Efektivitas Solution Focused Family Therapi Untuk Meningkatkan Dukungan Sosial Keluarga Pada Ibu Yang Memiliki Anak Down Syndrome (Application of Solution Focused Family Therapy To Improve Social Support On Mother In Child Minding Down Syndrome )

(1)

EFEKTIVITAS SOLUTION FOCUSED FAMILY THERAPI UNTUK MENINGKATKAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA

PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK DOWN SYNDROME

(

Application of Solution Focused Family Therapy To Improve Social Support On Mother In Child Minding Down Syndrome

)

THESIS

Rahma Mutiah OLEH

117029020

MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

FAKULTAS PSIKOLOGI

KEKHUSUSAN KLINIS ANAK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

EFEKTIVITAS SOLUTION FOCUSED FAMILY THERAPI UNTUK MENINGKATKAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA

PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK DOWN SYNDROME

(

Application of Solution Focused Family Therapy To Improve Social Support On Mother In Child Minding Down Syndrome

)

THESIS

Diajukan kepada Universitas Sumatera Utara Untuk memenuhi salah satu persyaratan

Dalam menyelesaikan program Magister Profesi Psikologi Kekhususan Klinis Anak

Rahma Mutiah OLEH

117029020

MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

FAKULTAS PSIKOLOGI

KEKHUSUSAN KLINIS ANAK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Februari, 2014

Rahma Mutiah : 117029020

Penerapan Solution Focused Family Therapy Untuk Meningkatkan Dukungan Sosial Pada ibu Dalam Mengasuh Anak Down Syndrome.

X ± 91 halaman; 2014, 8 tabel, 3 grafik Bibliografi : 29 (1985-2013)

Seorang ibu yang memiliki anak down syndrome cenderung mengalami stress dibandingkan anggota keluarga yang lain karena ibu lebih sering memusatkan perhatian dan menghabiskan waktu untuk merawat anak mereka. Stress yang muncul dalam membesarkan anak down syndrome dapat diperburuk oleh kurangnya dukungan social dari anggota keluarga yang lain seperti pasangan dan anak.

Penelitian ini merupakan penelitian single-subject research untuk melihat pengaruh terapi solution focused family therapy (SFFT) dalam upaya meningkatkan dukungan sosial pada ibu yang memiliki anak down syndrome. SFFT adalah terapi keluarga yang bertujuan untuk mencari solusi dan kompetensi yang dimiliki keluarga untuk mengatasi masalah yang ada. Perbedaan dukungan sosial diukur dengan skala ISEL adaptation yang mengungkap tangible support, appraisal support, self esteem support dan belonging support.

Partisipan dalam penelitian ini adalah dua orang ibu yang memiliki anak down syndrome, bersekolah di SDLB Negeri Rantauprapat dan berdomisili di Rantauprapat dan memiliki skor dukungan sosial pada kategori rendah. Pengukuran dukungan sosial dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan. Analisa data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan grafik. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa SFFT efektif dalam meningkatkan dukungan social pada keluarga down syndrome. Pada kedua subjek dukungan yang terlihat sangat meningkat adalah tangible support dan appraisal support. Antara subjek 1 dan subjek 2 terlihat ada perbedaan peningkatan dukungan sosial hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu usia pemberi dukungan, sifat atau sikap penerima dukungan, jumlah anggota keluarga.

Kata kunci : Solution Focused Family Therapy (SFFT), Dukungan Sosial, Down Syndrome


(6)

ABSTRACT

Faculty of Psychology, University of North Sumatera February , 2014

Rahma Mutiah : 117029020

Application of Solution Focused Family Therapy To Improve Social Support On Mother In Child Minding Down Syndrome .

X ± 91 pages ; 2014 , 8 tables , 3 graphs Bibliography : 29 (1985-2013)

A mother who has a child with Down syndrome tend to experience stress than other family members because mothers more often and spend time focusing on taking care of their children. Stress that arise in raising a child with Down syndrome can be exacerbated by a lack of social support from other family members such as spouses and children.

This study is a single - subject research to see the effect of solution focused therapy family therapy (SFFT) in an effort to increase social support in mothers of children with Down syndrome. SFFT is family therapy that aims to find solutions and competency of the family to cope with existing problems. Differences of social support was measured by ISEL scale adaptation that reveals tangible support, appraisal support, self- esteem, support and belonging support.

Participants in this study were two mothers of children with Down syndrome, attended SDLB and domiciled in Rantauprapat and social support scores in the low category. Measurement of social support before and after treatment . Analysis of the data used is descriptive qualitative using graphs. The result showed that SFFT effective in increasing social support to families with Down syndrome. In both subjects are seen greatly increased support is tangible support and appraisal support. Between subject 1 and subject 2 seen no difference in the increase in social support it is influenced by several factors: the age of donor support, the nature or the attitude of the support recipient, number of family members.

Keywords : Solution Focused Family Therapy ( SFFT ), Social Support, Down Syndrome


(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahiim

Syukur Alhamdulillah peneliti panjatkan atas kehadirat Allah STW, karena berkat limpahan rahmat, petunjuk, pertolongan dan izin-Nya lah peneliti dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “EFEKTIVITAS SOLUTION FOCUSED FAMILY THERAPY UNTUK MENINGKATKAN DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA PADA IBU DALAM MENGASUH ANAK DOWN SYNDROME”. Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang selalu istiqomah menegakkan ajaran agama islam.

Proses perampungan tesis ini, dijalani tahap demi tahap dengan penuh perjuangan, pengorbanan yang cukup lama dan melelahkan hingga akhirnya tesis ini terselesaikan. Peneliti menyadari, tesis ini dapat terselesaikan berkat bimbingan, arahan, dukungan, masukan, doa dan banyak bantuan yang diberikan kepada peneliti. Untuk itu dengan segala ketulusan hati, izinkanlah peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Irmawati, M.Si, Psikolog Selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara beserta jajarannya.

2. Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si Psikolog Selaku Ketua MP2 Universitas Sumatera Utara beserta jajarannya.

3. Eka Ervika, M.Si, Psikolog yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan dan memberikan saran dalam penyusunan Tesis ini, sekaligus sebagai dosen Pembimbing Akademik selama peneliti menjadi mahasiswa di MP2 USU semoga menjadi amal jariyah.

4. Elvi Andriani, M.Si, Psikolog selaku penguji yang telah memberikan saran serta ilmu yang diberikan kepada penulis semoga menjadi amal jariyah.

5. Seluruh Dosen Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara, semoga ilmu yang diberikan dapat bermanfaat dan diamalkan.

6. Kepala Sekolah SLB Negeri Pembina Medan, SLB TPI Medan, SLB Alazhar Medan, SLB Musdalifah Medan, SDLB Rantauprapat beserta seluruh guru dan staf dan jajarannya.


(8)

7. Ibu RH, Ibu UH, Ibu YW beserta seluruh keluarga dari anak down syndrome yang telah bersedia membantu peneliti untuk melakukan penelitian.

8. Keluargaku, ayah, mama, adik-adikku yang tak henti-hentinya memberikan dukungan baik moril maupun materil serta doa dan semangat yang selalu dapat menguatkan peneliti untuk tetap semangat menjalani kuliah S2.

9. Terutama Suamiku, terima kasih atas Ridho dan keikhlasannya atas segala keterbatasanku dalam menjalankan kewajiban

10. Keluarga besarku, amangboru, bou, ibu, kakak dan adik ipar serta seluruh adik-adik sepupu yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas semangat yang selalu kalian berikan.

11. Kak lina dan kak junita yang bersedia membantu peneliti untuk melakukan observasi dan mencari subjek penelitian.

12. Teman-teman Klabers kak nila, wini, yuli, ayu, mayang, bang nasri terima kasih atas rasa kekeluargaan yang kalian berikan.

13. Serta teman-teman satu angkatan di MP2 USU 2011 yang sudah memberikan tambahan warna dalam kehidupan peneliti.

Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan tanpa mengurangi makna kontribusinya dalam penelitian ini, semoga mendapatkan imbalan dari Allah SWT sebagai amal ibadah.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan untuk menyempurnakan tesis ini. Semoga tesis ini memberikan manfaat bagi siapa saja yang membacanya dan diharapkan dapat memicu peneliti-peneliti lain dengan tema yang serupa sehingga dapat memperkaya pengetahuan khususnya bidang perkembangan anak. Amin.

Medan, Februari 2014


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GRAFIK ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 11

1.5 Sistematika Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Dukungan Sosial Keluarga ... 13

2.1.1 Pengertian Dukungan Sosial ... 13

2.1.2 Jenis atau Bentuk Dukungan Sosial ... 15

2.1.3 Faktor-Faktor Dukungan Sosial ... 16

2.2 Down Syndrome ... 18

2.2.1 Defenisi Down Syndrome ... 18

2.2.2 Ciri Anak Down Syndrome ... 19

2.2.3. Keluarga Dengan Anak Down Syndrome ... 19

2.3 Solution Focused Family Therapy ... 21

2.3.1 Family Therapy ... 21

2.3.2 Solution Focused Family Therapy ... 22

2.4 Meningkatkan Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Ibu yang Memiliki Anak Down dengan menggunakan Pendekatan Solution Focused Family Therapy ... 32

2.5 Hipotesa Penelitian ... 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 35

3.1 Desain Penelitian ... 35

3.2 Variabel Penelitian ... 36

3.3 Defenisi Operasional ... 36

3.4 Subyek Penelitian dan Lokasi Penelitian ... 37


(10)

3.4.2 Lokasi Penelitian ... 37

3.5Alat Ukur Penelitian ... 38

3.5.1 ISEL Adaptation ... 38

3.5.2 Validitas ISEL Adaptation ... 39

3.5.3 Reliabilitas ISEL Adaptation ... 39

3.5.4 Uji Normalitas ... 40

3.5.5 Kategori Tingkat Dukungan Sosial ... 40

3.6 Metode Pengumpulan Data ... 41

3.6.1 Wawancara ... 41

3.6.2 Observasi ... 42

3.7 Prosedur Penelitian ... 42

3.7.1 Tahap Persiapan Penelitian ... 43

3.7.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 44

3.7.3 Tahap Evaluasi ... 48

3.8 Rancangan Intervensi ... 48

3.9 Uji Coba Modul ... 51

3.10 Kriteria Keberhasilan Program Intervensi ... 53

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN 4.1 Hasil Analisis Data Kelompok ... 54

4.2 Hasil Analisis Data Individu ... 58

4.2.1. Hasil Analisis Data Subjek 1... 58

4.2.1.1 Data Diri Subjek 1 ... 58

4.2.1.2 Deskripsi Subjek 1 ... 58

4.2.2 Hasil Analisis Data Subjek 2 ... 69

4.2.2.1Data Diri Subjek 2 ... 69

4.2.2.2 Deskripsi Subjek2 ... 69

4.3 Pembahasan ... 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 86

5.1 Kesimpulan ... 86

5.2 Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 89


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Sebaran Aitem ... 38

Tabel 3.2 Skoring ... 39

Tabel 3.3 Sebaran aitem setelah uji validitas ... 39

Tabel 3.4 Interval data subjek ... 41

Tabel 3.5 Jadwal kegiatan intervensi ... 45

Tabel 3.6 Rincian pelaksanaan intervensi ... 48

Tabel 4.1 Rekapitulasi Skor ISEL pada kedua subjek ... 54

Tabel 4.2 Rekapitulasi Hasil Observasi Kedua Subjek ... 56

DAFTAR GRAFIK Grafik 4.1 Perbedaan skor ISEL pretes posttest pada kedua subjek ... 54

Grafik 4.2 Perbedaan skor dimensi pretes dan postes pada kedua subjek ... 55


(12)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Februari, 2014

Rahma Mutiah : 117029020

Penerapan Solution Focused Family Therapy Untuk Meningkatkan Dukungan Sosial Pada ibu Dalam Mengasuh Anak Down Syndrome.

