ANALISIS PENEGAKAN HUKUM KORUPSI SEBAGAI PREDICATE CRIME DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

(1)

(2)

ABSTRAK

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM KORUPSI SEBAGAI PREDICATE

CRIME DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Oleh Sofyan Hadi

Selama ini penanganan kasus Korupsi dinilai terlalu lamban, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum mampu mengurangi korupsi diIndonesia atau menjerakan aparat penyelenggara negara untuk tidak korupsi, maka perlu dikembangkan atau ditemukan suatu cara baru untuk menangani kasus korupsi yang dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Permasalahan dalam penelitian ini adalah penegakan hukum korupsì sebagai predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang dan kendala penegakan hukum korupsì sebagai predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang. Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan permasalahan penelitian ini adalah pendekatan yuridis nomatif dan yuridis empiris.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan menggunakan undang-undang pencucian uang belum optimal dilaksanakan, seperti diketahui pintu masuk untuk melakukan penyidikan tindak pìdana pencucìan uang adalah tindak pidana asalnya antara lain perkara korupsi. Minimnya penanganan perkara pencucian uang di Propínsi Lampung baik yang disidik oleh kejaksaan maupun instansi penyidik tindak pidana asal lainnya dikarenakan masih adanya hambatan dari faktor internal maupun faktor eksternal yang dirasakan oleh penyidik dalam menerapkan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari perkara korupsi.

Pada akhimya disarankan hendaknya memutus serta merampingkan (streamlining) jaringan proses birokrasi di kalangan penentu kebijakan, baik itu yang berada di lembaga 1egislatif maupun yudikatif. Kemudian para penegak hukum, khususnya penyidik tindak pìdana asal perkara tindak pidana pencucian uang harus memiliki kesamaan visi, profesìonalisme, komitmen, tanggungjawab dan integritas yang tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi dengan upaya asset recovery melalui penerapan tindak pidana pencucian uang.


(3)

(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK

LEMBAR PENGESAHAN MOTO

PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR

Hal I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 10

C. Tujuan Penelìtìan dan Kegunaan Penelitian ... 10

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Korupsi dan Tindak Pidana Korupsi ... 15

B. Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi ... 22

C. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia ... 29

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ... 59

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 65

B. Jenís dan Sumber Data ... 65

C. Narasumber ... 66

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 67


(7)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penegakan Hukum Korupsi sebagai Predicate Crime dalam Tindak Pidana Pencucian Uang ... 69 B. Kendala Penegakan Hukum Korupsi sebagai Predicate Crime dalam

Tindak Pidana Pencucian Uang ... 116

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 128 B. Saran ... 130

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kasus korupsi di Indonesia semakin marak, ibarat “parasit” yang sudah beranak pinak disemua sistem birokrasi pemerintahan baik disistem legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tata kelola pemerintahan yang semakin memburuk dengan kata lain korupsi di Indonesia, telah mencapai stadium yang mengkhawatirkan karena di semua lembaga pemerintahan didera persoalan yang sama yaitu korupsi, padahal kita telah memiliki instrumen atau regulasi yang mengatur mengenai Tindak Pidana Korupsi dengan cukup baik.

Selama ini penanganan kasus korupsi dinilai terlalu lamban, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum mampu mengurangi korupsi di Indonesia atau menjerakan aparat penyelenggara negara untuk tidak korupsi, maka perlu dikembangkan atau ditemukan suatu cara baru untuk menangani kasus korupsi yang dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Dalam menangani kasus kejahatan korupsi diperlukan cara-cara yang sistematis, mengingat korupsi adalah suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Apabila kita menegakkan suatu kejahatan luar biasa menggunakan cara yang biasa-biasa saja, maka akan sulit merobohkan stigma yang terlanjur


(9)

2 terbentuk dikalangan masyarakat Internasional mengenai Indonesia sebagai bangsa yang korup. Pembangunan institusional pemberantasan korupsi melalui berbagai wadah baik komisi maupun tim kerja, menunjukkan perkembangan kebutuhan nasional dalam merespons kebutuhan nyata pembenahan kelembagaan yang diyakini memiliki kontribusi signifikan dalam upaya pemberantasan korupsi yang komprehensif, terencana dan terpadu.

Adanya undang-undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, dapat mengurangi atau setidaknya membuat para pelaku untuk berfikir dua kali dalam melakukan tindak pidana korupsi, karena hasil tindak pidana korupsi akan menjadi lebih sulit untuk disimpan atau dipergunakan. Aktivitas pencucian uang merupakan suatu perbuatan mengubah bentuk, mengalihkan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang dapat berupa korupsi, penyuapan, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup atau tindak pidana lainnya. Hasil kejahatan tersebut selanjutnya disembunyikan, disamarkan atau dikaburkan asal-usulnya, sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang dari hasil usaha yang sah tanpa terdeteksi bahwa sebenarnya harta kekayaan tersebut berasal dari kegiatan yang ilegal. Adapun yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang melakukan aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime, memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan dari aparat yang berwenang kepada pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk mengembangkan aksi kejahatan


(10)

3 selanjutnya atau mencampurnya ke dalam bisnis yang sah. Mengenai hubungan antara tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang dapat dilihat pada Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu korupsi merupakan predicate crime atau kejahatan asal dari tindak pidana pencucian uang. Penempatan korupsi sebagai predicate crime nomor satu (huruf a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 merupakan manifestasi dari pikiran penyusun undang-undang yang memandang bahwa korupsi merupakan persoalan bangsa yang paling mendesak mendapat prioritas penanganannya.

Para pelaku tindak pidana pencucian uang (TPPU) biasanya melakukan tiga tahapan kegiatan pokok yaitu placement, layering, integration,1 yang bertujuan untuk menciptakan disassociation (memutus atau menjauhkan) tiga elemen penting mata rantai kejahatan, yaitu uang atau hasil kejahatan, perbuatan pidana, dan pelakunya. Sebaliknya mekanisme anti pencucian uang dikembangkan untuk menciptakan “association” (mendekatkan atau mengaitkan) antara uang atau harta kekayaan dengan kejahatan yang menghasilkannya yang pada akhirnya akan mengarahkan dan menuntun aparat penegak hukum kepada pelaku pidana.

Placement merupakan fase menempatkan uang yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan misalnya dengan pemecahan sejumlah besar uang tunai menjadi jumlah kecil yang tidak mencolok untuk ditempatkan dalam sistem keuangan baik dengan menggunakan rekening simpanan bank atau dipergunakan untuk membeli sejumlah instrumen keuangan (cheques, money orders) yang akan

1 N.H.T. Siahaan, 2002, Pencucian Uang Dan Kejahatan Perbankan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,


(11)

4 ditagihkan dan selanjutnya didepositokan di rekening bank yang berada di lokasi lain. Placement dapat pula dilakukan dengan pergerakan fisik dari uang tunai, baik melalui penyelundupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, dan menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil bisnis yang sah. Proses placement ini merupakan titik paling lemah dari perbuatan pencucian uang.

Layering, diartikan sebagai memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan, dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/menyembunyikan sumber uang “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif (shell company) dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.

Integration, yaitu upaya yang dilakukan dengan cara menggunakan uang yang „dicuci‟ melalui placement maupun layering kemudian dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum. Proses integration ini terjadi apabila proses layering berhasil dengan baik.


(12)

5 Pencegahan dan pemberantasan TPPU tidak cukup kalau hanya mengandalkan aparat penegak hukum saja. Pelaku pencucian uang seringkali melakukan aksinya dengan cara-cara yang rumit, kompleks dan canggih dengan serangkaian transaksi yang dilakukan di industri keuangan atau lembaga-lembaga yang terkait dengan keuangan, bahkan melewati batas-batas negara secara mudah dan cepat, sehingga aparat penegak hukum mengalami kesulitan untuk mengungkap pelaku dan hasil-hasil kejahatannya. Untuk itu perlu adanya peran serta lembaga di luar penegak hukum termasuk lembaga privat (khususnya lembaga keuangan dan lembaga yang terkait dengan keuangan) dalam membantu penegakan hukum yang dilindungi oleh ketentuan perundang-undangan. Sebaliknya untuk bekerjanya sistem penegakan hukum anti pencucian uang secara efektif, menuntut adanya profesionalisme aparat penegak hukum dengan melengkapi dirinya dengan berbagai pengetahuan yang cukup khususnya tentang seluk-beluk operasi industri keuangan dengan mendasarkan pada laporan dan/atau informasi dari pihak pelapor, instansi, atau pihak terkait lainnya. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melakukan analisis atau pemeriksaan dan meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan dimaksud kepada penyidik, dalam hal ditemukan adanya indikasi TPPU (money laundering) atau tindak pidana lain. UU TPPU mengatur bahwa Laporan Hasil Pemeriksaan PPATK diserahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia yang tembusannya disampaikan kepada penyidik lain sesuai kewenangannya. Penyidikan TPPU dapat dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut UU TPPU. Adapun yang dimaksud dengan “penyidik


