BAB II PANDANGAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENERAPAN PIDANA DENDA PADA PELANGGARAN LALU LINTAS - Penerapan Pidana Denda Dalam Hukum Pidana (Studi Pelanggaran Lalu Lintas Di Medan)

BAB II PANDANGAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENERAPAN PIDANA DENDA PADA PELANGGARAN LALU LINTAS A. Kerangka Teori Pidana Denda dalam Hukum Pidana Pidana denda merupakan salah satu jenis dari pidana pokok dalam hukum

  pidana Indonesia yang merupakan bentuk pidana tertua dan lebih tua dari pidana penjara dan setua pidana mati. Pidana denda terdapat pada setiap masyarakat, termasuk masyarakat primitif walaupun bentuknya bersifat primitif karena sejak zaman majapahit sampai beberapa masyarakat primitif dan tradisional mengenal

   pidana denda tersebut.

  Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban bagi seorang yang telah melanggar larangan dalam rangka mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus kesalahan dengan pembayaran sejumlah uang tertentu. Pidana denda tersebut diancam sebagai alternatif dengan pidana kurungan terhadap hamper semua pelanggaran yang ditentukan dalam buku III KUHP dan Undang-undang diluar KUHP. Ranah pidana denda hanya dapat disejajarkan atau disamaratakan dengan ancaman pidana untuk kejahatan ringan, kejahatan karena kealpaan, pelanggaran, atau pidana penjara jangka pendek lainnya. Ukuran atau kesamarataan pidana denda sebagai alternatif atau sebagai pengganti penjara atau kurungan, dalam perkembangannya, masih fluktuatif. Hal ini dapat dilihat dari

   perkembangan pembentukan Undang-undang diluar KUHP. 20 Andi hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita, 1993. hal.53. 21 Suhariyono, Op.cit, hal.40.

  Penjatuhan pidana denda sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang merupakan jenis pidana pokok yang paling jarang dijatuhkan oleh para Hakim, khususnya dalam praktek peradilan di

22 Indonesia. Pengadilan jarang menjatuhkan pidana denda terhadap suatu perkara

  kejahatan. Hal ini disebabkan oleh karena ancaman pidana denda tidak akan menjadi selaras lagi dengan nilai mata uang yang berlaku. Ancaman maksimum pidana denda adalah berkisar antara Rp.900,- sampai dengan Rp.150.000,- kecuali ancaman pidana denda yang diatur dalam Undang-undang Hukum Pidana Khusus.

  Di samping itu sikap Hakim terhadap penilaian pada ancaman pidana denda cenderung digunakan hanya untuk tindak pidana yang ringan-ringan saja,

   sehingga pidana penjara tetap merupakan yang utama.

  Hal yang sama dengan pendapat Sudarto bahwa pidana denda juga bisa dipandang sebagai alternatif dari pidana pencabutan kemerdekaan. Di Eropa Barat, pidana ini bahkan menjadi lebih penting daripada pidana pencabutan kemerdekaan dan dipandang sebagai tidak kalah efektifnya, khususnya bagi

  

  orang tertentu menurut keadaannya. Pidana denda sebagai salah satu jenis sanksi hukum adalah bagian dari hukum penitensier, yakni hukum yang mengatur atau

   yang memberi aturan tentang stelsel sanksi.

  22 23 Andi Hamzah, Op.cit, hal.56. 24 Ninik suparni,Op.cit, hal.9. 25 Sudarto, Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan, Binacipta, Jakarta, 1980, hal.102.

  Ibid, hal.103. Hukum Penitensier merupakan sebagian dari hukum positif yaitu bagian yang menentukan jenis sanksi atas pelanggaran, beratnya sanksi, lamanya sanksi

   itu dirasakan oleh pelanggar dan cara serta tempat sanksi itu dilaksanakan.

  Pada zaman sekarang ini, pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Pidana denda merupakan satu- satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. Maksudnya, walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana secara pribadi, tidak ada larangan sama sekali jika denda itu secara sukarela dibayar oleh orang lain atau pihak lain

   dan mengatasnamakan terpidana.

  Melihat tujuan pemidanaan maka pidana denda lebih diutamakan dalam delik-delik terhadap harta benda sehingga harus dicari keserasian antara kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana dengan besarnya pidana denda yang harus dibayar oleh terpidana. Oleh karena itu harus dipertimbangkan dengan seksama, minimum maupun maksimum pidana denda yang diancamkan terhadap

   suatu tindak pidana.

  Pidana denda memiliki sifat perdata, karena mirip dengan pembayaran yang diharuskan dalam perkara perdata terhadap orang yang melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Perbedaannya hanyalah denda dalam perkara pidana dibayarkan kepada Negara atau masyarakat, sedangkan dalam perkara perdata kepada orang secara pribadi atau badan hukum. Pidana denda dalam perkara pidana dapat diganti dengan pidana kurungan jika tidak dibayar. Selain itu denda 26 27 Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, hal.2. 28 Andi Hamzah, op cit, hal.53.

