Sanksi Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Kecil berdasarkan Persepktif UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 974/Pid.B/2014/PN.Mdn)

(1)

ABSTRAK Rani Trisna T  Madiasa Ablisar ** Syafruddin Sulung H***

Faktor perizinan merupakan peranan penting untuk melakukan kegiatan usaha terutama dalam bidang industri sangat diperlukan adanya izin usaha. Izin digunakan sebagai sarana yuridis untuk mengendalikan tingkah laku warga Negara dan untuk mendapatkan pengesahan dari pemerintah dan mempunyai kekuatan hukum. Salah satu kebijakan dalam upaya mewujudkan suatu industru yang memiliki izin usaha adalah disahkannya UU No. 5 Tahun 1984 tentang perindustrian, UU tersebut di keluarkan untuk mengatasi segala bentuk pelanggaran dan kejahatan di bidang industri salah satunya adalah industri yang tidak memiliki izin usaha.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logikan keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan analisis kualitatif. Pengaturan terhadap pelaku tanpa izin melakukan kegiatan industri diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian Jo Undang-Undang No. 3 tahun 2014 tentang Perindustrian dan Perda Kota Medan No. 10 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin Usaha Industri, perdagangan, gudang/ruangan dan tanda daftar perusahaan. Sedangkan penjatuhan pidana denda terhadap pelaku tanpa izin melakukan kegiatan industri terkhusus industri kecil dimana uang denda diserahkan kepada kas Negara dan pembayaran sanksi denda dapat digantikan dengan pidana kurungan apabila tersangka tidak dapat membayar uang denda tersebut.

Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tanpa izin melakukan kegiatan industri berdasarkan kasus yang dianalisis dalam penelitian ini berbentuk vonis majelis hakim berupa vonis sanksi denda subsidair pidana kurungan selama 2 bulan kepada terdakwa pelaku tindak pidana industri kecil tanpa izin. Berdasarkan dakwaan yang dikenakan oleh jaksa penuntut umum, terdakwa didakwa melanggar ketentuan pasal 24 ayat 1 Jo pasal 13 ayat 1 UU RI No. 5 Tahun 1984 tentang perindustrian. Putusan ini sudah berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang dikarenakan tidak sesuai dengan keadilan untuk proses penegakan hukum pidana.

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing I dan Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU *** Dosen Pembimbing II dan Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana USU


(2)

ABSTRAK Rani Trisna T  Madiasa Ablisar ** Syafruddin Sulung H***

Faktor perizinan merupakan peranan penting untuk melakukan kegiatan usaha terutama dalam bidang industri sangat diperlukan adanya izin usaha. Izin digunakan sebagai sarana yuridis untuk mengendalikan tingkah laku warga Negara dan untuk mendapatkan pengesahan dari pemerintah dan mempunyai kekuatan hukum. Salah satu kebijakan dalam upaya mewujudkan suatu industru yang memiliki izin usaha adalah disahkannya UU No. 5 Tahun 1984 tentang perindustrian, UU tersebut di keluarkan untuk mengatasi segala bentuk pelanggaran dan kejahatan di bidang industri salah satunya adalah industri yang tidak memiliki izin usaha.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logikan keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan analisis kualitatif. Pengaturan terhadap pelaku tanpa izin melakukan kegiatan industri diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian Jo Undang-Undang No. 3 tahun 2014 tentang Perindustrian dan Perda Kota Medan No. 10 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin Usaha Industri, perdagangan, gudang/ruangan dan tanda daftar perusahaan. Sedangkan penjatuhan pidana denda terhadap pelaku tanpa izin melakukan kegiatan industri terkhusus industri kecil dimana uang denda diserahkan kepada kas Negara dan pembayaran sanksi denda dapat digantikan dengan pidana kurungan apabila tersangka tidak dapat membayar uang denda tersebut.

Pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tanpa izin melakukan kegiatan industri berdasarkan kasus yang dianalisis dalam penelitian ini berbentuk vonis majelis hakim berupa vonis sanksi denda subsidair pidana kurungan selama 2 bulan kepada terdakwa pelaku tindak pidana industri kecil tanpa izin. Berdasarkan dakwaan yang dikenakan oleh jaksa penuntut umum, terdakwa didakwa melanggar ketentuan pasal 24 ayat 1 Jo pasal 13 ayat 1 UU RI No. 5 Tahun 1984 tentang perindustrian. Putusan ini sudah berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang dikarenakan tidak sesuai dengan keadilan untuk proses penegakan hukum pidana.

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing I dan Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU *** Dosen Pembimbing II dan Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana USU


(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hukum pidana adalah masalah pidana dan pemidanaan. Sifat pidana merupakan suatu penderitaan pidana yang dijatuhkan bagi mereka yang di anggap bersalah merupakan sifat derita yang harus dijalani, meskipun demikian sanksi pidana bukan semata- mata bertujuan untuk memberikan rasa derita.

Pemidanaan adalah suatu proses sebelum proses itu berjalan, peranan hakim sangat penting sekali. Hakim mengkonkretkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa dalam kasus tertentu. Penjatuhan pemidanaan pada pelaku tindak pidana itu mempunyai tujuan, Pemidanaan merupakan efek jera untuk seseorang agar tidak melakukan tindak pidana. Tujuan dari pemidanaaan adalah :1

a. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventive) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventive).

b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

Teori pemidanaan ada 3 yaitu :2 1. Teori Absolut (Teori Retributif)

Memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, berorientasi pada perbuatan dan terletak pada

1

Wirjono Prodjodikoro, Asas- Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hal 19.

2

M.Sholehuddin, Sistem Saanksi Dalam Hukum Pidana, PT.Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 34-41.


(4)

terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori retributif mencari pendasaran pemidanaan dengan memandang ke masa lampu yaitu memusatkan argumennya pada tindakan kejahatan yang sudah dilakukan.

2. Teori Relatif (Teori Tujuan)

Berporos pada tiap tujuan utama pemidanaan yaitu : preventif, deterrence dan reformatif. Tujuan prevention dalam pemidanaan adalah untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan deterrence dalam pemidanaan adalah untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan.Teori relatif memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat.

3. Teori Gabungan

Mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asan pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut :3

a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.

b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.

Tujuan pidana berupa perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, tujuan umum itu merupakan induk dari keseluruhan pendapat atau teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Aspek atau bentuk-bentuk perlindungan masyarakat untuk mecapai kesejahteraan masyarakat itu dapat dikemukakan sebagai berikut :4

1. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap perbuatan anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat, maka timbullah pendapat atau teori bahwa tujuan pidana dan hukum pidana adalah penanggulangan kejahatan.

2. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap sifat berbahayanya orang (si pelaku), maka timbul terhadap yang menyatakan bahwa tujuan pidana untuk memperbaiki pelaku.

3

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I : Stestel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan, Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT RajaGrafindo Persada, Malang, 2001, hal 166.

4

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Genta Publishing, Semarang, 2009, hal 86-89.


(5)

3. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasan dalam menggunakan sanksi pidana atau reaksi terhadap pelanggar pidana, maka dikatakan bahwa tujuan pidana dan hukum pidana adalah untuk mengatur atau membatasi kesewenangan penguasa maupun warga masyarakat pada umumnya.

4. Aspek lain dari perlindungan masyarakat adalah perlunya mempertahankan keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu oleh adanya kejahatan. Sehubungan dengan ini, maka sering pula dikatakan bahwa tujuan pidana adalah untuk memelihara atau memulihkan keseimbangan masyarakat.

Penjatuhan hukuman untuk setiap orang yang melakukan kegiatan industri tanpa izin usaha diatur didalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan diatur didalam UU (Undang-Undang) yang mengatur tentang Perindustrian. Sanksi yang dikenakan bukan hanya sanksi pidana penjara saja, melainkan dikenal juga dengan adanya sanksi pidana denda. Sanksi denda juga dapat di pandang sebagai alternatif pidana pencabutan kemerdekaan. 5 Pidana pencabutan kemerdekaan yang di anggap menderitakan menimbulkan suatu alternatif bentuk pidana yaitu pidana denda.

Pidana denda merupakan keserasian antara kerugian yang di timbulkan oleh suatu tindak pidana dengan besarnya denda yang harus dibayar oleh terpidana dengan mempertimbangkan minimum ataupun maksimum pidana denda yang di ancamkan terhadap suatu tindak pidana namun kecenderungan seperti ini belum cukup maksimal dilakukan.

Setiap orang pernah melakukan pelanggaran di berbagai bidang apapun misalnya di bidang ekonomi tentang menghasilkan keuntungan, salah satunya dalam melakukan kegiatan usaha, seperti Perdagangan, Industri, Jasa dan lain

5

Niniek Suparni, Ekstistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal 36.


(6)

sebagainya. Dalam melakukan kegiatan usaha setiap orang memiliki hak yang sama sebagaimana dijelaskan dalam pasal 27 ayat 2 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia, bahwa setiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, artinya hak- hak manusia tidak dibeda-bedakan dalam melakukan suatu kegiatan usaha.

Untuk melakukan kegiatan usaha terutama dalam bidang industri di perlukan adanya izin usaha. Izin merupakan instrument yang paling banyak digunakan dalam hukum yang oleh pemerintah, izin itu digunakan sebagai sarana yuridis untuk mengendalikan tingkah laku warga Negara. Selain penting bagi Pemerintah izin juga penting bagi warga Negara agar mendapat pengesahan dari pemerintah dan mempunyai kekuatan hukum.

Faktor perizinan juga ikut memainkan peranan penting dalam mewujudkan tujuan pembangunan. Faktor ini harus mampu memberikan motivasi yang dapat meningkatkan kesadaran akan perlunya suatu izin dalam mendirikan tempat usaha seperti kegiatan mendirikan, memperbaharui, mengganti seluruh atau sebahagiandan memperluas bangunan tempat usaha tanpa mengurus izin tempat usaha dengan alasan bermacam-macam.

