Penerapan Pidana Denda Dalam Hukum Pidana (Studi Pelanggaran Lalu Lintas Di Medan)

(1)

PENERAPAN PIDANA DENDA DALAM HUKUM PIDANA

(STUDI PELANGGARAN LALU LINTAS DI MEDAN)

SKRIPSI

Disusun untuk melengkapi tugas akhir dan diajukan sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara

OLEH:

Ferdian Ade Cecar Tarigan

NIM: 080200162

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENERAPAN PIDANA DENDA DALAM HUKUM PIDANA (STUDI PELANGGARAN LALU LINTAS DI MEDAN)

SKRIPSI

Disusun untuk melengkapi tugas akhir dan diajukan sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara

OLEH:

FERDIAN ADE CECAR TARIGAN

NIM: 080200162

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

DR. M. HAMDAN, S.H.,M.H. NIP : 195703261986011001

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Suwarto, S.H.,M.H. Dr. Marlina, SH.,M.Hum. NIP : 195605051989031001 NIP: 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala pujian syukur serta kemuliaan yang sungguh Luar Biasa penulis haturkan kepada TuhanYesus Kristus atas setiap penyertaan-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima Kasih Tuhan Allah telah menjadi sumber inspirasi terbesar dalam hidupku. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mempersembahkan skripsi dengan judul “PENERAPAN PIDANA DENDA DALAM HUKUM PIDANA (STUDI PELANGGARAN LALU

LINTAS DI MEDAN)” kepada dunia pendidikan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara secara khusus dan dunia pendidikan Fakultas Hukum seluruh Indonesia secara umum guna dipergunakan seperlunya dalam kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan hukum yang berkaitan dengan isi skripsi ini.

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini juga dijadikan sebagai karya ilmiah yang kiranya dapat dipergunakan sebagai sumber pengetahuan dalam dunia pendidikan khususnya pengetahuan dalam penerapan pidana denda dalam hkum pidana khususnya dalam pelanggaran lalu lintas yang terjadi di kota Medan.

Pada kesempatan kali ini penulis hendak menyampaikan ucapan terima kasih kepada para pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini, antara lain :

1. Keluarga penulis yaitu, Papa tercinta Pdt. Hermanto Tarigan, M.Th dan Mama tersayang Frida Deliana Harahap, M.Si dan Abangnda tersayang


(4)

Firman M N D Tarigan, S.T yang merupakan sumber inspirasi, harapan, doa, dan semangat penulis dalam menghadapi berbagai tantangan dan rintangan dalam proses penyelesaian skripsi ini. Terima kasih buat semua kasih sayang, semangat, doa, nasihat, dan dukungan materi yang tiada hentinya penulis rasakan. Penulis berjanji dapat membuat papa dan mama bangga dan bahagia kedepannya nanti;

2. Keluarga Besar Tarigan dan Keluarga Besar Harahap yang selalu memberi dukungan kepada penulis. Semoga keluarga kita tetap harmonis dan selalu diberkati Tuhan.

3. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Bapak Prof. Dr. Suwarto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I penulis yang banyak meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan


(5)

arahan yang sangat berarti kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini;

10.Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II penulis yang senantiasa meluangkan waktunya untuk membimbing penulis serta memberikan masukan-masukan yang sangat berarti bagi penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini;

11.Ibu Aflah, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasihat Akademik Penulis selama mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini; 12.Seluruh Dosen pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

baik yang masih mengabdikan diri ataupun yang sudah pensiun;

13.Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 14.Seluruh pihak yang telah membantu dalam memperoleh data dan wawancara

di Pengadilan Negeri Medan, Kejaksaan Negeri Medan dan Kepolisian Resort Kota Medan.

15.Teman-Teman seperjuangan di Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) komisariat Fakultas Hukum yang merupakan keluarga penulis di kampus dan menjadi tempat yang memberikan banyak pelajaran berharga kepada penulis.

16. Seluruh teman-teman dan orang yang telah hadir di dalam kehidupan penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terimakasih buat semuanya karena penulis mendapat pelajaran yang banyak dari kalian.


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……… i

DAFTAR ISI………... iv

ABSTRAKSI………... vi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang...……… 1

B.Perumusan Masalah.……….. 7

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan………... 8

D.Keaslian Penulisan……… 9

E.Tinjauan Pustaka………...………... 11

1. Pengertian Pidana………..………. 11

2. Pengertian Pidana Denda………...………...13

3. Pengertian Lalu Lintas dan Pelanggaran Lalu Lintas………... 14

F.Metode Penelitian………...……….. 17

G.Sistematika Penulisan………...………... 20

BAB II PANDANGAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENERAPAN PIDANA DENDA PADA PELANGGARAN LALU LINTAS A. Kerangka Teoritik Pidana Denda dalam Hukum Pidana………...………. 23

B. Pengaturan Pidana dalam KUHP………...………. 27

C. Pidana Denda Dalam Sistem Pemidanaan Pelanggaran Lalu Lintas...…. 32

BAB III PENERAPAN PIDANA DENDA DALAM PELANGGARAN LALU


(7)

A. Faktor Penyebab Terjadinya Pelanggaran Lalu Lintas di Kota Medan….. 46 B. Keberadaan dan Pelaksanaan Pidana Denda dalam Penerapan Sanksi

terhadap Pelanggaran Lalu Lintas di Medan……….………….. 52 C. Efektifitas Penerapan Pidana Denda dalam Pelanggaran Lalu Lintas

di Medan………...……….. 63

BAB IV ANALISA PENERAPAN PIDANA DENDA DALAM PELANGGARAN

LALU LINTAS DALAM PUTUSAN TILANG DI MEDAN

1. Putusan Register Nomor 63457 Pengadilan Negeri Medan…...…………. 71 A. Kronologis Kasus………...………. 71 B. Putusan………...………. 72 C. Analisa Kasus………...………... 73 2. Putusan Register Nomor 68225 Pengadilan Negeri Medan…………...…. 75 A. Kronologis Kasus………...………... 75

B. Putusan………...………... 76

C. Analisa Kasus………..……….…. 77

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan………..……….….. 80

B.Saran………..………. 83


(8)

ABSTRAKSI

Prof. Dr. Suwarto, S.H.,M.H.*

Dr. Marlina, SH.,M.Hum.* *

Ferdian Ade Cecar Tarigan * * *

Transportasi merupakan sarana yang digunakan masyarakat untuk melakukan aktifitasnya. Transpotasi harus digunakan sesuai dengan peruntukannya dan pengoperasiannya harus sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan, namun dalam kenyataannya masih sering ditemui masyarakat yang menggunakan transportasi tidak berdasarkan pada peraturan yang berlaku. Mengatasi hal tersebut pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-Undang ini menjadi dasar penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas. Ketentuan mengenai penerapan denda terhadap setiap pelanggar lalu lintas secara jelas telah diatur dalam undang-undang tersebut. Permasalahan yang diambil dari penulisan skripsi ini adalah bagaimana pandangan hukum pidana terhadap penerapan pidana denda pada pelanggaran lalu lintas, bagaimana penerapan pidana denda dalam pelanggaran pidana lalu lintas di Medan serta bagaimana analisa putusan tilang di Medan terhadap penerapan pidana denda dalam pelanggaran lalu lintas.

Metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normatif guna memperoleh data primer dan sekunder dengan mempelajari perundang-undangan, buku-buku teks baik yang sifatnya umum maupun yang bersifat khusus. Di samping itu untuk memperoleh data primer telah dilakukan suatu penelitian lapangan dengan cara mewawancarai para pihak yang terlibat dalam masalah ini.

Berdasarkan hasil penelitian, penerapan pidana denda terhadap pelanggaran lalu lintas diatur dalam ketentuan pidana Pasal 273 sampai Pasal 315 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009. Undang-Undang-undang ini menggantikan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 karena tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan penyelanggaraan lalu lintas dan angkutan jalan saat ini. Pengadilan Negeri Medan telah menetapkan besarnya denda tilang yang harus dibayar pelanggar yang melanggar ketentuan sesuai dengan koordinasi antara Pengadilan, Kejaksaan dan Kepolisian yang membuat suatu tabel tilang. Besarnya denda tilang tersebut didasarkan oleh kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di Kota Medan. Penerapan denda tilang ternyata belum efektif untuk mencegah dan mengendalikan pelanggaran lalu lintas, hal ini ditunjukkan dari angka pelanggaran lalu lintas di Kota Medan yang masih tinggi. Kurang efektifnya tidak terlepas dari fajtor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan undang-undang tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah denda tilang yang ada di Kota Medan masih dalam kategori rendah. Hal ini yang menyebabkan tidak adanya efek jera, akan tetapi efektifitas dari penerapan sanksi denda terhadap pelaku pelanggaran lalu lintas bukan melihat besarnya denda yang dijatuhi kepada si pelanggar akan tetapi perlu adanya suatu kebijakan yang menyeluruh baik dalam bidang legislatif, yudikatif dan eksekutif.

*

Dosen Pembimbing I

* *

Dosen Pembimbing II

* * *


(9)

ABSTRAKSI

Prof. Dr. Suwarto, S.H.,M.H.*

Dr. Marlina, SH.,M.Hum.* *

Ferdian Ade Cecar Tarigan * * *

Transportasi merupakan sarana yang digunakan masyarakat untuk melakukan aktifitasnya. Transpotasi harus digunakan sesuai dengan peruntukannya dan pengoperasiannya harus sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan, namun dalam kenyataannya masih sering ditemui masyarakat yang menggunakan transportasi tidak berdasarkan pada peraturan yang berlaku. Mengatasi hal tersebut pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-Undang ini menjadi dasar penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas. Ketentuan mengenai penerapan denda terhadap setiap pelanggar lalu lintas secara jelas telah diatur dalam undang-undang tersebut. Permasalahan yang diambil dari penulisan skripsi ini adalah bagaimana pandangan hukum pidana terhadap penerapan pidana denda pada pelanggaran lalu lintas, bagaimana penerapan pidana denda dalam pelanggaran pidana lalu lintas di Medan serta bagaimana analisa putusan tilang di Medan terhadap penerapan pidana denda dalam pelanggaran lalu lintas.

Metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normatif guna memperoleh data primer dan sekunder dengan mempelajari perundang-undangan, buku-buku teks baik yang sifatnya umum maupun yang bersifat khusus. Di samping itu untuk memperoleh data primer telah dilakukan suatu penelitian lapangan dengan cara mewawancarai para pihak yang terlibat dalam masalah ini.

