Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Gambaran Histologis Tubulus Proksimal Ginjal Pada Mencit Betina Dewasa (Mus musculus L) Yang Mendapat Latihan Fisik Maksimal

(1)

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E

TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGIS TUBULUS PROKSIMAL

GINJAL PADA MENCIT BETINA DEWASA (Mus musculus L) YANG

MENDAPAT LATIHAN FISIK MAKSIMAL

TESIS

Oleh NINA OLIVIA 087008006/BM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2011 S

E K

O L

A H

P A

S C

A S A R JA

N A


(2)

Judul Tesis : PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E

TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGIS

TUBULUS PROKSIMAL GINJAL PADA MENCIT BETINA DEWASA (Mus musculus, L.) YANG MENDAPAT LATIHAN FISIK MAKSIMAL Nama Mahasiswa : Nina Olivia

NIM : 08708006

Program Studi : Biomedik

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof.Dr.Drs.Syafruddin Ilyas, M.Biomed) (dr.H.Delyuzar, Sp.PA (K))

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Dr.Yahwardiah Siregar,PhD) (Prof.Dr.Gontar A.Siregar, Sp.PD,KGEH)


(3)

Telah diuji pada Tanggal 30 Juli 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Dr.Drs.Syafruddin Ilyas, M.Biomed Anggota :1. dr.H.Delyuzar, Sp.PA (K)

2. Prof.Em.dr.Yasmeini Yazir 3. dr.Jessy Chrestella, Sp.PA


(4)

ABSTRACT

This research is intended to know the effect of tocopherol administration to the histologist cell tubulus proximal at female adult mouse (Mus musculus L.) which made to obtain maximum physical exercise. This research used 25 mice which divided into one control group and four treatment groups. The first group (P0) as the control group did not obtain any treatment. The second group (P1) obtained only maximum physical exercise everyday in 30 days, the third group (P2) obtained maximum physical exercise and 0,5 ml/day per oral aquadest in 30 days, the fourth group (P3) obtained only maximum physical exercise everyday in the first 15 days, and obtained maximum physical exercise and 2 mg/day per oral tocopherol in addition for the next 15 days, the last fifth group (P4) obtained maximum physical exercise and 2 mg/day per oral tocopherol in 30 days. The result showed that tocopherol administration did not influence the average of weight renal mice (Mus musculus L.) which obtained maximum physical exercise (P>0,005), but the tocopherol administration influence the average the histologist cell tubulus proximal of female mature mice (Mus musculus L.) which obtained maximum physical exercise (P<0,005). Maximum physical exercise did not lead the occurrence of oxidative stress which affected the weight of renal, tocopherol as antioxidant could depress necrotic histologist cell tubulus proximal renal with 2 mg/day per oral dose in 15 days.

Key words: Tocopherol, Maximum Physical Exercise, Histologist Tubulus Proximal Renal, NTA


(5)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Vitamin E terhadap jumlah dan hitung jenis leukosit pada mencit betina dewasa (Mus musculus L.) yang mendapat latihan fisik maksimal. Penelitian ini memakai mencit betina dewasa (Mus musculus .L) sebanyak 25 ekor yang dibagi dalam 1 kelompok kontrol dan 4 kelompok perlakuan. Kelompok pertama (P0) sebagai kontrol yang tidak mendapat perlakuan apapun. Kelompok kedua (P1) mendapatkan latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari, kelompok ketiga (P2) mendapatkan latihan fisik maksimal dan larutan aquadest 0,5 ml/hari per oral selama 30 hari, kelompok keempat (P3) mendapatkan latihan fisik maksimal setiap hari selama 15 hari pertama, kemudian 15 hari berikutnya diberikan latihan fisik maksimal dan vitamin E 2mg/hari per oral setiap hari, kelompok kelima (P4) mendapatkan latihan fisik maksimal dan vitamin E 2mg/hari per oral setiap hari selama 30 hari. Hasil yang didapat menunjukkan pemberian Vitamin E tidak mempengaruhi bobot ginjal mencit betina dewasa (Mus musculus L.) yang mendapat perlakuan latihan fisik maksimal (P>0,05), tetapi pemberian Vitamin E mempengaruhi rata-rata gambaran histologis tubulus proksimal ginjal mencit betina dewasa (Mus musculus L.) yang mendapat perlakuan latihan fisik maksimal(P<0,05). Latihan fisik maksimal menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang mempengaruhi gambaran histologis tubulus proksimal ginjal, Vitamin E sebagai antioksidan dapat menekan jumlah luas kerusakan tubulus proksimal ginjal dengan dosis 2 mg/ hari secara oral selama 15 hari.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas berkatNya penulis dapat

menyelesaikan tesis dengan judul ”Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Gambaran

Histologis Tubulus Proksimal Ginjal Pada Mencit Betina Dewasa (Mus musculus L) Yang

Mendapat Latihan Fisik Maksimal” sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Biomedik pada Program Studi Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Selama proses penulisan tesis ini penulis memperoleh banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Kolonel Ckm dr. H. Eddy Mahidin Sp.THT selaku Kakesdam I/BB.

2. Bapak Kolonel Ckm dr.H. Dubel Meriyenes selaku Karumkit TK II Putri Hijau Medan.

3. Bapak Prof. Gontar A.Siregar, Sp.PD, KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran USU Medan beserta seluruh jajarannya.

4. Ibu dr. Yahwardiah Siregar, PhD, selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang turut mendukung dan memberikan masukan dalam tesis ini.

5. Bapak Prof. DR. Drs. Syafrudin Ilyas, M. Biomed dan dr. H. Delyuzar, Sp PA (K) yang telah bersedia meluangkan waktu, masukan dan pemikirannya sebagai dosen pembimbing selama penyusunan tesis ini.

6. Ibu Prof. Em.dr. Yasmeini Yazir dan ibu. dr. Jessy Chrestella, yang telah bersedia meluangkan waktu sebagai pembanding dalam seminar tesis.


(7)

8. Kedua orang tua, Suami dan anak penulis tercinta (Sertu Dwi Yanto, AMK, Fatih Firas Rasyid) yang selalu berdoa dan memberikan motivasi dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Pascasarjana USU Medan.

9. Buat teman - teman seangkatan di Program Studi Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas kerjasama dan saling mengingatkan selama proses penulisan tesis ini.

Semoga segenap bantuan, bimbingan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis dengan senang hati akan menerima masukan dan kritikan untuk perbaikan tesis ini. Harapan penulis, tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca serta bagi peningkatan pengetahuan dan pengembangan ilmu biomedik.

Medan, 30 Juli 2011 Penulis


(8)

RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri

Nama : Nina Olivia.

Tempat/tgl lahir : Medan, 28 Agustus 1980 Jenis Kelamin : Perempuan.

Alamat : Jl. Selamat Pulau No. 87 A. Simpang Limun Medan. Pendidikan terakhir : Sarjana Keperawatan.

B. Riwayat Pendidikan

1987-1993 : SD Negeri No.060827 Medan. 1993-1996 : SMP Negeri 13 Medan. 1997-1999 : SMA Negeri 13 Medan. 2000-2003 : DIII Keperawatan FK-USU.

2004-2006 : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

C. Riwayat Pekerjaan


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ABSTRACT ... KATA PENGANTAR ...………...

RIWAYAT HIDUP ...

DAFTAR ISI………...

DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR GRAFIK ... DAFTAR LAMPIRAN ... BAB 1. PENDAHULUAN ...

1.1. Latar Belakang………..

1.1. Perumusan Masalah………

1.2. Kerangka Teori………...

1.3. Tujuan Penelitian ... 1.3.1. Tujuan Umum... 1.3.2. Tujuan Khusus... 1.4. Hipotesis... 1.5. Manfaat Penelitian... BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 2.1. Latihan Fisik ... 2.2. Radikal Bebas dan Reaktive Oxigen Species (ROS) ...

2.2.1 Produksi radikal bebas akibat latihan fisik ...

2.3. Patologi Ginjal ………

2.3.1. Tubulus Proksimal ... 2.3.2. Mekanisme kerusakan ginjal akibat hipoksia ... 2.3.3. Perubahan pada ginjal akibat hipoksia ...

2.4.Vitamin E ………

BAB 3. METODE PENELITIAN ...

