Analisis Kasus Build Operate Transfer BO
Analisis Kasus Build, Operate, Transfer (BOT) Grand Indonesia
Bayu Atetiko Yanida Putera
ŝƉƵďůŝŬĂƐŝŬĂŶƉĂĚĂϭϴƉƌŝůϮϬϭϲ
1. Pendahuluan
Isu keberadaan dua gedung tinggi di proyek BOT Hotel Indonesia akhir - akhir ini memang tengah
mencuat. Parahnya lagi, kedua bangunan tersebut disinyalir tidak terdapat dalam perjanjian yang
ditandatangani pada 11 Mei 2004 oleh PT Hotel Indonesia Natour (HIN) selaku wakil pemerintah
cq. Kementerian BUMN dengan PT Cipta Karya Bersama Indonesia (CKBI) yang kemudian
mendelegasikan hak BOT miliknya kepada PT Grand Indonesia (GI).
Latar belakang diadakannya perjanjian ini adalah kondisi Hotel Indonesia yang meskipun berada
di tempat strategis, yakni di jalan M.H. Thamrin, namun pengelolanya tidak dapat dapat dengan
mudah meraih keuntungan. Usia bangunan yang lebih dari lima dekade, serta minimnya
perbaikan bangunan, membuat HI kesulitan menghadapi persaingan bisnis hotel di Jakarta.
Peremajaan gedung tersebut bukan hal mudah. Dibutuhkan dana besar dan mitra yang dapat
diandalkan untuk merevitalisasi aset nasional tersebut.
Pada Bulan Februari 2003, pemerintah mengumumkan rencana pengembangan HIN melalui
Harian Bisnis Indonesia, Jakarta Post, dan Sinar Harapan. Pada waktu itu ada sekitar 52 calon
mitra strategis yang diundang, tapi hanya 8 yang berminat dan hanya 4 yang mengajukan
penawaran. Dari 4 calon investor, PT CKBI/PT GI menjadi penawar tertinggi dengan nilai Rp 1,26
Triliun.
Akhirnya, dimulailah proses negosiasi kerjasama BOT dari bulan Juni 2003 sampai Februari 2004.
Dalam proses itu, ada beberapa kali revisi proposal. Setelah dicapai kesepakatan BOT, lalu
keluarlah persetujuan dari Meneg BUMN Laksamana Sukardi via surat S-247/MBU/2004 tanggal
11 Mei 2004. Dua hari kemudian ditandatanganilah kontrak kerjasama Build, Operate, Transfer
antara kedua belah pihak tertanggal 13 Mei 2004.
Gambar 1: Kontrak Perjanjian dan Akta Notaris BOT Grand Indonesia
Dalam pasal 1.2 perjanjian tersebut dise utka ahwa, Gedu g da fasilitas pe u ja g ya g
wajib dibangun dan/atau direnovasi penerima hak BOT di atas tanah yaitu antara lain adalah
pusat perbelanjaan, hotel, dan bangunan-bangunan lainnya berikut fasilitas parkir serta fasilitas
penunjang, yang terdiri dari hotel bintang lima (42.815 meter persegi, pusat perbelanjaan I seluas
80.000 meter persegi, pusat perbelanjaan II seluas 90.000 meter persegi, dan fasilitas parkir
seluas 175.000 meter persegi dengan kapasitas sekitar 4.000 kendaraan, yang merupakan
ko i asi a tara ase e t da gedu g parkir.
BPK dalam laporannya yang terbit pada 14 Januari 2016 mencatat ada banyak ketidaksesuaian
antara perjanjian BOT dan Surat Persetujuan Kerja Sama Pengembangan HI dan Inna Wisata dari
Menteri BUMN No. S-136/MBU/ 2004. Ketidaksesuaian tersebut antara lain mengenai pemberian
hak opsi perpanjangan BOT selama 20 tahun, pemberian kompensasi bukan berdasarkan
persentase dan keuntungan minimum, pemberian hak kepada pemegang BOT yang
memungkinkan memanfaatkan sertifikat tanah HI dan Inna Wisata sebagai alat agunan,
pengalihan mitra strategis dari PT CKBI kepada PT GI, dan tidak adanya kewajiban laporan
keuangan tahunan.