Berdasarkan hasil penelitian, penerapan pidana denda terhadap pelanggaran lalu lintas diatur dalam ketentuan pidana Pasal 273 sampai Pasal 315 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009. Undang-Undang-undang ini menggantikan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 karena tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan penyelanggaraan lalu lintas dan angkutan jalan saat ini. Pengadilan Negeri Medan telah menetapkan besarnya denda tilang yang harus dibayar pelanggar yang melanggar ketentuan sesuai dengan koordinasi antara Pengadilan, Kejaksaan dan Kepolisian yang membuat suatu tabel tilang. Besarnya denda tilang tersebut didasarkan oleh kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di Kota Medan. Penerapan denda tilang ternyata belum efektif untuk mencegah dan mengendalikan pelanggaran lalu lintas, hal ini ditunjukkan dari angka pelanggaran lalu lintas di Kota Medan yang masih tinggi. Kurang efektifnya tidak terlepas dari fajtor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan undang-undang tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah denda tilang yang ada di Kota Medan masih dalam kategori rendah. Hal ini yang menyebabkan tidak adanya efek jera, akan tetapi efektifitas dari penerapan sanksi denda terhadap pelaku pelanggaran lalu lintas bukan melihat besarnya denda yang dijatuhi kepada si pelanggar akan tetapi perlu adanya suatu kebijakan yang menyeluruh baik dalam bidang legislatif, yudikatif dan eksekutif.

*

Dosen Pembimbing I

* *


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pidana denda merupakan salah satu bagian dari pidana pokok yang ditentukan dalam pasal 10 KUHP yang digunakan sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal dalam Buku II dan Buku III KUHP, dalam perjalanannya dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal, antara lain menurunnya nilai mata uang yang mengakibatkan keengganan penegak hukum untuk menerapkan pidana denda. Selain itu, pidana penjara masih di nomor satukan dalam penetapan dan penjatuhan pidana dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan, terutama tercapainya efek jera bagi pelaku dan tercapainya pencegahan umum.1

Pidana denda dapat disetarakan dengan pidana penjara yang selama ini diakui sebagai pidana yang efektif untuk penjeraan. Pidana denda dapat menciptakan hasil yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tujuan pemidanaan yang diharapkan yaitu efek jera. Pidana denda akan selalu menjadi pertimbangan oleh penegak hukum, terutama hakim dalam memutus perkara pidana. Pidana denda harus dapat dirasakan sebagai penderitaan bagi pelaku tindak pidana (dalam bentuk kesengsaraan secara materi yang menimbulkan kerugian karena merasa materi durugikan dengan menyita harta benda untuk menutupi denda yang belum atau tidak dibayar dengan cara

1

Suhariyono AR, Pembaruan Pidana Denda Indonesia (Jakarta, Papas Sinar Sinanti, 2012) hal.9.


(11)

pelelangan). Pidana denda diharapkan pula dapat membebaskan rasa bersalah kepada terpidana dan sekaligus memberikan kepuasan kepada pihak korban.2

Efektivitas pidana denda masih jauh dari tujuan pemidanaan karena pidana denda belumlah mempunyai fungsi dan peran yang optimal. Fungsi dan peran pidana denda belum optimal karena para penegak hukum masih cenderung untuk memilih pidana penjara ataupun kurungan daripada pidana denda. Kondisi ini dikarenakan juga peraturan perundang-undangan yang ada kurang memberikan dorongan dilaksanakannya penjatuhan pidana denda sebagai pengganti atau alternatif pidana penjara atau kurungan. Sebaliknya, faktor kemampuan masyarakat juga menyebabkan belum berfungsinya pidana denda jika suatu undang-undang memberikan ancaman pidana denda yang relatif tinggi. Pidana denda yang ditentukan sebagai ancaman kumulatif akan mengakibatkan peran dan fungsi pidana denda sebagai pidana alternatif ataupun pidana tunggal belum mempunyai tempat yang wajar dan memadai dalam kerangka tujuan pemidanaan, terutama untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara jangka pendek dan tindak pidana yang bermotifkan atau terkait dengan harta benda atau kekayaan.3

Pelaku dalam pidana denda seharusnya membayar sendiri pidana denda yang dijatuhkan, walaupun dengan pemaksaan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini jaksa penuntut umum melakukan penyitaan (sementara). Pidana denda dapat dijadikan salah satu pemasukan negara sebagai penghasilan negara bukan pajak (PNBP). Pola pidana denda harus ditetapkan dan dilaksanakan secara konsisten dengan mendasarkan pada kepentingan hukum seseorang atau

2


(12)

masyarakat yang dilindungi. Penentuan pola pidana yang telah ditetapkan perlu dijadikan dasar untuk melakukan pengharmonisasian peraturan perundang-undangan, baik peraturan yang telah dibentuk maupun peraturan yang akan atau sedang dibentuk.4

Pidana denda adalah pemberian sejumlah uang tertentu sebagai ganti kerugian atas pelanggaran yang dilakukan. Salah satu bentuk tindak pidana yang dikenakan dengan pidana denda adalah tindak pidana terhadap pelanggaran lalu lintas. Delik-delik yang terdapat dalam perkara pelanggaran lalu lintas hanya bersifat ringan sehingga hakim lebih cederung menjatuhkan pidana denda kepada setiap pelanggar lalu lintas.5

Di Indonesia pengaturan tentang lalu lintas dan angkutan jalan secara nasional diatur di dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-undang ini menjadi dasar pedoman dalam penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas. Ketentuan mengenai pidana denda terhadap setiap pelanggaran lalu-lintas secara jelas telah diatur dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tersebut..

Pelaksanaan penerapan pidana denda di masing-masing daerah berpedoman kepada tabel denda tilang dari hasil koordinasi antara Ketua Pengadilan Negeri, Kepala Kepolisian dan Kepala Kejaksaan Negeri setempat. Penetapan tabel denda ini didasarkan dengan pertimbangan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat, dengan demikian tabel pidana denda dari

masing-4

Ibid.

5

Niniek Suparni,Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan (Jakarta:Sinar Grafik,2007) hal.24.


(13)

masing daerah akan bervariasi besar anggaran dananya. Dasar hukum berlakunya penetapan tabel denda tilang tersebut adalah berdasarkan SEMA nomor 4 tahun 1993. Mahkamah Agung bersama dengan Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia tertanggal 19 Juni 1993 telah mengeluarkan kesepakatan tentang “Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Tertentu” yang terutama dimaknai sebagai kesepakatan bersama dalam menentukan besarnya pidana denda yang harus dibayar oleh pelanggar lalu lintas dengan memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Tertentu hingga saat ini SEMA tersebut masih menjadi acuan dalam pembuatan kesepakatan di tingkat daerah untuk menentukan besarnya pidana denda yang harus dibayarkan oleh para pelanggar lalu lintas.6

SEMA Nomor 4 Tahun 1993 kemudian diimplementasikan oleh Ketua Pengadilan Negeri dengan melakukan kesepakatan bersama Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Kepolisian Resort/ Kota Besar untuk menentukan kisaran besaranya pidana denda yang disesuaikan dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat.

Kesepakatan Ketua Pengadilan Negeri, Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Kepolisian Resort/ Kota Besar pada umumnya dituangkan dalam bentuk tertulis sebagai pedoman bagi polisi di jalan yang melakukan penindakan bagi

6


(14)

para pelanggar lalu lintas dan bagi Hakim dalam memutuskan besarnya pidana denda yang harus dibayar oleh pelanggar untuk disetorkan kepada negara melalui jaksa selaku eksekutor negara.

Pengadilan Negeri Medan telah menyikapi hal tersebut dan telah melakukan kesepakatan secara lisan antara Ketua Pengadilan Negeri Medan, Kepala Kejaksaan Negeri Medan dan Kepala Kepolisian Medan yang kemudian oleh Ketua Pengadilan dituangkan dalam suatu tabel jenis pelanggaran dan besarnya pidana denda yang kemudian menjadi acuan bagi Hakim dalam memutuskan besarnya pidana denda yang harus dibayarkan kepada negara oleh pelanggar.

Contoh dari penerapan pidana denda yang penulis peroleh dari Pengadilan Negeri Medan ialah seorang pelanggar lalu lintas bernama Faisal yang beralamat jalan Binjai km 10 pekerjaan wiraswasta berumur 26 tahun yang mengendarai sepeda motor bernomor polisi BK 2041 UH pada tanggal 14 juli 2012 ditilang polisi dengan nomor regisiter tilang 3340829 karena melanggar pasal 288 (2) UULAJ Yo.211,212 PP 44 tahun 1993 (tidak dapat menunjukkan surat izin mengemudi (SIM)) dan pasal 290 dan 291 (1)(2) UULAJ Yo.70 PP 43 tahun 1993 (melanggar kewajiban menggunakan helm bagi pengemudi atau penumpang sepeda motor) di daerah Aksara wilayah hukum Polresta Medan dan berdasarkan pasal 16 sub a dan e UU no 2 tahun 2002 dan pasal 39 dan pasal 40 UU no 8 tahun 1981 dan pasal 260 UU nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan maka polisi menyita sebuah STNK pelanggar tersebut. Persidangan tilang yang dilakukan di pengadilan negeri Medan, terdakwa


(15)

diharuskan membayar denda Rp.100.000,- dan biaya perkara Rp.500,- atau subsider 3 hari kurungan. Hal yang terlihat disini bahwa jumlah denda yang dibayarkan oleh terdakwa tidak sesuai dengan tabel denda tilang sesuai hasil koordinasi antara Kapoltabes MS, Kajari Medan dan Ketua Pengadilan Negeri Medan. Putusan hakim tersebut akan tetapi tidak bertentangan dengan UULAJ. Terdakwa hanya dikenakan denda sebesar Rp.100.000,- yang seharusnya terdakwa dikenakan denda sebesar Rp.160.000,- yakni denda Rp.100.000,- karena melanggar pasal 288 (2) UULAJ Yo.211,212 PP 44 tahun 1993 (tidak dapat menunjukkan surat izin mengemudi (SIM)) dan Rp.60.000,- karena melanggar pasal 290 dan 291 (1)(2) UULAJ Yo.70 PP 43 tahun 1993 (melanggar kewajiban menggunakan helm bagi pengemudi atau penumpang sepeda motor) apabila denda yang dikenakan didasarkan oleh tabel denda tilang sesuai hasil koordinasi antara kapoltabes MS, kajari Medan dan ketua pengadilan negeri Medan.