3.1.Tempat dan Waktu Penelitian...

3.2. Variabel Penelitian ... 3.2.1. Variabel Independen ...

3.2.2. Variabel Dependen ... 3.3. Definisi Operasional... 3.4.Bahan dan Alat Penelitian ...

3.4.1. Bahan Penelitian ... 3.4.2. Peralatan utama penelitian ...

3.5. Disain Penelitian ………... 3.6. Pelaksanaan Penelitian ………..

3.6.1 Pemeliharaan hewan coba………

3.6.2. Pemberian latihan fisik maksimal………

3.6.3. Pemberian vitamin E………

i ii iii v vi viii x x xi 1 1 5 5-6 6 6 6 7 7 8 8 10 11 13 15 17 18 20 23 23 23 23 23 23 24 24 25 25 26 26


(10)

3.6.4. Pengamatan……….. .

3.6.4.1 Pengamatan bobot ginjal ……….

3.6.4.2 Prosedur pembuatan histologis tubulus proksimal ……. 3.6.4.3 Pemeriksaan histopatologis dan penilaian perubahan

jaringan ginjal (tubulus proksimal) ……….

3.7. Analisa data dan Pengujian Hipotesis………....

3.8. Jadwal Penelitian ………..

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ………..

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Bobot Ginjal Mencit betina dewasa (Musmusculus L.)... .... 4.1.2. Penilaian perubahan Jaringan ginjal mencit betina dewasa

(Musmusculus L.)... 4.2.Pembahasan ...

4.2.1. Bobot Ginjal mencit betina dewasa (Musmusculus L.)... 4.2.2. Penilaian perubahan Jaringan ginjal mencit betina dewasa

(Musmusculus L.)...

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ………..

5.1. Kesimpulan………...

5.2. Saran………...

DAFTAR PUSTAKA ... Lampiran 27 27 28 28 28 28 31 32 33 34 34 35 38 38 39 41 41 41 42


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 3 Rata-rata Bobot Ginjal ……… 34


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 1 Kerangka Teori …. ….……….. 6

Gambar 2 Histologi Ginjal …………..………... …. 16

Gambar 3 Mencit Betina Dewasa ……….. …. 27

Gambar 4 Pembedahan Mencit Betina Dewasa ……….. 28


(13)

DAFTAR GRAFIK

Nomor Judul Halaman

Grafik 1 Grafik Histogram bobot Ginjal ……… 35 Grafik 2 Grafik Histogram Perubahan Jaringan Ginjal ……… 36


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman


(15)

ABSTRACT

This research is intended to know the effect of tocopherol administration to the histologist cell tubulus proximal at female adult mouse (Mus musculus L.) which made to obtain maximum physical exercise. This research used 25 mice which divided into one control group and four treatment groups. The first group (P0) as the control group did not obtain any treatment. The second group (P1) obtained only maximum physical exercise everyday in 30 days, the third group (P2) obtained maximum physical exercise and 0,5 ml/day per oral aquadest in 30 days, the fourth group (P3) obtained only maximum physical exercise everyday in the first 15 days, and obtained maximum physical exercise and 2 mg/day per oral tocopherol in addition for the next 15 days, the last fifth group (P4) obtained maximum physical exercise and 2 mg/day per oral tocopherol in 30 days. The result showed that tocopherol administration did not influence the average of weight renal mice (Mus musculus L.) which obtained maximum physical exercise (P>0,005), but the tocopherol administration influence the average the histologist cell tubulus proximal of female mature mice (Mus musculus L.) which obtained maximum physical exercise (P<0,005). Maximum physical exercise did not lead the occurrence of oxidative stress which affected the weight of renal, tocopherol as antioxidant could depress necrotic histologist cell tubulus proximal renal with 2 mg/day per oral dose in 15 days.

Key words: Tocopherol, Maximum Physical Exercise, Histologist Tubulus Proximal Renal, NTA


(16)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Vitamin E terhadap jumlah dan hitung jenis leukosit pada mencit betina dewasa (Mus musculus L.) yang mendapat latihan fisik maksimal. Penelitian ini memakai mencit betina dewasa (Mus musculus .L) sebanyak 25 ekor yang dibagi dalam 1 kelompok kontrol dan 4 kelompok perlakuan. Kelompok pertama (P0) sebagai kontrol yang tidak mendapat perlakuan apapun. Kelompok kedua (P1) mendapatkan latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari, kelompok ketiga (P2) mendapatkan latihan fisik maksimal dan larutan aquadest 0,5 ml/hari per oral selama 30 hari, kelompok keempat (P3) mendapatkan latihan fisik maksimal setiap hari selama 15 hari pertama, kemudian 15 hari berikutnya diberikan latihan fisik maksimal dan vitamin E 2mg/hari per oral setiap hari, kelompok kelima (P4) mendapatkan latihan fisik maksimal dan vitamin E 2mg/hari per oral setiap hari selama 30 hari. Hasil yang didapat menunjukkan pemberian Vitamin E tidak mempengaruhi bobot ginjal mencit betina dewasa (Mus musculus L.) yang mendapat perlakuan latihan fisik maksimal (P>0,05), tetapi pemberian Vitamin E mempengaruhi rata-rata gambaran histologis tubulus proksimal ginjal mencit betina dewasa (Mus musculus L.) yang mendapat perlakuan latihan fisik maksimal(P<0,05). Latihan fisik maksimal menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang mempengaruhi gambaran histologis tubulus proksimal ginjal, Vitamin E sebagai antioksidan dapat menekan jumlah luas kerusakan tubulus proksimal ginjal dengan dosis 2 mg/ hari secara oral selama 15 hari.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Latihan fisik merupakan pergerakan tubuh yang dilakukan oleh otot dengan terencana dan berulang yang menyebabkan peningkatan pemakaian energi dengan tujuan untuk memperbaiki kebugaran fisik (Pedriatics, 1994, Laila,2007). Latihan fisik maksimal dapat memicu ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan sistem pertahanan antioksidan tubuh yang di kenal dengan stres oksidatif (Leeuwenburgh, 2001). Latihan fisik maksimal dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif pada tikus (Senturk et al., 2001) dan manusia (Sonneborn and Barbee, 1998; Pedersen and Hoffman-Goetz; Senturk et al., 2005; Escobar et al., 2009). Selama latihan fisik maksimal, konsumsi oksigen seluruh tubuh meningkat 20 kali, sedangkan konsumsi oksigen pada serabut otot di perkirakan meningkat 100 kali lipat. Peningkatan konsumsi oksigen ini berakibat meningkatnya produksi radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan sel (Ji, 1999).

Radikal bebas merupakan molekul dimana elektron yang terletak pada lintasan paling luar tidak mempunyai pasangan (Gillendwater, 1991; Halliwell, 1995). ROS (Reactive Oxigen Species) adalah bagian dari radikal bebas yang merupakan produksi dari metabolisme sel normal. Sebahagian ROS berasal dari proses fisiologis (ROS endogen) dan lainnya adalah ROS eksogen, seperti berbagai polutan lingkungan (emisi kendaraan bermotor dan industri, asbes, asap


(18)

rokok, dan lain-lain), radiasi ionisasi, infeksi bakteri, jamur dan virus, serta paparan zat kimia (termasuk obat) yang bersifat mengoksidasi. Berbagai jenis ROS adalah superoksida (O2-), hidroksil (OH-), alkoksil (RO-), peroksil (ROO-) dan hidroperoksil (ROOH). Di dalam tubuh, radikal bebas yang paling banyak terbentuk adalah superokside. Superokside dapat dirubah menjadi hydrogen peroksida. Hidrogen peroksida kemudian diubah menjadi radikal hidroksil. Radikal hidroksil inilah yang dapat menyebabkan peroksidasi lipid pada membran sel sehingga terjadi kerusakan sel (Cuzzocrea, et al.,2001).

