GAMBARAN HISTOLOGIS TUBULUS PROKSIMAL GINJAL MENCIT (Mus musculus L.) JANTAN YANG TERPAPAR KEBISINGAN

(1)

GAMBARAN HISTOLOGIS TUBULUS PROKSIMAL GINJAL MENCIT (Mus musculus L.) JANTAN YANG TERPAPAR KEBISINGAN

Oleh

DITA MARDHANIA PUTRI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA SAINS

Pada Jurusan Biologi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

`

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(2)

ABSTRAK

GAMBARAN HISTOLOGIS TUBULUS PROKSIMAL GINJAL MENCIT (Mus musculus L.) JANTAN YANG TERPAPAR KEBISINGAN

Oleh

Dita Mardhania Putri

Kebisingan merupakan bunyi yang tidak diinginkan dari suatu kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran histologis tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) jantan yang terpapar kebisingan. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2013 di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung. Pembuatan preparat histologis ginjal dilaksanakan di Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional III. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 25 ekor mencit (Mus musculus L.) jantan, dibagi atas 5 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor mencit yang diberi perlakuan pemaparan yaitu 6 jam/hari, 8 jam/hari, 10 jam/hari,dan 12 jam/hari dengan masing-masing kelompok terdapat 5 ulangan selama 21 hari. Parameter yang diamati adalah derajat kerusakan struktur histologis tubulus proksimal ginjal. Data pengamatan dihitung presentase kerusakannya dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemaparan 85-95 dB pada perlakuan 12 jam/hari menyebabkan kerusakan yang tinggi seperti perdarahan intertubular sebesar 95 %, nekrosis sebesar 63,38 %, piknosis sebesar 52,73 %, dan kongesti sebesar 51,66%. Pada perlakuan 10 jam/hari menunjukan kerusakan kariolisis sebesar 33,16 % yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Terjadinya kariolisis tidak ditemukan pada kontrol dan perlakuan 6 jam/hari.


(3)

(4)

(5)

DAFTAR ISI Halaman

ABSTRAK ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

SANWACANA ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTARGAMBAR ... v

DAFTARTABEL ... vi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

C. Manfaat Penelitian ... 3

D. Kerangka Pikir ... 3

E. Hipotesis ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebisingan ... 6

1. Definisi Kebisingan ... 6

2. Jenis-jeniskebisingan... 7

3. Tingkat Kebisingan ... 7

4. Efek-efekKebisingan ... 9

5. Baku Tingkat Kebisingan ... 10


(6)

III. METODE KERJA

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

B. Alat dan Bahan ... 22

C. Variabel Penelitian dan Definisi Oprasional ... 23

D. Rancangan Percobaan ... 25

E. Pelaksanaan Penelitian ... 26

F. Parameter Yang Diamati ... 30

G. Diagram Alir Penelitian ... 31

IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengamatan ... 32

1. GambaranHistologisTubulusProksimalGinjalMencit (Musmusculus L.) jantan ... 32

2. PresentaseKerusakanHistologisTubulusProksimalGinjal Mencit (Musmusculus L.) jantan ... 37

B. Pembahasan ... 42

1. GambaranHistologisTubulusProksimalGinjalMencit (Musmusculus L.) jantan ... 42

2. PresentaseKerusakanHistologisTubulusProksimalGinjal Mencit (Musmusculus L.) jantan ... 45

V.KESIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 48

B. Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(7)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Bising secara Ilmu Kesehatan Masyarakat adalah suara yang tidak diharapkan dan tidak menyenangkan yang menggangu, atau suara yang diinginkan namun berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan. Bising dikategorikan sebagai salah satu jenis polutan. Bising dapat kita temui juga dalam kehidupan kita sehari-hari. Tidak hanya bising di tempat kerja, tetapi dapat juga bersumber dari alat rumah tangga, alat elektronik, pemutar musik, pusat perbelanjaan sampai tempat bermain anak-anak.

Kebisingan mempengaruhi kesehatan manusia baik secara fisik maupun psikologis. Pada tahun 1993, WHO mengakui efek kesehatan penduduk yang berasal dari kebisingan, antara lain ketergangguan pola tidur, kardiovaskuler, sistem pernafasan, psikologis, fisiologis, dan pendengaran. Hubungan antara kebisingan dengan kemungkinan timbulnya gangguanterhadap kesehatan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu intensitaskebisingan, frekuensi kebisingan, dan lamanya seseorang berada di tempat ataudi dekat bunyi tersebut, baik dari hari ke hari ataupunseumur hidupnya.


(8)

Bagi kesehatan manusia, kebisingan dapat menimbulkan gangguan pada sistem pendengaran dan pencernaan, stress, sakit kepala, peningkatan tekanan darah serta dapat menurunkan prestasi kerja (Bunde, 2012).

Kebisingan dapat mempengaruhi saraf simpatik yang muncul karna tekanan fisik dan kimia (Dejoy, 1984).Stress yang terjadi akibat bising mengarah kepeningkatan hormon stress termasuk epineprin, norepineprin dan adrenal steroid yang menyebabkan peningkatan tekanan darah pada arteri. Dengan demikian, membran disekitar kapsula Bowman dan tubulus ginjal menunjukkan reaksi penyusutan sampai pada tinggkat kerusakan tubulus ginjal

(Andren, Hannsson,Bjorkman, Jonsson, Brog, 1979).

Ginjal mencit bertekstur lembut, berwarna coklat kemerahan, berada di dorsal dinding tubuh, dikelilingi jaringan lemak dan termasuk unilobular dengan papilla tunggal. Ginjal kanan normalnya berada lebih anterior dari pada ginjal kiri dan pada jantan lebih berat dibandingkan pada yang betina (Seely, 1999).

Ginjal adalah organ yang mengatur komposisi kimia dari lingkungan dalam, melalui suatu proses majemuk yang melibatkan filtrasi, absorpsi aktif, absorpsi pasif dan sekresi. Selain itu ginjal juga mengatur tekanan darah dan volume darah dalam tubuh. Ginjal juga rawan terhadap zat-zat kimia. Oleh karena itu, zat kimia yang terlarut banyak berada di dalam ginjal diduga akan mengakibatkan kerusakan sel.


(9)

B.Tujuan

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu untuk mengetahui gambaran histologis tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) jantan yang terpapar kebisingan.

C.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah dan gambaran umum bagi masyarakat mengenai dampak kebisingan terhadap kesehatan khususnya sistem ekskresi melalui analisis gambaran histologis tubulus proksimal ginjal mencit jantan, agar selanjutnya dapat diteliti pada hewan tingkat tinggi lainnya.

D.Kerangka Pikir

Taraf kebisingan juga telah diatur berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No: KEP-51/MEN/1999. Dalam peraturan ini, kebisingan diartikan sebagai semua suara yang tidak dikehendaki, yang bersumber dari alat produksi atau alat kerja, yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Jadi pada prinsipnya, bising atau kebisingan adalah suara yang mengganggu atau suara yang tidak dikehendaki oleh pendengarnya. Bising atau tidaknya suara tidak hanya ditentukan oleh keras-lemahnya suara itu, tetapi juga selera atau persepsi seseorang terhadap bunyi tersebut.


(10)

Keterpaparan terhadap kebisingan dan getaran yang melebihi nilai ambang

batas pada kurun waktu yang cukup lama akan berakibat pada gangguan pendengaran ringan dan jika terjadi terus menerus akan menyebabkan ketulian permanen. Selain itu kebisingan juga diduga menimbulkan gangguan emosional yang meningkatkan tekanan darah. Energi kebisingan yang tinggi mampu juga menimbulkan efek viseral, seperti perubahan frekuensi jantung, perubahan tekanan darah dan tingkat pengeluaran keringat, dapat juga terjadi efek psikososial dan psikomotor ringan jika seseorang berada di lingkungan yang bising. Demikian juga dengan getaran yang dapat menimbulkan efek vaskuler dan efek neurologik, meskipun belum ada penelitian atau pengujian yang cukup definitif getaran diduga dapat menyebabkan perubahan atau peningkatan tekanan darah yang pada tingkat tertentu dapat mengakibatkan hipertensi

(Harrington dan Gill, 2005).

Ginjal dari hewan domestik dapat diklasifikasikan sebagai unilobular (kucing, anjing, ruminansia kecil, dan kuda) dan multilobular (babi)

(Maxie, 1993). Pada hewan domestik seperti kucing, anjing, domba dan kambing mempunyai bentuk yang bervariasi, licin dan menyerupai kacang merah, sedangkan pada babimemanjang dan gepeng, dan menyerupai bentuk jantung pada kuda serta menyerupai kerang dan oval pada sapi (Henrikson, 1998).

Ginjal meregulasikan volume, komposisi ionik, dan membuang zat yang tidak berguna dari darah. Jadi tidak mengherankan bila ginjal disuplai oleh banyak aliran darah (TortoradanDerrickson, 2006).


(11)

Ginjal menerima darah dari arteri renalis (Martini, 2004) dan menerima sekitar 20-25% cardiac output (Maxie, 1993).Pada penelitian ini digunakan hewan coba mencit. Pemilihan hewan ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan antara lain mencit adalah hewan yang mudah berbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik (Malole dan Pramono, 1989). Selain itu mencit juga mempunyai siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak dan mudah ditangani (Moriwaki,Shiroishi dan Yonekawa, 1994). Mencit termasuk hewan bertulang belakang yang memiliki urutan taksonomi yang dekat dengan manusia yaitu mamalia (hewan menyusui).Dengan adanya efek dari kebisingan, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah kebisingan dapat mempengaruhi ginjal mencit dengan tolok ukur morfologi normal ginjal.

E.Hipotesis

Paparan kebisingan pada mencit (Mus musculus L.) dapat mengakibatkan kerusakan pada histologis tubulus proksimal ginjal mencit


(12)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Kebisingan

1. Definisi kebisingan

Menurut Slamet (2009), bising adalah campuran dari berbagai suara yang tidak dikehendaki ataupun yang merusak kesehatan, kebisingan merupakan salah satu penyebab penyakit lingkungan yang penting. Kebisingan sering digunakan sebagai istilah untuk menyatakan suara yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh kegiatan manusia atau aktifitas-aktifitas alam.

Menurut surat edaran Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi Nomor SE 01/Men/1978: kebisingan ditempat kerja adalah semua bunyi-bunyi atau suara-suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat produksi di tempat kerja (Suheryanto, 2000).

Banyak pendapat yang mengemukakan tentang definisi kebisingan seperti yang tertulis dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 718/Menkes/Per/XI/1987: Kebisingan adalah terjadinya bunyi yang tidak diinginkan sehingga mengganggu atau dapat membahayakan kesehatan. Bising ini merupakan kumpulan nada-nada dengan bermacam-macam intensitas yang tidak diingini (DirjenP2M dan PLP Depkes RI, 1993).


(13)

2. Jenis-jenis Kebisingan

Suma’mur (1993) mengemukakan bahwa selain dibedakan menurut

tingkatannya, kebisingan juga dibedakan menurut jenisnya sebagai berikut: 1. Kebisingan kontinyu yaitu kebisingan dengan spectrum berfrekuensi luas

misalnya: suara yang timbul oleh kompresor, kipas angin, dapur pijar serta spektrum yang berfrekuensi sempit contohnya suara gergaji sirkuler, katup gas.

2. Kebisingan terputus-putus misalnya suara lalulintas, suara pesawat udara yang tinggal landas.

3. Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise) seperti pukulan martil, tembakan senapan, ledakan meriam dan lain-lain.

3. Tingkat Kebisingan

Karena ada kisaran sensitivitas, telinga dapat mentoleransi bunyi-bunyi yang lebih keras pada frekuensi yang lebih rendah dibanding pada frekuensi tinggi. Kisaran kurva-kurva pita oktaf dikenal sebagai kurva tingkat kebisingan

(NR = noise rating) pernah dibuat untuk menyatakan analisis pita oktaf yang dianjurkan pada berbagai situasi. Kurva bising yang diukur yang terletak dekat di atas pita analisis menyatakan NR kebisingan tersebut


(14)

Menurut SK Dirjen P2M dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman

Departemen Kesehatan RI Nomor 70-1/PD.03.04.Lp, (Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Kebisingan yang Berhubungan dengan Kesehatan Tahun 1992), tingkat kebisingan diuraikan sebagai berikut:

1. Tingkat kebisingan sinambung setara (Equivalent Continuous Noise Level = Leq) adalah tingkat kebisingan terus menerus (steady noise) dalam ukuran dBA, berisi energi yang sama dengan energi kebisingan terputus- putus dalam satu periode atau interval waktu pengukuran. 2. Tingkat kebisingan yang dianjurkan dan maksimum yang diperbolehkan

adalah rata-rata nilai modus dari tingkat kebisingan pada siang, petang dan malam hari.

3. Tingkat ambient kebisingan (Background noise level) atau tingkat latar belakang kebisingan adalah rata-rata tingkat suara minimum dalam keadaan tanpa gangguan kebisingan pada tempat dan saat pengukuran dilakukan, yang jika diambil nilainya dari distribusi statistik adalah


(15)

4. Efek-efek Kebisingan

Dampak kebisingan di suatu daerah besar pengaruhnya bagi kesehatan dan kenyamanan hidup masyarakat, hewan ternak maupun satwa liar dan gangguan terhadap ekosistem alam. Bagi kesehatan manusia, kebisingan dapat menimbulkan gangguan pada sistem pendengaran dan pencernaan, stress, sakit kepala, peningkatan tekanan darah serta dapat menurunkan prestasi kerja (Gunarwan, 1992).

Dampak negatif yang timbul sebagai akibat dari kebisingan adalah efek

kesehatan dan non kesehatan. Bunyi mendadak yang keras secara cepat diikuti oleh reflek otot di telinga tengah yang akan membatasi jumlah energi suara yang dihantarkan ke telinga dalam. Meskipun demikian di lingkungan dengan keadaan semacam itu relatif jarang terjadi. Kebanyakan seseorang yang terpajan pada kebisingan mengalami pajanan jangkalama, yang mungkin intermiten atau terus menerus. Transmisi energi seperti itu, jika cukup lama dan kuat akan merusak organ korti dan selanjutnya dapat mengakibatkan ketulian permanen (Harrington dan Gill, 2005).

Secara umum telah disetujui bahwa untuk amannya, pemaparan bising selama 8 jam perhari, sebaiknya tidak melebihi ambang batas 85 dBA. Pemaparan kebisingan yang keras selalu di atas 85 dBA, dapat menyebabkan ketulian sementara. Biasanya ketulian akibat kebisingan terjadi tidak seketika sehingga pada awalnya tidak disadari oleh manusia. Baru setelah beberapa waktu terjadi keluhan kurang pendengaran yang sangat mengganggu dan dirasakan sangat merugikan.


(16)

Pengaruh-pengaruh kebisingan selain terhadap alat pendengaran dirasakan oleh para pekerja yang terpapar kebisingan keras mengeluh tentang adanya rasa mual, lemas, stres, sakit kepala bahkan peningkatan tekanan darah

(Pulat, 1992).

Gangguan kesehatan selain gangguan pendengaran biasanya disebabkan karena energi kebisingan yang tinggi mampu menimbulkan efek viseral, seperti perubahan frekuensi jantung, perubahan tekanan darah, dan tingkat pengeluaran keringat. Sebagai tambahan, ada efek psikososial dan psikomotor ringan jika dicoba bekerja di lingkungan yang bising

(Harrington dan Gill,2005).