  Niniek suparni, Op.cit, hal.8. tidaklah diperhitungkan sesuai dengan jumlah kerugian yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan sebagaimana dalam perkara perdata. Pidana denda tetap dijatuhkan walaupun terpidana telah membayar ganti rugi secara perdata kepada korban. Hal ini yang banyak membuat banyak orang awam keliru, terutama dalam pelanggaran lalu-lintas. Sering dipikir jika telah dibayar ganti kerugian kepada korban (kadang-kadang denga perantaraan polisi), tuntutan pidana telah terhapus, sedangkan sebenarnya tidak demikian halnya. Tuntutan pidana tetap dapat dilakukan oleh jaksa, paling-paling hanya akan meringankan pidana yang dijatuhkan oleh hakim. Dalam praktek, dirasakan banyaknya perkara demikian yang mengendap, artinya selesai di tempat, tanpa diteruskan ke kejaksaan, karena

   kedua belah pihak telah berdamai.

  Salah satu jenis pidana tentu saja pidana denda bukan dimaksudkan untuk sekedar tujuan-tujuan ekonomis misalnya sekedar untuk menambah pemasukan keuangan negara, melainkan harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan pemidanaan. Pengaturan dan penerapan pidana denda baik dalam tahap legislatif (pembuat Undang-undang), tahap yudikatif (penerapannya oleh hakim), maupun pelaksanaannya oleh komponen peradilan pidana yang berwenang (eksekutif) harus dilakukan sedemikian rupa sehingga efektif dalam mencapai tujuan

   pemidanaan.

  Pidana denda juga kerap kali dijatuhkan dalam perkara administrasi dan fiscal, misalnya denda terhadap penyelundup atau penunggak pajak. Di Indonesia banyak instansi yang menjatuhkan denda administrasi secara sepihak, misalnya 29 30 Ibid, hal.54.

   Diakses tanggal 9 Oktober 2012. denda terhadap pelaku yang terlambat mengganti surat tanda nomor kendaraan (STNK), terlambat membayar iuran televisi, terlambat mengganti kartu penduduk, mendirikan bangunan sebelum izin dan lain-lain. Dalam menjatuhkan denda administrasi ini, pelanggar sama sekali tidak diberi kesempatan membela diri, berbeda dengan terdakwa yang mempunyai seperangkat hak-hak yang ditentukan dalam KUHAP.

B. Pengaturan Pidana Denda Dalam KUHP

  Pidana denda adalah salah satu jenis pidana dalam stelsel pidana pada umumnya. Kedudukan dan pola pidana denda dalam hukum pidana positif indonesia bertolak dari ketentuan pasal 10 KUHP, yang menyatakan bahwa:

  1. pidana pokok, terdiri dari:

  a. pidana mati

  b. pidana penjara

  c. pidana kurungan

  d. pidana denda

  e. pidana tutupan (yang di tambahkan berdasarkan Undang-Undang No. 20 946).

  2. pidana tambahan, terdiri atas:

  a. pencabutan hak-hak tertentu

  b. perampasan barang-barang tertentu c. pengumuman keputusan hakim.

  Berdasarkan urutan pidana pokok tersebut, terkesan bahwa pidana denda adalah pidana pokok yang paling ringan. Walaupun tidak ada ketentuan yang dengan tegas menyatakan demikian. Akan tetapi melihat urutan yang terdapat pada Pasal 10 KUHP pidana denda menjadi pidana paling ringan.

  Mulai Pasal 104 sampai Pasal 488 untuk kejahatan (buku II) perumusan pidananya adalah pidana penjara tunggal, pidana penjara dengan alternatif denda, pidana kurungan tunggal, pidana kurungan dengan alternatif denda, dan pidana denda yang diancamkan secara tunggal.

  Pidana denda yang digunakan sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal dalam buku II dan buku III KUHP. Pidana penjara sering digunakan dalam penetapan dan penjatuhan pidana, hal ini dikaitkan dengan tujuan pemidanaan terutama pencapaian efek jera bagi pelaku, sehingga sanksi pidana penjara lebih banyak dikenakan dalam pemidanaan yang terdapat dalam pasal- pasal KUHP. Kesuluruhan pasal dan ayat ancaman pidana yang dirumuskan dalam KUHP diperoleh perbedaan komposisi antara pidana penjara dan pidana denda yang dituangkan dalam tabel 1 sebagai berikut:

   Tabel 1

  Perbandingan Jumlah Pidana Penjara ; Penjara atau Denda ; dan Pidana Denda (Buku II KUHP)

  Pidana Penjara Penjara atau Denda Pidana Denda (tunggal) (Alternatif)

  Jumlah = 296 Pasal Jumlah = 133 Pasal Jumlah = 2 Pasal Ancaman maksimum Ancaman maksimum 1)

  Denda Rp. 18.000 bervariasi, dari yang penjara atau denda 2) Denda Rp.150.000 terendah: bervariasi dari yang

  1) terendah : 4 bulan = mengasut untuk bunuh diri 1) 1 bulan 2 minggu = (345); Rp.4500 31 Suhariyono, Op.cit, hal.172.

