ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG (Studi Putusan Nomor : 103/Pid.B/2013/PN.KTA)

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG

(Studi Putusan Nomor : 103/Pid.B/2013/PN.KTA) Oleh

Dwi Mutiara Herda

Uang adalah alat pembayaran yang sah. Tindak pidana pemalsuan mata uang merupakan tindak pidana yang universal dan dapat dikatagorikan tindak pidana khusus. Tindak pidana pemalsuan mata uang sangat merugikan baik pada individu maupun perekonomian negara. Pengaturan kejahatan pemalsuan mata uang Pasal 244 dalam KUHP dan menggolongkan kejahatan mata uang sebagai tindak pidana umum telah menyebabkan seolah-olah pemalsuan mata uang sama dengan kejahatan pemalsuan dokumen biasa dan pada kenyataanya para pelaku tindak pemalsuan mata uang dikenakan sanksi yang sama dengan kejahatan pemalsuan dokumen biasa padahal pemalsuan mata uang merupakan tindak pidana yang

universal dan sangat merugikan untuk negara. Masalah dalam penelitian adalah bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pemalsuan uang serta apakah faktor penghambat penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan uang.

Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan masalah secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang dgunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui studi lapangan, dan data sekunder diperoleh melalui studi pustaka. Data diperoleh melalui sampel secara purposive sampling yaitu dengan wawancara menggunakan pedoman tertulis terhadap responden yang telah ditentukan.

Berdasarkan hasil penelitian yang diajukan dengan melakukan secara normatif dan empiris sebagai penunjang dapat disimpulkan sebagai berikut: upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan mata uang dilakukan dengna cara : 1. Tahap Formulasi, penegakan terhadap tindak pidana pemalsuan mata uang sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011; 2. Tahap Aplikasi, tahap penegakan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisisan, kejaksaan, hingga pengadilan; 3. Tahap Eksekusi, yaitu tahap penegakan hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan aturan yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang melalui penerapan pidana yang


(2)

penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan uang sudah diatur dalam Pasal 245 KUHP dan Pasal 36 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. 2. Faktor sarana dan prasarana, masih kurangnya manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang kurang memadai serta keuangan yang cukup., 3. Faktor penegak hukum, masih ada aparat penegak hukum, penyidik atau penuntut umum dan hakim yang kurang profesional, sehingga penanganan kasus sering terlambat dan bahkan karena ketidakcermatan dalam penanganan kasus dapat berakibat kegagalan dalam penuntutan di pengadilan, 4. Faktor masyarakat yang kurang akan kesadaran hukum, sehingga enggan untuk melapor apabila terjadi tindak pidana pemalsuan mata uang.

Berdasarkan kesimpulan tersebut maka saran penulis adalah pemerintah harus lebih serius lagi menanggapi kejahatan ini dengan berusaha memikirkan hal-hal yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja dari para penegak hukum di Indonesia agar dapat terlaksananya penegakan hukum yang maksimal terhadap kejahatan pemalsuan mata uang dan pengedarannya. Para penegak hukum harus lebih menjunjung tinggi profesionalitas dalam melaksanakan perannya dalam upaya penegakan hukum terhadap kejahatan pemalsuan uang kertas rupiah di Indonesia. Dukungan dari pemerintah juga sangat menentukan teratasinya kendala-kendala dalam penegakan hukum kejahatan ini.


(3)

Oleh

DWI MUTIARA HERDA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG

(Studi Putusan Nomor : 103/Pid.B/2013/PN.KTA)

( Skripsi )

Oleh:

DWI MUTIARA HERDA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN KULIT

ABSTRAK

HALAMAN JUDUL DALAM HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN HALAMAN MOTTO

RIWAYAT HIDUP SANWACANA DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Pengertian Tindak Pidana ... 16

B. Tindak Pidana Pemalsuan Uang ... 23

C. Penegakan Hukum Pidana ... 34


(6)

B. Sumber Data dan Jenis Data ... 41

C. Responden ... 42

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 42

F. Analisis Data ... 44

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Karakteristik Responden ... 45

B.Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Mata Uang ... 46

C.Faktor Penghambat Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Mata Uang ... 55

V. PENUTUP A. Simpulan ... 63

B. Saran ... 65 DAFTAR PUSTAKA


(7)

(8)

(9)

MOTO

Sesuatu mungkin mendatangi mereka yang mau menunggu, namun hanya didapatkan oleh mereka yang bersemangat mengejarnya.

(Abraham Lincoln)

Sukses bukanlah akhir dari segalanya, kegagalan bukanlah sesuatu yang fatal, namun keberanian untuk meneruskan hiduplah yang diperhatikan.

(Sir Winston Churchill)

Visi tanpa tindakan hanyalah sebuah mimpi. Tindakan tanpa visi hanyalah membuang waktu. Visi dengan tindakan akan mengubah dunia!

(Joel Arthur Barker)


(10)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap puji syukur kepada Allah SWT ,atas rahmat dan hidayahnya,maka dengan ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerihpayah, aku persembahkan

sebuah karya nan kecil ini kepada :

Ayah dan Ibu yang kusayangi dan juga kucintai.

Terima kasih telah memberikan dukungan, cinta dan kasih sayang, serta selalu mendo’akan dan sabar menanti keberhasilanku.

Abangku tersayang dan seluruh keluarga besarku om-omku, tante-tanteku dan sepupu-sepupuku yang selalu

Mendo’akanku serta memberi bantuan dalam segala hal dalam menggapai cita-cita Sahabat-sahabatku, terimakasih atas kebersamaan

Dan kesetiaannya selama ini

Almamaterku Universitas Lampung


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 20 Juli 1992, anak kedua dari dua bersaudara, pasangan Bapak Heryadi Daud dan Ibu Mainuri, S.Pd.,M.M. Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) di TK Dharma Wanita, Kotaagung pada tahun 1998. Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri 3 Kuripan, Kotaagung pada tahun 2004, kemudian melajutkan studinya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Kotaagung yang diselesaikan pada tahun 2007 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 1 Kotaagung yang diselesaikan pada tahun 2010.

Penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswi di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tahun 2010 dan mengambil minat Hukum Pidana. Tahun 2013 penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tanggal 19 Januari sampai 24 Febuari 2013 yang dilaksanakan di Kelurahan Desa Kedaton Kecamatan Kasui Kabupaten Way Kanan.


(12)

SANWANCANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat, karunia dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul :

“Analisis Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Mata Uang (Studi Putusan Nomor : 103/Pid.B/2013/PN.KTA)”.

Penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat dorongan, bantuan, arahan serta masukan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Heryandi, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Yuswanto, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

4. Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang dengan penuh kesabaran meluangkan waktunya membimbing dan mengarahkan penulisan skripsi ini.


(13)

skripsi ini.

6. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Pembahas I yang telah memberikan masukan, arahan, dan bantuan dalam penulisan skripsi ini.

7. Ibu Dona Raisa, S.H., M.H, selaku Pembahas II yang telah memberikan masukan, arahan, dan bantuan dalam penulisan skripsi ini.

8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen pengajar, Staf Administrasi maupun karyawan-karyawan di bagian Fakultas Hukum Universitas Lampung, terimakasih atas bantuannya.

9. Kepada Pengadilan Negeri Kota Agung, Bapak Tatap Situngkir, S.H yang memberikan kesempatan pada penulis untuk melakukan penelitian.

10. Kepada Kejaksaan Negeri Kota Agung, Bapak Samsi Thalib, S.H yang telah memberikan kesempatan pada penulis dalam penelitian ini.

11.Kepada Polres Tanggamus, Bapak Amrizal yang memberikan kesempatan dan membantu dalam penelitian ini.

12.Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua ku Ayah Heryadi Daud, Ibu Mainuri, S.Pd.,M.M. dan Abangku Agung Kurniawan Herda yang senantiasa memberikan kasih sayang, dukungan, perhatian, dan selalu mendoakan serta mengharapkan keberhasilanku.

13.Keluarga besar tercinta: Minan Pika, Maksu Rohela, S.pd., Kak Milyana, Wo Asri, Wo Ria, Danisa, Riska, Eno yang selalu memberikan nasehat, semangat,


(14)

14.Sahabat-sahabat terbaik oranger: Imam,S.H (yang telah lulus mendahului kami) Bulan.S.H, Melia.S.H, Gusti,S.H, (selamat atas komprenya), Ivan Pundawa, Rifki, Adit (semangat buat nyelesain skripsinya) terimakasih buat kebersamaan, canda dan tawa nya selama kuliah ini.

15.Sahabat-sahabat d’street sahabat sejak zaman SD sampai sekarang, Novia teman seperjuangan, serumah, semua nya kita bersama. Silva, Dila, Rahma, Conny, Nana, Reni, Tika, Sela, Yadi, Afri, Riki, Al, terimakasih semuanya atas semua

nasihat, do’a dan motivasinya.

