EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA DENDA TERHADAP PELANGGARAN KAWASAN TANPA ROKOK di DKI JAKARTA

(1)

EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA DENDA TERHADAP PELANGGARAN KAWASAN TANPA ROKOK DI DKI JAKARTA

Oleh

ANGGUN PANCARRANI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

ABSTRAK

EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA DENDA TERHADAP PELANGGARAN KAWASAN TANPA ROKOK di DKI JAKARTA

Oleh

ANGGUN PANCARRANI

Hidup sehat dan hidup di lingkungan yang sehat merupakan idaman semua orang. Namun kita sadari tidak mudah mewujudkan keadaan tersebut. Upaya untuk hidup sehat harus diupayakan oleh setiap orang, tidak akan optimal jika dilaksanakan sebagian kecil dari masyarakat. Masalah yang bukan hanya menjadi masalah kesehatan diri sendiri tetapi juga mengganggu kesehatan orang lain adalah kebiasaan merokok. Kota Bandar Lampung sendiri belum ada Peraturan Daerah yang mengatur tentang kawasan tanpa rokok sehimgga penulis melakukan penelitian di DKI Jakarta. Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan bagi pelanggar kawasan tanpa rokok terdapat dalam Pasal 199 ayat 2 Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 Tentang Kesehatan yaitu : “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Permasalahan yang terdapat yaitu, Bagaimanakah efektifitas penerapan sanksi pidana denda terhadap pelanggaran kawasan tanpa rokok di DKI Jakarta serta apa sajakah faktor-faktor pengahambat dalam penerapan sanksi pidana denda di dalam kawssan tanpa rokok di DKI Jakarta.

Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

normatif- empiris, Pendekatan dengan melihat masalah hukum sebagai kaidah

yang dianggap sesuai dengan penelitian normatif empiris. Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis yaitu suatu pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari asas-asas hukum dalam teori / pendapat sarjana dan peraturan perundang-undangan serta penelitian terhadap pengalaman yang terjadi dalam masyarakat.


(3)

Kurang Efektifnya Perda No. 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, disebabkan pula oleh pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 tahun 2005 tentang Kawasan Dilarangan Merokok yang masih sih belum terlaksanan oleh Pemerintah DKI Jakarta, antara lain terlihat dari Peraturan Daerah Nomor. 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara tidak disosialisasikan secara baik kepada publik oleh Pemerintah Provinsi Jakarta,penegakan hukum bagi pelanggar Perda Nomor. 2 tahun 2005. Faktor penghambat sanksi denda dalam mengimplementasikan Peraturan Gubernur No. 75 tahun 2005 tentang Kawasan Dilaran Merokok. Kurangnya koordinasi antara pemerintah DKI Jakarta dengan instansi-instansi terkait lainnya perihal aturan ini, kesadaran masyarakat yang masih rendah untuk mewujudkan lingkunga yang bersih, khususnya dari segi kebersihan udara, teladan dari pimpinan perihal bahaya merokok, baik pimpinan di provisnsi DKI Jakarta ataupun unsur pimpinan di tempat kerja, sekolah atau angkutan umum dan pidana denda dalam Peraturan Gubernur No. 75 tahun 2005 tentang Kawasan Dilarangan Merokok mencantumkan nominal uang yang tidak sedikit.

Penulis memberikan saran rendahnya efektifitas penerapan sanksi pidana denda terhadap Pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok di Provinsi Jakarta hendaknya membuat pemerintah DKI Jakarta tetap memberlakukan aturan tersebut guna mencapai tujuan bersama. Berbagai faktor penghambat pidana denda dalam memberlakukan aturan kawasan tanpa rokok harus bisa diselesaikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar pelaksanaan aturan terus berjalan dengan baik


(4)

(Skripsi)

Anggun Pancarrani

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2014


(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 12

II TINJAUAN PUSTAKA A. Pidana Denda dalam Pemidanaan ... 15

B. Efektifitas Penjatuhan Pidana Denda ... 18

C. Larangan Merokok di Kawasan Tanpa Rokok ... 23

III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 27

B. Sumber dan Jenis Data ... 27

C. Penentuan Narasumber ... 28

D. Prosedur Pengumpulan Dan Pengolahan Data ... 29


(8)

B. Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Denda Terhadap Pelanggaran

Kawasan Tanpa Rokok ... 35 C. Faktor-Faktor Penghambat Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok ... 41

V PENUTUP

A. Simpulan ... 47 B. Saran ... 49


(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hidup sehat dan hidup di lingkungan yang sehat merupakan idaman semua orang. Namun kita sadari tidak mudah mewujudkan keadaan tersebut. Upaya untuk hidup sehat harus diupayakan oleh setiap orang, tidak akan optimal jika dilaksanakan sebagian kecil dari masyarakat. Masalah yang bukan hanya menjadi masalah kesehatan diri sendiri tetapi juga mengganggu kesehatan orang lain adalah kebiasaan merokok, apalagi merokok yang dilakukan di sembarang tempat seperti di tempat-tempat umum atau di tempat bermain anak.

Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah.1 Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lainnya.Rokok biasanya dijual dalam bungkusan berbentuk kotak atau kemasan kertas yang dapat dimasukkan dengan mudah ke dalam kantong. Sejak beberapa tahun terakhir, bungkusan-bungkusan tersebut juga umumnya disertai pesan kesehatan yang memperingatkan perokok akan bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan dari merokok, misalnya kanker paru-paru atau serangan jantung ,walaupun pada kenyataannya

1


(10)

itu hanya tinggal hiasan, jarang sekali dipatuhi. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok Pasal 1 Angka 3, Rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar, dihisap, dan/atau dihirup termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum,

NicotianaRustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung

nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan.2

Asap rokok bukan hanya berdampak bagi perokok saja,tetapi juga berdampak kepada perokok pasif, perokok pasif merupakan seorang penghirup asap rokok dari orang yang sedang merokok. Akibatnya lebih berbahaya dibandingkan perokok aktif. Bahkan bahaya yang harus ditanggung perokok pasif tiga kali lipat dari bahaya perokok aktif. Setyo Budiantoro dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia mengatakan, sebanyak 25 persen zat berbahaya yang terkandung dalam rokok masuk ke tubuh perokok, sedangkan 75 persennya beredar di udara bebas yang berisiko masuk ke tubuh orang di sekelilingnya3. Konsentrasi zat berbahaya di dalam tubuh perokok pasif lebih besar karena racun yang terhisap melalui asap rokok perokok aktif tidak terfilter. Sedangkan racun rokok dalam tubuh perokok aktif terfilter melalui ujung rokok yang dihisap.Namun konsentrasi racun perokok aktif bisa meningkat jika perokok aktif kembali menghirup asap rokok yang ia hembuskan. Racun rokok terbesar dihasilkan oleh asap yang mengepul dari ujung rokok yang sedang dihisap serta asap yang dihasilkan berasal dari pembakaran tembakau yang tidak sempurna. Merokok juga berakibat buruk terhadap kesehatan reproduksi dan janin dalam

2 ibid 3 ibid


(11)

kandungan, termasuk infertilitas (kemandulan), keguguran, kematian janin, bayi lahir berberat badan rendah, dan sindrom kematian mendadak bayi.