X ± 91 halaman; 2014, 8 tabel, 3 grafik Bibliografi : 29 (1985-2013)

Seorang ibu yang memiliki anak down syndrome cenderung mengalami stress dibandingkan anggota keluarga yang lain karena ibu lebih sering memusatkan perhatian dan menghabiskan waktu untuk merawat anak mereka. Stress yang muncul dalam membesarkan anak down syndrome dapat diperburuk oleh kurangnya dukungan social dari anggota keluarga yang lain seperti pasangan dan anak.

Penelitian ini merupakan penelitian single-subject research untuk melihat pengaruh terapi solution focused family therapy (SFFT) dalam upaya meningkatkan dukungan sosial pada ibu yang memiliki anak down syndrome. SFFT adalah terapi keluarga yang bertujuan untuk mencari solusi dan kompetensi yang dimiliki keluarga untuk mengatasi masalah yang ada. Perbedaan dukungan sosial diukur dengan skala ISEL adaptation yang mengungkap tangible support, appraisal support, self esteem support dan belonging support.

Partisipan dalam penelitian ini adalah dua orang ibu yang memiliki anak down syndrome, bersekolah di SDLB Negeri Rantauprapat dan berdomisili di Rantauprapat dan memiliki skor dukungan sosial pada kategori rendah. Pengukuran dukungan sosial dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan. Analisa data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan grafik. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa SFFT efektif dalam meningkatkan dukungan social pada keluarga down syndrome. Pada kedua subjek dukungan yang terlihat sangat meningkat adalah tangible support dan appraisal support. Antara subjek 1 dan subjek 2 terlihat ada perbedaan peningkatan dukungan sosial hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu usia pemberi dukungan, sifat atau sikap penerima dukungan, jumlah anggota keluarga.

Kata kunci : Solution Focused Family Therapy (SFFT), Dukungan Sosial, Down Syndrome


(13)

ABSTRACT

Faculty of Psychology, University of North Sumatera February , 2014

Rahma Mutiah : 117029020

Application of Solution Focused Family Therapy To Improve Social Support On Mother In Child Minding Down Syndrome .

X ± 91 pages ; 2014 , 8 tables , 3 graphs Bibliography : 29 (1985-2013)

A mother who has a child with Down syndrome tend to experience stress than other family members because mothers more often and spend time focusing on taking care of their children. Stress that arise in raising a child with Down syndrome can be exacerbated by a lack of social support from other family members such as spouses and children.

This study is a single - subject research to see the effect of solution focused therapy family therapy (SFFT) in an effort to increase social support in mothers of children with Down syndrome. SFFT is family therapy that aims to find solutions and competency of the family to cope with existing problems. Differences of social support was measured by ISEL scale adaptation that reveals tangible support, appraisal support, self- esteem, support and belonging support.

Participants in this study were two mothers of children with Down syndrome, attended SDLB and domiciled in Rantauprapat and social support scores in the low category. Measurement of social support before and after treatment . Analysis of the data used is descriptive qualitative using graphs. The result showed that SFFT effective in increasing social support to families with Down syndrome. In both subjects are seen greatly increased support is tangible support and appraisal support. Between subject 1 and subject 2 seen no difference in the increase in social support it is influenced by several factors: the age of donor support, the nature or the attitude of the support recipient, number of family members.

Keywords : Solution Focused Family Therapy ( SFFT ), Social Support, Down Syndrome


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Anak yang normal baik fisik maupun mental adalah harapan bagi semua orangtua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikarunia anak yang normal. Orangtua merasa bangga dan bahagia ketika harapan tersebut menjadi kenyataan. Tidak jarang orangtua mengungkapkan perasaan bangga tersebut dengan menceritakan kesuksesan anaknya kepada sanak keluarga, tetangga dekat maupun jauh, teman sejawat, bahkan kepada siapa pun yang menjadi lawan bicaranya (Nawawi, 2010).

Keadaan akan jadi berubah ketika anak yang dilahirkan, berbeda dengan anak lainnya, yakni anak yang memerlukan perhatian atau berkebutuhan khusus, tentunya orangtua merasa kecewa karena memiliki anak yang tidak sesuai dengan harapan. Keadaan anak yang serba kekurangan dalam pertumbuhan dan perkembangan akan menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam dan merupakan kenyataan pahit yang harus dihadapi orangtua.

Dikatakan oleh Hurlock (1999) bahwa apabila anak yang dinanti-nanti gagal memenuhi harapan orangtua, maka orangtua akan merasa kecewa dan mulai bersikap menolak. Ketidaksempurnaan dari sang anak dapat berdampak negatif pada orangtua muncul rasa kecewa yang mendalam bercampur sedih, bingung, marah, putus asa, tidak bergairah dan tidak berdaya. Mimpi indah orangtua


(15)

mendadak menjadi mimpi buruk yang selalu membayangi sepanjang hidup orangtua, bahkan cinta kasih dan sayang kepada sang anak berubah menjadi kebencian, muncul rasa malu, tidak percaya diri, berdosa, saling menyalahkan antara suami isteri, muncul pertengkaran yang hebat, sampai seringkali terjadi perceraian, bahkan shock dan stres berat pun dapat terjadi. Sang anak yang tadinya menjadi harapan masa depan yang cemerlang dan investasi yang sangat berharga akhirnya menjadi korban. Anak ditelantarkan, dibiarkan, diabaikan, ditolak kehadirannya, tidak dibimbing, tidak didorong, tidak diberi semangat untuk mencapai perkembangan yang seharusnya secara optimal (Nawawi, 2010).

Salah satu anak yang berkebutuhan khusus adalah anak dengan kelainan fisik dan mental yaitu anak down syndrome. Perkembangan yang lambat merupakan ciri utama pada anak down syndrome. Baik perkembangan fisik maupun mental, hal ini yang menyebabkan keluarga sulit untuk menerima keadaan anak dengan down syndrome. Setiap keluarga menunjukkan reaksi yang berbeda-beda terhadap berita bahwa anggota keluarga mereka menderita down syndrome, sebagian besar memiliki perasaan yang hampir sama yaitu: sedih, rasa tak percaya, menolak, marah, perasaan tidak mampu dan juga perasaan bersalah (Selikowitz, 2001). Ditambahkan oleh Sanders & Morgan, 1997 (dalam Goussmett, 2006) bahwa orangtua dengan anak Autistic Spectrum Disorder (ASD) dan Down Syndrome memiliki sedikit harapan bahwa anak mereka akan hidup normal, dan ditemukan bahwa orangtua dengan ASD dan Down Syndrome lebih banyak mengalami stres dan masalah penyesuaian dibandingkan dengan


(16)

stres dan masalah penyesuaian pada orangtua yang memiliki anak dengan perkembangan yang normal.

Seperti yang diungkapkan oleh ibu RS (wawancara, Agustus 2013) “ pada awal mengetahui anak berbeda dengan anak yang lain, dan menurut hasil diagnosa dokter anak saya mengalami down syndrome dan harus bersekolah di sekolah luar biasa membuat saya shock, berhari-hari saya menangis dan bertanya-tanya apa salah saya, kenapa tuhan memberikan saya anak seperti ini. Suami saya juga terlihat sedih walau dia hanya diam saja. Saya sampai takut untuk hamil lagi, saya takut anak saya berikutnya juga seperti anak ini”

Diantara orangtua, penelitian telah menunjukkan bahwa ibu umumnya lebih stres dari pada ayah walaupun sebenarnya ayah pada umumnya juga tertekan dengan kondisi anak mereka namun cenderung tidak mampu mengatakan sedangkan ibu kondisi tertekan mereka lebih terlihat (Konstantareas & Homatidis, 1989, Ricci & Hodopp, 2003, Frey K, Greenberg, MT, & Fewell, RR, 1989 dalam Gousmett, 2006).

Sesuai dengan penuturan dari ibu RS (wawancara, Agustus 2013)

“sebenarnya saya sudah bisa terima, namun saya tidak bisa membohongi perasaan saya sendiri kalau terkadang saya malu dan sedih ketika kumpul bersama keluarga besar, anak saya seperti disisihkan, dia sering tidak diajak bermain bersama. Suami saya juga sebenarnya mau memberikan fasilitas dan selalu berupaya agar anak saya bisa bersekolah. Namun untuk berinteraksi seperti bermain dan berbicara dengan anak saya sangat jarang, kadang saya merasa dia malas untuk berdekatan dengan anak kami. Itu yang membuat saya sedih. Apalagi saat ini adiknya yang kecil juga sudah sering mengejek sepertinya cemburu dan sering memusuhi kakaknya. Membuat saya semakin stres dan repot merawat mereka berdua.”

Ibu menjadi cenderung terlihat lebih stres dibandingkan anggota keluarga

yang lain karena ibu lebih sering memusatkan perhatian dan menghabiskan waktu

untuk merawat anak mereka. Stres yang muncul dalam membesarkan anak dengan

disability seperti down syndrome dapat diperburuk oleh kurangnya dukungan


(17)

sumber dukungan lain dan hal ini juga dapat memberikan pengaruh bagaimana

sebuah keluarga mampu berfungsi, dan penyesuaian psikologis anak-anak lain

dalam keluarga (Beckman, 1991 dalam Gousmett, 2006).

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh The Manchester Down Syndrome Cohort (dalam Bryne, 1988), mengungkapkan bahwa “Kami telah terlibat dalam penelitian tentang dukungan keluarga dan intervensi yang akan dilakukan, dari 181 keluarga yang masing-masing memiliki anak dengan sindrom Down dilahirkan di Greater Manchester antara Agustus 1973 dan Agustus 1980, “selama bertahun kami diskusi dengan orang tua, sejumlah besar masalah mulai muncul. Beberapa keluarga tampak mengalami kesulitan yang berkaitan dengan masalah hubungan, kesulitan dengan anak-anak dan perasaan pembatasan dan isolasi. Lainnya berbicara tentang keprihatinan mereka tentang layanan yang mereka terima, atau tentang reaksi orang lain untuk diri mereka sendiri dan anak-anak mereka . Bagi sebagian yang lagi adalah kekhawatiran tentang masa depan anak-anak mereka. Namun disisi lain ada beberapa keluarga yang tidak menceritakan kekhawatiran, tapi mengatakan bahwa mereka sering menemukan kegembiraan yang tak terduga dari anak . sehingga muncul pertanyaan apa yang menyebabkan beberapa keluarga berhasil mengatasi kekhawatirannya, dan mengapa keluarga lain mengalami kesulitan?”. Pada kenyataannya banyak faktor yang mempengaruhi sebuah keluarga merasa khawatir ataupun bahagia dengan memiliki anak down syndrome adalah : karakteristik individu dalam keluarga dan keluarga sebagai unit, sumber daya yang dimiliki oleh anggota keluarga masing-masing, yaitu tenaga kesehatan dan pemecahan masalah, hubungan dalam keluarga, jaringan keluarga dan dukungan, politik dan lingkungan sosio - kultural keluarga ( Bronfenbrenner , 1977 dalam Byrne, 1988).