Dalam hal keberadaan Menara BCA dan Apartemen Kempinski, BPK juga melihat adanya
keanehan. Sebab, hak menambah gedung perkantoran dan apartemen itu tidak diatur secara
jelas dalam perjanjian BOT. Dalam tulisan ini akan dibahas khusus mengenai kedua bangunan
tersebut dari sudut pandang PT GI dan serta menurut pendapat PT HIN.
Gambar 2: Laporan Hasil Pemeriksaan BPK
2. Pembahasan
2.1. Pendapat PT Grand Indonesia
PT GI melalui kuasa hukumnya Juniver Girsang menyatakan bahwa anggapan terkait
pembangunan gedung perkantoran Menara BCA dan apartemen Kempinski yang dianggap
melanggar hukum karena tidak tercantum dalam perjanjian dan berpotensi merugikan keuangan
negara adalah keliru. Sebab, menurutnya, gedung perkantoran dan apartemen itu termasuk
dalam kategori bangunan-bangunan lainnya seperti tercantum dalam perjanjian BOT itu sendiri.
Meski demikian, tentu tidak wajar bahwa dua bangunan sebesar itu dengan nilai investasi
triliunan tidak diperjanjikan sebelumnya dan ha ya di uat erdasarka frasa a gu a lai ya .
Penulisan frasa tersebut dalam perjanjian memang mengundang ambiguitas. Hal ini diperparah
de ga frasa a tara lai ya g e a g se ara harfiah memungkinkan adanya penafsiran
terbuka mengenai hal – hal yang tidak / belum disebutkan dalam perjanjian.
Gambar 3: Kutipan Perjanjian BOT
Gambar 4: Kutipan Definisi dalam Perjanjian BOT
Berdasarkan argumentasi yang telah dikeluarkan PT GI, maka kita tidak dapat secara langsung
menyalahkan tindakan yang telah dilakukannya karena telah merujuk pada perjanjian yang telah
disepakati. Namun, apabila meninjau aturan PMK 78/PMK.06/2014 tentang Tata Cara
Pemanfaatan BMN, setidaknya ada dua pasal yang dapat dijadikan dasar pertimbangan.
Pasal 124 (1)
Mitra BGS/BSG harus melaksanakan pembangunan gedung dan fasilitasnya sebagaimana
ditentukan dalam perjanjian BGS/BSG.
Pasal 106
Dalam pelaksanaaan BGS/BSG, mitra BGS/BSG dapat melakukan perubahan dan/atau
penambahan hasil BGS/BSG setelah memperoleh persetujuan Pengelola Barang dan dilakukan
addendum perjanjian BGS/BSG.
Terkait apakah PT GI melanggar ketentuan dalam PMK tersebut juga masih sangat debatable
karena frasa dalam perjanjian BOT memiliki ambiguitas dan penafsiran terbuka sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya. Selain itu, perjanjian yang diteken pada tahun 2004 tersebut juga
tidak dapat serta – merta dikupas dengan PMK 78 karena dalam ketentuan pemberlakuannya
tidak berlaku surut sehingga tidak mengikat secara hukum perjanjian – perjanjian yang terjadi
sebelum tahun 2014 saat PMK tersebut disahkan.
Dengan demikian, satu – satunya argumentasi yang dapat diajukan terkait keberadaan dua
gedung bermasalah di komplek Hotel Indonesia adalah potensi kerugian negara dari kontribusi
tahunan yang terlalu rendah dengan keberadaan dua gedung tersebut.
Besaran kontribusi tahunan merupakan hasil perkalian dari besaran persentase kontribusi
tahunan dengan nilai wajar BMN yang akan dilakukan BGS/BSG. Apabila terdapat lebih banyak
bangunan (apalagi bangunan mewah) daripada yang semula direncanakan, maka nilai wajar yang
didapat pastilah lebih tinggi dan karenanya negara seharusnya mendapatkan kontribusi tahunan
yang lebih tinggi pula, namun potensi peningkatan ini tidak diakomodir secara jelas dalam
perjanjian sehingga menimbulkan pertentangan dari masing – masing pihak.
2.2.
Pendapat PT Hotel Indonesia Natour (HIN)
Komisaris PT Hotel Indonesia Natour (HIN), Michael Umbas menemukan sejumlah kejanggalan
terkait kontrak Build, Operate, Transfer (BOT) antara HIN dengan PT Cipta Karya Bersama
Indonesia (CKBI)/PT Grand Indonesia (GI). Karena itulah, kejanggalan itu patut dikritisi.