  2) 4 bulan 2 minggu = melarika diri dari pekerjaan (455)

  3) 6 bulan = memnuat asal usul orang lain tidak tentu (277);

  4) 9 bulan = membujuk tentara agar melarikan diri (236); perkelahian 1 lawan 1 (184);

  5) 1 tahun 4 bulan = merusak surat (234); berita bohong terjadinya tidak pidana (220); nenghalango pemilu (148);

  6) 1 tahun 6 bulan =merintangi pertemuan umum (175);

  7) 2 tahun sampai 15 tahun (dianggap sedang dan berat);

  8) Seumur hidup atau 20 tahun (sangat berat)

  2) 2 bulan = Rp.4.500 3) 3 bulan = Rp. 900 4) 3 bulan = Rp.4.500 5) 4 bulan = Rp.4.500 6) 4 bulan 2 minggu =

  Rp.9.000 7) 6 bulan = Rp.4.000 8) 9 bulan = Rp.4.500 9) 9 bulan = Rp.9.000

  10) 9 bulan = Rp.18.000 11) 1 tahun = Rp.4.500 12) 1 tahun 4 bulan =

  Rp.4.5000 13) 1 tahun 4 bulan =

  Rp.15.000 14) 2 tahun 8 bulan =

  Rp.4.500 15) 2 tahun 8 bulan =

  Rp.75.000 16) 4 tahun = Rp.900 17) 5 tahun = Rp.900 18) 10 tahun =

  Rp.25.000.000 Pasal 176 dan pasal 407 Jika diperbandingkan dengan jumlah yang ditentukan dalam buku II dan buku III mengenai bobot jenis pidana penjara denda (juga kurungan) tampak secara signifikan bahwa pidana penjara diutamakan untuk menghukum pelaku tindak pidana kejahatan. Jumlah 465 pasal, yang dimulai dari Pasal 104 sampai Pasal 569 menunjukkan bahwa terdapat 296 pasal ancaman penjara tunggal, 6 pasal kurungan tunggal (pelanggaran), 2 pasal denda tunggal (untuk kejahatan), 40 pasal pidana denda tunggal (pelanggaran), 133 pasal alternatif pidana penjara atau denda, dan 34 alternatif pidana kurungan atau denda. Keseluruhan dari jumlah diatas dapat dilihat bahwa pidana penjara, termaksud pidana penjara yang dialternatifkan dengan pidana denda, masih dominan, yakni berjumlah 296

   penjara tunggal dan 133 alternatif penjara atau denda.

   Pidana denda diatur dalam Pasal 30-31 KUHP yang berisi: Pasal 30.

  (1) Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen. (2) Bila pidana denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan. (3) Lama pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling tinggi enam bulan.

  (4) Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan sebagai berikut; bila pidana dendanya tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang, dihitung satu hari; bila lebih dari tujuh rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen. (5) Bila ada pemberatan pidana denda yang disebabkan oleh gabungan atau pengulangan, atau karena ketentuan pasal 52, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan bulan. (6) Pidana kurungan pengganti sama sekali tidak boleh lebih dari delapan bulan.

  (1) Terpidana dapat segera menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas waktu pembayaran denda. (2) Ia setiap waktu berhak membebaskan dirinya dari pidana kurungan pengganti dengan membayar dendanya. (3) Pembayaran sebagian dari pidana denda, sebelum atau sesudah mulai menjalani pidana kurungan pengganti, membebaskan terpidana dari sebagian pidana kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.

  Pidana denda dalam KUHP diancam terhadap seluruh tindak pidana pelanggaran (dalam buku III KUHP) dan juga terhadap tindak pidana kejahatan (dalam buku II KUHP), tetapi kejahatan-kejahatan ringan dan kejahatan yang dilakukan dengan tidak sengaja.