Sering terjadi dimana ibu memandang bahwa hanya dia yang mengalami stres dan hanya dia yang lebih perhatian dan merawat anak down syndrome. Hal ini akan mempengaruhi perilaku ibu terhadap pasangan (ayah), terhadap anak sehingga mempengaruhi interaksi antara pasangan, orangtua dan anak maupun anak dengan anak. Kondisi stres dan depresi yang dimiliki seorang ibu ini sering membuat seorang ibu dari anak down syndrome cenderung untuk mencari dukungan sosial terutama dari orang-orang yang berada didekat dirinya (Boyd, 2002 dalam Gousmett, 2006).


(18)

Dukungan sosial dapat bertindak untuk memfasilitasi krisis dan adaptasi terhadap perubahan dan dapat bertindak sebagai mediator stres dengan cara mempengaruhi bagaimana pengasuh (dalam hal ini ibu) merasa mampu mengatasi tuntutan dalam membesarkan anak down syndrome, dan keluarga yang melaporkan bahwa mereka memiliki dukungan sosial yang lebih tinggi umumnya memiliki tingkat stres yang rendah (Beckman, 1991, Boyd, 2002 dalam Gousmett, 2006). Jika sebuah keluarga memiliki dukungan sosial yang rendah akan memiliki sedikit orang yang mau memberikan perawatan sehingga akan membuat ibu sebagai pengasuh sedikit istirahat dan mendapatkan tekanan secara terus menerus dalam merawat anak mereka, yang menyebabkan peningkatan pesimis, dan resiko kelelahan (Freeman, 1990 dalam Gousmett, 2006).

Dukungan sosial itu sendiri adalah suatu konstruksi multidimensi yang meliputi bantuan fisik dan instrumental, berbagi informasi dan sumber daya, dan menyediakan dukungan emosional dan psikologis (Dunst dalam Gousmett, 2006). Ditambahkan oleh Cobb ( Gousmett, 2006) bahwa dukungan sosial sebagai informasi bahwa seseorang percaya bahwa mereka diperhatikan dan dicintai, percaya bahwa mereka berharga dan dihargai dan percaya bahwa bagian dari anggota dan memiliki kewajiban bersama. Begitu juga dengan ibu dari anak down syndrome, jika ia mendapatkan dukungan sosial yang kuat dari keluarga maka ia akan merasa bahwa bukan hanya dia sendiri yang merasa bertanggungjawab terhadap perkembangan dan kebutuhan anaknya. Ia juga bisa mendapatkan waktu untuk beristirahat karena ada anggota keluarga yang lain yang bersedia untuk menggantikan dia mengasuh anak down syndrome itu sendiri.


(19)

Jika ada dukungan sosial maka dapat menyebabkan persepsi yang lebih positif terhadap lingkungan keluarga seperti fungsi keluarga lebih stabil, persepsi yang lebih positif terhadap anak dan terlepas dari diagnosis pada anak dan tingkat kecacatannya, menunjukkan bahwa tingkat dukungan sosial akan membuat ibu merasa kurang overprotecting. Studi ini juga menemukan bahwa dukungan sosial tidak hanya meringankan beberapa stres yang berkaitan dengan membesarkan anak disability (down syndrome), tetapi juga memberi mereka kesempatan untuk mengembangkan hubungan yang lebih positif dan memungkinkan ibu sebagai pengasuh lebih melatih keterampilan dan memberikan kesempatan pada anak untuk lebih mandiri, hal ini yang menjelaskan mengapa dukungan sosial memberikan manfaat yang besar terhadap perkembangan anak down syndrome (Dunst, 1986 dan Seybold, 1991 dalam Gousmett, 2006).

Seperti yang diungkapkan dari hasil wawancara dengan ibu MR (September, 2013) bahwa “pada awalnya saya menolak anak saya karena secara latar belakang saya memiliki pendidikan di bidang kesehatan, saya benar-benar menjaga kondisi kandungan saya, namun Tuhan memberikan saya anak seperti ini, saya menyalahkan Tuhan dan sering saya mengabaikan. Namun karena orangtua saya, suami dan keluarga suami saya meminta saya menerima dan mengikhlaskan ujian dari Tuhan, kemudian saya perlahan mulai bangkit dengan mencari banyak informasi mengenai anak DS. Kemudian bersama suami kami berlatih untuk terus belajar bagaimana mengajarkan perilaku anak kami. Hingga saat ini saya sering menjadi merasa bahagia karena anak kami telah memiliki banyak keterampilan dan sering berperilaku yang membuat saya terharu seperti dia selalu berdoa agar saya dan suami masuk surga dan tidak susah dilarang.

Dukungan sosial dapat berasal dari berbagai bidang masyarakat, misalnya dari pasangan, kakek-nenek, anggota keluarga, tetangga, masyarakat dan lain-lain. Walaupun efek pada orangtua yang merawat anak down syndrome dipengaruhi oleh lingkungan sosial, keluarga, layanan dukungan yang tersedia dan sikap masyarakat (Hornby, 1994 dalam Gousmett, 2006 ) namun dalam penelitian ini


(20)

dukungan lebih difokuskan kepada dukungan sosial keluarga, dimana menurut teori ekologi Bronfenbrenner (dalam Gousmett, 2006) mengembangkan model ekologi menggunakan empat subsistem yaitu microsistem, mesosistem, exosistem dan macrosistem. Pada microsistem keluarga down syndrome terdiri dari orangtua, anak down syndrome dan saudara lainnya (anak lain dalam keluarga).

Pemberian dukungan sosial dari anggota keluarga yang lain seperti pasangan, orangtua, saudara dan anak terhadap ibu sebagai pengasuh ini terkadang menjadi sulit dilakukan karena keluarga yang memiliki anak down syndrome juga sama dengan keluarga lain yang terdiri dari beberapa orang dan bukan hanya koleksi individu. Keluarga adalah sistem transaksi di mana semua anggota keluarga berinteraksi dengan dan mempengaruhi semua anggota lainnya, apa pun yang mempengaruhi salah satu bagian dari sistem ini dirasakan di seluruh sistem (Bryne, 1988).

Begitu juga dengan keluarga yang memiliki anggota down syndrome, tiap anggota keluarga akan berbeda-beda reaksi dan cara mereka memperlakukan baik anak down syndrome itu sendiri ataupun orang lain yang menjadi bagian dari anggota keluarga tersebut. Hal ini karena anggota keluarga adalah individu yang bervariasi dalam karakteristik mereka. Setiap anggota keluarga memiliki seperangkat keistimewaan pribadi dan ini dapat mempengaruhi bagaimana tiap anggota keluarga bereaksi terhadap anggota keluarga yang disabilities atau bagaimana mereka merespon kebutuhan anggota keluarga yang lain dan bagaimana mereka mengatasi kesulitan (Byrne, 1988).


(21)

Namun terlepas dari masalah dan kesulitan yang akan ada di dalam keluarga yang memiliki anak down syndrome, keluarga seharusnya tetap mampu untuk melihat kemampuan atau kekuatan yang mereka miliki untuk mengatasi masalah mereka. Hal ini karena menurut para peneliti (Knussen & Cunningham, 1988 dalam Bryne, 1988) bahwa sebenarnya peristiwa dan pengalaman yang membuat stres akan memiliki konsekuensi yang positif maupun yang negatif, kesulitan yang dialami keluarga seharusnya tidak ditolak tetapi ditekankan untuk mencari sumber daya yang mereka miliki kemudian dikembangkan dalam rangka untuk membantu mereka mengatasi masalah. Sehingga layanan/bantuan yang diberikan pada keluarga berkaitan dengan cara-cara untuk menemukan sumber daya ini sehingga mereka menjadi saling mendukung untuk mengatasi masalah.

Dari penjelasan diatas diketahui bahwa keluarga yang memiliki anak down syndrome walaupun dapat menimbulkan kesulitan dan penuh dengan pengalaman stres haruslah mampu untuk menemukan kekuatan atau sumber daya yang mereka miliki untuk mendapatkan konsekuensi positif dari masalah yang ada. Hal ini agar setiap anggota keluarga menjadi berupaya untuk saling memberikan dukungan, dan ibu tidak memandang bahwa hanya dia seorang yang mengasuh anak down syndrome. Untuk mencapai hal ini dibutuhkan bantuan dan layanan dari pihak lain misalkan dari terapis keluarga agar menjadi keluarga yang sehat yang mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang ada.

Seorang terapis keluarga tidak hanya menangani individu-individu di dalam keluarga namun juga memahami sistem di dalam sebuah keluarga dan resistensi keluarga untuk berubah. Lewin juga mengungkapkan bahwa diskusi


(22)

kelompok lebih baik untuk mengubah cara berfikir dan perilaku seseorang dibanding sekedar memberikan instruksi atau mengajar. Mengajarkan seorang istri untuk berperilaku asertif misalnya tidak akan seefektif jika sang suami juga ikut dilibatkan dalam proses pengajaran tersebut, dengan melibatkan suami, sang istri akan memahami bagaimana reaksi suami terhadapnya dan dapat secara langsung menyadarkan suaminya agar memperlakukannya lebih setara (Nicholz, 2001).

Untuk itu dalam membantu keluarga yang memiliki anak down syndrome mengatasi masalah dukungan yang dinilai ibu kurang diberikan kepadanya lebih sesuai jika menggunakan family therapy berdasar pada pendekatan solution focused family therapy. Ini dipilih karena pendekatan solution focused family therapy lebih menekankan kepada solusi dan kompetensi bukan masalah. Penekanan dalam terapi adalah tentang apa yang mungkin dan bisa berubah, daripada apa yang tidak mungkin. Model ini lebih berfokus pada mengambil langkah-langkah kecil untuk memulai perubahan dan bila proses terus berlangsung maka perubahan pada sub-sub yang lain juga akan terjadi (Carlson, 2005). Dengan kata lain terapi solution focused mencoba untuk mengajak klien fokus kepada hal-hal yang positif yang sebenarnya sudah dimiliki dan dimanfaatkannya untuk mengarah kepada perbaikan.

Dengan demikian jika keluarga sudah mendapatkan terapi solution focused family therapy maka anggota keluarga lebih mengetahui tentang hal-hal apa yang seharusnya dilakukan agar ibu tidak lagi merasa bahwa hanya dia yang mengasuh dan bertanggungjawab terhadap anak down syndrome. Jika perubahan ini telah terjadi maka juga akan terjadi pola pengasuhan pada anak down syndrome itu


(23)

sendiri, yang semula overprotektif , ibu dan anggota keluarga lain menjadi lebih percaya diri untuk membantu anak down syndrome melatih keterampilan dan mengembangkan perilaku adaptifnya. Untuk itu yang menjadi tujuan penelitian ini untuk melihat keefektifan solution focused family therapy dalam upaya meningkatkan dukungan sosial keluarga terhadap ibu dari anak down syndrome.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latarbelakang yang telah diuraikan diatas didapatkan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah solution focused family therapy efektif dalam upaya meningkatkan dukungan sosial keluarga terhadap ibu dari anak down syndrome?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah : 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk menguji keefektifan solution focused family therapy dalam upaya meningkatkan dukungan sosial keluarga terhadap ibu dari anak down syndrome 1.3.2 Tujuan Khusus

Untuk menguji keefektifan solution focused family therapy dalam upaya meningkatkan dukungan tangible terhadap ibu, dukungan appraisal terhadap ibu, dukungan self esteem terhadap ibu dan dukungan belonging terhadap ibu.