Ginjal adalah organ yang merupakan gabungan dari unit struktural bernama nefron. Nefron sendiri terdiri atas glomerolus dan tubulus yang berfungsi membuang bahan-bahan sampah dari hasil pencernaan atau metabolisme dan mengontrol volume dan komposisi cairan tubuh. Fungsi pengaturan ginjal ini memelihara kestabilan lingkungan sel-sel yang diperlukan untuk melakukan berbagai macam aktivitasnya. Jalannya fungsi ginjal tersebut dapat terganggu akibat kerusakan komponennya (Munawar, 2009). Salah satu penyebabnya adalah obstruksi pada ginjal. Radikal bebas terbentuk pada keadaan hipoksia sel, hal ini dapat terjadi pada tekanan intrarenal meningkat akibat obstruksi ginjal. Dan menyebabkan perubahan hemodinamik kemudian penurunan ATP (Adenosine triphosphate) yang merupakan sumber energi sel. Metabolisme anaerob menyebabkan perubahan biokimia sel yang berakibat kerusakan sel dan timbulnya radikal bebas yang merusak sel dan vaskular (Yusuf, 2000).

Latihan fisik dengan aktifitas maksimal akan menyebabkan otot berkontraksi secara anaerob (Bompa,1990,Fox,1993). Nangaku (2006)


(19)

menunjukkan analisis statistik hubungan bermakna antara jumlah kapiler peritubuler sebagai indikator fungsi ginjal. Histologis pada model tikus membuktikan apotosis sel tubulus ginjal terjadi akibat keadaan hipoksia. Kerusakan ginjal dapat terjadi secara langsung pada sel atau akibat gangguan sirkulasi darah (iskemi). Gejala kliniknya meliputi hipertensi, anemia dan gagal ginjal kronik. Gambaran morfologiknya tampak papila nekrotik, berwarna coklat kekuningan disertai timbunan hasil metabolisme fenasetin atau pigmen mirip lipofusin, kemudian papila hancur dan lepas dalam pelvis ginjal. Mikroskopik tampak papila mengalami nekrosis koagulativa, disertai kalsifikasi distrofik (Alpers, 2007). Korteks mengalami atrofi, fibrosis intertisial, dan sebukan sel radang. Dinding pembuluh darah kecil dalam papila dan submukosa saluran kemih menunjukkan gambaran khas penebalan membran basal yang positif pada pulasan PAS (Wijaya, 2005). Podhorska (2006) menemukan kerusakan pada tubulus distal setelah latihan fisik akut yang ditandai dengan perubahan sel dan inti sel yang membengkak, nekrosis dan apoptosis tubuler dengan penonjolan mikrovili pada tubulus proksimal yang terlihat dalam korteks tubulus pada mencit dewasa yang mendapat latihan fisik berlebih yaitu treadmill sampai kelelahan selama enam jam dalam empat minggu.

Vitamin E merupakan antioksidan dan berfungsi penting dalam pemeliharaan integritas membrane sel utama tubuh (Allan, 2001). Vitamin E mengendalikan peroksida lemak dengan menyumbangkan hidrogen ke dalam reaksi yang mampu mengubah radikal peroksil (hasil peroksida lipid) menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif, sehingga tidak mampu merusak rantai asam


(20)

lemak dan selanjutnya melindungi sel dari kerusakan (Winarsi, 2007; Hariatmi, 2004). Penelitian yang dilakukan terhadap tikus dengan pemberian beberapa anti oksidan seperti vitamin C, Vitamin E, allupurinol, katalase, superoxida dismutase (SOD) pada oklusi arteri renalis binatang atau isolated ginjal dapat mengurangi peroksidasi lipid korteks dan memperbaiki fungsi ginjal. Bahkan mengurangi resiko penolakan ginjal (graft rejection) pada transplantasi ginjal. Percobaan perbandingan pada binatang dengan pemberian antioksidan dengan yang tidak diberikan antioksidan pada kerusakan ginjal pada obstruksi akut selama 14 hari dengan cara tindakan nefrektomi menemukan adanya kerusakan ginjal (berupa- nekrosis, destruksi glomerulus dan tubulus) yakni hilangnya pembuluh darah glomerulus dan tubulus proksimal serta ditemukan adanya kerusakan mikrofili sepanjang lumen tubulus antara kelompok yang diberikan antioksidan dan yang tidak diberikan antioksidan secara bermakna berbeda atau kerusakan ginjal lebih ringan pada kelompok yang diberikan antioksidan dibandingkan yang tidak diberikan antioksidan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latihan fisik maksimal dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif, sedangkan vitamin E yang merupakan antioksidan nonenzimatik dapat mengurangi aktivitas radikal bebas maka dilakukan penelitian tentang pengaruh pemberian vitamin E terhadap gambaran histopatologi tubulus proksimal mencit betina dewasa yang mendapat latihan fisik maksimal.


(21)

1.2. Perumusan Masalah

Adakah pengaruh pemberian vitamin E terhadap gambaran histopatologi tubulus proksimal mencit betina dewasa yang mendapat latihan fisik maksimal?

1.3. Kerangka Teori

Latihan fisik maksimal akan menimbulkan terjadinya pembentukan radikal bebas yang melebihi sistem pertahanan tubuh yang disebut Stres Oksidatif. Radikal bebas tersebut akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid pada membran sel ginjal dan jaringan tubulus proksimal sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan tubulus proksimal. Kerusakan pada sel akan memicu gangguan pada pembuluh darah dan aliran darah ke tubulus proksimal. Oleh karena vitamin E dapat bersifat sebagai antioksidan dengan cara menetralisir radikal bebas dan menghambat peroksidasi lipid, maka diharapkan dengan pemberian vitamin E dapat menghambat terjadinya peroksidasi lipid, mencegah kerusakan pada jaringan tubulus proksimal.


(22)

Gambar 1. Kerangka teori pengaruh pemberian vitamin E terhadap gambaran histopatologi tubulus proksimal pada mencit betina dewasa yang mendapat latihan fisik maksimal

1. 4 Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin E terhadap gambaran histopatologi tubulus proksimal mencit betina dewasa yang mendapat latihan fisik maksimal.

1.4.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin E terhadap perubahan bobot ginjal mencit betina dewasa yang mendapat latihan fisik maksimal.

b. Untuk mengetahui kemampuan vitamin E untuk memperbaiki dan menghambat kerusakan tubulus proksimal mencit betina dewasa yang mendapat latihan fisik maksimal.

Vitamin E Aktivitas fisik

maksimal Aktivitas fisik

maksimal

Radikal bebas ↓ (stress Oksidatif) Radikal bebas ↑

(stress oksidatif (+))

Peroksidasi Lipid ↓ Peroksidasi Lipid ↑

Kerusakan Tubulus Proksimal ↓ Kerusakan


(23)

1.5. Hipotesis

a. Ada pengaruh pemberian vitamin E terhadap perubahan bobot ginjal mencit betina dewasa yang mendapat latihan fisik maksimal.

b. Ada pengaruh vitamin E untuk memperbaiki dan menghambat kerusakan tubulus proksimal mencit betina dewasa yang mendapat latihan fisik maksimal.

1.6 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi ilmiah bagi masyarakat yang sering terpapar pada aktivitas atau kegiatan fisik berat akan manfaat pemberian vitamin E terhadap gambaran histopatologi tubulus proksimal dan dapat dijadikan sebagai referensi penelitian lanjutan untuk mengetahui dampak latihan fisik berat dan manfaat vitamin E terhadap fungsi ginjal.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Latihan Fisik

Latihan fisik adalah pergerakan tubuh yang dilakukan otot dengan terencana dan berulang yang menyebabkan peningkatan pemakaian energi dengan tujuanmemperbaiki kebugaran fisik (Pedriatics, 1994). Defenisi lain, latihan fisik atau exercise adalah subkelompok aktifitas fisik berupa gerakan tubuh yang terencana, terstruktur dan repetitive (berulang) untuk memperbaiki atau memulihkan satu atau lebih komponen kebugaran fisik (Halliwell and Whiteman, 2004).

Latihan fisik berdasarkan sumber tenaganya atau pembentukan ATP melalui tiga sistem, Yaitu 1) Sistem aerobik. 2) Sistem glikolisis anaerobik (Lactic acid system dan 3) Sistem ATP Creatinin Phospat (phosphagen system) (Fox, 1993). Aktivitas aerobik merupakan latihan yang bergantung terhadap ketersediaan oksigen untuk membantu proses pembakaran sumber energi sehingga juga akan bergantung pada kerja optimal organ-organ tubuh seperti jantung paru-paru dan juga pembuluh darah untuk mengangkut oksigen agar proses pembakaran sumber energi dapat berjalan sempurna. Latihan ini biasanya merupakan latihan olahraga dengan intensitas rendah-sedang yang dapat dilakukan secara kontinyu dalam waktu yang cukup lama.