  Ketentuan pasal 30-31 tersebut dapat dikatakan bahwa pidana denda merupakan pidana alternatif dari pidana kurungan dan hakim menjatuhkan pada 32 33 Ibid, hal 173 R.Soesilo. 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-

  Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor:Politeia kejahatan-kejahatan yang sangat rendah. Oleh karena itu, dalam sistem KUHP yang sekarang berlaku, pidana denda dapat dipandang sebagai bentuk pidana pokok yang ringan. Alasan pertama, hal ini dapat dilihat dari kedudukan urutan- urutan pidana pokok di dalam pasal 10 KUHP. Kedua, pada umumnya pidana denda dirumuskan sebagai pidana alternatif dari pidana penjara atau kurungan sedikit sekali tindak pidana yang hanya diancamkan dengan pidana denda untuk kejahatan dalam Buku II hanya terdapat satu delik, yaitu pasal 403, sedangkan untuk pelanggaran dalam Buku III hanya terdapat 40 pasal dari keseluruhan pasal- pasal tentang pelanggaran. Ketiga, jumlah ancaman pidana denda dalam KUHP

   pada umumnya relatif rendah.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (2) jika pidana denda tidak dibayar maka harus diganti dengan pidana kurungan. Lamanya pidana kurungan pengganti denda ditentukan dalam kasus demi kasus dalam putusan hakim, pada umumnya minimal (1) satu hari atau maksimum 6 (enam) bulan dalam Pasal 30 ayat (3) KUHP. Maksimum ini dapat dinaikkan menjadi 8 (delapan) bulan dalam hal gabungan (concursus), residivis dan delik jabatan menurut Pasal 52 dan bis (Pasal 30 ayat 5 KUHP)

  Berdasarkan ketentuan Pasal 30 KUHP tersebut, pidana denda dalam KUHP adalah hanya berbentuk uang dan tidak boleh berbentuk barang. Denda yang tidak dibayar oleh terpidana baik kerena ketidakmampuan atau ketidakmauannya, maka pidana denda itu dapat diganti kedalam pidana kurungan yang disebut dengan hukuman subsider atau pengganti. 34 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung,1984, hal.177-178.

  Menurut Pasal 31 KUHP, bagi pelaku tindak pidana yang dijatuhi dengan pidana denda dapat menjalani pidana kurungan sebagai pengganti. Para pelaku tindak pidana jika merasa tidak mampu membayar denda dan seandainya dendanya dibayar dan sisanya tidak, maka kurungan sebagai pengganti dikurang

  

  secara seimbang. Menjatuhkan hukuman denda hendaknya disesuaikan dengan kemampuan dan kekuatan ekonomi sipelanggar, jika sipelanggar ada tanda-tanda insyaf dalam kesalahanya atau atas dasar pertimbangan Hakim dalam hal-hal yang dapat meringankan.

C. Pidana Denda Dalam Sistem Pemidanaan Pelanggaran Lalu Lintas

  L.H.C. Hullsman mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the

  

sentencing system ) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

  sanksi dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanction and

   punishment ).

  Aturan perundang-undangan (the statutory rules) dibatasi pada hukum pidana substantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan khusus tentang perumusan tindak pidana, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan. Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) di bidang hukum pidana substantif tersebut terdiri dari aturan umum (general rules) dan aturan khusus (special rules). Aturan umum terdapat di dalam KUHP (Buku I),dan aturan khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan 35 36 Andi Hamzah, Op.cit, hal.53.

  L.H.C. Hullsman dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana , Op. Cit. hal.23. Buku III, maupun dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP. Aturan khusus tersebut pada umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum.

   Secara garis besar, sistem pemidanaaan di Indonesia mencakup 3 (tiga)

  permasalahan pokok, yaitu Jenis pidana (strafsoort), lamanya ancaman pidana (strafmaat), dan pelaksanaan pidana (strafmodus).

  

a. Jenis pidana (strafsoort)

  Jenis pidana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 KUHP yang terdiri dari : 1) Pidana pokok berupa :

  a. Pidana mati ;

  b. Pidana penjara ;

  c. Pidana kurungan ;

  d. Pidana denda ; e. Pidana tutupan.

  2) Pidana tambahan berupa :

  a. Pencabutan beberapa hak tertentu ;

  b. Perampasan barang-barang tertentu ; c. Pengumuman putusan hakim.

  Sesuai dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, Indonesia hanya mengenal pidana pokok dan pidana tambahan.

  37 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal.136. 38 Ibid, hal.28-29.

b. Lamanya Ancaman Pidana (strafmaat)

  Ada beberapa pidana pokok yang seringkali secara alternatif diancamkan pada perbuatan pidana yang sama. Hakim hanya dapat menjatuhkan satu diantara pidana yang diancamkan itu. Hal ini mempunyai arti, bahwa hakim bebas dalam memilih ancaman pidana. Sedangkan mengenai lamanya atau jumlah ancaman, yang ditentukan hanya maksimum dan minimum ancaman. Dalam batas-batas maksimum dan minimum inilah hakim bebas bergerak untuk menentukan pidana yang tepat untuk suatu perkara. Akan tetapi kebebasan hakim ini tidaklah dimaksudkan untuk membiarkan hakim bertindak sewenang-wenang dalam

   menentukan pidana dengan sifat yang subyektif.