16.Teman-teman di rumah Mbak Ayu yang banyak membantu dan direpotkan saat proses penelitian, Dita, Melda, Rumi terima kasih atas motivasinya.

17.Buat Ican Sadewa yang jauh disana terimakasih atas nasihat, doa, serta dukungan nya selama ini.

18.Rekan–rekan angkatan 2010 Fakultas Hukum Universitas Lampung, Ario, Mam, Erik, Fikram, Sekar, Zakia, Mute, Venti, dan Chandre yang telah memberikan suport kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sukses untuk kita semua.

19.Almamater tercinta, Universitas Lampung yang telah menghantarkanku menuju keberhasilan.

20.Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan, semangat, dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.


(15)

Penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Semoga hasil skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bandar Lampung, Mei 2014 Penulis


(16)

I.PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Uang adalah suatu benda yang sedemikian rupa yang digunakan sebagai alat transaksi maupun sebagai alat pembayaran yang sah, uang juga merupakan simbol negara yang menjadi alat pemersatu, atau dapat juga menjadi alat penguasaan perekonomian atau penjajahan oleh suatu negara kepada negara lainnya. Uang terdiri dari mata uang logam dan uang kertas. Mata uang logam adalah berupa uang yang terdiri dari bahan logam seperti emas, tembaga, perak, dan lain sebagainya, sedangkan uang kertas adalah uang yang terbuat dari lembaran kertas.

Uang kertas dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yakni uang kertas Negara dan uang kertas Bank. Uang kertas Negara adalah uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara dan uang kertas Bank adalah uang kertas yang dikeluarkan oleh suatu bank yang ditunjuk oleh pemerintah. Bank yang ditunjuk pemerintah untuk membuat dan mengeluarkan uang kertas adalah Bank Indonesia.

Adapun fungsi dari uang, yaitu :1

11


(17)

a. Sebagai Satuan Hitung; b. Sebagai Alat Transaksi; c. Sebagai Penyimpan Nilai;

d. Standar Pembayaran di Masa Depan.

Uang yang merupakan alat yang digunakan sebagai alat transaksi maupun sebagai alat pembayaran dalam kehidupan sehari-hari banyak dipalsukan atau ditiru menyerupai uang aslinya dan beredar luas di masyarakat. Pemalsuan uang terutama uang kertas telah dilakuakan orang sejak pertama kali uang kertas dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah. Cara maupun teknik pemalsuan uang kertas tersebut dimulai melalui cara-cara yang sederhana sampai dengan cara melalui teknologi modern yang biasa digunakan pada zaman sekarang ini. Pemalsuan dan peredaran uang tersebut umumnya dilakukan secara bersama-sama oleh para pelaku pemalsuan uang dengan tujuan dan maksud tertentu.

Tujuan serta maksud dilakukannya pemalsuan pada awalnya untuk memperkaya diri sendiri, maupun untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan dengan membayar menggunakan uang palsu tersebut. Mengingat pentingnya arti dan nilai uang dalam berbagai aspek kehidupan manusia, uang palsu juga dapat digunakan dengan tujuan untuk melumpuhkan perekonomian suatu negara.

Semakin meningkatnya kebutuhan ekonomi yang terasa semakin menghimpit bagi kalangan ekonomi kelas menengah kebawah, seharusnya pemerintah bisa lebih memberikan lapangan kerja yang seluas-luasnya agar warga negaranya bisa tertolong


(18)

untuk kebutuhan hidup sehari-hari, mungkin dengan begitu angka kriminalitas dan tindak kejahatanpun akan sedikit berkurang.

Tindak pidana pemalsuan uang yang mana akhir-akhir ini cukup meresahkan dikalangan masyarakat pada umumnya, modus-modus mereka gunakan pun tak kalah canggihnya alat-alat mereka gunakan bisa tergolong sangat modern yang mana hanya orang-orang yang memiliki pemikiran jenius yang mampu menggunakannya, mereka terkadang mampu menghasilkan uang palsu dalam jangka waktu yang singkat dengan jumlah milyaran rupiah, dan hasilnya pun hampir mirip dengan uang asli, oleh sebab itu masalah ini janganlah kita anggap sederhana baik oleh pemerintah, aparat hukum dan masyarakat harus sungguh-sungguh mengatasi masalah ini, karena kejahatan pemalsuan uang ini dapat memasuki ruang lingkup yang luas.

Sebagaimana dikatakan di atas bahwa kejahatan pemalsuan uang atau uang palsu buakanlah persoalaan yang mudah, melainkan sulit untuk diselidiki dan itu merupakan tanggung jawab yang harus diselesaikan bagi para penegak hukum dan pemerintah negara ini. Suatu akibat pasti akan timbul dari suatu sebab itu begitu juga dengan tindak pidana pemalsuan uang, semua yang melakukan pelanggaran tersebut akan dikenakan sanksi yang telah ada.

Undang-undang sanksi yang diancam demikian beratnya, menandakan beratnya sifat tindakan pidana ini, hal ini dapat dimengerti karena dengan tindak pidana ini kepercayaan masyarakat runtuh. Menurut sejarah pada zaman dahulu dibebarapa negara di Eropa, para pembuat uang palsu ini diancam dengan hukuman mati, dan


(19)

hukuman mati ini dalam prakteknya benar-benar dilaksanakan, namun kenyataanya tindak pidana tetap berlangsung.

Seperti halnya di Indonesia sanksi yang sudah ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) semoga saja mampu menyelesaikan kasus-kasus pemalsuan uang di negara ini. Tindak pidana pemalsuan uang diatur dalam KUHP dam Buku ke II Bab X dan terdiri dari beberapa pasal yaitu Pasal 244, Pasal 245, Pasal 246, Pasal 247, Pasal 248, Pasal 249, Pasal 250, Pasal 251, dan Pasal 252. Peraturan yang mengatur suatu tindak pidana tersebut diharapkan bahwa semua pelaku tindak pidana pemalsuan uang dapat dikenakan sanksi pidana yang telah diatur didalamnya.

Sanksi hukum yang merupakan penjatuhan pidana oleh hakim yang diberikan kepada pelaku tindak pidana merupakan ciri perbedaan hukum pidana dengan jenis hukum yang lain. Pada dasarnya hukum pidana mempunyai sanksi yang negatif, sehingga dengan sanksi tersebut tumbuh pandangan bahwa pidana hendaknya diterapkan jika upaya lain sudah tidak memadai lagi. Negara atau lembaga penegak hukum yaitu pengadilan mempunyai tujuan tertentu dalam menjatuhkan putusan pidana. Berbagai variasi tujuan pidana tumbuh sesuai dengan perkembangan ilmu hukum pidana ilmu tentang pemidanaan dan teori-teori dasar tujuan pidana.

Tujuan pemidaan diuraikan secara jelas pada Pasal 54 ayat (1) dan (2) dalam RUU KUHP tahun 2012 yang isinya sebagai berikut :2

2


(20)

1. Mencegah dilakukan tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

2. Memasyarakatkan pidananya dengan mengadakan pemidanaan, sehingga menjadikannya orang baik dan berguna;

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa keadilan dalam masyarakat;

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana;

5. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Tindak pidana pemalsuan uang tidak asing di telinga kita. Tindak pidana ini sudah banyak terjadi di berbagai kota maupun desa. 3Lampung adalah salah satu tingkat peredaran mata uang palsu yang tinggi. Lampung menempati posisi lima besar tingkat peredaran uang palsu setelah wilayah Jawa, dua tahun berturut-turut hingga 2012. Hal ini karena kedekatan dengan Pulau Jawa. Bahkan, otak pemalsuan uang pun berasal dari Lampung.

Perkembangan uang palsu di Indonesia pun secara kuantitas menunjukkan penurunan, tetapi secara kualitas mengalami peningkatan. Seiring perkembangan teknologi, uang palsu sudah hampir mendekati kemiripan dengan uang asli ini, baik dari berat kertasnya sampai tanda air. Kelemahannya memang begitu disinar, uang palsu tersebut masih menyala.

3

http://lampost.co/berita/lampung-peringkat-5-peredaran-uang-palsu- (diakses tanggal 17 januari 2014, pukul 09.00 WIB).


(21)

Tabel 1. Kasus peredaran mata uang palsu di daerah Lampung :

No Pelaku Tempat Kejadian Barang Bukti

1 - Deni Ferdiansyah4 - Adi Winata - Bakri

Pekon Gadingrejo, Kecamatan Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu

94 lembar uang palsu pecahan Rp 100.000,- senilai Rp 9.400.000,- 2 - Fauzi5

- Mahsuni Hasan

Kecamatan Kalirejo, Lampung Tengah

50 lembar uang palsu pecahan Rp 100.000,- senilai Rp 5.000.000,-

3 - Joni6 Desa Sidokaryo,

Kecamatan Ulah Renggas, Lampung Utara

Uang palsu pecahan Rp 100.000,-

4 - Aulia Sani7 - Ali Fahri

Lapas A1 Rajabasa, Bandar Lampung

10 lembar uang palsu pecahan Rp 100.000,- senilai Rp 1.000.000,-

4

http://id.berita.yahoo.com/uang-palsu-di-gadingrejo-ada-tanda-airnya-033219379.html (diakses tanggal 17 januari, pukul 09.00 WIB).