Latihan anaerobik merupakan latihan dengan intensitas tinggi yang membutuhkan energi yang cepat dalam waktu yang singkat namun tidak dapat dilakukan secara kontinu untuk durasi waktu yang lama. Latihan ini juga biasanya


(25)

memerlukan interval istirahat agar ATP (adenosine Tripospat) dapat di regenerasi sehingga kegiatannya dapat dilanjutkan kembali. Latihan fisik akan menyebabkan perubahan–perubahan pada faal tubuh manusia, baik bersifat sementara/sewaktu-sewaktu (respons) maupun yang bersifat menetap (adaption). Latihan fisik dengan aktifitas tinggi (antara sub makasimal hingga maksimal) akan menyebabkan otot berkontraksi secara anaerobik. Kontraksi otot secara anaerobik membutuhkan penyediaan energi (ATP) melalui proses glikolisis anaerobik atau system asam laktat (lactid acid system). Glikolisis anaerobik akan menghasilkan produk akhir berupa asam laktat. Jadi,aktifitas dengan intensitas submaksimal hingga intensitas maksimal akan menyebabkan akumulasi asam laktat dalam otot dan darah (Bompa, 1990 , Fox, 1993).

Pada latihan fisik terjadi peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan ini akan mencapai maksimal saat penambahan beban kerja tidak mampu meningkatkan konsumsi oksigen. Hal ini dikenal dengan konsumsi oksigen maksimum (VO2 max). Sesudah VO2 max tercapai, kerja ditingkatkan dan dipertahankan hanya dalam waktu singkat dengan metabolisme anaerob pada otot yang melakukan aktifitas. Secara teoritis, VO2 max dibatasi oleh kardiak output, kemampuan sistem respirasi untuk membawa oksigen darah, dan kemampuan otot yang bekerja untuk menggunakan oksigen. Faktanya, pada orang normal (kecuali atlet pada yang sangat terlatih), Kardiak output adalah faktor yang menentukan VO2 max (Bompa, 1990). Pengaruh latihan fisik dapat seketika yang disebut respon akut dan pengaruh jangka panjang akibat latihan yang teratur dan terprogram yang disebut adaptasi. Termasuk respon akut adalah bertambahnya


(26)

frekwensi denyut jantung, peningkatan frekwensi pernafasan, peningkatan tekanan darah dan peningkatan suhu badan. Termasuk adaptasi antara lain peningkatan masa otot, bertambahnya masa tulang, bertambahnya sistem pertahanan antioksidan serta penurunan frekwensi denyut jantung istirahat (Sutarina dan Tambunan, 2004). Latihan fisik yang dapat meningkatkan sistem pertahanan antioksidan adalah latihan fisik dengan intensitas rendah dan intensitas sedang, karena aktifitas fisik pada tingkat ini mengacu pada program aktifitas fisik yang dirancang untuk meminimalkan pengeluaran radikal bebas. Sedangkan latihan fisik yang maksimal dan melelahkan dapat meningkatkan jumlah leukosit dan neutrofil baik dalam sirkulasi maupun jaringan (Cooper,2000). Nayanatara (2004) Latihan fisik maksimal renang pada tikus dengan durasi 45 menit dengan suhu lingkungan 200 C selama tujuh hari memberikan gambaran makroskopis berupa peningkatan berat hati, ginjal, kelenjar adrenal dan kortek serebri.

2.2 Radikal bebas dan Reaktive Oxygen Species (ROS)

Radikal bebas adalah suatu molekul dimana elektron yang terletak pada lapisan paling luar tidak mempunyai pasangan (Greenwald, 1991; Halliwell, 1995). Adanya molekul dengan elektron yang tidak berpasangan ini membuat mereka sangat reaktif (Burk, 1988). Reaktif artinya mempunyai spesifisitas yang rendah sehingga mereka mampu bereaksi dengan molekul-molekul yang berada disekitarnya. Molekul-molekul tersebut termasuk protein, lipid, karbohidrat dan

DNA. Reaktif juga berarti tidak bertahan lama dalam bentuk “asli” karena untuk


(27)

molekul yang lain. Artinya, radikal bebas menyerang molekul stabil yang berada di dekatnya dan mengambil elektron dari molekul tersebut. Molekul yang diambil elektronnya kemudian juga menjadi radikal bebas dan mengambil elektron dari molekul lain, begitulah seterusnya sampai terjadi kerusakan sel. Karena molekul-molekul yang sangat reaktif ini sebagian besar berasal dari oksigen maka secara umum molekul-molekul tersebut disebut reactive oxygen species (ROS). ROS berasal dari proses fisiologis tersebut (ROS endogen) dan lainnya adalah ROS eksogen ,seperti berbagai polutan lingkungan (emisi kendaraan bermotor dan industri,asbes,asap rokok, dan lain-lain),radiasi ionisasi,infeksi bakteri, jamur dan virus,serta paparan zat kimia (termasuk obat) yang bersifat mengoksidasi. Ada berbagai jenis ROS, contohnya adalah superoksida (O2-),hidroksil (OH-), alkoksil (RO-),peroksil (ROO-) dan hidroperoksil (ROOH) (Cuzzocrea,et al.,2001).

2.2.1 Produksi Radikal bebas akibat latihan fisik

Mekanisme terbentuknya radikal bebas selama aktifitas fisik maksimal ada 2 cara. Pertama disebabkan lepasnya electron superoksida dari mitokondria. Pada saat latihan fisik maksimal terjadi peningkatan konsumsi oksigen sampai 20 kali, bahkan dalam otot dapat mencapai 100 kali. Penggunaan oksigen yang berlebih ini dapat memicu pembentukan radikal bebas di berbagai jaringan tubuh. Selama latihan fisik maksimal, pengeluaran radikal bebas terutama superoksida dapat meningkat dalam mitokondria, atau pusat-pusat energi di dalam sel. Kedua terbentuknya radikal bebas, selama latihan fisik maksimal, erat hubungannya dengan proses iskemia-perfusi. Pada saat latihan fisik maksimal, terjadi hipoksia


(28)

relative sementara di jaringan beberapa organ yang tidak aktif seperti ginjal, hati dan usus. Hal ini untuk konpensasi peningkatan pasokan darah ke otot yang aktif dan kulit. Disamping itu selama latihan fisik dengan intensitas tinggi dengan denyut nadi 80-85% denyut nadi maksimal, serabut otot menjadi relative hipoksia, karena pada saat otot berkontraksi dengan kuat, memeras pembuluh darah intramuscular di bagian otot yang aktif, akibatnya terjadi penurunan aliran darah ke otot yang aktif untuk sementara. Setelah selesai latihan fisik, darah dengan cepat kembali ke berbagai organ yang kekurangan aliran darah tadi, sehingga terjadi perfusi yang dapat menyebabkan sejumlah radikal bebas turut dalam sirkulasi. (Cooper, 2000). Sumber utama produksi senyawa oksigen reaktif (ROS) selama aktifitas fisik adalah sebagai berikut :

1. Rantai transfer elektron mitokondria, terutama pada komplek 1 (NADH – ubiquinone reductase) dan komplek 3 (Ubiquinone – cythocrome c reductase), yaitu tempat pembentukan radikal superoksida dan hydrogen peroksida.

2. Jalur xantine oksidase melalui mekanisme iskemia – referfusi jantung. Selama iskemia, ATP diubah menjadi AMP. Jika suplai oksigen kurang AMP akan diubah menjadi hypoxantin yang selanjutnya diubah menjadi xantin dan assam urat oleh xantin oxidase, yang akhirnya membentuk radikal superoksida.

3. Neutrofil dan respon inflamasi, yang merupakan sumber sekunder produksi ROS selama periode recovery setelah latihan fisik berat.