Contoh lain yang penulis dapat ialah seorang pelanggar lalu lintas bernama Imam Hanadi yang beralamat di jalan Sei Serayu nomor 4 pekerjaan pelajar berumur 18 tahun yang mengendarai sepeda motor bernomor polisi BK 2677 SJ pada tanggal 22 Juli 2012 ditilang polisi dengan nomor register tilang 3368552 karena melanggar pasal 293 (2) dan 107 (2) di daerah lapangan benteng wilayah hukum Polresta Medan dan berdasarkan pasal 16 sub a dan e UU no 2 tahun 2002 dan pasal 39 dan pasal 40 UU no 8 tahun 1981 dan pasal 260 UU nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan maka polisi menyita sebuah STNK pelanggar tersebut. Persidangan tilang yang dilakukan di pengadilan negeri


(16)

Medan, terdakwa diharuskan membayar denda Rp.40.000,- dan biaya perkara Rp.500,- atau subsider 3 hari kurungan. Hal yang terlihat disini bahwa jumlah denda yang dibayarkan oleh terdakwa sesuai dengan tabel denda tilang sesuai hasil koordinasi antara kapoltabes MS, kajari Medan dan ketua pengadilan negeri Medan.

Penerapan pidana denda pada pelanggaran lalu lintas di kota Medan belum sepenuhnya dilaksanakan mengacu atau berpedoman kepada tabel denda tilang tersebut. Berdasarkan contoh kasus yang telah diuraikan diatas, penerapan pidana denda terhadap kedua kasus di atas menunjukkan adanya perbedaan pandangan hakim dalam penerapan jumlah dendanya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk menuangkan tulisan ini dalam bentuk skripsi yang berjudul “PENERAPAN PIDANA DENDA DALAM HUKUM PIDANA (STUDI PELANGGARAN

LALU LINTAS DI MEDAN)”

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana pandangan hukum pidana terhadap penerapan pidana denda pada pelanggaran lalu-lintas ?

2. Bagaimana penerapan pidana denda dalam pelanggaran lalu-lintas di Medan ?


(17)

3. Bagaimana analisa penerapan pidana denda dalam pelanggaran lalu-lintas dalam putusan tilang di Medan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah yang bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia khususnya tentang hukum yang mengatur tentang penerapan pidana denda serta mampu memberikan masukan bagi pembaruan pidana denda di Indonesia. Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi penulis yang berjudul “PENERAPAN PIDANA DENDA DALAM HUKUM PIDANA (STUDI PELANGGARAN LALU

LINTAS DI MEDAN)” sesuai dengan permasalahan yang diajukan antara lain dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum pidana terhadap penerapan pidana denda pada pelanggaran pidana lalu-lintas.

b. Untuk mengetahui penerapan pidana denda dalam pelanggaran pidana lalu-lintas di Medan.

c. Untuk mengetahui. analisa penerapan pidana denda dalam pelanggaran lalu-lintas dalam putusan-putusan tilang di Medan.

2. Manfaat Penulisan

Bertolak dari rumusan masalah dan tujuan penelitian sebagaimana dikemukakan di atas, maka kegunaan dan manfaat penulisan yang diharapkan dari penelitian ini, adalah :


(18)

1) Manfaat Teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan bacaan di dalam menguraikan bagaimana perspektif hukum pidana terhadap penerapan pidana denda pada pelanggaran lalu-lintas, mulai dari kerangka teoritik pidana denda dalam hukum pidana, pengaturan hukum menyangkut pidana denda, serta pidana denda itu sendiri dalam sistem pemidanaannya terhadap pelanggaran lalu lintas

2) Manfaat Praktis, diharapkan dengan dikemukakannya tentang bagaimana penerapan pidana denda dalam pandangan hukum pidana baik itu menyangkut efektifitasnya, eksistensinya, implementasinya, serta hambatannya hingga sampai pada upaya mengatasi hambatan tersebut dapat memberikan suatu pengetahuan serta pencerahan.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan Skripsi yang berjudul ” Penerapan Pidana Denda Dalam Hukum Pidana (Studi Pelanggaran Lalu Lintas Di Medan) ” adalah hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini menurut sepegetahuan penulis belum pernah ada yang membuat. Kalaupun ada seperti beberapa judul skripsi yang diuraiakan dibawah ini, penulis yakin bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Penulis juga telah melewati pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di Perpustakaan Fakultas Hukum USU. Hal ini dapat mendukung tentang keaslian penulisan.


(19)

Adapun judul-judul yang telah ada di perpustakaan universitas cabang Fakultas Hukum yang mirip yang penulis temukan adalah :

1. Nama : Erwin H. Simanjuntak Nim : 050200007

Judul : Penyelesaian hukum terhadap anak dalam perkara kecelakaan lalulintas (studi polres labuhan batu)

2. Nama : David Ondian Panggabean Nim : 050200187

Judul : Tindak pidana di bidang lalulintas dan angkutan jalan menurut UU No 22 Tahun 2009 dan upaya penanggulangannya (Studi Satlantas Poltabes Medan)

3. Nama : Hotman Silalahi Nim : 030221028

Judul : kecelakaan lalulintas di jalan raya suatu tinjauan teori kelaparan 4. Nama : Nova Ratna Miranda

Nim : 050200309

Judul : Penegakan hukum pidana dalam kecelakaan lalulintas (studi kasus PN Kabanjahe)

5. Nama : Aser br. Ginting’ Nim : 070200363


(20)

Judul : Kajian yuridis pidana denda pada pelaku tindak pidana menjual minuman beralkohol tanpa izin (studi putusan PN Balige No.01/Pid.c/TPR/2010/PN.Blg)

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Pidana

Stelsel pidana merupakan bagian dari hukum penitensier yang di dalamnya berisikan tentang jenis pidana, cara dan dimana menjalankannya, begitu juga mengenai pengurangan, penambahan, dan pengecualian penjatuhan pidana. Hukum penitensier juga di samping itu berisi tentang sistem tindakan (maatregel stelsel). Dalam usaha negara mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban, melindunginya dari penyimpangan terhadap berbagai kepentingan hukum, secara represif disamping diberi hak dan kekuasaan untuk menjatuhkan pidana, negara juga diberi hak untuk menjatuhkan tindakan (maatregelen). 7

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.8

Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan

7

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Jakarta: RajaGrafindo,2010) hal.23.

8


(21)

hukum pidana yang secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit).9

Pergaulan manusia dalam kehidupan masyarakat tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Manusia selalu diharapkan pada masalah-masalah atau pertentangan dan konflik kepentingan antar sesamanya. Keadaan yang demikian ini hukum diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan ketertiban dalam masyarakat.

Istilah hukum pidana dalam bahasa Belanda disebut dengan Strafrecht sedangkan dalam bahasa Inggris istilah pidana disebut dengan Criminal Law.

Pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas. Beberapa pendapat dari para Sarjana tentang pidana yaitu sebagai berikut :

Menurut Sudarto : Pidana adalah nestapa yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.10

Pemberian nestapa atau penderitaan yang sengaja dikenakan kepada seorang pelanggar ketentuan Undang-undang tidak lain dimaksudkan agar orang itu menjadi jera. Hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam mempetahankan norma-norma yang diakui dalam hukum. Sanksi yang tajam dalam hukum pidana inilah yang membedakannya dengan bidang-bidang hukum yang lain. Inilah sebabnya mengapa hukum pidana harus dianggap sebagai sarana

9


(22)

terakhir apabila sanksi atau upaya-upaya pada bidang hukum yang lain tidak memadai.

Menurut Roeslan Saleh dalam buku Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa pidana adalah reaksi-reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestafa yang sengaja ditampakan negara kepada pembuat delik.11

Pengertian pidana menurut Roeslan Saleh ini pada dasarnya hampir sama dengan pengertian pidana dari Sudarto, yaitu bahwa pidana berwujud suatu nestapa, diberikan oleh negara, kepada pelanggar. Reaksi-reaksi atas delik yang dikemukakan oleh Roeslan Saleh ini menunjukkan bahwa suatu delik dapat memberikan reaksinya atau imbalannya apabila dilanggar, yaitu berupa ancaman hukuman atau pidana.

Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan adalah sinonim dari perkataan penghukuman. Tentang hal tersebut beliau berpendapat bahwa :12

“Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata, oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam arti pidana, yaitu kerap kali dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan sentence atau veroordeling.”

Pemidanaan atau pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim, merupakan pengertian “penghukuman” dalam arti sempit yang mencakup bidang hukum pidana saja; dan maknanya sama dengan sentence atau veroordeling, misalnya

11

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1987) hal.5.

12


(23)

dalam pengertian sentence conditionally atau voorwaardelijk veeroordeeld yang sama artinya dengan “dihukum bersyarat” atau “dipidana bersyarat”.13

2. Pengertian Pidana Denda

Pidana denda adalah pemberian sejumlah uang tertentu sebagai ganti kerugian atas pelanggaran yang dilakukan. Pidana denda sebagai bagian dari pidana pokok, belum dikupas secara mendalam oleh para ahli hukum pidana apakah pidana denda dapat disejajarkan dengan pidana hilang kemerdekaan, atau jika tidak disejajarkan apakah pidana denda dapat dikatakan mempunyai efek jera bagi pelaku tindak pidana sebagaimana dikupas dalam tujuan pemidanaan. Pada saat pidana denda digunakan dan ditentukan sebagai pidana alternatif atau pidana yang diancamkan secara tunggal dalam beberapa pelanggaran yang ditentukan dalam buku III KUHP, maka orang beranggapan bahwa pidana denda sebagai bagian dari pidana pokok, akam mempunyai efek jera dan hal ini merupakan bagian dari penderitaan.14

Pidana denda juga bisa dipandang sebagai alternatif pidana pencabutan kemerdekaan. Sarana dalam politik kriminal pidana tidak kalah efektifnya dari pidana pencabutan kemerdekaan. Pada dasarnya, sedapat mungkin denda itu harus dibayar oleh terpidana dan untuk pembayaran itu ditetapkan tenggang waktu. Denda yang dibayar itu dapat diambilkan dari kekayaan atau pendapatan terpidana sebagai gantinya. Pengertian “apabila keadaan mengizinkan” berarti terpidana mampu, akan tetapi tidak mau melunasi dendanya. Usaha pengganti itu tidak

13

Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981) hal.42.

14


(24)

mungkin, maka pidana penjara pengganti dikenakan kepadanya. Ketentuan agar terpidana sedapat mungkin membayar dendanya harus diartikan bahwa kepadanya diberi kesempatan oleh Hakim untuk mengangsur dendanya.15

Mengingat tujuan pemidanaan yang tidak berupa pembalasan, maka dalam penjatuhan pidana denda hakim harus memperhatikan kemampuan terpidana secara nyata.

3. Pengertian Lalu Lintas dan Pelanggaran Lalu Lintas

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu kesatuan sistem yang terdiri atas lalu lintas, angutan jalan, jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, kendaraan, pengemudi, pengguna jalan serta pengelolaannya. Lalu lintas adalah gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan.16 Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, bahwa lalu lintas adalah perjalanan bolak-balik; perihal perjalanan dijalan dan sebagainya; perhubungan antara sebuah tempat. Subekti juga memberikan definisi tentang lalu lintas adalah sebagai berikut: “segala penggunaan jalan umum dengan suatu pengangkutannya”.17 Dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian lalu lintas dalam arti luas adalah hubungan antar manusia dengan ataupun tanpa disertai alat penggerak dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan jalan sebagai ruang geraknya.