5. Baku Tingkat Kebisingan

Nilai ambang batas kebisingan adalah intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima oleh manusia tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu yang cukup lama/terus menerus, selanjutnya ditulis NAB. Penting untuk diketahui bahwa di dalam menetapkan standar NAB pada suatu level atau intensitas tertentu, tidak akan menjamin bahwa semua orang yang terpapar pada level tersebut secara terus menerus akan terbebas dari gangguan pendengaran, karena hal itu tergantung pada respon masing-masing individu (Keputusan MENLH, 1996). Beberapa negara telah membuat ketentuan tentang NAB dalam undang- undang, seperti di Amerika Serikat, Inggris, Jerman Barat, Yugoslavia dan Jepang menetapkan


(17)

nilai ambang batas 90 dBA, Belgia dan Brazilia 80 dBA, Denmark, Finlandia, Italia, Swedia, Switzerland dan Rusia 85 dBA (Suheryanto, 2000).

Di Indonesia nilai ambang batas kebisingan ditetapkan 85 dBA berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi dan Koperasi No. 1/1978. Baku tingkat kebisingan yang diperuntukkan kawasan/lingkungan kegiatan sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan No. KEP-48/MENLH/11/1996 adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Baku Tingkat Kebisingan

PERUNTUKAN KAWASAN/ TINGKAT KEBISINGAN dB(A)

LINGKUNGAN KEGIATAN a. Peruntukan Kawasan

1. Perumahan dan Pemukiman 55

2. Perdagangan dan Jasa 70

3. Perkantoran dan Perdagangan 65

4. Ruang Terbuka Hijau 50

5. Industri 70

6. Pemerintah dan Fasilitas Umum 60

7. Rekreasi 70

8. Khusus: - Bandar Udara - Stasiun Kereta Api

- Pelabuhan Laut 70

- Cagar Budaya 60

b. Lingkungan Kegiatan

1. Rumah sakit atau sejenisnya 55

2. Sekolah atau sejenisnya 55

3. Tempat ibadah atau sejenisnya 55

Sumber: Himpunan Peraturan di Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan disesuaikan dengan ketentuan Menteri Perhubungan Tahun 1996.


(18)

6. Mengukur Tingkat Kebisingan

Alat SLM (Sound Level Meter) adalah alat pengukur suara dengan metode kerjanya menangkap perubahan tekanan udara yang terjadi akibat adanya benda bergetar yang selanjutnya akan menggerakkan meter penunjuk pada SLM. Sedangkan alat yang digunakan untuk mengukur nilai ambang pendengaran adalah Audiometer. Nilai Ambang batas untuk kebisingan adalah 8 jam per hari terus menerus pada level tekanan 85 dB.

(Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 51/Men/1999).

B. Biologi Mencit (Mus musculus L.)

Mencit adalah hewan pengerat yang banyak terdapat disawah dan merupakan hama bagi petani. Mencit merupakan hewan percobaan yang sering digunakan dalam penelitian. Hewan ini dinilai cukup efisien dan ekonomis karena mudah dipelihara. Tidak memerlukan tempat yang luas, waktu kehamilan yang singkat dan banyak memiliki anak perkelahiran. Menurut Arrington (1972) taksonomi mencit adalah sebagai berikut:

Klasifikasi mencit

Kerajaan : Animalia Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Famili : Muridae

Genus : Mus


(19)

Ciri khas mencit yaitu kulit, rambut tidak berpigmen sehingga warnanya putih. Mencit lebih tahan lama terhadap penyakit dan lebih jinak. Semua hewan termasuk mencit dapat tumbuh lebih cepat pada waktu masih muda, kecepatan pertumbuhan semakin berkurang dengan bertambahnya umur dan akhirnya pertumhuhan terhenti. Hewan ini sering dijadikan hewan percobaan di laboratorium karena perkembang biakan hewan ini mudah dan cepat.

Hewan ini hidup di lingkungan yang lembab dengan intensitas cahaya yang kurang (Arrington, 1972).

Mencit (Mus musculus L.) adalah hewan pengerat (rodentia) yang cepat berbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetik cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik (Malole dan Pramono 1989). Selain itu, mencit juga mempunyai siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak dan mudah ditangani (Moriwaki, Shiroishi, Yonekawa, 1994). Hal-hal tersebut menjadi dasar pemilihan mencit sebagai hewan percobaan pada penelitian ini. Menurut Malole dan Pramono (1989), mencit yang paling sering digunakan di laboratorium untuk berbagai penelitian adalah mencit albino Swiss (Swiss albino mice). Gambar mencit disajikan pada Gambar 1. Perlakuan mencit secara halus akan mempermudah pengendaliannya, sebaliknya bila diperlakukan secara kasar akan menjadi agresif atau menggigit. Pada pencampuran antara pejantan baru dalam kelompok yang sudah stabil susunan hierarkinya, akan menyebabkan timbulnya perkelahian untuk menentukan pemimpin kelompok baru tersebut (Malole dan Pramono, 1989).


(20)

Gambar 1. Mencit (Mus musculus) (Bellows, 2005).

Mencit merupakan salah satu hewan nokturnal yang aktif pada malam hari, memiliki masa hidup satu sampai tiga tahun, dengan periode kehamilan 19-21 hari. Jumlah anak yang dihasilkan rata-rata enam ekor dan dapat pula mencapai 15 ekor. Usia dewasa hewan ini adalah lima minggu dan pada usia delapan minggu baik jantan maupun betina siap dikawinkan. Mencit biasa melakukan perkawinan kelompok, yang terdiri dari empat betina dengan satu jantan (Mangkoewidjojo,1998).

Sistem pencernaan pada mencit terdiri dari faring yang kemudian menuju ke cavum oris, usus halus (intestimum tenue), kolon yang dimulai dari rektum, pankreas serta hati. Hati sebagai kelenjar penghasil empedu yang tersimpan di dalam vesica fellea (kantung empedu). Semua organ-organ ini membentuk suatu sistem yang menjalankan suatu fungsi tertentu (Noor dan Mourad, 2010).

Hewan percobaan (experimental animal) adalah setiap hewan yang digunakan dalam penelitian-penelitian biologis maupun biomedis (Smith dan Mangkoewidjojo, 1998). Pada umumnya penggunaan hewan percobaan dapat diarahkan untuk dua tujuan. Pertama, untuk mempelajari tanggapan hewan itu sendiri. Kedua, pemakaian hewan sebagai alat untuk mempelajari asas-asas


(21)

tertentu (sebab-akibat, pengaruh kondisi tertentu). Sebenarnya, yang diinginkan adalah tanggapan yang terjadi pada manusia atau subjek tertentu, tetapi pemakaian subjek tersebut tidak mungkin dilakukan. Pemakaian hewan percobaan ini untuk penelitian biomedis (penelitian dengan menggunakan agen penyakit, penelitian biologi eksperimental) (Setijono, 1985).

C.Ginjal

1. Struktur dan Fungsi Ginjal

Ginjal berbentuk seperti kacang merah, dengan panjang antara 10-12 cm dan tebal 3,5-5 cm. Ukuran ginjal pada berbagai spesies ditentukan oleh jumlah nefron yang dimilikinya. Perubahan-perubahan pada ginjal yang terjadi di dalam glomeruli, tubuli, jaringan interstisial dan pada pembuluh darah glomeruli dapat dilihat Gambar 2. Perubahan yang degenerasi pada tubuli yang sering terlihat adalah degenerasi pada granuler, degenerasi perlemakan, dan nekrosis sel-sel tubulus. Salah satu fungsi ginjal yang pokok adalah mensekresi atau mengeluarkan zat-zat yang sudah tidak berguna

(Gunawijaya, 1994).

Ginjal juga mengatur pH, konsentrasi ion mineral, dan komposisi air dalam darah. Selain itu, ginjal juga mempertahankan pH plasma darah pada kisaran 7,4 melalui pertukaran ion hidronium (H3O) dan hidroksil (OH-). Akibatnya, urin yang akan dihasilkan dapat bersifat asam pada pH 5 atau alkalis pada pH 8 (Taslim, 2008).


(22)

Menurut Gartner dan Hiatt (2007), sel epitel tubulus ginjal secara normal berbentuk kuboid selapis dengan batas sel yang tidak jelas, sitoplasma eosinofilik bergranula dan inti sel besar, bulat, berbentuk sferis di tengah sel. Puncak-puncak sel yang menghadap ke lumen tubulus mempunyai mikrovili cukup panjang yang disebut brush border.

Gambar 2. Struktur ginjal mamalia (Kusumo,2007).

2. Struktur Histologis Ginjal

Ginjal adalah suatu organ yang secaras truktural kompleks dan berkembang untuk beberapa fungsi, diantaranya ekskresi produk sisa metabolisme, pengendalian air dan garam, pemeliharaan keseimbangan asam dan basa, serta sekresi berbagai hormone dan autokoid (Cotran, Rennke, dan Kumar, 2007).


(23)

Walaupun mempunyai banyak fungsi, fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan ekstra seluler dalam batas-batas normal (Wilson dan Price, 2005).

Secara anatomi ginjal terbagi menjadi 2 bagian yaitu kortek dan medulla ginjal. Kortek mengandung badan Malpighi berjuta banyaknya, dan merupakan komponen utama alat pembuangan. Medulla mengandung berkas pembuluh dan pembuluh pengumpul kemih, yang jumlahnya juga jutaan, sesuai dengan banyak badan Malpighi. Satu badan Malpighi bersama pembuluhnya merupakan satu unit otonom alat pembuangan, yang disebut nefiron

(Yatim, 1994).

Unit fungsional dari ginjal adalah tubulus urinarius, yang merupakan struktur kompleks yang memodifikasi cairan yang melewatinya menjadi urin sebagai hasi akhir. Unit ini dapat dibagi menjadi nefron dan tubulus kolektivus, dimana dalam satu ginjal terdapat sekitar 1.3 juta nefron (Kumar, Cotran dan Robbins, 2007). Perdarahan ginjal melalui arteri dan vena renalis yang akan melanjut sebagai arteria fferen dari ginjal. Dari arteria efferen melanjut sebagai vena renalis (Drake, 2010). Filtrat dari hasil penyaringan di glomerulus akan masuk ke dalam tubulus ginjal (tubulus proximal, loop Henle, dan tubulus distal), dan melanjut masuk ke tubulus koletivus


(24)

Menurut Guyton (1997), mekanisme utama nefron membersihkan substansi yang tidak diinginkan dengan cara :

1. Menyaring sebagian besar plasma di dalam glomerulus, umumnya sekitar seperlimanya melalui membran glomerulus ke dalam tubulus.

2. Mereabsorbsi substansi yang diinginkan terutama air dan beberapa

elektrolit oleh tubulus. Dengan demikian, bagian yang diinginkan dikembalikan ke darah dan bagian yang tidak diinginkan disekresikan melalui urin.

Gambar 3. Histologi Ginjal Mencit (Mus musculus l.). Glomerulus (a), kapsula Bowman(b), ruang Bowman (c), tubulus proksimal (d) dan tubulus distalis (e).

(Dellmann dan Eurell, 2006).

Ginjal meregulasikan volume, komposisi ionik dan membuang zat yang tidak berguna dari darah. Jadi tidak mengherankan bila ginjal disuplai oleh banyak aliran darah (Tortora dan Derrickson, 2005). Ginjal menerima darah dari arteri renalis (Martini, 2004) dan menerima sekitar 20-25% cardiac output


(25)

Darah yang membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di dalam glomeruli kemudian di tubuli ginjal, beberapa zat yang masih diperlukan tubuh mengalami reabsorbsi dan zat-zat hasil sisa metabolisme mengalami sekresi bersama air membentuk urin. Setiap hari tidak kurang 180 liter cairan tubuh difiltrasi di glomerulus dan menghasilkan urin 1-2 liter. Urin yang terbentuk di dalam nefron disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalises ginjal untuk kemudian disalurkan ke dalam ureter (Purnomo dan Basuki, 2009).

a. Tubulus Kontortus Proksimal

Tubulus proksimal merupakan bagian ginjal yang aktif pada aktifitas absopsi maupun sekresi dengan panjang sekitar 14 cm dan diameter lumen 60 µm, maka dari itu tubulus proksimal sering mendapatkan paparan tertinggi dari zat toksik. Tubulus proksimal juga disebutkan memiliki daya regenerasi yang mencakup 3 proses besar yaitu migrasi, proliferasi, dan pengembalian fungsi fisiologis. Proses migrasi berguna untuk menyingkirkan sel yang rusak dan digantikan dengan sel yang baru (proliferasi), proses ini berlangsung sekitar 7 hari, lalu terjadi pengembalian daya dan fungsi yang sama dengan sel normal sebelumnya (pengembalian fungsi fisiologis) yang berlangsung kurang lebih 6 hari. Namun daya regenerasi ini dapat berkurang dengan berjalannya replikasi sel dikarenakan adanya kesalahan replikasi dalam pembentukan enzim untuk menempel pada basal membran yang berfungsi sebagai pencegah apoptosis, atau terjadi kerusakan sel yang irreversible (Maxie, 1993)


(26)

b. Glomerulus

Glomerulus adalah suatu gumpalan kapiler yang beranastomosis. Kapsul Bowman adalah cekungan bentuk bola yang takpenuh, yang melingkup glomerulus. Pembuluh adalah saluran kemih, yang berpangkal pada bagian bawah kapsul (Yatim, 1994).

Jumlah glomerulus pada mencit berbeda-beda pada setiap spesies

(Seely, 1999). Menurut Guyton (1997), glomerulus adalah sebuah jaringan yang mengandung lebih dari 50 cabang-cabang paralel yang beranastomose serta dilapisi sel-sel epitel dan dibungkus oleh kapsula Bowman. Cairan filtrasi glomerulus berjalan melewati dinding glomerulus kerongga kapsula. Filtrasi glomerulus adalah inti yang paling penting dari fungsi ginjal. Bila tidak ada filtrasi, maka produk yang takterpakai tidak dapat diekskresikan, pH tidak terkontrol dan mekanisme penting untuk regulasi volume darah akan dieliminasi. Glomerulus sangat permeabel terhadap air dan partikel kecil, tetapi menolak albumin (berat molekul 70.000 dan diameter 3,6 nm), dan berat protein plasma yang lebih besar dari filter. Membran basal glomerulus menahan filtrasi berdasarkan ukuran partikel dan partikel yang berdiameter lebih dari 3,5 nm. Walaupun albumin dapat lewat tetap akan direabsorbsi kembali oleh tubulus (Maxie, 1993).


(27)

c. Tubulus Kontortus Distal

Menurut Eroschenko (2003), tubulus kontortus distal lebih pendek dan tidak begitu berkelok dibandingkan dengan tubulus kontortus proksimal. Sel-sel tubulus kontortus distal secara aktif mereabsopsi ion-ion Na+ dari filtrat glomerular dan dimasukkan ke dalam interstitium. Aktivitas reabsorpsi ini berlangsung bersamaan dengan ekskresi ion H+ atau K+ kedalam filtrat atau urin tubular. Reabsorpsi Na+ di tubuli diatur oleh hormon aldosteron yang disekresi kortek adrenal. Sebagai respon terhadap hormon ini, sel-sel tubulus kontortus distal secara aktif mengabsorpsi Na+ dari filtrat. Fungsi tubulus kontortus distal merupakan fungsi vital untuk mempertahankan keseimbangan asam-basa yang sesuai pada cairan tubuh (Eroschenko, 2003).


(28)

III. METODE PENELITIAN

A.Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Biologi Universitas Lampung untuk

pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada mencit, sedangkan pembuatan preparat histologis ginjal dilaksanakan di Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional III Bandar Lampung. Penelitian ini dilaksanakan mulai April sampai Mei 2013.

B.Alat dan Bahan 1. Hewan Percobaan

Penelitian ini menggunakan mencit (Mus musculus L.) jantan yang berasal dari BPPV Regional III sebanyak 30 ekor. Mencit yang digunakan dalam

penelitian ini memiliki berat rata-rata sekitar 30-35 gram. Sebelum diberi perlakuan, dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu kepada mencit selama kurang lebih 1 minggu. Aklimatisasi ini dilakukan dengan tujuan agar mencit terbiasa dengan tempat tinggal yang baru dan tidak stress.


(29)

2. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang mencit yang

berbentuk persegi dengan ukuran 15x15 cm. Kandang mencit yang digunakan sebanyak 20 kandang dengan penutupnya menggunakan bahan kawat. SLM (Sound Level Meter) yang digunakan untuk mengukur intensitas bunyi dan sterofom digunakan sebagai alat peredam suara. Alat lainnya yang digunakan adalah timbangan mencit, kotak mencit, botol minum mencit, gelas kimia, papan fiksasi, kaca penutup (cover glass), stopwatch, dan mikroskop cahaya.

3. Bahan

Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu organ ginjal mencit jantan, aluminium foil, xylol, paraffin, aquades, alkohol 80%, alkohol 95%, alkohol 96%, alkohol absolut, eosin, pewarna Harris, larutan PBS (Phosphat Buffer Saline) dengan pH 6,8 dan kloroform.

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable). Variabel bebas mencakup perlakuan, paparan yang diberikan sebagai perlakuan terhadap mencit adalah sebagai berikut mencit ditempatkan pada ruangan yang akan diberi paparan suara kebisingan yang berjarak 1 meter dari tempat mencit berada. Dan dua puluh lima ekor mencit jantan dewasa dibagi mejadi 5


(30)

kelompok dengan masing-masing kelompok tersebut terdiri dari 5 ekor mencit jantan dewasa. Dengan Kelompok kontrol (P0), Kelompok paparan I (P1) 6 jam/hari, Kelompok paparan II (P2) 8 jam/hari, Kelompok paparan III (P3) 10 jam/hari, dan Kelompok paparan IV (P4) 12 jam/hari. Kelompok ini diberi kebisingan 85-90 dB dengan intensitas paparan sebesar 12 jam per hari selama 21 hari. Variabel terikat mencakup kerusakan berupa perdarahan, nekrosis, piknosis, kariolisis, dan kongesti.

2. Definisi Oprasional

● Nekrosis, yaitu terjadi setelah suplai darah hilang atau setelah terpajan toksin dan ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein, serta kerusakan organel sel.

● Piknosis yaitu, ditandai dengan melisutnya inti sel dan peningkatan basofil kemudian DNA berkondensasi menjadi massa yang melisut padat.

● Kariolisis yaitu, basofilia kromatin memudar yang disebabkan oleh aktivitas

DNA (Deoxyribo Nucleid Acid) (Mitchell dan Cotran, 2007).

● Kongesti yaitu, suatu keadaan yang disertai meningkatnya volume darah dalam pembuluh darah yang melebar pada suatu alat atau bagian tubuh (Saleh,1979)

● Perdarahan yaitu, keluarnya darah dari sistem kardiovaskuler, disertai penimbunan dalam jaringan atau ruang tubuh atau disertai keluarnya darah dari tubuh.


(31)

D.Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 1 kelompok kontrol, 4 kelompok diberi paparan kebisingan yang sama dengan perbedaan waktu paparan.

Paparan yang diberikan sebagai perlakuan terhadap mencit adalah sebagai berikut: 1. Mencit ditempatkan pada ruangan yang akan diberi paparan suara

kebisingan yang berjarak 1 meter dari tempat mencit berada.

2. 25 ekor mencit jantan dewasa dibagi mejadi 5 kelompok dengan masing-masing kelompok tersebut terdiri dari 5 ekor mencit jantan dewasa. Berikut adalah uraian dari masing-masing kelompok :

Kelompok kontrol (P0) : kelompok kontrol ini tidak diberi perlakuan paparan kebisingan karena sebagai pembanding yang normal terhadap kelompok mencit yang diberikan perlakuan pajanan kebisingan.

a. Kelompok paparan I (P1): kelompok ini diberi paparan kebisingan 85-90 dB dengan intensitas paparan sebesar 6 jam per hari selama 21 hari.

b. Kelompok paparan II (P2): kelompok ini diberi paparan kebisingan 85-90 dB dengan intensitas paparan sebesar 8 jam per hari selama 21 hari.

c. Kelompok paparan III (P3): kelompok ini diberi paparan kebisingan 85-90 dB dengan intensitas paparan sebesar 10 jam per hari selama 21 hari.


(32)

d. Kelompok paparan IV (P4): kelompok ini diberi paparan kebisingan 85-90 dB dengan intensitas paparan sebesar 12 jam per hari selama 21 hari.

Adapun desain penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Desain Penelitian

E. Pelaksanaan Penelitian

1. Hewan Percobaan Mencit (Mus musculus L.)

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung dengan menggunakan 30 ekor mencit jantan. Mencit ditempatkan di dalam kandang yang diberi sekat menjadi lima bagian. Mencit yang digunakan rata-rata mempunyai berat sekitar 30-35 gram dengan usia 3-4 bulan, diperoleh dari Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BVPP) Regional III Bandar Lampung. Selama pemeliharaan, mencit diberi makan pellet komersial mencit atau hewan pengerat (makanan asupan sekitar


(33)

dalam lingkungan yang terkendali (24 jam siklus gelap suhu kamar

dipertahankan pada 27 ± 2 ° C, dengan kelembaban relatif pada 55 ± 10%) (Fidan, Enginar, Cigerci, Korcan, Ozdemir, 2008).

2. Proses Pembedahan Mencit (Mus musculus L.)

Setelah mencit diberi perlakuan selama 21 hari, maka pada hari yang ke-22 dilakukan pembedahan untuk diambil organ ginjalnya. Pembedahan ini dilakukan dengan cara pembiusan mencit menggunakan klorofrom, setelah mencit pingsan, dilakukan pembedahan pada bagian ventral tubuh mencit secara vertikal, lalu diambil organ ginjalnya. Ginjal yang telah diambil segera difiksasi menggunakan larutan formalin 10% di dalam botol. Perbandingan volume spesimen dengan larutan formalin 1:10 untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Kemudian organ ginjal tersebut dibawa ke laboratorium Patologi, Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional III Bandar Lampung, untuk seterusnya organ ginjal tersebut dibuat preparat histologis.

3. Pembuatan Preparat Histologis Ginjal Mencit Jantan (Mus musculus L.) Pembuatan preparat histologis ginjal mencit ini dilakukan di Laboratorium Patologi, Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional III. Adapun cara yang dilakukan dalam pembuatan preparat sebagai berikut:

a. Fiksasi

Fiksasi adalah suatu proses yang dilakukan untuk sel atau jaringan agar tetap dalam posisinya dan tidak berubah baik bentuk ataupun ukurannya. Spesimen hasil nekropsi yang berupa organ ginjal yang berasal dari


(34)

kelompok kontrol dan kelompok hewan yang diberi perlakuan paparan kebisingan dimasukkan ke dalam larutan fiksasi (pengawet), buffer formalin 1:10.

b. Trimming

Trimming adalah suatu pencucian untuk menghilangkan larutan fiksasi, dimana Buffer formalin 10% dihilangkan dengan menggunakan air mengalir selama 30 menit.

c. Dehidrasi

Dehidrasi adalah proses yang dilakukan setelah proses trimming. Proses ini bertujuan untuk mengeluarkan air yang terkandung di dalam jaringan. Organ diletakkan di atas tisu untuk mengeringkan air. Proses ini dilakukan menggunakan alat Embedding cassette. Proses selanjutnya adalah organ tersebut diberi perlakuan sebagai berikut secara berurutan :

Tabel 2. Tahapan Proses Dehidrasi:

Tahap Waktu Zat Kimia

Dehidrasi

2 jam Alkohol 80%

2 jam Alkohol 95%

2 jam Alkohol 95%

Clearing

1 jam Alkoholabsolut I

1 jam Alkoholabsolut II 1 jam Alkoholabsolut III

1 jam Xylol I

1 jam Xylol II

1 jam Xylol III

Impregnasi

2 jam Parafin I

2 jam Parafin II


(35)

d. Embedding

Proses penanaman jaringan ke dalam media parafin. Tujuannya adalah untuk mempermudah dalam melakukan proses pemotongan atau pengirisan sampel. Dilakukan dengan mengeluarkan jaringan yang sudah diimpregnasi dari moldtray, kemudian menanamnya ke dalam lempengan blok yang berisi parafin cair. Setelah itu tutup dengan menggunakan casette and deckel lalu didinginkan pada cold plate.

e. Cutting

Proses pemotongan atau pengirisan jaringan dengan menggunakan mikrotom. Sampel yang dipotong tebalnya sekitar 4-5 mikron. Pemotongan akan berhasil jika pisau tidak tumpul, tidak berkarat, dan tidak terdapat sisa-sisa parafin dari hasil pemotongan sebelumnya dan posisi sampel lurus dan baik. Suhu pisau dan suhu sampel serta suhu ruangan harus sama agar sampel tidak patah atau terpotong-potong saat pengirisan.

f. Staining/Pewarnaan

Setelah pembuatan preparat selesai, dilakukan pewarnaan dengan menggunakan pewarna Hematoxylin Eosin. Zat kimia yang digunakan dalam pewarnaan ini adalah sebagai berikut:

1. Hematoxylin Kristal : 5 g 2. Alkohol absolut : 50 g 3. Ammonium : 100g/L

4. Aquadest : 100 mL


(36)

g. Mounting

Setelah pewarnaan slide selesai, slide ditempelkan di atas kertas tisu pada tempat yang datar dan selanjutnya ditetesi dengan menggunakan Canada Balsam dan ditutup dengan menggunakan cover glass dan dicegah jangan sampai ada gelembung udara.

h. Pengamatan

Preparat yang telah jadi diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x, 200x, 400x.

i. Pengolahan data

Pengolahan data dilakukan secara deskriptif dengan menyajikan hasil penelitian berupa presentasi kerusakan dan gambar-gambar tubulus proksimal ginjal mencit jantan antar perlakuan.

F. Parameter yang Diamati

Pada penelitian ini parameter yang diamati, yaitu derajat kerusakan struktur histologis tubulus proksimal ginjal.


(37)

G. Diagram Alir Penelitian

Gambar 5. Diagram Alir Penelitian 20 mencit jantan diaklimatisasi

selama 7 hari (1 minggu)

Mencit dibagi menjadi 5 kelompok dengan masing-masing 5 ekor mencit

(P0) tidak diberikan paparan (P1) diberi paparan 6 jam/hari dengan intensitas bising 85-90 dB (P2) diberi paparan 8 jam/hari dengan intensitas bising 85-90 dB (P3) diberi paparan 10 jam/hari dengan intensitas bising 85-90 dB (P4) diberi paparan 12 jam/hari dengan intensitas bising 85-90 dB

Nekropsi organ ginjal

Pembuatan preparat organ ginjal

Pengamatan slide preparat organ ginjal


(38)

V. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemaparan kebisingan dengan intensitas 85-90 dB terhadap mencit (Mus musculus L.) jantan selama 21 hari mengakibatkan perubahan gambaran histologis ginjal mencit

(Mus musculus L.) jantan pada perlakuan berupa:

1. Pemaparan 85-95 dB pada perlakuan 12 jam/hari menunjukkan kerusakan yang tinggi seperti perdarahan intertubular sebesar 95 %, nekrosis sebesar 63,38 %, piknosis sebesar 52,73 %, dan kongesti sebesar 51,66%.

2. Pada perlakuan 10 jam/hari menunjukkan kerusakan kariolisis sebesar 33,16 %, lebih tinggi dibandingkan perlakuan lain.

3. Kerusakan kariolisis tidak ditemukan pada kontrol dan perlakuan 6 jam/hari.

B. Saran

Perlu adanya penelitian yang lebih lanjut mengenai dampak kerusakan tubulus ginjal mencit dari kebisingan dengan meningkatkan intensitas dan lamanya pemaparan.


(39)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2007. [cited 2010 Feb 23]. Availabe from: http://www.medicalhistology.us/twiki/pub/Main/ChapterSeventeenSlides /b68proximal_convoluted_tubule_kidney_40x _pas_labeled.jpg Di akses 23 september 2013.

Andren, L. Hannsson, L. Bjorkman, M. Jonsson, and A. K. O Borg. 1979. Haemodynamic and hormonal changes induced by noise. Acta Medica Scand .Suppl 625:13-18.

Arrington, L. R. 1972. Introductory Laboratory Animal.The Breeding, Care and Management of Experimental Animal Science. The Interstate Printers and Publishing, Inc., New York.

Bellows, A. 2005. Mice, Man and Medicine. http://www.damninteresting.com [16 Oktober 2013].

Bunde,Y.E.,2012. Bising Mengepung.

http://ketulian.com/v1/web/index.php?to=article&id=36. Diakses pada tanggal 12 Oktober 2013.

Cotran R.S., V. Kumar., T.Collins. 2003. Pathology Bacic of Disease. 6th ed. Philadelphia: WB Saunders Co.P. 20-21.

Cotran R. S., H.Rennke., V. Kumar. 2007. Ginjal dan Sistem Penyalurnya. Buku AjarPatologi Robbins Volume 2. Edisi VII. Jakarta:

EGC, pp: 572, 594-7.

Dale D.C. 2006. Neutropenia In: Beutler E., Lichtman M.A., Kipps T. J. MD.

Phd., editors: Williams’s hematology. 5th ed. New york : Mc Graw

-Hill.P. 817.

Dejoy, D.M. 1984. The non-auditory effect of noise. Review and perspectives for research. J. Audit. Res., 24:123-150.

Dirjen, P2M dan PLP Departemen Kesehatan RI. 1993. Pelatihan Petugas PengawasTingkat Kebisingan Model III. Jakarta.


(40)

441-450.

Drake. 2010. Gray’s Anatomy for Students 2nd Edition. Philadephia: Elsenvier. p. 355-59.

Eroschenko, P. V. 2003. Atlas Histology Difiore Dengan Korelasi Fungsional. Ed.9.EGC : Jakarta: 249-261.

Fidan, A. F., H. I.H Enginar, S.E. Cigerci, A. Korcan, Ozdemir.2008.

The radioprotective potensial of spinacia aleracia and aasculuc hippocastannum againts ionizing radiation with their antioxidant and antimicrobial properties. Journal of Animal and Advances 7:1582-1536. Ganong, W. F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. 20. Jakarta:

EGC. P:496-497.

Gartner J. P., J. L. hiatt. 2007. Color Text Book of Histology. 3th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, pp: 437-45.

Gunarwan, F. 1992. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada Press : Yogyakarta.

Gunawijaya, F. A. 1994. Jaringan Penyambung. Buku Teks Histologi jilid I. Binarupa Aksara. Jakarta. 169 – 70.

Guyton, A.C. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC. P:579-578.

Guyton A.C., J.E. Hall. 1997.Ginjal dan Cairan Tubuh. In: Setiawan I, editor. Buku ajar fisiologi kedokteran. 9th ed. Jakarta: EGC; 1997. p. 375-437. Harrington dan F.S Gill, 2005. Buku Saku Kesehatan Kerja Edisi 3. Penerbit

EGC: Jakarta

Henrikson, C. 1998. Urinary System. Di dalam: Dellmann HD, Eurell JA, editor. Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-5. Maryland: Lippincott Williams dan Wilkins. hlm. 203-225.

Joannides, R., W.E. Haefeli, L. Linder, V. Richard, E.H Bakkali, C. Thuillez, 1995. Nitric oxide isresponsible for flow-dependent dilatation of human peripheralconduit arteries in vivo. Circulation 91, 1314-1319.


(41)

No.48-Tahun-1996-Baku-Tingkat-Kebisingan.pdf.[12 April 2013]. Kryter, K.D. 1994. Non Auditory Effect of Environmental Noise, American

Journal of Epidemiology, Vol. 139, No. 4;380-389.

Kumar, Abbas, Fausto, Mitchell. 2007. Basic Pathology 8th Edition. Jakarta: EGC p.595-97

Kumar, V., R.S Cotran, S.L Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi .7 nd ed, Vol. 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, : 860-1.

Kusumo, R. 2007. Struktur Ginjal Mamalia.

http://sectiocadaveris.wordpress.com/artikel-kedokteran/anatomi-ginjal-dan-saluran-kemih. Diakses tanggal 5 Oktober 2013.

Malole, M.B.M, S.C.U. Pranomo. 1989. Penggunaan Hewan – Hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor : IPB FKH.P: 28-45.

Martini F.H. 2004. Fundamentals of Anatomy and Physiology. 6th ed. United States of America: Benjamin Cummings. p. 817.

Maxie, M. G. 1993. The Urinary System. Di dalam: Jubb KVF, Peter CK dan Nigel P, editor. Pathology of Domestic Animals. Ed ke-4. Volume ke-2. London: Academic Press. hlm. 447-538.

Mangkoewidjojo S. 1998. Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia. Jakarta.

Hlm. 228-233.

Menteri Lingkungan Hidup. 1996. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. Kep-49/MENLH/1996. Baku Tingkat Getaran untuk Kenyamanan dan Kesehatan. Jakarta.

Menteri Negara Lingkungan Hidup RI. 1996. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan.

Menteri Tenaga Kerja. 1999. Nilai Ambang Batas Faktor Fisik di Tempat Kerja. Edisi 1999. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta.

Mitchell R. N., R. S Cotran. 2007. Jejas, Adaptasi, dan Kematian Sel.Dalam: Kumar V., Cotran R. S., Robbins S. L. (eds). Buku Ajar Patologi Robbins Volume 1. Edisi VII. Jakarta: EGC, pp: 3, 26-7.


(42)

Noor, A. N. and M.I Mourad. 2010. Evaluation of Antioxidant Effect of Nigella sativa oil on Monosodium Glutamate-Induced Oxidative Stress in Rat Brain. Journal of American Science 6 :12.

Pearce, C. Evelyn. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedic. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Phoon. W.O. 1988. Practical Occupational Health. JWB Printers and Binders Pte. Ltd.Singapore.

Pulat, B.1992. Fundamentals of Industrial Ergonomics, Prentice-Hall, Inc, New Jersey,USA: 25-29.

Saleh S. 1979. Patologi Umum. Di dalam: Himawan, editor. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Schilling, R.S.F. 1981. Occupational Health Practice, 2nd. Ed Butterworths & Co. Ltd, London.

Seely. 1999. Kidney. Di dalam: Maronpot RR, Gary AB, Beth WG, editor. Pathology of The Mouse. USA: Cache River Press. hlm. 207-226. Setijono, M.M. 1985. Mencit (Mus Musculus L.) Sebagai Hewan Percobaan.

Skripsi Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Sherwood, L. 2004. Human physiology from cells to system 5 th ed. New York : Thompson Learning – Brooksdale Cole. P. 510-557.

Slamet, J.S., (2009) Kesehatan Lingkungan, Gajah Mada University Press,Yogyakarta:117-118.

Smith, B. J. B dan S. Mangkoewidjojo. 1998. Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia. Jakarta. Hlm. 228-233.

Sudoyo A.W., B. Setiyohadi, I. K.M.S. Alwi, S. Setiati. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI : Jakarta.

Suheryanto, R., 2000. Efektifitas Ofloxacin Tetes Telinga pada Otitis Media Purulenta Akuta Perforata di Poliklinik THT RSUD Dr Saiful Anwar Malang: Uji Klinis, Spektrum, dan Uji Kepekaan Kuman Aerob. Cermin Dunia Kedokteran, 128: 45 – 46.


(43)

Surat Keputusan Dirjen P2M dan PLP Depkes RI Nomor 70-1/PD.03.04.Lp, tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Kebisingan yang Berhubungan dengan Kesehatan.

Taslim, A. 2008. Kesehatan Ginjal. www.sekbertal.org. Diakses pada tanggal 3 Oktober 2013.

Tortora, G.J. dan B. Derrickson.2006. Principles of Anatomy and Physiology. 11th ed. USA : John Wiley & Sons Inc; 2006. P. 145-70.

Underwood J.C.E. 1999. Ginjal dan traktus urinarius. In Sarjadi, editor. Patologi umum dan sistemik. Vol 2. 2 ed. Jakarta: EGC. p. 639-43.

Wilson, L & S. Price. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Vol.2. EGC, Jakarta.Universitas.

Yatim, W. 1994. Reproduksi Dan Embriologi.Penerbit Tarsito, Bandung. hlm. 65-67.


(44)

Gambar 16. Struktur histologis tubulus proksimal ginjal mencit jantan yang tidak terpapar kebisingan (perbesaran 400x, perwarnaan HE). Keterangan:


(45)

Gambar 17. Struktur histologis tubulus proksimal ginjal mencit jantan yang terpapar kebisingan 6 jam/hari (perbesaran 400x, perwarnan HE). Keterangan: A. Perdarahan Intertubular,B. Nekrosis, C. Piknosis, E. Kongesti.


(46)

Gambar 18. Struktur histologis tubulus proksimal ginjal mencit jantan yang terpapar kebisingan 8 jam/hari (perbesaran 400x, perwarnan HE). Keterangan: A. Perdarahan Intertubular, B. Nekrosis, C. Piknosis, D. Kariolisis E. Kongesti.


(47)

Gambar 19. Struktur histologis tubulus proksimal ginjal mencit jantan yang terpapar kebisingan 10 jam/hari (perbesaran 400x denganperwarnan HE). Keterangan: A. Perdarahan Intertubular, B. Nekrosis, C. Piknosis, D. Kariolisis, E. Kongesti.


(48)

Gambar 20. Struktur histologis tubulus proksimal ginjal mencit jantan yang terpapar kebisingan 12 jam/hari (perbesaran 400x, perwarnan HE). Keterangan: A. Perdarahan Intertubular, B. Nekrosis, C. Piknosis, D. Kariolisis, E. Kongesti.