  Kemudian berkaitan dengan tujuan diadakannya batas maksimum dan minimum adalah untuk memberikan kemungkinan pada hakim dalam memperhitungkan bagaimana latar belakang dari kejadian, yaitu dengan berat ringannya delik dan cara delik itu dilakukan, pribadi si pelaku delik, umur, dan keadaan-keadaan serta suasana waktu delik itu dilakukan, disamping tingkat intelektual atau kecerdasannya. KUHP di Indonesia hanya mengenal maksimum umum dan maksimum khusus serta minimum umum. Ketentuan maksimum bagi penjara adalah 15 (lima belas) tahun berturut-turut, bagi pidana kurungan 1 (satu) tahun, dan maksimum khusus dicantumkan dalam tiap-tiap rumusan delik, sedangkan pidana denda tidak ada ketentuan maksimum umumnya tetapi yang ada hanya minimum umum dan maksimal khusus. Adapun pidana penjara dan pidana kurungan, ketentuan minimumnya adalah satu hari. Undang-undang juga diatur 39 Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia, Ghalia Indonesia , Jakarta, 1983, hal.20. mengenai keadaan-keadaan yang dapat menambah dan mengurangi pidana. Keadan yang dapat mengurangi pidana adalah percobaan dan pembantuan, dan terhadap dua hal ini, pidana yang diancamkan adalah maksimum pidana atas perbuatan pidana pokoknya dikurangi sepertiga, seperti ketentuan dalam Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 57 KUHP. Pasal 53 ayat (2) KUHP berbunyi “Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dalam hal percobaan dikurangi sepertiga”. Sedangkan Pasal 57 ayat (1) KUHP berbunyi “Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga”. Disamping ketentuan yang meringankan juga diatur tentang keadaan-keadaan yang dapat menambah atau memperberat pidana, yaitu perbarengan, recidive serta pegawai negeri. Dalam hal pidana penjara dapat ditambah menjadi maksimum 20 tahun, pidana kurungan menjadi maksimum 1 tahun 4 bulan dan pidana kurungan pengganti menjadi 8

   bulan.

  Mengenai pidana denda oleh pembuat undang-undang tidak ditentukan suatu batas maksimum yang umum. Tiap pasal dalam KUHP yang bersangkutan ditentukan batas maksimum (yang khusus) pidana denda yang dapat ditetapkan oleh Hakim. Jumlah pidana denda baik dalam KUHP maupun dalam ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945, tidak sesuai lagi dengan sifat tindak pidana yang dilakukan, berhubung ancaman pidana denda itu sekarang menjadi terlalu ringan jika dibandingkan dengan nilai mata uang pada waktu kini, sehingga jumlah itu perlu diperbesar/dipertinggi. Menurut

40 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung 1981, hal.14.

  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1960, yang dalam Pasal 1 ayat (1) nya menentukan bahwa : "Tiap jumlah pidana denda yang diancamkan, baik dalam Kitab Undang- undang Hukum Pidana, sebagaimana beberapa kali telah ditambah dan diubah dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 1), maupun dalam ketentuan- ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sebagaimana telah diubah sebelum hari berlakunya Peraturan Pengganti Undang undang ini harus dibaca dengan mata uang rupiah dan dilipatgandakan menjadi lima belas kali". Perubahan menurut Undang-undang No. 18 Tahun 1960 dilipatgandakan menjadi 15 kali, sehingga menjadi Rp 3,75 (tiga rupiah tujuh puluh lima sen).

  Maksimum khususnya bermacam-macam yaitu sebagai berikut:

   a.

  Untuk “kejahatan”

  • Maksimum berkisar anatara Rp 900,- (dulu 60 gulden) dan Rp 150.000,- (dulu 10.000 gulden); namun ancaman pidana denda yang sering diancamkan ialah sebesar Rp 4.500,- (dulu 500 gulden) b.

  Untuk “pelanggaran”

  • Denda maksimum berkisar antara Rp 225,- (dulu 15 gulden) dan Rp 75.000,- (dulu 5.000 gulden); namun yang terbanyak hanya diancam dengan denda sebesar Rp 375, (dulu 25 gulden) Rp 4.500,- (dulu 300 gulden).

  Pola diatas terlihat bahwa menurut pola KUHP ( WvS) maksimum khusus pidana denda yang paling tinggi untuk “kejahatan” ialah Rp 150.000,- (10.000 gulden), dan untuk “pelanggaran” paling banyak Rp 75.000,- (5.000 gulden). Jadi maksimum khusus pidana denda yang paling tinggi untuk “kejahatan” adalah “dua kali lipat” yang diancamkan untuk “pelanggaran”.

   Di Indonesia dewasa ini sedang dilakukan proses pembaharuan Kitab

  Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang baru yang tentunya di 41 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 , hal.177-178. 42 Ibid, hal.178.

  dalamnya juga berkaitan dengan pembaharuan bentuk-bentuk pidananya serta konsep lamanya maksimum dan minimum pidana, khususnya untuk pidana

   denda.

  Rancangan KUHP tahun 2008 mengenai “minimum umum”, “minimum khusus” dan “maksimum khusus” pidana denda. Minimum umumnya sebesar Rp

  

  15.000,-. Ancaman maksimum khusus dibagai kategori, yaitu:

  a. : Maksimum Rp 1.500.000,00 Kategori I

  b. : Maksimum Rp 7.500.000,00 Kategori II

  c. : Maksimum Rp 30.000.000,00 Kategori III

  d. : Maksimum Rp 75.000.000,00 Kategori IV

  e. : Maksimum Rp 300.000.000,00 Kategori V

  f. : Maksimum Rp . 3.000.000.000,00 Kategori VI

  Konsep tersebut masih hanya sebagai rancangan dan belum diberlakukan sehingga perlu diketahui bahwa ketentuan denda dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) saat ini sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman. Nilai denda tersebut terakhir kali diubah melalui Perpu No. 18 Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana dan dalam Ketentuan-Ketentuan Pidana Lainnya yang Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus 1945.

  Belum disesuaikannya kembali nilai denda tersebut tentunya mengakibatkan tidak efektifnya pidana denda sebagai salah satu bentuk ancaman pidana yang diatur dalam KUHP itu sendiri. Hal ini mengakibatkan pilihan bentuk pemidanaan menjadi hanya seputar pemidanaan dalam bentuk pidana mati, 43

  Diakses tanggal 5 Oktober 2012. 44 Ibid

  penjara atau kurungan, yang pada akhirnya berkontribusi pada semakin tingginya angka narapidana di lembaga-lembaga pemasyarakatan.

  Selain itu, telah diketahui pula dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ada perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak pidana ringan sebagaimana disebut dalam pasal 364 (pencurian ringan) pasal 373 (penggelapan ringan), pasal 379 (penipuan ringan), pasal 384 (penipuan ringan oleh penjual),

  pasal 407 ayat (1) (perusakan ringan) dan pasal 482 (pemudahan ringan) saat ini menjadi tidak efektif lagi mengingat ukuran nilai barang atau uang yang menjadi ukuran tindak pidana tersebut masih sebesar Rp. 250 , sehingga diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP yang hanya

   memuat 5 pasal.

  Perma ini memerintahkan bahwa kata-kata “dua ratus lima puluh rupiah” dalam Pasal 364,373,379,384,407 dan 482 KUHP dibaca menjadi Rp.2.500.000

  

  (dua juta lima ratus ribu rupiah). Hal ini tentu disebabkan karena nilai Rp.250 tidak sesuai lagi dan hampir tidak ada barang yang nilainya dibawah Rp.250.

  Perma ini intinya adalah bahwa seluruh uang yang ada di KUHP, baik yang diatur dalam pasal-pasal pidana ringan (364, 373, 379 dst) maupun dalam pasal-pasal yang memuat hukuman denda nilainya dilipatgandakan menjadi 10.000 kali dengan pengecualian terhadap Pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 303 bis ayat 1 dan ayat 2. 45 Penjelasan Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana

  Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP 46 Pasal 1 Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP

  Perhitungan 10.000 kali lipat ini diperoleh dari penyesuaian harga emas dari tahun 1959 yang nilainya Rp 50,51 /gram dengan harga emas per 3 februari 2012 yang harganya telah mencapai Rp 509.000 / gram. Jika dihitung maka telah terjadi penurunan nilai rupiah sebanyak 10.077 kali. Untuk memudahkan penghitungan Mahkamah Agung kemudian membulatkan angka tersebut menjadi

   10.000 kali .

c. Pelaksanaan Pidana (strafmodus)

  KUHP yang berlaku di Indonesia pada saat ini belum mengenal hal yang dinamakan pedoman pemidanaan. Oleh karena itu, hakim dalam memutus suatu perkara diberi kebebasan memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan sistem alternatif dalam pengancaman di dalam undang- undang. Selanjutnya hakim juga dapat memilih berat ringannya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh undang-undang hanya

   maksimum dan minimum pidana.

  Pelanggaran lalu lintas adalah pelanggaraan terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009. Undang-undang ini menggantikan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-undang lalu lintas terbaru tersebut menerapkan sanksi pidana yang lebih berat bagi si pelanggar.

  Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR RI pada tanggal 26 Mei 2009 47 Penjelasan Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana

  Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP 48 diakses tanggal 8 September 2012. yang kemudian disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 22 Juni 2009.

  Undang-

  undang ini adalah kelanjuta dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992, terlihat bahwa kelanjutannya adalah merupakan pengembangan yang signifikan dilihat dari jumlah clausul yang diaturnya, yakni yang tadinya 16 bab dan 74 pasal, menjadi 22 bab dan 326 pasal. Perbandingannya dapat dilihat pada tabel 2 berikut:

  Tabel 2 Perbandingan Isi UU Nomor 14 Tahun 1992 dengan UU Nomor 22 Tahun 2009

  UU Nomor 14 Tahun 1992 UU Nomor 22 Tahun 2009

  Bab I Ketentuan Umum Bab I Ketentuan Umum Bab II Asas dan Tujuan Bab II Asas dan Tujuan Bab III Pembinaan Bab III Ruang Lingkup Keberlakuan Undang-Undang Bab IV Prasarana Bab IV Pembinaan Bab V Kendaraan Bab V Penyelenggaraan Bab VI Pengemudi Bab VI Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Bab VII Lalu Lintas Bab VII Kendaraan Bab VIII Angkutan Bab VIII Pengemudi Bab IX Lalu Lintas dan Angkutan Bab IX Lalu Lintas bagi Penderita Cacat Bab X Dampak Lingkungan Bab X Angkutan Bab XI Penyerahan Urusan Bab XI Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Bab XII Penyidikan Bab XII Dampak Lingkungan Bab XIII Ketentuan Pidana Bab XIII Pengembangan Industri dan Teknologi Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

  Bab XIV Ketentuan Lain-Lain Bab XIV Kecelakaan Lalu Lintas Bab XV Ketentuan Peralihan Bab XV Perlakuan Khusus bagi Penyandang Cacat, Manusia Usia Lanjut, Anak-Anak, Wanita Hamil, dan Orang Sakit 49 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

  Bab XVI Ketentuan Penutup Bab XVI Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Bab XVII Sumber Daya Manusia Bab XVIII Peran Serta Masyarakat Bab XIX Penyidikan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Bab XX Ketentuan Pidana Bab XXI Ketentuan Peralihan Bab XXII Ketentuan Penutup Berikut beberapa sanksi pidana denda dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan:

  1. Mengemudikan Kendaraan Sambil Menelepon Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 melarang pengendara kendaraan bermotor berkendara sambil melakukan aktivitas sampingan yang bisa merusak konsentrasi. Aturannya terdapat dalam Pasal 106 ayat (1) menyatakan bahwa setiap pengendara wajib berkendara dengan penuh konsentrasi dan secara wajar. Saksinya terdapat dalam Pasal 283 UU No. 22 Tahun 2009 yang berbunyi “ Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 750.000,00 (Tujuh Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah).

  2. Kendaraan Berbelok Tidak Menyalakan Lampu Sein

  Di Indonesia disiplin berlalulintas masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari jumlah kendaraan yang sering berbelok tanpa menghidupkan lampu sein terlebih dahulu. Tentu saja tindakan memotong jalur atau berbelok tanpa memberi tanda sangat berbahaya dan sangat mungkin menyebabkan kecelakaan. Undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan Nomor 22 Tahun 2009 pasal 294 dengan tegas mengatur bahwa setiap orang yang akan berbelok atau berbalik arah wajib menyalakan lampu sein, sanksinya dikenai sanksi kurungan 1 (satu) bulan atau denda sebesar Rp 250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

  3. Mengemudikan Kendaraan Melawan Arah Tindakan mengemudi lawan arah melanggar UU No. 22 Tahun 2009 pasal 106 ayat 4, disana dijelaskan bahwa saja ada ganjaran bagi pelanggar tersebut, yakni kurungan paling lama dua bulan dan denda paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sesuai pasal 287 ayat 2.

  4. Menabrak Kendaraan Yang Tidak Menyalakan Lampu Di Malam Hari Kejadian ini sering ditemui, bukan hanya dikota kecil melainkan juga di kota- kota besar. Para pengendara itu beranggapan bahwa selama dirinya bisa melihat di malam hari, menyalakan lampu menjadi tidak penting. Padahal selain untuk menerangi jalan bagi diri si pengendara lain sehingga terhindar dari tabrakan. Menurut pasal 48 ayat satu (1) dan ayat tiga (3) juncto pasal 107 ayat satu (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, setiap kendaraan yang beroperasi di jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan persyaratan kelayakan jalan khususnya memiliki lampu utama yang wajib dinyalakan pada saat berkendaraan malam hari. Seandainya ada kendaraan yang tidak dilengkapi lampu depan maka kendaraan tersebut bisa dikategorikan sebagai kendaraan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan kelayakan jalan. Pasal 285 ayat (1) dan ayat dua (2) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan bahwa kendaraan yang tidak layak jalan, tapi dipaksakan beroperasi akan dikenakan hukuman penjara selama satu bulan atau denda sebanyak Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

  Hukumannya semakin berat jika kendaraan itu terlibat kecelakaan dan menimbulkan kerusakan kendaraan lain. Pemilik kendaraan yang tidak layak tersebut dikenakan ketentuan pasal 310 ayat satu (1) dengan ancaman pidana kurungan maksimal enam (6) bulan atau denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Seandainya ada korban yang luka ringan, hukumannya menjadi pidana penjara selama satu tahun atau denda sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah), sesuai pasal 310 ayat dua (2) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Jika menimbulkan luka berat atau menyebabkan meninggal dunia.