Sebenarnya seorang pengemudi kendaraan bermotor tidak menginginkan terjadinya gangguan kendaraan selama perjalanan, baik itu gangguan ringan

15

Niniek Suparni, Lop.Cit, hal.36.

16

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

17

www.scribd.com/doc/58869746/3/pengertian-lalu-lintas-dan-pelanggaran-lalu-lintas


(25)

seperti mogok maupun gangguan yang terberat. Pengemudi yang mengalami keterlambatan sampai ke tujuan, gangguan tersebut dapat juga mengakibatkan timbulnya kemacetan, pelanggaran atau kemacetan lalu lintas.

Pelanggaran lalu lintas atau yang sering disebut dengan tilang merupakan perbuatan atau tindakan seseorang yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas. Pelanggaran yang dimaksud tersebut adalah sebagaimana yang diatur dalam pasal 106 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 yang berbunyi: setiap orang yang menggunakan jalan wajib:

a. Berperilaku tertib;dan/atau

b. Mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan keselamatan lalu lintas dang angkutan jalan, atau dapat menimbulkan kerusakan jalan.

Ketentuan tersebut apabila dilanggar, maka dikualifikasikannya sebagai salah satu pelanggaran yang terlibat dalam kecelakaan.

Hal ini dapat dihubungkan dengan kenyataan yang terjadi dalam praktek sehari-hari dimana pemberian sanksi terhadap pelaku pelanggaran ternyata memang pada umumnya lebih ringan daripada sanksi pelaku kejahatan. KUHP tidak memberikan pengertian atau definisi tentang pelanggaran. Untuk menguraikan tentang pengertian pelanggaran, maka dikemukakan beberapa pendapar sarjana hukum, diantaranya adalah Wirjono Prodjodikoro yang mengatakan bahwa pelanggaran (overtredingen) berarti suatu perbuatan yang melanggar suatu dan berhubungan dengan hukum, berarti tidak lain daripada perbuatan melanggar hukum.


(26)

Menurut Bambang Poernomo bahwa pelanggaran adalah politis-on recht dan kejahatan adalah crimineel-on recht. Politis-on recht itu merupakan perbuatan yang tidak menaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa Negara. Crimineel-on recht itu merupakan perbuatan yang bertentangn dengan undang-undang.18

Dapat diambil kesimpulan bahwa unsur-unsur pelanggaran adalah sebagai berikut:

a. Adanya perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang

b. Menimbulkan akibat hukum. Jadi harus mempertanggungajawabkan atas perbuatan tersebut.

Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, maka yang dimaksud dengan pelanggaran lalu lintas adalah perbuatan atau tindakan seseorang yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas dan angkutan jalan atau peraturan perundang-undangan lainnya.

F. Metode Penelitian

Metode diartikan sebagai suatu jalan atau suatu cara untuk mencapai sesuatu.

1) Jenis Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum dibagi menjadi dua yaitu:19 a. Penelitian Hukum Normatif, yaitu: metode penelitian hukum yang

dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder dengan

18

Bambang Poernomo, Azas-Azas Hukum Pidana (Bandung : Citra Aditya, 2002) hal.48.

19


(27)

pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap peraturan perundang-undangan dalam kerangka hukum nasional Indonesia sendiri. b. Penelitian Hukum Sosiologis atau empiris adalah metode penelitian yang

dilakukan untuk mendapatkan data primer dan menemukan kebenaran dengan menggunakan metode berpikir induktif .

Untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian hukum adalah yuridis normative. Maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian juridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif mengenai pengaturan penerapan pidana denda dalam pelanggaran lalu lintas. Hal ini ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan. Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normative maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pidana denda dan mengenai hal pelanggaran lalu lintas.

2) Jenis Data dan Sumber Data

Data dapat dibagi menjadi 2 yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah mengunakan data primer dan data sekunder.

a. Bahan Hukum Primer, yaitu :

Berbagai dokumen peraturan perundang-undangan yang tertulis yang ada dalam dan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam kerangka hukum nasional Indonesia yakni Undang-undang Nomor Pasal-Pasal dalam KUHP,


(28)

KUHAP, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu :

Bahan-bahan yang berkaitan erat dengan bahan hukum primer dan dapat digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang ada. Semua dokumen yang dapat menjadi sumber informasi mengenai pidana denda dan pelanggaran lalu lintas, seperti hasil seminar atau makalah dari pakar hukum, Koran, majalah, dan juga sumber-sumber lain yakni internet yang memiliki kaitan erat dengan permasalahan yang dibahas.

a. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, adalah :

a) Library Research, yaitu penelitian kepustakaan seperti melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan, dan dokumen serta literatur yang berkaitan dengan persoalan yang dikaji.

b) Field Research, yaitu penelitian lapangan, yang dilakukan melalui wawancara terhadap informan. Penulis melakukan wawancara di Pengadilan Negeri Medan dengan informan Baslin Sinaga S.H, M.H hakim Pengadilan Negeri Medan dan Jonny Sitohang S.H, M.H hakim Pengadilan Negeri Medan, Kejaksaan Negeri Medan dengan informan Amrizal Fahmy S.H jaksa tilang di Kejaksaan Negeri Medan dan Agustinus Perangin-angin S.H. jaksa di Kejaksaaan Negeri Medan dan Poltabes Medan dengan informan M.H Sitorus S.H. Kepala Urusan


(29)

Pembinaan Operasional Polantas Medan dan Benny S.H. polisi lalu lintas di poltabes Medan.

b. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan deskriptif kualitatif. Metode deskriptif yaitu mengambarkan secara menyeluruh tentang apa yang menjadi pokok permasalahan. Kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

Secara sistematis, organisasi penelitian dan penulisan skripsi ini, dirumuskan sebagai berikut :

Bab I. PENDAHULUAN

Terdiri atas sub-sub bab yang datangnya dari penulis, terhadap topik dan atau pokok persoalan yang akan diteliti dan dibahas. Sub-sub bab yang dimaksud adalah : Latar Belakang Penelitian, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keasliaan Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode penelitian dan terakhir Sistematika Penulisan.

Bab II. PANDANGAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENERAPAN PIDANA DENDA PADA PELANGGARAN LALU LINTAS


(30)

Berisikan mengenai bab-bab pembahasan, yang merupakan pokok permasalahan yang dibahas dalam skripsi dan terorganisir dalam beberapa bab yang tersusun secara logis, yang terdiri atas sub-sub bab : Kerangka Teori Pidana Denda dalam Hukum Pidana, Pengaturan Pidana dalam KUHP, Pidana Denda Dalam Sistem Pemidanaan Pelanggaran Lalu Lintas.

Bab III. PENERAPAN PIDANA DENDA DALAM PELANGGARAN LALU LINTAS DI MEDAN

Berisikan uraian-uraian mengenai pokok permasalahan yang menitik beratkan kepada bagaimana sistem penerapan pidana denda itu sendiri dalam sistem Pelanggaran Lalu Lintas khususnya di Medan mulai dari eksistensi diterapkannya pidana denda dalam Pelanggaran Lalu Lintas, implementasi pidana denda sebagai salah satu bentuk pemidanaan serta hambatan yang terjadi pada penerapan pidana denda dalam pelanggaran lalu lintas khususnya yang terjadi di Medan setelah melalui pengamatan serta penelitian yang dilakukan. Terdiri dari sub-sub bab : Faktor Penyebab Terjadinya Pelanggaran Lalu Lintas di Kota Medan, Keberadaan dan Pelaksanaan Pidana Denda dalam Penerapan Sanksi terhadap Pelanggaran Lalu Lintas di Medan hingga Efektifitas Penerapan Pidana Denda dalam Pelanggaran Lalu Lintas di Medan.

Bab IV. ANALISA PENERAPAN PIDANA DENDA DALAM

PELANGGARAN LALU LINTAS DALAM PUTUSAN TILANG DI MEDAN


(31)

Berisi hasil dari penelitian yang isinya hasil analisa dari putusan-putusan tilang dalam pelanggaran lalu lintas di Medan. Terdiri dari sub-sub bab : Putusan dengan Register Nomor perkara tilang yang akan dianalisis dan analisis kasus putusan register nomor tersebut

Bab V. KESIMPULAN DAN SARAN

Berisikan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap permasalahan-permasalahan yang ada dan saran-saran penulis dari hasil penelitian untuk perbaikan hukum kedepan khususnya yang berhubungan dengan penerapan pidana denda dalam pandagnan hukum pidana. Terdiri dari sub-sub bab : Kesimpulan dan Saran


(32)

BAB II

PANDANGAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENERAPAN

PIDANA DENDA PADA PELANGGARAN LALU LINTAS

A. Kerangka Teori Pidana Denda dalam Hukum Pidana

Pidana denda merupakan salah satu jenis dari pidana pokok dalam hukum pidana Indonesia yang merupakan bentuk pidana tertua dan lebih tua dari pidana penjara dan setua pidana mati. Pidana denda terdapat pada setiap masyarakat, termasuk masyarakat primitif walaupun bentuknya bersifat primitif karena sejak zaman majapahit sampai beberapa masyarakat primitif dan tradisional mengenal pidana denda tersebut.20

Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban bagi seorang yang telah melanggar larangan dalam rangka mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus kesalahan dengan pembayaran sejumlah uang tertentu. Pidana denda tersebut diancam sebagai alternatif dengan pidana kurungan terhadap hamper semua pelanggaran yang ditentukan dalam buku III KUHP dan Undang-undang diluar KUHP. Ranah pidana denda hanya dapat disejajarkan atau disamaratakan dengan ancaman pidana untuk kejahatan ringan, kejahatan karena kealpaan, pelanggaran, atau pidana penjara jangka pendek lainnya. Ukuran atau kesamarataan pidana denda sebagai alternatif atau sebagai pengganti penjara atau kurungan, dalam perkembangannya, masih fluktuatif. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan pembentukan Undang-undang diluar KUHP.21

20

Andi hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita, 1993. hal.53.