(24)

1.4. Manfaat Penelitian

Secara umum penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis bagi psikologi klinis, khususnya psikologi klinis anak. Penelitian ini diharapkan akan menambah wawasan mengenai alternatif teknik terapi yang dapat digunakan untuk meningkatkan dukungan keluarga terhadap ibu yang memiliki anak down syndrome yang pada akhirnya akan mendukung terapi lain yang digunakan untuk meningkatkan keterampilan-keterampilan pada anak down syndrome. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi pada orangtua dan sekolah mengenai bagaimana menghadapi seorang anak berkebutuhan, khususnya anak down syndrome. Mendapatkan informasi hal-hal apa yang dapat dilakukan anggota keluarga dalam upaya membantu ibu meningkatkan kemampuan adaptif anak down syndrome dan juga membantu keluarga untuk mengatasi konisi stress keluarga yang memiliki anak down syndrome. Selain itu, modul pelaksanaan terapi yang disusun dalam penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

1.5. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah:

Bab I Pendahuluan: latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan

Bab II Tinjauan Pustaka: teori yang digunakan dalam penelitian yaitu dukungan sosial keluarga, down syndrome, family terapi

Bab III Metode penelitian: pendekatan yang digunakan, metode pengumpulan data, subyek dan lokasi penelitian, alat ukur


(25)

penelitian, prosedur penelitian, tahap pelaksanaan, rancangan intervensi dan metode analisis data.

Bab IV Pelaksanaan dan Hasil Penelitian : pelaksanaan intervensi hasil penelitian serta pembahasan hasil penelitian efektivitas penerapan terapi solution focused family therapy pada ibu yang memiliki anak down syndrome dan keterbatasan penelitian

Bab V Kesimpulan dan Saran : pada bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan akan dibahas pula tentang bagaimana implikasi hasil penelitian terhadap pelayanan dan penelitian.


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Dukungan Sosial Keluarga 2.1.1. Pengertian Dukungan Sosial

Ada berbagai defenisi dukungan sosial, dukungan sosial berasal dari kata sosial support, sosial artinya menyinggung relasi di antara dua atau lebih individu (Chaplin, 1999) dan support yang artinya: 1) Mengadakan atau menyediakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan orang lain, 2) Memberikan dorongan atau pengobaran semangat dan nasihat kepada orang lain dalam situasi pembuatan keputusan (Chaplin, 1999). Dunst, Trivette dan Cross (1986 dalam Gousmett, 2006) mendefenisikan dukungan sosial sebagai suatu konstruksi multidimensi yang meliputi bantuan fisik dan instrumental, berbagai informasi dan sumber daya, dan menyediakan dukungan emosional dan psikologis. Istilah ini juga dapat merujuk kepada pelayanan formal yang diterima dari para professional, organisasi formal atau yang semi formal seperti klub-klub sosial, atau organisasi-organisasi yang memandang bahwa keluarga itu penting dalam gaya hidup mereka. Dukungan sosial didefenisikan sebagai perilaku yang membantu orang-orang yang sedang menjalani situasi kehidupan yang penuh stres untuk mengatasi secara efektif dengan masalah yang mereka hadapi (Cutrona, CE, 2000).

Sedangkan Cobb (1976 dalam Gousmett, 2006) mendefenisikan dukungan sosial sebagai informasi dari salah satu atau ketiga dari hal berikut ini: (1) informasi yang mengarah orang untuk percaya bahwa mereka diperhatikan dan


(27)

dicintai, (2) informasi yang mengarah ke orang untuk percaya bahwa mereka berharga dan dihargai, dan (3) informasi yang mengarah pada orang untuk percaya bahwa mereka berasal dari jaringan komunikasi yang sama dengan kewajiban bersama. Sarafino (2002) mendefenisikan dukungan sosial sebagai kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain.

Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses/diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial keluarga internal, seperti dukungan dari suami/istri atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal (Friedman, 1998)

Yang menjadi sumber dukungan sosial ada 5 yaitu (Cutrona, CE, 2000) : (1) sumber informal yaitu keluarga, teman, tetangga, (2) sumber formal yaitu tenaga professional, lembaga, (3) sumber semi-formal yaitu dukungan dari kelompok-kelompok misalkan lembaga kelompok kanker Indonesia, persatuan orangtua anak down syndrome (Potads), (4) jaringan informal misalkan orangtua-orangtua yang memiliki anak down syndrome, (5) sumber-sumber lain yang berminat pada dukungan sosial.

Dari beberapa defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah perilaku yang dilakukan oleh seseorang untuk membantu orang yang


(28)

sedang menjalani situasi kehidupan yang penuh stres agar ia dapat mengatasi masalah yang dihadapi secara efektif.

2.1.2. Jenis atau Bentuk Dukungan Sosial

Cohen, Mermelstein, Kamarck dan Hoberman (1985) menyimpulkan empat bentuk dukungan sosial yang berpengaruh terhadap respon individu pada kondisi yang menekan yaitu:

1. Dukungan praktis (tangible support) atau bantuan-bantuan yang bersifat pelayanan seperti membantu dalam melakukan kegiatan sehari-hari maupun bantuan secara finansial. Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit diantaranya : bantuan langsung dari orang yang diandalkan seperti materi, tenaga dan sarana. Manfaat dukungan ini adalah mendukung pulihnya energi atau stamina dan semangat yang menurun selain itu individu merasa bahwa masih ada perhatian atau kepedulian dari lingkungan terhadap seseorang yang sedang mengalami kesusahan atau penderitaan (Friedman, 1998).

2. Dukungan informasi (appraisal support) atau suatu bentuk bantuan yang membantu individu dalam memahami kejadian yang menekan dengan lebih baik serta memberikan pilihan strategi coping yang harus dilakukan guna menghadapi kejadian tersebut. Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan diseminator informasi tentang dunia yang dapat digunakan untuk mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stresor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam


(29)

dukungan ini adalah nasihat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi (Friedman 1998)

3. Dukungan harga diri (self esteem) atau suatu bentuk bantuan dimana individu merasakan adanya perasaan positif akan dirinya bila dibandingkan keadaan yang dimiliki dengan orang lain, yang membuat individu merasa sejajar dengan orang lain seusianya. Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi masalah serta sebagai sumber validator identitas anggota keluarga, diantaranya : memberikan support, pengakuan, penghargaan dan perhatian (Friedman, 1998).

4. Dukungan belonging, suatu bentuk bantuan dimana individu tahu bahwa ada orang lain yang dapat diandalkan ketika ia ingin melakukan suatu kegiatan bersama dengan orang lain. Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Manfaat dari dukungan ini adalah secara emosional menjamin nilai-nilai individu (baik pria maupun wanita) akan selalu terjaga kerahasiaannya dari keingintahuan orang lain. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian dan mendengarkan serta didengarkan (Friedman, 1998).

2.1.3. Faktor–faktor yang Mempengaruhi Seseorang Mendapatkan Dukungan Sosial

Faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga menurut Feirig dan Lewis (1984 dalam Friedman, 1998) ada bukti kuat dari hasil penelitian yang


(30)

menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak-anak yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian daripada anak-anak dari keluarga besar. Selain itu dukungan yang diberikan oleh seseorang dipengaruhi oleh usia, menurut Friedman (1998) orang yang masih muda cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan atau mengenali kebutuhan orang lain dan juga lebih egosentris dibanding orang yang lebih tua. Faktor lain yang mempengaruhi dukungan sosial adalah kelas sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan, tingkat pendidikan dan status sosial.

Sarafino (2002) menguraikan beberapa faktor yang mempengaruhi perolehan dukungan sosial dari orang lain yaitu:

a) Penerima dukunan (recipient)

Seseorang tidak akan memperoleh dukungan bila mereka tidak ramah, tidak mau menolong orang lain dan tidak membiarkan orang lain mengetahui bahwa mereka membutuhkan pertolongan. Ada orang yang kurang asertif untuk meminta bantuan, atau mereka berfikir bahwa mereka seharusnya tidak tergantung dan membebani orang lain, merasa tidak enak mempercayakan sesuatu pada orang lain atau tidak tahu siapa yang dapat dimintai bantuannya. b) Penyedia dukungan (provider)

Individu tidak akan memperoleh dukungan jika penyedia tidak memiliki sumber-sumber yang dibutuhkan oleh individu, penyedia dukungan sedang berada dalam keadaan stres dan sedang membutuhkan bantuan, atau mungkin juga mereka tidak cukup sensitif terhadap kebutuhan orang lain.


(31)

c) Komposisi dan struktur jaringan sosial (hubungan individu dengan keluarga dan masyarakat)

Hubungan ini bervariasi dalam hal ukuran yaitu jumlah orang yang biasa dihubungi, frekuensi hubungan yaitu seberapa sering individu bertemu dengan orang tersebut, komposisi yaitu apakah orang tersebut adalah keluarga, teman, rekan kerja atau lainnya; dan keintiman yaitu kedekatan hubungan individu dan adanya keinginan untuk saling mempercayai.

2.2. Down Syndrome

2.2.1. Defenisi down syndrome

Down syndrome merupakan sindroma congenital (kelainan bawaan) yang paling sering terjadi dan juga merupakan penyebab ketidakmampuan intelektual yang paling sering ditemukan. Penyebab hal ini masih belum diketahui pasti, yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia ibu makin tinggi risiko untuk terjadinya down syndrome, dimulai sejak umur 35 tahun. Kejadian sindroma down diperkirakan 1 per 800 hingga 1 per 1000 kelahiran dan Mengenai semua etnis serta seluruh kelompok ekonomi (Selikowizt, 2001). Orang dengan down sindrom memiliki kelainan pada kromosom nomor 21 yang tidak terdiri dari 2 kromosom sebagaimana mestinya, melainkan tiga kromosom (trisomi 21) sehingga informasi genetika menjadi terganggu dan anak juga mengalami penyimpangan fisik.


(32)

2.2.2. Ciri-ciri anak down syndrome

Secara garis besar penderita ini dengan mudah bisa dilihat, berat badan waktu lahir dari bayi dengan down sindrom ini umumnya kurang dari normal. Ciri-ciri lain dari wajah yang khas dengan mata sipit yang membujur ke atas, jarak kedua mata yang berjauhan dengan jembatan hidung yang rata, hidung yang kecil, mulut kecil dengan lidah yang besar sehingga cenderung dijulurkan dan telinga letak rendah. Tangan dengan telapak yang pendek dan biasanya mempunyai garis telapak tangan yang melintang lurus (horizontal/tidak membentuk huruf M), jari pendek-pendek, biasanya jari ke-5 sangat pendek, hanya mempunyai 2 ruas dan cenderung melengkung. Tubuh pendek dan cenderung gemuk. Anak dengan sindrom ini sangat mirip satu dengan yang lainnya. Retardasi mental sangat menonjol (IQ sekitar 50-70), disamping juga terdapat retardasi jasmani. Mereka berbicara dengan kalimat-kalimat yang sederhana, diakibatkan adanya gangguan wicara karena gangguan konstruksi rahang dan mulut. Anak dengan sindroma ini sering menderita kelainan bawaan seperti kelainan jantung, leukimia, dan alzhaimer (Selikowizt, 2001).