5

http://lampung.tribunnews.com/2013/09/06/polisi-cokok-pengedar-upal-di-kalirejo (diakses tanggal 17 januari 2014, pukul 09.00 WIB).

6

http://lampost.co/berita/edarkan-uang-palsu-remaja-ditangkap (diakses tanggal 17 januari 2014, pukul 09.00 WIB).

7

http://m.poskotanews.com/2013/08/31/uang-palsu-juga-beredar-di-lapas/ (diakses tanggal 17 januari 2014, pukul 09.00 WIB).


(22)

Kasus perkara pada nomer 1 di atas telah disidangkan dengan putusan perkara Nomor: 103/PID.B/2013/PN.KTA. Para pelaku, yaitu Adi Winata Bin Bahar, Bakri Bin Gimin dan Deni Febriansyah Bin Sutikno masing-masing dijatuhi pidana penjara selama 2 (dua) tahun oleh Ketua Majelis Hakim yang bernama Chandra Gautama, S.H.,M.H. pada tanggal 15 Juli 2013 di Pengadilan Negeri Kotaagung, Tanggamus.

Penegakan hukum dari kasus-kasus di atas dalam menangani tindak pidana mata uang ini lebih ditingkatkan lagi, agar tindak pidana pemalsuan mata uang dapat terminimalisir. Tindak pidana pemalsuan mata uang ini bersifat universal dan bisa dikategorikan sebagai tindak pidana khusus karena berhubungan dengan masalah stabilitas dan keamanan negara, sehingga dalam penjatuhan pidana terhadap para pelaku tindak pemalsuan mata uang dapat lebih diberatkan lagi. Pengaturan kejahatan pemalsuan mata uang Pasal 244 dalam KUHP dan menggolongkan kejahatan mata uang sebagai tindak pidana umum telah menyebabkan seolah-olah pemalsuan mata uang sama dengan kejahatan pemalsuan dokumen biasa.

Kejahatan mata uang jelas sangat berbeda dengan kejahatan pemalsuan dokumen biasa, mengingat dampaknya yang sangat serius, menyangkut tingkat kepercayaan masyarakat terhadap uang rupiah dan merugikan masyarakat secara langsung, serta merusak tatanan ekonomi nasional dan akan merongrong kehidupan politik yang demokratis, namun pada kenyataanya penjatuhan pidana nya masih sama dengan kejahatan pemalsuan dokumen biasa. Rendahnya hukuman terhadap pelaku pemalsuan mata uang tercermin dari berbagai pemberitaan media masa yang menyebutkan semakin maraknya pemalsuan mata uang akhir-akhir ini. Hal ini tentu


(23)

sangat memprihatinkan, oleh karena itu kita perlu memiliki paradigma baru dalam memerangi kejahatan terhadap mata uang palsu.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk penulisan hukum dan membahasnya dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemalsuan Mata Uang (Studi Perkara Nomor : 103/Pid.B/2013/PN.KTA )”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah :

1. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan mata uang ? 2. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam penegakan hukum terhadap

tindak pidana pemalsuan mata uang ?

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan permasalahan yang diajukan, agar tidak terjadi kerancuan dan meluasnya permasalahan, maka ruang lingkup penulisan skripsi pada bidang studi ilmu hukum pidana. Ruang lingkup penelitian dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kotaagung, Tanggamus, dengan putusan perkara Nomor : 103/PID.B/2013/PN.KTA. Tahun 2013.


(24)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

a. Mengetahui penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan mata uang. b. Mengetahui faktor penghambat dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana

pemalsuan mata uang.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penulisan skripsi ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu :

a. Kegunaan Teoritis

Untuk memberikan sumbangan dan pemikiran dan ilmu pengetahuan hukum pidana guna mendapatkan data secara obyektif melalui metode ilmiah dalam memecahkan setiap masalah yang ada khususnya masalah yang berkaitan dengan tindak pidana pemalsuan uang.

b. Kegunaan Praktis

Untuk menambah wawasan pengetahuan dan bahan tambahan bagi perpustakaan atau bahan informasi kepada seluruh pihak yang berkompeten mengenai analisis pemidanaan tindak pidana pemalsuan uang.


(25)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil-hasil penelitian atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. 8

Penegakan hukum hakekatnya merupakan upaya menyelaraskan nilai-nilai hukum dengan merefleksikan di dalam bersikap dan bertindak di dalam pergaulan, demi terwujudnya keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan keadilan dengan menerapkan sanksi-sanksi.9

Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataannya di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, Sehingga pengertian law enforcement begitu populer. Selain itu ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksana keputusan-keputusan hakim. Pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan, sebab pelaksanaan perundang-undangan atau keputusan-keputusan hakim tersebut malah mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup.10

Dalam kerangka penegakan hukum, khusus penegakan hukum pidana terdiri dari tiga tahap, yaitu :11

8

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,1986, hlm. 25

9

Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2006, hlm. 226.

10

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 7.

11

http://tetrag5.blogspot.com/2011/01/penegakan-hukum-tindak-pidana-pasar.html?m=1 (diakses tanggal 29 Oktober 2013, pukul 15:00 WIB)


(26)

1. Tahap formulasi, adalah tahap penegakan hukum pidana in abstacto oleh badan pembentuk undang-undang. Dalam tahap ini pembentuk undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskan dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangn pidana yang baik. Tahap ini dapat juga disebut dengan tahap kebijakan legislasi. 2. Tahap aplikasi, tahap penegakan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum

mulai dari kepolisisan, kejaksaan, hingga pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum menegakkan serta menerapkan peraturan perundangan pidana yang dibuat oleh badan pembentuk undang-undang. Dalam melaksanakan tugas aparat penegak hukum harus memegang teguh nilai-nilai keadilan dan manfaat. Tahap kedua ini disebut tahap kebijakan yudikatif.

3. Tahap eksekusi, yaitu tahap penegakan hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan aturan yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan oleh pengadilan.

Menurut Josep Golstein penegakan hukum dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kerangka konsep, yaitu:12

1. Penegakan hukum yang bersifat total (Total Enforcement Concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada di belakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa kecuali. Penegakan secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak

12

“Penegakan Hukum Pidana”


(27)

hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana maupun peraturan yang lainnya;

2. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (Full Enforcement Concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan sebagainya demi kepentingan perlindungan individu;

3. Konsep penegakan aktual (Actual Enforcement Concept) muncul setelah diyakini adanya deskripsi dalam penegakan hukum, karena kepastian baik yang tertkait dengan sarana-prasarana, kualitas SDM, kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap penegakan hukum yaitu :13

1. Faktor hukumnya sendiri ( Perundang-undangan);

2. Faktor aparat penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku;

5. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya cipta, rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Peredaran uang palsu di masyarakat cukup sulit untuk diberantas. Hal ini didorong oleh perilaku masyarakat yang kurang mendukung upaya pemerintah dalam rangka mengurangi peredaran uang palsu. Kesadaran masyarakat untuk melaporkan adanya uang palsu sangat kurang. Bila mereka mendapatkan uang palsu, mereka cenderung

13


(28)

membelanjakannya. Hal ini tidak dapat memotong mata rantai peredaran uang palsu. masyarakat justru ikut berperan dalam mengedarkan uang palsu.

Pemerintah kurang memperhatikan sarana dan prasarana yang diperlukan oleh polisi dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan pemalsuan mata uang. Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat untuk segera melaporkan apabila mengetahui tentang uang palsu yang beredar merupakan faktor penting yang terus menjadikan semakin maraknya pemalsuan uang terjadi.

Peran serta masyarakat serta perhatian pemerintah atas sarana dan prasarana yang dibutuhkan pihak kepolisian dalam memberantas kejahatan pemalsuan mata uang. Serta koordinasi antara instansi-instansi terkait lainnya untuk saling bekerjasama dan memberikan informasi akan adanya uang palsu yang ditemukan atau atas diketahuinya adanya praktek pembuatan uang palsu pada suatu tempat serta hal-hal lain yang berkaitan.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diinginkan dan diteliti.14

14Ibid


(29)

Adapun istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah :

a. Analisis adalah adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.15

b. Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.16

c. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum dan diancam dengan hukuman berdasarkan ketentuan didalam KUHP dan didalam ketentuan Undang-Undang lainnya.17

d. Uang Palsu adalah benda yang bentuknya mempunyai uang asli dan tidak memiliki tanda keaslian uang sebagaimana ditetapkan oleh Bank Indonesia.18

e. Tindak Pidana Pemalsuan Uang adalah melakukan dan turut serta melakukan tindak pidana pembuat atau pengedaran uang palsu.19

E. Sistematika Penulisan

Agar lebih memperjelas serta mempermudah dalam penulisan skripsi ini maka dibuat suatu sistematika penulisan, yaitu sebagai berikut :

15

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2001. 16

Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 5

17

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hlm. 88

18

Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/14/PBI/2004

19


(30)

I. PENDAHULUAN

Merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang tentang tindak pidana pemalsuan uang, permasalahan, perumusan masalah, tujuan, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Yaitu mengenai tinjauan umum tentang tindak pidana pemalsuan uang. Bab ini diuraikan menjadi bebrapa sub bab, yang diantaranya mengenai pengertian tindak pidana, tindak pidana pemalsuan mata uang, penegakan hukum pidana dan faktor penghambat penegakan hukum.