  Hukumannya adalah penjara selama lima tahun dan enam tahun serta dikenakan denda sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah), menurut ketentuan pasal 310 ayat tiga (3) dan ayat empat (4).

  5. Kendaraan Tidak Memiliki STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) Salah satu dokumen yang harus dimiliki seorang pemilik kendaraan adalah STNK. STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) merupakan salah satu surat penting yang menunjukkan kepemilikan kendaraan secara sah. Meskipun demikian, pada kenyataannya banyak kendaraan yang tidak memiliki STNK, fakta ini diketahui dari razia pihak kepolisian terhadap pengendara kendaraan bermotor. Tanpa STNK akan terancam hukuman kurungan hingga dua bulan atau denda hingga Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sesuai pasal 288 ayat 1. Bahkan, bukan tidak mungkin kita dituduh sebagai pencuri kendaraan bermotor.

  6. Kewajiban Menyalakan Lampu pada Siang Hari Kewajiban ini diberlakukan untuk kendaraan roda dua dimana para pengendara sepeda motor wajib menyalakan lampu utama di siang hari yang diatur dalam pasal 107 ayat 2, namun sering kali para pengendara sepeda motor tersebut melanggar ketentuan tersebut. Pengendara sepeda motor ini yang melanggar ketentuan ini dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 hari atau denda paling banyak Rp 100.000,- sesuai dengan ketentuan pidana dalam pasal 293 ayat 2.

  7. Tidak dapat menunjukkan SIM (Surat Izin Mengemudi) yang sah.

  Bagi pengendara bermotor yang tidak memiliki SIM, akan dipidana dengan pidana kurungan empat bulan atau denda paling banyak Rp.1.000.000 (Pasal 281), sedangkan dalam Pasal 288 Ayat (2) mengatur, bagi setiap orang yang mengemudi kendaraan bermotor yang tidak dapat menunjukkan SIM yang sah, akan dikenai pidana dengan pidana kurungan paling lama satu bulan dan/atau denda paling banyak Rp.250.000.

  Pada setiap daerah mempunyai ukuran sendiri mengenai jumlah maksimum dan minimum denda yang akan diterapkan. Hal ini sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1993 yang menyebutkan:

  “Dalam hal menentukan maksimum uang titipan untuk pelanggaran yang bersifat ringan, sedang, dan berat, Ketua Pengadilan Negeri agar memperharikan secara teliti keadan sosial dan ekonomi di wilayah hukumnya masing-masing.” Sesuai dengan Surat Edaran diatas, dapat dipahami bahwa penjatuhan atau pemberian pidana denda bagi pelanggar digantungkan pada keadaaan dan kemampuan pada masyarakat setempat. Surat edaran tersebut tidak mengikat, namun ketentuan yang ada didalamnya secara umum dipatuhi oleh Pengadilan Negeri, dengan alasan untuk mengurangi keanekaragaman (disparitas) pemidanaan denda.

  

Dokumen yang terkait

Penerapan Pidana Denda Dalam Hukum Pidana (Studi Pelanggaran Lalu Lintas Di Medan)

7 153 96

Hukum Pidana PENGERTIAN HUKUM PIDANA DAN

0 8 10

EFEKTIFITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA DENDA TERHADAP PELANGGARAN KAWASAN TANPA ROKOK di DKI JAKARTA

3 32 43

EFEKTIVITAS PENERAPAN SANKSI DENDA TERHADAP TINDAK PELANGGARAN LALU LINTAS STUDI DI PENGADILAN NEGERI MATARAM

0 1 20

BAB II TUJUAN PENERAPAN PIDANA BERSYARAT DALAM TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN ANAK A. Jenis-Jenis Kecelakaan Lalu Lintas - Tindak Pidana Bersyarat pada Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan oleh Anak Dalam Praktik (Studi Putusa

0 0 23

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANGTUA TERHADAP ANAK KANDUNGNYA A. Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Analisis Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Y

1 2 36

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Salah Satu Upaya Penanggulangan Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan - Penerapan Ketentuan Pidana Mengenai Kebebasan Berserika

0 0 42

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) - Perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Hukum Islam

0 2 23

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

0 20 33

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM PIDANA A. Tinjauan Terhadap Istilah Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana - Peranan Kepolisian Resor Labuhan Batu Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Pada Wilayah H

0 6 36