(49)

a. Perdarahan Intertubular : terdapat perdarahan di ruang antar tubulus.

b. Nekrosisi : kematian sel ireversibel yang terjadi ketika sel cedera berat dalam waktu lama dimana sel tidak mampu beradap tasi lagi atau memperbaiki dirinya sendiri (hemostasis). c. Piknosis : inti sel menyusut, batas tidak teratur, berwarna gelap.

d. Kariolisis : inti tidak dapat diwarnai, dan inti hilang.


(50)

a. Data kerusakan histologis tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) jantan berupa perdarahan Intertubular (%).

Ulangan Perlakuan

P0 P1 P2 P3 P4

1 77,58 19,06 100 100 75

2 53,33 50 95,91 100 100

3 100 100 78,57 100 100

4 87,5 100 83 72 100

5 13,03 100 80 83,33 100

Σ 331,44 369,06 437,48 455,33 475

X 66,34 73,92 87,96 91,06 95

b. Data kerusakan histologis tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) jantan berupa nekrosis (%).

Ulangan Perlakuan

P0 P1 P2 P3 P4

1 0 53,69 61,01 23,41 77,77

2 0 39,58 35,33 96,80 71

3 1,69 24,17 59,12 69,6 60,37

4 3,45 32,5 36,58 30,26 48

5 0 27,20 51,21 57,14 59,77

Σ 5,14 177,14 243,35 277,21 316,91


(51)

Ulangan Perlakuan

P0 P1 P2 P3 P4

1 5,88 19,49 67,62 27 17,08

2 7,97 46,70 28,57 61,92 97,48

3 6,61 34,30 39,62 29,67 46,4

4 47,5 39,63 18 50 57

5 20 34,11 28,73 51,42 45,71

Σ 95,96 174,23 182,54 220,01 263,66

X 17,59 34,84 36 44,01 52,73

d. Data kerusakan histologis tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) berupa kariolisis (%).

Ulangan Perlakuan

P0 P1 P2 P3 P4

1 0 0 12,23 16,48 19,49

2 0 0 11,42 43,62 17,96

3 0 0 18,86 36,45 51,09

4 0 0 38 17,5 19

5 0 0 24,13 21,37 34,14

Σ 0 0 104,64 137,42 141,68

X 0 0 20,96 27,08 28,33

e. Data kerusakan histologis tubulus proksimal ginja lmencit (Mus musculus L.) jantan berupa kongesti (%).

Ulangan Perlakuan

P0 P1 P2 P3 P4

1 14,28 0 22,22 66,66 16,67

2 0 66,6 25 18,18 77,78

3 0 0 57 50 100

4 0 0 33 11 35,29

5 0 75 20,57 20 28,57

Σ 14,28 141,6 157,79 165,84 258,31


(52)

Σ : Jumlah. X : Rerata.

Kariolisis : inti tidak dapat diwarnaidan inti hilang. Pignosis : pengerutan inti dan berwarna gelap. kongesti : Perdarahan yang berlebih pada jaringan. nekrosis : kerusakan sel irreversible.

P0 :Kontrol, tidak diberi perlakuan pemaparan.

P1 :Perlakuan 1, diberi pemaparan kebisingan 85-90 dBA dengan lama pemaparan 6 jam/hari.

P2 :Perlakuan II, diberi pemaparan kebisingan 85-90 dBA dengan lama pemaparan 8 jam/hari.

P3 :Perlakuan III, diberi pemaparan kebisingan 85-90 dBA dengan lama pemaparan 10 jam/hari.

P4 :Perlakuan IV, diberi pemaparan kebisingan 85-90 dBA dengan lama pemaparan 12 jam/hari.


(53)

PersiapanKandangMencit


(1)

Kelompok Paparan IV (P4)12 jam/hari.

Gambar 20. Struktur histologis tubulus proksimal ginjal mencit jantan yang terpapar kebisingan 12 jam/hari (perbesaran 400x, perwarnan HE). Keterangan: A. Perdarahan Intertubular, B. Nekrosis, C. Piknosis, D. Kariolisis, E. Kongesti.


(2)

Keterangan:

a. Perdarahan Intertubular : terdapat perdarahan di ruang antar tubulus.

b. Nekrosisi : kematian sel ireversibel yang terjadi ketika sel cedera berat dalam waktu lama dimana sel tidak mampu beradap tasi lagi atau memperbaiki dirinya sendiri (hemostasis). c. Piknosis : inti sel menyusut, batas tidak teratur, berwarna gelap.

d. Kariolisis : inti tidak dapat diwarnai, dan inti hilang.


(3)

Tabel 3. Data pengaruh kebisingan terhadap histologis tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) (%).

a. Data kerusakan histologis tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) jantan berupa perdarahan Intertubular (%).

Ulangan Perlakuan

P0 P1 P2 P3 P4

1 77,58 19,06 100 100 75

2 53,33 50 95,91 100 100

3 100 100 78,57 100 100

4 87,5 100 83 72 100

5 13,03 100 80 83,33 100

Σ 331,44 369,06 437,48 455,33 475

X 66,34 73,92 87,96 91,06 95

b. Data kerusakan histologis tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) jantan berupa nekrosis (%).

Ulangan Perlakuan

P0 P1 P2 P3 P4

1 0 53,69 61,01 23,41 77,77

2 0 39,58 35,33 96,80 71

3 1,69 24,17 59,12 69,6 60,37

4 3,45 32,5 36,58 30,26 48

5 0 27,20 51,21 57,14 59,77

Σ 5,14 177,14 243,35 277,21 316,91


(4)

c. Data kerusakan histologis tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) jantan berupa piknosis (%).

Ulangan Perlakuan

P0 P1 P2 P3 P4

1 5,88 19,49 67,62 27 17,08

2 7,97 46,70 28,57 61,92 97,48

3 6,61 34,30 39,62 29,67 46,4

4 47,5 39,63 18 50 57

5 20 34,11 28,73 51,42 45,71

Σ 95,96 174,23 182,54 220,01 263,66

X 17,59 34,84 36 44,01 52,73

d. Data kerusakan histologis tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus L.) berupa kariolisis (%).

Ulangan Perlakuan

P0 P1 P2 P3 P4

1 0 0 12,23 16,48 19,49

2 0 0 11,42 43,62 17,96

3 0 0 18,86 36,45 51,09

4 0 0 38 17,5 19

5 0 0 24,13 21,37 34,14

Σ 0 0 104,64 137,42 141,68

X 0 0 20,96 27,08 28,33

e. Data kerusakan histologis tubulus proksimal ginja lmencit (Mus musculus L.) jantan berupa kongesti (%).

Ulangan Perlakuan

P0 P1 P2 P3 P4

1 14,28 0 22,22 66,66 16,67

2 0 66,6 25 18,18 77,78

3 0 0 57 50 100

4 0 0 33 11 35,29

5 0 75 20,57 20 28,57

Σ 14,28 141,6 157,79 165,84 258,31


(5)

Keterangan

Σ : Jumlah. X : Rerata.

Kariolisis : inti tidak dapat diwarnaidan inti hilang. Pignosis : pengerutan inti dan berwarna gelap. kongesti : Perdarahan yang berlebih pada jaringan. nekrosis : kerusakan sel irreversible.

P0 :Kontrol, tidak diberi perlakuan pemaparan.

P1 :Perlakuan 1, diberi pemaparan kebisingan 85-90 dBA dengan lama pemaparan 6 jam/hari.

P2 :Perlakuan II, diberi pemaparan kebisingan 85-90 dBA dengan lama pemaparan 8 jam/hari.

P3 :Perlakuan III, diberi pemaparan kebisingan 85-90 dBA dengan lama pemaparan 10 jam/hari.

P4 :Perlakuan IV, diberi pemaparan kebisingan 85-90 dBA dengan lama pemaparan 12 jam/hari.


(6)

PersiapanKandangMencit