Dia mengemukakan, dalam kontrak BOT yang ditandatangani 13 Mei 2004, disepakati empat
objek fisik bangunan di atas tanah negara HGB yang diterbitkan atas nama PT GI yakni Hotel
Bintang 5 (42.815 m2), pusat perbelanjaan I (80.000 m2), pusat perbelanjaan II (90.000 m2),
fasilitas parkir (175.000m2).
Na u dala
erita a ara pe yelesaia pekerjaa terta ggal
Maret
9 ter yata ada
tambahan bangunan yakni gedung perkantoran (Menara BCA) dan apartemen (Kempinski) di
mana tidak tercantum dalam perjanjian BOT dan belum diperhitungkan besaran kompensasi ke
PT HIN, kata ya dala keterangan persnya, Kamis (4/2).
Kondisi ini, menurutnya, menyebabkan PT HIN kehilangan memperoleh kompensasi dari
penambahan dua bangunan yang dikomersilkan tersebut. Pembangunan dua gedung ini,
lanjutnya, memiliki nilai ekonomis cukup besar sehingga setara dengan rencana objek BOT
lainnya yang disepakati yakni Hotel bintang 5, Pusat Perbelanjaan I dan II, dan fasilitas Parkir.
Pe a aha dua gedu g i i esti ya diajuka sejak awal pere a aa da ter a tu dala
objek BOT. Hal ini jelas tidak sesuai TOR dan perencanaan awal yang disetujui kementerian
BUMN, ujar ya.
Hal yang menarik dari pernyataan komisaris HIN tersebut adalah kondisi HIN yang terkesan tidak
tahu – menahu soal pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski. Komplain terkait dua
bangunan tersebut dalam argumentasinya dikaitkan dengan berita acara penyelesaian pekerjaan
yaitu pada 2009. Padahal, pembangunan dua gedung tersebut tentu tidak berlangsung sebentar.
Apabila terjadi kejanggalan, mestinya HIN telah menyadarinya sejak awal pembangunan kedua
gedung tersebut yakni setidaknya 2 – 3 tahun sebelum tahun 2009 dan dapat mengambil langkah
untuk melaporkan kepada pihak berwenang.
Lebih anehnya lagi, ternyata HIN berkantor di Menara BCA itu sendiri. Baru pada tahun 2016
ketika isu ini mencuat HIN menyatakan seharusnya mendapat kontribusi tahunan yang lebih
besar dengan adanya kedua bangunan tambahan di komplek Hotel Indonesia. Padahal, HIN
adalah pemilik tanah yang dilakukan BOT dan memiliki wewenang pengawasan penuh terhadap
asetnya yang dilakukan BOT. Seharusnya, apabila HIN merasa ada kejanggalan pada
pembangunan dua gedung tersebut, pihaknya pasti sudah dapat mengetahuinya sejak fase
konstruksi. Berikut adalah alamat dan foto kantor PT HIN:
Gambar 5: Alamat PT Hotel Indonesia Natour
Gambar 6: PT HIN Berkantor di Menara BCA Lantai 39
3. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa secara kasat
mata tidak dapat dinyatakan secara mutlak pihak yang melakukan kesalahan dalam perjanjian
BOT Grand Indonesia. Hal ini dikarenakan masing – masing pihak memiliki argumentasi beserta
dasarnya sehingga sulit untuk menimbang apakah PT HIN ataukah PT GI yang telah melanggar
ketentuan BOT. Mengingat perkara ini mulai diusut oleh kejaksaan, penulis menyarankan untuk
menunggu proses penyidikan selesai dan menghormati apapun keputusan akhir yang nantinya
diambil oleh majelis hakim.
Agar kejadian semacam ini tidak kembali terulang di masa datang, setidaknya ada tiga hal yang
dapat dilakukan:
-
Mempertegas klausul perjanjian dan melibatkan lebih banyak pihak dalam penyusunannya;
Lebih memperketat proses pelaksanaan proyek; dan
Melaporkan sejak dini apabila ditemukan potensi pelanggaran perjanjian BOT.
Dengan ketiga saran tersebut diharapkan pengelolaan aset negara melalui metode Build,
Operate, Transfer (BOT) – disebut juga Bangun Guna Serah (BGS) menjadi lebih optimal lagi dan
tidak timbul permasalahan hukum dalam pelaksanaannya.