2.2.3. Keluarga dengan anak down syndrome

Orangtua yang memiliki anak dengan cacat perkembangan seperti down syndrome, autis dan lain-lain, memiliki banyak masalah yang harus dihadapi. Pertama mereka mungkin merasa bahwa anaknya memiliki perkembangan yang tidak biasa dan ini membuat orangtua melakukan penyelidikan dan tes untuk mencari diagnosis. Proses ini sering panjang dan sulit sehingga membuat orangtua bingung tentang apa yang akan dilakukan pada anak mereka. Kemudian setelah di


(33)

diagnosis, orangtua harus menghadapi kenyataan bahwa anak mereka memiliki gangguan yang tidak mungkin sepenuhnya dapat hidup tanpa bergantung pada oranglain. Orangtua mulai menghadapi masalah mengenai jenis perawatan yang dibutuhkan, dimana anak mereka harus sekolah, apakah mereka mendapatkan bantuan dari pemerintah atau tidak. Dan banyak orangtua juga akan bertanya-tanya dan meragukan dirinya sendiri apakah mereka mampu untuk merawat anak mereka sendiri atau apakah ada sumber daya yang lain yang dapat membantu mereka membesarkan anak mereka (Goussmett, 2006).

Membesarkan anak dengan gangguan perkembangan seperti autistic spectrum disorder dan down syndrome merupakan salah satu stres terbesar bagi orangtua hal ini karena orangtua menganggap mereka memiliki sedikit harapan bahwa anak mereka dapat hidup dengan normal (Dyson, 1993, Krauss, 1993, Woolfson, 2004 dalam Goussmett, 2006). Orangtua dengan anak ASD telah ditemukan lebih memiliki tingkat stres dan masalah penyesuaian yang lebih tinggi dari pada orangtua dengan anak down syndrome, namun lebih tinggi dibandingkan stres dan penyesuaian diri dari orangtua yang memiliki anak dengan perkembangan normal (Sanders dan Morgan, 1997 dalam Goussmett, 2006).

Beberapa stres yang orangtua mungkin hadapi adalah masalah ekonomi, waktu untuk terapi, isolasi sosial, masalah perilaku, hubungan keluarga yang tegang (Beckman, 1983, Woolfson, 2004 dalam Gousmett, 2006). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Joosa (2006) bahwa hal-hal yang berpengaruh dan yang harus diperhatikan pada keluarga dengan anak down syndrome yaitu (1) dampak seorang anak dengan down syndrome umumnya membawa keraguan dan


(34)

ketakutan, (2) hubungan keluarga dimana anak down syndrome memberikan pengaruh pada hubungan kedekatan dan kohesi suami isteri, saudara kandung, dan hubungan dengan anggota keluarga yang lain, (3) harapan parenting yang berkaitan dengan kesadaran ibu mengenai pentingnya pengalaman belajar yang optimal bagi anak mereka untuk mencapai potensinya, (4) dukungan sosial dari keluarga maupun di luar keluarga merupakan hal yang paling terpenting bagi ibu , (5) layanan formal, (6) penerimaan masyarakat.

2.3. Solution Focused Family Terapi 2.3.1. Family Therapy

Terapi keluarga adalah sebuah istilah yang diberikan kepada metode-metode yang bekerja dengan keluarga dengan bermacam-macam kesulitan biopsikososial (Carr, 2006). Terapi keluarga mulai berkembang sejak awal tahun 1950. Terapi keluarga merupakan pendekatan psikoterapeutik yang sangat fleksibel, dapat diaplikasikan kepada rentang yang luas menyangkut masalah yang berfokus pada anak dan yang berfokus pada orang dewasa. Tujuan utama dari terapi keluarga adalah untuk memfasilitasi resolusi atas suatu masalah dan untuk meningkatkan perkembangan keluarga sehat dengan berfokus pada hubungan antara individu yang bermasalah dengan anggota keluarganya dan jaringan sosialnya (Carr, 2006). Para terapis keluarga memiliki asumsi terhadap apa yang berkontribusi pada keluarga sehat. Keluarga sehat dikatakan memiliki struktur yang fleksibel, batasan-batasan yang jelas dan hirarki yang terorganisir dengan baik, dan mereka menggunakan kontrol reinforcement positif, menawarkan attachment yang aman, dan saling menyediakan pemenuhan kebutuhan dan objektif ini menjadi tujuan


(35)

dalam membantu keluarga memperbaiki potensi untuk bahagia (Nichols, 2010). Salah satu dari karakteristik yang mendefenisikan terapi keluarga adalah selalu berfokus pada masa kini, dimana masalah sedang terjadi dan menjadi perhatian (Nichols, 2010). Terapi keluarga diklasifikasikan kedalam beberapa kelompok berdasarkan penekanannya pada (1) pola perilaku yang mempertahankan masalah (2) sistem keyakinan dan naratif yang problematik dan memaksa, (3) faktor predisposisi historis dan kontekstual.

Pada penelitian ini, penulis akan menggunakan terapi keluarga yang termasuk dalam klasifikasi kedua (sistem keyakinan dan naratif yang problematik dan memaksa), yaitu solution focused family therapy.

2.3.2. Solution Focused Family Therapy (SFFT) 1. Defenisi Solution Focused Family Therapy

Solution focused therapy sering digunakan pada praktik psikoterapi individual. Namun, banyak terapis terapi keluarga mengintegrasikan strategi solution focused ini kedalam pekerjaannya. Milton Erickson menggambarkan bahwa terapi digunakan untuk mengubah “apa yang dilihatnya” atau “apa yang dilakukannya” yang terkait dengan masalah yang dihadapinya. Pada model ini, terapis tidak melihat suatu permasalahan sebagai suatu kegagalan, melainkan sebagai bagian dari pekermbangan keluarga tersebut (Midori, 2001).

Filosofi dari pendekatan solution focused didasarkan pada gagasan bahwa perubahan konstan dan tak terelakkan. Penekanan dalam terapi adalah tentang apa yang mungkin bisa di ubah, daripada apa yang tidak mungkin. Model ini berfokus pada mengambil langkah-langkah kecil untuk memulai perubahan, dan perubahan


(36)

pada satu subsistem akan mengubah sistem yang lain (Carlson, 2005). Menurut model ini, deShazer (1985 dalam Carlson, 2005), fokus dalam model terapi adalah pada solusi dan kompetensi, bukan pada masalah.

Tujuan dari terapi jenis brief ini untuk mengubah keluarga lebih bijak dalam memandang dunia dan untuk mengubah perilaku anggota keluarga sehingga solusi untuk masalah ini berkembang dan masalah teratasi. Tujuan utama adalah menemukan kekhawatiran keluarga yang muncul. Komponen yang penting pada model solution focused adalah membuat formulasi tujuan keluarga yang dimulai pada sesi pertama. Dan tujuan tersebut harus spesifik , terukur, dapat dicapai , dan menantang (Carlson, 2005).

2. Tahapan Pelaksanaan Solution Focused Family Therapy

Proses treatment umumnya bisa divariasikan namun juga mengikuti struktur yang ada. Pada sesi awal, melakukan perkenalan, menyusun struktur, dan mendapatkan pernyataan mengenai keluhan, kemudian informasi spesifik yang dikumpulkan dari masing-masing anggota keluarga. Sebuah diskusi terjadi kemudian tentang apa yang terjadi ketika keluarga tidak mengalami masalah yang dijelaskan dalam keluhan mereka. Setelah terapis mendapatkan informasi latar belakang yang cukup, ia dapat menggunakan "miracle question" yang meminta keluarga menceritakan hal-hal apa yang akan menjadi berbeda jika keajaiban terjadi dan masalah yang ada dapat dipecahkan . Ini mendorong keluarga untuk berpikir tentang perubahan. Kemudian terapis mengembangkan pernyataan dan tugas, yang mana mempersiapkan keluarga untuk menjadi responsif terhadap tugas-tugas pekerjaan rumah (Carlson, 2005)..


(37)

Dibawah ini akan dijelaskan mengenai tahapan atau langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan terapi solution focused (Campbell, 1999 dalam Psychpage, 2013):

I. Pre- Session

Tujuan untuk mendapatkan informasi tentang perubahan yang telah terjadi sebelum pelaksanaan terapi. Pertanyaan yang umum ditanyakan adalah “dari beberapa waktu sebelum anda datang kemari, adakah beberapa perubahan yang telah terjadi? Atau apakah ada perubahan yang menjadi lebih baik atau lebih buruk sehingga anda memutuskan untuk mengambil tindakan untuk bertemu dengan saya hari ini?

Ada dua kemungkinan respon terhadap pertanyaan ini, pertama, beberapa perubahan telah terjadi. Dalam hal ini, terapis meminta lebih detail lagi tentang perubahan itu, meminta anggota keluarga lain untuk melihat hal ini, apa artinya bagi mereka, apa yang mereka lakukan dalam menanggapi hal tersebut dan lain-lain. Kedua, klien mengatakan tidak ada yang berubah atau tetap sama atau bahkan semakin parah. Dalam kasus ini, terapis dapat melanjutkan dengan pertanyaan seperti “bagaimana saya dapat membantu anda hari ini? Atau apa yang harus terjadi agar pertemuan ini benar-benar bermanfaat bagi anda?

II. Session

Dalam Sesi terdiri dari beberapa tahap-tahap yang akan dijelaskan dibawah ini:


(38)

1) Tahap 1 : Sosializing dan Joining

Terapis berusaha menjadi bagian dari system yang ada, belajar bahasa mereka, menerima pandangan-pandangan klien. Intinya adalah terapis berusaha menciptakan sebuah lingkungan agar terjadi percakapan yang produktif. Contoh pertanyaan “apa yang dapat saya lakukan untuk membantu anda? Atau apa yang harus terjadi agar pertemuan ini benar-benar bermanfaat bagi anda?

2) Tahap 2 : Describing the problem

Pada tahap ini terapis berusaha untuk mendapatkan gambaran tentang masalah dari sudut pandang klien. Teknik terapi yang digunakan adalah miracle question, scalling, exception and agency and coping questions. Terkadang klien mengatakan lebih dari satu masalah atau mereka tidak tahu memulai darimana. Bagaimanapun dalam konteks terapi solution focused brief ini penting untuk bekerja dengan hanya satu masalah dalam satu waktu. Jika fokus beralih dan menjadi berbeda, maka akan menjadi sulit bagi klien dan terapis untuk membuat sebuah kemajuan. Jika dalam terapi keluarga, penting untuk menanyakan kepada anggota keluarga yang lain apakah mereka setuju dengan gambaran masalah dan apa yang akan dirubah. Hal ini berguna agar anggota keluarga yang lain terdorong untuk memberikan kontribusi solusi untuk penyelesaian masalah.

3) Tahap 3 : Goaling

Untuk menetapkan tujuan, pertanyaan yang biasa digunakan adalah: “Apa yang akan berubah ketika masalah telah selesai?”, apa yang akan anda lakukan?. Penting untuk bertanya tentang apa yang mereka lakukan bukan apa yang akan


(39)

selesai/berhenti. Untuk mempertahankan fokus pada solusi penting untuk terus masuk lebih dalam lagi atau mengusik klien untuk terus lebih “problem talk”. 4) Tahap 4 : Breaking

Pada tahap ini memungkinkan bagi terapis memliki waktu untuk berkonsultasi dengan tim atau supervisor. Minta klien untuk keluar ± 5 menit, kemudian tim melakukan refleksi terhadap sesi, apa yang telah membantu atau apa yang telah terjawab.