Keempat resiko kesehatan ini tidak hanya akan membahayakan bagi perokok yang menghisapnya namun juga resiko ini diturunkan pula kepada Perokok pasif. Nikotin, salah satu racun dalam rokok, menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Mengurangi kadar oksigen dalam jantung, meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung, serta merusak dinding pembuluh darah jantung. Banyak sumber penelitian menunjukkan, berhenti merokok berkaitan dengan minimalisasi risiko serangan jantung. Nikotin dalam asap rokok membuat jantung harus bekerja ekstra. Karbon dioksida di dalam asap rokok juga akan mengambil alih sebagian porsi oksigen dalam darah, dan mengakibatkan tekanan darah naik, karena jantung harus memompa lebih keras untuk mendapatkan suplai oksigen yang cukup ke seluruh tubuh.

Dua pertiga penduduk Indonesia terpapar asap rokok secara pasif. Sasaran penetapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) diatur dalam SK Kementerian Dalam Negeri, untuk tujuan melindungi terutama perokok yang pasif ini.Saat ini sementara sudah 28 provinsi di mana terdapat 103 kabupaten/kota di dalam cakupannya yang memiliki perda/pergub/perwali/surat edaran tentang kebijakan KTR. Daerah lain juga terus didorong untuk menerapkan kebijakan tersebut.4

Penyakit tidak menular yang utama seperti jantung, kanker, stroke, diabetes melitus, dan penyakit pernapasan kronis menempati porsi teratas sebagai


(12)

penyebab kematian global di bawah usia 70 tahun. Di Indonesia, prevalensi kematian akibat rokok berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2007 sebesar 59,5 persen. Sementara asap rokok terdiri dari asap utama yang dihisap perokok aktif dan asap sampingan yang keluar dari ujung rokok yang menyala dan bertebaran di udara. Sebagian masyarakat sendiri tidak menyadari sepenuhnya bahwa asap rokok berbahaya, sehingga banyak diantara mereka yang tidak memperjuangkan hak hidupnya untuk menghirup udara yang bersih. Sementara, hak tiap warga untuk memperoleh udara bersih merupakan hak konstitusional dalam artian hak tersebut ditempatkan dalam peraturan yang tertinggi di Indonesia. Hal ini tertuang dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 disebutkan bahwa : Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pemenuhan hak tersebut merupakan keharusan, sehingga pemerintah seharusnya memaksimalkan pemenuhan atas hak tersebut.

Badan Kesehatan Dunia, World Health Organization (WHO), memprediksi penyakit yang berkaitan dengan rokok akan menjadi masalah kesehatan di dunia. Dari tiap 10 orang dewasa yang meninggal, 1 orang diantaranya meninggal karena disebabkan asap rokok. WHO juga menetapkan pada tanggal 31 Mei sebagai hari

“bebas asap rokok” yang juga diterapkan di Unversitas lampung sebagai hari

bebas rokok. Dari data terakhir WHO di tahun 2004 ditemui sudah mencapai 5 juta kasus kematian setiap tahunnya serta terjadi 70% terjadi di negara berkembang, termasuk di dalamnya di Asia dan Indonesia. Indonesia termasuk negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia, nomor 3 setelah china dan India. Pada tahun 2007, Indonesia menduduki peringkat ke-5 konsumen rokok terbesar


(13)

setelah cina, amerika serikat, rusia dan jepang. Hasil Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007 menyebutkan bahwa penduduk berumur diatas 10 tahun yang merokok sebesar 29,2 % dan meningkat sebesar 34,7 % pada tahun 2010 untuk kelompok umur di atas 15 tahun.5

Sedangkan kita tahu bahwa anak yang terpapar asap rokok dapat mengalami peningkatan terkena bronkitis, pneumonia, infeksi telinga tengah, asma dan keterlambatan pertumbuhan paru-paru.Kerusakan kesehatan secara dini ini dapat menyebabkan kesehatan yang buruk pada masa dewasa. pada orang dewasa bukan perokok pun terus-menerus terpapar juga akan mengalami peningkatan resiko terkena lebih dari 25 penyakit yang disebabkan karena asap rokok seperti

emfisema, kanker paru, bronkitis kronis, penyakit jantung koroner, peningkatan

kolesterol darah, impotensi, keguguran, bayi lahir mati dan penyakit lainnya. 6

Oleh karena itu pemerintah membuat peraturan tentang larangan merokok di kawasan tanpa rokok. Kawasan Tanpa Rokok, yang selanjutnya disingkat KTR, adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. Pemerintah Indonesia telah menyusun beberapa peraturan terkait upaya pengendalian udara akibat asap rokok serta pengembangan kawasan tanpa rokok,seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang didalamnya mengatur kawasan tanpa rokok. Keputusan bersama Menteri Kesehatan dan Menteri dalam negeri Nomor 188/Menkes/PB/1/2011 Tentang Pedoman pelaksanaan kawasan tanpa rokok. Kawasan yang mencakup KTR

5

http://pedulikesehatan.hostei.com/index.php?p=1_10 pada 5 oktober pukul 14.30 6


(14)

menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan terdapat dalam Pasal 115 yaitu :

Kawasan tanpa rokok antara lain : a. Fasilitas pelayanan kesehatan b. Tempat proses belajar mengajar c. Tempat anak bermain

d. Tempat ibadah e. Angkutan umum f. Tempat kerja

g. Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan

Dalam pengendalian konsumsi rokok,banyak daerah yang telah melakukan inisiatif pengembangan kawasan tanpa rokok sebagai salah satu upaya efektif dalam pengendakian konsumsi rokok dan melindungi perokok pasif dari bahaya asap rokok,seperti DKI Jakarta,Bali,Bandung dan lainya.7Merokok ditempat yang termasuk dalam Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan sebuah tindak pidana ringan, yaitu tindak pidana yang bersifat ringan atau tidak berbahaya,sehingga tidak perlu dijatuhi sanksi pidana penjara,tapi hanya dijatuhi sanksi pidana denda.Terdapat dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Bab II Pasal 10, Pidana terdiri atas :

a. Pidana pokok : 1. pidana mati 2. pidana penjara 3. pidana kurungan 4. pidana denda 5. pidana tutupan

b. Pidana Tambahan :