Salah satu kebijakan dalam upaya mewujudkan suatu industri yang memiliki izin usaha adalah dengan disahkannya UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, kebijakan ini merupakan kontribusi terhadap meningkatnya kegiatan usaha. Salah satu peraturan tentang Industri tanpa izin yang menentukan masalah pidana denda adalah UU No 5 tahun 1984 tentang Perindustrian. UU tersebut di keluarkan untuk mengatasi segala bentuk pelanggaran industri yang


(7)

sering terjadi di Indonesia salah satu yang sering terjadi adalah sebuah Industri yang tidak memiliki izin usaha.

Tanggal 13 Januari 2014 telah diganti UU No. 5 Tahun 1984 menjadi UU No 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, UU tersebut dibentuk dengan tujuan untuk menjawab kebutuhan dan perkembangan akibat perubahan lingkungan strategis dan skaligus mampu menjadi landasan hukum bagi tumbuh, berkembang dan kemajuan industri nasional. UU perindustrian yang baru diharapkan dapat menjadi instrument pengaturan yang efektif dalam pebangunan industri dengan tetap menjamin aspek keamanan, keselamatan, dan kesehatan manusia serta kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Kasus industri tanpa izin usaha terdapat di berbagai wilayah Indonesia. Salah satunya terjadi di Kota Medan, ada pun Peraturan daerah yang menangani masalah perindustrian adalah Perda kota Medan No. No. 10 Tahun 2002 tentang Retibusi Izin Usaha Industri, Perdagangan, Gudang/Ruangan dan Tanda Daftar Perusahaan. Dalam ketentuan pidananya menentukan adanya ancaman pidana terhadap orang perseorangan atau badan hukum yang melanggar perda tersebut.

Salah satu kasus yang terjadi di Kota Medan adalah tindak pidana yang dilakukan oleh seorang penjual gas tanpa izin di toko dagangannya. Dengan barang bukti berupa Tabung gas berisi ukuran 12 Kg sebanyak 24 Tabung, Tabung gas berisi ukuran 3 Kg sebanyak 141 Tabung, Tabung gas kosong ukuran 12 Kg sebanyak 45 Tabung, Tabung Gas kosong ukuran 12 Kg sebanyak 4 Tabung dan Tabung Gas ukuran 3 Kg sebanyak 3 Tabung, selang plastik yang dimodifikasi memiliki 2 (dua) buah regulator pada masing- masing ujung slang


(8)

sebagai alat pemindah gas dari tabung ukuran 3 Kg bersubsidi ke tabung gas ukuran 12 Kg ukuran Non subsidi sebanyak 4 set, pipa plastik warna putih sebanyak 4 (empat) buah, tang besi bersarung karet 1 (satu) buah, gergaji besi 1 (satu) buah, kunci pas 14/17 1 (satu) buah, karet gas warna merah 1 (satu) kantong plastik, tutup segel gas elpiji ukuran 3 Kg bersubsidi ± 400 (empat ratus) buah. Hakim yang mengadili kasus tersebut menetapkan pidana denda pada pelaku pidana adalah sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) subsidair dua bulan penjara.6

Sanksi denda yang dijatuhkan kepada pelaku merupakan sanksi yang sangat ringan dikarenakan pelaku merupakan angota kepolisian salah satu aparat penegak hkum yang seharusnya menjadi panutan serta memberikan contoh yang baik kepada masyarakat sekitar tetapi dengan adanya kasus ini pelaku memberikan kergian kepada konsumen yang memakainya.

Berdasarkan ringannya sanksi denda yang dijatuhkan Hakim pada pelaku Tindak pidana Industri tanpa Izin Usaha yang sebesar Rp. 2.500.000 apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku ? Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk membuat penulisan skripsi dengan judul “Sanksi Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Kecil berdasarkan Persepktif UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 974/Pid.B/2014/PN.Mdn)”

6


(9)

B. Perumusan Masalah

Dengan adanya latar belakang tentang Sanksi Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Kecil muncul beberapa pertanyaan yang di jadikan rumusan masalah yaitu :

1. Bagaimanakah Pengaturan Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri ?

2. Bagaimana Pengaturan Sanksi Pidana Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Kecil ?

3. Bagaimana Penjatuhan Sanksi Pidana Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri dalam Putusan Pengadilan Negeri MedanNo. 974/Pid.B/2014/PN.Mdn ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan Penulisan:

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui Bagaimana Pengaturan Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri.

2. Untuk mengetahui Bagaimana Penjatuhan Sanksi Pidana Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Kecil.

3. Untuk mengetahui Bagaimana dan apakah sudah adil Hakim Menjatuhkan Sanksi Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri dalam Putusan Pengadilan Negeri MedanNo. 974/Pid.B/2014/PN.Mdn.


(10)

Manfaat Penulisan :

Disamping tujuan yang akan dicapai sebagaimana yang dikemukakan diatas, adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

a. Manfaat secara Teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana khususnya mengenai pertanggungjawaban pelaku yang melakukan industri tanpa izin usaha dan Perkembangan sanksi Pidana Denda.

b. Manfaat Praktis

Selain Manfaat secara Teoritis, Penulisan skripsi ini dapat memperluas pengetahuan tentang penerapan ilmu yang didapat selama perkuliahan di lapangan, serta menambah wacana Ilmu Hukum Pidana tentang pertanggungjawaban Pelaku yang melakukan Industri Tanpa Izin Usaha juga bagi Pemerintah dan instansi Penegak Hukum dalam memecahkan Pemasalahan- permasalahan yang terjadi di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Setelah ditelusuri seluruh daftar skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana, tidak ditemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan dengan judul dan

permasalahan yang akan di angkat yaitu tentang “Sanksi Denda Terhadap Pelaku

Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Kecil berdasarkan Persepktif UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 974/Pid.B/2014/PN.Mdn).


(11)

Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, pemikiran, gagasan dan usaha penulis sendiri tanpa adanya penjiplakan dari hasil karya orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu, namun apabila terdapat kesamaan maka penulis siap bertanggung jawab atas keaslian penulisan skripsi ini.

E.Tinjauan Kepustakaan

Disamping teori-teori yang telah penulis kemukakan yang tidak kalah pentingnya lagi yang harus diperhatikan di dalam menganalisis penjatuhan pidana denda terhadap pelaku yang melakukan kegiatan industri tanpa izin, adalah Konstruksi hukum, yang memberikan landasan bagi penjatuhan tindak pidana Industri tanpa izin usaha tersebut. Oleh karenanya untuk melihat apakah hukum yang ada telah memberikan dasar yuridis yang jelas dan tegas, maka teori yang penulis terapkan adalah Hirearki Perundang-undangan, yang penulis tujukan untuk melihat kesesuaian antara aturan hukum yang satu dengan hukum yang lainnya, yang berkaitan dengan penjatuhan sanksi pidana denda terhadap pelaku tindak pidana industri tanpa izin usaha. Disini penulis menerangkan dan menguraikan tentang : pengertian sanksi denda, pengertian pelaku tindak pidana, pengertian industri tanpa izin usaha, klasifikasi industri.

1. Pengertian Pidana Denda

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dikenakan atau di jatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana, sedangkan denda menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah hukuman yang berupa keharusan membayar dalam bentuk uang (karena melanggar aturan,


(12)

undang- undang dsb). Jadi, defenisi dari pidana denda adalah suatu hukuman yang berupa keharusan membayar dalam bentuk uang yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan kepada seseorang yang terbukti melakukan kesalahan.

Tujuan dari penjatuhan denda bukan semata- mata untuk menambah pemasukan keuangan Negara, melainkan harus dikaitkan dengan tujuan- tujuan pemidanaan. Pengaturan dan penerapan denda baik dalam tahap legislatif (pembuat undang- undang) tahap yudikatif (penerapannya oleh hakim), maupun tahap pelaksanaannya oleh komponen peradilan pidana yang berwenang (eksekutif) harus dilakukan sedemikian rupa sehingga efektif dalam mencapai tujuan pemidanaan, oleh karena itu pidana denda senantiasa dikaitkan dengan pencapaian tujuan pemidanaan.

Efektifitas suatu pemidanaan tergantung pada suatu jalinan mata rantai tahap- tahap atau proses sebagai berikut :7

a. Tahap penetapan pidana (denda) oleh pembuat undang- undang. b. Tahap pemberian atau penjatuhan pidana (denda) oleh pengadilan, dan c. Tahap pelaksanaan pidana (denda) oleh aparat yang berwenang.

Penelusuran sejarah tentang pidana denda, diketahui bahwa cara pemidanaan pidana denda amat tua, akan tetapi jalan kemenangannya baru dimulai seratus tahun terakhir. Tentang sejarah penerapan pidana denda ada 4 (empat) periode cara penerapannya yaitu sebagai berikut :8

1. Pada awal abad pertengahan dengan dikenal sebagai sistem ganti rugi atau sistem dimana semua perbuatan pidana diselesaikan dengan sistem

7

https://sudiryona.wordpress.com/2012/05/27/ sejarah-dan-perkembangan-pidana-denda/ tanggal 26 Febuari 2015.

8

https://sudiryona.wordpress.com/2012/05/27/ sejarah-dan-perkembangan-pidana-denda/ tanggal 26 Febuari 2015.


(13)

pembayaran uang, binatang atau sejenisnya menurut daftar tarif yang sudah ditentukan. Pada periode ini penjara tidak dikenal dan jenis pekerjaan utama adalah pertanian.

2. Terjadi pada akhir abad pertengahan, dengan berkembangnya jumlah penduduk, terjadilah banyak permasalahan sosial, kemerosotan ekonomi dan peningkatan kejahatan terhadap harta kekayaan, sehingga melahirkan suatu sistem untuk menyakiti penjahat melalui penerapan pidana secara kasar.

3. Pada 1600-an sampai Revolusi Industri, yang berkembang pada masa itu adalah penerapan pidana penjara, yang mengalami berbagai macam perubahannya.

4. Pada abad kedelapan belas dengan ditandai munculnya pidana mati, sebagai upaya untuk menakut-nakuti rakyat miskin yang sudah kebal terhadap pidana perampasan kemerdekaan.

Pidana denda sudah dikenal secara meluas di seluruh Indonesia, dalam menetapkan besar kecilnya denda tergantung pada besar atau kecilnya kesalahan yang diperbuat, yaitu dapat diperinci sebagai berikut :

a. Berdasarkan kasta orang yang bersalah dan kepada siapa kesalahan itu diperbuat.

b. Berdasarkan akibat yang diderita oleh orang atau binatang yang terkena. c. Berdasarkan perincian anggota yang terkena.

d. Berdasarkan berlakunya perbuatan.

e. Berdasarkan niat orang yang berbuat salah.

f. Berdasarkan jenis binatang atau barang yang menjadi objek perbuatan.

Menurut pasal 30 ayat 1 KUHP, jumlah denda sekurang-kurangnya dua puluh sen . kini, tidak ada diadakan maksimum umum, maka tiap-tiap pasal yang mengancam dengan hukuman denda, tidak ada batas dalam menentukan maksimum denda untuk tindak pidana tertentu. Sedangkan menurut UU No. 18 Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Pidana Denda Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Dalam Ketentuan-Ketentuan Pidana Lainnya


(14)

Yang Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus 1945 pasal 1 telah terjadi perubahan tentang pidana denda yang menyebutkan:

“tiap jumlah hukuman denda yang diancamkan, baik dalam Kitab

Undang-Undang Hukum pidana, sebagaimana beberapa kali telah ditambah dan diubah dan terakhir dengan Undang-undang No. 1 tahun 1960, maupun dalam ketentuan-ketentuan pidana lainnya yang telah dikeluarkan sebelum taggal 17 agustus 1945, sebagimana telah diubah sebelum hari mulai berlakunya Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang ini (ketentuan-ketentuan tindak pidana yang telah dimasukkan dalam tindak pidanaekonomi, tidak masuk disini), harus dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali “

Alasan dilakukannya perubahan pidana denda menurut penjelasan pasal 1 UU No. 18 Tahun 1960 sebagai ukuran bahwa semua harga barang sejak tanggal 17 agustus 1945 rata-ratatelah meningkat sampai lima belas kali harga pada waktu itu. Oleh karena itu, maksimum jumlah hukuman denda itu, dilipatgandakan dengan lima belas kali dalam mata uang rupiah.9

Pembayaran denda tidak harus terpidana, maka akan dapat dilakukan oleh setiap orang yang sanggup membayarnya. Dilihat dari pelaksanaan pembayaran yang demikian akan mengaburkan sifat hukumannya.10 Membayar denda tentu saja pertama-tama adalah terhukum sendiri, oleh karena sifat pidana adalah sangat pribadi. Tetapi dalam prakteknya kerapkali pihak lain yang membayar denda itu, atau memberikan uang kepada siterhukum untuk membayar denda. Jika hal ini dilarang maka seharusnya ditentukan dalam undang- undang bahwa pembayaran dilakukan oleh siterhukum sendiri dan pihak ketiga dilarang melakukan

9

R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, Politeia, Bogor,1986, hal 393.

10

R.Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 173.


(15)

pembayaran untuk terhukum. Tetapi kini menurut KUHP kita masih berlaku bahwa denda dapat dibayar oleh pihak ketiga.11

2. Pengertian Pelaku Tindak Pidana

Pelaku adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu tidak sengajaan seperti yang diisyaratkan oleh Undang-Undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur objektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena gerakkan pihak ketiga.

Orang yang dapat dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana dapat dikelompokkan kedalam beberapa macam antara lain :

1. Orang yang melakukan (dader plagen)

Orang ini bertindak sendiri untuk mewujudkan segala maksud suatu tindak pidana.

2. yang menyuruh melakukan dan yang menyuruh melakukan, jadi Orang yang menyuruh melakukan (doen plagen)

Dalam tindak pidana ini perlu paling sedikit dua orang yakni orang bukan pelaku utama yang melakukan tindak pidana, tetapi dengan bantuan orang lain yang hanya merupakan alat saja.

3. Orang yang turut melakukan (mede plagen)

Turut melakukan artinya disini ialah melakukan bersama-sama dalam tindak pidana ini pelakunya paling sedikit harus ada dua orang atau lebih yaitu yang melakukan (dader plagen) dan orang yang turut melakukan (mede plagen).

4. Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, penyalagunaan kekuasaan atau martabat, memakai paksaan atau orang yang dengan sengaja membujuk orang yang melakukan perbuatan. Orang yang dimaksud harus dengan sengaja menghasut orang lain, sedangkan hasutannya memakai cara-cara memberi upah, perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat dan lain- lain sebagainya.

11


(16)

Rumusan tindak pidana di dalam buku kedua dan ketiga KUHP biasanya di

mulai dengan kata “barang siapa”. Ini mengandung arti bahwa yang dapat

melakukan tindak pidana atau subjek tindak pidana pada umumnya adalah manusia. Sejarah perundang-undangan hukum pidana, pernah dinyatakan bahwa bukan hanya manusia yang disebut sebagai subjek hukum pidana tetapi juga hewan karena hewan juga pernah melakukan tindak pidana tetapi hewan tidak dapat di minta pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukan, namun setelah itu hanya manusia yang dinyatakan sebagai subjek hukum.

Selain manusia (natuurlijke person), korporasi juga dapat dinyatakan sebagai subjek tindak pidana dikarenakan korporasi dapat melakukan tindak pidana, meskipun yang berkedudukan di dalam korporasi adalah pengurus atau komisaris suatu badan hukum maka dari itu subjek tindak pidana diperluas termasuk badan hukum. Bentuk pidana terhadap pribadi tidak dapat diterapkan pada badan hukum, kecuali jika yang harus dipidana adalah pribadi pengurus atau komisaris badan hukum tersebut.12

Mengenai kedudukan sebagai pembuat tindak pidana dan sifat pertanggung jawaban pidana dari korporasi terdapat kemungkinan sebagai berikut :13

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan oleh karena itu penguruslah yang bertanggung jawab;

b. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus yang bertanggung jawab; atau

12

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT.Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hal 55.

13


(17)

c. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang bertanggung jawab.

Pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang semula hanya berlaku untuk tindak-tindak pidana tertentu di luar kitab Undang-Undang Hukum Pidana, berlaku juga secara untuk tindak-tindak pidana lain baik di dalam maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sanksi terhadap korporasi dapat berupa pidana, namun dapat pula berupa tindakan tata tertib.14

Konteks kejahatan yang di lakukan oleh korporasi akan menimbulkan banyak korban. Yang menjadi korban dalam tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah sebagai berikut :15

1. Perusahaan saingan sebagai akibat kejahatan spionase industri yang melanggar hak milik intelektual, kompetisi yang tidak sehat, praktik-praktik monopoli, dan lain-lain.

2. Negara sebagai akibat kejahatan korporasi, seperti informasi palsu terhadap instansi pemerintah, korupsi, tindak pidana ekonomi, tindak pidana subversi, dan lain-lain.

3. Karyawan sebagai akibat kejahatan korporasi berupa lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak aman, pengekangan hak untuk membentuk organisasi buruh, tidak dipenuhinya upah minimum, dan lain-lain.

4. Konsumen sebagai akibat advertensi yang menyesatkan, menciptakan hasil produksi yang beracun dan berbahaya, dan lain-lain.

5. Masyarakat sebagai akibat pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, penggelapan, penghindaran pajak dan lain-lain.

6. Pemegang saham sebagai akibat penipuan dan pemalsuan akuntansi, dan lain-lain.

Kesalahan korporasi diidentifikasi dari kesalahan pengurus yang memiliki kedudukan fungsional (mempunyai kewenangan untuk mewakili korporasi, mengambil keputusan atas nama korporasi dan kewenangan menerapkan

14

Ibid hal 28.

15

Etty Utju R. Koesoemahatmadja, Hukum Korporasi Penegakan Hukum terhadap Pelaku Economic Crimes dan Perlindungan Abuse of Power, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2011, hal 6.


(18)

pengawasan terhadap korporasi), yang melakukan tindak pidana dengan menguntungkan korporasi, baik sebagai pelaku, sebagai orang yang menyuruh melakukan, sebagai orang yang turut serta melakukan, sebagai penganjur maupun sebagai pembantu tindak pidana yang dilakukan bawahannya didalam ruang lingkup usaha atau pekerjaan korporasi tersebut.

3. Pengertian Industri Tanpa Izin Usaha

Pengertian Industri bermacam-macam, menurut Badan Pusat Statistik, Industri adalah sebuah kesatuan unit usaha yang menjalankan kegiatan ekonomi dengan tujuan untuk menghasilkan barang atau jasa yang berdomisili pada sebuah lokasi atau tempat tertentu dan memiliki catatan administrasi sendiri. UU No. 5 tahun 1984 memberikan defenisi Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancangan bangun dan perekayasaan Industri.16

Jenis usaha didalam produksi/industri adalah jenis usaha yang terutama bergerak dalam kegiatan proses pengubahan suatu barang/bahan lain yang berbeda bentuk atau sifatnya dan mempunyai nilai tambah.17 Kegiatan ini dapat berupa produksi/industri pangan, pakaian, peralatan rumah tangga, kerajinan, bahan bangunan, dan sebagainya.

Izin merupakan suatu penetapan tertulis dari pemerintah yang bersifat publik yang diberikan berdasarkan wewenang pemerintah. Menurut para ahli pengertian izin adalah sebagai berikut :

16

Undang- Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.

17


(19)

Praduji Atmosudirdjo menyatakan Izin (Vergunning) adalah suatu penetapan yang merupakan suatu larangan oleh undang- undang. Yang

bersangkutan berbunyi “dilarang tanpa izin….(melakukan)…dan seterusnya.” Selanjutnya, larangan tersebut diikuti dengan perincian syarat- syarat, kriteria, dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh dispensasi dari larangan, disertai dengan penetapan prosedur dan petunjuk pelaksanaan kepada pejabat- pejabat administrasi Negara yang bersangkutan.18

Sistem pemerintahan di Indonesia dalam hal wewenang pemberian izin merupakan salah satu bentuk pelimpahan wewenang pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah, dalam hal ini pelimpahan pemberian izin ini diatur secara umum dalam Undang- Undang Dasar Republik Indonesia 1945, pasal 18 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa :

Ayat (1) Negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.

Ayat (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri usaha pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pemerintahan.

Implementasi dari Undang-Undang Dasar 1945, pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) diatas oleh pemerintahan Kota Medan, dapat dilihat dengan adanya pengaturan khusus mengenai izin tempat usaha di Kota Medan. Oleh karena itu, setiap kegiatan mendirikan tempat usaha di Kota Medan harus memiliki izin dari pejabat yang berwenang. Izin tempat usaha yang dimaksud adalah izin yang diberikan bagi tempat usaha yang tidak menimbulkan bahaya, kerugian dan gangguan, dan tercemarnya lingkungan, dikecualikan kepada tempat usaha yang lokasinya telah ditunjuk pemerintah daerah meliputi kawasan industri dan Zona industri.

18

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Gahlia Indonesia, Jakarta, 1983, hal 94.


(20)

4. Pengertian Klasifikasi Industri

Indonesia tidak mengenal adanya defenisi yang jelas mengenai apa itu perusahaan skala menengah atau skala besar. Klasifikasi industri resmi, misalnya mengelompokkan sebagai berikut :

1. Industri kecil,

2. Industri menengah, dan 3. Industri besar

Pengelompokkan ini menjadi lebih rumit lagi dengan kenyataan bahwa kategori-kategori tersebut akan berbeda menurut defenisinya tergantung pada apakah perusahaan-perusahaan itu berada dalam sector pertanian, industri, perdagangan atau jasa. Adanya keanekaragaman definisi tersebut, maka kajian ini merupakan konvensi yang paling dekat mewakili konsep usaha kecil dan menengah sebagaimana diartikan pada kajian-kajian Negara lainnya, sebagai berikut :19

- Dalam hubungan dengan data sekunder, industri-industri kecil akan dimasukkan dengan usaha-usaha kecil dan menengah.

- Dalam survai primer kami sendiri, usaha kecil menegah terutama akan memperoleh gambaran yang lebih lengkap.

Skala perusahaan didefinisikan menurut jumlah pekerja, maka :20 1. Suatu perusahaan skala kecil memperkerjakan 1-10 pekerja. 2. Suatu perusahaan skala menengah memperkerjakan 10-50 pekerja. 3. Suatu perusahaan skala besar memperkerjakan 50 pekerja atau lebih.

19

Ibid hal 16-17.

20


(21)

Industri kecil menurut departemen perindustrian meliputi banyak jenis industri menufaktur, kiranya bermanfaat bila kita mengacu ke berbagai kategori industri kecil menurut defenisi departemen perindustrian. Dengan cara ini, dapat dibuat perkiraan mengenai peranan relatif berbagai kategori industri kecil dan juga keefektifan berbagai program bantuan teknis yang dirancang untuk berbagai kategori industri kecil ini.

Departemen perindustrian membedakan kategori-kategori industri kecil berikut ini :21

1. Industri kecil modern

Menurut defenisi departemen perindustrian, industri kecil modern meliputi industri kecil yang :

- Menggunakan teknologi proses madya; - Mempunyai skala produksi yang terbatas;

- Tergantung pada dukungan litbang dan usaha-usaha kerekayasaan (industri besar);

- Dilibatkan dalam sistem produksi industri besar dan menengah dan dengan sistem pemasaran domestik dan ekspor;

- Menggunakan mesin khusus dan alat perlengkapan modal lainnya. 2. Industri kecil tradisional

Berlainan dengan industri kecil modern, industri kecil tradisional pada umumnya mempunyai ciri-ciri :

- Teknologi proses yang digunakan secara sederhana;

- Teknologi pada bantuan Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang disediakan oleh Departemen Perindustrian sebagai bagian dari program bantuan teknisnya kepada industri kecil;

- Mesin yang digunakan dan alat perlengkapan modal lainnya relatif sederhana;

- Lokasinya di daerah pedesaan;

- Akses untuk menjangkau pasar di luar lingkungan langsungnya yang berdekatan terbatas.

3. Industri kerajinan kecil

Industri kerajinan kecil meliputi berbagai industri kecil yang sangat beragam mulai dari industri kecil yang menggunakan teknologi proses madya atau malahan teknologi proses yang maju.

21


(22)

Selain potensinya untuk menyediakan lapangan kerja dan kesempatan untuk memperoleh pendapatan bagi kelompok-kelompok yang berpendapatan rendah, terutama di daerah pedesaan, industri kecil kerajinan juga didorong atas landasan budaya yakni mengingat peranan pentingnya dalam pelestarian warisan budaya Indonesia. Kriteria Industri Kecil adalah sebagai berikut :22

a. Investasi yang mencakup bangunan, mesin dan peralatan dengan nilai seluruhnya tidak lebih dari dua ratus juta rupiah,

b. Pemiliknya adalah Warga Negara Indonesia. F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yakni dengan pengumpulan data secara Studi Kepustakaan yaitu dengan meneliti bahan-bahan pustaka atau data-data sekunder. di dalam penelitian hukum, di pergunakan pula data sekunder yang dari sudut kekuatan mengikatnya di golongkan ke dalam bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder.

2. Bahan Hukum

Penulisan Skripsi ini menggunakan sumber data sekunder. Data sekunder yang diperoleh dari :23

a. Bahan Hukum Primer, yaitu merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

22

Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011,hal 130.

23

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Penerbit Prenadamedia Group, Surabaya, 2005, hal 181.


(23)

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua publikasi tentang hukum bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan

3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Penulisan Skripsi ini dipergunakan metode Studi Kepustakaan. Metode melalui kepustakaan yakni melalui penelitian dengan berbagai sumber bacaan dari bahan pustaka yang disebut sebagai data sekunder.

4. Analisa Data

Analisa data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah analisa kualitatif, yaitu pengolahan data berdasarkan fakta- fakta yang diperoleh, kemudian disusun secara sistematis dan kemudian dianalisa secara kualitatif untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang di teliti.24

G. Sistematika Penulisan

Agar mudah dalam penyusunan dan memahami isi pesan yang ingin disampaikan maka dalam penulisan skripsi ini akan dibagi menjadi 5 ( lima ) bab, yaitu :

BAB I: Pendahuluan, dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang penulisan sehingga mengangkat permasalahan tersebut, perumusan masalah, tujuan dan manfaat yang ingin dicapai melalui penulisan skripsi ini, keaslian penulisan, tinjauan

24

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 2001, hal 55.


(24)

kepustakaan, metode penulisan yang dipakai secara sistematika penulisan.

BAB II: Pengaturan Sanksi Pidana Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri menurut UU No. 5 Tahun 1984, dan Pengaturan Sanksi Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri menurut UU No. 3 Tahun 2014 dan dalam bab ini diuraikan tentang pengaturan pidana denda di Perda Kota Medan No. 10 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin Usaha Industri, Perdagangan, Gudang/Ruangan dan Tanda Daftar Perusahaan. BAB III: Penjatuhan Pidana Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan

Kegiatan Industri melalui jenis-jenis sanksi pidana yang dapat dijatuhkan, pengaturan sanksi denda di KUHP, kelemahan dan keuntungan sanksi denda, kedudukan dan manfaat pidana denda dibandingkan dengan pidana lainnya dalam UU No. 5 Tahun 1984 dan Penjatuhan antara Pelanggaran dan Kejahatan didalam UU No. 5 tahun 1984.

BAB IV: Kajian yuridis Pidana Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Tanpa Izin ditinjau dari Putusan PN Medan No. 974/Pid.B/2014/PN.Mdn, dalam bab ini diuraikan tentang posisi kasus dan analisis kasus putusan PN Medan No. 974/Pid.B/2014/PN.Mdn.


(25)

BAB V: kesimpulan dan saran, bab ini merupakan bab terakhir yang memuat kesimpulan dan saran atas setiap permasalahan yang telah dikemukakan.


(26)

BAB II

PENGATURAN TERHADAP PELAKU TANPA IZIN MELAKUKAN KEGIATAN INDUSTRI KECIL

A. Pengaturan Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri dalam UU No. 5 Tahun 1984

1. Tindak Pidana dalam hal Perizinan

Setiap industri harus memiliki izin usaha dalam pembangunan industri, pada pasal 13 dijelaskan tentang izin usaha industri yaitu :

1. Setiap pendirian perusahaan industri baru maupun setiap perluasannya wajib memperoleh izin usaha.

2. Pemberian izin usaha industri terkait dengan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan industri.

3. Kewajiban memperoleh izin usaha industri dapat dikecualikan bagi jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil.

4. Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 3 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Industri diwajibkan dan diharuskan untuk mempunyai izin disetiap perkembangan serta perluasannya dan pemberian izin tersebut harus ada kaitannya dengan perkembangan industri untuk mejadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Penjelasan pasal 13 angka :

Pengecualian untuk mempunyai izin usaha industri ini ditujukan terhadap jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil yang karena sifat usahanya serta investasinya kecil lebih merupakan mata pencaharian dari golongan masyarakat berpenghasilan rendah seperti usaha industri rumah tangga dan industri kerajinan. Pasal 14

1. Sesuai dengan izin usaha industri yang diperolehnya berdasarkan pasal 13 ayat 1, perusahaan industri wajib menyampaikan informasi industri secara berkala mengenai kegiatan dan hasil produksinya kepada pemerintah.


(27)

2. Kewajiban untuk menyampaikan informasi industri dapat dikecualikan bagi jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil.

3. Ketentuan tentang bentuk, isi, dan tata cara penyampaian informasi industri sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Setelah mendapatkan izin usaha industri dari instansi pemerintah maka setiap industri wajib untuk memberikan informasi terkait dengan hasil produksinya.

Penjelasan pasal 14 ayat 1

Yang dimaksud dengan informasi industri dalam pasal ini adalah data statistik perusahaan industri yang nyata, benar dan lengkap yang diperlukan bagi dasar pengaturan, pembinaan dan pengembangan bidang usaha industri seperti yang dimaksud pada pasal 8.

Pasal 17

Desain produk industri mendapat perlindungan hukum yang ketentuan-ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah.

Setiap desain produk industri yang dihasilkan mendapatkan perlindungan hukum atas hak cipta masing-masing hasil produksi.

Penjelasan Pasal 17

Yang dimaksud dengan desain produk industri adalah hasil rancangan suatu barang jadi untuk diproduksi oleh suatu perusahaan industri, yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah suatu larangan bagi pihak lain untuk dengan tanpa hak melakukan peniruan desain produk industri yang telah dicipta serta telah terdaftar.

Pasal 19

Pemerintah menetapkan standar untuk bahan baku dan barang hasil industri dengan tujuan untuk menjamin mutu hasil industri serta untuk mencapai daya guna produksi.


(28)

Setiap produksi ditetapkan standar produksi dan tidak boleh menyalahi aturan yang ada.

Penjelasan pasal 19

Penetapan standar industri bertujuan, untuk menjamin serta meningkatkan mutu hasil industri, untuk normalisasi penggunaan bahan baku dan barang, serta untuk rasionalisasi optimalisasi produksi dan cara kerja demi tercapainya daya guna sebesar-besarnya.

Dalam penyusunan standar industri tersebut diatas diikutsertakan pihak swasta, kamar dagang dan industri Indonesia, asosiasi, balai-balai penelitian, lembaga-lembaga ilmiah, lembaga-lembaga konsumen dan pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan proses dalam standarnisasi industri.

Bab VIII pasal 21 menjelaskan tentang industri dalam hubungannya dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah :

1. Perusahaan industri wajib melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam serta pencegahan timbulnya krusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri yang dilakukannya.

2. Pemerintah mengadakan pengaturan dan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan mengenai pelaksanaan pencegahan kerusakan dan penanggulangan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri.

3. Kewajiban melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dikecualikan bagi jenis industri tertentu dalam kelompok industri kecil. Setiap perusahaan industri diharuskan untuk menjaga kelestarian lingkungan tempat dimana produksi di kelola dan di hasilkan sehingga tidak merugikan masyarakat sekitar dan mencegah kerusakan lingkungan.


(29)

Penjelasan pasal 21 ayat 1

Perusahaan industri yang didirikan pada suatu tempat, wajib memperhatikan keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam yang dipergunakan dalam proses industrinya serta pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat usaha dan proses industri yang dilakukan.

Dampak negatif dapat berupa gangguan, kerusakan dan bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan masyarakat disekelilingya yang ditimbulkan karena pencemaran tanah, air dan udara termasuk kebisingan suara oleh kegiatan industri, dalam hal ini, pemerintah perlu mengadakan pengaturan dan pembinaan untuk menanggulanginya.

2. Ketentuan Pidana

Ketentuan sanksi pidana atas perbuatan-perbuatan diatas diatur dalam pasal 25-pasal 27, yaitu :

Pasal 24

1. Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang Bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) dipidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 25.000.000,-(dua puluh lima juta rupiah) dengan hukuman tambahan pencabutan Izin Usaha Industrinya.

2. Barang siapa karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) dipidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 1.000.000,-(satu juta rupiah) dengan hukuman tambahan pencabutan Izin Usaha Industrinya.

Penjatuhan sanksi pidana pada pasal 13 ayat (1) dan pasal 14 ayat (1) adalah perbuatan sbagai berikut mengenai izin perluasan dan tidak adanya pemberitahuan tentang informasi mengenai izin usaha industri tersebut.


(30)

Pasal 25

Barang siapa dengan sengaja tanpa hak melakukan peniruan desain produk industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dipidana penjara selama -lamanya 2 (dua) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

Penjatuhan sanksi pidana pada pasal 17 adalah perbuatan seseorang yang meniru hak mendesain sebuah industri.

Pasal 26

Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dipidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 25.000.000,-(dua puluh lima juta rupiah) dengan hukuman tambahan dicabut Izin Usaha Industrinya.

Penjatuhan sanksi pidana pada pasal 19 adalah apabila standarnisasi industri tidak terpenuhi.

Pasal 27

1. Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 100.000.000,-(seratus juta rupiah).

2. Barang siapa karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana kuruangan selama-lamanya 1(satu) tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Penjatuhan sanksi pidana pada pasal 21 ayat (1) adalah terjadi karena tidak memperhatikan keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam yang dipergunakan dalam proses industrinya serta pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat usaha dan proses industri yang dilakukan.


(31)

B. Pengaturan Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri dalam UU No. 3 Tahun 2014

1. Tindak Pidana dalam hal Perizinan

Pada bab X pasal 101-pasal 108 menjelaskan tentang perizinan, penanaman modal bidang industri, dan fasilitas yaitu :

Pasal 101

1. Setiap kegiatan usaha industri wajib memiliki izin usaha industri. 2. Kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. Industri kecil;

b. Industri menengah;dan c. Industri besar.

3. Izin usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri.

4. Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian izin usaha industri kepada gubernur dan bupati/walikota.

5. Izin usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Izin usaha Industri kecil;

b. Izin usaha Industri menengah;dan c. Izin usaha Industri besar.

6. Perusahan industri yang telah memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib :

a. Melaksanakan kegiatan usaha industri sesuai dengan izin yang dimiliki; dan

b. Menjamin keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan. Serta pengangkutan.

Setiap industri diwajibkan memiliki izin, untuk mendapatkan izin tersebut melalui menteri, gubernur ataupun bupati atau walikota setempat.

Pasal 102

1. Industri kecil sebagaimana dimaksud dalam pasal 101 ayat (2) huruf a ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai investasi tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

2. Industri menengah sebagaimana dimaksud dalam pasal 101 ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi. 3. Industri besar sebagaiaman dimaksud dalam dalam pasal 101 ayat (2)

huruf c ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi.


(32)

4. Besaran jumlah tenaga kerja dan nilai investasi untuk industri kecil, industri menengah, dan industri besar ditetapkan oleh menteri.

Penjelasan Ayat 1

Yang dimaksud dengan “nilai investasi” adalah nilai tanah dan bangunan, mesin

peralatan, sarana dan prasarana, tidak termasuk modal kerja. Pasal 103

1. Industri kecil sebagaiaman dimaksud dalam pasal 102 ayat (1) hanya dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia.

2. Industri yang memiliki keunikan dan merupakan warisan budaya bangsa hanya dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia.

3. Industri menengah tertentu dicadangkan untuk dimiliki oleh warga Negara Indonesia.

4. Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat .(3) ditetapkan oleh Presiden.

Penjelasan Ayat 2

Yang dimaksud dengan “industri yang memiliki keunikan dan merupakan warisan budaya bangsa” adalah industri yang memiliki berbagai jenis motif, desain

produk, teknik pembuatan, keterampilan, bahan baku, yang berbasis pada kearifan lokal misalnya batik (pakaian tradisional), ukir-ukiran kayu dari jepara dan Yogyakarta, kerajinan perak, dan patung asmat.

Pasal 104

1. Setiap perusahaan industri yang memiliki yang memiliki izin usaha industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 101 ayat (6) dapat melakukan perluasan.

2. Perusahaan industri yang melakukan perluasan dengan menggunakan sumber daya alam yang diwajibkan memiliki analisis mengenai dampak lingkungan wajib memiliki izin perluasan


(33)

Pasal 105

1. Setiap kegiatan usaha kawasan industri waajib memiliki izin usaha kawasan industri.

2. Izin usaha kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri.

3. Menteri dapat melimpahakan sebagian kewenangan pemberian izin usaha kawasan industri kepada gubernur dan bupati/walikota.

4. Perusahaan kawasan industri wajib memenuhi standar kawasan industri yang ditetapkan oleh menteri.

5. Setiap perusahaan kawasan industri yang melakukan perluasan wajib memiliki izin perluasan kawasan industri.

Pasal 106

1. Perusahaan industri yang akan menjalankan industri wajib berlokasi di kawasan industri.

2. Kewajiban berlokasi di kawasan industri sebagaimana imaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi perusahaan industri yang akan menjalankan industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang :

a. Belum memiliki kawasan industri;

b. Telah memiliki kawasan industri tetapi seluruh kaveling industri dalam kawasan industrinya telah habis.