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang menjelaskan mengenai langkah yang akan digunakan dalam pendekatan masalah, sumber data, metode pengumpulan dan pengolahan data, dan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan tentang hsil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan penelitian ini dengan mendasarkan pada data primer dan data sekunder.

V. PENUTUP

Pada bab ini dibahas mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari hasil penelitian dan saran dari penulis yang merupakan alternatif permasalahan, berguna dan dapat menambah wawasan tentang ilmu hukum khususnya hukum pidana.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Pengertian Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dijelaskan apa pengertian tindak pidana itu. Oleh karenanya, pengertian tindak pidana akan kita dapatkan dari para pakar ilmu hukum pidana.

Berikut merupakan beberapa pendapat tentang tindak pidana yang diberikan oleh para pakar :

1. Simons, tindak pidana adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan, dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

2. H.B Vos, tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.


(32)

3. Van Hamel, tindak pidana adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

4. Moeljatno, perbuatan pidana (tindak pidana) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, dimana larangan disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barangsiapa melanggar larangan tersebut.

5. Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.

6. Andi Hamzah, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum dan diancam dengan hukuman berdasarkan ketentuan di dalam KUHP dan ketentuan Undang-Undang lainnya.1

Berdasarka pengertian tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar di atas, dapat diketahui bahwa pada tataran teoritis oleh para pakar tidak ada kesatuan pendapat diantara pakar hukum dalam memberikan definisi tentang tindak pidana.

Pemberian definisi mengenai pengertian tindak pidana oleh para pakar hukum terbagi dalam dua (2) pandangan/aliran yang saling bertolak belakang, yaitu :2

1. Pandangan/Aliran Monistis, yaitu pandangan/aliran yang tidak memisahkan antara pengertian perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana.

1

Tri Andrisman, Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia, Bagian Hukum Pidana Unila, Lampung , 2009, hlm. 49

2


(33)

2. Pandangan/Aliran Dualistis, yaitu pandangan/aliranyang memisahkan antara dilarangnya suatu perbuatan pidana (criminal act atau actus reus) dan dapat dipertanggungjawabkan si pembuat (criminal responsibility atau mens rea).

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Perbedaan pandangan dalam menentukan definisi tindak pidana diatas membawa konsekuensi dalam perumusan definisi tindak pidana. Aliaran Monistis dalam

merumuskan pengertian tindak pidana dilakukan dengan melihat : “Keseluruhan

syarat adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan”. Sehingga dalam merumuskan pengertian tindak pidana para pakar hukum yang menganut aliran ini tidak memisahkan unsur-unsur tindak pidana, mana yang merupakan unsur perbuatan pidana dan mana yang unsur pertanggungjawaban pidana.

Menurut Simons, seorang penganut Aliran Monistis dalam merumuskan pengertian tindak pidana, ia memberikan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :3

1. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat); 2. Diancam dengan pidana;

3. Melawan hukum;

4. Dilakukan dengan kesalahan;

5. Orang yang mampu bertanggungjawab.

3


(34)

Menurut Aliran Monistis, apabila ada orang yang melakukan tindak pidana, maka sudah dapat dipidana. Sedangkan menurut Aliran Dualistis belum tentu, karena harus dilihat dan dibuktikan dulu pelaku/orangnya itu, dapat dipidana tau tidak. Aliran Dualistis dalam memberikan pengertian tindak pidana memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Sehingga berpengaruh dalam merumuskan unsur-unsur tindak pidana.

Menurut Moeljatno, seorang penganut Aliran Dualistis merumuskan unsur-unsur perbuatan pidana /tindak pidana sebagai berikut :4

1) Perbuatan (manusia);

2) Memenuhi rumusan dalam undang-undang (merupakan syarat formil); dan 3) Bersifat melawan hukum (merupakan syarat materiil).

Seseorang untuk dapat dipidana, jika orang itu yang melakukan tindak pidana (yang memenuhi unsur-unsur di atas) harus dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Jadi unsur pertanggungjawaban pidana ini melekat pada orangnya/pelaku tindak pidana.

Menurut Moeljatno unsur-unsur pertanggungjawaban pidana meliputi :5

1) Kesalahan

2) Kemampuan bertanggungjawab.

4

Ibid, hlm. 43

5


(35)

Berdasarkan pendapat para pakar hukum 2 (dua) aliran di atas, Aliran Dualistis lebih mudah diterapkan karena secara sistematis membedakan antara perbuatan pidana (tindak pidana) dengan pertanggungjawaban pidana. Sehingga memberikan kemudahan dalam penuntutan dan pembuktian tindak pidana yang dilakukan.

Terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana tetapi tidak dapat dipidana, maka hal ini berkaitan dengan teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :

1. Alasan Pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.

2. Alasan Pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan keslahan terdakwa tetap bersifat melawan hukum, artinya tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi terdakwa tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.

3. Alasan Penghapus Penuntutan. Bukan ada alasan pembenar atau alasan pemaaf, artinya tidak ada fikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan. Pertimbangan nya disini ialah kepentingan umum. Kalau perkaranya tidak dituntu, tentunya yang melakukan perbuatan tidak dapat dipidana.


(36)

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang lain yang bila dilanggar akan mendapat sanksi yang jelas dan sesuai dengan KUHP dan Undang-Undang lainnya tanpa membedakan jenis kelamin antara laki-laki atau perempuan.

3. Jenis Tindak Pidana

a. Kejahatan dan Pelanggaran

KUHP menempatkan kejahatan di dalam Buku Kedua dan pelanggaran dalam Buku Ketiga, tetapi tidak ada penjelasan mengenai apa yang disebut kejahatan dan pelanggaran. Semuanya diserahkan kepada ilmu pengetahuan untuk memberikan dasarnya, tetapi tampaknya tidak ada yang sepenuhnya memuaskan.

Kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik hukum dan pelanggaran merupakan

wetsdelict atau delik undang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan. Sedangkan delik undang-undang melanggar apa yang ditentukan oleh undang-undang, disini tidak tersangkut sama sekali masalah keadilan.6

b. Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materiil

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materiil, inti larangan adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karena

6Ibid


(37)

itu, siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.

c. Tindak Pidana Sengaja dan Tindak Pidana Kelalaiaan

Tindak pidana sengaja (doleus delicten) adalah tindak pidan yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. Sementara itu tindak pidana culpa (culpose delicten) adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung unsur culpa. Tindak pidan culpa adalah tindak pidana yang unsur kesalahannya berupa kelalaian, kurang hati-hati, dan tidak karena kesengajaan.

d. Tindak Pidana Aktif (Delik Commisionis) dan Tindak Pidana Pasif (Delik

Omisionis)

Tindak pidana aktif (delik commisionis) adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif (disebut juga perbuatan materiil) adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Berbeda dengan tindak pidana pasif, dalam tindak pidana pasif ada suatu kondisi dan atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani kewajiban hukum untuk berbuat tertentu, yang apabila ia tidak melakukan (aktif) perbuatan itu, ia telah melanggar kewajiban hukumnya tadi. Disini ia telah melakukan tindak pidana pasif. Tindak pidana ini juga dapat disebut tindak pidana pengabaian suatu kewajiban hukum.


(38)

e. Tindak Pidana Biasa (Gewone Delicten) dan Tindak Pidana Aduan (Klacht Delicten)

Tindak pidana biasa adalah tindak pidana tang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak. Sementara itu, tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan.7

B.Tindak Pidana Pemalsuan Uang

Tindak pidana pemalsuan uang merupakan tindak kejahatan yang sangat meresahkan masyarakat karena dapat merugikan dan menghambat perekonomian individu maupun negara.

Tujuan serta maksud dilakukannya pemalsuan pada awalnya untuk memperkaya diri sendiri, maupun ntuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan dengan membayar menggunakan uang palsu tersebut. Namun dalam perkembangannya mengingat arti dan nilai uang dalam berbagai aspek kehidupan manusia, uang palsu juga dapat digunakan dengan tujuan untuk melumpuhkan perekonomian suatu negara. Dalam sistem hukum pidana Indonesia, kejahatan terhadap mata uang dan uang kertas adalah kejahatan berat.

7


(39)

1. Pemalsuan Uang

Pemalsuan berasal dari kata dasar palsu yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah tiruan.8 Pemalsuan berasal dari bahasa belanda yaitu Vervalsing atau

Bedrog yang artinya proses, cara atau pebuatan memalsu.9 Sedangkan mata uang adalah alat tukar standart pengukur nilai (kesatuan hitungan yang sah dikeluarkan oleh pemerintah suatu Negara yang berupa kertas, emas, perak, logam yang dicetak dengan bentuk dan gambar tertentu).10 Menurut Dai Bactiar, uang palsu adalah semua benda hasil tiruan uang baik uang kertas maupun uang logam atau semacam uang atau uang yang dipalsukan yang dapat dan atau dengan maksud akan diedarkan serupa yang asli.11

Beberapa pengertian yang perlu dipahami dalam pemalsuan uang ini yaitu :

a. Mata Uang : uang yang dibuat dari logam/emas, perak, nekel, tembaga, dan sebaginya.

b. Uang Kertas : uang yang dibuat dari kertas yang dikeluarkan oleh pemerintah. c. Uang Kertas Bank : uang yang dibuat dari kertas yang dikeluarkan oleh Bank

sirkulasi, bank mana yang dipercaya Pemerintah untuk mengeluarkannya.

d. Uang : alat tukar yang sah dan terdiri dari semua jenis mata uang yang dibuat oleh pemerintah berdasarkan Undang-Undang. 12

8

Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3, Balai Pustaka, Jakarta 2001, hlm. 817

9

Kamus Hukum, Pramadya Puspa, Semarang ,1997, hlm. 618

10

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit., hlm. 1232

11

Bambang, Irawan, Bencana Uang Palsu, Elstreba, Yogyakarta, 2000, hlm. 37

12

Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Alumni, Bandung, 1986), hlm. 162-163


(40)

Kejahatan meniru atau memalsukan mata uang dan uang kertas, yang kadang disingkat dengan pemalsuan uang adalah berupa penyerangan terhadap kepentingan hukum atas kepercayaan terhadap uang sebagai alat pembayaran yang sah. Sebagai alat pembayaran, kepercayaan terhadap uang harus dijamin. Kejahatan ini diadakan berhubungan untuk melindungi kepentingan hukum masyarakat terhadap uang sebagai alat pembayaran tersebut.13

Perbuatan meniru dan memalsu tersebut juga memiliki suatu perbedaan. Yang dimaksud perbuatan meniru adalah :14

1) Seorang mencuri peralatan pembuatan uang dan bahan-bahan pembuat uang, dengan peralatan dan bahan itu ia membuat uang. Karena dibuat dengan bahan dan dengan peralatan yang sama, maka uang yang dibuatnya adalah sama atau tidak berbeda dengan uang yang asli. Walaupun demikian uang yang dibuatnya ini tetap sebagai uang palsu (tidak asli). Membuat uang dengan cara demikian adalah termasuk perbuatan meniru.

2) Orang atau badan yang menurut peraturan berhak membuat atau mencetak uang, namun ia membuat uang yang melebihi dari jumlah yang diperintahkan atau menurut ketentuan. Maka membuat atau mencetak lebih dari ketentuan tadi adalah berupa perbuatan meniru. Walaupun uang yang dihasilkan secara fisik adalah sama persis seperti uang asli, tetap juga termasuk pengertian uang palsu (tidak asli).

13

Adami Chazawi, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 21

14


(41)

Dalam pengertian perbuatan meniru, tidak mempedulikan tentang nilai bahan yang digunakan dalam membuat uang itu apakah lebih rendah atau lebih tinggi dari bahan pada uang yang asli. Dengan kata lain apabila uang hasil dari perbuatan meniru niali logamnya (misalnya emas) lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai mata uang asli, tetap saja perbuatan seperti ini dipidana sebagai perbuatan meniru, jika dalam meniru itu terkandung maksud untuk diedarkan atau menyuruh mengedarkan seolah-olah mata uang asli dan tidak dipalsukan. Berdasarkan penjelasan Pasal 244 KUHP, meniru adalah membuat barang yang menyerupai uang, biasanya memakai logam yang sama atau lebih mahal harganya.

Berbeda dengan perbuatan meniru yang berupa perbuatan atau menghasilkan suatu mata uang atau uang kertas baru (tapi palsu atau tidak asli), yang artinya sebelum perbuatan dilakukan sama sekali tidak ada uang. Pada perbuatan memalsu (vervalschen) sebelum perbuatan dilakukan sudah ada uang (asli). Pada uang asli ini dilakukan perbuatan menambah sesuatu baik tulisan, gambar maupun warna, menambah atau mengurangi bahan pada mata uang sehingga menjadi lain dengan yang asli. Tidak menjadi syarat apakah dengan demikian uang kertas atau mata uang itu nilainya menjadi lebih rendah ataukah menjadi lebih tinggi. Demikian juga tidak merupakan syarat bagi motif apa ia melakukan perbuatan itu. Apabila terkandung maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai yang asli dan tidak palsu, maka perbuatan itu termasuk termasuk perbuatan yang dilarang dan dipidana.15

15


(42)

2. Jenis-Jenis Cara Pemalsuan Uang

Berdasarkan hasil penemuan hingga saat ini, jenis-jenis pemalsuan uang rupiah dapat dikategorikan sebagi berikut :16

1. Lukisan Tangan

Yaitu jenis pemalsuan dengan cara mengandalkan kepandaian melukis pada kertas dengan mencontoh gambar pada uang kertas asli.

2. Colour Transfer

Yaitu jenis pemalsuan dengan cara memindahkan gambar pada uang kertas asli ke kertas lain dengan cara pengepresan. Uang kertas asli diberi cairan kimia sehingga tinta cetak menjadi lunak dan gambarnya bisa dipindahkan ke kertas lain. Selanjutnya uang asli dibelah menjadi dua bagian dan masing-masing ditempelkan dengan kertas hasil proses pemindahan gambar cetakan uang tersebut.

3. Cetak Sablon

Yaitu jenis pemalsuan dengan cara menggunakan teknik cetak sablon pada kertas berwarna putih.

4. Cetak Offset

Yaitu jenis pemalsuan dengan cara menggunakan teknik cetak offset seperti pada pembuatan majalah.

16


(43)

5. Fotokopi Berwarna

Yaitu jenis pemalsuan dengan cara menggunakan mesin fotokopi berwarna yang canggih. Namun demikian, pengadaan mesin fotokopi berwarna tersebut sangat sulit karena harus memiliki ijin khusus dari pihak yang berwenang.

6. Scanner

Yaitu jenis pemalsuan dengan cara menggunakan kecanggihan alat scanner dan perangkat komputer serta mesin printer berwarna.

7. Colour Separation

Yaitu jenis pemalsuan dengan cara teknik cetak fotografi melalui proses pemisahan warna. Warna-warna yang ada pada uang kertas asli diperoleh dari penggabungan 4 warna yaitu biru, merah, kuning, dan hitam untuk memperoleh kesempurnaan/kekontrasan hasil cetak.

3. Sanksi bagi pelaku tindak pidana pemalsuan mata uang

Ada 2 (dua) alasan pemalsuan mata uang adalah kejahatan berat, yakni :

a. Kejahatan mengenai mata uang dan uang kertas palsu berlaku azas Universaliteit,

artinya hukum pidana indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan kejahatan mata uang dimana pun berada, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Tindak pidana mata uang sendiri diatur dalam Pasal 244 KUHP sampai Pasal 252 KUHP.

b. Ancaman pidana maksimum pada kejahatan ini, ada 7 (tujuh) bentuk rumusan kejahatan mata uang dan uang kertas didalam Bab X buku II KUHP yang


(44)

mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran. Ancaman pidana tersebut terbagi dalam bebrapa ancaman pidana, yakni :

1) Ancaman pidana maksimum 15 tahun penjara (Pasal 244 dan 245 KUHP); 2) Ancaman pidana maksimum 12 tahun penjara (Pasal 246 dan 247 KUHP); 3) Ancaman pidana maksimum 6 tahun penjara (Pasal 250 KUHP);

4) Ancaman pidana maksimum 1 tahun penjara (Pasal 250 bis KUHP); dan 5) Ancaman pidana maksimum 4 bulan 2 minggu penjara (Pasal 249 KUHP).