7

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/sanksi-pidana-bagi-pelanggar-kawasan-dilarang-merokok pada tanggal 29 September 2013 pukul 17.00


(15)

1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim

Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan bagi pelanggar kawasan tanpa rokok terdapat dalam Pasal 199 ayat 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan yaitu : “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa

rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”Sanksi pidana yang dijatuhkan pada

pelanggarang kawasan tanpa rokok yaitu hanya pidana denda saja,yaitu tindakan masyarakat yang berupa penghukuman.ketika seseorang dirugikan oleh yang lain maka ia boleh menuntut penggantian kerugian atas kerugiannya.Penjatuhan pidana denda sebagai alternatif dari pidana perampasa kemerdekaan jangka pendek yang merupakan jenis pidana pokok yang paling jarang dijatuhkan oleh hakim,khususnya dalam praktek peradilan di Indonesia.8 Berdasarkan latar belakang diatas dapat kita lihat bahwa banyaknya akibat yang ditimbulkan dari asap rokok yang dihirup oleh perokok pasif sehingga perlu adanya larangan merokok di kawasan tanpa rokok. Terdapat suatu persoalan yang perlu mendapat jawaban yaitu bagaimana efektifitas penerapan pidana denda terhadap pelanggaran kawasan tanpa rokok di DKI Jakarta, dikarenakan di Kota Bandar Lampung belum terdapat Peraturan Daerah yang mengatur tentang Kawasan Tanpa Rokok, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini di DKI Jakarta yang mana sudah diatur didalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Kemudian dilanjutkan dengan dibuatnya Peraturan

8

Niniek Suparni,Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,Jakarta:Sinar Grafika,2007,hlm 50


(16)

Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok dan kemudian dilanjutkan dengan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok serta Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Pencemaran Udara. Sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “ Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Denda terhadap Pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok di DKI Jakarta”.

B.Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Permasalahan merupakan suatu pernyataan yang menunjukan adanya jarak antara harapan dengan kenyataan, antara rencana dengan pelaksanaan. Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan di atas, untuk memudahkan pembahasan maka yang diajukan menjadi permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah efektifitas penerapan sanksi pidana denda terhadap pelanggaran kawasan tanpa rokok di DKI Jakarta ?

b. Apa sajakah faktor-faktor penghambat penerapan sanksi pidana terhadap pelanggaran kawasan tanpa rokok di DKI Jakarta ?

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka ruang lingkup penelitian ini meliputi ilmu hukum pidana dalam penerapan sanksi pidana denda terhadap


(17)

pelanggaran kawasan tanpa rokok sebagaimana diatur didalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta peraturan perundang-undangan lainya

C. Tujuan Dan Kegunaan

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis efektifitas penerapan sanksi pidana denda terhadap pelanggaran kawasan tanpa rokok

b. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis penegakan hukum pidana terkait penerapan sanksi terhadap pelanggaran kawasan tanpa rokok

2. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka kegunaan dari penelitian ini adalah : a. Secara teoritis

Penelitian ini berguna untuk memperluas wawasan ilmu pengetahuan penulis, khususnya di bidang kajian hukum pidana yang berhubungan efektifitas penerapan saksi pidana denda terhadap pelanggaran kawasan tanpa rokok

b. Secara Praktis

Penelitian ini dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam ilmu hukum kepada aparat penegak hukum dalam melakukan kajian terhadap hukum pidana di bidang kesehatan melalui penerapan sanksi pidana denda terhadap pelanggaran kawasan tanpa rokok. Selain itu pula sebagai salah


(18)

satu syarat unutk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Progam Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abtraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang bertujuan mengadakan kesimpulan terhadap dimensi- dimensi sosial yang dianggap relevan untuk penelitian.

Pidana denda merupakan sanksi bagi pelanggaran tindak pidana ringan,yaitu terdapt dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai alternatif sanksi lain selain pidana penjara, Menurut teori Karl O. Crisstiansen dalam teori pembalasan yang subyektif, menurut teori ini kesalahan si pembuat kejatanlah yang harus mendapat balasan9. Apabila kerugian dan kesengsaraan yang besar disebabkan oleh kesalahan yang ringan,maka si kejahatan sudah seharusnya dijatuhi hukuman ringan. Secara teoritis dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan hukum pidana denda.

Teori Ultimum Remedium yang juga mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam upaya penegakan hukum. Hal ini memiliki makna apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan,negosiasi,mediasi ataupun administrasi) hendaklah jalur tersebut

9

http://budi399.wordpress.com/2010/06/12/pidana-dan-pemidanaan/ pada tanggal 5 Oktober 2013 pukul 14.30


(19)

terlebih dahulu dilalui.10 Jika dilihat dari tujuan dari pemidanaan itu sendiri yang mendapatkan keadilan bagi korban maupun keluarga korban. Dengan demikian apabila rasa keadilan korban maupun keluarga korban tersebut telah terpenuhi maka seharusnya jalur pidana tidak perlu ditempuh lagi. Dan disinilah peran

Ultimum Remedium. Jasi sebagaimana yang telah diuraikan diatas, bahwa teori

Ultimum Remedium ini diperlukan untuk mempertimbangkan dahulu penggunaan

sanksi lain sebelum sanksi pidana yang berat dijatuhkan, apabila fungsi hukum lainya kurang maka baru dipergunakan hukum pidana.