3. Pengecualian terhadap kewajiban berlokasi di kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi :

a. Industri kecil dan industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas; atau

b. Industri yang menggunakan bahan baku khusus dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus.

4. Perusahaan industri yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan perusahaan industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a wajib berlokai di kawasan peruntukan industtri.

5. Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri. Penjelasan

Ayat 1

Yang dimaksud dengan “perusahaan industri yang akan menjalankan industri”


(34)

Pasal 107

1. Perusahaan industri yang tidak memiliki izin usaha industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 101 ayat (1), perusahaan industri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 101 ayat (6), dan/atau perusahaan industri yang tidak memiliki izin perluasan sebagaimaana dimaksud dalam pasal 104 ayat (2) dikenal sanksi administratif.

2. Perusahaan kawasan industri yang tidak memiliki izin usaha kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 105 ayat (1), perusahaan kawasan industri yang tidak memenuhi standar kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 105 ayat ( 4), perusahaan kawasan industri yang tidak memiliki izin perluasan kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 105 ayat (5), perusahaan industri yang tidak berlokasi di kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 106ayat (1), perusahaan industri yang dikecualikan yang tidak berlokasi di kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (40 dikenai sanksi administratif.

3. Sanksi administratif sebagaimana dimassud pada ayat (11) dan ayat (2) berupa :

a. Peringatan tertulis; b. Denda administratif; c. Penutupan sementara;

d. Pembekuan izin usaha industri atau izin usaha kawwasan industri; dan/atau

e. Pencabutan izin usaha industri atau izin usaha kawasan industri. Pasal 108

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin usaha industri sebagaimana dimaksud pada pasal 101, izin perluasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 104, izin usaha kawasan industri sebagaiamana dimaksud dalam pasal105 dan kewajiban berlokasi di kawasan industri sebagaimana dimkasud dalam pasal 106 serta tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda admnistratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 107 distur dalam peraturan pemerintah. 2. Ketentuan sanksi administratif

Penegakan hukum didalam menindaklanjuti kasus pelaku melakukan kegiatan industri tanpa izin dilakukan dengan adanya penjatuhan sanksi administratif, perangkat utama penegakan hukum secara administratif adalah


(35)

perizinan. Pemberian izin harus selektif hanya untuk usaha yang tidak merusak kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Penegakan hukum untuk industri kecil dengan menjatuhkan sanksi administratif berupa pencabutan izin kepada pengusaha industri kecil. Hal ini dilakukan apabila setelah diadakan pembinaan dan teguran pengusaha tetap tidak mau memperhatikan. Namun, pemberian sanksi ini sangat jarang dilakukan dan merupakan upaya akhir. Selain pencabutan izin hukum administratif dilakukan dengan cara penjatuhan sanksi berupa teguran, tindakan paksa, uang paksa dan penutupan usaha.

UU No. 3 Tahun 2014 menerapkan sanksi administratif berupa :

a. Peringatan tertulis (peringatan yang sudah menjadi hal yang memaksa, apabila tidak mampu dipaksa dengan peringatan lisan);

b. Denda administratif (tindakan berbentuk hukuman untuk membayar sejumlah uang yang ditetapkan oleh pejabat tata usaha Negara diatur dalam PP No. 28 Tahun 2008 tentang pengenaan sanksi administratif berupa denda)

c. Penutupan sementara (merupakan sanksi yang lebih keras sebelum pencabutan izin usaha biasanya sebagai suatu peringatan keras terhadap pelaku pelanggaran izin usaha);

d. Pembekuan izin usaha industri (apabila usaha industri melakukan hal tertentu diluar apa yang terdapat dalam persyaratan izin industri, sehingga menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan) dan/atau;

e. Pencabutan izin usaha industri (dilakukan terhadap elanggaran yang dianggap mempunyai bobot tertentu untuk diberhentikan kegiatan usahanya yang


(36)

dilakukan oleh pejabat yang berwenang untuk itu atau pejabat yang memberi wewenang memberikan izin usaha).

Pasal-pasal yang dapat dijatuhi sanksi administratif adalah : Pasal 25 ayat 6

Dalam hal menteri menetapkan pemberlakuan standar kompetensi kerja nasional Indonesia secara wajib sebagaimaan dimaksud pada ayat 5, perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan industri wajib menggunakan tenaga kerja industri yang memenuhi standar kompetensi kerja nasional Indonesia.

Setiap perusahaan industri wajib menetapkan standar kompetensi tenaga kerja dalam setiap pekerja produksi industri.

Pasal 30 ayat 2

Pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib dilakukan oleh :

a. Perusahaaan industri pada tahap perancangan produk, perancangan proses produksi, tahap produksi, optimalisasi sisa produk, dan pengelolaan limbah; dan

b. Perusahaan kawasan industri pada tahap perancangan, pembangunan, dan pengelolaan kawasan industri, termasuk pengelolaan limbah.

Setiap sisa dari pengelolaan industri yaitu berupa limbah diharapkan tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat sekitar pabrik produksi industri tersebut. Pasal 39 ayat 2

Penyedia teknologi dalam proyek putar kunci wajib melakukan alih teknologi kepada pihak domestik.

Teknologi produksi wajib melakukan alih teknologi kepada pihak dalam negeri yang ingin memakai hasil produksi industri.

Pasal 60

1. Setiap orang yang membubuhkan tanda SNI atau tanda kesesuaian pada barang dan/atau jasa industri yang tidak memenuhi ketentuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara


(37)

2. Pelaku usaha atau pemilik barang dan/atau jasa industri yang tidak menarik barang dan/atau menghentikan kegiatan jasa industri.

Apabila setiap produksi tidak membuat hasil produksi sesuai SNI makan barang/jasa tersebut akan ditarik dari peredaran pasar serta dapat dihentikan kegiatan produksinya.

3. Ketentuan Sanksi Pidana

Ketentuan pidana terdapat pada pasal 120 yaitu :

1. Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau jasa industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 2. Setiap orang yang karena kelalaiannya memproduksi, mengimpor,

dan/atau mengedarkan barang dan/atau jasa industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang industri sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Apabila seseorang dengan sengaja atau dengan lalai memproduksi barang/jasa yang tidak sesuai dengan SNI akan mendapatkan sanksi penjara dan sanksi denda.

Pasal 121

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 120 dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

Apabila kesengajaan dan kelalaian dalam memproduksi barang/jasa yang tidak sesuai SNI dilakukan oleh korporasi maka penjatuhan sanksi pidana penjara dan sanksi denda akan dikenakan kepada korporasi serta pengurusnya.


(38)

Tabel 1 Perbandingan UU No 5 Tahun 1984 dan UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian

No UU No. 5 Tahun 198425 UU No. 3 Tahun 2014 1

2

3

Hanya ada sanksi pidana (pokok dan tambahan).

Pidana tambahan berupa

“pencabutan izin usaha industri”

(pasal 24 dan pasal 26).

Ada kualifikasi delik sebagai

“kejahatan dan pelanggaran” (pasal

28).

Selain adanya pidana pokok dikenal juga adanya sanksi Administratif (pasal 25 ayat 6, pasal 30 ayat 2, pasal 39 ayat 2, pasal 60)

Adanya kualifikasi kesengajaan dan kelalaian (pasal 120 ayat 1 dan ayat 2)

C. Pengaturan Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri dalam Perda Kota Medan No. 10 Tahun 2002 Tentang Retribusi Izin Usaha Industri, Perdagangan, Gudang/Ruangan dan Tanda Daftar perusahaan

Keputusan menteri perindustrian dan perdagangan No 289/MPP/Kep/10/2000 tentang ketentuan standar pemberian izin usaha industri tertulis pada Peraturan kota medan No. 10 Tahun 2002 tentang Retibusi Izin Usaha Industri, Perdagangan, Gudang/Ruangan dan Tanda Daftar Perusahaan pada bab I berisi tentang ketentuan umum pada pasal 1 ayat 11 dalam peraturan daerah ini yang dimaksud dengan Industri adalah :

Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi atau barang jadi menjadi barang yang lebih tinggi untuk penggunaannya termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan Industri.

Dan pada pasal 1 ayat 22 berisi tentang izin usaha industri adalah :

izin Usaha Industri pemberian izin kepada orang pribadi atau badan untuk

25

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Cipta Aditya Bakti, Semarang, 2002, hal 19.


(39)

dapat melakukan kegiatan usaha industri.

Bab II pasal 2 dan pasal 3, menjelaskan tentang maksud dan tujuan diberikannya izin, ada pun maksud pemberian Izin Industri tertulis pada pasal 2 dan Tujuan pemberian Izin Industri tertulis pada pasal 3.

Pasal 2

pemberian izin usaha industri, izin usaha perdagangan, izin usaha gudang/ruangan dan tanda daftar perusahaan dimaksudkan untuk mengatur, mengendalikan, mengawasi dan melakukan pembinaan terhadap pertumbuhan dan berbagai aktifitas usaha dalam daerah.

Maksud diberikannya izin adalah untuk mengatur setiap aktivitas pertumbuhan usaha apapun di dalam setiap daerah.

Pasal 3

tujuan pemberian izin usaha untuk mewujudkan tertib usaha baik ditinjau dari segi lokasi maupun hubungan dengan perkembangan perekonomian dan kelestarian lingkungan.

Adapun tujuan diberikan izin usaha adalah untuk mewujudkan usaha yang tertib serta terjaganya kelestarian lingkungan sekitar produksi.

