inap yaitu faktor interaksi yang kurang baik antara
orang tua dan anak, seperti jarang mengajak berbicara anak, saat mengajak berbicara dengan nada yang tinggi, dan mengejek atau menyindir anak apabila
tidak melakukan sesuatu yang diminta. Setelah anak dinyatakan sembuh atau diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit, beberapa bulan atau minggu bahkan
beberapa hari setelahnya anak kembali dirawat dengan alasan perilaku anak yang tidak dapat diterima oleh orang tua dan lingkungan sekitarnya. Selama di rumah,
orang tua melakukan pembatasan pada perilaku anak, tidak diperbolehkan keluar gerak-gerik dan anak selalu diawasi dengan curiga oleh orang tua. Hal tersebut
akhirnya memicu kekambuhan pada anak dan harus menjalani perawatan kembali sebagai tanda bahwa menurun kualitas hidupnya Sarason, 2010.
Salah satu faktor penyebab terjadinya penurunan kualitas hidup penderita skizofrenia adalah terjadinya kekambuhan karena kurangnya peran serta
dukungan sosial yang diberikan orang tua dalam penanganan terhadap penderita Rubbyana, 2012. Orang tua yang kurang memahami cara menangani perilaku
anak dan kurang dilibatkan oleh petugas medis. Orang tua jarang mengikuti
proses keperawatan skizofrenia karena jarang mengunjungi anak di rumah sakit dan tim kesehatan di rumah sakit jarang melibatkan orang tua. Saat anak
diperbolehkan pulang ke rumah, orang tua justru memperlakukan tidak sesuai, seperti membatasi perilaku anak, curiga terhadap tindakan anak yang akan
menyakiti orang lain, dan tidak diperbolehkan keluar rumah Keliat, 2006. Orang tua merasa terbebani dengan kondisi anak dan tidak memiliki
harapan untuk sembuh. Perasaan terbebani tersebut memunculkan kecemasan ketika menghadapi anak, kurangnya kesadaran akan kebutuhan untuk memahami
skizofrenia, dan tekanan dalam perawatan, serta memunculkan stres tersendiri yang ditampilkan orang tua dalam bentuk ekspresi emosi tinggi Leff Vaughn,
1985. Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO 2001 menyatakan bahwa dampak yang dirasakan keluarga akibat adanya anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa adalah tingginya beban ekonomi, tingginya beban emosi keluarga, stres terhadap perilaku penderita yang menyimpang, gangguan melaksanakan
kegiatan sehari-hari, dan keterbatasan melakukan aktivitas sosial. Perasaan terbebani secara emosi dan stres sebagai tanda strategi koping
orang tua yang tidak langsung menyelesaikan masalah terjadi. Strategi koping dipengaruhi oleh dukungan sosial dalam mengatasi masalah Yuanita, 2013.
Pihak keluarga terutama orang tua perlu untuk diberikan penanganan agar dapat menurunkan kecemasan dan stres yang terjadi selama merawat anak sehingga
terbentuk kesadaran orang tua terhadap kebutuhan anak dan hubungan baik dalam rangka mendukung anak mencapai kesembuhan Iman, 2006.
Solution focused therapy sering digunakan dalam praktik psikoterapi individual, namun banyak terapis terapi keluarga mengintegrasikan strategi
solution focused ini ke dalam penanganan keluarga. Milton Erickson menggambarkan bahwa terapi berfokus solusi digunakan untuk mengubah “apa
yang dilihatnya” atau “apa yang dilakukannya” yang terkait dengan masalah yang dihadapinya. Pada model ini, terapis tidak melihat suatu permasalahan sebagai
suatu kegagalan, melainkan sebagai bagian dari perkembangan kelompok atau keluarga tersebut Midori, 2001.
SFT merupakan terapi dengan metode untuk memperoleh pemahaman terhadap permasalahan, mengembangkan komunikasi, dan meningkatkan fungsi
dari setiap individu. SFT adalah suatu bentuk intervensi yang membantu partisipan untuk mengidentifikasi dan merubah masalah maladaptive menjadi
lebih sehat. SFT efektif dilakukan dalam tiga tahap yakni tahap initial interview, fase kerja, dan fase terminasi Anderson, 2000. Trepper, McCollum, De Jong,
Korman, Gingerich, dan Franklin 2012 menyatakan SFT efektif untuk menyelesaikan kasus pada penderita sakit fisik dan psikologis depresi serta klinis
lainnya yang berfokus untuk penyelesaian masalah. Bukti-bukti menunjukkan bahwa program terapi pada orang tua yang
terstruktur dapat mengurangi friksi dalam keluarga, meningkatkan fungsi sosial pada penderita, dan bahkan mengurangi rata-rata kekambuhan Nevid, 2006.
Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Pemulihan dan Pelatihan Bagi Penderita Gangguan Jiwa Tirto Jiwo 2015 menjelaskan bahwa bila suatu sistem atau
kelompok, merupakan tempat salah satu anggotanya menderita gangguan jiwa,
mendapat terapi berfokus pada solusi psikoedukasi ataupun diskusi, maka kondisi penderita akan lebih cepat pulih dan kemungkinan kambuh menjadi lebih
sedikit. Terapi berfokus solusi membantu orang tua dan penderita untuk mengatasi permasalahan yang diakibatkan oleh penderita itu sendiri atau
keduanya. Dengan membantu orang tua tersebut, maka orang tua dapat membantu pemulihan penderita skizofrenia agar pulih dan hidup sehat di masyarakat.
Santrock 2003, mendefinisikan individu dengan usia dewasa madya cenderung menggunakan coping berfokus pada masalah problem focused
coping. Orang tua yang dalam perkembangan termasuk dalam usia dewasa madya seharusnya lebih aktif dalam mencari solusi atas penyelesaian dan menilai
stressor sebagai sesuatu yang dapat dikendalikan. Peneliti menggunakan terapi berfokus pada solusi agar orang tua dapat berfokus pada pencarian solusi atas
masalah yang dihadapi dalam merawat anak skizofrenia. Orang tua dikembalikan pada tugas perkembangan saat berusia dewasa madya.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perilaku orang tua terhadap anak skizofrenia yang kurang memberikan dukungan sosial seperti kurang terjalin
interaksi atau komunikasi; memunculkan ekspresi-ekspresi emosi yang tinggi seperti mengkritik dan menyindir berpengaruh terhadap kekambuhan anak.
Kambuhnya anak merupakan tanda menurunnya kualitas hidup. Di sinilah dukungan sosial dibutuhkan dalam perawatan dan penanganan pada anak, karena
dukungan sosial dari orang tua menjadi sangat berharga dan akan menambah semangat hidup penderita untuk sembuh. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti
mengangkat penelitian yang berkaitan dengan “Peningkatan Dukungan Sosial
Orang Tua melalui Solution Focused Therapy dalam Rangka Memulihkan Kualitas Hidup Anak dengan Riwayat Gangguan Skizofrenia”.
B. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :