Analisis Perilaku Konsumtif Pada FIlm Confessions of a Shopaholic

(1)

ABSTRACT

Analysis of Consumptive Behavior in Confessions Of A Shopaholic Movie By

Cahyatin Nisa

Confessions of a Shopaholic movie describes best the consumptive behavior of women, Rebecca Bloomwood. She is a journalist in a finance magazine that loves fashion and good at given finance tips journal, although she actually had being indebted and demanded by debt collector. The goal of this research is to find out and describe the consumptive behavior in Confession of a Shopaholic movie. This research used hermeneutic ring method, dissonance cognitive theory, social learning and imitating theory from Miller and Dolard, and also Bandura and Walters. The type of this research is descriptive qualitative.

The result of this research explained that advertisement and conformity is a first phase for someone to be consumptive. Advertisements have significant contribution to persuade someone for having consumptive behavior and suggest people to imitate others to create conformity. There are some behaviours which develop consumptive behavior such as going shopping without using shopping-list, low self-restrain of buying unimportant things, and unable making right decision of choosing things while shopping. Consumptive behavior occurred by the friction of the primary need to the prestige need. It comes from higher level of pride to support primary need, and then ascend to the next level of consumptive behavior.


(2)

ABSTRAK

Analisis Perilaku Konsumtif Pada Film Confessions Of A Shopaholic Oleh

Cahyatin Nisa

Film Confessions of a Shopaholic merupakan film yang menggambarkan perilaku konsumtif yang dilakukan oleh seorang perempuan bernama Rebecca Bloomwood. Rebecca Bloomwood adalah seorang jurnalis majalah keuangan yang menyukai fashion dan mampu memberikan tips keuangan pada masyarakat, meskipun sebenarnya ia terlilit hutang dan dikejar oleh penagih hutang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan tentang perilaku konsumtif yang terdapat pada film Confessions of a Shopaholic. Penelitian ini menggunakan metode lingkaran hermeneutika, teori disonansi kognitif, teori belajar sosial dan meniru dari Miller-Dollard dan Bandura-Walters. Tipe penelitian ini adalah kualitatif deskriptif.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa perilaku konsumtif yang ada pada film Confessions of a Shopaholic, di mulai dari iklan dan konformitas, kedua hal ini mampu mempengaruhi orang untuk konsumtif. Iklan dan konformitas menjadi tahap awal seseorang menjadi konsumtif, iklan mempunyai andil besar dalam mempengaruhi seseorang untuk berperilaku konsumtif karena kemampuannya mempersuasi, mensugesti orang dan keinginan dalam diri seseorang untuk sama dengan orang lain maka terciptalah konformitas. Perilaku konsumtif ini disebabkan oleh berbelanja tanpa direncanakan, memaksakan diri untuk berbelanja padahal hutang menumpuk dan banyak barang yang hanya dipakai sekali atau tidak pernah sama sekali. Hal ini mengakibatkan ketidakmampuan dalam mengambil keputusan yang tepat saat berbelanja. Perilaku konsumtif ini juga terjadi karena adanya pergeseran kebutuhan, umumnya kebutuhan itu dimulai dari kebutuhan dasar menuju kebutuhan tingkat atas tetapi yang malah terjadi kebutuhan itu memutar. Diawali kebutuhan harga diri yang berada tingkat atas yang bertujuan menunjang kebutuhan dasar lalu setelah itu naik kebutuhan selanjutnya.


(3)

Analisis Perilaku Konsumtif Pada Film Confessions Of A Shopaholic

Oleh Cahyatin Nisa

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ILMU KOMUNIKASI

Pada

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG


(4)

Analisis Perilaku Konsumtif Pada Film Confessions Of A Shopaholic

(skripsi)

Oleh Cahyatin Nisa

ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG


(5)

DAFTAR BAGAN

Bagan Halaman


(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Poster film Confessions of a Shopaholic ... 46

2. Logo Touchstone Picture ... 47

3. Latar toko amal berada pada Angel Street Thrift Shop dan Rehabalilitasi pecandu belanja terletak di St. Anthony Cruch, Manhattan ... 54

4. Latar kota Miami dengan tampilan pantai dan gedung pencakar langit ... 54

5. Adegan pertama faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif ... 56

6. Adegan kedua faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif ... 58

7. Adegan ketiga faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif ... 60

8. Adegan pertama bentuk perilaku konsumtif ... 61

9. Adegan kedua bentuk perilaku konsumtif ... 63

10. Adegan ketiga bentuk perilaku konsumtif ... 65

11. Adegan keempat bentuk perilaku konsumtif ... 67

12. Adegan kelima bentuk perilaku konsumtif ... 68

13. Adegan keenam bentuk perilaku konsumtif ... 69

14. Adegan pertama kebutuhan harga diri ... 71

15. Adegan kedua kebutuhan harga diri ... 72

16. Adegan ketiga kebutuhan harga diri ... 74


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN PERSETUJUAN ... v

HALAMAN PENGESAHAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

MOTTO ... viii

PERSEMBAHAN ... ix

SANWACANA ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR BAGAN ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 6

1.3Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Kegunaan Penelitian... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Penelitian Terdahulu ... 8

2.2 Tinjauan Tentang Perilaku Konsumtif ... 10

2.2.1 Pengertian Perilaku Konsumtif ... 10

2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumtif ... 11

2.2.3 Bentuk Perilaku Konsumtif ... 14

2.2.4 Hierarki Kebutuhan Maslow ... 18

2.3 Tinjauan Tentang Hermeneutika ... 21

2.4 Tinjauan Tentang Film ... 33


(8)

3.3Objek penelitian ... 41

3.4Fokus Penelitian ... 41

3.5 Definisi Konsep ... 41

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 42

3.7 Sumber Data ... 43

3.8 Teknik Analisis Data ... 43

BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1 Profil Film Confessions of a Shopaholic ... ...45

4.1.1 Data Produksi Film ... 46

4.1.2 Profil Rumah Produksi ... 47

4.1.3 Sinopsis Film Confessions of a Shopaholic ... 49

4.1.4 Identifikasi Karakter Penokohan Film Confessions of a Shopaholic ... 50

4.1.5 Identifikasi Latar Tempat dan waktu ... 53

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ... 56

5.1.1 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumtif ... 56

5.1.2 Bentuk Perilaku Konsumtif ... 61

5.1.3 Kebutuhan Harga Diri ... 71

5.2 Pembahasan ... 85

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 91

6.2 Saran ... 92 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Penelitian Terdahulu dan Manfaatnya bagi Penelitian ... 9 2. Identifikasi karakter penokohan ... 50 3. Gambaran adegan yang menunjukkan perilaku konsumtif ... 81


(10)

(11)

(12)

(13)

MOTTO

HIDUP ADALAH PERJUANGAN TAK ADA YANG

JATUH DARI LANGIT DENGAN CUMA-CUMA

SEMUA USAHA DAN DOA


(14)

PENELITIAN INI AKU PERSEMBAHKAN

Untuk Ayah dan Mama tercinta

Dan kakak-kakak ku tersayang


(15)

Peneliti dilahirkan di Bandarlampung pada tanggal 05 Agustus 1989, sebagai anak bungsu dari empat bersaudara, dari Bapak Firdaus Ibrahim dan Ibu Maryana. Pendidikan formal yang pernah peneliti tempuh adalah pendidikan TK Al-Azhar Jambi diselesaikan pada tahun 1995, SD-I Al-Falah Jambi diselesaikan pada 2001, SMPN 1 Pangkalpinang Kepulauan Bangka-Belitung diselesaikan pada tahun 2004, SMA-K Santo Yosef Pangkalpinang Kepulauan Bangka-Belitung diselesaikan pada tahun 2007, DIII Perpustakaan, Dokumentasi dan Informasi (PUSDOKINFO) Universitas Lampung diselesaikan pada tahun 2010.

Pada tahun 2011, peneliti terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi melalui jalur Konversi. Peneliti melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Gunung Rejo, Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran pada Agustus 2013. Pada Oktober 2013, peneliti melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PT. Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) cabang Lampung.


(16)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Analisis Perilaku Konsumtif pada Film Confessions of a shopaholic sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakulatas ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dorongan moril yang telah diberikan selama penulisan, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. H. Agus Hadiawan , M. Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Teguh Budi Raharjo, M. Si., selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung. 3. Ibu Dhanik Sulistyarini, S.Sos, MComn&MediaSt., selaku Dosen

Pembimbing atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyusunan skripsi ini.


(17)

skripsi ini.

5. Bapak Dr. Abdul Firman Ashaf, M. Si., selaku Pembimbing Akademik. 6. Bapak dan Ibu Dosen beserta staf administrasi Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

7. Ayah, mama dan kakak-kakak ku yang tiada hentinya memberikan semangat dan doa pada penulis.

8. Azi Imam Qurniawan yang selalu memberi motivasi dan menjadi inspirasi. 9. Sahabat ku Tira Catur Puteri, Wahdya Nurul Qolby, Iin deviyanti, Elsa Puji Rahmawati, Esy Andriyani, Kusnul Fitria, Theresia Windi Atikah, Emirullyta Hardaninggar ,Herdiani Oktavia, dan seluruh teman-teman Ilmu Komunikasi 2010 dan 2011 atas dukungan, kebersamaan dan kenagan selama studi.

Akhir kata, semoga Allah SWT membalas kebaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan penelitian di bidang ilmu komunikasi.

Bandarlampung, Februari 2015 Peneliti,


(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dunia belanja merupakan dunia yang menyenangkan bagi semua orang. Apalagi jika barang yang disukai termasuk dalam barang diskon maka sudah pasti barang tersebut akan menjadi incaran dalam belanja, meskipun awalnya tidak berniat untuk membelanjakan barang tersebut. Dewasa ini, belanja tidak mengharuskan kita menggunakan uang tunai tetapi kita dapat berbelanja hanya dengan menggunakan sebuah kartu kredit. Diskon besar-besaran dan nilai bunga yang rendah menjadi incaran para shopaholic.

Shopaholic merupakan seseorang yang memiliki kebiasaan berbelanja secara berlebihan yang terkadang tidak mempedulikan mengenai barang tersebut akan terpakai atau tidak nantinya, yang menjadi perhitungan mereka adalah adanya diskon maka kesempatan untuk memiliki barang tersebut terbuka lebar jika melewatkannya sedetik saja maka kesempatan itu akan hilang. Hal seperti ini tanpa kita sadari pernah kita lakukan, dimana kita melihat ada sebuah kesempatan yang seolah-olah tidak akan datang dua kali, padahal sesungguhnya tidaklah demikian. Seperti contoh kasus pemberitaan mengenai antrian panjang promo


(19)

penjualan sepatu Crocs pada tahun 2009 ( http://kabarinews.com/sana-sini-crocs-sepatu-mulut-buaya/33297 di akses pada 9 Oktober 2013 pukul 22.00 wib). Sepatu yang di produksi di Kanada pada tahun 2002 ini memiliki keunggulan yang ringan dan tahan air. Sepatu antiselip ini terbuat dari croslite yaitu sejenis karet anti-bacteria sehingga tidak perlu takut sepatu ini cepat rusak. Crocs memberikan diskon besar-besaran hingga 70%. Harga yang ditawarkan mulai dari Rp 300.000,00 sampai Rp 1.200.000,00. Ribuan orang rela antri berjam-jam sejak pukul 08.00 Wib sampai gerai toko dibuka pukul 10.00 Wib. Hal serupa pun terjadi pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 2010, ratusan orang rela antri untuk masuk ke gerai toko dari lantai lima hingga lantai delapan. Sama halnya juga mengenai hebohnya promo penjulan gadget smartphone seperti Blackberry dan Samsung. Ribuan orang rela menunggu lama untuk mendapatkan barang yang diinginkan. Tidak hanya itu, penjualan yang dibatasi untuk satu orang pun tetap dapat disiasati oleh shopaholic dengan menyuruh supir atau pembantunya untuk ikut serta mengantri agar mendapatkan barang yang diinginkan.