Mengenai tindak pidana dalam hal ini meniru dan memalsu uang dirumuskan dalam Pasal 244 KUHP, yang menyatakan :

“Barangsiapa meniru atau memalsukan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan mata uang atau uang kertas itu sebagai yang asli dan tidak palsu, dipidana dengan ancaman penjara paling lama lima belas tahun”. Unsur kesalahan dalam kejahatan peniruan dan pemalsuan mata uang dan uang kertas Negara maupun uang kertas bank sebagiamana yang dirumuskan dalam Pasal 244 KUHP adalah kesengajaan dengan maksud berupa kesalahan dalam arti yang sempit. Pelaku dalam melakukan perbuatan meniru dan memalsu mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau bank didorong oleh suatu tujuan yang bermaksud mengedarkan atau menyuruh orang lain mengedarkan uang kertas palsu atau uang kertas tidak asli tersebut sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak palsu demi memperoler suatu keuntungan.17

17


(45)

Berdasarkan kepada Pasal 245 KUHP yang menyatakan :

“Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank sebagai mata uang atau uang kertas yang tulen atau tidak palsu, padahal ditiiru atau dipalsu oleh sendirinya, atau waktu diterimanya diketahui bahwa tidak tulen atau palsu, ataupun barangsiapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia, mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan maksud mengedarkan sebagai uang tulen dan tidak palsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

Rumusan pada Pasal 245 KUHP tersebut, ada 4 bentuk penjelasan kejahatan pengedaran uang palsu, yaitu :

1. Melarang orang yang dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank palsu yang seolah-olah sebagai mata uang kertas asli dan tidak dipalsu, yang mana mata uang palsu tersebut ditiru atau dibuat sendiri oleh yang bersangkutan.

2. Melarang orang yang menerima dan mengetahuin mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank tersebut palsu, lalu dengan sengaja mengedarkannya sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu.

3. Melarang orang yang dengan sengaja menyimpan mata uang atau uang kertas palsu lalu memasukkan ke Indonesia, yang mana mata uang atau uang kertas palsu tersebut ditiru atau dibuat oleh sendirinya lalu bertujuan untuk mengedarkan atau menyuruh orang lain mengedarkan mata uang atau uang kertas palsu tersebut seolah-olah mata uang atau uang kertas asli


(46)

4. Melarang orang yang mendapat mata uang atau uang kertas palsu lalu dengan sengaja menyimpan lalu memasukkannya ke Indonesia, dengan maksud mengedarkan atau menyuruh orang lain untuk mengedarkannya sebagai mata uang atau uang kertas asli.18

Objek kejahatan dalam Pasal 245 KUHP adalah sama dengan objek kejahatan dalam Pasal 244 KUHP, yakni :

1. Mata Uang; 2. Uang Kertas; dan 3. Uang Kertas Bank.

Pada Pasal 244 KUHP unsur perbuatan yang dilarang adalah meniru dan memalsu, sedangkan pada Pasal 245 KUHP unsur perbuatan yang dilarang adalah mengedarkan, menyimpan, dan memasukkan ke Indonesia. Menurut ketentuan pada Pasal 244 dan 245 KUHP tersebut, kejahatan pada Pasal 245 KUHP terjadi setelah terjadinya kejahatan pada Pasal 244 KUHP.

Pelaku biasanya terlebih dahulu meniru dan memalsu mata uang atau uang kertas sebelum diedarkan atau menyimpan uang palsu tersebut. Perbuatan meniru menghasilkan mata uang dan uang kertas tidak asli, sedangkan perbuatan memalsu menghasilkan mata uang dan uang kertas dipalsu. Kedua uang yang mengandung sifat demikian dapat disebut uang palsu. Setelah adanya mata uang atau uang kertas palsu barulah dapat dilakukan perbuatan mengedarkan, menyimpan dan memasukkan

18Ibid


(47)

ke Indonesia. Biasanya tindak pidana pengedaran uang palsu dilakukan oleh lebih dari satu orang pelaku atau bersama-sama.

Penelitian ini terdapat pula teori dan pengertian dari Pasal 55 KUHP tentang penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana, yang menyatakan :

1) Dipidana sebagai pembuat delik :

Ke-1 : mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan

Ke-2 : mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

2) Terhadap penganjur hanya perbuatan yang disengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Selain diatur dalam KUHP mengenai kejahatan terhadap uang palsu, terdapat pula pengaturannya dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan, dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah.

Pengaturan dalam Surat Edaran Bank Indonesia tersebut mengenai uang palsu atau uang yang diragukan keasliannya diatur dalam beberapa pasal didalamnya, antara lain Pasal 12, yang menyatakan masyarakat dapat meminta klasifikasi kepada Bank Indonesia terhadap uang yang diragukan keasliannya.

Pada Pasal 13 ayat (1), berisi bahwa bank Indonesia memberikan penggantian terhadap uang yang telah dinyatakan asli, selanjutnya pada Ayat (2) diatur besarnya penggantian terhadap uang yang telah dinyatakan asli sebagaimana yang dimakud


(48)

pada Ayat (1) yang mengacu pada Pasal 9 Ayat (4), yang menyatakan Bank Indonesia dan atau pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia memberikan penggantian atas uang lusuh atau uang cacat sebesar nilai nominaknya, dan pada Pasal 9 Ayat (7) yang isinya menyatakan besarnya penggantian atas uang rusak terhadap uang kertas atau uang logam apabila fisik uang lebih besar dari setengah ukuran aslinya dan ciri uang dapat dikenali keasliannya diberikan penggantian sebesar nilai fisik normal dan fisik uang yang sama dengan atau kurang dari setengah ukuran aslinya tidak diberikan pengganti.

Besarnya pengganti terhadap uang kertas yang terbuat dari bahn plastik (poliner) apabila, fisik uang mengerut dan masih utuh serta ciri uang dapat dikenali keasliannya diberikan pengganti sebesar nilai nominal dan apabila fisik uang mengerut dan tidak utuh serta ciri uang dapat dikenali keasliannya besarnya penggantian sama dengan nilai nominalnya. Pada Pasal 13 Ayat (3), menyatakan bahwa uang yang dinyatakan palsu tidak diberikan penggantian oleh Bank Indonesia, selanjutnya pada Pasal 13 Ayat (4), berisi uang yang dinyatakan palsu pada Ayat (3) akan diproses sesuai ketentuan yang berlaku.

Selanjutnya terdapat kewajiban dari pihak bank umum untuk menyampaikan laporan mengenai penemuan uang palsu kepada Bank Indonesia yang diatur pada Pasal 14 dan Pasal 15 Ayat (1), yang menyatakan Bank Indonesia memberikan informasi dan pengetahuan mengenai tanda keaslian uang kepada masyarakat dan pada Pasal 15 Ayat (2) mengenai memberikan informasi dan pengetahuan sebagaimana yang diatur pada Pasal 15 Ayat (1), bahwa Bank Indonesia dapat bekerja sama dengan pihak lain.


(49)

Serta pada Pasal 16 yang berisi Bank Indonesia melakukan kerjasama dengan instansi yang berwenang dalam rangka penanggulangan pengedaran uang palsu. sanksi terhadap pelanggaran yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 dikenakan berupa sanksi administratif.

C.Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.19

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum dan harus ditegakkan. Dalam menegakkan hukum ada 3 (tiga) unsur uang selalu harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit).20

Pelaksanaan hukum sangat penting dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, karena tujuan hukum terletak pada pelaksanaan hukum tersebut. Ketertiban dan ketentraman hanya dapat diwujudkan jika hukum dilaksanakan, dan sebaliknya jika hukum tidak

19

Soerjono Soekanto, Op.Cit hlm. 5.

20

Sudikmo Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993, hlm. 1.


(50)

dilaksanakan maka peraturan hukum itu hanya menjadi susunan kata-kata yang tidak bermakna dalam kehidupan masyarakat.

Penegakan hukum sebagai usaha semua kekuatan bangsa, menjadi kewajiban kolektif semua komponen bangsa, dan merupakan ralat bahwa hukum hanya boleh ditegakkan oleh golongan-golongan tertentu saja, antara lain :21

1. Aparatur negara yang memang ditugaskan dan diarahkan untuk itu seperti polisi, hakim, dan jaksa, yang dalam dunia hukum disebut secara ideal sebagai the three musketers atau tiga pendekar hukum, yang mempunyai fungsi penegakan dengan sifat yang berbeda-beda akan tetapi bermuara pada terciptanya hukum yang adil, tertib, dan bermanfaat bagi semua manusia. Polisi menjadi pengatur dan pelaksana penegakan hukum didalam masyarakat, hakim sebagai pemutus hukum yang adil sedangkan jaksa adalah institusi penuntutan negara bagi para pelanggar hukum yang diajukan polisi.

2. Pengacara yang memiliki fungsi advokasi dan mediasi bagi masyarakat baik yang bekerja secara individual ataupun yang bergabung secara kolektif melalui lembaga-lembaga bantuan hukum,yang menjadi penuntun masyarakat yang awam hukum, agar dalam proses peradilan tetap diperlakukan sebagai manusia yang memiliki kehormatan, hak, dan kewajiban, sehingga putusan hakim akan mengacu pada kebenaran, keadilan yang dilandasi penghormatan manusia atas manusia.