(29)

4. Katekolamin, yaitu pada latihan fisik jangka panjang. Pada latihan ini terjadi peningkatan metabolisme oksidatif yang melalui aktivasi reseptor β -andrenergik menyebabkan produksi ROS mitokondria meningkat (Belviranh, 2006)

2.3 Patologi Ginjal

Zat dikelurkan tubuh melalui organ ekskresi, dan ginjal merupakan yang terpenting (Guyton, 2006). Ekskresi ginjal dapat berefek samping, baik karena toksin, obat, atau konsentrasi tinggi zat yang potensial merusak, menyebabkan nekrosis tubular akut (NTA), nefritis intersisialis akibat obat, dan membranoglomerulonephritis (MGN) (Underwood, 2000. Alpers 2007). Nekrosis tubuler akut adalah kesatuan klinikopatologik yang ditandai secara morfologik oleh destruksi sel epitel tubulus dan secara klinik oleh supresi akut fungsi ginjal (Alpers 2007). NTA dapat dibedakan atas NTA iskemik dan NTA nefrotoksik. NTA iskemik timbul pada beberapa kondisi klinis, seperti trauma, terbakar, infeksi yang penderitanya mengalami syok, transfusi darah yang tidak sesuai, dan kegawatan hemolitik lain seperti mioglobinuria. Pada NTA iskemik ginjal menjadi pucat dan bengkak.

Gambaran histologis menunjukkan adanya nekrosis segmen-segmen pendek tubulus. Kebanyakan lesi terlihat pada bagian lurus tubuli proksimalis, tetapi tidak ada segmen tubuli proksimalis atau tubuli distalis yang tersisa baik. Nekrosis tubulus biasanya disertai robekan membrana basalis (tubuloreksis) dan edema intersisium generalisata. Kast sering terjadi pada bagian distal tubulus dan


(30)

duktus kolektivus, yang terbentuk dari kumpulan debris seluler dan protein termasuk protein Tamm-Horsfall. Pada kasus NTA sebagai akibat jejas traumatik, mioglobin ditemukan dalam kast. Apabila NTA sebagai akibat dari kesalahan pencocokan darah pada transfusi, hemoglobin dapat pula ditemukan (Underwood, 2000. Alpers 2007). Pada NTA nefrotoksik ginjal bengkak, berwarna merah, dan sering ditemukan vakuolisasi sitoplasma sel epitel tubulus. Kerusakan terbanyak di tubulus proksimal, jarang di tubulus distal. Tampak adanya degenerasi tubulus proksimal yang mengandung debris, tetapi membrana basalis utuh (Underwood, 2000. Alpers 2007). NTA merupakan penyebab terpenting dari gagal ginjal akut. Klinisnya adalah oliguria yang dilanjutkan diuresis. Adanya kerusakan tubulus menyebabkan retensi cairan, sehingga terjadi uremia, hiperkalemia, peningkatan blood urea nitrogen (BUN) sekitar 25 sampai 30 mg/dl setiap hari, dan kreatinin meningkat kira-kira 2,5mg/dl setiap hari (Underwood, 2000. Price, 2005). Setelah penyembuhan, epitel tubulus diganti dengan sel yang belum memiliki kemampuan selektif, sehingga urin mudah lewat tanpa absorbsi yang mengakibatkan dehidrasi dan hilangnya elektrolit tertentu Alpers 2007. Price, 2005). Tampak pula peningkatan ketidakkebalan terhadap infeksi sehingga kurang lebih 25% kematian akibat NTA terjadi selama fase diuretik (Underwood, 2000).

Kerusakan ginjal dapat terjadi secara langsung pada sel atau akibat gangguan sirkulasi darah (iskemi). Gejala kliniknya meliputi hipertensi, anemia dan GGK. Gambaran morfologiknya tampak papila nekrotik, berwarna coklat kekuningan disertai timbunan hasil metabolisme fenasetin atau pigmen mirip lipofusin, kemudian papila hancur dan lepas dalam pelvis ginjal. Mikroskopik


(31)

tampak papila mengalami nekrosis koagulativa, disertai kalsifikasi distrofik (Price, 2005. Junqueira, 2008). Korteks mengalami atrofi, fibrosis intertisial, dan sebukan sel radang. Dinding pembuluh darah kecil dalam papila dan submukosa saluran kemih menunjukkan gambaran khas penebalan membran basal yang positif pada pulasan PAS (Wijaya, 1996).

2.3.1 Tubulus Proksimal

Tubulus proksimal berjalan berkelok-kelok dan berakhir sebagai saluran yang lurus di medula ginjal (pars desendens Ansa Henle). Tubulus kontortus

proksimal terdapat banyak pada korteks ginjal dengan diameter sekitar 60 μm dan

panjang sekitar 14 mm. Tubuluskontortus proksimal terdiri dari pars konvulata yang berada di dekatkorpuskulus ginjal dan pars rekta yang berjalan turun di medula dan korteks, kemudian berlanjut menjadi lengkung Henle di medulla (Gartner dan Hiatt, 2007). Fungsi tubulus kontortus proksimal adalah mengurangi isi filtrat glomerulus 80-85% dengan cara reabsorpsi melalui transport dan pompa natrium. Glukosa, asam amino dan protein seperti bikarbonat, akan diresorpsi. Epitel yang melapisi tubulus ini adalah selapis kuboid atau silindris yang menunjang dalam mekanisme absorbsi dan ekskresi. Sel-sel epitel ini memiliki sitoplasma asidofilik yang disebabkan oleh adanya mitokondria panjang dalam

jumlah besar. Apeks sel memiliki banyak mikrovili dengan panjang sekitar 1 μm,


(32)

et.al.,2005).

Gambar 2.

Histologi Ginjal Nornal (Eroschenko, 2003)

Pada medula bagian luar, ruas tebal desenden, dengan garis tengah luar

sekitar 60 μm, secara mendadak menipis sampai sekitar 12 μm dan berlanjut

sebagai ruas tipis desenden. Lumen ruas nefron ini lebar karena dindingnya terdiri atas sel epitel gepeng yang intinya hanya sedikit menonjol ke dalam lumen. Bila ruas tebal asenden lengkung Henle menerobos korteks, struktur histologisnya tetap terpelihara tetapi menjadi berkelok-kelok disebut tubulus kontortus distal, yaitu bagian terakhir nefron. Tubulus ini dilapisi oleh sel-sel epitel selapis kuboid (Junqueira et al., 2005). Sel epitel tubulus sangat peka terhadap anoksia dan rentan terhadap toksin. Beberapa faktor memudahkan tubulus mengalami toksik, termasuk permukaan bermuatan listrik yang luas untuk reabsorbsi tubulus, sistem transpor aktif untuk ion dan asam organik, dan kemampuan melakukan pemekatan secara efektif, selain itu kadar sitokrom P450 yang tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan toksikan (Cotran et al., 2007).


(33)

2.3.2 Mekanisme kerusakan ginjal akibat hipoksia

Ginjal merupakan organ tubuh dengan perfusi paling baik, bila dibandingkan dengan berat organ dan asupan oksigen permenit. Namun tekanan oksigen jaringan pada parenkim ginjal jauh lebih rendah dibandingkan organ lain dan tekanan terendah ada pada vena ginjal. Medula ginjal merupakan salah satu bagian tubuh dengan tekanan oksigen terendah. Perbedaan ini dijelaskan oleh adanya asupan oksigen yang tinggi dan tekanan oksigen jaringan yang rendah serta arsitektur unik vaskuler ginjal. Pada korteks dan medula ginjal, cabang-cabang arteri dan vena ginjal berjalan secara pararel dan kontak erat antara satu dengan yang lain dalam jarak yang panjang. Hal ini memberikan kesempatan difusi oksigen dari sistem arteri menuju sistem vena sebelum masuk menuju kapiler. Mekanisme ini menjelaskan rendahnya tekanan oksigen di medula dan korteks ginjal (Eckardt, 2005).

Segmen tubulus sebagian besar mempunyai kapasitas yang terbatas terhadap energi yang bersifat anaerobik sehingga tergantung pada oksigen dalam memelihara reabsorpsi aktif solut transtubulus. Kombinasi antara terbatasnya asupan oksigen jaringan dan tingginya kebutuhan oksigen merupakan faktor utama ginjal lebih mudah mengalami jejas iskemi akut (Brezis, 1995) Kapiler peritubuler ginjal merupakan basis struktur dari transport oksigen yang adekuat untuk sel tubulus, penurunan densitas kapiler ini berhubungan penyakit ginjal kronis. Bohle dan rekan, pada penelitian biopsi ginjal manusia menunjukkan penurunan jumlah kapiler peritubuler berhubungan dengan gangguan fungi ginjal yang progresif. Penelitian terbaru, hilangnya kapiler peritubuler ditunjukkan pada


(34)

berbagai model binatang, meliputi: glomerulonefritis, model ginjal remnant, obstruksi uretra, iskemi, stenosis arteri renalis. Penurunan densitas kapiler peritubuler terjadi dengan cepat dalam hitungan hari sejak terjadinya rangsangan awal dan tetap bertahan dalam beberapa minggu. Kerusakan tubulointerstisial akibat hipoksia melalui mekanisme yang multifaktorial. Hipoksia dapat mengaktifasi fibroblas, perubahan metabolisme matriks ekstrasel pada sel-sel ginjal, dan fibrogenesis. Aktifasi interstisial fibrosis akibat hipoksia dan peningkatan deposit matriks ekstrasel akan mengakibatkan gangguan aliran darah dan asupan oksigen. Sel tubulus ginjal yang mengalami hipoksia lebih mudah mengalami gangguan fungsi mitokondria dan defisit energi yang menetap. Hipoksia juga menginduksi apoptosis tubulus ginjal dan sel endotel melalui mekanisme mitokondria. Analisis histologis pada model tikus membuktikan apotosis sel tubulus ginjal akibat keadaan hipoksia. Penelitian ini membuktikan peranan iskemia kronik akibat kapiler derangement sebagai mediator gagal ginjal terminal (Nangaku, 2006).

2.3.3 Perubahan pada ginjal akibat hipoksia

Seperti halnya pada semua sel, anoksia pada sel ginjal mengakibatkan penekanan pada penyimpanan energi, perubahan gradien elektrolit, disrupsi dari actin cytoskeleton, aktivasi pospolipase dan perubahan ekspresi gen. Hipoksia ginjal menginduksi hilangnya polaritas epitel sepanjang tubulus proksimal dan induksi selektif fragmentasi DNA pada gen growth-response (memicu apoptosis) sepanjang medullary thick limbs. Jejas iskemi pada vaskular ginjal mengakibatkan


(35)

peningkatan aktifitas renovaskular dan merupakan predesposisi iskemi sekunder akibat hipotensi selama fase pemulihan pada gagal ginjal akut. Iskemia juga menginduksi antigen histokompatibilitas pada sel tubulus ginjal dan intercellular adhesion molecules pada sel endotel menyebabkan agregasi trombosit dan netrofil. Kerusakan akibat anoksia sepanjang tubulus ditentukan oleh lebih mudahnya terjadi hipoksia pada berbagai segmen nefron dan gradien oksigen jaringan. Glomerulus dan collecting ducts mempunyai daya tahan yang lebih baik terhadap keadaan hipoksia. Namun tubulus proksimal dan distal secara intrinsik lebih peka terhadap hipoksia. Gradien oksigen intrarenal lebih berperan pada kerusakan tubulus in vivo. Gradien oksigen intrarenal setelah iskemia ginjal mencerminkan distribusi jejas tubulus ginjal (Sastrawan, 2008)

Medula ginjal bagian luar merupakan tempat utama kerusakan ginjal karena adanya hipoksia regional dan tubulus yang rentan terhadap hipoksia. Sedangkan medula bagian dalam mempunyai daya tahan yang lebih baik. karena struktur anatominya dan kebutuhan metabolismenya lebih rendah. Korteks bukan merupakan target karena lokasinya paling jauh dari asupan oksigen dan strukturnya susceptible (Shanley, 1986) Fragmentasi dan pembengkakan sel merupakan respon tubulus terhadap hipoksia. Perbedaan respon terhadap hipoksia berhubungan dengan perbedaan fungsi antara segmen-segmen nefron (Brezis,1993).

Derajat atrofi tubulus dan fibrosis interstisial, berhubungan dengan beratnya gagal ginjal. Fibrosis meningkat pada penyakit ginjal kronis yang berasal dari hipoksia intrarenal akibat peningkatan konsumsi oksigen pada nefron


(36)

remnant. Hipoksia menyebabkan peningkatan ekspresi antigen dan pelepasan sitokin pada tubulus yang merangsang pembentukan kolagen intrarenal. Tidak ada alat yang dapat mengukur aliran darah atau oksigen intrarenal, sehingga hal ini hanya dapat diukur secara tidak langsung. Hilangnya kapasitas konsentrasi urin merupakan salah satu alat ukur yang paling sensitif untuk mengetahui kerusakan ginjal pada keadaan hipoperfusi (Brezis, 1995).

2.4 Vitamin E

Vitamin E pertama sekali ditemukan sekitar awal 1920-an. Vitamin E memiliki delapan struktur isomer tokoferol dan tokotrienols alpha (α), beta (β), gamma dan delta (δ) tocopherol dan tocotrienol (Brigelius,1999). Vitamin E ( -tocoferol) merupakan vitamin larut dalam lemak dan merupakan antioksidan dan berfungsi penting dalam pemeliharaan integritas membran sel utama tubuh. Defisiensi -tocoferol di manifestasikan pada gangguan neuromuskular, pembuluh darah dan sistem reproduksi, disfungsi membrane akibat degradasi oksidatif pada lemak tak jenuh membran phospholipid dan atau gangguan proses kritikal seluler (Terbelence, 2000).

Vitamin E merupakan pemutus rantai peroksida lemak pada membran. Vitamin E mengendalikan peroksida lemak dengan menyumbangkan ion hidrogen ke dalam reaksi, sehingga mengubah radikal peroksil (hasil peroksidasi lipid) menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif, menyekat aktivitas tambahan yang dilakukan oleh peroksida, sehingga memutus reaksi berantai dan bersifat membatasi kerusakan (Burton, 1994; Bregelius-Fohe, 1999).


(37)

Penelitian tentang efek antioksidan vitamin E pada hewan percobaan menggunakan dosis vitamin E berdasarkan berat badan hewan percobaan atau jumlah vitamin E yang dicampurkan dalam diet. Sureda (2005) menunjukkan bahwa pemberian vitamin E memberikan perbaikan pada eritrosit, limfosit, tetapi tidak pada neutrophil. Lipid dan zat asam thiobarbituric rekatif (TBARS) dalam plasma dan dalam serat otot pada tikus yang terbentuk dengan olah raga berat selama empat minggu dapat diturunkan dengan pemberian suplemen vitamin E. Verma et al., (2001) mendapatkan pemberian vitamin E 2 mg/hari per oral selama 45 hari mampu meningkatkan aktivitas enzim superoxide dismutase, glutathione peroxidase, dan catalase, serta menurunkan kadar MDA testis mencit yang dipaparkan aflatoksin 25 g/hari per oral selama 45 hari. Zhang (1997) meneliti pemberian vitamin E dengan dosis 2 mg/hari per oral selama 90 hari mampu menghambat terjadinya proses lipid peroksidasi, apoptosis, perubahan DNA, dan kanker pada ginjal mencit yang dipapari zat besi. Obianime; Roberts I.I (2009) mendapatkan adanya efek antioksidan yang sama antara vitamin C dan Vitamin E pada jaringan histologi ginjal dan testis mencit yang di papari kadmium. Dalam hal ini pemberian vitamin E 1,51 mg/hari peroral selama empat 30 hari dapat melindungi jaringan ginjal dan testis pada mencit yang terpapar kadmium yang dapat bertindak sebagai radikal bebas dan bersifat hepatotoksik.

Secara klinis, vitamin E juga bermanfaat melindungi membran dasar glomerulus ginjal dan menghambat proses pengentalan darah (agregrasi platelet) (Saran et al., 2003). Jika kekurangan vitamin E, dapat terjadi nefritis dimana tubulus tidak dapat dilewati urine yang ditandai dengan degenerasi basal yang


(38)

progresif. Jika hal ini berkepanjangan maka tubulus akan hancur, namun penambahan vitamin E akan memperbaiki kondisi ini. Vitamin E membantu sel bertahan hidup dengan penurunan kebutuhannya akan oksigen, mencegah jaringan parut dan kerusakan ginjal oleh karena bahan kimia beracun serta meningkatkan aliran urine (Crawford, 2010).


(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi FMIPA USU Medan mulai dari Februari 2011 sampai dengan Maret 2011.