5) Tahap 5 : Ending

Pada tahap ini terapis memberikan umpan balik (feedback) terhadap pandangan mereka pada pasangan, dan usaha mereka untuk berubah atau pekerjaan rumah mereka. Diakhir sesi feedback melakukan reframing yang terdiri dari 5 bagian (Campbell dkk, 1999) yaitu normalisasi, restrukturisasi, afirmasi, bridging dan homework.

a. Normalisasi; menormalkan kembali pengalaman selama terapi untuk membantu mereka melihat diri mereka atau pasangan mereka bukan sebagai orang yang mengalami gangguan atau “gila”.

b. Restrukturisasi; menyusun kembali konsep-konsep masalah menjadi masalah jangka pendek. Merubah kata “saya terjebak” menjadi “perubahan-perubahan ini merupakan bagian dari pengalaman hidup” atau pengalaman tersebut merupakan upaya untuk menemukan keseimbangan dalam hidup anda.

c. Afirmasi; memberikan penguatan atas sumber-sumber kekuatan. “saat ini adalah saat yang tepat untuk memeriksa kembali pendapat dan memastikan mereka setuju dengan reframe terapis.


(40)

d. Bridging; berhubungan dengan konsep pekerjaan rumah yang ditawarkan atau memberikan saran yang akan di praktikkan. “pada dasarnya bapak adalah orang yang sudah sangat berusaha untuk ikut terlibat dan memperbaiki kondisi saat ini dan kami menyarankan untuk menggunakan cara…. dan ini sepertinya cukup akan membantu”

e. Homework; adalah saran yang diberikan klien untuk mencoba, bukan tugas yang diperintahkan untuk dilakukan. Saran-saran tersebut seharusnya dari mereka/klien dan apa yang mereka ingin lakukan. Tugas haruslah dipastikan sangat sederhana dan sangat mungkin berhasil. Homework yang baik haruslah yang dapat membuat perubahan dalam tingkatan; 1) behavioral, 2) kognitif, 3) eksperential dan, 4) sistematis.

III. Return Session/Return Visits

Pada sesi kunjungan berikutnya, terapis menanyakan tentang tugas yang diberikan, namun jangan melakukan kritik terhadap usaha yang telah klien lakukan. Penting untuk tetap memberikan kesan positif atas usaha yang telah dilakukan klien. Hal yang perlu dipertanyakan adalah hal-hal baik atau positif apa yang telah terjadi setelah klien melakukan sesi terapi sebelumnya.

Insoo Kim Berg dan Norm Reuss (1995 dalam McDonald, 2007) menyarankan susunan hal yang akan dilakukan pada return session atau Return Visits yaitu EARS ; Elicit, Amplify, Reinforce, Start Again

3. Teknik Yang Digunakan Dalam Solution Focused Family Therapy

Strategi dan teknik yang digunakan dalam solution focused family therapy (Carlson, 2005, Macdonald, 2007 dan Trepper, 2012):


(41)

a. Deconstructing

Ini mengacu pada menciptakan keraguan dalam keluarga itu kerangka acuan mengenai keluhan, yang menciptakan kebutuhan dan harapan untuk perubahan, membuat pertimbangan baru perilaku yang mungkin.

b. Exceptions

Penting untuk mendapatkan gambaran dari apa-apa yang telah mereka lakukan bukan dari apa yang belum atau tidak mereka lakukan berkaitan dengan mengatasi masalah. Memberikan pertanyaan pada exception ini sangat berguna dengan tujuan yang biasanya dipandang sebagai resisten terhadap perubahan. Klien terkadang merasa cukup putus asa tentang kemampuan mereka untuk mengubah atau mengendalikan situasi mereka. Mereka terkejut bahwa ada pengecualian kecil dimana mereka mampu untuk mengontrol atau merubah perilaku. Ini meningkatkan rasa percaya diri pada diri klien untuk membuat perencanaan mengenai langkah-langkah kecil selanjutnya untuk mengatasi masalah. Contoh pertanyaan yang digunakan dalam exceptions : Bagaimana dengan saat-saat ketika masalah tidak terjadi? atau saat masalah berkurang?

c. Scalling questions

Pertanyaan yang biasa digunakan dalam scaling questions : silahkan memikirkan skala 0-10 jika angka 10 adalah menggambarkan bahwa masalah telah selesai, dimana anda akan memberikan nilai untuk menggambarkan masalah saat ini? Jika keluarga mengalami perubahan letak skala maka terapis menanyakan mengapa terjadi perubahan? apa yang telah dilakukan keluarga


(42)

hingga terjadi perubahan. Jika tidak terjadi penurunan nilai skala, maka terapis bertanya mengapa hal tersebut bisa terjadi?. Hal ini dilakukan agar terapis mendapatkan gambaran perubahan yang telah dibuat oleh keluarga dalam hal mengatasi masalah, terapis tetap fokus pada kekuatan keluarga, solusi dan harapan keluarga.

d. Miracle questions

Kata-kata yang dijadikan pertanyaan intervensi dapat bervariasi, tetapi kata-kata dasar adalah : saya akan mengajukan pertanyaan yang agak aneh [jeda]. Pertanyaan aneh ini adalah : [jeda] Setelah kita berbicara, Anda akan kembali ke pekerjaan Anda (rumah, sekolah) dan Anda akan melakukan apa pun yang Anda perlu lakukan di sisa hari ini, seperti mengurus anak, memasak makan malam, menonton TV, memandikan anak-anak, dan sebagainya. Ini akan menjadi waktu yang melelahkan sebelum pergi ke tempat tidur . Semua orang dalam rumah tangga Anda begitu tenang, dan Anda tidur dalam damai. Di tengah malam, sebuah keajaiban terjadi dan masalah yang mendorong Anda untuk berbicara dengan saya hari ini terpecahkan! Tetapi karena hal ini terjadi ketika Anda sedang tidur, Anda tidak memiliki cara untuk mengetahui bahwa ada keajaiban semalam yang dapat memecahkan masalah saat ini. [jeda] Jadi, ketika Anda bangun besok pagi, apa yang mungkin menjadi perubahan kecil yang akan membuat Anda berkata kepada diri sendiri, 'Wow, sesuatu telah terjadi - masalahnya telah selesai!' ( Berg & Dolan, 2001).

Dalam terapi keluarga, pertanyaan bisa ditanyakan kepada mereka sekaligus, atau secara individu. Jika diminta untuk semua orang, terapis


(43)

mencoba untuk memperoleh kolaborasi dengan penekanan tujuan bersama. Jika ditanya kepada individu, maka anggota keluarga yang lain atau mitra diminta untuk memberikan reaksi untuk itu, dan didorong untuk mendukung. e. Feedback

Untuk mengurangi kecemasan dan menjaga hubungan maka terapis dapat menggunakan beberapa pertanyaan berikut: Anda telah mencoba banyak ide dan sudah berhasil walau masih terbatas. Sekarang saatnya untuk mencoba sesuatu yang sama sekali baru. Anda akan tahu sendiri apa yang terbaik untuk mencoba setelah Anda memikirkannya?

f. Compliment and suggestions homework

Berbeda dari tugas yang dibuat dalam terapi perilaku kognitif (CBTs) atau model berbasis perilaku lain dalam bahwa dalam pendekatan lainnya tugas berasal dari terapis. Dalam SFBT, tugas biasanya berasal dari keluarga, mereka menetapkan sendiri hal-hal yang telah bekerja atau bahwa mereka memiliki investasi yang kuat dalam melakukan, dan ini mengurangi kecenderungan alami keluarga untuk 'melawan' di luar intervensi, tidak peduli seberapa baik mereka memahami maksud dari terapis. Dan karena, tidak seperti CBTs, menyelesaikan pekerjaan rumah tidak diperlukan untuk perubahan, jadi tidak menyelesaikan tugas sama sekali tidak masalah. Ada banyak kali ketika sebuah keluarga telah pindah skala mereka, tetapi tidak menyelesaikan tugas pekerjaan rumah yang telah dibuat untuk diri mereka sendiri. Salah satunya tanggapan terapis untuk ini adalah 'Wow! Bagaimana


(44)

anda pergi dari 4 ke 5 padahal anda tidak melakukan tugas yang kemarin anda ingin lakukan.

g. Skeleton Keys

Tugas-tugas yang dapat diberikan kepada partisipan untuk dilakukan untuk mengatasi masalah keluarga :

1) Pensil dan Penghapus : misalkan pada hari-hari ganjil pada tiap bulan, klien diminta untuk menghabiskan 1 jam menulis tentang semua buruk dan baik yang dia alami bersama mantan pasangannya, beberapa hari atau bulan kemudian, klien menghabiskan 1 jam untuk membaca apa yang telah ditulis dan kemudian membakarnya.

2) Lempar Bola : Untuk menentukan urutan menyerang dengan cara melempar koin. Pemenang memberikan keluhan selama 10 menit. Kemudian orang lain mendapat giliran selama 10 menit. Sepuluh menit dibiarkan hening sebelum koin dilempar untuk putaran kedua.

3) Opera sabun : Terapis mengarahkan klien untuk melakukan sesuatu yang berbeda berkaitan dengan masalah antara sesi saat ini dan sesi berikutnya. 4) Pengamat : Klien yang tergoda untuk makan terlalu banyak atau untuk

kembali meminum alkohol atau memakai obat diarahkan oleh terapis untuk mengamati apa yang mereka lakukan ketika mereka mengatasi keinginan tersebut. (deShazer, 1985).


(45)

2.4. Meningkatkan Dukungan Keluarga Terhadap Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome Dengan Menggunakan Pendekatan Solution Focused Family Therapi.

Perkembangan yang lambat merupakan ciri utama pada anak down syndrome. Baik perkembangan fisik maupun mental, hal ini yang menyebabkan keluarga sulit untuk menerima keadaan anak dengan down syndrome. Setiap keluarga menunjukkan reaksi yang berbeda-beda terhadap berita bahwa anggota keluarga mereka menderita down syndrome, sebagian besar memiliki perasaan yang hampir sama yaitu: sedih, rasa tak percaya, menolak, marah, perasaan tidak mampu dan juga perasaan bersalah (Selikowitz, 2001).

Diantara orangtua, penelitian telah menunjukkan bahwa ibu umumnya lebih stres dari pada ayah walaupun sebenarnya ayah pada umumnya juga tertekan dengan kondisi anak mereka namun cenderung tidak mampu mengatakan sedangkan ibu kondisi tertekan mereka lebih terlihat (Konstantareas & Homatidis, 1989, Ricci & Hodopp, 2003, Frey K, Greenberg, MT, & Fewell, RR, 1989 dalam Gousmett, 2006).

Sering terjadi dimana ibu memandang bahwa hanya dirinya yang mengalami stres dan hanya dirinya yang lebih perhatian dan merawat anak down syndrome. Hal ini akan mempengaruhi perilaku ibu terhadap pasangan (ayah), terhadap anak sehingga mempengaruhi interaksi antara pasangan, orangtua dan anak maupun anak dengan anak. Kondisi stres dan depresi yang dimiliki seorang ibu ini sering membuat seorang ibu dari anak down syndrome cenderung untuk


(46)

mencari dukungan sosial terutama dari orang-orang yang berada didekat dirinya (Boyd, 2002 dalam Gousmett, 2006).