Sejarah perkembangan konsumsi ini dimulai pada abad ke-18 pada saat perkembangan dunia produksi. Dimana pada masa revolusi industri terjadi perubahan dari suatu kegiatan karya tangan berubah menjadi penggunaan mesin-mesin industri yang menghasilkan suatu barang, lalu terjadi peningkatan persediaan barang di pasar yang kemudian menimbulkan hasrat masyarakat untuk membeli. Pada masa itu barang masih dilihat sebatas fungsinya, tanpa memperhatikan tampilannya. Namun saat ini pada abad ke dua puluh suatu barang tidak hanya dilihat dari fungsi kerjanya tetapi juga dilihat dari bentuk desainnya. Dimana desain dibuat dengan sedemikian rupa untuk menarik minat konsumen


(20)

agar mau membelinya. Hal inilah yang kemudian berlanjut meningkatkan perilaku konsumtif pada masyarakat. Perilaku konsumtif merupakan bentuk perilaku orang dalam mengkonsumsi barang secara kompulsif dan tidak ada pertimbangan saat mengkonsumsinya, misalnya mengggunakan segala macam cara untuk mendapatkan barang yang diinginkan baik, dengan menggunakan uang yang ada ditabungan maupun berhutang melalui kartu kredit. Perilaku konsumtif ini tidak terlepas dari media massa yang semakin menaikkan hasrat belanja pada masyarakat.

Salah satu media massa yang mampu mempersuasi hasrat belanja dan mengimitasi kehidupan nyata dalam masyarakat adalah film. Film merupakan media yang memberikan gambaran kehidupan bagi masyarakat yang melihatnya dan secara tidak langsung memberikan inspirasi bagi siapa saja yang melihatnya untuk meniru hal yang ada di dalam film tersebut. Film saat ini telah menjadi alat komunikasi dalam masyarakat yang mana telah banyak bercerita perihal kehidupan. Disinilah kita lantas menyebut film sebagai representasi dunia nyata, dunia yang kita tinggali. Menurut Eric Sasono (dalam Irwansyah, 2009: 12) dibanding media lain, film memiliki kemampuan untuk meniru kenyataan sedekat mungkin dengan kenyataan sehari-hari. Para sineas merepresentasikan kehidupan nyata dalam film dengan melihat masyarakatnya. Begitu pula sebaliknya, film yang terkadang berisi cerita fiksi ditiru dalam kehidupan nyata oleh masyarakat.

Confessions of a Shopaholic merupakan jenis film drama komedi yang muncul pada tahun 2009. Film ini menceritakan tentang gadis bernama Rebecca Bloomwood, seorang jurnalis yang memiliki masalah pada hobinya. Rebecca


(21)

adalah shopaholic, ia tak pernah segan mengeluarkan uang dan kartu kreditnya pada kasir saat ia menemukan benda yang menurutnya “wajib” dimilikinya. Awalnya ia mampu mengatasi masalah finansialnya hingga pada suatu ketika ia dipecat dari kantornya dan menjadi pengangguran yang memiliki banyak hutang. Rebecca yang memiliki minat pada dunia fashion mempunyai cita-cita menjadi jurnalis dari sebuah perusahaan mode terkenal yaitu Alette. Namun, karena terdapat nepotisme di dalamnya Rebecca tidak bisa ikut wawancara kerja disana. Berkat seorang resepsionis di Alette memberitahu Rebecca, jika ia berhasil masuk ke Successful Saving, majalah yang membahas finansial, ada kemungkinan ia akan berhasil mendapatkan salah satu posisi strategis di Alette. Melihat peluang yang baik ini ia lalu memutuskan untuk melamar kerja disana dan Ia pun diterima. Kemahiran Rebecca dalam menulis membuatnya terkenal di New York sebagai orang yang mampu mengatur keuangan. Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan sesungguhnya.

Film ini merupakan film yang diadaptasi dari dua novel dengan judul The Secret Dreamworld of a Shopaholic dan Shopaholic Abroad karya Sophie Kinsella, yang diramu oleh P.J. Hogan selaku sutradara menjadi film Confessions of a Shopaholic. Dilihat dari alur ceritanya film ini termasuk dalam film ringan, tetapi secara perlahan film ini mengingatkan kita bahwa ‘lapar mata’ merupakan hal yang cukup membahayakan, apabila kita tidak mampu mengendalikan nafsu belanja kita. Makna yang terdapat dalam film ini menunjukkan bahwa kita membeli barang bukan pada kebutuhan tetapi hanya pada batas keinginan semata. Film ini juga menjadi tamparan keras bagi penontonnya karena pada saat pemunculannya bertepatan saat dunia dilanda krisis ekonomi dan ini membuat


(22)

film ini terasa sulit bagi penonton yang ingin menghemat pengeluaran (

http://www.kapanlagi.com/film/internasional/Confessions-of-a-shopaholic-mengatasi-kecanduan-belanja.html diakses Pada 12 November 2013 Pukul 11.00 Wib). Alasan peneliti meneliti film Confessions of a Shopaholic dibandingkan novelnya karena film berupa audio visual yang memberikan gambaran secara jelas dari perilaku konsumtif sehingga orang yang menontonnya mudah menemukan gambaran perilaku konsumtif.

Menurut Baudrillard (dalam Suyanto, 2013:110), yang dikonsumsi masyarakat sesungguhnya adalah tanda (pesan, citra) ketimbang komoditas itu sendiri. Artinya, komoditas tidak lagi didefinisikan berdasarkan kegunaannya, melainkan berdasarkan atas apa yang dimaknai masyarakat itu sendiri. Pada penelitian ini peneliti menggunakan hermeneutika yang merupakan metode yang menafsirkan teks, namun teks tidak hanya berupa bahasa ataupun teks itu sendiri tetapi dapat berupa foto, iklan dan film. Teori ini bertujuan untuk memudahkan peneliti menganalisis perilaku konsumtif yang terdapat pada film Confessions of a Shopaholic. Teori hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti (Sumaryono dalam Raharjo, 2008 : 29). Maka dari itu penelitian ini dapat ditelusuri dengan lingkaran hermeneutika, dimana makna teks dapat dipahami lewat pemahaman keselurahan dan pemahaman bagian yang ada dalam adegan dan dialog yang mengandung unsur perilaku konsumtif.

Hal ini lah yang melatarbelakangi penelitian mengenai analisis perilaku konsumtif pada film Confessions of a Shopaholic. Dimana film merupakan


(23)

budaya populer yang ada dalam masyarakat begitu juga perilaku konsumtif yang menjadi perubahan kultur budaya di dalam masyarakat yang perkembangannya berubah menjadi sebuah mitos bagi masyarakat itu sendiri.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka rumusan masalah penelitian ini adalah

‘Bagaimana perilaku konsumtif yang terdapat pada film Confessions of a Shopaholic?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun penelitian ini bertujuan untuk menjawab rumusan masalah yaitu :

1. Untuk mengetahui perilaku konsumtif terdapat film Confessions of a Shopaholic.

2. Untuk mendeskripsikan perilaku konsumtif yang terdapat film Confessions of a Shopaholic.

1.4 Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan penelitian secara teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan atau menambah referensi pengetahuan bagi kajian ilmu komunikasi khususnya perkembangan teori hermeneutika dalam kehidupan sosial di masyarakat khususnya mengenai film dan perilaku konsumtif.


(24)

b. Kegunaan penelitian secara praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan sikap kritis terhadap perilaku konsumtif yang sering kita lakukan tanpa disadari sehingga dengan adanya sikap kritis ini, kita dapat membedakan antara kebutuhan primer dan keinginan serta lebih bijak dalam mengonsumsi sesuatu.


(25)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian terdahulu untuk membantu memudahkan proses penelitian yang akan dilakukan dalam menentukan langkah-langkah yang sistematis dari segi teori maupun konsep. Tujuan dari penelitian terdahulu agar penulis dapat belajar dari penelitian lain dan dapat menambah kekurangan dari penelitian lain sehingga penelitian ini dapat menjadi lebih baik.

Dalam penelitian ini, penulis menemukan beberapa penelitian terdahulu yang memiliki kesamaan konsep yang terkait dengan konsep perilaku konsumtif dan film. Adapun beberapa penelitian terdahulu yang menjadi referensi atau acuan sebagai berikut :


(26)

9 Tabel 1. Penelitian terdahulu dan manfaatnya bagi penelitian

No Nama Judul Penelitian Metode/Tipe Penelitian

Kontribusi Penelitian Perbedaaan penelitian 1 Agus Darmaji

(2013)

Dasar-dasar Ontologis Pemahaman Hans-Georg Gadamer

Hermeneutika Memberikan referensi dalam menggunakan konsep metode hermeneutika.

Penelitian ini menganalisis mengenai dasar ontologis pemahaman gadamer sedangkan penelitian penulis menganalisis perilaku konsumtif dari film Confenssions of a Shopaholic 2 Dewi Aprilia

(2013)

Analisis sosiologis perilaku konsumtif mahasiswa (Studi pada mahasiswa FISIP Universitas Lampung)

Kuantitatif Eksplanatoris

Memberikan referensi mengenai konsep perilaku konsumtif dari segi sosiologis.

Penelitian ini menganalisis perilaku konsumtif pada mahasiswa

khususnya pada mahasiswa FISIP Universitas Lampung sedangkan penulis meniliti perilaku konsumtif yang terdapat pada film

Confenssions of a Shopaholic. 3. Hotpascaman

S (2010)

Hubungan antara perilaku konsumtif dengn konformitas pada remaja

Kuantitatif Korelasional

Penelitian ini memberikan referensi konsep perilaku konsumtif dari segi psikologi bahwa konformitas yang terjadi antara shopaholic khususnya perempuan mempengaruhi untuk berperilaku konsumtif.

Hostpascaman meneliti hubungan antara perilaku konsumtif dengan konformitas pada remaja dari segi psikologis sedangkan penulis meneliti perilaku konsumtif yang direpresentasikan oleh film.


(27)

2.2 Tinjauan tentang perilaku konsumtif 2.2.1 Pengertian perilaku konsumtif

Menurut Sumartono (2010) (dalam Hotpascaman, 2010: 12) Perilaku konsumtif dapat diartikan sebagai suatu tindakan menggunakan suatu produk secara tidak tuntas. Artinya, belum habis suatu produk dipakai, seseorang telah menggunakan produk jenis yang sama dari merek lain atau membeli barang karena adanya hadiah yang ditawarkan atau membeli suatu produk karena banyak orang yang menggunakan produk tersebut.

Triyaningsih (2011:175) menerangkan perilaku konsumtif merupakan suatu perilaku membeli dan menggunakan barang yang tidak didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan memiliki kecenderungan untuk mengonsumsi sesuatu tanpa batas, dimana individu lebih mementingkan faktor keinginan dari pada kebutuhan serta ditandai oleh adanya kehidupan mewah yang berlebihan, penggunaan segala hal yang paling mewah yang memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik.

Aprilia (2013: 11) menjelaskan bahwa perilaku membeli yang berlebihan tidak lagi mencerminkan usaha manusia untuk memanfaatkan uang secara ekonomis namun perilaku konsumtif dijadikan sebagai suatu sarana untuk menghadirkan diri dengan cara yang kurang tepat. Perilaku tersebut menggambarkan sesuatu yang tidak rasional dan bersifat kompulsif sehingga secara ekonomis menimbulkan pemborosan dan inefisiensi biaya. Seseorang dalam mengkonsumsi suatu barang atau jasa bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan semata-mata, tetapi juga keinginan untuk memuaskan kesenangan yang dipengaruhi oleh interaksi


(28)

sosial seseorang dalam kehidupannya. Keinginan tersebut seringkali mendorong seseorang untuk membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan.

Sedangkan dalam pandangan Sarwono (dalam Maktub, 2012 : 12) perilaku konsumtif biasanya lebih dipengaruhi oleh faktor emosional daripada rasio, karena pertimbangan-pertimbangan dalam membuat keputusan untuk membeli atau menggunakan suatu barang dan jasa lebih menitikberatkan pada status sosial, mode dan kemudahan dari pada pertimbangan ekonomis. Perilaku konsumtif berkaitan dengan proses belajar. Artinya dalam perkembangan individu akan belajar bahwa memperoleh suatu barang dan jasa atau melakukan perbuatan tentunya dapat memberikan kesenangan atau justru perasaan tidak enak. Berdasarkan pada konsep diatas bahwa perilaku konsumtif adalah suatu tindakan yang dilakukan seseorang dalam mengonsumsi barang, dimana pada saat mengonsumsi barang bukan berdasarkan kebutuhan tetapi mengonsumsi barang sesuai keinginan dengan cara memaksakan diri yang tidak didukung dengan keuangan yang cukup, perilaku ini dilakukan hanya untuk memuaskan keinginan semata namun, pelaku perilaku konsumtif ini menjadi merasa bersalah pada saat ia merasakan dampak dari perilaku ini.

2.2.2 Faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif

Menurut Suyasa dan Fransisca (dalam Triyaningsih, 2011: 175) faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku konsumtif yaitu:

a. Hadirnya Iklan

Iklan merupakan pesan yang menawarkan sebuah produk yang ditujukan kepada khalayak lewat suatu media yang bertujuan untuk mempengaruhi


(29)

masyarakat untuk mencoba dan akhirnya membeli produk yang ditawarkan. Iklan juga mengajak agar mengonsumsi barang atau jasa hanya berdasarkan keinginan dan bukan kebutuhan serta harga yang tidak rasional. Suyanto (2013: 239-241) menjelaskan bahwa terdapat empat karakteristik yang biasanya menandai iklan antara lain :

1. Iklan cenderung terus-menerus berusaha memanipulasi cita rasa konsumen, dengan cara melebih-lebihkan, mendramatisasi, mensimplifikasi persoalan dan menjanjikan seolah-olah semua persoalan dan kebutuhan konsumen akan teratasi hanya dengan cara membeli produk yang diiklankan.

2. Iklan cenderung menggeser nilai guna menjadi simbolis. Apa pun produk yang diiklankan dan apa kegunaan atau manfaat produk itu, dalam iklan sering menjadi persoalan nomor kedua, karena yang lebih ditonjolkan pada akhirnya adalah nilai simbolisnya, yaitu bagaimana konsumen ketika menghadapi persoalan atau situasi yang kurang lebih sama seperti yang ditampilkan dalam iklan, maka tanpa berfikir panjang ia langsung ingat apa yang dijanjikan dalam iklan dan langsung mengonsumsi produk industri budaya yang ada dalam iklan. 3. Iklan pada dasarnya adalah agen sosialisasi dan imitasi. Melalui iklan,

konsumen disosialisasikan dan diarahkan untuk mengembangkan perilaku imitatif, yaitu mencontoh apa yang dilakukan idola atau ikon budaya yang menjadi bintang iklan.

4. Iklan pada dasarnya adalah agen utama sekaligus instrument yang paling efektif untuk memasyarakatkan ideologi pasar. Seseorang yang


(30)

tumbuh di tengah gencar-gencarnya televisi menayangkan iklan dan lingkungan di sekitarnya juga penuh dengan poster serta baliho iklan, maka jangan heran jika ia akan tumbuh menjadi seseorang yang konsumtif.

b. Konformitas

Menurut Myers (dalam Hotpascaman, 2010 : 16), konformitas merupakan perubahan perilaku ataupun keyakinan agar sama dengan orang lain. Umumnya terjadi pada remaja, khususnya remaja putri. Hal tersebut disebabkan keinginan yang kuat pada remaja putri untuk tampil menarik, tidak berbeda dengan rekan-rekannya dan dapat diterima sebagai bagian dari kelompoknya.

c. Gaya Hidup

Menurut Chaney (dalam Triyaningsih, 2011: 175), munculnya perilaku konsumtif disebabkan gaya hidup budaya barat. Pembelian barang bermerek dan mewah yang berasal dari luar negeri dianggap dapat meningkatkan status sosial seseorang. Menurut Setiadi (2003:148), gaya hidup secara luas didefinisikan sebagai cara hidup yang diidentifikasi oleh bagaimana orang menghabiskan waktu mereka (aktivitas) apa yang mereka anggap penting dalam lingkungannya (ketertarikan), dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia disekitarnya (pendapat). Gaya hidup suatu masyarakat akan berbeda dengan masyarakat yang lainnya. Bahkan, dari masa ke masa gaya hidup suatu individu dan kelompok masyarakat tertentu akan bergerak dinamis. Namun demikian,


(31)

gaya hidup tidak cepat berubah sehingga pada kurun waktu tertentu gaya hidup relatif permanen.

d. Kartu Kredit

Pengertian kartu kredit dalam pasal 1 ayat ke 4 peraturan Bank Indonesia nomor 14/2/PBI/2012 tentang perubahan atas peraturan Bank Indonesia nomor 11/11/PBI/2009 tentang penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu, yaitu :

“ Kartu kredit adalah alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakam untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus (charge card) ataupun dengan pembayaran secara angsuran.”

http://www.bi.go.id/id/peraturan/sistem-pembayaran/Documents/9ccbe574f04d4fc2aec9db3ed57cc77dpbi_140213 .pdf diakses pada 27 agustus 2014 pada pukul 16.25 wib.

Kartu kredit menyediakan fasilitas kredit bagi penggunanya sehingga penggunanya dapat menggunakan batas kredit yang ada tanpa takut tidak mempunyai uang ketika berbelanja. Kartu kredit yang di nilai lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan alat pembayaran lain sehingga para shopaholic lebih menyukai menggunakan alat pembayaran ini dalam berbelanja.

2.2.3 Bentuk perilaku konsumtif

Para shopaholic dalam membeli barang kerap didasari keinginan sesaat, sekedar mengikuti tren atau untuk menjaga gengsi dibandingkan membeli barang karena


(32)

alasan kebutuhan. Sering kali shopaholic sulit membedakan antara kebutuhan dan keinginan semata. Dalam hal ini penulis mengutip dari mjeducation (http://mjeducation.com/waspadai-gaya-hidup-konsumtif-dan-shopaholic/.

Diakses pada hari Senin, tanggal 1 September 2014 pukul 11.21wib) untuk menunjukan bentuk perilaku konsumtif antara lain :

1. Kemudahan dalam berbelanja dengan menggunakan kartu kredit. kemudahan ini dimaksimalkan untuk mendapatkan kepuasaan dari berbelanja.

2. Memaksakan diri untuk berbelanja, padahal uang yang ada tidak cukup untuk membeli barang dan barang yang ingin di beli bukan yang dibutuhkan. 3. Membeli sesuatu tanpa rencana dan sangat bersemangat saat merencanakan

untuk berbelanja.

4. Merasa puas dan senang ketika mampu membeli barang yang diinginkannya tetapi kemudian merasa bersalah melihat barang yang dibeli ternyata tidak terlalu dibutuhkan.

5. Rumah penuh dengan barang-barang yang baru dipakai sekali atau bahkan belum digunakan sama sekali.

6. Merasa terganggu dengan kebiasaan belanja tetapi di saat yang sama tidak mampu mengontrol kebiasaan tersebut.

7. Tagihan kartu kredit menumpuk atau utang yang bertumpuk-tumpuk.

8. Selalu berbohong mengenai jumlah uang yang dihabiskannya. Hal ini biasanya dilakukan untuk mengurangi rasa bersalah karena telah membeli barang sebatas keinginan bukan kebutuhan.


(33)

Kedelapan bentuk perilaku konsumtifini kerap dilakukan oleh para Shopaholic, hal ini yang membuat mereka terjebak sehingga mereka melakukan tindakan ini terus menerus secara berulang-ulang.

Adapun menurut Sumartono (dalam Maktub. 2012 : 15) beberapa karakteristik seseorang yang berperilaku konsumtif antara lain sebagai berikut :

1. Membeli produk untuk menjaga status, penampilan dan gengsi. Konsumen membeli barang untuk menunjang penampilannya dihadapan kerabatnya sehingga dari penampilannya tersebut menjadi ciri khasnya bahwa ia termasuk orang yang fashionable.

2. Memakai sebuah produk karena adanya unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan produk tersebut. Konsumen cenderung meniru perilaku idolanya. Saat seorang idola menggunakan suatu brand ternama, maka konsumen yang menyukainya secara reflex akan mengikutinya agar ia memiliki konformitas dengan idolanya tersebut.

3. Adanya penilaian bahwa dengan memakai atau membeli produk dengan harga yang mahal akan menimbulkan rasa percaya diri. Ada ungkapan harga menentukan kualitas, dari ungkapan ini menjadi penilaian bahwa barang yang harganya mahal maka, memiliki kualitas yang baik dan membuat orang merasa percaya diri.

4. Membeli produk dengan pertimbangan harga bukan karena manfaat dan kegunaannya. Konsumen cenderung ingin dianggap memiliki kehidupan yang mewah sehingga cenderung menggunakan hal yang dianggap paling mewah.


(34)

5. Membeli karena kemasan produk yang menarik. Konsumen mudah terbujuk dengan membeli produk yang dikemas dengan pita dan tampilan yang cantik sehingga konsumen termotivasi untuk membeli barang tersebut.

6. Membeli produk karena iming-iming hadiah. Seseorang membeli suatu barang karena adanya hadiah yang ditawarkan jika membeli barang tersebut. Seperti tulisan yang tempel pada barang tertentu dengan tulisan beli satu gratis dua. 7. Mencoba produk sejenis dengan dua merek yang berbeda. Konsumen

cenderung membeli barang sejenis dengan dua merek yang berbeda biasanya melakukan perbandingan antara merek yang satu dengan yang lainnya untuk menentukan kualitas dari produk yang sejenis meskipun produk tersebut belum habis dipakainya.

Dalam perilaku konsumtif terdapat beberapa jenis yang membedakan antara perilaku konsumtif yang satu dengan yang lain. Jenis perilaku ini dilihat dari pembelian yang dilakukan oleh konsumen yaitu sebagai berikut :

1. Pembelian impulsif, pembelian ini didominasi oleh hasrat yang datang tiba-tiba pada diri konsumen dengan penuh kekuatan dan dorongan yang kuat untuk membeli barang dengan segera. Pembelian ini dilakukan tanpa rencana dan terjadi secara kebetulan dan tanpa tujuan terlebih dahulu.

2. Pembelian kompulsif, adanya candu atau pengulangan pembelian yang berada dalam beberapa kondisi di luar kontrol dan sikap konsumen yang berdampak buruk bagi dirinya maupun orang lain. Pembelian kompulsif terjadi karena ketegangan psikologi yang menyebabkan meningkatnya keinginan seseorang untuk melakukan pembelian saat itu juga. Misalnya merokok, berjudi,


(35)

kecanduan alkohol, pembelian kompulsif akan menyebabkan penderitaan psikologis dan dampak serius pada kehidupan individu seperti berhutang.

2.2.4 Hierarki kebutuhan Maslow

Pada dasarnya manusia memiliki banyak kebutuhan untuk hidupnya. Kebutuhan itu tersusun pada hierarki kebutuhan yang terdiri dari kebutuhan paling kuat hingga yang paling lemah. Maslow berpendapat (dalam Setiadi, 2003 : 107-108) bahwa kebutuhan yang diinginkan seseorang berjenjang. Artinya, jika kebutuhan yang pertama telah terpenuhi, kebutuhan tingkat terpenuhi akan muncul menjadi yang utama. Selanjutnya jika kebutuhan tingkat kedua telah terpenuhi, muncul kebutuhan tingkat ketiga dan seterusnya sampai tingkat kebutuhan yang kelima. Kebutuhan-kebutuhan tersebut didefinisikan sebagai berikut :

1. Kebutuhan fisiologis

Kebutuhan dasar yang terdapat pada manusia untuk mempertahankan hidupnya secara fisik yaitu kebutuhan akan makan, minum, tempat tinggal, dan bebas dari rasa sakit. Kebutuhan fisiologis ini merupakan kebutuhan yang paling kuat dan mendesak. Bagi orang yang sedang kelaparan maka makanan merupakan kebutuhan yang paling utama untuknya. Namun, jika orang tersebut kebutuhan fisiologinya terpenuhi maka ia akan mencari kebutuhan lainnya.

2. Kebutuhan keselamatan dan keamanan

Kebutuhan ini muncul setelah kebutuhan dasar telah terpenuhi yakni kebutuhan akan kebebasan dari ancaman, aman dari ancaman kejadian


(36)

atau lingkungan. Karena kebutuhan inilah maka di buat aturan undang-undang untuk mengatur dan melindungi kehidupan bermasyarakat.

3. Kebutuhan Sosial

Kebutuhan untuk dicintai, rasa memiliki, sosial dan cinta kebutuhan akan teman, afiliasi, interaksi dan cinta. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini orang rentan merasa sendirian, gelisah dan depresi. Ada dua jenis cinta (dewasa) yakni Deficiency atau D-Love dan Being atau B-Love. Kebutuhan cinta karena kekurangan, itulah D-Love; orang yang mencintai sesuatu yang tidak dimilikinya, seperti harga diri, seks, atau seseorang yang membuat dirinya menjadi tidak sendirian. Misalnya, hubungan pacaran, hidup bersama atau perkawinan yang membuat orang terpuaskan kenyamanan dan keamanannya. D-Love adalah cinta yang mementingkan diri sendiri, yang memperoleh daripada memberi. B-Love didasarkan pada penilaian mengenai orang lain apa adanya, tanpa keinginan mengubah atau memanfaatkan orang itu. cinta yang tidak berniat memiliki, tidak mempengaruhi, dan terutama bertujuan memberi orang lain gambaran positif, penerimanaan diri dan perasaaan dicintai yang membuka kesempatan orang itu untuk berkembang.

(http://wardalisa.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/folder/0.0.Diakses pada hari Senin 22 Desember 2014 pukul 21.00 wib.)

4. Kebutuhan harga diri

Kebutuhan akan penghargaan diri dan penghargaan orang lain. Ketika kebutuhan dimiliki dan mencintai sudah relatif terpuaskan, kekuatan


(37)

motivasinya melemah, diganti motivasi harga diri. Ada dua jenis harga diri yaitu ;

1. Menghargai diri sendiri (Self respect) : kebutuhan kekuatan, penguasaan, kompetensi, prestasi, kepercayaan diri, kemandirian dan kebebasan.

2. Mendapat penghargaan dari orang lain (Respect from other) : kebutuhan prestise, penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, menjadi orang penting, kehormatan, diterima dan apresiasi. Orang membutuhkan pengetahuan bahwa dirinya dikenal dengan baik dan di nilai baik oleh orang lain.

(http://wardalisa.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/folder/0.0. Diakses pada hari Senin 22 Desember 2014 pukul 21.00 wib.)

Sebaliknya harga diri yang kurang akan menyebabkan rasa rendah diri, rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta perilaku neurotik.

5. Kebutuhan aktualisasi diri

Aktualisasi diri adalah keinginan untuk memperoleh kepuasan dengan dirinya sendiri (Self fullfilment), untuk menyadari semua potensi dirinya, untuk menjadi apa saja yang dia dapat melakukannya, dan untuk menjadi kreatif dan bebas mencapai puncak prestasi potensinya. Kebutuhan ini berada di atas kebutuhan dasar. Kebutuhan untuk memenuhi diri sendiri dengan memaksimumkan penggunan kemampuan, keahlian dan potensi.

Pada penelitian ini Hierarki kebutuhan Maslow menunjukan bahwa kebutuhan manusia itu berjenjang tidak sebatas pada kebutuhan fisiologis semata, kebutuhan


(38)

itu juga terdapat kebutuhan harga diri yang menjadi nilai bagi status seseorang di mata masyarakat. Status sosial menjadi penting saat berbaur di masyarakat.

Karena kebutuhan harga diri bukan kebutuhan dasar maka dalam pencapaiannya dilakukan berbagai upaya untuk memenuhinya.

2.3 Tinjaun tentang hermeneutika

Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna. Kata hermeneutika berasal dari kata kerja yunani hermeneuien, yang memiliki arti menafsirkan, menginterpretasikan atau menerjemahkan. Jika asal kata hermeneutika dirunut, maka kata tersebut merupakan deriviasi dari kata hermes, seorang dewa dalam mitologi yunani yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan dari sang dewa kepada manusia. Dengan demikian, kata hermeneutika yang diambil dari peran hermes adalah sebuah ilmu atau seni menginterpretasikan sebuah teks (Mulyono, 2012 : 15-17).

Hermenuetika yang digunakan dalam penelitian ini adalah hermeneutika Hans Georg Gadamer. Gadamer adalah seorang filsuf jerman yang lahir di Marburg pada tahun 1900 yang menempuh pendidikan filsafat. Hermeneutika Gadamer sangat terpengaruh pada hermeneutika Heidegger terutama tentang fenomena ontologis. Gadamer menyetujui pendapat Heidegger bahwa ‘ada’ selalu dimengerti melalui bahasa dan dalam dimensi waktu. Maka untuk sampai pada ‘ada’, kita perlu mengenal ‘ada’ itu sendiri, yang berarti kita harus memahami. Memahami berarti memahami di dalam waktu dan menurut historisnya (Darmaji, 2013 : 478). Namun, fenomena ontologis yang dimaksud mereka adalah berbeda. Jika ontologi yang di artikan Heidegger itu adalah eksistensi manusia, untuk


(39)

memahami masa depan seseorang yang dilihat dari masa lalu nya. Sedangkan ontologi Gadamer merupakan teks literatur. Teks literatur sebagai obyek penelitiannya untuk memahami masa lalu teks dan memahami arti sebenarnya dari teks tersebut.

Hermeneutika Gadamer adalah hermenuetik dialogis yang menggunakan bahasa sebagai medium penting untuk mendapatkan pemahaman yang benar dilihat dari tingkat ontologisnya yang dicapai melalui dialog dengan mengajukan banyak pertanyaan dari penafsir pada teks. Gadamer mengemukakan (dalam Mulyono, 2012 : 154) untuk dapat memahami teks sebelumnya dilakukan beberapa variabel yang sifatnya praktis dalam hermeneutika yaitu :

1. Pra-andaian merupakan anggapan yang dimiliki penafsir sebelum menginterpretasikan sebuah teks. Pra andaian yang dimiliki penafsir bukan menemukan makna asli dari suatu teks. Interpretasi tidak sama dengan mengambil suatu teks, lalu mencari arti yang diletakkan didalamnya oleh pengarang. Suatu teks tetap terbuka dan tidak terbatas pada maksud si pengarang, sehingga interpretasi dengan sendiri menjadi wahana mempercaya makna suatu teks dan bersifat produktif. Terdapat kemustahilan bagi penafsir untuk menjembatani jurang waktu antara penafsir dan pengarang, dimana penafsir tidak akan pernah bisa melepas diri dari situasi historisnya yang dimilikinya.

2. Dialog dalam proses ini, teks dan penafsir menjalani suatu keterbukaan satu sama lain sehingga keduanya saling memberi dan menerima


(40)

kemudian memungkinkan bagi lahirnya pemahamanan yang baru. Proses dialogis antara cakrawala teks menyediakan pertanyaan bagi penafsir dan penafsir cakrawalanya sendiri menimbulkan pertanyaan yang lain lagi. peristiwa ini memicu bagi munculnya suatu pemahaman, yang disebut peleburan cakrawala-cakrawala. Peleburan cakrawala ini sebagai integrasi historisitas penafsir pada objek pemahaman dalam suatu cara yang menjadikan integritasi itu mempengaruhi kandungan di mata penafsir. Jadi peleburan itu menjadi mediator yang mengantarai masa lalu dan masa kini atau antara yang asing dengan yang lazim sebagai bagaian dalam usaha memahami (Warnke dalam Mulyono, 2012 : 154).

Sehingga dari variabel ini memudahkan penafsir dalam memahami teks yang akan di interpretasikan. Variabel ini masih dalam bentuk kasar yang kemudian akan di haluskan dengan menggunakan konsep lingkaran hermeneutika Gadamer. Variabel ini menjadi titik awal yang akan dilakukan penafsir dalam menginterpretasikan suatu teks.

Setelah mendapatkan variabel dalam menginterpretasikan teks maka selanjutnya dilakukan pemahaman konsep lingkaran hermeneutika, Gadamer mengemukakan konsep pra-struktur pemahaman Heidegger (dalam Darmaji, 2013: 481) yang terdiri dari tiga unsur yaitu ;

1. Vorhabe (fore have) adalah setiap penafsir memiliki latar belakang tradisi sebelum memahami suatu teks.


(41)

2. Vorsicht (fore-sight) adalah penafsir selalu dibimbing oleh cara pandang tertentu, maka dari itu dalam setiap tindak pemahamannya selalu didasari oleh apa yang telah dilihat penafsir sebelumnya.

3. Vorgriff (foreconception) adalah latar belakang dan cara pandang yang dimiliki oleh penafsir menjadi suatu konsep-konsep yang ada dalam pemikiran penafsir.

Ketiga konsep pra struktur ini menjadi syarat pemahaman lingkaran hermeneutika yang bertitik tolak dari konsep ontologis Heidegger. Ketiga konsep ini merupakan satuan variabel dari pra-andaiaan yang dibawa oleh penafsir. Konsep ini membantu penafsir sehingga ia tidak terjebak dengan historikal dari suatu teks tidak berusaha mencari makna asli dari teks tersebut.

Hermeneutika Gadamer menggunakan sebuah lingkaran hermeneutika yang membawa penafsir memahami teks dengan lebih baik. Lingkaran hermeneutika mengandung makna bahwa teks harus ditafsirkan secara sirkular, bagian-bagian harus di lihat dalam keseluruhan dan sebaliknya keseluruhan harus di pandang juga menurut bagian-bagiannya. Ini berarti bahwa proses pemahaman memerhitungkan kaitan erat antara keseluruhan dan masing-masing bagiannya. proses pemahaman melalui lingkaran hermeneutik memerhitungkan kaitan antara keseluruhan dan masing-masing bagian dan sebaliknya, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya mengandaikan adanya keterbukaan untuk menerima pemahaman-pemahaman baru. Gadamer memerjelas proses itu dengan mengatakan bahwa seseorang yang ingin berusaha untuk mengerti sebuah teks selalu dibimbing oleh suatu tindak proyeksi. Artinya, saat ia berhadapan dengan


(42)

sebuah teks, ia akan merancang makna-makna bagi keseluruhan teks tersebut begitu ia mulai menangkap beberapa makna ketika mulai mencermati teks. Dengan beberapa makna yang menjadi proyeksi awal itu, ia akan melanjutkan proses pemahaman. Pemahaman demi pemahaman akan diperbarui secara terus menerus dan kadang harus menyingkirkan pemahaman yang tidak benar. Lingkaran hermeneutika juga melibatkan jarak temporal yakni dalam upaya memahami sesuatu mau tidak mau melibatkan ide tentang waktu. Waktu memainkan peranan penting untuk memahami apa yang kita terima dari masa lampau. Waktu menurut Gadamer dikatakan sebagai ‘filter’ penyaring untuk menghapus interpretasi- interpretasi yang tidak sesuai, sebagai ‘yang memberi kita kriteria meyakinkan, yang membiarkan makna sejati objek muncul secara utuh atau menyebabkan prasangka-prasangka yang menghasilkan pemahaman asli secara jelas (Darmaji, 2013 : 480-485).

Hermeneutika Gademer ini akan membantu penulis dalam menganalisis perilaku konsumtif yang terdapat pada film Confessions of a Shopaholic, selain menggunakan metode hermeneutika Gadamer penulis juga menggunakan teori disonansi kognitif dari Festinger, teori belajar sosial dan tiruan dari Miller & Dollard serta Bandura & Walters. Pertama peneliti akan membahas teori disonansi kognitif yang dikemukakan oleh Festinger. Menurut Sarwono (2012: 97) disonansi kognitif merupakan keadaan internal yang tidak nyaman akibat adanya ketidaksesuaian antara dua sikap atau lebih serta antara sikap dan tingkah laku. Menurut Festinger (Sarwono, 2012: 97), disonansi terjadi apabila terdapat hubungan yang bertolak belakang antara elemen-elemen kognitif dalam diri


(43)

individu. Hubungan bertolak belakang tersebut, terjadi bila ada penyangkalan antara elemen kognitif yang satu dengan yang lain. Sarwono (2011 :115-116) menjelaskan elemen adalah kognisi, yaitu hal-hal yang diketahui seseorang tentang dirinya sendiri, tingkah lakunya dan lingkungannya. Istilah kognisi digunakan untuk menunjuk pada setiap pengetahuan, pendapat, keyakinan, atau perasaan seseorang tentang dirinya sendiri atau lingkungannya. Faktor yang paling menentukan kognitif adalah kenyataan (realistis). Elemen kognitif berhubungan dengan hal-hal nyata yang ada di lingkungan dan hal-hal yang terdapat dalam dunia kejiwaan seseorang. Hubungan itu dibedakan menjadi dua jenis yaitu :

1. Tidak relevan adalah hubungn dua elemen kognitif yang tidak berkaitan dan tidak saling mempengaruhi.

2. Relevan adalah hubungan dua elemen kognitif yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Dalam hubungan relevan terdapat dua macam bentuk yakni ; a. Disonansi (kejanggalan) yaitu dua elemen dikatakan ada dalam hubungan

yang disonan jika (dengan hanya memperhatikan kedua elemen itu saja) terjadi suatu penyangkalan dari satu elemen yang diikuti oleh atau mengikuti suatu elemen yang lain. Terdapat dua elemen yang terkait tetapi dalam keadaan yang tidak pas dan itu menimbulkan disonansi.

b. Konotasi adalah keadaan di mana terjadi hubungan yang relevan antara dua elemen dan hubungan itu tidak disonan.

Festinger mengemukakan (dalam Sarwono, 2011 : 117) bahwa perlu diketahui kadar disonansi, menentukan kadar disonansi dapat dilihat dari tingkat kepetingan elemen-elemen yang saling berhubungan itu bagi orang yang bersangkutan. Jika


(44)

kedua elemen itu kurang penting artinya, maka tidak banyak disonansi yang akan timbul. Sebaliknya, jika kedua elemen itu sangat penting artinya, maka disonansi juga tinggi. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak pernah ada hubungan yang melibatkan hanya dua elemen. Masing-masing elemen dari yang dua itu dihubungkan juga dengan elemen-elemen lain yang relevan. Sebagian hubungan-hubungan yang lain ini konsonan, sedangkan sebagian lainnya disonan. Kadar disonansi dalam hubungan dua elemen dipengaruhi juga oleh jumlah disonansi yang ditimbulkan oleh keseluruhan hubungan kedua elemen itu dengan elemen-elemen lain yang relevan.

Teori ini mempunyai pengaruh terhadap berbagai situasi di kehidupan sehari-hari. Sarwono (2011: 119-120) menjelaskan ada empat dampak teori disonansi antara lain terlihat sebagai berikut :

1. Pembuatan Keputusan, setiap keputusan dibuat dari suatu situasi konflik. Alternatif-alternatif dalam situasi konflik itu bisa semua positif, bisa semua negatif atau bisa mempunyai unsur negatif dan positif. Dalam ketiga situasi, keputusan apa pun yang akan dibuat akan menimbulkan disonansi, yaitu terjadi gangguan terhadap hubungan dengan elemen (alternatif) yang tidak terpilih. Kadar disonansi setelah pembuatan suatu keputusan tergantung pada pentingnya keputusan itu dan daya tarik alternatif yang tidak terpilih. Mengenai suatu keputusan, biasanya terjadi hal-hal sebagi berikut :

a. Akan terjadi peningkatan pencarian informasi baru yang menghasilkan elemen kognisi yang mendukung (konsonan dengan) keputusan yang sudah dibuat.


(45)

b. Akan timbul kepercayaan yang semakin mantap tentang keputusan yang sudah dibuat atau timbul pandangan yang semakin tegas membedakan kemenarikan alternatif yang telah diputuskan daripada alternatif-alternatif lainnya. Atau bisa juga dua kemungkinan itu terjadi bersama-sama.

c. Semakin sulit untuk mengubah arah keputusan yang sudah dibuat, terutama pada keputusan yang sudah mengurangai banyak disonansi.

2. Paksaan untuk mengalah : dalam situasi-situasi publik (di tengah banyak orang), seseorang dapat dipaksa untuk melakukan sesuatu (dengan ancaman hukuman ataupun menjanjikan hadiah). Kalau perbuatan itu tidak sesuai dengan kehendak (sebagai pribadi), maka timbul disonansi. Kadar disonansi ini tergantung pada besarnya ancaman hukuman atau ganjaran yang akan diterima. 3. Ekspos pada informasi-informasi. Disonansi akan mendorong pencarian

informasi-informasi baru. Kalau disonansi hanya sedikit atau tidak ada sama sekali, maka usaha mencari informasi baru juga tidak ada. Kalau kadar disonansi berada pada taraf menengah (tidak rendah dan tidak tinggi), maka usaha pencarian informasi baru akan mencapai tarak maksimal. Dalam hal ini orang yang bersangkutan akan dihadapkan (ekspos) pada sejumlah besar informasi baru. Namun, kalau kadar disonansi maksimal, justru usaha mencari informasi baru akan sangat berkurang karena pada tahap ini akan terjadi perubahan elemen kognitif.

4. Dukungan sosial. Jika seseorang mengetahui bahwa pendapatnya berbeda dari orang-orang lain, maka timbullah apa yang disebut kekurangan dukungan sosial (lack of social support). Kekurangan dukugan sosial ini menimbulkan


(46)

disonansi pada A yang kadarnya ditetapkan berdasarkan faktor-faktor sebagai berikut :

a. Ada-tidaknya objek (elemen kognitif nonsosial) yang menjadi sasaran pendapat orang lain itu, di sekitar A;

b. Banyaknya orang yang dikenal A yang berpendapat sama dengan A; c. Pentingnya elemen yang bersangkutan bagi A;

d. Relevansi orang-orang lain tersebut A;

e. Menarik-tidaknya orang yang tidak setuju tersebut bagi A; f. Tingkat perbedaan pendapat.

Setelah peneliti menjelaskan mengenai teori disonansi kognitif, maka peneliti juga akan menjelaskan teori belajar sosial dan tiruan dari Miller dan Dollard serta Bandura & Walters. Teori belajar sosial dan tiruan Miller dan Dollard mempunyai prinsip-prinsip psikologi belajar. Melalui prinsip ini kita dapat memahami tingkah laku sosial dan proses belajar sosial.

Menurut Miller dan Dollard (dalam Sarwono, 2011 : 24) ada empat prinsip dalam belajar, yaitu :

1. Dorongan adalah rangsang sangat kuat yang mendorong seseorang untuk bertingkah laku. Stimulus-stimulus yang cukup kuat biasanya bersifat biologis, ini disebut dorongan primer (primary drive) dan menjadi dasar utama untuk motivasi. Pada manusia yang berbudaya tinggi, dorongan primer jarang menjadi kepentingan pokok, kecuali dalam keadaan perang, bencana, kemiskinan, dan keadaan-keadaan darurat lainnya. Pada manusia yang


(47)

berbudaya tinggi dorongan-dorongan primer disosialisasikan menjadi dorongan sekunder (secondary drive), misalnya lapar disosialisasikan menjadi dorongan untuk akan makanan tertentu (nasi, roti), seks disosialisasikan menjadi hubungan suami-isteri dalam perkawinan, dorongan-dorongan primer lain disosialisasikan menjadi dorong untuk memperoleh uang, pujian, dan sebagainya. Menurut Miller & Dollard (2011 : 24), semua tingkah laku didasari oleh dorongan, termasuk laku tiruan.

2. Isyarat adalah rangsang yang menentukan kapan dan dimana suatu tingkah laku-balas akan timbul dan tingkah laku-balas apa yang akan terjadi. Isyarat disini dapat disamakan dengan rangsang diskriminatif. Dalam belajar sosial, isyarat yang terpenting adalah tingkah laku orang lain baik yang langsung ditujukan kepada seseorang tertentu maupun tidak.

3. Respons ,Miller & Dollard (dalam Sarwono, 2011 : 24) berpendapat bahwa organisme mempunyai hierarki bawaan dari tingkah laku-tingkah laku. Pada waktu organisme dihadapkan untuk pertama kalinya pada suatu rangsang tertentu, maka tingkah laku balas yang timbul didasarkan pada hierarki bawaan tersebut. Baru setelah beberapa kali terjadi ganjaran dan hukuman, maka akan respon yang sesuai dengan faktor penguatnya. Respons yang sudah disesuaikan dengan faktor penguat disusun menjadi hierarki resultan, disinilah pentingnya belajar dengan cara coba dan ralat. Dalam tingkah laku sosial, belajar coba ralat dikurangi dengan belajar tiruan di mana seorang anak tinggal meniru tingkah laku orang dewasa untuk dapat memberikan respon sehingga ia tidak perlu membuang waktu untuk belajar dengan cara coba dan ralat.


(48)

4. Ganjaran menurut Miller dan Dollard (Sarwono, 2011 : 25) adalah rangsang yang menetapkan apakah suatu respon akan diulang atau tidak dalam kesempatan lain.

Miller dan Dollard (dalam Sarwono, 2011 : 25-26) menyatakan bahwa ada tiga mekanisme tiruan yaitu ;

1. Tingkah laku sama (same behavior), tingkah laku ini terjadi apabila dua orang bertingkah laku balas sama terhadap rangsang atau isyarat yang sama. Misalnya, dua orang naik bis yang sama karena mereka sejurusan. Tingkah laku sama ini tidak selalu merupakan tidak selalu merupakan hasil tiruan. 2. Tingkah laku tergantung (matched dependent behavior); tingkah laku ini

timbul dalam hubungan antara dua pihak di mana salah satu pihak lebih pintar, lebih tua, atau lebih mampu dari pihak yang lain. Dalam hal ini, pihak yang lain itu akan menyesuaikan tingkah lakunya (match) dan akan tergantung (dependent) kepada pihak pertama. Tingkah laku ini dapat terjadi dalam empat situasi yang berbeda berdasarkan pada tujuannya sama tetapi respon berbeda. Si peniru mendapat ganjaran dengan melihat tingkah laku orang lain, si peniru membiarkan orang yang ditiru untuk melakukan tingkah laku balas terlebih dahulu. Kalau berhasil baru ditiru, dan dalam hal ganjaran terbatas (hanya untuk peniru atau yang ditiru), maka akan terjadi persaingan antara model dan peniru. Peniru akan menirukan tingkah laku model untuk mendapatkan ganjaran.

3. Tingkah laku salinan (copying), pada tingkah laku ini si peniru bertingkah laku atas dasar isyarat (berupa tingkah laku juga) yang diberikan oleh model.


(49)

Demikian juga, dalam tingkah laku salinan ini pengaruh ganjaran dan hukuman sangat besar terhadap kuat atau lemahnya tingkah laku tiruan. Dalam tingkah laku ini si peniru memperhatikan juga tingkah laku model di masa lalu maupun yang akan dilakukannya di masa datang. Perkiraan tentang tingkah laku model dalam kurun waktu yang relatif panjang ini akan dijadikan patokan oleh si peniru untuk memperbaiki tingkah lakunya sendiri di masa yang akan datang sehingga lebih sesuai dengan tingkah laku model. Dalam hubungan ini, peranan kritik penting sekali untuk lebih mempercepat proses penyalinan tingkah laku.

Dalam teori belajar sosial Bandura & Walters (dalam Sarwono, 2011: 27) menyatakan bahwa kalau seseorang melihat suatu rangsang dan ia melihat model bereaksi secara tertentu terhadap rangsang itu, maka dalam khayalan orang tersebut terjadi serangkaian simbol yang menggambarkan rangsang dari tingkah laku balas tersebut.

Rangkaian simbol-simbol ini merupakan pengganti hubungan rangsang balas yang nyata dan melalui asosiasi si peniru akan melakukan tingkah laku yang sama dengan tingkah laku model terlepas dari ada atau tidaknya rangsang. Proses asosiasi yang tersembunyi ini sangat dibantu oleh kemampuan verbal seseorang. Dalam proses ini tidak ada cara coba dan ralat berupa tingah laku nyata karena semuanya berlangsung secara tersembunyi dalam diri individah laku. Di sini yang terpenting adalah pengaruh tingkah laku model pada tingkah laku peniru yang menurut Bandura dan Walters (dalam Sarwono, 2011 : 27-28) ada tiga macam yaitu :


(50)

a. Efek modeling, dimana peniru melakukan tingkah laku-tingkah laku baru (melalui asosiasi-asosiasi) sehingga sesuai dengan tingkah laku model.

b. Efek menghambat dan menghapus hambatan, yaitu tingkah laku-tingkah laku yang tidak sesuai dengan tingkah laku model dihambat timbulnya, sedangkan tingkah laku-tingkah laku yang sesuai dengan tingkah laku model dihapuskan hambatan-hambatannya sehingga timbul tingkah laku-tingkah laku yang dapat menjadi nyata.

c. Efek kemudahan (fascilitation effects), di mana tingkah laku-tingkah laku yang sudah pernah dipelajari peniru lebih mudah muncul kembali dengan mengamati tingkah laku model.

2.4 Tinjauan tentang film

1. Film sebagai media komunikasi massa

Dalam undang-undang nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman, film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukan. Film merupakan media komunikasi massa, dimana salah satu perannya sebagai alat perantara yang menyampaikan pesan kepada khalayak, berupa sarana informasi, sebagai hiburan dan media pertukaran budaya. Film dapat dikategorikan sebagai media komunikasi massa, hal ini dikarenakan memenuhi karakter yang disebutkan Nurudin (2007 : 19-32) sebagai berikut : a. Komunikatornya melembaga

Komunikator dalam komunikasi massa bukan satu orang tetapi kumpulan orang. Artinya, gabungan antar berbagai macam unsur dan bekerja satu sama


(51)

lain dalam sebuah lembaga. Lembaga yang dimaksud disini menyerupai sebuah sistem.

b. Komunikan bersifat heterogen, tersebar dan anonim,

c. Pesannya bersifat umum, artinya pesan dapat diterima oleh siapa saja dan dimana saja tanpa mengenal, usia, jenis kelamin dan suku bangsa.

d. Komunikasi berlansung satu arah,

e. Penyampai isi pernyataannya (pemutaran film) dilakukan pada waktu-waktu teratur yang telah ditentukan sebelumnnya,

f. Isi pesan mencakup berbagai aspek kehidupan manusia (ekonomi, sosial, budaya, politik, dan lain-lain),

2. Film sebagai realitas sosial

Pesan yang terkandung di dalam film memiliki makna tersendiri bagi masyarakat yang menontonnya. Film dapat membangun imajinasi penontonnya sehingga tidak jarang beberapa orang mengikuti hal-hal yang terdapat di dalam film. Para sineas membuat film dengan merepresentasikan kenyataan sehari-hari sedekat mungkin dengan kehidupan nyata. Proses representasi itu diawali dengan cara para pembuat film melihat masyarakatnya. Meskipun demikian, realitas yang tampil dalam film bukanlah realitas sebenarnya. Film hanya menghadirkan realitas semu. Bell Hooks (dalam Irwansyah, 2009 : 12-14) mengatakan yang diberikan film adalah re-imajinasi, versi buatan dari yang nyata. Memang terlihat seperti akrab dikenali, tapi sebenarnya dalam jagad yang beda dengan dunia nyata. Realitas semu yang disajikan oleh film yang begitu akrab dengan kehidupan kita sehari-hari, membuat kita kadang tidak terkontrol dan mengikuti hal-hal yang ada di dalamnya. Baik


(52)

dari tingkah laku, cara bicara, perkataan yang ada dalam film, adegan yang ditampilkan hingga barang-barang yang digunakan di dalam film. Dalam sebuah film terdapat dua unsur pembentuknya yaitu unsur naratif dan unsur sinematik. Kedua unsur ini saling berkesinambungan yang membentuk film hingga dapat dipahami oleh penonton.

Adapun beberapa jenis film didasarkan atas cara bertuturnya menurut Pratista (2008: 4-8) adalah :

1. Film dokumenter

Film dokumenter adalah film yang menyajikan kisah nyata di dalamnya tidak menciptakan sutau peristiwa atau kejadian namun merekam peristiwa yang sungguh-sunguh terjadi. Film dokumenter memiliki stuktur yang umumnya didasarkan oleh tema atau argumen dari sineasnya. Struktur bertutur film ini umumnya sederhana dengan tujuan agar memudahkan penonton untuk memahami dan mempercayai fakta yang disajikan. Pembuatan film ini digunakan untuk berbagai macam tujuan untuk menyebarkan informasi, pendidikan, pengetahuan, biografi, sosial, ekonomi dan politik (propaganda) bagi orang atau kelompok tertentu.

2. Film Fiksi

Film Fiksi adalah film yang menggunakan cerita rekaan atau imajinasi yang memiliki konsep pengadeganan yang telah dirancang sejak awal. Dalam ceritanya terdapat hukum kausalitas yang menarik penonton, biasanya memiliki karakter protagonis dan antagonis, masalah dan konflik, penutupan serta pola pengembangan cerita yang jelas. Film ini bersifat menghibur, contohnya seperti film Confessions of a shopaholic, Jurasic Park, dan sebagainya.


(53)

3. Film Eksperimental

Film eksperimental adalah film yang sangat dipengaruhi oleh insting subyektif sineas seperti gagasan, ide, emosi serta pengalaman batin mereka. Film eksperimental umumnya tidak bercerita tentang apapun bahkan kadang menentang logika sebab-akibat, berbentuk abstrak dan tidak mudah dipahami. Ini disebabkan para sineasnya menggunakan simbol-simbol personal yang mereka ciptakan sendiri.

Adapun Pratista menerangkan (2008 : 105-106) dimensi jarak kamera terhadap obyek dapat dikelompokkan adalah

1. Extreme Long shot

Merupakan jarak kamera yang paling jauh dari obyeknya. Wujud fisik manusia nyaris tidak nampak. Teknik ini umumnya untuk menggambarkan sebuah obyek yang sangat jauh atau panorama yang luas.

2. Long Shot,

Pada jarak ini tubuh fisik manusia tampak jelas namun latar belakang masih dominan. Jarak ini sering digunakan sebagai establishing shot, yakni shot pembuka sebelum digunakan shot-shot yang berjarak lebih dekat.

3. Medium Long Shot,

Pada jarak ini tubuh manusia terlihat dari bawah lutut sampai ke atas, tubuh fisik manusia dan lingkungan sekitar relatif seimbang.