Bab VI pasal 5 menjelaskan tentang perizinan dimana setiap perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha industri wajib memiliki izin usaha industri dan wajib didaftar dalam perusahaan. Pasal 5 ayat 2 menjelaskan tentang Izin usaha industri terdiri dari :

a. izin usaha industri kecil yaitu izin untuk usaha industri dengan nilai investasi sampai dengan Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

b. izin usaha industri menengah yaitu izin untuk usaha industri dengan nilai Rp.200.000.000, (dua ratus juga rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) tidak termaduk tanah dan bangunan tempat usaha.

c. izin usaha industri besar yaitu izin untuk usaha industri dengan nilai di atas investasi Rp. 5.000.000.000. (lima miliar) tidak


(40)

termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

Bab V pasal 7 ayat 1 menjelaskan tentang persyaratan pemberian izin usaha dan tanda daftar perusahaan yaitu :

a. foto copy akte pendirian perusahaan (apabila perusahaan berbadan hukum);

b. foto copy HO bagi yang dipersyaratkan berdasarkan ketentuan izin usaha industri;

c. foto copy NPWP;

d. foto copy kartu tanda penduduk (bukti diri lainnya); e. pas photo 3 x 4 cm sebanyak 2 lembar berwarna;

f. khusus bagi industri kecil yang tidak mengeluarkan limbah B3, dilengkapi surat pernyataan tidak keberatan diketahui oleh kepala kelurahan.

Setiap industri yang ingin mendapatkan surat izin harus memenuhi syarat-syarat diatas dan dibawa kepada instansi pejabar yang berwenang untuk diberikan surat izin atas produksi usahanya.

Bab IX pasal 22 ayat 1 menjelaskan tentang struktur tarif retribusi izin usaha industri yaitu :

a. Perusahaan Usaha Industri Kecil

1. Nilai investasi Rp. 5.000.000, s/d Rp. 50.000.000, sebesar Rp. 150.000

2. Nilai investasi Rp. 50.000.000 s/d Rp. 200.000 sebesar Rp. 300.000

b. Perusahaan Industri Menengah

1. Nilai investasi Rp. 200 juta , s/d Rp. 2 milyar , sebesar Rp. 600.000 2. Nilai investasi Rp. 2 milyar s/d Rp. 5 milyar sebesar Rp. 900.000 c. Perusahaan besar sebesar Rp. 1.500.000

Selain adanya syarat yang ditentukan juga adanya tarif pada setiap industri yang berbeda-beda yang harus dibayarkan.

Pola penentuan pidana denda dalam peraturan daerah telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 143 ayat 2 UU No 32 Tahun 2004 tersebut menentukan bahwa peraturan


(41)

daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).26

Pada pasal 38 ayat 2 dan 3 mencantumkan sanksi yang diberikan apabila setiap perusahaan tidak memiliki izin, sebagai berikut :

Ayat 2: setiap perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha sebagaimana telah diwajibkan pada pasal 5 ayat 1 tetap tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya, diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah).

Ayat 3: bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha tanpa memiliki izin operasional dan kegiatana tersebut melakukan penghimpunan dana masyarakat dan atau penggandaan uang yang patut disangka akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat, dinacam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.5.000.000 (lima juta rupiah).

Ayat 4 : tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan ayat 3 adalah tindak pidana pelanggaran.

Setiap industri yang tidak memiliki izin usaha akan dikenakan sanksi pidana kurungan dan pidana denda yang melakukan pelanggaran dibidang industri.

Pola penentuan pidana denda dalam peraturan daerah telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 143 UU No 32 Tahun 2004 tersebut menentukan bahwa peraturan daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Peneuan pidana denda di atas ditentukan secara maksimum dan pidana denda dapat dialternatifkan dengan pidana kurungan.27

Penentuan pidana untuk yang telah diatur dalam peraturan daerah, hendaknya dibatasi pada tindak pidana pelanggaran saja yang sifatnya lokal atau

26

Suhariyono , Pembaharuan Hukum Pidana, Papas Sinar Sinarti, Jakarta, 2010, hal 349.

27


(42)

spesifik dan ciri daerah. Kualifikasinya bukan umum yang berlaku secara nasional sebagaimana tindak pidana yang telah ditentukan dalam KUHP atau undang-undang di luar KUHP.28

28


(43)

BAB III

PENGATURAN SANKSI PIDANA DENDA TERHADAP PELAKU TANPA IZIN MELAKUKAN KEGIATAN INDUSTRI KECIL

A. Pengaturan Pidana Denda di Indonesia 1. Perumusan Pidana Denda dalam KUHP

Pidana denda dapat dijumpai di dalam Buku ke-I dan Buku ke-II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang telah diancamakan baik bagi kejahatan-kejahatan maupun bagi pelanggaran-pelanggaran. Pidana denda dianggap sebagai satu-satunya pidana pokok, maupun pidana alternatif, baik dengan pidana denda saja maupun pidana kurungan saja ataupun secara alternatif dengan kedua jenis pidana-pidana pokok tersebut secara bersama-sama.

Pengaturan pidana denda di dalam KUHP adalah sebagai berikut :29 a. Secara tunggal, yaitu terhadap :

1) Kejahatan : pasal 403

2) Pelanggaran tertentu : pasal 489, 491, 494, 497, 501, 507, 510, 516, 522, 524, 525, 526 KUHP.

b. Secara alternatif, yaitu terhadap : 1) Kejahatan ringan;

Dalam hall ini biasanya diancamkan pidana penjara dengan alternative pidana denda yang agak seimbang. Pasal 172, 174, 300, 302, 364, 373, 379, 384, 407, 482 KUHP.

2) Kejahatan sedang;

Dalam hal ini biasanya diancamkan pidana penjara dengan alternative pidana denda yang lebih tinggi. Pasal 117, 118, 137, 159 KUHP. 3) Kejahatan tertentu;

Dalam hal ini biasanya diancamkan pidana penjara dengan alternative pidana denda yang lebih rendah. Pidana denda ini ditujukan kepada

pelaku yang biasanya “baik-baik”. Pasal 362, 372 KUHP. 4) Kejahatan Culpa;

Dalam hal ini biasanya diancamkan pidana penjara atau pidana kurungan atau pidana denda. Pasal 114, 360 ayat 2 KUHP.

5) Pelanggaran tertentu: Pasal 490, 492, 493 KUHP.

29

S.R. Sianturi dan Mompang L. Panggabean, Hukum Penitensia di Indonesia, Alumni Ahaem-Peterhaem, Jakarta, 1996, hal 122-123.


(44)

c. Secara semi alternatif terhadap pelanggaran tertentu. Pasal 489 ayat 2 dst. d. Secara ganda absolute atau ganda relatif tidak dikenal dalam KUHP, kecuali dalam rangka penerapan pasal 66 (misalnya seseorang melakukan tindak pidana tersebut pasal 403 (diancam pidana denda), tiga bulan kemudian melakukan tindak pidana tersebut pasal 360 KUHP (diancam pidana penjara/kurungan), hakim dapat menjatuhkan dua macam pidana pokok.

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, “dalam sistem KUHP yang

sekarang berlaku, pidana denda dipandang sebagai jenis pidana pokok yang paling ringan. Pertama, hal ini dapat dilihat dari kedudukan urut-urutan pidana pokok di dalam pasal 10 KUHP. Dan kedua, pada umumnya pidana denda dirumuskan sebagai pidana alternatif dari pidana penjara atau kurungan. Sedikit sekali tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda. Ketiga, jumlah ancaman pidana denda di dalam KUHP pada umumnya relatif ringan.30

Tujuan utama penggunaan kategori denda adalah :31

a. Agar diperoleh pola yang jelas tentang maksimum denda yang dicantumkan untuk berbagai tindak pidana (ada enam kategori); dan

b. Agar mudah melakukan perubahan (cukup dengan merubah ayat (3) pasal ini), apabila terjadi perubahan dalam keadaan ekonomi dan moneter di Negara kita. Terpidana yang dijatuhi pidana denda boleh segera menjalani kurungan pengganti denda dengan tidak perlu menunggu sampai habis waktu untuk membayar denda. Akan tetapi, bila kemudian ia membayar denda, ketika itu demi hukum ia harus dilepaskan dari kurungan penggantinya. Pidana denda ditentukan harus ada jaminan penggantinya karena dalam pelaksanaan pidana denda tidak dapat dijalani dengan paksaan secara langsung seperti penyitaan atas barang-barang terpidana, dalam hal ini berbeda dengan hukuman yang dijatuhkan dalam

30

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2005, hal 177-178.

31


(45)

perkara perdata, yang dapat dilakukan dengan melelang barang-barang milik terhukum setelah dilakukan penyitaan oleh pengadilan.

Pasal 273 (1) KUHAP menentukan bahwa jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi. Semetara itu, pada ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut ayat 1 dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan.32

Pidana denda itu merupakan jenis pidana pokok yang ketiga di dalam Hukum Pidana Indonesia, yang pada dasarnya dijatuhkan bagi orang-orang dewasa. Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua daripada pidana penjara, pidana denda dijatuhkan oleh hakim dan seluruh pembayarannya masuk ke kas Negara, sebagaimana disebutkan dalam pasal 42 KUHP bahwa segala pendapatan dari pidana denda menjadi milik Negara.

Sutherland dan Cressey dalam Yesmil Anwar dan Adang mengatakan bahwa pidana denda bermula dari hubungan keperdataan. Selanjutnya ia mengatakan, ketika seseorang dirugikan oleh orang lain ia boleh menuntut ganti rugi atas kerusakannya, jumlahnya tergantung dari besarnya kerugian yang diderita serta posisi sosialnya yang tengah dirugikan.33

Suatu sistem sanksi pidana yang menyeluruh harus mencakup kebijakan-kebijakan yang dapat diharapkan menjamin terlaksananya sanksi pidana itu, oleh karena itu dalam menetapkan kebijakan legislatife yang berhubungan dengan

32

Adami Chazawi, Op. Cit hal 42.

33

Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, Grasindo, Jakarta, 2008, hal 144-145.