21


(33)

Penjatuhan pidana denda sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek yang merupakan jenis pidana pokok yang paling jarang dijatuhkan oleh para Hakim, khususnya dalam praktek peradilan di Indonesia.22 Pengadilan jarang menjatuhkan pidana denda terhadap suatu perkara kejahatan. Hal ini disebabkan oleh karena ancaman pidana denda tidak akan menjadi selaras lagi dengan nilai mata uang yang berlaku. Ancaman maksimum pidana denda adalah berkisar antara Rp.900,- sampai dengan Rp.150.000,- kecuali ancaman pidana denda yang diatur dalam Undang-undang Hukum Pidana Khusus. Di samping itu sikap Hakim terhadap penilaian pada ancaman pidana denda cenderung digunakan hanya untuk tindak pidana yang ringan-ringan saja, sehingga pidana penjara tetap merupakan yang utama.23

Hal yang sama dengan pendapat Sudarto bahwa pidana denda juga bisa dipandang sebagai alternatif dari pidana pencabutan kemerdekaan. Di Eropa Barat, pidana ini bahkan menjadi lebih penting daripada pidana pencabutan kemerdekaan dan dipandang sebagai tidak kalah efektifnya, khususnya bagi orang tertentu menurut keadaannya.24 Pidana denda sebagai salah satu jenis sanksi hukum adalah bagian dari hukum penitensier, yakni hukum yang mengatur atau yang memberi aturan tentang stelsel sanksi.25

22

Andi Hamzah, Op.cit, hal.56.

23

Ninik suparni,Op.cit, hal.9.

24


(34)

Hukum Penitensier merupakan sebagian dari hukum positif yaitu bagian yang menentukan jenis sanksi atas pelanggaran, beratnya sanksi, lamanya sanksi itu dirasakan oleh pelanggar dan cara serta tempat sanksi itu dilaksanakan.26

Pada zaman sekarang ini, pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. Maksudnya, walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana secara pribadi, tidak ada larangan sama sekali jika denda itu secara sukarela dibayar oleh orang lain atau pihak lain dan mengatasnamakan terpidana.27

Melihat tujuan pemidanaan maka pidana denda lebih diutamakan dalam delik-delik terhadap harta benda sehingga harus dicari keserasian antara kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana dengan besarnya pidana denda yang harus dibayar oleh terpidana. Oleh karena itu harus dipertimbangkan dengan seksama, minimum maupun maksimum pidana denda yang diancamkan terhadap suatu tindak pidana.28

Pidana denda memiliki sifat perdata, karena mirip dengan pembayaran yang diharuskan dalam perkara perdata terhadap orang yang melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Perbedaannya hanyalah denda dalam perkara pidana dibayarkan kepada Negara atau masyarakat, sedangkan dalam perkara perdata kepada orang secara pribadi atau badan hukum. Pidana denda dalam perkara pidana dapat diganti dengan pidana kurungan jika tidak dibayar. Selain itu denda

26

Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, hal.2.

27

Andi Hamzah, op cit, hal.53.

28


(35)

tidaklah diperhitungkan sesuai dengan jumlah kerugian yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan sebagaimana dalam perkara perdata. Pidana denda tetap dijatuhkan walaupun terpidana telah membayar ganti rugi secara perdata kepada korban. Hal ini yang banyak membuat banyak orang awam keliru, terutama dalam pelanggaran lalu-lintas. Sering dipikir jika telah dibayar ganti kerugian kepada korban (kadang-kadang denga perantaraan polisi), tuntutan pidana telah terhapus, sedangkan sebenarnya tidak demikian halnya. Tuntutan pidana tetap dapat dilakukan oleh jaksa, paling-paling hanya akan meringankan pidana yang dijatuhkan oleh hakim. Dalam praktek, dirasakan banyaknya perkara demikian yang mengendap, artinya selesai di tempat, tanpa diteruskan ke kejaksaan, karena kedua belah pihak telah berdamai.29

Salah satu jenis pidana tentu saja pidana denda bukan dimaksudkan untuk sekedar tujuan-tujuan ekonomis misalnya sekedar untuk menambah pemasukan keuangan negara, melainkan harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan pemidanaan. Pengaturan dan penerapan pidana denda baik dalam tahap legislatif (pembuat Undang-undang), tahap yudikatif (penerapannya oleh hakim), maupun pelaksanaannya oleh komponen peradilan pidana yang berwenang (eksekutif) harus dilakukan sedemikian rupa sehingga efektif dalam mencapai tujuan pemidanaan.30

Pidana denda juga kerap kali dijatuhkan dalam perkara administrasi dan fiscal, misalnya denda terhadap penyelundup atau penunggak pajak. Di Indonesia banyak instansi yang menjatuhkan denda administrasi secara sepihak, misalnya

29

Ibid, hal.54.

30


(36)

denda terhadap pelaku yang terlambat mengganti surat tanda nomor kendaraan (STNK), terlambat membayar iuran televisi, terlambat mengganti kartu penduduk, mendirikan bangunan sebelum izin dan lain-lain. Dalam menjatuhkan denda administrasi ini, pelanggar sama sekali tidak diberi kesempatan membela diri, berbeda dengan terdakwa yang mempunyai seperangkat hak-hak yang ditentukan dalam KUHAP.

B. Pengaturan Pidana Denda Dalam KUHP

Pidana denda adalah salah satu jenis pidana dalam stelsel pidana pada umumnya. Kedudukan dan pola pidana denda dalam hukum pidana positif indonesia bertolak dari ketentuan pasal 10 KUHP, yang menyatakan bahwa:

1. pidana pokok, terdiri dari: a. pidana mati

b. pidana penjara c. pidana kurungan d. pidana denda

e. pidana tutupan (yang di tambahkan berdasarkan Undang-Undang No. 20 946).

2. pidana tambahan, terdiri atas: a. pencabutan hak-hak tertentu

b. perampasan barang-barang tertentu c. pengumuman keputusan hakim.


(37)

Berdasarkan urutan pidana pokok tersebut, terkesan bahwa pidana denda adalah pidana pokok yang paling ringan. Walaupun tidak ada ketentuan yang dengan tegas menyatakan demikian. Akan tetapi melihat urutan yang terdapat pada Pasal 10 KUHP pidana denda menjadi pidana paling ringan.

Mulai Pasal 104 sampai Pasal 488 untuk kejahatan (buku II) perumusan pidananya adalah pidana penjara tunggal, pidana penjara dengan alternatif denda, pidana kurungan tunggal, pidana kurungan dengan alternatif denda, dan pidana denda yang diancamkan secara tunggal.

Pidana denda yang digunakan sebagai pidana alternatif atau pidana tunggal dalam buku II dan buku III KUHP. Pidana penjara sering digunakan dalam penetapan dan penjatuhan pidana, hal ini dikaitkan dengan tujuan pemidanaan terutama pencapaian efek jera bagi pelaku, sehingga sanksi pidana penjara lebih banyak dikenakan dalam pemidanaan yang terdapat dalam pasal-pasal KUHP. Kesuluruhan pasal-pasal dan ayat ancaman pidana yang dirumuskan dalam KUHP diperoleh perbedaan komposisi antara pidana penjara dan pidana denda yang dituangkan dalam tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 131

Perbandingan Jumlah Pidana Penjara ; Penjara atau Denda ; dan Pidana Denda (Buku II KUHP)

Pidana Penjara (tunggal)

Penjara atau Denda (Alternatif)

Pidana Denda

Jumlah = 296 Pasal Jumlah = 133 Pasal Jumlah = 2 Pasal Ancaman maksimum

bervariasi, dari yang terendah:

1) 4 bulan = mengasut untuk bunuh diri (345);

Ancaman maksimum penjara atau denda bervariasi dari yang terendah :

1) 1 bulan 2 minggu = Rp.4500

1)Denda Rp. 18.000 2)Denda Rp.150.000


(38)

2) 4 bulan 2 minggu = melarika diri dari pekerjaan (455)

3) 6 bulan = memnuat asal usul orang lain tidak tentu (277); 4) 9 bulan = membujuk

tentara agar melarikan diri (236); perkelahian 1 lawan 1 (184);

5) 1 tahun 4 bulan = merusak surat (234);

berita bohong terjadinya tidak pidana

(220); nenghalango pemilu (148);

6) 1 tahun 6 bulan =merintangi

pertemuan umum (175);

7) 2 tahun sampai 15 tahun (dianggap sedang dan berat);

8) Seumur hidup atau 20 tahun (sangat berat)

2) 2 bulan = Rp.4.500 3) 3 bulan = Rp. 900 4) 3 bulan = Rp.4.500 5) 4 bulan = Rp.4.500 6) 4 bulan 2 minggu =

Rp.9.000

7) 6 bulan = Rp.4.000 8) 9 bulan = Rp.4.500 9) 9 bulan = Rp.9.000 10) 9 bulan = Rp.18.000 11) 1 tahun = Rp.4.500 12) 1 tahun 4 bulan =

Rp.4.5000

13) 1 tahun 4 bulan = Rp.15.000

14) 2 tahun 8 bulan = Rp.4.500

15) 2 tahun 8 bulan = Rp.75.000

16) 4 tahun = Rp.900 17) 5 tahun = Rp.900

18) 10 tahun =

Rp.25.000.000 Pasal 176 dan pasal 407

Jika diperbandingkan dengan jumlah yang ditentukan dalam buku II dan buku III mengenai bobot jenis pidana penjara denda (juga kurungan) tampak secara signifikan bahwa pidana penjara diutamakan untuk menghukum pelaku tindak pidana kejahatan. Jumlah 465 pasal, yang dimulai dari Pasal 104 sampai Pasal 569 menunjukkan bahwa terdapat 296 pasal ancaman penjara tunggal, 6 pasal kurungan tunggal (pelanggaran), 2 pasal denda tunggal (untuk kejahatan), 40 pasal pidana denda tunggal (pelanggaran), 133 pasal alternatif pidana penjara atau denda, dan 34 alternatif pidana kurungan atau denda. Keseluruhan dari jumlah diatas dapat dilihat bahwa pidana penjara, termaksud pidana penjara yang


(39)

dialternatifkan dengan pidana denda, masih dominan, yakni berjumlah 296 penjara tunggal dan 133 alternatif penjara atau denda.32

Pidana denda diatur dalam Pasal 30-31 KUHP yang berisi:33

Pasal 30.

(1) Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen.

(2) Bila pidana denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan. (3) Lama pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling

tinggi enam bulan.

(4) Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan sebagai berikut; bila pidana dendanya tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang, dihitung satu hari; bila lebih dari tujuh rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen. (5) Bila ada pemberatan pidana denda yang disebabkan oleh gabungan atau

pengulangan, atau karena ketentuan pasal 52, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan bulan.

(6) Pidana kurungan pengganti sama sekali tidak boleh lebih dari delapan bulan.

Pasal 31.

(1) Terpidana dapat segera menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas waktu pembayaran denda.

(2) Ia setiap waktu berhak membebaskan dirinya dari pidana kurungan pengganti dengan membayar dendanya.