4. Medium Shot

Pada jarak ini memperlihatkan tubuh manusia dari pinggang ke atas, gestur serta ekspresi wajah mulai tampak. Sosok manusia mulai dominan dalam frame.


(54)

5. Medium Close-up

Jarak ini memperlihatkan tubuh manusia dari dada ke atas. Sosok tubuh manusia mendominasi frame dan latar belakang tidak lagi dominan. Adegan percakapan normal biasanya menggunakan jarak medium close up.

6. Close up

Teknik ini mampu memperlihatkan ekspresi wajah dengan jelas serta gestur yang mendetail seperti wajah, tangan, kaki, atau obyek kecil lainnya. Biasanya digunakan untuk adegan dialog yang lebih intim.close up juga memperlihatkan sangat mendetil sebuah benda tau obyek.

7. Extreme Close up

Jarak ini mampu memperlihatkan lebih mendetail bagian dari wajah, seperti telinga, mata, hidung, dan lainnya atau bagian dari sebuah obyek. Jarak ini digunakan sesuai kebutuhan, tuntutan serta seleranya.

2.5Kerangka Pikir

Hadirnya iklan, diskon besar-besaran dengan nilai bunga yang rendah dan kesempatan yang seolah tidak datang dua kali memicu orang untuk berperilaku konsumtif. Jika dilihat dari dekat maka kita akan mengetahui karakteristik, indikator orang berperilaku konsumtif, faktor-faktor yang mempengaruhinya dan bentuk dari perilaku konsumtif. Perilaku konsumtif yang ada di kehidupan nyata menarik minat para sineas untuk membuatnya ke dalam sebuah film. Meskipun di dalam film lebih banyak berisi realitas semu. Film yang menunjukkan perilaku konsumtif dan menampilkan realitas semu ialah film Confessions of a Shopaholic. Untuk mengetahui dan menjelaskan perilaku konsumtif yang terdapat pada film


(55)

Confessions of a Shopaholic, kita dapat menggunakan teori hermeneutika. Teori hermenutika adalah teori yang menafsirkan makna melalui teks, sehingga dengan menggunakan teori ini kita dapat menafsirkan teks melalui lingkaran hermeneutika yang mana untuk memahami makna teks melalui pemahaman keseluruhan dan pemahaman bagian. Pemahaman keseluruhan dan pemahaman bagian ini akan membedah dari adegan dan dialog yang menampilkan perilaku konsumtif sehingga dengan demikian akan tercipta pemahaman yang optimal yang menjadi kesimpulan dari perilaku konsumtif pada film Confessions of a Shopaholic. Kerangka pemikiran dari skripsi ini secara garis besar digambarkan melalui skema berikut:

Bagan 1. Kerangka Pikir Penelitian

Perilaku konsumtif

Confessions of a Shopaholic

Dialog yang mengandung unsur perilaku konsumtif

Adegan film yang mengandung

unsur perilaku konsumtif

Hermeneutika


(56)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif. Menurut Kriyantono (2012 : 69), jenis penelitian ini bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu. Penelitian ini untuk menggambarkan realitas yang sedang terjadi tanpa menjelaskan hubungan antarvariabel. Penelitian deskriptif ditujukan untuk mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, membuat perbandingan atau evaluasi dan menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang (Rakhmat, 2009 : 25).

Alasan peneliti menggunakan tipe penelitian ini karena tipe penelitian ini yang merupakan tipe yang paling tepat untuk mendapatkan makna yang tergambar dari perilaku konsumtif yang terdapat pada film Confessions of a Shopaholic.


(57)

3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hermeneutika. Hermeneutika adalah metode yang digunakan untuk menafsirkan makna dari suatu teks. Untuk dapat memahami makna teks, penulis mencoba menetapkan cara kerja lingkaran hermeneutika untuk mendapatkan makna yang optimal. Lingkaran hermeneutika ini bekerja dengan menggunakan pemahaman keseluruhan dan pemahaman bagian, yang mana pemahaman keseluruhan ini menentukan arti masing-masing bagian dan bagian-bagian tersebut secara bersama membentuk lingkaran. Suatu kata ditentukan artinya lewat arti fungsionalnya dalam kalimat keseluruhan, dan kalimat ditentukan maknanya lewat arti satu per satu kata yang membentuknya (Retnowati, 2013 : 30). Pada penelitian ini teks yang dimaksudkan adalah adegan dan dialog yang terdapat pada film Confessions of a shopaholic. Adegan yang terdapat pada film akan dibentuk menjadi sebuah deskripsi adegan. Deskripsi adegan tidak hanya menjelaskan tentang adegan yang terjadi tetapi juga menerangkan dialog atau narasi yang terdapat pada suatu adegan. Deskripsi adegan ini yang kemudian menjadi teks yang dapat dianalisis oleh peneliti.

Interpretasi pesan dengan menggunakan lingkaran hermeneutik dipecahkan secara dialektis, bertetangga dan bersifat spiral. Di mulai dari interpretasi menyeluruh yang bersifat sementara dan kemudian dilanjutkan dengan menafsirkan bagian-bagiannya, begitu juga sebaliknya. Apabila pemahaman bagian tidak cocok dengan pemahaman keseluruhan dapat diatasi dengan menuju kembali salah satu diantaranya atau kedua-duanya, sehingga kita mencapai integrasi makna total dan makna bagian yang optimal (Retnowati, 2013 : 30-31).


(58)

3.3 Objek Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitiannya adalah dialog, adegan, latar waktu dan tempat yang mereprensentasikan perilaku konsumtif yang terdapat pada film Confessions of a Shopaholic. Latar waktu dan tempat merupakan konteks yang menjadi suatu latar komunikasi yang dapat menjelaskan situasi dalam tiap adegan yang kemudian memudahkan peneliti dalam menerangkan suatu perilaku yang terjadi pada film.

3.4 Fokus Penelitian

Fokus pengamatan dalam penelitian ini yaitu representasi bentuk perilaku konsumtif pada film Confessions of a Shopaholic berupa adegan, dialog, latar waktu dan tempat.

3.5 Definisi Konsep

Definisi konsep merupakan batasan terhadap masalah-masalah yang akan diteliti sehingga tujuan dan arahnya tidak menyimpang. Adapun yang menjadi definisi konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Perilaku Konsumtif

Perilaku konsumtif merupakan tindakan yang dilakukan seseorang dalam mengonsumsi barang, dimana mengonsumsi barang yang tidak tuntas tetapi sudah mengonsumsi barang lain dengan barang yang sama namun, dengan merek yang berbeda dan hal ini dilakukan bukan berdasarkan kebutuhan melainkan, hanya untuk memuaskan keinginannya bahkan malah memaksakan diri untuk


(59)

mendapatkan barang tersebut dan pada akhirnya merasa menyesal karena tidak mampu mengontrol diri saat berbelanja.

2. Film

Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukan. Film merupakan media komunikasi massa, dimana salah satu perannya sebagai alat perantara yang menyampaikan pesan kepada khalayak, berupa sarana informasi, sebagai hiburan dan media pertukaran budaya.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu menggunakan teknik pengamatan terhadap bahan penelitian dengan cara mengumpulkan data yang kemudian dilakukan pengamatan dan pencatatan terhadap objek, yakni :

1. Observasi

Dalam penelitian ini, observasi yang akan dilakukan dengan menonton dan memperhatikan perilaku konsumtif baik dari perilaku, dialog maupun latar ruang yang digunakan tokoh pemerannya secara berulang-ulang untuk mendapatkan makna yang menunjukan perilaku konsumtif.


(60)

2. Dokumentasi

Dalam penelitian ini bentuk dokumentasinya yaitu dengan mengelompokkan konstruk bahasa berupa kata atau kalimat yang mereprensentasikan perilaku konsumtif yang terdapat pada film Confessions of a Shopaholic baik secara verbal maupun non verbal.

3.7 Sumber Data

Dalam penelitian ini sumber data terbagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder, sebagai berikut :

1. Data primer

Dalam hal ini yang menjadi data primer dalam penelitian ini berupa dokumentasi digital film Confessions of a Shopaholic pada situs film.

2. Data sekunder

Dalam hal ini data sekunder berupa buku, internet, karya ilmiah seperti jurnal penelitian, skripsi, tesis yang berkaitan dengan analisa penelitian perilaku konsumtif.

3.8 Teknik Analisis Data

Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis interaktif Miles dan Huberman (dalam Rohendi, 1992 : 32). Teknik analisis data ini bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam menganalisis data mengenai perilaku konsumtif yang ditemukan dalam film Confessions of a Shopaholic terdiri dari :


(61)

1. Reduksi data

Pada tahap ini akan dilakukan proses pemilihan, pengelompokkan dan meringkas data yang terdapat pada objek penelitian dengan cara menonton film secara berulang-ulang, setelah peneliti memperoleh data, maka data tersebut terlebih dahulu akan dikaji kelayakannya dengan memilih adegan-adegan yang mengadung perilaku konsumtif.

2. Penyajian data

Pada tahap ini adegan-adegan yang mengandung perilaku konsumtif akan diuraikan dengan metode hermeneutika dan teori disonansi kognitif, sekumpulan informasi yang telah tersusun ini yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

3. Verifikasi dan kesimpulan

Pada tahap ini akan dilakukan verifikasi dari data yang telah diperoleh selama penelitian lalu diambil kesimpulan yang bersifat sementara dan akan mengalami perubahan apabila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat dari perilaku konsumtif yang terdapat pada adegan-adegan. Namun, bila kesimpulan perilaku konsumtif telah di dukung oleh bukti yang valid dan konsisten maka kesimpulan yang dikemukakan adalah kesimpulan yang kredibel.


(62)

BAB 4

GAMBARAN UMUM

4.1 Profil Film Confessions of a Shopaholic

Objek penelitian ini adalah film yang mengandung unsur perilaku konsumtif yang diproduksi di Amerika pada tahun 2009, yaitu film Confessions of a Shopaholic. Film Confessions of a Shopaholic adalah film yang diadaptasi dari novel yang laris penjualannya di Amerika dan masuk dalam daftar Newyork Times Best Selling Author yang karang oleh Sophie Kinsella. Film ini merupakan gabungan dari dua novel dengan judul The Secret Dreamworld of a Shopaholic terbit pada tahun 2000 dan Shopaholic Abroad 2001 yang diterbitkan di Inggris sedangkan dalam versi Amerika judul kedua novel tersebut berubah menjadi Confessions of a Shopaholic terbit pada tahun 2001 dan Shopaholic Takes Manhanttan terbit pada tahun 2002.

Melihat kesuksesan novel ini membuat Jerry Bruckhmeir ingin membuatnya dalam bentuk film. Jika dilihat dari dari sisi novel dan film terdapat perbedaan cerita tetapi intisari cerita yang terdapat pada novel dan film dapat dikatakan masih sama. Film ini berhasil masuk dalam jajaran 10 besar film Box Office dan mampu meraup keuntungan hingga US$38 juta lebih.