Bayu Atetiko Yanida Putera
ŝƉƵďůŝŬĂƐŝŬĂŶƉĂĚĂϭϴƉƌŝůϮϬϭϲ
1. Pendahuluan
Isu keberadaan dua gedung tinggi di proyek BOT Hotel Indonesia akhir - akhir ini memang tengah
mencuat. Parahnya lagi, kedua bangunan tersebut disinyalir tidak terdapat dalam perjanjian yang
ditandatangani pada 11 Mei 2004 oleh PT Hotel Indonesia Natour (HIN) selaku wakil pemerintah
cq. Kementerian BUMN dengan PT Cipta Karya Bersama Indonesia (CKBI) yang kemudian
mendelegasikan hak BOT miliknya kepada PT Grand Indonesia (GI).
Latar belakang diadakannya perjanjian ini adalah kondisi Hotel Indonesia yang meskipun berada
di tempat strategis, yakni di jalan M.H. Thamrin, namun pengelolanya tidak dapat dapat dengan
mudah meraih keuntungan. Usia bangunan yang lebih dari lima dekade, serta minimnya
perbaikan bangunan, membuat HI kesulitan menghadapi persaingan bisnis hotel di Jakarta.
Peremajaan gedung tersebut bukan hal mudah. Dibutuhkan dana besar dan mitra yang dapat
diandalkan untuk merevitalisasi aset nasional tersebut.
Pada Bulan Februari 2003, pemerintah mengumumkan rencana pengembangan HIN melalui
Harian Bisnis Indonesia, Jakarta Post, dan Sinar Harapan. Pada waktu itu ada sekitar 52 calon
mitra strategis yang diundang, tapi hanya 8 yang berminat dan hanya 4 yang mengajukan
penawaran. Dari 4 calon investor, PT CKBI/PT GI menjadi penawar tertinggi dengan nilai Rp 1,26
Triliun.
Akhirnya, dimulailah proses negosiasi kerjasama BOT dari bulan Juni 2003 sampai Februari 2004.
Dalam proses itu, ada beberapa kali revisi proposal. Setelah dicapai kesepakatan BOT, lalu
keluarlah persetujuan dari Meneg BUMN Laksamana Sukardi via surat S-247/MBU/2004 tanggal
11 Mei 2004. Dua hari kemudian ditandatanganilah kontrak kerjasama Build, Operate, Transfer
antara kedua belah pihak tertanggal 13 Mei 2004.
Gambar 1: Kontrak Perjanjian dan Akta Notaris BOT Grand Indonesia
Dalam pasal 1.2 perjanjian tersebut dise utka ahwa, Gedu g da fasilitas pe u ja g ya g
wajib dibangun dan/atau direnovasi penerima hak BOT di atas tanah yaitu antara lain adalah
pusat perbelanjaan, hotel, dan bangunan-bangunan lainnya berikut fasilitas parkir serta fasilitas
penunjang, yang terdiri dari hotel bintang lima (42.815 meter persegi, pusat perbelanjaan I seluas
80.000 meter persegi, pusat perbelanjaan II seluas 90.000 meter persegi, dan fasilitas parkir
seluas 175.000 meter persegi dengan kapasitas sekitar 4.000 kendaraan, yang merupakan
ko i asi a tara ase e t da gedu g parkir.
BPK dalam laporannya yang terbit pada 14 Januari 2016 mencatat ada banyak ketidaksesuaian
antara perjanjian BOT dan Surat Persetujuan Kerja Sama Pengembangan HI dan Inna Wisata dari
Menteri BUMN No. S-136/MBU/ 2004. Ketidaksesuaian tersebut antara lain mengenai pemberian
hak opsi perpanjangan BOT selama 20 tahun, pemberian kompensasi bukan berdasarkan
persentase dan keuntungan minimum, pemberian hak kepada pemegang BOT yang
memungkinkan memanfaatkan sertifikat tanah HI dan Inna Wisata sebagai alat agunan,
pengalihan mitra strategis dari PT CKBI kepada PT GI, dan tidak adanya kewajiban laporan
keuangan tahunan.
Dalam hal keberadaan Menara BCA dan Apartemen Kempinski, BPK juga melihat adanya
keanehan. Sebab, hak menambah gedung perkantoran dan apartemen itu tidak diatur secara
jelas dalam perjanjian BOT. Dalam tulisan ini akan dibahas khusus mengenai kedua bangunan
tersebut dari sudut pandang PT GI dan serta menurut pendapat PT HIN.
Gambar 2: Laporan Hasil Pemeriksaan BPK
2. Pembahasan
2.1. Pendapat PT Grand Indonesia
PT GI melalui kuasa hukumnya Juniver Girsang menyatakan bahwa anggapan terkait
pembangunan gedung perkantoran Menara BCA dan apartemen Kempinski yang dianggap
melanggar hukum karena tidak tercantum dalam perjanjian dan berpotensi merugikan keuangan
negara adalah keliru. Sebab, menurutnya, gedung perkantoran dan apartemen itu termasuk
dalam kategori bangunan-bangunan lainnya seperti tercantum dalam perjanjian BOT itu sendiri.
Meski demikian, tentu tidak wajar bahwa dua bangunan sebesar itu dengan nilai investasi
triliunan tidak diperjanjikan sebelumnya dan ha ya di uat erdasarka frasa a gu a lai ya .
Penulisan frasa tersebut dalam perjanjian memang mengundang ambiguitas. Hal ini diperparah
de ga frasa a tara lai ya g e a g se ara harfiah memungkinkan adanya penafsiran
terbuka mengenai hal – hal yang tidak / belum disebutkan dalam perjanjian.
Gambar 3: Kutipan Perjanjian BOT
Gambar 4: Kutipan Definisi dalam Perjanjian BOT
Berdasarkan argumentasi yang telah dikeluarkan PT GI, maka kita tidak dapat secara langsung
menyalahkan tindakan yang telah dilakukannya karena telah merujuk pada perjanjian yang telah
disepakati. Namun, apabila meninjau aturan PMK 78/PMK.06/2014 tentang Tata Cara
Pemanfaatan BMN, setidaknya ada dua pasal yang dapat dijadikan dasar pertimbangan.
Pasal 124 (1)
Mitra BGS/BSG harus melaksanakan pembangunan gedung dan fasilitasnya sebagaimana
ditentukan dalam perjanjian BGS/BSG.
Pasal 106
Dalam pelaksanaaan BGS/BSG, mitra BGS/BSG dapat melakukan perubahan dan/atau
penambahan hasil BGS/BSG setelah memperoleh persetujuan Pengelola Barang dan dilakukan
addendum perjanjian BGS/BSG.
Terkait apakah PT GI melanggar ketentuan dalam PMK tersebut juga masih sangat debatable
karena frasa dalam perjanjian BOT memiliki ambiguitas dan penafsiran terbuka sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya. Selain itu, perjanjian yang diteken pada tahun 2004 tersebut juga
tidak dapat serta – merta dikupas dengan PMK 78 karena dalam ketentuan pemberlakuannya
tidak berlaku surut sehingga tidak mengikat secara hukum perjanjian – perjanjian yang terjadi
sebelum tahun 2014 saat PMK tersebut disahkan.
Dengan demikian, satu – satunya argumentasi yang dapat diajukan terkait keberadaan dua
gedung bermasalah di komplek Hotel Indonesia adalah potensi kerugian negara dari kontribusi
tahunan yang terlalu rendah dengan keberadaan dua gedung tersebut.
Besaran kontribusi tahunan merupakan hasil perkalian dari besaran persentase kontribusi
tahunan dengan nilai wajar BMN yang akan dilakukan BGS/BSG. Apabila terdapat lebih banyak
bangunan (apalagi bangunan mewah) daripada yang semula direncanakan, maka nilai wajar yang
didapat pastilah lebih tinggi dan karenanya negara seharusnya mendapatkan kontribusi tahunan
yang lebih tinggi pula, namun potensi peningkatan ini tidak diakomodir secara jelas dalam
perjanjian sehingga menimbulkan pertentangan dari masing – masing pihak.
2.2.
Pendapat PT Hotel Indonesia Natour (HIN)
Komisaris PT Hotel Indonesia Natour (HIN), Michael Umbas menemukan sejumlah kejanggalan
terkait kontrak Build, Operate, Transfer (BOT) antara HIN dengan PT Cipta Karya Bersama
Indonesia (CKBI)/PT Grand Indonesia (GI). Karena itulah, kejanggalan itu patut dikritisi.
Dia mengemukakan, dalam kontrak BOT yang ditandatangani 13 Mei 2004, disepakati empat
objek fisik bangunan di atas tanah negara HGB yang diterbitkan atas nama PT GI yakni Hotel
Bintang 5 (42.815 m2), pusat perbelanjaan I (80.000 m2), pusat perbelanjaan II (90.000 m2),
fasilitas parkir (175.000m2).
Na u dala
erita a ara pe yelesaia pekerjaa terta ggal
Maret
9 ter yata ada
tambahan bangunan yakni gedung perkantoran (Menara BCA) dan apartemen (Kempinski) di
mana tidak tercantum dalam perjanjian BOT dan belum diperhitungkan besaran kompensasi ke
PT HIN, kata ya dala keterangan persnya, Kamis (4/2).
Kondisi ini, menurutnya, menyebabkan PT HIN kehilangan memperoleh kompensasi dari
penambahan dua bangunan yang dikomersilkan tersebut. Pembangunan dua gedung ini,
lanjutnya, memiliki nilai ekonomis cukup besar sehingga setara dengan rencana objek BOT
lainnya yang disepakati yakni Hotel bintang 5, Pusat Perbelanjaan I dan II, dan fasilitas Parkir.
Pe a aha dua gedu g i i esti ya diajuka sejak awal pere a aa da ter a tu dala
objek BOT. Hal ini jelas tidak sesuai TOR dan perencanaan awal yang disetujui kementerian
BUMN, ujar ya.
Hal yang menarik dari pernyataan komisaris HIN tersebut adalah kondisi HIN yang terkesan tidak
tahu – menahu soal pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski. Komplain terkait dua
bangunan tersebut dalam argumentasinya dikaitkan dengan berita acara penyelesaian pekerjaan
yaitu pada 2009. Padahal, pembangunan dua gedung tersebut tentu tidak berlangsung sebentar.
Apabila terjadi kejanggalan, mestinya HIN telah menyadarinya sejak awal pembangunan kedua
gedung tersebut yakni setidaknya 2 – 3 tahun sebelum tahun 2009 dan dapat mengambil langkah
untuk melaporkan kepada pihak berwenang.
Lebih anehnya lagi, ternyata HIN berkantor di Menara BCA itu sendiri. Baru pada tahun 2016
ketika isu ini mencuat HIN menyatakan seharusnya mendapat kontribusi tahunan yang lebih
besar dengan adanya kedua bangunan tambahan di komplek Hotel Indonesia. Padahal, HIN
adalah pemilik tanah yang dilakukan BOT dan memiliki wewenang pengawasan penuh terhadap
asetnya yang dilakukan BOT. Seharusnya, apabila HIN merasa ada kejanggalan pada
pembangunan dua gedung tersebut, pihaknya pasti sudah dapat mengetahuinya sejak fase
konstruksi. Berikut adalah alamat dan foto kantor PT HIN:
Gambar 5: Alamat PT Hotel Indonesia Natour
Gambar 6: PT HIN Berkantor di Menara BCA Lantai 39
3. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa secara kasat
mata tidak dapat dinyatakan secara mutlak pihak yang melakukan kesalahan dalam perjanjian
BOT Grand Indonesia. Hal ini dikarenakan masing – masing pihak memiliki argumentasi beserta
dasarnya sehingga sulit untuk menimbang apakah PT HIN ataukah PT GI yang telah melanggar
ketentuan BOT. Mengingat perkara ini mulai diusut oleh kejaksaan, penulis menyarankan untuk
menunggu proses penyidikan selesai dan menghormati apapun keputusan akhir yang nantinya
diambil oleh majelis hakim.
Agar kejadian semacam ini tidak kembali terulang di masa datang, setidaknya ada tiga hal yang
dapat dilakukan:
-
Mempertegas klausul perjanjian dan melibatkan lebih banyak pihak dalam penyusunannya;
Lebih memperketat proses pelaksanaan proyek; dan
Melaporkan sejak dini apabila ditemukan potensi pelanggaran perjanjian BOT.
Dengan ketiga saran tersebut diharapkan pengelolaan aset negara melalui metode Build,
Operate, Transfer (BOT) – disebut juga Bangun Guna Serah (BGS) menjadi lebih optimal lagi dan
tidak timbul permasalahan hukum dalam pelaksanaannya.