(13)

6 tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai - Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Jenis-jenis tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan yang disebut sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 itu, dikenal dengan sebutan: “tindak pidana asal” (predicate crime), dan pencucian uang adalah tindak pidana ikutan (underlying crime) dari tindak pidana asal (predicate crime). Tindak pidana asal akan menjadi dasar apakah suatu transaksi dapat dijerat dengan undang-undang anti pencucian uang.2 Menurut Barda Nawawi Arief, predicate crime atau predicate offence adalah delik-delik yang menghasilkan criminal proceeds atau hasil kejahatan yang kemudian dicuci.3

Menurut Giavanoli, pencucian uang diartikan suatu proses dengan mana aset-aset pelaku, terutama aset tunai yang diperoleh dari suatu tindak pidana, dimanipulasi sedemikian rupa sehingga aset-aset tersebut seolah-olah berasal dari sumber yang sah. Kemudian menurut Neil Jensen, pencucian uang diartikan sebagai proses perubahan keuntungan dari kegiatan-kegiatan yang melawan hukum menjadi aset keuangan, dan terlihat seolah-olah diperoleh dari sumber-sumber yang bersifat legal. Sedangkan menurut Pande Silalahi, pencucian uang adalah perbuatan

2

Ivan Yustiavandana – Arman Nevi – Adiwarman, 2010. Tindak Pidana pencucian Uang di Pasar Modal,

Ghalia Indonesia, Bogor. hlm. 54.

3 Ibid.


(14)

7 dengan sengaja melakukan penyetoran atau pemindahan kekayaan (uang) yang berasal dari kejahatan atau dari suatu tindak pidana dengan maksud menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul dari kekayaan tersebut.4

Pengertian pencucian uang atau tindak pidana pencucian uang sebagaimana dipaparkan di atas, termasuk pengertian menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, bahwa tindak pidana pencucian uang adalah tindak pidana yang keberadaannya baru terjadi setelah adanya tindak pidana yang mendahuluinya yang disebut tindak pidana asal itu. Dari tindak pidana asal (predicate crime) ini diperoleh harta kekayaan yang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, disebut sebagai “hasil tindak pidana” atau yang oleh Barda Nawawi Arief disebut sebagai hasil kejahatan (criminal proceeds).5 Hasil tindak pidana atau hasil kejahatan (criminal proceeds) inilah yang kemudian “dicuci” seolah-olah merupakan harta kekayaan yang diperoleh secara sah, sehingga terjadilah tindak pidana pencucian uang (money laundering). Sebagai tindak pidana ikutan (underlying crime), tindak pidana pencucian uang baru ada kalau sebelumnya ada tindak pidana asal (predicate crime), namun menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, dengan diketahui atau patut diduga saja bahwa hasil tindak pidana diperoleh dari tindak pidana asal (predicate crime), sudah cukup untuk memenuhi rumusan tindak pidana pencucian uang.

TPPU (money laundering) merupakan independent crime, artinya kejahatan yang berdiri sendiri. TPPU memang merupakan kejahatan yang lahir dari kejahatan

4 Ferry Aries Suranta, 2010.

Peranan PPATK Dalam Mencegah Terjadinya Prakeik Money Laundering,

Gramata Publishing, Depok. hlm. 47-48.


(15)

8 asalnya, seperti korupsi, namun rezim anti pencucian uang (AML Regime) dihampir seluruh negara menempatkan TPPU sebagai suatu kejahatan yang tidak tergantung pada kejahatan asalnya dalam hal akan dilakukannya proses penyidikan TPPU. Tindak pidana yang berdiri sendiri ini tidak bersifat absolut artinya kemandiriannya dapat dilaksanakan pada proses awal penanganan perkara TPPU yang apabila sudah sampai pada pembuktian di sidang pengadilan maka seluruh unsur TPPU harus dibutikan. Salah satu unsur tersebut adalah “diketahui atau patut diduga bahwa Harta Kekayaan berasal dari hasil tindak pidana”, begitu unsur ini tidak terbukti atau tindak pidana asalnya tidak terbukti, tidaklah serta merta pembuktian TPPU tidak terbukti karena masih ada hal yang harus diperhatikan bahwa terdapat kewajiban terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya berasal dari kegiatan yang sah yaitu pembalikan beban pembuktian (reverse burden of proof). Apabila terdakwa tidak mampu membuktikan asal-usul harta kekayaannya, maka tetap saja unsur “diketahui atau patut diduga bahwa Harta Kekayaan berasal dari hasil tindak pidana” dinyatakan tetap terbukti meskipun tindak pidana asal (predicate crime) dari TPPU tidak terbukti. Dengan kata lain, tidak terbuktinya tindak pidana asal tidak akan menghalangi proses hukum atas TPPU.

Penegakan Hukum Korupsi sebagai predicate crime dalam Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia telah banyak dilakukan oleh penyidik KPK, Kejaksaan Agung RI, dan Mabes Polri, contoh beberapa kasus TPPU yang predicate crime nya berasal dari tindak pidana korupsi adalah mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M. Nazaruddin yang dijadikan tersangka pencucian


(16)

9 uang sebagai pengembangan penyidikan dari perkara korupsi dalam proyek wisma atlet senilai Rp 191 miliar, Wa Ode Nurhayati yang perkaranya berasal dari kasus korupsi Dana Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPID), Irjen Pol Djoko Susilo yang perkaranya berasal dari kasus korupsi pengadaan simulator SIM, Ahmad Fathanah dan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq yang perkaranya berasal dari kasus suap impor daging sapi semuanya juga dikenakan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sedangkan di daerah khususnya Provinsi Lampung, penanganan terhadap perkara tindak pidana korupsi belum pernah diterapkan tindak pidana pencucian uang. Sebagai contoh penanganan perkara korupsi yang cukup menarik perhatian di Provinsi Lampung adalah perkara korupsi dana APBD Kabupaten Lampung Tengah senilai Rp 28 Milyar yang dilakukan oleh Andy Achmad Sampurna Jaya dan perkara korupsi dana APBD Kabupaten Lampung Timur senilai Rp 119 milyar yang dilakukan oleh Satono, seharusnya dapat dikenakan tindak pidana pencucian uang, sehingga penegakan hukum perkara tindak pidana korupsi dan TPPU dalam penerapannya terdapat kecenderungan bagi penyidik lebih mengutamakan pembuktian adanya tindak pidana asal (korupsi) terlebih dahulu, dari pada mengusut TPPU tanpa adanya dugaan awal terjadinya perkara korupsi, bahkan penyidik cenderung hanya menerapkan tindak pidana korupsi tanpa mengusut atau juga menerapkan tindak pidana pencucian uang, yang seharusnya setiap ada tindak pidana asal ”predicate crime” selalu ada tindak pidana ikutan “underlying crime” yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang, karena hasil dari suatu tindak pidana korupsi selalu disimpan dan/atau dipergunakan menjadi seolah-olah sebagai harta yang sah.


(17)

10 Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, penulis mencoba menulis tesis yang berjudul : “Analisis Penegakan Hukum Korupsi Sebagai Predicate Crime Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Bagaimanakah penegakan hukum korupsi sebagai predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang?

2. Apakah kendala penegakan hukum korupsi sebagai predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang?

Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian yang berkenaan dengan Hukum Pidana terutama mengenai penegakan hukum korupsi sebagai predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang dan faktor-faktor yang menjadi kendala penegakan hukum korupsi sebagai predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang. Penelitian ini merupakan suatu kajian normatif empiris terhadap upaya penanggulangan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah

a. Untuk menganalisis penegakan hukum korupsi sebagai predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang.


(18)

11 b. Untuk menganalisis apakah yang menjadi kendala penegakan hukum

korupsi sebagai predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara Teoretis diharapkan dapat menjadi bahan pengembangan ilmu pengetahuan tentang penegakan hukum korupsi sebagai predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang.

b. Secara Praktis diharapkan karya tulis ini dapat bermanfaat bagi aparat penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum korupsi sebagai predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang.

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual

1. Kerangka Teoretis

Teori-teori yang digunakan dalam menjawab permasalahan sesuai dengan rumusan masalah di atas adalah sebagai berikut:

a. Teori Penegakan Hukum Pidana

G. Peter Hoefnagels6 mengemukakan bahwa politik criminal harus rasional, kalau tidak demikian tidak sesuai dengan definisinya sebagai a rational total of the responses to crime. (Criminal Policy is the rational organization of the social reaction to crime). Upaya penanggulangan kejahatan dapat ditunjuk dengan: 1) Penerapan hukum pidana (Criminal Law Application),

2) Pencegahan tanpa pidana (Prevention Without Punisment) dan

6 Barda Nawawi Arief. 2008. Masalah penegakan hukum dan kebijakan hukum pidana dalam


(19)

12 3) Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (Influencing views of society on crime and punishment/mass media).