(63)

Gambar 1. Poster Film Confessions of a Shopaholic 4.1.1 Data produksi film

Judul : Confessions of a Shopaholic Sutradara : PJ. Hogan

Produser : Jerry Bruckheimer Produksi : Touchstone Picture Durasi :104 menit 63 detik Tanggal rilis : 18 februari 2009 Musik : James Newton Howard Negara : Amerika Serikat

Bahasa : Inggris

Adaptasi Novel : The Secret Dreamworld of a Shopaholic dan Shopaholic Abroad


(64)

4.1.2 Profil rumah produksi

Gambar 2. Logo Touchstone pictures

Touchstone Pictures adalah perusahaan film Amerika yang beroperasi di bawah naungan Walt Disney Company. Perusahaan ini berdiri pada tahun 1984 oleh CEO Disney, Ron W. Miller dengan nama Touchstone films. Film yang diproduksi oleh Touchstone bertemakan lebih dewasa dan gelap dibandingkan produk Disney lainnya.Film pertama yang diproduksi dan meraih keuntungan besar yaitu film Splash. Splash termasuk dalam film yang mengandung konten dewasa dan bahasa yang kurang pantas sehingga rating ini adalah PG atau memerlukan pengawasan dewasa untuk ditonton. Kemudian pada tahun 1990 studio ini merilis film barunya Arachnophobia.

Beberapa film yang cukup terkenal di pasar industri film dunia yaitu Splash, Pretty Woman, Dead Poets Society, Sister Act, The Insider, Ernest Goes to Camp, The Nightmare Before Christmas, Who Framed Roger Rabbit, Con Air, Rushmore, The Royal Tenenbaums, Good Morning Vietnam, The Proposal, The Help, War Horse, and Lincoln, dan satu film terlaris yang pernah di rilis, yaitu Armageddon (http://profil.merdeka.com/mancanegara/t/touchstone-pictures. Diakses tanggal 8 September 2014 pukul 22.26 wib).


(1)

55

Pada Film Confessions of a Shopaholic latar waktu yang digunakan sekitar tahun 1980-an dan 2000-an. Latar waktu tahun 1980-an tampak saat Rebecca kecil yang takjub dengan penggunaan kartu kredit dan pada tahun 2000-an terlihat pada masa Rebecca telah dewasa serta menikmati kecanggihan teknologi dengan menggunakan kartu kredit.


(2)

BAB 6 KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada film Confessions of a Shopaholic mengenai perilaku konsumtif dengan menggunakan metode hermeneutika, maka penulis memiliki kesimpulan sebagai berikut :

1. Perilaku konsumtif yang ada film Confessions of a Shopaholic, di mulai dari iklan dan konformitas, kedua hal ini mampu mempengaruhi orang untuk konsumtif. Iklan dan konformitas menjadi tahap awal seseorang menjadi konsumtif, iklan mempunyai andil besar dalam mempengaruhi seseorang untuk berperilaku konsumtif karena kemampuannya mempersuasi, mensugesti orang dan keinginan dalam diri seseorang untuk sama dengan orang lain maka terciptalah konformitas.

2. Perilaku konsumtif disebabkan oleh berbelanja tanpa direncanakan, memaksakan diri untuk berbelanja padahal hutang menumpuk dan banyak barang yang hanya dipakai sekali atau tidak pernah sama sekali. Hal ini mengakibatkan ketidakmampuan dalam mengambil keputusan yang tepat saat berbelanja.


(3)

92

3. Dalam perilaku konsumtif terjadi karena adanya pergeseran kebutuhan, umumnya kebutuhan itu dimulai dari kebutuhan dasar menuju kebutuhan tingkat atas tetapi yang malah terjadi kebutuhan itu memutar. Diawali kebutuhan harga diri yang berada tingkat atas yang bertujuan menunjang kebutuhan dasar lalu setelah itu naik kebutuhan selanjutnya.

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dianalisis, maka saran yang dapat peneliti berikan terkait perilaku konsumtif pada film Confessions of a Shopaholic antara lain sebagai berikut :

1. Bagi masyarakat agar lebih bijak dalam menggunakan kartu kredit. Tidak ada salah dalam menggunakan kartu kredit tetapi dapat menjadi salah saat seseorang tidak dapat bijak dalam menggunakannya. Apalagi Indonesia sebagai pangsa pasar bebas dunia. Perlunya bersikap bijak dalam menggunakan kartu kredit dan berbelanja.

2. Bagi sineas perfilman Indonesia sebaiknya mulai membuat film yang bertemakan berperilaku konsumtif, bukan bertujuan mengajak masyarakat menjadi konsumtif tetapi mengajarkan pada masyarkat untuk lebih mencintai produk dalam negeri dan bijak dalam mengonsumsi sesuatu.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Irwansyah, Ade. 2009. Seandainya Saya Kritikus Film: Pengantar Menulis Kritik Film. Homerian Pustaka.Yogyakarta.

Kriyantono, Rachmat. 2012. Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Riset Media, Public Relation, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. Kencana Prenada Media. Jakarta.

Miles, M.B. Dan Huberman, A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif. Rohendi, Tjejep. UI Press. Jakarta.

Mulyono, Edi. 2012. Belajar Hermeneutika. Ircisod. Yogyakarta. Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Rajawali. Jakarta.

Pratista, Himawan. 2008. Memahami Film. Homerian Pustaka. Yogyakarta. Raharjo, Mudjia. 2008. Dasar-dasar Hermeneutika : Antara Intensionalisme dan

Gadamerian. Ar-ruzz Media. Yogyakarta.

Rakhmat, Jalaluddin. 2008. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung. Sarwono, Sarlito Wirawan. 2012. Psikologi Sosial. Salemba Humanika. Jakarta. ____________________. 2011. Teori-Teori Psikologi Sosial. Raja Grafindo

Persada. Jakarta.

Setiadi, Nugroho J. 2003. Perilaku Konsumen : Konsep dan Implikasi untuk Strategi dan Penelitian Pemasaran. Kencana. Yogyakarta.

Suyanto, Bagong. 2013. Sosiologi Ekonomi : Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat Post-Modernisme. Kencana Prenada Media. Jakarta.

Jurnal :

Triyaningsih, SL. 2011. Dampak Online Marketing Melalui Facebook Terhadap Perilaku Konsumtif Masyarakat. Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 11 No.2. 172-177 hlm.


(5)

Darmaji, Agus. 2013. Dasar-Dasar Ontologis Pemahaman Hermeneutik Hans Georg Gadamer. UIN Syarifah Hidayatullah Jakarta. Refleksi Vol. 13 No. 4. 477-502 hlm.

Skripsi :

Aprilia, Dewi. 2013. Analisis Sosiologis Perilaku Konsumtif Mahasiswa: (Studi Pada Mahasiswa Fisip Universitas Lampung). Universitas Lampung. Bandarlampung.

Hotpascaman. 2010. Hubungan Antara Perilaku Konsumtif dengan Konformitas Pada Remaja. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Maktub, Tiara Wirasti. 2012. Hubungan pendapatan, Pendidikan, dan Pekerjaan dengan Perilaku Konsumtif dalam Berbelanja Bagi Wanita: ( Studi di Kelurahan Gedung Meneng, Kecamatan Rajabasa). Universitas Lampung. Bandarlampung.

Retnowati, Esti. 2013. Kritik Sosial Dalam Film Indonesia: (Analisis Potret Kemiskinan dalam Film Laskar Pelangi dan Alangkah Lucunya Negeri Ini).Universitas Lampung. Bandarlampung.

Internet :

Bank Indonesia. Peraturan Bank Indonesia NOMOR: 14 / 2 /PBI/ 2012 Tentang Perubahan atas Peraturan bank indonesia nomor 11/11/pbi/2009 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu

http://www.bi.go.id/id/peraturan/sistem-pembayaran/Documents/9ccbe574f04d4fc2aec9db3ed57cc77dpbi_140213.p df diakses pada 27 agustus 2014 pada pukul 16.25 wib.

Carnevale, Rob. 2009. Confessions of Shopaholic- Jerry Bruckheimer. http://www.indielondon.co.uk/Film-Review/confessions-of-a-shopaholic-jerry-bruckheimer-interview. Diakses pada hari jumat tanggal 12 september 2014 pada pukul 14.31 wib.

Chika. 2009. Sana-Sini: Crocs, Sepatu Mulut Buaya. http://kabarinews.com/sana-sini-crocs-sepatu-mulut-buaya/33297. 3 Juli 2009. Diakses Pada Hari Rabu Tanggal 9 Oktober 2013 Pukul 22.00 wib.

‘Confessions of a Shopaholic’ Mengatasi Kecanduan Belanja.

http://www.kapanlagi.com/film/internasional/confessions-of-a-shopaholic-mengatasi-kecanduan-belanja.html. 12 Maret 2009. Diakses Pada Hari Selasa Tanggal 12 November 2013 Pukul 11.00 wib.

Pranata, Anugrah Yogi. 2013. Biografi Touchstone Picture. http://profil.merdeka.com/mancanegara/t/touchstone-pictures/. Diakses pada hari senin tanggal 8 September 2014 pukul 22.26 wib.


(6)

Setiana, Rika. 2013. Waspadai Gaya Hidup Konsumtif dan Shopaholic!. http://mjeducation.com/waspadai-gaya-hidup-konsumtif-dan-shopaholic/. 20 April 2013. Diakses pada hari Senin, tanggal 1 September 2014 pukul 11.21wib.

Undang Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman. http://www.lsf.go.id/film.php?module=peraturan&sub=detail&id=9. 12 April 2010. Diakses pada hari sabtu tanggal 18 januari 2014 pukul 20.00 wib.

Wardalisa. 2005. Teori Abraham Maslow.

http://wardalisa.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/folder/0.0. Diakses pada hari Senin 22 Desember 2014 pukul 21.00 wib.


Dokumen yang terkait

An Analysis Of Main Character In Confessions Of A Shopaholic Novel By Sophie Kinsella

15 136 31

Shoping behavior as the reflection of the hierarchy of human needs on the main character in the film confessions of a shopaholic

2 7 91

Representasi Hedonisme Dalam Film Confessions Of A Shopaholic (Analisis Semiotika Roland Mengenai representasi Hedonisme Dalam Film Confenssions Of A Shopaholic Karya P.J Hogan)

10 75 96

Representasi Hedonisme Dalam Film Confessions Of A Shopaholic (Analisis Semiotika Roland Mengenai representasi Hedonisme Dalam Film Confenssions Of A Shopaholic Karya P.J Hogan)

0 16 96

PENDAHULUAN Representasi Fashion Sebagai Kelas Sosial Dalam Film (Studi Semiologi Representasi Fashion Sebagai Kelas Sosial Dalam Film The Devil Wears Prada Dan Confessions Of A Shopaholic).

1 5 46

REPRESENTASI FASHION SEBAGAI KELAS SOSIAL DALAM FILM Representasi Fashion Sebagai Kelas Sosial Dalam Film (Studi Semiologi Representasi Fashion Sebagai Kelas Sosial Dalam Film The Devil Wears Prada Dan Confessions Of A Shopaholic).

0 2 16

An analysis of tag questions and rising intonation on declaratives in confessions of a shopaholic movie.

0 1 40

An analysis of tag questions and rising intonation on declaratives in confessions of a shopaholic movie

0 0 38

Shopaholic as the Impact of Modernization in a Metropolitan City as Revealed in Confessions of a Shopaholic Film.

0 0 1

Gaya Hidup Shopaholic sebagai Bentuk perilaku Konsumtif pada Kalangan Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta.

12 37 161