3.2 Variabel Penelitian 3.2.1 Variabel independen

a. Latihan fisik maksimal b. Vitamin E

3.2.2. Variabel dependen a. Bobot Ginjal

b. Gambaran Tubulus Proksimal Ginjal

3.3 Defenisi Operasional

a. Latihan fisik maksimal: aktivitas fisik yaitu berenang sampai kelelahan.

b. Vitamin E: 2 mg α-tokoferol asetat dalam 0,5 ml larutan dalam larutan aquadest.

c. Gambaran histopatologi tubulus proksimal mencit : Perubahan pada sel-sel pelapis epitel tubulus berupa :


(40)

2. Nekrosis (kematian sel), yang ditandai dengan perubahan sebagai berikut:

- Karyopiknosis (inti kecil dan padat) - Karyolisis (inti pucat dan larut)

- Karyoreksis (inti pecah menjadi beberapa gumpalan)

3.4. Bahan dan Alat Penelitian 3.4.1. Bahan penelitian

Bahan biologis. Bahan biologis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah mencit betina (Mus musculus L.) strain DD Webster dewasa fertil berumur ± 3 bulan dengan berat badan 25-35 gram yang diperoleh dari FMIPA Biologi Universitas Sumatera Utara. Jumlah hewan uji perkelompok ditentukan dengan rumus (t-1) (n-1) ≥ 15. Jika t adalah jumlah perlakuan (dalam penelitian ini ada 5 kelompok perlakuan) dan n adalah jumlah ulangan perkelompok, maka jumlah n yang diharapkan (teoritis) adalah 5 (Federer, 1963). Sehingga jumlah keseluruhan hewan coba yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebanyak 25 ekor yang dipilih dari hasil perbanyakan untuk keperluan penelitian.

Bahan kimia. Bahan kimia yang dibutuhkan adalah vitamin E cair (dl-α-tokoferol asetat, produksi Merck, Germany), aquadest (pelarut vitamin E), NaCl 0,9 %, alkohol 70 %, larutan Fiksatif Bouin, Alkohol 70%, 80%, 90%, 96% dan alkohol absolut, Parafin Hematoxylin Eosin (H-E), Minyak imersi (Olympus, Japan) untuk memperjelas sediaan pada pembesaran 400 X.


(41)

3.4.2 Peralatan utama penelitian

Alat utama yang digunakan dalam penelitian antara lain: jarum oval (Gavage), gelas arloji, spuit 1 ml, bak bedah dan dissecting set, cawan petri, spektrofotometer, batang pengaduk, objek glas, timbangan, rotavator, buret oven, vertex mixer,erlen meyer, mikrotom, dan mikroskop cahaya.

3.5. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental yang didisain mengikuti Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian ini terdiri atas 5 kelompok perlakuan, yaitu:

a) Kelompok I (P0) = terdiri dari 5 ekor mencit betina dewasa yang tidak diberi perlakuan (kelompok kontrol).

b) Kelompok II (P1) = terdiri dari 5 ekor mencit betina dewasa yang diberi latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari.

c) Kelompok III (P2) = terdiri dari 5 ekor mencit betina dewasa yang diberi latihan fisik maksimal dan larutan aquadest 0,5 ml/hari per oral selama 30 hari.

d) Kelompok IV (P3) = terdiri dari 5 ekor mencit betina dewasa yang diberi latihan fisik maksimal setiap hari selama 15 hari pertama, kemudian 15 hari berikutnya diberikan latihan fisik maksimal dan vitamin E 2mg/hari per oral setiap hari.


(42)

e) Kelompok V (P4) = terdiri dari 5 ekor mencit betina dewasa yang diberi latihan fisik maksimal dan vitamin E 2mg/hari per oral setiap hari selama 30 hari.

Mencit ditempatkan ke dalam kelompok secara random. P5

P4 P3 P2 P1

0 15 30 (hari)

3.6 Pelaksanaan Penelitian 3.6.1 Pemeliharaan hewan coba

Mencit diaklimatisasi selama satu minggu dan ditempatkan di dalam kandang yang terbuat dari bahan plastik (ukuran 30 x 20 x10 cm) yang ditutup dengan kawat kasa. Dasar kandang dilapisi dengan sekam padi setebal 0,5-1 cm dan diganti setiap tiga hari. Cahaya ruangan dikontrol persis 12 jam terang (pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00) dan 12 jam gelap (pukul 18.00 sampai dengan pukul 06.00), sedangkan suhu dan kelembaban ruangan dibiarkan berada pada kisaran alamiah. Pakan (pelet komersial) dan minum (air PAM) disuplai setiap

LFM + Vit. E LFM + Vit. E

LFM

LFM + Larutan Latihan Fisik maksimal (LFM)


(43)

hari secara berlebih. Ethical clearance diperoleh dari Komite Etik Penelitian Hewan Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara.

Gambar 3 Mencit betina dewasa (Mus musculus L.) 3.6.2 Pemberian latihan fisik maksimal

Latihan fisik maksimal dilakukan dengan cara berenang sampai kelelahan (Laksmi, 2010; Jawi et al., 2008; Yu et al., 2006; Leeuwenburgh and Li, 1998). Mencit berenang di dalam wadah kaca (ukuran 100 x 50 x 80 cm) yang diisi dengan air setinggi 60 cm, tidak ada jalan keluar. Sebagai usaha untuk keluar dari wadah, tikus akan berenang, menyelam dan memanjat dinding wadah dengan sekuat tenaga. Saat mencit menghentikan segala gerakannya, kecuali gerakan untuk bertahan hidup (mempertahankan kepala tetap berada di permukaan air), hal ini dianggap mencit sudah melakukan latihan fisik maksimal. Segera setelah itu, keluarkan mencit dari wadah, keringkan dengan handuk kering, dan kembalikan ke dalam kandang.

3.6.3 Pemberian vitamin E

Vitamin E yang diberikan adalah dl-α-tokoferol asetat yang dilarutkan dalam larutan tween aquadest. Dosis vitamin E yang diberikan adalah 2mg/hari per oral dalam 0,5 ml larutan (Verma et al., 2001)


(44)

3.6.4 Pengamatan

Setelah 30 hari perlakuan, masing-masing hewan coba dikorbankan dengan cara dislokasi leher dan dibedah. Selanjutnya dilakukan pengamatan sebagai berikut :

Gambar 4. Pembedahan mencit betina dewasa (Mus musculus L.)

3.6.4.1 Pengamatan Bobot Ginjal

Setelah dilakukan semua isolasi ginjal (30 ekor mencit jantan dewasa) maka ginjal kiri dan kanan diletakkan pada kertas ukur dan ditimbang pada timbangan mikrogram, kemudian dicatat berat masing-masing ginjal.

3.6.4.2 Prosedur Pembuatan sediaan histologis tubulus proksimal

Pembuatan sediaan histologis menurut Suntoro, S.H, (1983) dengan metode parafin adalah : fiksasi, pencucian, dehidrasi, penjernihan, infiltrasi parafin, penanaman, pengirisan, penempelan, deparafinasi, pewarnaan, penutupan serta pemberian label.

Fiksasi

Organ ginjal yang telah di potong-potong kemudian di masukkan kedalam larutan fiksatif Bouin selama 2-10 jam.


(45)

Pencucian

Setelah proses fiksasi dilakukan pencucian dengan alkohol 70 %. Dehidrasi

Dilakukan secara bertahap, dengan alkohol 70% selama 10 menit, alkohol 80%, 90%, 96%, masing-masing selama 60 menit, kemudian dengan alkohol absolut selama 30 menit.

Penjernihan

Dilakukan segera setelah proses dehidrasi dengan menggunakan toluol murni.

Infiltrasi Parafin

Proses infiltrasi parafin dilakukan di dalam oven dengan suhu 56○C. Organ ginjal di masukkan kedalam campuran toluol-parafin dengan perbandingan 1:1 selama 30 menit. Kemudian berturut dimasukkan kedalam:

Parafin Murni I selama 60 menit Parafin Murni II selama 60 menit Parafin Murni III selama 60 menit Penanaman

Sediaan dari Parafin murni III dimasukkan kedalam kotak kertas kecil sebagai cetakan yang telah berisi parafin cair, dan dibiarkan sampai parafin mengeras.