Pengaturan tentang penerapan sanksi pidana denda terhadap pelanggaran kawasan tanpa rokok terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

2. Kerangka Konseptual

Konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti, baik dalam penelitian hukum normative maupun hukum empiris. Biasanya telah dirumuskan dalam definisi-definisi tertentu atau telah dijalankan lebih lanjut dari konsep-konsep tertentu.11

Untuk memudahkan pembahasan dalam skripsi ini, maka akan dikemukakan beberapa konsep yang bertujuan untuk menjelaskan istilah-istilah yang dijadikan pegangan dalam memahami skripsi ini yaitu sebagai berikut :

10

http://hukumonlinesiboro.blogspot.com/2011/12/penerapan-asas-ultimum-remedium-pada.htm 11

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986 , hlm.124


(20)

a. Efektifitas yaitu tingkat tercapainya tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pemidanaan.Suatu pemidanaan dikatakan efektif apabila tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pemidanaan itu tercapai.12

b. Pidana denda adalah tindakan masyarakat yang berupa penghukuman. Ketika seseorang dirugikan oleh yang lain maka ia boleh menuntut penggantian rugi atas kerugiannya.13

c. Pelanggaran adalah perbuatan yang disadari oleh masyarakat sebagai suatu tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik. Pelanggaran lebih ringan dibandingkan kejahatan.14

d. Kawasan Tanpa Rokok (KTR), adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. 15

E. Sistematika Penulisan

Agar skripsi ini memenuhi syarat sebagai karya tulis ilmiah serta untuk memudahkan dalam memahami isi pembahasan materi skripsi ini, maka perlu dipaparkan sistematika penulisan. Penulisan skripsi ini terdiri dari V (lima) Bab yang terdiri dari:

I PENDAHULUAN

12

Niniek Suparni,Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,Jakarta:Sinar Grafika,2007,hlm.41

13

ibid

14

Tri Andrisman,Hukum Pidana,Bandar Lampung :Fakultas Hukum Universitas Lampung,2009,hal.77

15

Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2012 tentang pemngamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan


(21)

Dalam bab ini berisi tentang Latar Belakang Masalah, Permasalahan, dan Ruang lingkup Penelitian, Tujuan dan Kegunaan penelitian, Kerangka Teoritis konsepsional dan diakhiri dengan sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini berisikan tentang teori-teori hukum sebagai latar belakang pembuktian pembahasan permasalahan yang ada kaitannya dengan masalah yang akan dibahas yang terdiri dari Pidana Denda dalam Pemidanaan,pengertian larangan merokok di kawasan tanpa rokok,serta efektifitas penjatuhan pidana denda.

III METODE PENELITIAN

Dalam bab ini berisi tentang metode penelitian yang dipakai untuk memperoleh dan mengolah data yang akurat. Adapun metode yang digunakan terdiri dari pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sebagai bagian dari hasil penyajian data dan analisis terhadap data yang diperoleh

dari hasil penelitian, yakni mengenai “Efektifitas Sanksi Pidana Denda Terhadap

Pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok di DKI Jakarta“. Adapun dalam menganalisa data tersebut, penulis melakukan suatu kajian yang bersifat normatif berdasarkan


(22)

ketentuan hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

V PENUTUP

Dalam bab ini terdiri atas kesimpulan dan saran, kesimpulan berisi ringkasan dari serangkaian pembahasan pada bab-bab sebelumnya, sedangkan saran berisi masukan-masukan yang penulis harapkan demi masa depan Untuk mewujudkan derajat kesejahteraan masyarakat khususnya di bidang kesehatan.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pidana Denda dalam Pemidanaan

Pasal 10 KUHP menempatkan pidana denda di dalam kelompok pidana pokok sebagai urutan terakhir atau keempat,sesudah pidana mati,pidana penjara dan pidana kurungan. Dalam menjatuhkan pidana, peranan hakim sangat penting.Setelah mengetahui tujuan pemidanaan,hakim wajib mempertimbangkan keadaan-keadaan yang ada di sekitar si pembuat tindak pidana,apa dan bagaimana pengaruh dari perbuatan pidana yang dilakukan,pengaruh pidana yang dijatuhkan bagi si pembuat pidana di masa mendatang,pengaruh tindak pidana terhadap korban serta banyak lagi keadaan lain yang perlu mendapatkan perhatian dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana. 1

Ada suatu ketentuan bahwa dalam hal seseorang melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara,namun apabila hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal yang menjadi tujuan pemidanaan serta pedoman penerapan pidana penjara,maka hakim dapat menjatuhkan pidana denda. Sikap memilih pidana denda benar-benar atas pertimbangan hakim secara cermat dan objektif serta praktis daripada pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara) atau karena

1

http://abdul-rossi.blogspot.com/2011/04/pidana-denda.html pada tanggal 5 Oktober 2013pukul 14.00


(24)

memperhitungkan untung rugi pidana denda dibandingkan dengan pidana perampasan kemerdekaan.

Jadi dalam hal ini pidana denda diancamkan dan seringkali sebagai alternatif

dengan pidana kurungan terhadap hampir semua “pelanggaran” (overtredingen) yang tercantum dalam buku III KUHP. Terhadap semua kejahatan ringan,pidana denda itu diancamkan sebagai alternatif dengan pidana penjara. Demikian juga terhadap bagian terbesar kejahatan-kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja.2

Mengenai pidana denda oleh pembuat undang-undang tidak ditentukan suatu batas maksimum yang umum. Dalam tiap-tiap pasal KUHP yang bersangkutan ditentukam batas maksimum (yang khusus) pidana denda yang dapat ditetapkan oleh hakim.Karena jumlah-jumlah pidana denda baik dalam KUHP maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya.3

Pidana denda adalah salah satu jenis pidana yang telah lama dan diterima dalam sistem hukum masyarakat bangsa-bangsa di dunia. Walaupun tentu saja pengaturan dan cara penerapan pidana denda tersebut bervariasi sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat. Dalam sistem hukum islam maupun hukum adat misalnya, pidana denda juga dikenal walaupun lebih bersifat ganti kerugian. Demikian pula di dunia Barat, pidana denda merupakan pidana yang tertua. Misalnya sampai sekarang di skotlandia, kejaksaan disebut sebagai

Prosecutor Fiscal yang menurut sejarahnya, pekerjaan jaksa dahulu di skotlandia

ialah memungut uang denda dari terpidana sebagai sumber pendapatan negara.

2 ibid 3


(25)

Menurut Sutherland dan Cressey, pidana denda ini bermula dari hubungan

keperdataan. Dikatakan bahwa:” ketika seorang dirugikan oleh orang lain, maka ia

boleh menuntut penggantian rugi kerusakan. Jumlahnya tergantung dari besarnya kerugian yang di derita serta posisi sosialnya yang dirugikan itu. Penguasa pun selanjutnya menuntut pula sebagian dari pembayaran itu atau pembayaran tambahan untuk ikut campur tangan pemerintahan dalam pengadilan atau atas

tindakan pemerintah terhadap yang membuat gangguan.

Pada saat ini kita mengetahui bahwa seluruh pembayaran pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim, masuk ke dalam kas negara. Walaupun pidana denda ini sudah lama dikenal dan diterima dalam sistem pemidanaan berbagai negara, namun pengkajian mengenai pidana denda ini dalam dunia ilmu hukum pidana. Hal ini mungkin merupakan refleksi dari kenyataan bahwa masyarakat pada umumnya masih mengangggap bahwa pidana denda adalah pidana yang piling ringan.