Sehingga untuk membantu ibu yang memiliki anak down syndrome dalam mengatasi masalah dukungan yang dinilai ibu kurang diberikan kepadanya lebih sesuai jika menggunakan family therapy berdasar pada pendekatan solution focused family therapy. Ini dipilih karena pendekatan solution focused family therapy mencoba untuk mengajak klien fokus kepada hal-hal yang positif yang sebenarnya sudah dimiliki dan dimanfaatkannya untuk mengarah kepada perbaikan (Carlson, 2005). Hal ini karena keluarga yang mengalami permasalahan jangka panjang seperti yang dialami oleh orangtua anak down syndrome dapat merasakan manfaat dari terapi solution focused ini (Macdonald, 2007) sebab terapi ini bertujuan untuk mengambil langkah-langkah kecil, berfokus pada keterampilan kehidupan sehari-hari. Para pengasuh dapat terbantu dengan pendekatan solution focused dalam mengatur atau mengatasi situasi yang mereka hadapi terkait dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan. Seringkali terjadi kemajuan signifikan dalam fungsi mental ketika permasalahan tertentu dapat terselesaikan (Iveson dalam Macdonald, 2007). Terapis mengajak klien untuk fokus pada pencarian kompetensi, keterampilan coping, pengecualian dan sumber daya yang dimiliki (Edmonds dan Bliss dalam Macdonald, 2007).

Dengan demikian jika keluarga sudah mendapatkan terapi solution focused family therapy maka akan mengubah pola interaksi dan hubungan antara ibu dengan anak down syndrome, ayah dengan anak down syndrome, anak (saudara/i) dengan anak down syndrome. Jika perubahan ini telah terjadi maka juga akan


(47)

terjadi pola pengasuhan pada anak down syndrome itu sendiri, yang semula overprotektif, ibu dan anggota keluarga lain menjadi lebih percaya diri untuk membantu anak down syndrome melatih keterampilan dan perilaku adaptifnya.

Adapun skema masalah dalam penelitian ini:

2.5. Hipotesa Penelitian

Hipotesa adalah jawaban sementara dari rumusan dan pernyataan penelitian yang harus diuji validitasnya secara empiris. Berdasarkan pada kerangka konsep penelitian, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: “Terapi solution focused family therapy efektif dalam meningkatkan dukungan sosial keluarga pada ibu yang memiliki anak down syndrome”.

Anak down syndrome

Deficit Keterampilan

Adaptif

1. keluarga memiliki keraguan dan ketakutan dengan kemampuan mengasuh dan membesarkan dan masa depan anak down syndrome 2. hubungan antar anggota

keluarga

3. harapan parenting

4. dukungan sosial yang kurang dirasakan ibu dari keluarga 5. layanan formal

6. penerimaan masyarakat

Pemberian Solution Focused Family Therapi 1. Pre session

2. Session

a. sosializing and joining b. describing the proble c. goaling

d. breaking e. ending

3. Return session (EARS)

Ibu merasa sendiri dalam mengasuh anak DS dan tidak mendapatkan

dukungan dari keluarga

Ibu mendapatkan dukungan dari keluarga dalam merawat dan


(48)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian single subject research yang merupakan penelitian eksperimen dimana data dikoleksi dan dianalisis pada satu subjek pada satu waktu. Penelitian ini digunakan untuk meneliti perubahan tingkah laku individu setelah beberapa intervensi atau perlakuan. Desain penelitian seperti ini banyak digunakan pada anak-anak yang berkebutuhan dan pendidikan luar biasa (Fraenkel, 1993).

Single subject research menggunakan grafik garis untuk menampilkan data dan mengilustrasikan pengaruh dari intervensi atau perlakuan. Variabel tergantung (hasil) diletakkan pada sumbu vertikal (sumbu Y) dan sumbu (X) mengindikasikan waktu seperti sesi, hari, minggu, bulan. Penjelasan mengenai kondisi yang terlibat dalam penelitian ini adalah yang tercantum tepat diatas grafik. Kondisi pertama biasanya disebut baseline, diikuti oleh intervensi (variabel bebas). Garis kondisi mengindikasikan ketika kondisi telah berubah, titik-titik bulat adalah titik data. Data tersebut mewakili berbagai data yang dikumpulkan selama penelitian. Titik-titik data dihubungkan untuk mengilustrasikan tren data.

Desain yang digunakan adalah desain A-B-A (kadang-kadang disebut reversal design/desain pembalikan). Peneliti hanya menambahkan baseline. Jika


(49)

perilaku berbeda selama waktu perlakuan daripada waktu baseline, ini merupakan bukti yang kuat bahwa intervensi efektif.

3.2. Variabel Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab timbul dan berubahnya variabel terikat, sedangkan variabel terikat adalah variabel yang mengalami perubahan akibat adanya variabel bebas. Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Adapun variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel terikat : Dukungan sosial keluarga

2. Variabel bebas : Solution focused family therapy

3.3. Defenisi Operasional

Defenisi operasional adalah defenisi berdasarkan karakteristik yang diamati dari sesuatu yang didefenisikan tersebut, karakteristik yang dapat diukur dan diamati. Variabel-variabel dalam penelitian ini memiliki defenisi operasional sebagai berikut:

1. Dukungan Sosial keluarga

Dukungan sosial keluarga didefenisikan sebagai perilaku yang dilakukan anggota keluarga untuk membantu orang yang sedang menjalani situasi kehidupan yang penuh stress agar ia dapat mengatasi masalah yang dihadapi secara efektif yang diukur dengan ISEL (Interpersonal Support Evaluation List)


(50)

yang mengukur tentang tangible support, belonging support, self-esteem support, appraisal support.

2. Solution Focused Family therapy

Terapi keluarga dengan model brief yang berfokus pada pencarian solusi dan kompetensi keluarga untuk mengatasi masalah dengan menggunakan 3 tahap yaitu 1) pre session yang terdiri dari penjelasan tentang program intervensi, eksplorasi masalah dan closing, 2) Tahap session yang terdiri dari session sosializing dan joining, describing the problem,goaling, breaking, ending, dan 3) Tahap Return Session yang terdiri dari Feedback Homework dan EARS.

3.4. Subjek Penelitian dan Lokasi Penelitian 3.4.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Ibu dengan anak down syndrome yang bersekolah di SDLB Negeri Rantauprapat.

2. Memiliki nilai yang tergolong rendah pada skala ISEL

3. Status pernikahan baik suami/isteri merupakan pernikahan I dan hidup bersama dengan anak kandung

3.4.2. Lokasi Penelitian

Lokasi pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan pada populasi anak down syndrome yang ada di daerah Rantauprapat Labuhanbatu. Sedangkan untuk pengambilan sampel dilakukan dengan menyebarkan skala ISEL adaptation pada ibu yang anak down syndrome nya bersekolah di SDLB Negeri Rantauprapat. Untuk pelaksanaan penelitian dilakukan di rumah subjek.


(51)

3.5. Alat Ukur Penelitian

3.5.1. ISEL (Interpersonal Support Evaluation List) Adaptation

ISEL ini dikembangkan oleh Cohen, Mermelstein, Kmack dan Hoberman (1985) sebagai alat ukur dukungan sosial yang dibagi ke dalam empat domain (belonging, self esteem, appraisal, dan tangible). ISEL memiliki reliabilitas tes retest diperoleh 0.87, dan validitas tes retest untuk sub-skala berkisar antara 0,71-0,87 (Cohen & Hoberman, 1983 ).

Dalam penelitian ini dilakukan adaptasi untuk mengukur dukungan sosial yang dinilai ibu dalam merawat anak down syndrome. Skala ini tetap menggunakan jumlah aitem dan pembagian aitem yang sama dengan skala ISEL hanya saja ada perubahan kondisi yang disesuaikan dengan kondisi ibu ketika merawat anak down syndrome. Dikarenakan ada perubahan maka dilakukan pengukuran validitas dan reliabilitas skala ISEL adaptasi ini. Skala ini terdiri dari 40 aitem; 10 aitem berkaitan dengan dukungan apraisal, 10 aitem berkaitan dengan dukungan tangible, 10 aitem berkaitan dengan dukungan self esteem, 10 aitem dengan dukungan belonging.

Tabel 3.1. : Sebaran aitem

No Sub system Aitem favorable Aitem unfavorable 1 Tangible support 1, 19, 22, 26, 38 6, 11, 17, 30, 36 2 Appraisal support 2, 16, 18, 23, 33 9, 14, 29, 35, 39 3 self esteem support 4, 8, 20, 32, 37 3, 13, 24, 28, 40 4 Belonging support 5, 7, 12, 21, 31 10, 15, 25, 27, 34


(52)

Tabel 3.2. : Skoring

No Pilihan Jawaban Skoring

Aitem Favorable Aitem Unfavorable

01 Ya 3 1

02 Kadang-Kadang 2 2

03 Salah 1 3

3.5.2. Validitas ISEL (Interpersonal Support Evaluation List) Adaptation

Setelah skala di susun maka dilakukan uji validitas. Validitas adalah sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya dan memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2003). Untuk koefesien validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah > 0.30, ini berdasarkan pada pernyataan Cronbach (1970 dalam Azwar, 2003) bahwa koefesien yang berkisar antara 0.30 sampai dengan 0.50. Pengukuran validitas dilakukan dengan menggunakan SPSS 19. Dari hasil uji pengukuran diperoleh hasil bahwa aitem yang valid adalah 34 aitem dan yang tidak valid adalah sebanyak 6 aitem. Sehingga sebaran aitem terlihat seperti di bawah ini:

Tabel 3.3. : Sebaran aitem setelah uji validitas

No Sub system Aitem favorable Aitem unfavorable 1 Tangible support 1, 19, 22, 26, 38 6, 11, 17, 30 36 2 Appraisal support 2, 16, 18, 23, 33 9, 14, 29, 35, 39 3 self esteem support 4, 8, 37 13, 24, 40 4 Belonging support 7, 12, 21, 31 10, 15, 25, 27

3.5.3. Reliabilitas ISEL (Interpersonal Support Evaluation List) Adaptation Setelah di peroleh aitem-aitem yang valid maka dilakukan uji reliabilitas skala. Dimana reliabilitas skala adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2003). Adapun penghitungan reliabilitas skala ini dilakukan


(53)

dengan pendekatan konsistensi internal. Dalam pendekatan konsistensi internal prosedurnya hanya memerlukan satu kali pengenaan sebuah tes kepada sekelompok individu sebagai subjek (Single trial administration) (Azwar, 2003). Penghitungan reliabilitas skala ini dilakukan dengan menggunakan koefesien alpha : formula umum, dimana cara yang dilakukan adalah melakukan pembelahan aitem menjadi bagian-bagian sebanyak jumlah aitemnya sehingga setiap bagian hanya berisi satu aitem saja (Azwar, 2003). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan SPSS 19. Dari hasil pengukuran diperoleh nilai reliabilitas skala ISEL adaptation sebesar 0.903, dan nilai koefesien reliabilitas ini dapat dikatakan tinggi, sehingga skala ISEL Adaptation ini dapat dipercaya untuk mengukur sesuai dengan apa yang hendak di ukur.

3.5.4. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data skala ISEL Adaptation terdistribusi secara normal. Uji normalitas ini dilakukan dengan menggunakan uji one sample kolmogorov –smirnov dengan menggunakan SPSS 19. Dari perhitungan diperoleh hasil sebagai berikut: Asymp.Sig. (2-tailed) adalah 0.897 atau probabilitas lebih dari 0.05 (0.897 > 0.05) berarti populasi berdistribusi normal.