(46)

pelaksanaan pidana denda dan dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan pidana denda perlu dipertimbangkan antara lain mengenai :34

1. Sistem penetapan jumlah atau besarnya pidana denda; 2. Batas waktu pelaksanaan pembayaran biaya denda;

3. Tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin terlaksananya pembayaran denda dalam hal terpidana tidak dapat membayar dalam batas waktu yang telah ditetapkan;

4. Pelaksanaan pidana denda dalam hal-hal khusus (misalnya terhadap anak yang belum dewasa atau belum bekerja dan masih dalam tanggungan orang tua);

5. Pedoman atau kriteria untuk menjatuhkan pidana denda.

Oleh karena pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan, bahkan dapat diperhitungkan secara seharian menurut pertimbangan maka dirasa kurang adil jika denda yang dijatuhkan disamakan antara orang kaya dan orang miskin. sulit meniru cara ini di Indonesia karena banyak penggangguran yang tidak memiliki pekerjaan tetap, sehingga sulit membuat perhitungan berapa besar denda yang harus di bayar terpidana.

Jika telah ditetapkan bahwa pidana kurungan lah yang dijatuhkan terhadap pelanggar yang tidak mempunyai pendapatan tetap. Lamanya sanksi pidana denda kurungan pengganti denda ditentukan secara kasus demi kasus dengan putusan hakim minimum umum satu hari sampai enam bulan, maksimum dapat dinaikan sampai delapan bulan dalam hal gabungan (concursus), residive, dan delik jabatan.

34


(47)

2. Kelemahan dan Keuntungan penjatuhan sanksi Denda

Setiap penjatuhan sanksi yang diberikan kepada terpidana memiliki kelemahan dan keuntungan masing-masing. Berikut menurut para sarjana kelemahan dan keuntungan penjatuhan sanksi pidana :

a. Kelemahan penjatuhan sanksi denda

Menurut Collin Harward dalam Yesmil Anwar dan Adang mengatakan kelemahan penjatuhan sanksi pidana denda adalah sebagai berikut :35

1. Dengan dianutnya sistem maksimum, akan membawa konsekuensi yang cukup sulit dalam menetapkan maksimum khusus untuk tiap-tiap tindak pidana;

2. Dalam proses kriminalisasi setiap membentuk undang-undang selalu dihadapkan pada masalah pemberian bobot dengan menetapkan kualifikasi ancaman pidana maksimumnya;

3. Dalam menetapkan maksimum pidana untuk menunjukan tingkat keseriusan atau kualitas dari tindak pidana, bukanlah pekerjaan ang mudah dan sederhana;

4. Untuk mengatasi semua itu, diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai urutan tingkat atau gradasi nilai dari norma-norma sentral masyarakat dan kepentingan hukum yang akan dilindungi.

Menurut Niniek Suparni kelemahan dari pidana denda adalah :36

1. Bahwa pidana denda ini dapat dibayarkan atau ditanggung oleh pihak ketiga(majikan, suami atau istri, orang tua, teman/kenalan baik, dan lainnya) sehingga pidana yang dijatuhkan tidak secara langsung dirasakan oleh si terpidana sendiri. Hal mana membawa akibat tidak tercapainya sifat dan tujuan pemidanaan untuk membina si pembuat tindak pidana untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya;

2. Bahwa pidana denda juga dapat membebani pihak ketiga yang tidak bersalah, dalam arti pihak ketiga yang dipaksa turut merasakan pidana tersebut, misalnya uang yang dialokasikan bagi pembayaran pidana denda yang dijatuhkan pada kepala rumah tangga yang melakukan kesalahan mengemudi karena mabuk, akan menciutkan anggaran rumah tangga yang bersangkutan;

3. Bahwa pidana, denda ini lebih menguntungkan bagi orang-orang yang mampu, karena bagi mereka, yang tidak mampu maka besarnya pidana

35

Yesmil Anwar dan Adang, Op.cit hal 156.

36


(1)

kedudukan dan manfaat dibandingkan pidana lainnya serta adanya kedudukan sanksi pidana dibandingkan dengan sanksi administrasi.

3. Pada kasus ini terdakwa ANTONI SILALAHI didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan Primair dalam pasal 24 undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang perindustrian. Kasus ini telah di putus oleh Pengadilan Negeri Medan, dimana terdakwa dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana secara bersama-sama Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri berupa tidak adanya izin atas industri tersebut dijatuhi hukuman denda sebesar Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.

B. SARAN

Berdasarkan permasalahan yang ada, maka penulis dalam kesempatan ini memberikan beberapa saran atau masukan kepada para pihak yang terkait sehubungan dengan skripsi ini, yaitu :

1. Peraturan perundang-undangan yang ada khususnya tentang perindustrian telah mencerminkan adanya perlindungan dari pemerintah kepada masyarakatnya, akan tetapi sangat kurang. Hal ini disebabkan karena sanksi yang diberikan kepada terdakwa pelaku yang melakukan kegiatan industri tanpa izin masih sangat ringan, dimana dalam undang-undang adanya sanksi pokok dan tambahan tetapi sanksi yang dijatuhkan hanya sanksi denda yang sangat kecil dan tidak sebanding dengan kerugian yang diperoleh oleh


(2)

pembaharuan terhadap peraturan ini sehingga masyarakat dalam hal ini tidak merasa di rugikan.

2. Dalam hal terjadinya pelanggaran dan kejahatan terhadap perindustrian, maka diperlukan adanya aparatur dari pemerintah yang aktif serta memiliki pengetahuan yang cukup dan lebih luas lagi mengenai perindustrian.

3. Terhadap penegakan terhadap suatu pelanggaran dan kejahatan, diharapkan peran aktif dari masyarakat karena peran serta masyarakat dapat juga diperlukan untuk membantu pemerintah dan aparaturnya dalam hal memberikan setiap informasi yang telah diketahuinya tentang terjadinya pelanggaran atau kejahatan disekitar lingkungan mereka.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anwar, Yesmil dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, Grasindo, Jakarta, 2008.

AR, Suhariyono, Pembaharuan Pidana Denda di Indonesia, Penerbiit Papas Sinar Sinarti, Jakarta, 2010.

Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Genta Publishing, Semarang, 2009

Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Cipta Aditya Bakti, Semarang, 2002.

Arief, Barda Nawawi dan Muladi, teori-teori dan kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2005.

Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Gahlia Indonesia, Jakarta, 1983.

Chazawi, Adami, pelajaran Hukum Pidana Bagian I : Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, 2002.

Djamali, R.Abdoel, Pengantar Hukum Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Ekaputra, Mohammad, Dasar- Dasar Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2013. Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.


(4)

James, Kenneth, Narongchai Akrasanee, Aspek-Aspek Finansial Usaha Kecil dan Menengah, LP3ES, Jakarta, 1993.

Koesoemahatmadja, Etty Utju R, Hukum Korporasi Penegakan Hukum terhadap Pelaku Economic Crimes dan Perlindungan Abuse of Power, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2011.

Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Penerbit Prenadamedia Group, Surabaya, 2005.

Marpaung, Leden, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2005.

M. Hadjon, Phillipus, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada Universityu Press, Surabaya, 1994.

Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1995. Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, PT.Grafindo Persada, Jakarta, 2014.

Hukum Pidana, Jakarta, Rajawali Pers, 2011.

Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2011.

Prodjodikoro, Widjono, Asas- Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003.

Rahmadi, Takdir, Hukum Lingkungan di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011

Remmelink, Jan, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003. Saleh, Roeslan, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1986.


(5)

Sholehuddin, M, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT.Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Sianturi, S.R. dan Mompang L. Panggabean, Hukum Penitensia di Indonesia, Alumni Ahaem-Peterhaem, Jakarta, 1996.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1984.

Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, Politeia, Bogor,1986.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1986.

Suparni, Niniek, Ekstistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.

Utrecht, E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta, 1985.

Waluyo, Bambang, Pidana dan pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000. Wibowo, Singgih, Petunjuk Mendirikan Perusahaan Kecil, Jakarta, 1986. Wie, Thee Kian, Industralisasi Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1996

Perundang-undangan

KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.


(6)

Ketentuan-Ketentuan Pidana Lainnya Yang Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus 1945.

Internet

https://sudiryona.wordpress.com/2012/05/27/ sejarah-dan-perkembangan-pidana-denda/ tanggal 26 Febuari 2015.


Dokumen yang terkait

Sanksi Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Kecil berdasarkan Persepktif UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 974/Pid.B/2014/PN.Mdn)

1 88 89

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

1 74 133

Kajian Yuridis Pidana Denda Terhadap Pelaku Menjual Minuman Beralkohol Tanpa Izin (Sudi Putusan PN Balige No.01/Pid.C/TPR/2010/PN.Blg)

0 30 83

Penerapan UU No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Terhadap Penjual Vcd/Dvd Porno (Studi Putusan No. 1069/Pid.B/2010/Pn.Bdg)

5 89 91

Tindak Pidana Mengedarkan Sediaan Farmasi Tanpa Izin Edar Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Studi Putusan No. 1902/PID B/2004/PN Medan)

8 97 79

Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan

3 83 90

Peraturan KPI No. 3 Tahun 2006 tentang Izin Penyelenggaraan Penyiaran

0 0 27

BAB II PENGATURAN TERHADAP PELAKU TANPA IZIN MELAKUKAN KEGIATAN INDUSTRI KECIL A. Pengaturan Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri dalam UU No. 5 Tahun 1984 1. Tindak Pidana dalam hal Perizinan - Sanksi Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Me

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Sanksi Denda Terhadap Pelaku Tanpa Izin Melakukan Kegiatan Industri Kecil berdasarkan Persepktif UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 974/Pid.B/2014/PN.Mdn)

0 0 23

Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat)

0 1 100