Menurut Joseph Goldstein, upaya penegakan hukum pidana dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:7

1) Total Enforcement (penegakan hukum sepenuhnya)

Yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana substantive (substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan. Di samping itu mungkin terjadi hukum pidana substantive sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik aduan. Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut Area of no Enforcement (area di mana penegakan hukum pidana tidak dapat dilakukan sepenuhnya). Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi Erea of no Enforcement, muncul bentuk penegakan hukum pidana yang kedua, yakni Full Enforcement.

2) Full Enforcement (penegakan hukum secara penuh)

Penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal, akan tetapi oleh Goldstein harapan itu dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukan discretions. 3) Actual Enforcement

Merupakan area yang dapat ditegakkan oleh hukum pidana, melihat pada kenyataannya bahwa peristiwa tersebut melibatkan banyak orang dalam hal ini para pengusaha maupun masyarakat.

b. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Teori terakhir yang digunakan untuk menjawab permasalahan kedua yaitu teori faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum pidana.

7 Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Huklum Pidana. PT. Citra Aditya


(20)

13 Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah sebagai berikut:8

1) Faktor hukumnya sendiri yaitu undang-undang.

2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum .

3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum . 4) Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan.

5) Faktor kebudayaan yakni didasarkan sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

2. Konseptual

1. Penegakan hukum adalah sebagai suatu proses, pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilain pribadi.9

2. Korupsi adalah suatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: (1) perbuatan melawan hukum (PMH) / menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; (2) memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; (3) dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur melawan hukum terpenuhi apabila perbuatan pelaku bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan (onwetmatigedaad). Unsur melawan hukum tidak terpenuhi apabila 1. Negara tidak dirugikan; 2. Terdakwa tidak dapat untung; 3. Kepentingan umum dilayani.10

3. Predicate Crime adalah tindak pidana asal.

8 Soerjono Soekanto. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali, Jakarta, hlm 5. 9 Ibid, hlm. 4.


(21)

14 4. Tindak Pidana Pencucian Uang adalah setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang).


(22)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kasus korupsi di Indonesia semakin marak, ibarat “parasit” yang sudah beranak pinak disemua sistem birokrasi pemerintahan baik disistem legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tata kelola pemerintahan yang semakin memburuk dengan kata lain korupsi di Indonesia, telah mencapai stadium yang mengkhawatirkan karena di semua lembaga pemerintahan didera persoalan yang sama yaitu korupsi, padahal kita telah memiliki instrumen atau regulasi yang mengatur mengenai Tindak Pidana Korupsi dengan cukup baik.

Selama ini penanganan kasus korupsi dinilai terlalu lamban, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum mampu mengurangi korupsi di Indonesia atau menjerakan aparat penyelenggara negara untuk tidak korupsi, maka perlu dikembangkan atau ditemukan suatu cara baru untuk menangani kasus korupsi yang dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Dalam menangani kasus kejahatan korupsi diperlukan cara-cara yang sistematis, mengingat korupsi adalah suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Apabila kita menegakkan suatu kejahatan luar biasa menggunakan cara yang biasa-biasa saja, maka akan sulit merobohkan stigma yang terlanjur


(23)

2 terbentuk dikalangan masyarakat Internasional mengenai Indonesia sebagai bangsa yang korup. Pembangunan institusional pemberantasan korupsi melalui berbagai wadah baik komisi maupun tim kerja, menunjukkan perkembangan kebutuhan nasional dalam merespons kebutuhan nyata pembenahan kelembagaan yang diyakini memiliki kontribusi signifikan dalam upaya pemberantasan korupsi yang komprehensif, terencana dan terpadu.

Adanya undang-undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, dapat mengurangi atau setidaknya membuat para pelaku untuk berfikir dua kali dalam melakukan tindak pidana korupsi, karena hasil tindak pidana korupsi akan menjadi lebih sulit untuk disimpan atau dipergunakan. Aktivitas pencucian uang merupakan suatu perbuatan mengubah bentuk, mengalihkan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang dapat berupa korupsi, penyuapan, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup atau tindak pidana lainnya. Hasil kejahatan tersebut selanjutnya disembunyikan, disamarkan atau dikaburkan asal-usulnya, sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang dari hasil usaha yang sah tanpa terdeteksi bahwa sebenarnya harta kekayaan tersebut berasal dari kegiatan yang ilegal. Adapun yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang melakukan aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime, memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan dari aparat yang berwenang kepada pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk mengembangkan aksi kejahatan


(24)

3 selanjutnya atau mencampurnya ke dalam bisnis yang sah. Mengenai hubungan antara tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang dapat dilihat pada Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu korupsi merupakan predicate crime atau kejahatan asal dari tindak pidana pencucian uang. Penempatan korupsi sebagai predicate crime nomor satu (huruf a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 merupakan manifestasi dari pikiran penyusun undang-undang yang memandang bahwa korupsi merupakan persoalan bangsa yang paling mendesak mendapat prioritas penanganannya.

Para pelaku tindak pidana pencucian uang (TPPU) biasanya melakukan tiga tahapan kegiatan pokok yaitu placement, layering, integration,1 yang bertujuan untuk menciptakan disassociation (memutus atau menjauhkan) tiga elemen penting mata rantai kejahatan, yaitu uang atau hasil kejahatan, perbuatan pidana, dan pelakunya. Sebaliknya mekanisme anti pencucian uang dikembangkan untuk menciptakan “association” (mendekatkan atau mengaitkan) antara uang atau harta kekayaan dengan kejahatan yang menghasilkannya yang pada akhirnya akan mengarahkan dan menuntun aparat penegak hukum kepada pelaku pidana.

Placement merupakan fase menempatkan uang yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan misalnya dengan pemecahan sejumlah besar uang tunai menjadi jumlah kecil yang tidak mencolok untuk ditempatkan dalam sistem keuangan baik dengan menggunakan rekening simpanan bank atau dipergunakan untuk membeli sejumlah instrumen keuangan (cheques, money orders) yang akan

1 N.H.T. Siahaan, 2002, Pencucian Uang Dan Kejahatan Perbankan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,


(25)

4 ditagihkan dan selanjutnya didepositokan di rekening bank yang berada di lokasi lain. Placement dapat pula dilakukan dengan pergerakan fisik dari uang tunai, baik melalui penyelundupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, dan menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil bisnis yang sah. Proses placement ini merupakan titik paling lemah dari perbuatan pencucian uang.

Layering, diartikan sebagai memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan, dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/menyembunyikan sumber uang “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif (shell company) dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.

Integration, yaitu upaya yang dilakukan dengan cara menggunakan uang yang „dicuci‟ melalui placement maupun layering kemudian dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum. Proses integration ini terjadi apabila proses layering berhasil dengan baik.


(26)

5 Pencegahan dan pemberantasan TPPU tidak cukup kalau hanya mengandalkan aparat penegak hukum saja. Pelaku pencucian uang seringkali melakukan aksinya dengan cara-cara yang rumit, kompleks dan canggih dengan serangkaian transaksi yang dilakukan di industri keuangan atau lembaga-lembaga yang terkait dengan keuangan, bahkan melewati batas-batas negara secara mudah dan cepat, sehingga aparat penegak hukum mengalami kesulitan untuk mengungkap pelaku dan hasil-hasil kejahatannya. Untuk itu perlu adanya peran serta lembaga di luar penegak hukum termasuk lembaga privat (khususnya lembaga keuangan dan lembaga yang terkait dengan keuangan) dalam membantu penegakan hukum yang dilindungi oleh ketentuan perundang-undangan. Sebaliknya untuk bekerjanya sistem penegakan hukum anti pencucian uang secara efektif, menuntut adanya profesionalisme aparat penegak hukum dengan melengkapi dirinya dengan berbagai pengetahuan yang cukup khususnya tentang seluk-beluk operasi industri keuangan dengan mendasarkan pada laporan dan/atau informasi dari pihak pelapor, instansi, atau pihak terkait lainnya. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melakukan analisis atau pemeriksaan dan meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan dimaksud kepada penyidik, dalam hal ditemukan adanya indikasi TPPU (money laundering) atau tindak pidana lain. UU TPPU mengatur bahwa Laporan Hasil Pemeriksaan PPATK diserahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia yang tembusannya disampaikan kepada penyidik lain sesuai kewenangannya. Penyidikan TPPU dapat dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut UU TPPU. Adapun yang dimaksud dengan “penyidik


(27)

6 tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai - Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Jenis-jenis tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan yang disebut sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 itu, dikenal dengan sebutan: “tindak pidana asal” (predicate crime), dan pencucian uang adalah tindak pidana ikutan (underlying crime) dari tindak pidana asal (predicate crime). Tindak pidana asal akan menjadi dasar apakah suatu transaksi dapat dijerat dengan undang-undang anti pencucian uang.2 Menurut Barda Nawawi Arief, predicate crime atau predicate offence adalah delik-delik yang menghasilkan criminal proceeds atau hasil kejahatan yang kemudian dicuci.3

Menurut Giavanoli, pencucian uang diartikan suatu proses dengan mana aset-aset pelaku, terutama aset tunai yang diperoleh dari suatu tindak pidana, dimanipulasi sedemikian rupa sehingga aset-aset tersebut seolah-olah berasal dari sumber yang sah. Kemudian menurut Neil Jensen, pencucian uang diartikan sebagai proses perubahan keuntungan dari kegiatan-kegiatan yang melawan hukum menjadi aset keuangan, dan terlihat seolah-olah diperoleh dari sumber-sumber yang bersifat legal. Sedangkan menurut Pande Silalahi, pencucian uang adalah perbuatan

2

Ivan Yustiavandana – Arman Nevi – Adiwarman, 2010. Tindak Pidana pencucian Uang di Pasar Modal,

Ghalia Indonesia, Bogor. hlm. 54.

3 Ibid.


(28)

7 dengan sengaja melakukan penyetoran atau pemindahan kekayaan (uang) yang berasal dari kejahatan atau dari suatu tindak pidana dengan maksud menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul dari kekayaan tersebut.4

Pengertian pencucian uang atau tindak pidana pencucian uang sebagaimana dipaparkan di atas, termasuk pengertian menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, bahwa tindak pidana pencucian uang adalah tindak pidana yang keberadaannya baru terjadi setelah adanya tindak pidana yang mendahuluinya yang disebut tindak pidana asal itu. Dari tindak pidana asal (predicate crime) ini diperoleh harta kekayaan yang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, disebut sebagai “hasil tindak pidana” atau yang oleh Barda Nawawi Arief disebut sebagai hasil kejahatan (criminal proceeds).5 Hasil tindak pidana atau hasil kejahatan (criminal proceeds) inilah yang kemudian “dicuci” seolah-olah merupakan harta kekayaan yang diperoleh secara sah, sehingga terjadilah tindak pidana pencucian uang (money laundering). Sebagai tindak pidana ikutan (underlying crime), tindak pidana pencucian uang baru ada kalau sebelumnya ada tindak pidana asal (predicate crime), namun menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, dengan diketahui atau patut diduga saja bahwa hasil tindak pidana diperoleh dari tindak pidana asal (predicate crime), sudah cukup untuk memenuhi rumusan tindak pidana pencucian uang.

TPPU (money laundering) merupakan independent crime, artinya kejahatan yang berdiri sendiri. TPPU memang merupakan kejahatan yang lahir dari kejahatan

4 Ferry Aries Suranta, 2010.

Peranan PPATK Dalam Mencegah Terjadinya Prakeik Money Laundering,

Gramata Publishing, Depok. hlm. 47-48.


(29)

8 asalnya, seperti korupsi, namun rezim anti pencucian uang (AML Regime) dihampir seluruh negara menempatkan TPPU sebagai suatu kejahatan yang tidak tergantung pada kejahatan asalnya dalam hal akan dilakukannya proses penyidikan TPPU. Tindak pidana yang berdiri sendiri ini tidak bersifat absolut artinya kemandiriannya dapat dilaksanakan pada proses awal penanganan perkara TPPU yang apabila sudah sampai pada pembuktian di sidang pengadilan maka seluruh unsur TPPU harus dibutikan. Salah satu unsur tersebut adalah “diketahui atau patut diduga bahwa Harta Kekayaan berasal dari hasil tindak pidana”, begitu unsur ini tidak terbukti atau tindak pidana asalnya tidak terbukti, tidaklah serta merta pembuktian TPPU tidak terbukti karena masih ada hal yang harus diperhatikan bahwa terdapat kewajiban terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya berasal dari kegiatan yang sah yaitu pembalikan beban pembuktian (reverse burden of proof). Apabila terdakwa tidak mampu membuktikan asal-usul harta kekayaannya, maka tetap saja unsur “diketahui atau patut diduga bahwa Harta Kekayaan berasal dari hasil tindak pidana” dinyatakan tetap terbukti meskipun tindak pidana asal (predicate crime) dari TPPU tidak terbukti. Dengan kata lain, tidak terbuktinya tindak pidana asal tidak akan menghalangi proses hukum atas TPPU.

Penegakan Hukum Korupsi sebagai predicate crime dalam Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia telah banyak dilakukan oleh penyidik KPK, Kejaksaan Agung RI, dan Mabes Polri, contoh beberapa kasus TPPU yang predicate crime nya berasal dari tindak pidana korupsi adalah mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M. Nazaruddin yang dijadikan tersangka pencucian


(30)

9 uang sebagai pengembangan penyidikan dari perkara korupsi dalam proyek wisma atlet senilai Rp 191 miliar, Wa Ode Nurhayati yang perkaranya berasal dari kasus korupsi Dana Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPID), Irjen Pol Djoko Susilo yang perkaranya berasal dari kasus korupsi pengadaan simulator SIM, Ahmad Fathanah dan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq yang perkaranya berasal dari kasus suap impor daging sapi semuanya juga dikenakan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sedangkan di daerah khususnya Provinsi Lampung, penanganan terhadap perkara tindak pidana korupsi belum pernah diterapkan tindak pidana pencucian uang. Sebagai contoh penanganan perkara korupsi yang cukup menarik perhatian di Provinsi Lampung adalah perkara korupsi dana APBD Kabupaten Lampung Tengah senilai Rp 28 Milyar yang dilakukan oleh Andy Achmad Sampurna Jaya dan perkara korupsi dana APBD Kabupaten Lampung Timur senilai Rp 119 milyar yang dilakukan oleh Satono, seharusnya dapat dikenakan tindak pidana pencucian uang, sehingga penegakan hukum perkara tindak pidana korupsi dan TPPU dalam penerapannya terdapat kecenderungan bagi penyidik lebih mengutamakan pembuktian adanya tindak pidana asal (korupsi) terlebih dahulu, dari pada mengusut TPPU tanpa adanya dugaan awal terjadinya perkara korupsi, bahkan penyidik cenderung hanya menerapkan tindak pidana korupsi tanpa mengusut atau juga menerapkan tindak pidana pencucian uang, yang seharusnya setiap ada tindak pidana asal ”predicate crime” selalu ada tindak pidana ikutan “underlying crime” yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang, karena hasil dari suatu tindak pidana korupsi selalu disimpan dan/atau dipergunakan menjadi seolah-olah sebagai harta yang sah.


(31)

10 Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, penulis mencoba menulis tesis yang berjudul : “Analisis Penegakan Hukum Korupsi Sebagai Predicate Crime Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Bagaimanakah penegakan hukum korupsi sebagai predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang?

2. Apakah kendala penegakan hukum korupsi sebagai predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang?

Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian yang berkenaan dengan Hukum Pidana terutama mengenai penegakan hukum korupsi sebagai predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang dan faktor-faktor yang menjadi kendala penegakan hukum korupsi sebagai predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang. Penelitian ini merupakan suatu kajian normatif empiris terhadap upaya penanggulangan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah

a. Untuk menganalisis penegakan hukum korupsi sebagai predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang.


(32)

11 b. Untuk menganalisis apakah yang menjadi kendala penegakan hukum

korupsi sebagai predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara Teoretis diharapkan dapat menjadi bahan pengembangan ilmu pengetahuan tentang penegakan hukum korupsi sebagai predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang.

b. Secara Praktis diharapkan karya tulis ini dapat bermanfaat bagi aparat penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum korupsi sebagai predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang.

D. Kerangka Teoretis dan Konseptual

1. Kerangka Teoretis

Teori-teori yang digunakan dalam menjawab permasalahan sesuai dengan rumusan masalah di atas adalah sebagai berikut:

a. Teori Penegakan Hukum Pidana

G. Peter Hoefnagels6 mengemukakan bahwa politik criminal harus rasional, kalau tidak demikian tidak sesuai dengan definisinya sebagai a rational total of the responses to crime. (Criminal Policy is the rational organization of the social reaction to crime). Upaya penanggulangan kejahatan dapat ditunjuk dengan: 1) Penerapan hukum pidana (Criminal Law Application),

2) Pencegahan tanpa pidana (Prevention Without Punisment) dan

6 Barda Nawawi Arief. 2008. Masalah penegakan hukum dan kebijakan hukum pidana dalam


(33)

12 3) Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (Influencing views of society on crime and punishment/mass media).

Menurut Joseph Goldstein, upaya penegakan hukum pidana dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:7

1) Total Enforcement (penegakan hukum sepenuhnya)

Yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana substantive (substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan. Di samping itu mungkin terjadi hukum pidana substantive sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik aduan. Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut Area of no Enforcement (area di mana penegakan hukum pidana tidak dapat dilakukan sepenuhnya). Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi Erea of no Enforcement, muncul bentuk penegakan hukum pidana yang kedua, yakni Full Enforcement.

2) Full Enforcement (penegakan hukum secara penuh)

Penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal, akan tetapi oleh Goldstein harapan itu dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukan discretions. 3) Actual Enforcement

Merupakan area yang dapat ditegakkan oleh hukum pidana, melihat pada kenyataannya bahwa peristiwa tersebut melibatkan banyak orang dalam hal ini para pengusaha maupun masyarakat.

b. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Teori terakhir yang digunakan untuk menjawab permasalahan kedua yaitu teori faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum pidana.

7 Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Huklum Pidana. PT. Citra Aditya


(34)

13 Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah sebagai berikut:8

1) Faktor hukumnya sendiri yaitu undang-undang.

2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum .

3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum . 4) Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan.

5) Faktor kebudayaan yakni didasarkan sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

2. Konseptual

1. Penegakan hukum adalah sebagai suatu proses, pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilain pribadi.9

2. Korupsi adalah suatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: (1) perbuatan melawan hukum (PMH) / menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; (2) memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; (3) dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur melawan hukum terpenuhi apabila perbuatan pelaku bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan (onwetmatigedaad). Unsur melawan hukum tidak terpenuhi apabila 1. Negara tidak dirugikan; 2. Terdakwa tidak dapat untung; 3. Kepentingan umum dilayani.10

3. Predicate Crime adalah tindak pidana asal.

8 Soerjono Soekanto. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali, Jakarta, hlm 5. 9 Ibid, hlm. 4.


(35)

14 4. Tindak Pidana Pencucian Uang adalah setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang).


(36)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Korupsi dan Tindak Pidana Korupsi

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana dan sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang atau korupsi juga diartikan sebagai penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau uang perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.

Korupsi adalah suatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: (1) perbuatan melawan hukum (PMH) / menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; (2) memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; (3) dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur melawan hukum terpenuhi apabila perbuatan pelaku bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan (onwetmatigedaad). Unsur melawan hukum tidak terpenuhi apabila 1. Negara tidak dirugikan; 2. Terdakwa tidak mendapat untung; 3. Kepentingan umum terlayani.10

10


(37)

16 Menyinggung masalah korupsi berarti pula masalah pelanggaran dalam kejahatan jabatan, latar belakang, faktor-faktor penyebab, sampai pada penanggulangannya. Jika membicarakan korupsi maka yang pertama-tama adalah tindakan yang dilakukan oleh para pejabat atau orang yang memiliki kewenangan dan jabatan, dimana kewenangan atau jabatannya tersebut disalah gunakan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain maupun korporasi. Salah satu penyebab atau faktor sampai terjadinya korupsi karena rumitnya suatu birokrasi, sehingga menumbuh suburkan korupsi, dan pada akhirnya yang dapat dilakukan untuk menanggulanginya adalah dengan mengajukan orang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi tersebut ke pengadilan, dan diharapkan hakim dapat menjatuhkan tindak pidana korupsi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.

Korupsi erat kaitannya dengan perbuatan yang ingin memperkaya diri sendiri, yang dimaksud dengan perbuatan memperkaya diri sendiri adalah perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya dan sudah tentu perbuatan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya: menjual, membeli, menandatangani kontrak, dan memindahkan rekening dalam bank. Korupsi merupakan benalu sosial yang merusak sendi-sendi struktur pemerintahan, dan menjadi hambatan paling utama bagi pembangunan, namun ada pula orang mengatakan korupsi merupakan “seni hidup”, dan menjadi salah satu aspek kebudayaan kita.

Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat, yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaan mutlak.


(38)

17 Sebagai akibatnya kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elite yang berkuasa dan sangat dihormati dan juga menduduki status sosial yang tinggi. Praktek korupsi sukar sekali bahkan hampir tidak mungkin di berantas, karena amat sulit memberikan pembuktian-pembuktiannya, lagi pula sulit mengejarnya dengan dasar-dasar hukum, namun akses perbuatan korupsi sangat merugikan negara dan bangsa. Hingga saat ini korupsi merupakan bahaya laten, baik oleh pemerintah sendiri maupun oleh bagian-bagian masyarakat.

Praktek-praktek yang dapat dimasukan dalam perbuatan korupsi antara lain penggelapan, penyogokan, penyuapan, kecerobohan administrasi dengan intense mencuri kekayaan negara, pemerasan, penggunaan kekuatan hukum dan/atau kekuatan bersenjata untuk imbalan dan upah materiil, barter kekuasaan politik dengan sejumlah uang, penekanan kontrak-kontrak oleh kawan “sepermainan” untuk mendapatkan komisi besar bagi diri sendiri dan kelompok dalam penjualan “pengampunan pada oknum-oknum yang melakukan tindak pidana agar tidak dituntut oleh yang berwajib dengan imbalan suap, eksploitasi dan pemerasan formal oleh pegawai dan pejabat resmi dan lain-lain.

Sejak zaman Mesir kuno, Babilonia, Roma sampai abad pertengahan, korupsi sudah berlangsung hingga sekarang. Para pendeta di zaman Mesir memeras rakyatnya dengan alasan keharusan menyajikan kurban kepada para dewa, Jenderal-jenderal pada zaman kerajaan Romawi memeras daerah jajahannya untuk memperkaya diri. Pada abad pertengahan banyak bangsawan korup di istana-istana para raja di Eropa, bahkan sekarang pun di Amerika Serikat yang begitu


(39)

18 makmur dan modern masih banyak berjangkit praktek-praktek korupsi. Perkembangan demokrasi dan semakin majunya usaha-usaha pembangunan dengan pembukaan sumber-sumber alam baru, semakin berkembang ikut berkembang pula praktek-praktek korupsi dan manipulasi. Dengan bertambahnya kekayaan dan keuangan negara, semakin kuat pula dorongan individu terutama dikalangan pegawai negeri untuk melakukan korupsi dan usaha-usaha penggelapan.

Pemberian hak-hak monopoli dan macam-macam privilege oleh para pengusaha baik yang ada di pusat maupun di daerah-daerah, biasanya diperlicin dengan jalan penyuapan atau sogokan, bertambahnya proyek-proyek pembangunan negara yang meliputi milyaran rupiah, menimbulkan relasi-relasi yang akrab antara pemerintah dan kaum business melalui kontrak-kontrak yang berakseskan tindak pidana korupsi. Kontrak-kontrak ini hampir selalu diberikan kepada mereka yang sanggup memberikan komisi yang lebih tinggi, atau diberikan kepada kalangan sendiri sehingga hal ini menyuburkan sistem sogok dan penyuapan.

Korupsi memang berlangsung pada semua lapisan masyarakat, namun pada masyarakat yang tengah melaksanakan modernisasi, korupsi ini paling banyak terjadi. Biasanya korupsi berbareng dengan pembangunan industri, perkembangan sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru dan bersamaan pula dengan tampilnya kelas-kelas baru yang banyak mengajukan tuntutan-tuntutan baru kepada pihak pemerintah. Korupsi merupakan salah satu kriterium dari tidak adanya institusional politik yang efektif, dan dari kurang berfungsinya sistem kontrol dan yudikatif. Banyak pegawai negeri dan pejabat negara korupsi yang


(40)

19 mengakibatkan tidak mempunyai pertalian lagi dengan rakyat yang harus diberi pelayanan sosial, sebab mereka justru mengaitkan peranan kelembagaan dengan tuntutan-tuntutan eksternal yaitu pihak-pihak yang bersedia menyuap dan memberikan hadiah-hadiah.

Korupsi juga banyak berlangsung di dalam masyarakat yang mengutamakan egoisme atau pementingan diri sendiri yaitu kepentingan diri sendiri yaitu kepentingan individual, keluarga, kelompok dan suku sendiri. Pada umumnya peristiwa yang demikian disebabkan oleh tidak adanya partai-partai politik yang efektif. Jika kaum intelek dilarang untuk berpartisipasi dalam sistem politik, maka pengurangan jumlah korupsi dalam situasi demikian ini hanya bisa berlangsung dengan jalan reorganisasi dan restrukturisasi kekuatan-kekuatan sosial yang baru muncul dalam sistem politik.

Sejalan dengan KUHP maka subjek hukum pidana adalah orang atau person, namun dalam perkembangan kebutuhan hukum masyarakat yang sedang membangun, subjek hukum ini diperluas juga badan hukumnya terutama dalam keadaan membangun. Pelaku delik lebih banyak terdiri dari badan hukum dalam arti “naturlijk person”, namun diberi status dan berfungsi sebagai orang dan oleh karena itu, ia dapat juga bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan olehnya. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diatur bahwa:

1. Koorporasi adalah sekumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.


(41)

20 2. Pegawai negeri adalah meliputi :

a. Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksudkan dalam undang-undang tentang kepegawaian.

b. Pegawai negeri sebagaimana yang dimaksudkan dalam Kitab Undang-undang hukum pidana.

c. Orang-orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah, atau

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah.

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang lain yang mempergunakan modal dan fasilitas dari Negara atau masyarakat. 3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi .

Dampak merugikan akibat dari korupsi dapat dilihat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikemukakan bahwa ditengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perubahan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Berdasarkan penjelasan yang ada pada undang-undang tindak pidana korupsi dan dikaitkan banyaknya perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan


(42)

21 merugikan keuangan perekonomian negara serta pelaksanaan pembangunan nasional yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Namun dalam kenyataannya banyak perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara, seperti adanya sistem kepegawaian yang tidak sehat menyangkut fungsi pegawai yang kurang wajar. Akibat pola nepotisme menyebabkan terjadi banyak kepincangan dan peristiwa “over blast” yaitu kebanyakan jumlah pegawai. Administarsi Negara yang tidak efisien, dan budget gaji pegawai tidak memadai, sehingga administrasi menjadi semerawut dan menjadi sumber konspirasi, dan banyak terjadi penggelapan yang merupakan tindak pidana korupsi.

Departemen-departemen berjumlah cukup besar dengan bermacam-macam jawatan, lembaga-lembaga, komisi-komisi, dan dinas-dinas dibawahnya oleh karena tidak ada koordinasi. Sebagai suatu kejahatan, korupsi mesti diganjal dengan hukuman pidana berupa penjara, kurungan, denda, hukuman administrasi dan hukuman tambahan lainnya. Dari segi ini, hukuman kepada pelaku kejahatan tindak pidana korupsi tidak berbeda dengan hukuman bagi pelaku kejahatan biasa/konvensional. Akan tetapi, khusus untuk kejahatan bagi para pelaku tindak pidana korupsi diperlukan keberanian dalam pengungkapan kasusnya artinya, faktor penggerak terjadinya korupsi tersebut mesti dimusnahkan terlebih dahulu untuk mencegah terulangnya kejahatan yang sama, baik oleh pelaku yang sama atau pun pelaku yang lain lagi. Ada beberapa pendapat yuridis agar suatu sanksi terhadap pelaku kejahatan dapat berjalan dengan efektif dan mempunyai efek mencegah terjadi lagi kejahatan. Misalnya pendapat sebagai berikut:

1. Pelaku kejahatan dihukum di permukaan atau di depan umum. Hukuman ini sangat efektif, karena bagaimanapun, seorang koruptur tidak mau


(43)

22 dipermalukan di depan umum, karena itu pihak eksekutif tersebut harus diusahakan untuk dibawa kedepan pengadilan, dimana sidang-sidang akan terbuka untuk umum dan disorot oleh pers.

2. Eksekutifnya dikucilkan, pejabat yang dinyatakan bersalah sebaiknya dikucilkan dari bisnis yang bersangkutan. Jika dia merupakan eksekutif dari suatu lembaga negara ataupun perbankan, dia mesti dilarang jadi eksekutif dari lembaga negara atau perbankan11.

B. Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi

Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Kebijakan” dari akar kata “bijak” sebagai “rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tata pemerintahan, organisasi dan sebagainya)”. Kebijakan juga berarti: “pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran”.12

Rangkaian suatu konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan tindakan maka kebijakan merupakan suatu sistem. Sebagai sistem, kebijakan penanggulangan tindak pidana merupakan sub sistem dari sistem kebijakan sosial (social policy). Kebijakan sosial dengan demikian dapat diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas dalam pelaksanaan suatu rencana bertindak pemerintah untuk mencapai suatu tujuan. Kebijakan sosial dalam berfungsinya mempunyai tujuan besar yakni “kesejahteraan masyarakat” (social welfare) dan “perlindungan masyarakat” (social defence). Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat diberi arti lain dengan “Kebijakan

11 Munir Fuady, 2004. Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih, PT. Citra Aditya Bakti, bandung,

hlm.185.


(44)

23 penanggulangan kejahatan (criminal policy). Dalam kerangka sistem policy, sub sistem criminal policy secara operasional berupaya mewujudkan tujuan utama; social welfare dan social defence. Sebagai sarana penanggulangan kejahatan, criminal policy dapat ditempuh melalui sarana penal (penal policy) dan sarana non penal (non penal policy). Barda Nawawi Arief dalam kajian social policy dan criminal policy ini memberikan bagan sistematis mengenai kebijakan tersebut.13

Tujuan social werfare (SW) dan social defence (SD) oleh Barda Nawawi Arief merupakan aspek immateriil terutama nilai kepercayaan, kebenaran atau kejujuran atau keadilan. Dalam pelaksanaan tugas penegak hukum dalam masyarakat yang berupaya menanggulangi tindak pidana, maka skema yang dikemukakan Barda Nawawi Arief di atas dapat dipakai sebagai acuan tugas, bahwa upaya penanggulangan tindak pidana dalam pelaksanaannya perlu ditempuh melalui kebijakan integral (integrated appoarch) dengan memadukan antara social policy dengan criminal policy dan memadukan antara penal policy dan non penal policy. Dalam menguraikan berbagai segi negatif dari perkembangan masyarakat, Sudarto menegaskan bahwa upaya “minta bantuan” kepada hukum pidana sebagai sarana penanggulangan tindak pidana hendaknya atau harus dipertimbangkan paling akhir. Hukum pidana mempunyai fungsi subsidier artinya baru digunakan apabila upaya-upaya lain diperkirakan kurang memberi hasil yang memuaskan atau kurang sesuai. Akan tetapi apabila hukum pidana akan dilibatkan, maka hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal terutama pada tujuan “perlindungan masyarakat” (sebagai planning for social defence).

13 Barda Nawawi Arief. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam


(45)

24 Rencana perlindungan masyarakat ini harus merupakan bagian integral dari planning for national development (rencana pembangunan basional).14 Sehubungan dengan integrasi antara rencana perlindungan masyarakat dengan rencana pembangunan nasional, berikut ini disampaikan berbagai ketetapan internasional yang menunjang integrasi tersebut; Kongres PBB ke-4 tentang “Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” tahun 1970 membicarakan masalah pokok “Crime and Development” juga pernah menegaskan : “any dictionary between a country’s policies for social defence and its planning for national development was unreal by definitions”.15

Penegasan Kongres di atas memberikan makna pentingnya integrasi antara kebijakan perlindungan masyarakat dengan rencana pembangunan nasional, bahkan Kongres menegaskan hal tersebut jangan didekotomikan. Kongres PBB ke-5 tahun 1975 juga menegaskan: “The many aspects of criminal policy should be coordinated and the whole should be integrated into the general social policy of each country”.

Makna yang dapat diambil dari penegasan Kongres di atas adalah banyak aspek dari kebijakan kriminal yang harus dikoordinasikan dan diintegrasikan ke dalam kebijakan sosial setiap negara. Penegasan Kongres di atas membuktikan perlunya integrasi antara kebijakan sosial (social policy) dengan kebijakan kriminal (criminal policy). Barda Nawawi Arief mengatakan, bahwa bertolak dari konsepsi kebijakan, integral sebagaimana penegasan Kongres PBB di atas, maka kebijakan

14 Sudarto. 1983. Hukum Pidana dan perkembangan masyarakat. Sinar Baru, Bandung, hlm. 34

15 Barda Nawawi Arief. 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti, Bandung,


(46)

25 penanggulangan kejahatan tidak banyak artinya apabila kebijakan sosial kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan faktor-faktor kriminogen dan victimogen.16

Akhirnya Sudarto menegaskan bahwa dilibatkan hanya hukum pidana dalam social defence planning, harus diingat atau harus diakui bahwa penggunaan hukum pidana ini merupakan penanggulangan sesuatu gejala (“Kurieren Am Symptom”) dan bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebab -sebabnya.17. Dilibatkannya hukum pidana sebagai sarana penanggulangan tindak pidana sebagaimana diuraikan di atas, terutama masalah kemampuan hukum pidana sendiri, bahwa dia menduduki posisi subsidier, kemampuannya hanya pada penanggulangan atas gejala, bukan menanggulangi penyebab, membuktikan sifat terbatasnya kemampuan hukum pidana tersebut terlebih lagi jika dihubungkan dengan masalah biaya yang harus dikeluarkan negara jika hukum pidana dilibatkan tentu teramat besar. Sudarto mengingatkan, bahwa upaya melakukan kriminalisasi mencakup syarat; tujuan hukum pidana, penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki, perbandingan antara sarana dan hasil dan kemampuan aparat penegak hukum.18

Kaitan dengan kinerja Kejaksaan sebagai salah satu lembaga yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, maka syarat “kemampuan aparat penegak hukum” layak menjadi perhatian dalam pelaksanaan tugasnya. Makna kemampuan tidak sekedar diberi makna kuantitas

16 Barda Nawawi Arif. Ibid. 2005, hlm 7 17 Sudarto. Op cit. 1983, hlm 35 18 Sudarto.Ibid. 1990, hlm 37


(47)

26 atau jumlah personil Kejaksaan, yang lebih utama justru pada kualitas personil Kejaksaan tersebut. Kualitas personil Kejaksaan mencakup tingkat intektualitasnya, moralnya, kinerjanya, kedisiplinannya, ketegasannya, keteladanannya dan ketaqwaannya. Semua persyaratan itu amat berpengaruh pada citra Kejaksaan.

Upaya kebijakan, penanggulangan tindak pidana (criminal policy), G. Peter Hoefnagels menggambarkan ruang lingkupnya, bahwa kebijakan kriminal (criminal policy) mencakup: pertama, mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pidana lewat media massa; kedua, penerapan hukum pidana (kriminologi praktis) dan ketiga, pencegahan tanpa pidana yang meliputi: politik sosial, rencana kesehatan mental masyarakat, dan lainnya.

Gambaran Hoefnagels mengenai “pencegahan tanpa pidana, menunjukkan sifat non penalnya dari fungsionalisasi criminal policy yang berarti lebih menitik beratkan pada sifat preventif, sementara penggunaan sarana penal lebih bersifat represif”. Sudarto memberikan pemahaman, bahwa tindakan represif, pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu masalah besar yang selalu menjadi keprihatinan masyarakat, dan menjadi keprihatinan dunia internasional. Dalam Resolusi tentang “Corruption in government” yang diterima kongres PBB ke-8 mengenai “The Prevention of Crime Treatment of Offenders” di Havana (Cuba Tahun1990, antara lain dinyatakan, bahwa:19

19

Barda Nawawi Arief, 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 69.


(48)

27 1. Korupsi dikalangan pejabat publik “corrupt activities of public official” :

a. Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah “can destroy the potential effectiveness of all types of governmental programmes”.

b. Dapat menganggu/menghambat pembangunan “hinder development” dan

c. Menimbulkan korban individual maupun kelompok masyarakat “victimize individual and groups”.

2. Ada keterkaitan erat antar korupsi dengan berbagi bentuk kejahatan ekonomi, kejahatan terorganisasi, dan penyucian uang haram “money laundering”.

Mengingat berbagai pertimbangan lainnya, resolusi tersebut menghimbau kepada negara-negara anggota PBB untuk menetapkan strategi anti korupsi sebagai prioritas utama di dalam perencanaan pembangunan sosial ekonomi, dalam pertimbangan resolusi itu antara lain ditegaskan, bahwa korupsi merupakan masalah serius karena.20

1. Dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat; 2. Merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas;

3. Membahayakan pembangunan sosial, ekonomi, dan politik.

Memperhatikan pernyataan kongres PBB di atas, maka upaya atau kebijakan penanggulangan korupsi seyogyanya merupakan bagian dari startegi kebijakan pembangunan sosial ekonomi dan kebijakan pembangunan nasional.21 Bertolak dari pendekatan integral yang demikian, maka masalah korupsi bukan semata-mata masalah hukum dan kebijakan penegakan hukum. Upaya penanggulangan korupsi lewat kebijakan perundang-undangan dan penegakan hukum pidana telah cukup lama dilakukan, namun tetap saja korupsi itu ada dan sulit diberantas.

20

Ibid. Hlm.70 21


(49)

28 Hal ini disebabkan, masalah korupsi ini berkaitan erat dengan berbagai kompleksitas masalah lainnya, antara lain masalah mental/moral, masalah kebutuhan ekonomi dan struktur sistem budaya politik, masalah peluang yang ada di dalam mekanisme pembangunan atau kelemahan birokrasi prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan umum.

Memberantas korupsi yang sudah berurat berakar dalam sendi-sendi masyarakat kita, diperlukan adanya partisipasi segenap lapisan masyarakat. Tanpa partisipasi dari rakyat dan dukungan mereka, segala usaha, undang-undang dan komisi-komisi akan terbentur pada kegagalan. Beberapa saran dikemukakan antara lain adalah :

1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tangung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dan tidak bersikap apatis acuh tak acuh. Kontrol sosial baru bisa efektif, apabila bisa dilaksanakan oleh dewan-dewan perwakilan yang benar-benar representif dan otonomi, pada taraf desa sampai pada taraf pusat/nasional.

2. Menanamkan aspirasi nasional positif. Yaitu mengutamakan kepentingan nasional, kejujuran serta pengabdian pada bangsa dan Negara, melalui sistem pendidikan formal, dan non formal dan pendidikan agama.

3. Para pemimpin dan pejabat memberikan tauladan baik, dengan mematuhi pola hidup sederhana, dan memiliki rasa tanggung jawab susila.

4. Adanya sanksi dan kekuatan menindak, memberantas dan menghukum tindak pidana korupsi. Tanpa kekauatan riil dan berani bertindak tegas


(50)

29 semua undang-undang, team, komisi dan operasi menjadi mubazir, menjadi alat “penakut burung” belaka.

C. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia

1. Pengertian Tindak PIdana Pencucian Uang

Pencucian uang atau yang dalam istilah bahasa Inggrisnya disebut money laundering, sudah merupakan fenomena dunia dan merupakan tantangan bagi dunia internasional. Walaupun begitu, tetap tidak ada definisi yang berlaku universal dan komprehensif mengenai apa yang disebut dengan pencucian uang atau money laundering. Pihak penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha dan perusahaan, institusi-institusi, organisasi-organisasi, negara-negara yang sudah maju, dan negara-negara dari dunia ketiga, maupun para ahli masing-masing mempunyai definisi sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda-beda. Money laundering adalah tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menyamarkan uang hasil tindak pidana sehingga seolah-olah dihasilkan secara halal. Atau untuk pengertian lebih jelasnya, money laundering adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang dihasilkan dari kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pihak berwenang dengan cara memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga kemudian uang tersebut dapat dikeluarkan dari sistem keuangan tersebut sebagai uang halal.22


(51)

30 a. Sejarah Pencucian Uang

Sejak tahun 1980-an praktik pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan telah menjadi pusat perhatian negara-negara maju, seperti negara-negara yang tergabung dalam G-8, terutama dalam konteks kejahatan peredaran obat-obat terlarang (psikotropika dan narkotika). Hal ini karena besarnya hasil atau keuntungan yang dapat diperoleh dari penjualan obat-obat terlarang tersebut. Selain itu juga karena adanya kekhawatiran akan dampak negatif dari penyalahgunaan obat-obat terlarang di masyarakat serta dampak lain yang mungkin ditimbulkannya. Keadaan ini kemudian menjadi perhatian serius banyak negara untuk melawan para pengedar obat-obat terlarang melalui hukum dan peraturan perundang-undangan agar mereka tidak dapat menikmati uang „haram‟ hasil penjualan obat-obat terlarang tersebut. Sementara itu, pemerintah negara-negara maju tersebut juga menyadari bahwa organisasi kejahatan melalui uang haram yang dihasilkannya dari penjualan obat terlarang bisa memberi kontaminasi dan menimbulkan distorsi di segala aspek pemerintahan, baik ekonomi, politik dan sosial. Sekitar tahun 1920-an ketika para mafia di Amerika Serikat melakukan akusisi atau membeli usaha Laundromats (mesin pencuci otomatis). Ketika itu anggota mafia mendapatkan uang dalam jumlah besar dari kegiatan pemerasan, prostitusi, perjudian dan penjualan minuman beralkohol illegal serta perdagangan narkotika. Oleh karena anggota mafia diminta menunjukkan sumber dananya agar seolah-olah dana tersebut sah atas perolehan uang tersebut maka mereka melakukan praktik pencucian uang. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan melakukan pembelian sejumlah perusahaan-perusahaan yang sah


(52)

31 dan menggabungkan uang haram dengan uang yang diperoleh secara sah dari kegiatan usaha (Laundromats) tersebut. Alasan pemanfaatan usaha Laundromats tersebut karena kegiatan tersebut dianggap sejalan dengan hasil kegiatan usaha laundromats yaitu dengan menggunakan uang tunai (cash). Cara seperti ini ternyata dapat memberikan keuntungan yang menjanjikan bagi pelaku kejahatan seperti Alphonse Capone, di Amerika Serikat23. Dalam kasus Al Capone tersebut seolah-olah menggambarkan bahwa istilah pencucian uang muncul sejak kasus tersebut ada, padahal itu hanya sebagai mitos belaka. Pencucian uang dikenal karena dengan jelas melibatkan tindakan penempatan uang haram secara tidak sah melalui suatu rangkaian transaksi, atau „dicuci‟, sehingga uang tersebut keluar menjadi seolah-olah seperti uang sah atau bersih. Artinya, sumber dana yang diperoleh secara tidak sah disamarkan atau disembunyikan melalui serangkaian kegiatan transfer agar uang tersebut pada akhirnya terlihat menjadi pendapatan yang sah.