Selanjutnya perkembangan pidana denda ini di dorong pula oleh perkembangan delik-delik khusus dalam masyarakat dibidang perekonomian yang erat, yang dapat menghasilkan keuntungan materiil dalam jumlah yang besar. Apabila si pelaku hanya dikenakan pidana penjara, maka ia masih mempunyai kemungkinan untuk menikmati hasil kejahatan tersebut. dalam hal inilah pidana dapat didayagunakan untuk mengejar kekayaan hasil dari tindak pidana yang dilakukan terpidana. Tentu saja untuk maksud ini harus didukung oleh sarana-sarana untuk melaksanakan keputusan pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim4

4

http://abdul-rossi.blogspot.com/2011/04/pidana-denda.html pada tanggal 5 Oktober 2013 pukul 14.10


(26)

Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua daripada pidana penjara.5 Pidana denda terdapat pada setiap masyarakat, termasuk masyarakat primitif, walaupun bentuknya bersifat primitif pula. Pada zaman modern ini, pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan. Oleh karena itu pula, pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. Pidana denda mempunyai sifat perdata, mirip dengan pembayaran yang diharuskan dalam perkara perdata terhadap orang yang melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Perbedaanya ialah denda dalam perkara pidana dibayarkan kepada negara atau masyarakat, sedangkan dalam perkara perdata kepada orang pribadi atau badan hukum. Dalam menjatuhkan denda administratif, pelanggar sama sekali tidak diberi kesempatan membela diri, berbeda dengan terdakwa yang mempunyai seperangkat hak-hak yang ditentukan dalam KUHAP.

B. Efektifitas Penjatuhan Pidana Denda

Kata”efektifitas” menurut Ensiklopedia Indonesia,menunjukan taraf tercapainya

suatu tujuan.Suatu usaha dikatakan efektif apabila usaha itu mencapai tujuannya.Adapun arti kata efektif berasal dari bahasa Inggris yakni effective yaitu baik hasilnya,mempan,tepat benar. Sedangkan arti kata efektif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,berarti : ada efeknya (akibatnya,pengaruhnya,kesannya,manjur atau mujarab,dapat membawa hasil atau berhasil guna,mulai berlaku).6

5ibid 6


(27)

Jadi efektifitas pemidanaan diartikan sebagai tingkat tercapainya tujuan yang ingin dicapai dengan pemidanaan dikatakan efektif apabila tujuan yang diingin dicapai dengan adanya pemidanaan itu tercapai.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa tujuan pemidanaan adalah :

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2. Memasyarakatkan terpidana dengan menegakkan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana

Dikaitkan dengan tujuan pemidanaan seperti diatas maka pidana denda juga seharusnya dapat dirasakan sifat penderitaannya bagi mereka yang dijatuhinya. Secara konkret apakah realisasi dari pidana denda secara objektif dan subjektif dirasakan oleh pelaku sebagai suatu yang sesuai dengan tujuan pemidanaan itu.

Didalam Teori Ultimum Remedium yang juga mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam upaya penegakan hukum.7 Hal ini memiliki makna apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan,negosiasi,mediasi ataupun administrasi) hendaklah jalur tersebut terlebih dahulu dilalui. Teori Ultimum Remedium ini diperlukan untuk mempertimbangkan dahulu penggunaan sanksi lain sebelum sanksi pidana yang berat dijatuhkan. Apabila fungsi hukum lainnya kurang maka baru dipergunakah

7

http://krisnaptik.wordpress.com/polri-4/teori/karakteristik-hukum-dalam-konteks-ultimum,28 Oktober 2013 pukul 17.00


(28)

hukuman pidana. Berkaitan dengan karakteristik hukum pidana dalam konteks

Ultimum Remedium bahwa, penegakan hukum pidana dengan sanksi yang berat

harus diusahakan agar sedapat mungkin mengurangi penderitaan pelaku, dan mengenai pernerapan Ultimum Remedium dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim dapat mengakomodasi kepentingan pelaku tindak pidana. Setiap kegiatan yang mengacu kepada penerapan prinsip penjatuhan pidana penjara sebagai upaya terakhir tersebut sangat mendukung pelaku tindak pidana,karena sebelum sanksi yang berat dijatuhkan, penggunaan sanksi administrasi dan perdata didahulukan.

Saelain itu, dalam rangka efektifitas yang menyangkut segi pelaksanaan,kriteria efektif dan tidaknya pidana denda diukur dari besarnya uang yang dapat dikumpulkan oleh eksekutor (Jaksa) dari pidana denda yang dijatuhkan dan

dengan uang tersebut dapat digunakan sebagai „andil” dalam pembangunan

bangsa dan negara.

Dalam melakukan ukuran efektifitas pidana denda,harus ada nilai keseimbangan antara pidana denda dengan pidana penggantinya,dalam hal si terpidana tidak dapat membayar denda yang telah ditentukan.8

Perkembangan untuk memperluas penggunaan pidana denda dengan meningkatkan jumlah ancaman pidana denda saja ternyata belum mencukupi untuk meningkatkan efektifitas pidana denda. Diperlukan suatu kebijakan yang menyeluruh baik dalam bidang legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Menurut


(29)

Muladi dan Barda Nawawi Arief, dalam pelaksanaan pidana denda perlu dipertimbangkan antara lain mengenai9:

a. Sistem penerapan jumlah atau besarnya pidana. b. Batas waktu pelaksanaan pembayaran denda

c. Tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin terlaksananya pembayaran denda dalam hal terpidana tidak dapat membayar dalam batas waktu yang telah ditetapkan

d. Pelaksanaan pidana dalam hal-hal khusus(misalnya terhadap seorang anak yang belum dewasa atau belum bekerja dan masih dalam tanggungan orang tua).

e. Pedoman atau kriteria untuk menjatuhkan pidana denda.

Pidana denda obyeknya adalah harta benda yang berbentuk uang, hal ini dapat

dilihat dalam ketentuan KUHP. Berdasarkan “laporan pengkajian hukum tentang

penerapan pidana Denda Dep.Kehakiman RI, ternyata bahwa pidana denda sejauh ini dirasakan belum memenuhi tujuan pemidanaan, disebabkan oleh faktor-faktor berikut :

a. Dapat digantikan nya pelaksanaan denda oleh bukan pelaku, menyebabkan rasa dipidananya pelaku menjadi hilang.

b. Nilai ancaman pidana denda di rasakan terlampau terlalu rendah, sehingga tidak sesuai dengan keselarasan antara tujuan pemidanaan dengan rasa keadilan dalam masyarakat.