3.5.5. Kategori Tingkat Dukungan Sosial

Dalam skala ini aitem yang valid terdiri dari 34 aitem, dengan jumlah subjek penelitian adalah 30. Untuk mengetahui kategorisasi nilai dukungan sosial dilakukan dengan menghitung nilai R yaitu nilai tertinggi - nilai terendah. Maka


(54)

R= 100 – 47 = 53. Kemudian untuk memperoleh nilai interval (i) adalah jarak pengukuran (R)/jumlah interval (5). Maka (i) = 53/5 = 10,6 Dari hasil perhitungan diperoleh table sebagai berikut:

Tabel 3.4. : Interval data subjek

No Interval Kategori Jumlah Subjek Persentase

01 90 – 100 Sangat Tinggi 6 20%

02 79 – 89 Tinggi 11 36.67%

03 68 – 78 Sedang 8 26.67%

04 57 – 67 Rendah 3 10%

05 47 – 56 Rendah Sekali 2 6%

Jumlah 30 100%

Dari tabel diatas diketahui bahwa dukungan sosial pada ibu yang memiliki anak down syndrome tergolong tinggi dan hanya sedikit yang tergolong rendah.

3.6. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini selain menggunakan alat ukur diatas, peneliti juga menggunakan metode pengumpulan data yang lain yaitu wawancara dan observasi.

3.6.1. Wawancara

Banister (dalam Poerwandari, 2001) mendefinisikan wawancara sebagai percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Pada penelitian ini wawancara yang dilakukan adalah wawancara semi struktur, merupakan metode tambahan yang digunakan untuk menunjang dan memperkaya data penelitian. Wawancara dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai kondisi dukungan yang diberikan anggota keluarga kepada ibu berupa 1) tangible support, 2) appraisal support, 3) self esteem


(1)

Panduan Wawancara

1. Coba ibu jelaskan mengenai pandangan dan perasaan ibu sebagai ibu yang memiliki (anak DS)?

2. Apa saja upaya yang telah ibu lakukan berkaitan dalam merawat dan melatih keterampilan/kemampuan (anak DS)?

3. Dari setiap anggota keluarga anda, adakah yang bersedia membantu atau menggantikan anda untuk menjaga (anak DS) ketika anda sedang butuh istirahat atau anda sedang ada kepentingan pergi ke suatu tempat yang tidak memungkinkan anda untuk membawa (anak DS)?

4. Dalam usaha untuk berobat/terapi atau untuk kebutuhan-kebutuhan (anak DS) apakah ibu pernah mengalami kesulitan keuangan karenanya?adakah orang dari anggota keluarga anda yang bersedia untuk membantu masalah keuangan anda tersebut?

5. Apakah ibu pernah merasa kurang percaya diri atau menyalahkan diri karena memiliki (anak DS)? Jika ibu kurang percaya diri, adakah orang lain yang menyebabkan ibu kurang percaya diri? Jika ibu cukup yakin dan percaya diri sebagai ibu yang memiliki anak DS, adakah oranglain yang membuat ibu tetap optimis dengan kondisi ibu saat ini?

6. Coba jelaskan mengenai perilaku masing-masing dari anggota keluarga anda ketika diminta untuk bermain atau menjaga (anak DS)? Coba jelaskan mengenai perasaan ibu berkaitan dengan perilaku anggota keluarga ibu terhadap (anak DS)? adakah harapan ibu berkaitan dengan hal itu?

7. Dari mana saja ibu biasanya mendapatkan informasi, saran atau nasihat berkaitan dengan merawat dan membesarkan (anak DS)? Apakah ibu sudah merasa cukup puas dengan informasi, saran, nasihat yang ibu peroleh saat ini? Adakah harapan ibu berkaitan dengan informasi, saran dan nasihat dalam menjaga dan membesarkan (anak DS)?


(2)

Lembar Evaluasi Uji Coba Modul

1. Bagaimanakah ketepatan penggunaan waktu yang digunakan peneliti dalam pelaksanaan terapi?

a. Tepat, alasan _____________________________________________ ____________________________________________________________ ____________________________________________________________ b. Kurang tepat, alasan ___________________________________________ ____________________________________________________________ ____________________________________________________________ 2. Bagaimanakah pemahaman anda dengan penggunaan kata atau pemilihan

kalimat yang digunakan peneliti?

a. Paham, alasan _____________________________________________ ____________________________________________________________ ____________________________________________________________ b. Kurang paham, alasan _________________________________________

____________________________________________________________ ____________________________________________________________ 3. Apakah dari keseluruhan proses terlihat ada keteraturan urutan pertanyaan

dan pelaksanaan atau terjadi tumpang tindih?

a. Teratur , alasan _____________________________________________ ____________________________________________________________ ____________________________________________________________ b. Kurang teratur, alasan _________________________________________

____________________________________________________________ ____________________________________________________________ 4. Apakah menurut anda pelaksanaan program seperti ini bermanfaat bagi anda

sebagai keluarga yang memiliki anak down syndrome?

a. Ya, alasan ________________________________________________ ____________________________________________________________ ____________________________________________________________


(3)

b. Tidak, alasan _____________________________________________ ____________________________________________________________ ____________________________________________________________ 5. Menurut anda apakah benda atau bahan yang digunakan peneliti benar-benar

diperlukan oleh peneliti?

a. Ya, alasan _______________________________________________ ____________________________________________________________ ____________________________________________________________ b. Tidak, alasan _____________________________________________

____________________________________________________________ ____________________________________________________________ 6. Bagaimanakah penilaian anda tentang peneliti, apakah terlihat menguasai

materi yang disampaikannya?

a. Menguasai, alasan ____________________________________________ ____________________________________________________________ ____________________________________________________________ b. Kurang menguasai, alasan ______________________________________ ____________________________________________________________ ____________________________________________________________ 7. Adakah hal-hal lain yang ingin anda sampaikan sebagai saran atau kritik

terhadap pelaksanaan program ini?

a. Ya, alasan _______________________________________________ ____________________________________________________________ ____________________________________________________________ b. Tidak, alasan _____________________________________________

____________________________________________________________

Rantauprapat, ___________________ Hormat Saya

Observer


(4)

LEMBAR OBSERVASI SOCIAL SUPPORT FAMILY

Nama Observer :_______________________

Tanggal : _____________________

Nama

Family

: ______________________

Hari/Jam : _____________________

No Jenis

Dukungan Perilaku Ayah

Anak I

Anak

II Ket

01 Tangible Support

Mengerjakan pekerjaan rumah tangga

Membantu anak DS untuk kebutuhan bantu diri Mengantar/menjemput anak DS ke sekolah Mengajari anak DS keterampilan atau akademik Mengajak anak DS dan ibu jalan-jalan

02 Apraisal Support

Memberi petunjuk cara melatih perilaku anak DS Memberi saran mengatasi perilaku anak DS Bertanya tentang perkembangan anak DS Mengajak ibu diskusi tentang anak DS Memberi informasi terbaru mengenai anak DS

03 Self Esteem Support

Mendengarkan ucapan ibu

Memberikan pujian pada ibu

Menawarkan diri untuk membantu ibu Tidak malu berjalan dengan ibu dan anak DS Menunjukkan rasa bangga dan sayang pada ibu

04 Belonging Support

Menjaga anak DS ketika ibu pergi

Mengajak anak DS bermain ketika ibu sibuk Mengajak ibu dan anak DS berjalan-jalan Menggantikan tugas ibu ketika ibu sibuk

Meyakinkan ibu meninggalkan anak DS ketika keluar rumah

Mengetahui:


(5)

LEMBAR OBSERVASI PELAKSANAAN TERAPI

Nama Observer :_______________________

Tanggal : _____________________

Nama

Family

: ______________________

Hari/Jam : _____________________

No Sesi Terapi Kesesuaian dengan modul Keterangan

Ya Tidak

01 Penjelasan tentang program intervensi 02 Eksplorasi masalah

03 Terminasi

04 Socializing and joining 05 Describing the problem 06 Goaling

07 Breaking 08 Ending

09 Feedback homework 10 EARS

Elicit Amplfy Reinforce Start Again Mengetahui:


(6)

INFORMED CONSENT

---

Pernyataan Pemberian Izin oleh Orang Tua

1. Saya benar-benar memahami bahwa ini hanya untuk proses pembelajaran 2. Saya bersedia ikut berpartisipasi dalam penelitian Tesis yang dilakukan

oleh Rahma Mutiah, S.Psi, yang di bimbing oleh Dosen Eka Ervika, M.Si, Psikolog dari Universitas Sumatera Utara, Magister Profesi Psikologi Kekhususan Klinis Anak

3. Saya memberikan persetujuan anak saya _______________________ untuk ikut terlibat dalam penelitian ini

4. Saya memahami bahwa saya akan bersedia meluangkan waktu saya untuk memberikan informasi mengenai diri saya, anak saya, keluarga saya dan semua informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini

5. Saya yakin dan percaya bahwa semua informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian

______________________________ Hubungan dengan Anak

(lingkari salah satu)

Nama Ayah

Ibu

Alamat : ____________________________ ____________________________ ____________________________ ____________________________

_____________________________

Tanda Tangan Tanggal


Dokumen yang terkait

Dinamika Sikap Penerimaan Orang Tua Yang Memiliki Anak Down Syndrome

0 4 113

PENINGKATAN DUKUNGAN SOSIAL ORANGTUA MELALUI SOLUTION FOCUSED THERAPY DALAM Peningkatan Dukungan Sosial Orangtua Melalui Solution Focused Therapy dalam Memulihkan Kualitas Hidup Anak Skizofrenia.

0 2 18

PENINGKATAN DUKUNGAN SOSIAL ORANGTUA MELALUI SOLUTION FOCUSED THERAPY DALAM Peningkatan Dukungan Sosial Orangtua Melalui Solution Focused Therapy dalam Memulihkan Kualitas Hidup Anak Skizofrenia.

1 7 20

PENDAHULUAN Perilaku Coping Pada Ibu Yang Memiliki Anak Down Syndrome.

0 2 8

PERILAKU COPING PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK DOWN Perilaku Coping Pada Ibu Yang Memiliki Anak Down Syndrome.

0 1 18

KEMATANGAN SOSIAL PADA ANAK DOWN SYNDROME KEMATANGAN SOSIAL PADA ANAK DOWN SYNDROME.

0 0 17

STUDI KASUS TENTANG FAMILY QUALITY OF LIFE (FQOL) PADA KELUARGA-KELUARGA YANG MEMILIKI ANAK DOWN SYNDROME DI LEMBAGA PENDIDIKAN X BANDUNG.

21 62 73

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Dukungan Sosial Keluarga 2.1.1. Pengertian Dukungan Sosial - Efektivitas Solution Focused Family Therapi Untuk Meningkatkan Dukungan Sosial Keluarga Pada Ibu Yang Memiliki Anak Down Syndrome (Application of Solution Focused Fami

1 2 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Efektivitas Solution Focused Family Therapi Untuk Meningkatkan Dukungan Sosial Keluarga Pada Ibu Yang Memiliki Anak Down Syndrome (Application of Solution Focused Family Therapy To Improve Social Support On

0 0 12

Efektivitas Solution Focused Family Therapi Untuk Meningkatkan Dukungan Sosial Keluarga Pada Ibu Yang Memiliki Anak Down Syndrome (Application of Solution Focused Family Therapy To Improve Social Support On Mother In Child Minding Down Syndrome )

0 0 11