(3) Pembayaran sebagian dari pidana denda, sebelum atau sesudah mulai menjalani pidana kurungan pengganti, membebaskan terpidana dari sebagian pidana kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.

Pidana denda dalam KUHP diancam terhadap seluruh tindak pidana pelanggaran (dalam buku III KUHP) dan juga terhadap tindak pidana kejahatan (dalam buku II KUHP), tetapi kejahatan-kejahatan ringan dan kejahatan yang dilakukan dengan tidak sengaja.

Ketentuan pasal 30-31 tersebut dapat dikatakan bahwa pidana denda merupakan pidana alternatif dari pidana kurungan dan hakim menjatuhkan pada

32

Ibid, hal 173

33


(40)

Komentar-kejahatan-kejahatan yang sangat rendah. Oleh karena itu, dalam sistem KUHP yang sekarang berlaku, pidana denda dapat dipandang sebagai bentuk pidana pokok yang ringan. Alasan pertama, hal ini dapat dilihat dari kedudukan urutan-urutan pidana pokok di dalam pasal 10 KUHP. Kedua, pada umumnya pidana denda dirumuskan sebagai pidana alternatif dari pidana penjara atau kurungan sedikit sekali tindak pidana yang hanya diancamkan dengan pidana denda untuk kejahatan dalam Buku II hanya terdapat satu delik, yaitu pasal 403, sedangkan untuk pelanggaran dalam Buku III hanya terdapat 40 pasal dari keseluruhan pasal-pasal tentang pelanggaran. Ketiga, jumlah ancaman pidana denda dalam KUHP pada umumnya relatif rendah.34

Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (2) jika pidana denda tidak dibayar maka harus diganti dengan pidana kurungan. Lamanya pidana kurungan pengganti denda ditentukan dalam kasus demi kasus dalam putusan hakim, pada umumnya minimal (1) satu hari atau maksimum 6 (enam) bulan dalam Pasal 30 ayat (3) KUHP. Maksimum ini dapat dinaikkan menjadi 8 (delapan) bulan dalam hal gabungan (concursus), residivis dan delik jabatan menurut Pasal 52 dan bis (Pasal 30 ayat 5 KUHP)

Berdasarkan ketentuan Pasal 30 KUHP tersebut, pidana denda dalam KUHP adalah hanya berbentuk uang dan tidak boleh berbentuk barang. Denda yang tidak dibayar oleh terpidana baik kerena ketidakmampuan atau ketidakmauannya, maka pidana denda itu dapat diganti kedalam pidana kurungan yang disebut dengan hukuman subsider atau pengganti.

34

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung,1984, hal.177-178.


(41)

Menurut Pasal 31 KUHP, bagi pelaku tindak pidana yang dijatuhi dengan pidana denda dapat menjalani pidana kurungan sebagai pengganti. Para pelaku tindak pidana jika merasa tidak mampu membayar denda dan seandainya dendanya dibayar dan sisanya tidak, maka kurungan sebagai pengganti dikurang secara seimbang.35 Menjatuhkan hukuman denda hendaknya disesuaikan dengan kemampuan dan kekuatan ekonomi sipelanggar, jika sipelanggar ada tanda-tanda insyaf dalam kesalahanya atau atas dasar pertimbangan Hakim dalam hal-hal yang dapat meringankan.

C. Pidana Denda Dalam Sistem Pemidanaan Pelanggaran Lalu Lintas

L.H.C. Hullsman mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanction and punishment).36

Aturan perundang-undangan (the statutory rules) dibatasi pada hukum pidana substantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan khusus tentang perumusan tindak pidana, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan. Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) di bidang hukum pidana substantif tersebut terdiri dari aturan umum (general rules) dan aturan khusus (special rules). Aturan umum terdapat di dalam KUHP (Buku I),dan aturan khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan

35

Andi Hamzah, Op.cit, hal.53.

36


(42)

Buku III, maupun dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP. Aturan khusus tersebut pada umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum.37

Secara garis besar, sistem pemidanaaan di Indonesia mencakup 3 (tiga) permasalahan pokok, yaitu Jenis pidana (strafsoort), lamanya ancaman pidana (strafmaat), dan pelaksanaan pidana (strafmodus).38

a. Jenis pidana (strafsoort)

Jenis pidana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 KUHP yang terdiri dari : 1) Pidana pokok berupa :

a. Pidana mati ; b. Pidana penjara ; c. Pidana kurungan ; d. Pidana denda ; e. Pidana tutupan. 2) Pidana tambahan berupa :

a. Pencabutan beberapa hak tertentu ; b. Perampasan barang-barang tertentu ; c. Pengumuman putusan hakim.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, Indonesia hanya mengenal pidana pokok dan pidana tambahan.

37

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal.136.

38


(43)

b. Lamanya Ancaman Pidana (strafmaat)

Ada beberapa pidana pokok yang seringkali secara alternatif diancamkan pada perbuatan pidana yang sama. Hakim hanya dapat menjatuhkan satu diantara pidana yang diancamkan itu. Hal ini mempunyai arti, bahwa hakim bebas dalam memilih ancaman pidana. Sedangkan mengenai lamanya atau jumlah ancaman, yang ditentukan hanya maksimum dan minimum ancaman. Dalam batas-batas maksimum dan minimum inilah hakim bebas bergerak untuk menentukan pidana yang tepat untuk suatu perkara. Akan tetapi kebebasan hakim ini tidaklah dimaksudkan untuk membiarkan hakim bertindak sewenang-wenang dalam menentukan pidana dengan sifat yang subyektif.39

Kemudian berkaitan dengan tujuan diadakannya batas maksimum dan minimum adalah untuk memberikan kemungkinan pada hakim dalam memperhitungkan bagaimana latar belakang dari kejadian, yaitu dengan berat ringannya delik dan cara delik itu dilakukan, pribadi si pelaku delik, umur, dan keadaan-keadaan serta suasana waktu delik itu dilakukan, disamping tingkat intelektual atau kecerdasannya. KUHP di Indonesia hanya mengenal maksimum umum dan maksimum khusus serta minimum umum. Ketentuan maksimum bagi penjara adalah 15 (lima belas) tahun berturut-turut, bagi pidana kurungan 1 (satu) tahun, dan maksimum khusus dicantumkan dalam tiap-tiap rumusan delik, sedangkan pidana denda tidak ada ketentuan maksimum umumnya tetapi yang ada hanya minimum umum dan maksimal khusus. Adapun pidana penjara dan pidana kurungan, ketentuan minimumnya adalah satu hari. Undang-undang juga diatur

39


(44)

mengenai keadaan-keadaan yang dapat menambah dan mengurangi pidana. Keadan yang dapat mengurangi pidana adalah percobaan dan pembantuan, dan terhadap dua hal ini, pidana yang diancamkan adalah maksimum pidana atas perbuatan pidana pokoknya dikurangi sepertiga, seperti ketentuan dalam Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 57 KUHP. Pasal 53 ayat (2) KUHP berbunyi “Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dalam hal percobaan dikurangi sepertiga”. Sedangkan Pasal 57 ayat (1) KUHP berbunyi “Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga”. Disamping ketentuan yang meringankan juga diatur tentang keadaan-keadaan yang dapat menambah atau memperberat pidana, yaitu perbarengan, recidive serta pegawai negeri. Dalam hal pidana penjara dapat ditambah menjadi maksimum 20 tahun, pidana kurungan menjadi maksimum 1 tahun 4 bulan dan pidana kurungan pengganti menjadi 8 bulan.40

Mengenai pidana denda oleh pembuat undang-undang tidak ditentukan suatu batas maksimum yang umum. Tiap pasal dalam KUHP yang bersangkutan ditentukan batas maksimum (yang khusus) pidana denda yang dapat ditetapkan oleh Hakim. Jumlah pidana denda baik dalam KUHP maupun dalam ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945, tidak sesuai lagi dengan sifat tindak pidana yang dilakukan, berhubung ancaman pidana denda itu sekarang menjadi terlalu ringan jika dibandingkan dengan nilai mata uang pada waktu kini, sehingga jumlah itu perlu diperbesar/dipertinggi. Menurut

40


(45)

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1960, yang dalam Pasal 1 ayat (1) nya menentukan bahwa :

"Tiap jumlah pidana denda yang diancamkan, baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagaimana beberapa kali telah ditambah dan diubah dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 1), maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sebagaimana telah diubah sebelum hari berlakunya Peraturan Pengganti Undang undang ini harus dibaca dengan mata uang rupiah dan dilipatgandakan menjadi lima belas kali".

Perubahan menurut Undang-undang No. 18 Tahun 1960 dilipatgandakan menjadi 15 kali, sehingga menjadi Rp 3,75 (tiga rupiah tujuh puluh lima sen). Maksimum khususnya bermacam-macam yaitu sebagai berikut:41

a. Untuk “kejahatan”

- Maksimum berkisar anatara Rp 900,- (dulu 60 gulden) dan Rp 150.000,- (dulu 10.000 gulden); namun ancaman pidana denda yang sering diancamkan ialah sebesar Rp 4.500,- (dulu 500 gulden)

b. Untuk “pelanggaran”

- Denda maksimum berkisar antara Rp 225,- (dulu 15 gulden) dan Rp 75.000,- (dulu 5.000 gulden); namun yang terbanyak hanya diancam dengan denda sebesar Rp 375, (dulu 25 gulden) Rp 4.500,- (dulu 300 gulden).

Pola diatas terlihat bahwa menurut pola KUHP ( WvS) maksimum khusus pidana denda yang paling tinggi untuk “kejahatan” ialah Rp 150.000,- (10.000 gulden), dan untuk “pelanggaran” paling banyak Rp 75.000,- (5.000 gulden). Jadi maksimum khusus pidana denda yang paling tinggi untuk “kejahatan” adalah “dua kali lipat” yang diancamkan untuk “pelanggaran”.42

Di Indonesia dewasa ini sedang dilakukan proses pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang baru yang tentunya di

41

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 , hal.177-178.


(46)

dalamnya juga berkaitan dengan pembaharuan bentuk-bentuk pidananya serta konsep lamanya maksimum dan minimum pidana, khususnya untuk pidana denda.43

Rancangan KUHP tahun 2008 mengenai “minimum umum”, “minimum khusus” dan “maksimum khusus” pidana denda. Minimum umumnya sebesar Rp 15.000,-. Ancaman maksimum khusus dibagai kategori, yaitu:44

a. Kategori I : Maksimum Rp 1.500.000,00 b. Kategori II : Maksimum Rp 7.500.000,00 c. Kategori III : Maksimum Rp 30.000.000,00 d. Kategori IV : Maksimum Rp 75.000.000,00 e. Kategori V : Maksimum Rp 300.000.000,00 f. Kategori VI : Maksimum Rp . 3.000.000.000,00

Konsep tersebut masih hanya sebagai rancangan dan belum diberlakukan sehingga perlu diketahui bahwa ketentuan denda dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) saat ini sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman. Nilai denda tersebut terakhir kali diubah melalui Perpu No. 18 Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana dan dalam Ketentuan-Ketentuan Pidana Lainnya yang Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus 1945.