9 ibid


(30)

c. Meskipun terdapat ancaman pidana yang tinggi dalam aturan pidana diluar KUHP, akan tetapi belum dapat mengikuti cepatnya perkembangan nilai mata uang dalam masyarakat

Namun terlepas dari hal diatas, jenis pidana denda ini memberikan banyak segi-segi keadilan, antara lain:

a. Pembayaran denda mudah dilaksanakan dan dapat di revisi apabila ada kesalahan, dibanding dengan jenis hukuman lainnya.

b. Pidana denda adalah hukuman yang menguntungkan pemerintah karena pemerintah tidak banyak mengeluarkan biaya, bila tanpa disertai kurungan subsider.

c. Hukuman denda tidak membawa atau tidak mengakibatkan tercela nya nama baik atau kehormatan seperti yang dialami terpidana penjara. d. Pidana denda akan membuat lega dunia perikemanusiaan.

e. Hukuman denda akan menjadi penghasilan bagi daerah atau kota.

Untuk melihat bagaimana kedudukan dan pola pidana denda dalam hukum pidana positif indonesia, maka pertama-tama kita bertolak dari ketentuan pasal 10 KUHP. Berdasarkan urutan pidana pokok tersebut, terkesan bahwa pidana denda adalah pidana pokok yang paling ringan. Walaupun tidak ada ketentuan yang dengan tegas menyatakan demikian. Berbeda dengan Rancangan KUHP pada pasal 58 ayat (2) yang tegas-tegas menyatakan bahwa:” urutan pidana pokok diatas

menentukan berat ringan nya pidana”.Pidana denda dalam KUHP diancam

terhadap seluruh tindak pidana pelanggaran (dalam buku III KUHP) dan juga terhadap tindak pidana kejahatan (dalam buku II KUHP), tetapi


(31)

kejahatan-kejahatan ringan dan kejahatan-kejahatan yang dilakukan dengan tidak sengaja. Kebanyakan pidana denda itu diancamkan sebagai alternatif dari pidana kurungan atau penjara.

Muladi dan Barda nawawi mengemukakan bahwa “sedikit sekali” tindak pidana

yang hanya diancam dengan pidana denda: untuk kejahatan dalam buku II hanya terdapat dalam satu delik, yaitu dalam pasal 403, sedangkan untuk pelanggaran buku III hanya terdapat dalam 40 pasal dari keseluruhan pasal-pasal tentang pelanggaran.10

C. Larangan Merokok di Kawasan Tanpa Rokok

Larangan merokok di KTR (Kawasan Tanpa Rokok) yaitu larangan merokok diruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau memproduksi,menjual,mengiklankan dan/ mempromosikan produk tembakau. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan serta Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 : Kawasan tanpa rokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau memproduksi,menjual,mengiklankan dan/atau mempromosikan produk tembakau.11

Tempat yang termasuk dalam kawasan tanpa rokok terdapat didalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 pasal 115, yaitu :

a. Fasilitas pelayanan kesehatan b. Tempat proses belajar mengajar

10ibid 11

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pedoman pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok


(32)

c. Tempat anak bermain d. Tempat ibadah e. Angkutan umum f. Tempat kerja

g. Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan

Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 juga memuat tentang tempat kawsan tanpa rokok,yaitu terdapat dalam pasal 1 :

1. Tempat proses belajar mengajar adalah gedung yang digunakan untuk kegiatan belajar, mengajar, pendidikan dan/atau pelatihan.

2. Tempat anak bermain adalah area tertutup maupun terbuka yang digunakan untuk kegiatan bermain anak-anak.

3. Tempat ibadah adalah bangunan atau ruang tertutup yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadah bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadah keluarga.

4. Angkutan umum adalah alat angkutan bagi masyarakat yang dapat berupa kendaraan darat, air, dan udara biasanya dengan kompensasi.

5. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja, atau yang dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya.

6. Tempat umum adalah semua tempat tertutup yang dapat diakses oleh masyarakat umum dan/atau tempat yang dapat dimanfaatkan bersama-sama untuk kegiatan masyarakat yang dikelola oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat.


(33)

7. Tempat lainnya yang ditetapkan adalah tempat terbuka yang dapat dimanfaatkan bersama-sama untuk kegiatan masyarakat.12

Sebagaimana diatur didalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 199 ayat 2 yang berbunyi : Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).13

Didalam Pasal 6 Peraturan pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok juga memuat sanksi yang diterapkan kepada pelanggar kawasan tanpa rokok, yaitu : Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dikenakan sanksi kepada:

a. orang perorangan berupa sanksi tindak pidana ringan; dan

b. badan hukum atau badan usaha dikenakan sanksi administratif dan/atau denda.

Maka dari itu Pemerintah harus menyiapkan tempat khusus merokok sebagaimana dimaksud pada pasal 5 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok, yaitu :

1. KTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f dan huruf g dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok.

2. Tempat khusus untuk merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

12ibid 13


(34)

a. merupakan ruang terbuka atau ruang yang berhubungan langsung dengan udara luar sehingga udara dapat bersirkulasi dengan baik:

b. terpisah dari gedung/tempat/ruang utama dan ruang lain yang digunakan untuk beraktivitas;

c. jauh dari pintu masuk dan keluar; dan d. jauh dari tempat orang berlalu-lalang.

Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara juga mengatur ketentuan pidananya yaitu terdapat dalam pasal 41 Ayat 2 yaitu :

Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 17, Pasal 19 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 20 Ayat 1, Pasal 22, Pasal 23Ayat (1) dan Ayat (2) , Pasal 24 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 26 Ayat (1), dan Pasal 28 Ayat (1) diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 50.000.000,-


(35)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.1

Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

normatif- empiris2, Pendekatan dengan melihat masalah hukum sebagai kaidah

yang dianggap sesuai dengan penelitian normatif empiris. Penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis yaitu suatu pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari asas-asas hukum dalam teori / pendapat sarjana dan peraturan perundang-undangan serta penelitian terhadap pengalaman yang terjadi dalam masyarakat.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.3

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan

1

Soerjono Soekanto,pengantar penelitian hukum,Jakarta :Universitas Indonesi. hlm. 43.

2 ibid

3Ibid


(36)

(library research). Data ini diperoleh dengan cara mempelajari, membaca, mengutif literatur-literatur atau peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pokok permasalahan penelitian. Data sekunder bersumber dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu :

a. Bahan hukum primer terdiri dari Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan serta Peratutan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang bersifat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku,literature

dan karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain kamus bahasa Indonesia, kamus hukum, majalah, surat kabar , media cetak dan media elektronik.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri atau karakteristik yang sama4. Sehubung dengan penelitian pada skripsi ini,maka yang dijadikan populasi adalah aparat penegak hukum yang terdiri dari aparat penegak hukum serta yang berkaitan dengan skripsi ini.