Pendapat lain mengatakan bahwa istilah money laundering sebagai sebutan sebenarnya belum lama dipakai. Penggunaan istilah “money laundering” pertama kali dipergunakan di surat kabar dikaitkan dengan pemberitaan skandal Watergate di Amerika Serikat pada tahun 1973. Sedangkan penggunaan istilah tersebut dalam konteks pengadilan atau hukum muncul untuk pertama kalinya pada tahun 1982 dalam perkara US vs $4,255,625.39(82) 551 F Supp.314. Sejak saat itu, istilah tersebut telah diterima dan dipergunakan secara luas di seluruh dunia.24

23 http://www.fbi.gov/about-us/history/famous-cases/al-capone. diakses pada tanggal 24 September 2013 24 Sutan Remy Sjahdeini, ”Pencucian Uang: Pengertian, Sejarah, Faktor-faktor Penyebab dan Dampaknya


(53)

32 b. Faktor-Faktor Pendorong Maraknya Pencucian Uang

Kemajuan dan perkembangan teknologi yang telah tercapai memang telah mempermudah kehidupan manusia. Kemajuan teknologi di satu pihak telah membawa banyak dampak positif bagi pembangunan, namun di lain pihak kemajuan yang telah tercapai juga mengakibatkan munculnya berbagai masalah dan akibat negatif yang merugikan. Kemajuan justru seringkali menjadi lahan yang “subur” bagi berkembangnya kejahatan, khususnya kejahatan kerah putih atau white collar crime.

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang komunikasi, permesinan, dan transportasi mempunyai dampak pada modus operandi suatu kejahatan. Pada saat ini, banyak tindak pidana dan kejahatan yang sudah dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, sehingga semakin sukar pengungkapannya. Perkembangan teknologi yang semakin canggih dan harganya yang terjangkau seringkali dipergunakan sebagai alat bantu melakukan kejahatan. Modus operandi kejahatan seperti ini, hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai status sosial menengah ke atas dalam masyarakat, bersikap tenang, simpatik serta terpelajar. Dengan mempergunakan kemampuan, kecerdasan, kedudukan serta kekuasaannya, seorang pelaku tindak pidana dapat meraup dana yang sangat besar untuk keperluan pribadi atau kelompoknya saja.

Modus kejahatan inilah yang dikenal dengan kejahatan kerah putih atau white collar crime. Dewasa ini, kejahatan kerah putih sudah mencapai taraf yang sangat membahayakan. Kejahatan yang dilakukan sudah tidak lagi mengenal batas-batas


(1)

V. PENUTUP

A. Simpulan

1. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crime), pencegahan dan pemberantasannya harus juga menggunakan tindakan-tindakan yang luar biasa, salah satunya dengan menerapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam perkara korupsi. Undang-undang ini tidak hanya mencegah dan memberantas pelaku tindak pidana korupsi secara konvensional, yakni menangkap koruptor dan memeriksanya melalui penyidikan dan seterusnya, namun undang-undang ini juga dapat menghambat koruptor dalam menikmati harta hasil tindak pidana korupsinya, melalui follow the money mengikuti pergerakan harta hasil tindak pidana korupsi tersebut, sehingga tindak pidana korupsi sangat erat hubungannya dengan tindak pidana pencucian uang. Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana bawaan (derifative crime) yang selalu didahului oleh tindak pidana asal (predicate crime). Artinya proses tindak pidan pencucian uang tidak akan pernah terlaksana tanpa adanya objek tindak pidana pencucian uang, yaitu harta hasil tindak pidana asal, dalam hal ini adalah tindak pidana korupsi. Mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang sama halnya dengan mencegah dan memberantas tindak


(2)

129 pidana korupsi sebagai tindak pidana asal, maupun sebaliknya. Namun penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan menggunakan undang-undang pencucian uang belum optimal dilaksanakan, walaupun salah satu pintu masuk untuk melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang adalah dari perkara korupsi yang kuantitas dan kualitas perkaranya sangat besar, namun belum ada perkara pencucian uang di wilayah Propinsi Lampung baik yang dapat disidik oleh kejaksaan maupun instansi penyidik tindak pidana asal lainnya. Hal tersebut terjadi dikarenakan masih banyaknya hambatan yang dirasakan oleh penyidik tindak pidana asal di daerah khususnya di wilayah Kejaksaan Tinggi Lampung.

2. Hambatan yang dirasakan penyidik di Kejaksaan Tinggi Lampung dalam melakukan penegakan hukum perkara korupsi sebagai tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang, bisa dari faktor internal maupun faktor eksternal, terutama dari adanya skala prioritas penanganan perkara tindak pidana korupsi yang lebih diutamakan dari tindak pidana pencucian uang, adanya birokrasi yang harus dilalui oleh penyidik terkait dengan pemeriksaan transaksi keuangan tersangka sementara penanganan perkara korupsi harus segera diselesaikan, serta perlunya penguatan lembaga PPATK dalam menghasilkan produk laporan hasil analisis yang tidak hanya terbatas pada hasil analisis keuangan saja.


(3)

130 B. Saran

1. Hendaknya memutus serta merampingkan (streamlining) jaringan proses birokrasi yang bernuansa primordial di kalangan penentu kebijakan, baik itu yang berada di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, sehingga tata kerja dan penempatan pejabat pada jabatan atau posisi-posisi tertentu benar-benar dapat dilaksanakan secara akuntabel dan profesional serta dilaksanakan dengan pertimbangan profesionalisme dan integritas moral yang tinggi.

2. Perlu adanya pelatihan atau pendidikan tentang pencucian uang bagi para jaksa penyidik tindak pidana korupsi untuk meningkatkan pemahaman tentang tindak pidana pencucian uang.

3. Perlu adanya penghargaan “reward” terhadap penyidik yang berhasil melakukan penyelamatan keuangan negara dengan mengungkap tindak pidana pencucian uang.

4. Para penegak hukum, khususnya penyidik tindak pidana asal perkara tindak pidana pencucian uang harus memiliki kesamaan visi, profesionalisme, komitmen, tanggungjawab dan integritas yang tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi dengan mengupayakanpenyelamatan kerugian negara (Asset Recovery) melalui penelusuran hasil kejahatan untuk mengungkap TIndak Pidana Pencucian Uang.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Leteratur

Fuady, Munir, 2004. Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Garnasih, Yanti, 2003. Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering). Universitas Indonesia, Jakarta.

Harmadi, 2011. Kejahatan Pencucian Uang. Setara Press, Malang.

Iman, Sjahputra. 2006. Money Laundering Suatu Pengantar. Harvarindo, Jakarta, Manthovani, Reda dan R. Narendra Jatna, 2011. Rezim Anti Pencucian Uang dan

Perolehan Hasil Kejahatan di Indonesia, CV. Malibu. Jakarta.

Nawawi Arief, Barda 1994, Kebiiakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Undip, Semarang.

---, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Huklum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

---, 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

---, 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

---, 2008. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Kencana, Jakarta.

Poerwadarminta, WJS, 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.

Seno Adji, Indriyanto, 2009. Korupsi Dan Penegakan Hukum. Diadit Media, Jakarta.

Siahaan, N.H.T, 2002, Pencucian Uang Dan Kejahatan Perbankan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

Soekanto, Soerjono, 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali, Jakarta.


(5)

Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Sinar Baru, Bandung.

Suranta, Ferry Aries, 2010. Peranan PPATK Dalam Mencegah Terjadinya Praktik Money Laundering. Gramata Publishing, Depok.

Yustiavandana, Ivan, Arman Nevi, Adiwarman. 2010. Tindak Pidana pencucian Uang di Pasar Modal. Ghalia Indonesia, Bogor.

2. Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang

3. Makalah, Website

http://www.scribd.com/doc/21741046/Identifikasi-Hukum-Progresif-Di-Indonesia http://staff.unila.ac.id/eddyrifai/2011/11/12

http://www.fbi.gov/about-us/history/famous-cases/al-capone.

http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/MoneyLaundring.pdf, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)

http://www.laundryman.unet.com. Billy Steel, Money Laundering-What is Money Laundering.

Husein, Yunus. Pemberantasn Tindak Pidana Korupsi Melalui Pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, makalah disampaikan dalam Pelatihan Penanganan Korupsi Untuk Aparat Penegak Hukum dan Auditor,Universitas Andalas 22 September 2005.

id.wikipedia.org/wiki, Pencucian Uang

Money Laundering, http://koleksiartikelmakalah.blogspot.com/2009/12/money-laundering. html


(6)

Sahetapy, J.E. Bisnis. Uang Haram, KHN (Komisi Hukum Nasional), Jakarta. Sutan Remy Sjahdeini, 2003. Pencucian Uang: Pengertian, Sejarah,

Faktor-faktor Penyebab dan Dampaknya Bagi Masyarakat, Jurnal Hukum Bisnis. Yenti Ganarsih, 2006. Anti Pencucian Uang Sebagai Strategi Untuk Memberantas Kejahatan Keuangan (Profit Oriented Crimes). Jurnal Hukum Progresif, PDIH Undip, , Semarang.