Belum disesuaikannya kembali nilai denda tersebut tentunya mengakibatkan tidak efektifnya pidana denda sebagai salah satu bentuk ancaman pidana yang diatur dalam KUHP itu sendiri. Hal ini mengakibatkan pilihan bentuk pemidanaan menjadi hanya seputar pemidanaan dalam bentuk pidana mati,

43

http://novijournal.blogspot.com/2011/06/aspek-pidana-dan-pemidanaan-dalam.html. Diakses tanggal 5 Oktober 2012.

44


(47)

penjara atau kurungan, yang pada akhirnya berkontribusi pada semakin tingginya angka narapidana di lembaga-lembaga pemasyarakatan.

Selain itu, telah diketahui pula dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ada perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak pidana ringan sebagaimana disebut dalam pasal 364 (pencurian ringan) pasal 373 (penggelapan ringan), pasal 379 (penipuan ringan), pasal 384 (penipuan ringan oleh penjual), pasal 407 ayat (1) (perusakan ringan) dan pasal 482 (pemudahan ringan) saat ini menjadi tidak efektif lagi mengingat ukuran nilai barang atau uang yang menjadi ukuran tindak pidana tersebut masih sebesar Rp. 250 , sehingga diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP yang hanya memuat 5 pasal.45

Perma ini memerintahkan bahwa kata-kata “dua ratus lima puluh rupiah” dalam Pasal 364,373,379,384,407 dan 482 KUHP dibaca menjadi Rp.2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah).46 Hal ini tentu disebabkan karena nilai Rp.250 tidak sesuai lagi dan hampir tidak ada barang yang nilainya dibawah Rp.250.

Perma ini intinya adalah bahwa seluruh uang yang ada di KUHP, baik yang diatur dalam pasal-pasal pidana ringan (364, 373, 379 dst) maupun dalam pasal-pasal yang memuat hukuman denda nilainya dilipatgandakan menjadi 10.000 kali dengan pengecualian terhadap Pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 303 bis ayat 1 dan ayat 2.

45

Penjelasan Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP

46


(48)

Perhitungan 10.000 kali lipat ini diperoleh dari penyesuaian harga emas dari tahun 1959 yang nilainya Rp 50,51 /gram dengan harga emas per 3 februari 2012 yang harganya telah mencapai Rp 509.000 / gram. Jika dihitung maka telah terjadi penurunan nilai rupiah sebanyak 10.077 kali. Untuk memudahkan penghitungan Mahkamah Agung kemudian membulatkan angka tersebut menjadi 10.000 kali .47

c. Pelaksanaan Pidana (strafmodus)

KUHP yang berlaku di Indonesia pada saat ini belum mengenal hal yang dinamakan pedoman pemidanaan. Oleh karena itu, hakim dalam memutus suatu perkara diberi kebebasan memilih jenis pidana (strafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan sistem alternatif dalam pengancaman di dalam undang-undang. Selanjutnya hakim juga dapat memilih berat ringannya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh undang-undang hanya maksimum dan minimum pidana.48

Pelanggaran lalu lintas adalah pelanggaraan terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009. Undang-undang ini menggantikan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-undang lalu lintas terbaru tersebut menerapkan sanksi pidana yang lebih berat bagi si pelanggar.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR RI pada tanggal 26 Mei 2009

47

Penjelasan Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP

48

http://eprints.undip.ac.id/18231/1/Slamet_Siswanta.pdf. diakses tanggal 8 September 2012.


(49)

yang kemudian disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 22 Juni 2009.49 Undang-undang ini adalah kelanjuta dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992, terlihat bahwa kelanjutannya adalah merupakan pengembangan yang signifikan dilihat dari jumlah clausul yang diaturnya, yakni yang tadinya 16 bab dan 74 pasal, menjadi 22 bab dan 326 pasal. Perbandingannya dapat dilihat pada tabel 2 berikut:

Tabel 2

Perbandingan Isi UU Nomor 14 Tahun 1992 dengan UU Nomor 22 Tahun 2009

UU Nomor 14 Tahun 1992 UU Nomor 22 Tahun 2009

Bab I Ketentuan Umum Bab I Ketentuan Umum Bab II Asas dan Tujuan Bab II Asas dan Tujuan

Bab III Pembinaan Bab III Ruang Lingkup Keberlakuan Undang-Undang

Bab IV Prasarana Bab IV Pembinaan Bab V Kendaraan Bab V Penyelenggaraan

Bab VI Pengemudi Bab VI Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Bab VII Lalu Lintas Bab VII Kendaraan Bab VIII Angkutan Bab VIII Pengemudi

Bab IX Lalu Lintas dan Angkutan Bab IX Lalu Lintas bagi Penderita Cacat

Bab X Dampak Lingkungan Bab X Angkutan Bab XI Penyerahan Urusan Bab XI Keamanan dan

Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Bab XII Penyidikan Bab XII Dampak Lingkungan

Bab XIII Ketentuan Pidana Bab XIII Pengembangan Industri dan Teknologi Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Bab XIV Ketentuan Lain-Lain Bab XIV Kecelakaan Lalu Lintas Bab XV Ketentuan Peralihan Bab XV Perlakuan Khusus bagi

Penyandang Cacat, Manusia Usia Lanjut, Anak-Anak, Wanita Hamil, dan Orang Sakit


(50)

Bab XVI Ketentuan Penutup Bab XVI Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Bab XVII Sumber Daya Manusia Bab XVIII Peran Serta Masyarakat Bab XIX Penyidikan dan

Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Bab XX Ketentuan Pidana Bab XXI Ketentuan Peralihan Bab XXII Ketentuan Penutup

Berikut beberapa sanksi pidana denda dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan:

1. Mengemudikan Kendaraan Sambil Menelepon

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 melarang pengendara kendaraan bermotor berkendara sambil melakukan aktivitas sampingan yang bisa merusak konsentrasi. Aturannya terdapat dalam Pasal 106 ayat (1) menyatakan bahwa setiap pengendara wajib berkendara dengan penuh konsentrasi dan secara wajar. Saksinya terdapat dalam Pasal 283 UU No. 22 Tahun 2009 yang berbunyi “ Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 750.000,00 (Tujuh Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah).


(51)

Di Indonesia disiplin berlalulintas masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari jumlah kendaraan yang sering berbelok tanpa menghidupkan lampu sein terlebih dahulu. Tentu saja tindakan memotong jalur atau berbelok tanpa memberi tanda sangat berbahaya dan sangat mungkin menyebabkan kecelakaan. Undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan Nomor 22 Tahun 2009 pasal 294 dengan tegas mengatur bahwa setiap orang yang akan berbelok atau berbalik arah wajib menyalakan lampu sein, sanksinya dikenai sanksi kurungan 1 (satu) bulan atau denda sebesar Rp 250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

3. Mengemudikan Kendaraan Melawan Arah

Tindakan mengemudi lawan arah melanggar UU No. 22 Tahun 2009 pasal 106 ayat 4, disana dijelaskan bahwa saja ada ganjaran bagi pelanggar tersebut, yakni kurungan paling lama dua bulan dan denda paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sesuai pasal 287 ayat 2.

4. Menabrak Kendaraan Yang Tidak Menyalakan Lampu Di Malam Hari Kejadian ini sering ditemui, bukan hanya dikota kecil melainkan juga di kota-kota besar. Para pengendara itu beranggapan bahwa selama dirinya bisa melihat di malam hari, menyalakan lampu menjadi tidak penting. Padahal selain untuk menerangi jalan bagi diri si pengendara lain sehingga terhindar dari tabrakan. Menurut pasal 48 ayat satu (1) dan ayat tiga (3) juncto pasal 107 ayat satu (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, setiap kendaraan yang beroperasi di jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan persyaratan kelayakan jalan khususnya


(52)

memiliki lampu utama yang wajib dinyalakan pada saat berkendaraan malam hari. Seandainya ada kendaraan yang tidak dilengkapi lampu depan maka kendaraan tersebut bisa dikategorikan sebagai kendaraan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan kelayakan jalan. Pasal 285 ayat (1) dan ayat dua (2) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan bahwa kendaraan yang tidak layak jalan, tapi dipaksakan beroperasi akan dikenakan hukuman penjara selama satu bulan atau denda sebanyak Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Hukumannya semakin berat jika kendaraan itu terlibat kecelakaan dan menimbulkan kerusakan kendaraan lain. Pemilik kendaraan yang tidak layak tersebut dikenakan ketentuan pasal 310 ayat satu (1) dengan ancaman pidana kurungan maksimal enam (6) bulan atau denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Seandainya ada korban yang luka ringan, hukumannya menjadi pidana penjara selama satu tahun atau denda sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah), sesuai pasal 310 ayat dua (2) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Jika menimbulkan luka berat atau menyebabkan meninggal dunia. Hukumannya adalah penjara selama lima tahun dan enam tahun serta dikenakan denda sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah), menurut ketentuan pasal 310 ayat tiga (3) dan ayat empat (4).

5. Kendaraan Tidak Memiliki STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan)

Salah satu dokumen yang harus dimiliki seorang pemilik kendaraan adalah STNK. STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) merupakan salah satu surat


(53)

penting yang menunjukkan kepemilikan kendaraan secara sah. Meskipun demikian, pada kenyataannya banyak kendaraan yang tidak memiliki STNK, fakta ini diketahui dari razia pihak kepolisian terhadap pengendara kendaraan bermotor. Tanpa STNK akan terancam hukuman kurungan hingga dua bulan atau denda hingga Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sesuai pasal 288 ayat 1. Bahkan, bukan tidak mungkin kita dituduh sebagai pencuri kendaraan bermotor.

6. Kewajiban Menyalakan Lampu pada Siang Hari

Kewajiban ini diberlakukan untuk kendaraan roda dua dimana para pengendara sepeda motor wajib menyalakan lampu utama di siang hari yang diatur dalam pasal 107 ayat 2, namun sering kali para pengendara sepeda motor tersebut melanggar ketentuan tersebut. Pengendara sepeda motor ini yang melanggar ketentuan ini dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 hari atau denda paling banyak Rp 100.000,- sesuai dengan ketentuan pidana dalam pasal 293 ayat 2.