21

Ilhami Bisri, Sistem hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip & Implementasi Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2012, hlm. 128.


(51)

3. Para eksekutif yang bertebaran di berbagai lahan pengabdian sejak dari pegawai pemerintah yang memiliki beraneka fungsi dan tugas kewajiban sampai kepada para penyelenggara yang memiliki kekuasaan politik (legislatif).

4. Masyarakat pengguna jasa hukum yang kadang-kadang secara ironi menjadi masyarakat pencari keadilan.

Sudarto berpendapat bahwa penegakan hukum pidana di Indonesia dilaksanakan secara penal yaitu lebih menitikberatkan pada sifat “repressive” yaitu kebijakan dalam menanggulangi kejahatan menggunakan hukum pidana dengan penindasan, pemberantasan atau penumpasan setelah terjadinya kejahatan dengan dilakukannya penyidikan oleh penyidik kepolisian yang untuk selanjutnya dapat diproses melalui pengadilan dan diberikan sanksi yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sarana non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventive atau pencegahan, penangkapan dan pengendalian sebelum kejahatan terjadi.22

D.Faktor Penghambat Penegakan Hukum

Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, adalah sebagai berikut:23

a. Faktor hukumnya sendiri ( Perundang-undangan )

Praktek penyelenggara hukum di lapangan seringkali terjadi kontradiksi antara hukum dan keadilan, hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian keadilan merupakan prosedur yang telah

22

Barda Nawawi Arief, Op. Cit. hlm. 46.

23


(52)

ditentukan secara normatif. Oleh karena itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan oleh hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara kebutuhan untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas pendukungnya.

Sebagaimana diketahui bahwa hukum mempunyai unsur-unsur, antara lain sebagai hukum perundang-undangan, hukum traktat, hukum yurisprudensi, hukum adat, hukum ilmuwan atau doktrin. Dalam negara yang ideal unsur-unsur itu harus harmonis, artinya tidak bertentangan baik secara vertikal maupun secara horizontal antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya.

b. Faktor Penegak Hukum

Penegak hukum adalah mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung dibidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace maintenance. Kalangan yang mempunyai pengaruh besar dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan mata uang adalah mereka yang bertugas di bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan yang berupaya menjalankan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang sah. Peran penegak hukum harus dapat menjamin antara rasa


(53)

keadilan, kegunaan atau kemanfaatan dan kepastian hukum dalam pelaksanaan penegak hukum untuk menentukan kepuasan bagi mereka yang mendambakan keadilan.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas

Sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar dan menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peran yang aktua. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.

Adanya hambatan penyelesaian perkara bukanlah semata-mata disebabkan karena banyaknya perkara yang harus diselesaikan, sedangkan waktu untuk mengadilinya atau menyelesaikannya adalah terbatas, efektivitas dari sanksi negatif yang diancamkan terhadap peristiwa-peristiwa pidana tertentu. Kepastian dan kecepatan penanganan perkara senantiasa tergantung pada masukan sumber daya yang diberikan di dalam program-program pencegahan dan pemberantasan kejahatan. Peningkatan teknologi deteksi kriminalitas, umpamanya, mempunyai peranan yang sangat penting bagi kepastian dan kecepatan penanganan perkara-perkara pidana.

d. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat dapat mempengaruhi penegakan


(54)

hukum di mana peraturan hukum berlaku atau diterapkan. Bagian terpenting dari masyarakat yang menentukan penegakan hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik.

e. Faktor Kebudayaan

Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan, karena di dalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau nonmaterial. Secara konsepsional dari berbagai jenis kebudayaan jika dilihat berdasarkan perkembangan dan ruang lingkupnya di Indonesia, adanya super culture, culture subculture, dan counter culture. Beragam kebudayaan yang demikian banyak dapat menimbulkan persepsi-persepsi tertentu terhadap penegakan hukum. Masalah-masalah yang timbul di wilayah pedesaan mungkin harus lebih banyak ditangani dengan cara tradisional, dan di kota tidak semua masalah dapat diselesaikan tanpa mempergunakan cara-cara yang tradisonal. Keragaman tersebut sulit untuk diseragamkan. Oleh karena itu penegakan hukum harus disesuaikan dengan kondisi setempat.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum.


(55)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Membahas permasalahan skripsi ini, penulis menggunakan dua macam pendekatan masalah yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah dan menelusuri berbagai peraturan perundang-undangan. Teori dan konsep-konsep yang ada dan berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.

Pendekatan secara yuridis empiris dilakukan dengan cara mengadakan penelitian lapangan, yaitu melihat fakta-fakta yang ada di lapangan yang berkaitan dengan tindak pidana pemalsuan uang, dalam hal ini dilakukan studi kasus. Mengadakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris, dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas dan benar terhadap permasalahan yang akan di bahas dalam skripsi ini.


(56)

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau lapangan, dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.1

Penulis menggunakan dua sumber data untuk menyelesaikan skripsi ini, yaitu data primer dan sekunder.

1. Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan secara langsung pada objek penelitian yaitu : Polres Tanggamus, Kejaksaan Negeri Kotaagung, serta Pengadilan Negeri Kotaagung.

2. Data sekunder adalah data yang di peroleh dari bahan kepustakaan, terdiri dari :

1. Bahan hukum primer, antara lain :

a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancanagn undang-undang, literatur-literatur dan bahan-bahan yang menunjang lainnya, seperti :

3. Bahan hukum tersier, yaitu meliputi buku-buku hasil penelitian, pendapat para sarjana, perpustakaan online dan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang

1


(57)

memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer maupun hukum sekunder.

C. Responden

Responden yang di wawancarai dalam penelitian ini adalah :

1. Hakim pada Pengadilan Negeri Kotaagung : 1 (satu) orang 2. Jaksa pada Kejaksaan Negeri Kotaagung : 1 (satu) orang 3. Penyidik pada Polresta Tanggamus : 1 (satu) orang

Jumlah : 3 (tiga) orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Posedur Pengumpulan Data

Pada prosedur pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder dipergunakan alat-alat pengumpulan data, yaitu :

a. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa studi kepustakaan baik bahan hukum primer yaitu Undang-Undang dan Pertauran Pemerintah, bahan hukum sekunder yang berupa penjelasan bahan hukum primer erta mencatat dan mengutip buku maupun pendapat para sarjana atau ahli hukum lainnya yang berhubungan dengan penulisan ini.


(58)

b. Data Primer adalah data yang penulis dapatkan secara langsung dari objek penelitian. Adapun metode yang dilakukan dalam memperoleh data primer yaitu dengan mengadakan wawancara, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan mengajukan sejumlah pertanyaan lisan, dan mengajukan pertanyaan secara kuisioner.

Prosedur pengumpulan data penulis melakukan hal-hal sebagai berikut :

a. Untuk memperoleh data primer, dilakukan dengan wawancara atau interview secara terarah.

b. Untuk memperoleh data sekunder, dilakukan melalui serangkaian kegiatan studi kepustakaan dengan cara membaca, menelaah dan mengutip peraturan perundang-undanga, buku-buku ilmiah dokumen dan tulisan ilmiah maupun informasi lain yang berhubungan dengan penelitian.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pelaksanaan pengolahan data yang telah diperoleh, penulis menggunakan metode sebagai berikut :

1. Evaluasi, yaitu data yang diperoleh diperiksa untuk mengetahui apakah masih terdapat kekurangan-kekurangan dan kesalahan, serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahn yang akan dibahas.

2. Klasifikasi, yitu pengelompokan data yang telah dievaluasi menurut bahasanya masing-masing setelah dianalis sesuai dengan permasalahan.


(59)

3. Sistematisasi, yaitu menyusun data yang telah dievaluasi dan diklasifikasi dengan tujuan agar terciptanya keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analis Data

Tahap selanjutnya setelah pengolahan data adalah analisis data, analisis data dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif yaitu suatu analis data dengan cara mendeskripsikan, menginterpretasikan data yang diperoleh dalam bentuk uraian. Dari hasil analisis ini dapat diketahui serta diperoleh kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus dan selanjutnya dengan beberapa kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(60)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab-bab terdahulu maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Mata uang.

1. Tahap Formulasi, dalam tahap ini pelaksanaan nya sudah baik, penegakan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan mata uang sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 245 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang Pasal 36 ayat (3).

2. Tahap Aplikasi, tahap penegakan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisisan, kejaksaan, hingga pengadilan. Pihak kepolisian melakukan penangkapan terhadap pengedar serta mengajukan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum; melakukan penangkapan terhadap orang yang memalsuakan atau orang yang mencetak sendiri uang palsu tersebut serta mengedarkannya; melakukan penyitaan barang bukti berupa uang yang diduga palsu beserta alat-alat yang dipergunakan untuk membuat uang tersebut.