4


(37)

Sedangkan sampel adalah objek yang jumlahnya kurang dari populasi.5 Sesuai dengan pengambilan sampel dari populasi yang akan diteliti diatas adalah

propotional purposive sampling, yaitu metode pengambilan sampel yang dalam

penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan dan tujuan penulis dalam rangka mencapai tujuan dan dianggap telah mewakili masalah yang diteliti, oleh karna itu sampel dalam membahas skripsi ini meliputi :

1. Staf Biro Hukum DKI Jakarta : 2 Orang 2. Dosen Hukum Kesehatan : 1 Orang 3. Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung : 1 Orang

Jumlah : 4 Orang

D. Metode Penelitian dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Berdasarkan pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka metode pengumpulan data yang digumakan adalah studi kepustakaan. Data yang dikumpulkan dalam hal ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara langsung berdasarkan pengalaman yang mendalam dari pihak lain sebagai sumber data atau yang diperoleh berdasarkan studi kepustakaan. Adapun data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan tertulis terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder serta tersier.

2. Pengolahan Data

5

Masri Singarimbun,Sofian Efendi,Metode Penelitian Survei,Pustaka LP3ES,Jakarta,1987,hlm.152


(38)

Setelah data terkumpul selanjutnya adalah melakukan pengolahan data yaitu kegiatan merapihkan dan menganalisis data tersebut, kegiatan ini meliputi kegiatan data seleksi dengan cara memeriksa data yang diperoleh mengenai kelengkapannya, klasifikasi data, mengelompokkan data secara sistematis.

Kegiatan pengolahan data dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Klasifikasi data, yaitu dengan cara mengelompokkan data sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Inventarisasi data, yaitu untuk mengetahui kelengkapan data, baik atau tidaknya data dan kepastian data dengan pokok bahasan yang kan dibahas. c. Sistematisasi data yaitu data yang telah diklasifikasikan kemudian

ditempatkan sesuai dengan posisi pokok permasalahan secara sistematis.

E. Analisis data

Setelah data terkumpul secara keseluruhan yang diperoleh dari hasil studi pustaka, kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu dengan mendeskripsikan permasalahan berdasarkan penelitian dan pembahasan dalam bentuk penjelasan atau uraian kalimat yang disusun secara sistematis. Setelah dilakukan analisis data maka kesimpulan secara deduktif suatu cara berfikir yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat umum kemudian diatarik suatu kesimpulan secara khusus sebagai jawaban permasalahan berdasarkan hasil penelitian.


(39)

V. PENUTUP

A. Simpulan

1. Kurang Efektifnya Peraturan Daerah No. 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, disebabkan pula oleh pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 tahun 2005 tentang Kawasan Larangan Merokok yang masih belum diterapkan oleh Pemerintah DKI Jakarta, antara lain terlihat sebagai berikut :

1) Peraturan Daerah Nomor. 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara tidak disosialisasikan secara baik kepada publik oleh Pemerintah Provinsi Jakarta.

2) Bahwa aparat penegak hukumnya tidak transparan dalam menegakkan sanksi pidana denda berupa uang yang ditetapkan kepada para pelanggar merokok.

3) Bahwa proses pembiaran-pembiaran yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap pelanggaran pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara, merupakan bentuk pengabaian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap jaminan


(40)

perlindungan masyarakat untuk mendapatkan udara yang bersih dan sehat.

2. Faktor penghambat sanksi denda dalam mengimplementasikan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara sebagai berikut :

1) Sosialisasi pidana denda diawal terhadap kebijakan ini rendah, sehingga menimbulkan rasa malas bagi pengelola gedung perkantoran atau lainnya untuk menerapkan aturan tersebut.

2) Kesungguhan untuk melaksanakan Kebijakan denda ini, khususnya oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta perlu dikaji ulang, karena seperti yang telah dikemukakan dalam makalah dimuka, disinyalir implementasi kebijakan ini dengan setengah hati

3) Kurangnya koordinasi antara pemerintah Porvinsi DKI Jakarta dengan instansi-instansi terkait lainnya perihal aturan ini

4) Kesadaran masyarakat yang masih rendah untuk mewujudkan lingkunga yang bersih, khususnya dari segi kebersihan udara

5) Teladan dari pimpinan perihal bahaya merokok, baik pimpinan di provisnsi DKI Jakarta ataupun unsur pimpinan di tempat kerja, sekolah atau angkutan umum.


(41)

B. Saran

1. Agar pemerintah daerah DKI Jakarta dapat menindak tegas terhadap pelanggar di kawasan tanpa rokok.

2. Pemerintah DKI Jakarta dapat mengatasi berbagai faktor penghambat pidana denda dalam memberlakukan kawasan tanpa rokok agar pelaksanaan aturan tersebut dapat berjalan dengan baik

3. Tidak efektifitasnya Penerapan Sanksi Pidana Denda terhadap Pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok di Provinsi Jakarta hendaknya membuat pemerintah DKI Jakarta meningkatkan aturan tersebut guna mencapai tujuan bersama

4. Agar penegak hukum, Polisi Pamong Praja serta Polisi Masyarakat dapat bekerjasama dalam mensosialisasikan dan menindak pelanggaran di kawasan tanpa rokok di DKI Jakarta


(42)

Andrisman, Tri.2011. Hukum Pidana, Universitas lampung. Bandar Lampung. Andi Hamzah,dan Siti Rahayu.1983.Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan

diIndonesia,Akademi Pressindo: Jakarta

Andi Hamzah.2008. Asas-Asas Hukum Pidana,Rineka Cipta : Jakarta Arifin Ahmad,2010, Jakarta dan Polusi Udara, Jakarta : Raja Grafindo

Masri Sangarimbun,Sofian Efendi.1987.Metode Penelitian Survei,Pustaka LP3ES: Jakarta

Muladi,dan Barda Nawawi.1992.Teori-Teori dan Kebijakan

Pidana,Alumni:Bandung

Mukhlis, 2011, Sistem Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Alumni

Munandar Ahmad, 2010, Perokok Aktif dan Pasif, Jakarta : Raja Grafindo

Marullina, 2011, Jakarta dan Permasalahannya, Jakarta : Elex Media Komputindo

Nasrulloh,2009, Rokokdan Pajak di Indonesia,Bandung : Pustaka Ilmu

Suparni,Niniek.2007.Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan

Pemidanaan,Sinar Grafika: Jakarta

Soerjono,Soekanto.1986. Pengantar Penelitian Hukum. Fakultas Hukum Universitas Indonesia : Jakarta.

Soedjono,D.1984.Sistem Peradilan Pidana dalam Prespektif Perbandingan


(43)

Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP)

Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Zat Adiktif yang Berupa Tembakau Bagi Kesehatan

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok

Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara

Peraturan Gubernur Nomor 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok

Internet :

http://www.hukumonline.com/klinik/detail//sanksi-pidana-bagi-pelanggar-kawasan-dilarang-merokok pada tanggal 5 Oktober 2013

http://id.wikipedia.org/wiki/Rokok pada tanggal 5 Oktober 2013


(1)

Setelah data terkumpul selanjutnya adalah melakukan pengolahan data yaitu kegiatan merapihkan dan menganalisis data tersebut, kegiatan ini meliputi kegiatan data seleksi dengan cara memeriksa data yang diperoleh mengenai kelengkapannya, klasifikasi data, mengelompokkan data secara sistematis.

Kegiatan pengolahan data dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Klasifikasi data, yaitu dengan cara mengelompokkan data sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Inventarisasi data, yaitu untuk mengetahui kelengkapan data, baik atau tidaknya data dan kepastian data dengan pokok bahasan yang kan dibahas. c. Sistematisasi data yaitu data yang telah diklasifikasikan kemudian

ditempatkan sesuai dengan posisi pokok permasalahan secara sistematis.

E. Analisis data

Setelah data terkumpul secara keseluruhan yang diperoleh dari hasil studi pustaka, kemudian dianalisis secara kualitatif yaitu dengan mendeskripsikan permasalahan berdasarkan penelitian dan pembahasan dalam bentuk penjelasan atau uraian kalimat yang disusun secara sistematis. Setelah dilakukan analisis data maka kesimpulan secara deduktif suatu cara berfikir yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat umum kemudian diatarik suatu kesimpulan secara khusus sebagai jawaban permasalahan berdasarkan hasil penelitian.


(2)

44

V. PENUTUP

A. Simpulan

1. Kurang Efektifnya Peraturan Daerah No. 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, disebabkan pula oleh pelaksanaan Peraturan Gubernur No. 75 tahun 2005 tentang Kawasan Larangan Merokok yang masih belum diterapkan oleh Pemerintah DKI Jakarta, antara lain terlihat sebagai berikut :

1) Peraturan Daerah Nomor. 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara tidak disosialisasikan secara baik kepada publik oleh Pemerintah Provinsi Jakarta.

2) Bahwa aparat penegak hukumnya tidak transparan dalam menegakkan sanksi pidana denda berupa uang yang ditetapkan kepada para pelanggar merokok.

3) Bahwa proses pembiaran-pembiaran yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap pelanggaran pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara, merupakan bentuk pengabaian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap jaminan


(3)

sehat.

2. Faktor penghambat sanksi denda dalam mengimplementasikan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara sebagai berikut :

1) Sosialisasi pidana denda diawal terhadap kebijakan ini rendah, sehingga menimbulkan rasa malas bagi pengelola gedung perkantoran atau lainnya untuk menerapkan aturan tersebut.

2) Kesungguhan untuk melaksanakan Kebijakan denda ini, khususnya oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta perlu dikaji ulang, karena seperti yang telah dikemukakan dalam makalah dimuka, disinyalir implementasi kebijakan ini dengan setengah hati

3) Kurangnya koordinasi antara pemerintah Porvinsi DKI Jakarta dengan instansi-instansi terkait lainnya perihal aturan ini

4) Kesadaran masyarakat yang masih rendah untuk mewujudkan lingkunga yang bersih, khususnya dari segi kebersihan udara

5) Teladan dari pimpinan perihal bahaya merokok, baik pimpinan di provisnsi DKI Jakarta ataupun unsur pimpinan di tempat kerja, sekolah atau angkutan umum.


(4)

46

B. Saran

1. Agar pemerintah daerah DKI Jakarta dapat menindak tegas terhadap pelanggar di kawasan tanpa rokok.

2. Pemerintah DKI Jakarta dapat mengatasi berbagai faktor penghambat pidana denda dalam memberlakukan kawasan tanpa rokok agar pelaksanaan aturan tersebut dapat berjalan dengan baik

3. Tidak efektifitasnya Penerapan Sanksi Pidana Denda terhadap Pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok di Provinsi Jakarta hendaknya membuat pemerintah DKI Jakarta meningkatkan aturan tersebut guna mencapai tujuan bersama

4. Agar penegak hukum, Polisi Pamong Praja serta Polisi Masyarakat dapat bekerjasama dalam mensosialisasikan dan menindak pelanggaran di kawasan tanpa rokok di DKI Jakarta


(5)

Andi Hamzah,dan Siti Rahayu.1983.Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia,Akademi Pressindo: Jakarta

Andi Hamzah.2008. Asas-Asas Hukum Pidana,Rineka Cipta : Jakarta Arifin Ahmad,2010, Jakarta dan Polusi Udara, Jakarta : Raja Grafindo

Masri Sangarimbun,Sofian Efendi.1987.Metode Penelitian Survei,Pustaka LP3ES: Jakarta

Muladi,dan Barda Nawawi.1992.Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,Alumni:Bandung

Mukhlis, 2011, Sistem Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Alumni

Munandar Ahmad, 2010, Perokok Aktif dan Pasif, Jakarta : Raja Grafindo

Marullina, 2011, Jakarta dan Permasalahannya, Jakarta : Elex Media Komputindo

Nasrulloh,2009, Rokok dan Pajak di Indonesia,Bandung : Pustaka Ilmu

Suparni,Niniek.2007.Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,Sinar Grafika: Jakarta

Soerjono,Soekanto.1986. Pengantar Penelitian Hukum. Fakultas Hukum Universitas Indonesia : Jakarta.

Soedjono,D.1984.Sistem Peradilan Pidana dalam Prespektif Perbandingan Hukum,Rajawali Press : Jakarta


(6)

Sabaruddin, 2010, Problematika Peraturan di Tingkat Daerah, Jakarta : Elex Media

Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP)

Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Zat Adiktif yang Berupa Tembakau Bagi Kesehatan

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok

Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara

Peraturan Gubernur Nomor 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok

Internet :

http://www.hukumonline.com/klinik/detail//sanksi-pidana-bagi-pelanggar-kawasan-dilarang-merokok pada tanggal 5 Oktober 2013

http://id.wikipedia.org/wiki/Rokok pada tanggal 5 Oktober 2013