7. Tidak dapat menunjukkan SIM (Surat Izin Mengemudi) yang sah.

Bagi pengendara bermotor yang tidak memiliki SIM, akan dipidana dengan pidana kurungan empat bulan atau denda paling banyak Rp.1.000.000 (Pasal 281), sedangkan dalam Pasal 288 Ayat (2) mengatur, bagi setiap orang yang mengemudi kendaraan bermotor yang tidak dapat menunjukkan SIM yang sah, akan dikenai pidana dengan pidana kurungan paling lama satu bulan dan/atau denda paling banyak Rp.250.000.


(54)

Pada setiap daerah mempunyai ukuran sendiri mengenai jumlah maksimum dan minimum denda yang akan diterapkan. Hal ini sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1993 yang menyebutkan:

“Dalam hal menentukan maksimum uang titipan untuk pelanggaran yang bersifat ringan, sedang, dan berat, Ketua Pengadilan Negeri agar memperharikan secara teliti keadan sosial dan ekonomi di wilayah hukumnya masing-masing.”

Sesuai dengan Surat Edaran diatas, dapat dipahami bahwa penjatuhan atau pemberian pidana denda bagi pelanggar digantungkan pada keadaaan dan kemampuan pada masyarakat setempat. Surat edaran tersebut tidak mengikat, namun ketentuan yang ada didalamnya secara umum dipatuhi oleh Pengadilan Negeri, dengan alasan untuk mengurangi keanekaragaman (disparitas) pemidanaan denda.50

50


(55)

BAB III

PENERAPAN PIDANA DENDA DALAM PELANGGARAN

LALU LINTAS DI MEDAN

A. Faktor Penyebab Terjadinya Pelanggaran Lalu Lintas Di Kota

Medan

Peraturan pada dasarnya dibuat dengan tujuan untuk mempermudah kehidupan manusia, namun nyatanya tidak ada jaminan bahwa peraturan tersebut akan dipatuhi. Seperti kondisi berkendara di Indonesia terutama di Kota Medan. Rambu-rambu lalulintas seakan hanya menjadi hiasan yang tidak memiliki makna apa-apa. Praktis hanya lampu lalulintas saja yang di patuhi, itu pun pada ruas jalan tertentu saja. Perilaku yang tidak tertib ini di perparah dengan pertambahan jumlah kendaraan yang sulit dibendung sementara jumlah pertambahan ruas jalan tidak mampu mengimbanginya.

Kehidupan sehari-hari, transportasi merupakan sarana yang digunakan masyarakat untuk melakukan aktifitasnya seperti ke pasar, ke kantor, ke sekolah dan lain sebagainya. Selain itu tansportasi juga memiliki peran yang sangat penting dan strategis sebagai sarana untuk memperlancar roda perekonomian. Transportasi harus digunakan sesuai dengan peruntukannya dan pengoperasiannya harus sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan, namun dalam kenyataannya masih sering ditemui masyarakat yang menggunakan transportasi tidak berdasarkan pada aturan perundang- undangan yang berlaku. Para pengguna transportasi khususnya remaja masih banyak melalaikan pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan baik yang terdapat dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) maupun yang ada pada UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pelanggaran-pelanggaran itu dilakukan


(1)

pidana denda dengan meningkatkan jumlah ancaman pidana denda saja ternyata belum mencukupi untuk meningkatkan efektifitas pidana denda, maka harus dibuang jauh-jauh suatu pemikiran bahwa kriteria efektif dan tidaknya pidana denda diukur dari besarnya uang denda yang dijatuhkan. Diperlukan suatu kebijakan yang menyeluruh baik dalam bidang legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Hal ini juga senada dengan pendapat Kaurbin Polantas Medan yang menyatakan bahwa efektifnya penerapan sanksi denda terhadap pelaku pelanggar lalu lintas bukan melihat besarnya denda yang dijatuhi kepada sipelanggar, akan tetapi perlu adanya suatu kebijakan yang tegas. Terdapat tiga cara pembayaran denda dalam pelanggaran lalu lintas di kota Medan, yaitu: denda titipan yang merupakan denda yang dapat dititipkan kepada petugas yang mempunyai kuasa, denda setoran langsung yang merupakan denda yang dibayar langsung oleh pelanggar ke bank BRI jalan putri hijau yang ditunjuk sebagai bank yang resmi tempat pembayaran denda tilang di kota Medan serta menghadiri persidangan yang merupakan cara yang seharusnya diikuti oleh pelanggar.

3. Analisis penerapan pidana denda dalam pelanggaran lalu lintas dapat dilihat dari berbagai vonis hakim yang dijatuhkan kepada pelaku pelanggaran lalu lintas seperti kasus yang ada, tampak jelas bahwa masih ada ketimpangan dalam menentukan jumlah denda. Mulai dari jumlah denda yang diputus jumlahnya dibawah tabel denda tilang, jumlah dendanya sama dengan tabel denda tilang bahkan jumlah dendanya lebih dari yang ditentukan dalam tabel denda tilang. Tampak jelas hakim dalam menjatuhkan putusan mandiri dan


(2)

tidak ada kewajiban bagi hakim untuk harus mematuhi jumlah denda sesuai dengan tabel denda tilan tersebut. Tabel denda tilang tersebut digunakan untuk menghindari terjadinya perbedaan (disparitas) yang beraneka ragam dalam menentukan jumlah denda tilang tersebut. Hukum itu harus memberikab rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarakat.

B.Saran

1. Peraturan dan Undang-UndangLalu Lintas terbaru menerapkan sanksi pidana dan denda yang lebih berat buat pelanggaran lalu lintas. Undang-Undang Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009 telah diberlakukan untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992, dengan sanksi yang lebih berat bagi para pengguna kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat/lebih yang melanggar peraturan lalu lintas di jalan. Tujuannya (bisa) positif tetapi bisa juga menjadi negatif jika sosialisasinya belum maksimal sehingga di lapangan masyarakat menolak. Bahkan, bisa-bisa rakyat melakukan perlawanan. Apabila terjadi gejolak di masyarakat pastilah hal itu tidak kita inginkan. Melihat lemahnya sosialisasi dan kondisi masyarakat yang semakin kritis, pemberian sanksi berat seperti yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 sangat tidak mendidik, sehingga bakal menimbulkan kerawanan bila diterapkan. Dewasa ini, pengendara sepeda motor atau mobil harus siap-siap menerima kenyataan pahit terkena denda jutaan rupiah jika Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dikenakan padanya. Agar kedepannya, pemerintah melalukan sosialisasi yang cukup terhadap Undang-Undangini serta perlu pengawasan dan pemberian sanksi yang tegas kepada oknum


(3)

petugas yang selalu memanfaatkan peluang melakukan damai dengan pelanggar lalu lintas untuk kepentingan pribadinya.

2. Saat ini jaksa selaku eksekutor hanya menunggu apabila ada pelanggar yang tidak mau membayar denda. Ini dikarenakan tingginya pelanggar di kota Medan, namun kedepan perlu diadakannya koordinasi dengan pihak kepolisian dalam hal pelanggar dalam batas waktu yang ditentukan tidak memenuhi kewajibannya menyetorkan uang denda maka SIM yang bersangkutan akan diblokir (dibatalkan) dan begitu juga dengan STNK dapat tidak diterbitkan untuk tahun berikutnya.

3. Agar kedepannya hakim perlu adanya memberikan sanksi pidana tehadap orang yang melakukan pelanggaran lalu lintas dengan menjatuhkan ancaman pidana denda maksimal serta tabel denda tilang yang sudah ada tersebut perlu ditinjau kembali oleh pihak Pengadilan, Kejaksaan dan Kepolisian karena jumlah denda dalam tabel tersebut terlalu rendah jika dibandingkan dengan denda yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 agar diperbaharui lagi supaya kedepannya lebih menimbulkan efek jera.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung; 1996.

---, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung; 2003.

Arief, Barda Nawawi dan Muladi, Teori-Teori Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung; 1984.

Chazawi, Adam, Pelajaran Hukum Pidana, RajaGrafindo, Jakarta; 2010.

Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta; 1993.

Hullsman, L.H.C. dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum

Pidana, Citra Aditya Bakti; 1996.

Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung; 2011.

Poernomo, Bambang, Azas-Azas Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung; 2002. Prakoso, Djoko dan Nurwachid, Studi tentang Pendapat-Pendapat Mengenai

Efektivitas Pidana Mati di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta; 1983.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, cetakan keempat,Balai Pustaka, Jakarta; 2003.

Saleh, Roeslan, Stelsel Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta; 1987.

Soesilo,R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta

Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor; 1993.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta; 1986. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung; 1981.

---, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung; 1981.


(5)

Suhariyono, Pembaruan Pidana Denda Indonesia, Papas Sinar Sinanti, Jakarta; 2012.

Suparni, Niniek,Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan, Sinar Grafik Jakarta; 2007.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1960 tentang

Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan dalam Ketentuan-Ketentuan Pidana Lainnya yang Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus 1945.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batas Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Tertentu.

Homepage Internet

http://novijournal.blogspot.com/2011/06/aspek-pidana-dan-pemidanaan-dalam.html

http://abdul-rossi.blogspot.com/2011/04/pidana-denda.html.

http://beritasore.com/2012/09/04/kapoldasu-kondisi-lalulintas-di-medan-semrawut/

http://www.scribd.com/doc/97889873/ Pelanggaran-Lalu-Lintas-Di-Kota-Medan http://eprints.undip.ac.id/18231/1/Slamet_Siswanta.pdf

http://eprints.undip.ac.id/17169/1/DWI_ENDAH_NURHAYATI.pdf

www.scribd.com/doc/58869746/3/pengertian-lalu-lintas-dan-pelanggaran-lalu-lintas


(6)

Wawancara

Wawancara dengan Baslin Sinaga S.H, M.H., Hakim Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 24 Oktober 2012.

Wawancara dengan Jonny Sitohang, Hakim Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 24 Oktober 2012.

Wawancara dengan Amrizal Fahmy, S.H, jaksa tilang Kejaksaan Negeri Medan pada tanggal 7 November 2012.

Wawancara dengan Agustinus P, SH, di Kejaksaan Negeri Medan pada tanggal 3 Oktober 2012.

Wawancara dengan M.H. Sitorus,SH., Kepala Urusan Pembinaan Operasional Polantas Medan pada tanggal 30 Oktober 2012.

Wawancara dengan Benny,SH, Polantas Medan di Polres Medan pada tanggal 30 Oktober 2012.

Wawancara dengan Ricky, pelajar SMA Negeri Medan, pengendara mobil pada tanggal 2 November 2012.

Wawancara dengan Aries Reza, mahasiswa UMSU, Pengendara Roda Dua pada tanggal 2 November 2012.

Wawancara dengan Miftahul Azhmi, pelajar SMA Negeri Medan, pengendara roda dua pada tanggal 2 November 2012.