(61)

Pihak kejaksaan mengadakan penuntutan dalam perkara pidana dan melaksanakan penetapan hakim. Apabila dianggap perlu jaksa mengadakan penyelidikan tambahan. Jaksa sebagai penuntut umum, ditugaskan merumuskan perkara yang diterima kepolisian sebagai penyidik untuk mendapat penyelesaian menurut hukum.

Pihak Pengadilan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, yakni dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peradilan. Hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan masyarakat.

3. Tahap Eksekusi, pada tahap ini sudah jelas bahwa para pelaku tindak pidana pemalsuan mata uang sudah sampai pada tahap eksekusi, sesuai surat keputusan dari Pengadilan Negeri Kotaagung dengan Nomor Putusan : 103/Pid.B/2013/PN KTA yang menyatakan tersangka Adi Winata Bin Bahar, Bakri Bin Gimin, dan Deni Febriansyah Bin Sutikno diputus dengan pidana penjara masing-masing selama 2 (dua) tahun penjara.

2. Faktor Penghambat dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemalsuan Uang. 1. Faktor hukumnya (perundang-undangan), dalam faktor ini para penegak

hukum dalam menerapkan sanksi kepada pelaku tindak pidana pemalsuan mata uang masih menggunakan KUHP, padahal sudah ada undang-undang khusus yang mengatur tentang mata uang yaitu Undang-Undang No. 7 Tahun 2011.


(62)

2. Faktor penegak hukum, masih ada aparat penegak hukum, penyidik atau penuntut umum dan hakim yang kurang profesional, sehingga penanganan kasus sering terlambat dan bahkan karena ketidakcermatan dalam penanganan kasus dapat berakibat kegagalan dalam penuntutan di pengadilan.

3. Faktor masyarakat kesadaran hukum dalam masyarakat masih rendah, dapat dilihat dari masih adanya rasa enggan warga masyarakat untuk menyampaikan laporan atau menjadi saksi atas terjadinya suatu proses penegakan hukum. Laporan dari masyarakat inilah yang sangat penting, sebab tanpa adanya laporan dari masyarakat penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan mata uang tidak dapat terlaksana.

4. Faktor sarana dan prasarana, dalam faktor ini masih kurangnya tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang kurang memadai serta keuangan yang cukup. Sarana dan prasarana hukum mutlak diperlukan untuk memperlancar dalam menciptakan kepastian hukum, dalam proses penegakan hukum.

B.Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka yang menjadi saran penulis adalah :

1. Para penegak hukum harus lebih menjunjung tinggi profesionalitas dalam melaksanakan perannya dalam upaya penegakan hukum terhadap kejahatan pemalsuan uang kertas rupiah di Indonesia. Dukungan dari pemerintah juga sangat menentukan teratasinya kendala-kendala dalam penegakan hukum kejahatan ini.


(63)

2. Sebaiknya pemerintah harus lebih serius lagi menanggapi kejahatan ini dengan berusaha memikirkan hal-hal yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja dari para penegak hukum di Indonesia agar dapat terlaksananya penegakan hukum yang maksimal terhadap kejahatan pemalsuan mata uang dan pengedarannya. 3. Sebaiknya Bank Indonesia melakukan kegiatan sosialisasi atau penyuluhan tentang

ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada masyarakat yang di dalam pekerjaannya sehari-hari selalu berhubungan dengan fisik uang. Selanjutnya, setelah kegiatan tersebut dilaksanakan maka diharapkan akan semakin banyak masyarakat yang mengetahui ciri-ciri keaslian uang rupiah sehingga pada akhirnya diharapkan peredaran uang rupiah palsu akan semakin berkurang.

4. Pemerintah harus lebih tegas, berkomitmen dan konsisten terhadap peraturan yang telah dibuat serta pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas dan lebih berat untuk memberikan efek jera terhadap para pelakunya.


(64)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku :

Andrisman, Tri. 2005. Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia.

Bagian Hukum Pidana Unila. Bandar Lampung.

Arief, Barda Nawawi. 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Kencana Prenada.

Bambang, Irawan, Bambang. 2000. Bencana Uang Palsu. Elstreba. Yogyakarta. Bisri, Ilhami. 2012. Sistem hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip & Implementasi

Hukum di Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta.

Boediono. 1990. Ekonomi Moneter. BPFE. Yogyakarta.

Chazawi, Adami. 2001. Kejahatan Mengenai Pemalsuan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta

- 2002. Pelajaran Hukum Pidana. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Hamzah, Andi. 1978. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Harahap, H. Chairuman. 2003. Merajut Kolektifitas Melalui Penegakan Supremasi Hukum. Citapustaka Media. Bandung. 2003

Mertokusumo, Sudikmo dan A. Pitlo.1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum.

PT. Citra Aditya Bakti. Yogyakarta.

Moch Anwar, Moch. 1986. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II). Alumni. Bandung.

Purnomo, Bambang dan Arun Sakidjo. 1981. Seri Hukum Pidana 1. Ghalia Indonesia. Jakarta.


(65)

Sudarto.1990. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto. Semarang. - 1991.Victimologi. FH Unila. Bandar Lampung. Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. CV Alfabeta. Bandung.

Sunggono, Bambang. 2012. Metodelogi Penelitian Hukum. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Prestasi Pustaka. Jakarta. Universitas Lampung. 2010. Format Penulisan Karya Ilmiah. Unila Press. Bandar

Lampung.

Undang-Undang :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Putusan Nomor : 103/PID.B/2013/PN.KTA

Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/14/PBI/2004 Tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan, Dan Penarikan, Serta Pemusnahan Uang Rupiah. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Internet :

http://lampost.co/berita/lampung-peringkat-5-peredaran-uang-palsu-

http://antoni-mitralaw.blogspot.com/2011/02/aspek-budaya-legal-culture-dalam.html/m=1, Penegakan Hukum Pidana

http://id.berita.yahoo.com/uang-palsu-di-gadingrejo-ada-tanda-airnya 033219379.html

http://lampung.tribunnews.com/2013/09/06/polisi-cokok-pengedar-upal-di-kalirejo


(66)

indonesia.html?m=1

http://tetrag5.blogspot.com/2011/01/penegakan-hukum-tindak-pidana-pasar.html?m=1


(67)

(68)

(69)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku :

Andrisman, Tri. 2005. Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia. Bagian Hukum Pidana Unila. Bandar Lampung.

Arief, Barda Nawawi. 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Kencana Prenada.

Bambang, Irawan, Bambang. 2000. Bencana Uang Palsu. Elstreba. Yogyakarta. Bisri, Ilhami. 2012. Sistem hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip & Implementasi

Hukum di Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta.

Boediono. 1990. Ekonomi Moneter. BPFE. Yogyakarta.

Chazawi, Adami. 2001. Kejahatan Mengenai Pemalsuan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta

- 2002. Pelajaran Hukum Pidana. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Hamzah, Andi. 1978. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Harahap, H. Chairuman. 2003. Merajut Kolektifitas Melalui Penegakan Supremasi Hukum. Citapustaka Media. Bandung. 2003

Mertokusumo, Sudikmo dan A. Pitlo.1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Yogyakarta.

Moch Anwar, Moch. 1986. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II). Alumni. Bandung.

Purnomo, Bambang dan Arun Sakidjo. 1981. Seri Hukum Pidana 1. Ghalia Indonesia. Jakarta.


(2)

- 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali Pers. Jakarta.

Sudarto.1990. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto. Semarang. - 1991.Victimologi. FH Unila. Bandar Lampung. Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. CV Alfabeta. Bandung.

Sunggono, Bambang. 2012. Metodelogi Penelitian Hukum. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Prestasi Pustaka. Jakarta. Universitas Lampung. 2010. Format Penulisan Karya Ilmiah. Unila Press. Bandar

Lampung.

Undang-Undang :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Putusan Nomor : 103/PID.B/2013/PN.KTA

Peraturan Bank Indonesia Nomor: 6/14/PBI/2004 Tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan, Dan Penarikan, Serta Pemusnahan Uang Rupiah. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Internet :

http://lampost.co/berita/lampung-peringkat-5-peredaran-uang-palsu-

http://antoni-mitralaw.blogspot.com/2011/02/aspek-budaya-legal-culture-dalam.html/m=1, Penegakan Hukum Pidana

http://id.berita.yahoo.com/uang-palsu-di-gadingrejo-ada-tanda-airnya 033219379.html

http://lampung.tribunnews.com/2013/09/06/polisi-cokok-pengedar-upal-di-kalirejo


(3)

http://m.poskotanews.com/2013/08/31/uang-palsu-juga-beredar-di-lapas/ http;//dicilala.blogspot.com/2012/03/masalah-penegakan-hukum-di

indonesia.html?m=1

http://tetrag5.blogspot.com/2011/01/penegakan-hukum-tindak-pidana-pasar.html?m=1


(4)

(5)

(6)