(46)

Gambar 5. Gambar Sediaan Parafin jaringan Tubulus Proksimal

Pengirisan

Blok parafin ginjal yang telah mengeras di tempelkan pada holder kayu sampai melekat erat, kemudian dipasangkan pada mikrotom.Pengirisan dilakukan dengan ketebalan 6 µm.

Penempelan

Pada gelas benda siolesi dengan larutan albumin mayer dan ditetresi dengan aquadest. Kemudian beberapa pipa parafin diletakkan di permukaan aquadest pada gelas benda dan dibiarkan beberapa saat, kemudian gelas benda dipindahkan ke meja pemanas hingga kering.

Pewarnaan

Pewarnaan dengan Hematoxylin Eosin (H-E) melalui tahapan a. Preparat dideparafinasi dalam xylol sampai bebas parafin.

b. Dimasukkan dalam alkohol 96%, 90 %, 80 %, 70%, 50%, 30%, aquadest. c. Diamsukkan dalam larutan hematoxylin Erlich selama 1 menit.

d. Dicuci dengan air mengalir, dicelupkan kedalam aquadest, alkohol 30%, 50%, 70%


(47)

f. Kemudian dimasukkan ke dalam alkohol 70%, 80%, (0% dan alkohol absolut.

g. Selanjutnya dimasukkan kedalam xylol. Penutupan

Preparat ditutup dengan gelas penutup setelah ditetesi dengan canada balsem terlebih dahulu, lalu diberi label.

3.6.4.3 Pemeriksaan Histopatologi dan Penilaian Perubahan Jaringan Ginjal ( Tubulus Proksimal)

Prosedur Kerja: Setiap mencit dibuat preparat ginjal (kiri dan kanan) dan tiap preparat dibaca (dibagi) dalam 4 lapangan pandang yaitu keempat sudut bagian preparat dengan pembesaran 400 kali dengan memakai mikroskop, serta batasan jumlahnya setiap bagian lapangan pandang adalah 25 sel, kemudian disesuaikan dengan tingkat/derajat kerusakan 0, 1, 2, 3 dan 4 selanjutnya dicari rata-ratanya di 4 lapangan pandang.

Sasaran yang dibaca adalah perubahan struktur (gambaran) histologis tubulus kontortus proksimal ginjal mencit, karena sel epitel tubulus proksimal mencit merupakan tempat absorbsi dan mengkonsentrasikan racun (Rubin, 2009).

Kriteria Normal bila tidak diketemukan :

a. Degenerasi Hidrofilik (pembengkakan pada sitoplasma)

b. Nekrosis (kematian sel),yang ditandai dengan perubahan sebagai berikut : - Karyopiknosis (inti kecil dan padat)


(48)

- Karyolisis (inti pucat dan larut)

- Karyoreksis (inti pecah menjadi beberapa gumpalan)

Tingkat kerusakan sel epitel pelapis tubulus proksimal : 0 = Sel dengan inti dan sitoplasma yang masih dalam batas normal 1 = Sesuai dengan kriteria a (degenerasi hidrofilik)

2 = Ditemukan nekrotik tubulus proksimal,dengan luas < 25 % 3= Ditemukan nekrotik tubulus proksimal, dengan luas 26-50 % 4= Ditemukan nekrotik tubulus proksimal,dengan luas>50%

3.7 Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

Semua data dipresentsikan dalam bentuk rata-rata ± simpangan baku (rata-rata± SD). Dilakuakn uji normalitas dan homogenitas. Jika didapati distribusi normal dan homogeny diuji dengan analisis parametik anova dan uji lanjut dengan benferroni taraf 5 %. Data tidak berdistribusi normal dan tidak homogen di uji dengan uji Kruskal-wallis taraf 5% untuk melihat perbedaan antar kelompok control dan masing-masing perlakuan, bila didapatkan hasil adanya perbedaan nyata di lanjutkan dengan uji Mann-Withney untuk melihat perbedaan masing-masing kelompok perlakuan. Semua analisi dat dilakukan dengan menggunakan SPSS. Dalam penelitian ini, hanya perbedaan rata-rata pada α ≤ 0,05 yang dianggap bermakna (signifikan).


(49)

3.8.Jadwal Penelitian

Keseluruhan kegiatan penelitian dari persiapan sampai pada penulisan hasil penelitian adalah lebih kurang 8 minggu. Urutan kegiatan dan jadwal pelaksanaan secara lengkap dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1. Jadwal Penelitian

No. Kegiatan

Minggu ke-

1 2 3 4 5 6 7 8

1 Persiapan

2 Pelaksanaan

3 Analisa Data


(50)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1 Bobot Ginjal Mencit Betina Dewasa (Mus musculus L.)

Setelah dilakukan penilaian terhadap bobot ginjal mencit (Mus musculus L) betina dewasa setelah melakukan aktifitas fisik maksimal pada tiap kelompok didapatkan hasil seperti yang telihat pada Tabel 3di bawah ini :

Tabel 3. Rata-rata Bobot Ginjal

Perlakuan Bobot Ginjal (g)

P0 0,21 ± 0,05

P1 0,19 ± 0,02

P2 0,21 ± 0,03

P3 0,22 ± 0,01

P4 0,23 ± 0,01

x= Rata-rata, SD = Standar deviasi, P0 = Mencit betina dewasa tidak diberi perlakuan (kelompok kontrol), P1 = Mencit betina dewasa yang diberi latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari, P2 = Mencit betina dewasa yang diberi latihan fisik maksimal dan larutan aquadest 0,5 ml/hari per oral selama 30 hari, P3 = Mencit betina dewasa yang diberi latihan fisik maksimal setiap hari selama 15 hari pertama, kemudian 15 hari berikutnya diberikan latihan fisik maksimal dan vitamin E 2mg/hari per oral setiap hari, P4 = Mencit betina dewasa yang diberi latihan fisik maksimal dan vitamin E 2mg/hari per oral setiap hari selama 30 hari.


(51)

Gambar 1 Grafik Histogram hasil rata-rata bobot ginjal yang tertera pada Tabel 3 Pada Tabel 3 dan Gambar 1 dapat dilihat rata-rata bobot ginjal pada setiap perlakuan didapati paling tertinggi terdapat pada mencit betina dewasa yang diberi latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari (P3) yakni (0,23±0,01 g), dan paling terendah pada mencit betina dewasa yang diberi latihan fisik setiap hari selama 15 hari pertama, kemudian 15 hari berikutnya diberikan latihan fisik maksimal dan vitamin E 2mg/hari per oral setiap hari (P1) yakni (0,19±0,02 g), namun kedua hasil tersebut bila masing-masing dibandingkan dengan kontrol didapati hasil yang perbedaan tidak nyata. Demikian pula diantara masing-masing perlakuan bila dibandingkan satu dengan perlakuan yang lain masih didapati perbedaan tidak nyata.


(52)

4.1.2. Penilaian Perubahan Jaringan Ginjal (Sel Ginjal Nekrotik) Mencit (Mus musculus L.) jantan

Hasil pengukuran dan perhitungan perubahan tubulus proksimal mencit (Mus musculus L) betina dewasa setelah melakukan aktifitas fisik maksimal ditampilkan pada Tabel 4 di berikut ini.

Tabel 4. Rata-rata Luas nekrotik Sel Ginjal tubulus Proksimal

Perlakuan

Luas Nekrotik Sel Tubulus Proksimal (%)

P0 6,65 ± 1,42 a

P1 54,25 ± 4,16 a

P2 32,80 ± 7,11 b

P3 27,81 ± 2,86 b

P4 29,06 ± 6,04 b

x= Rata-rata, SD = Standar deviasi; untuk perlakuan berbeda yang diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata pada taraf uji 5%; P0: Mencit betina dewasa tidak diberi perlakuan (kelompok kontrol), P1: Mencit betina dewasa yang diberi latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari, P2: Mencit betina dewasa yang diberi latihan fisik maksimal dan larutan aquadest 0,5 ml/hari per oral selama 30 hari, P3: Mencit betina dewasa yang diberi latihan fisik maksimal setiap hari selama 15 hari pertama, kemudian 15 hari berikutnya diberikan latihan fisik maksimal dan vitamin E 2mg/hari per oral setiap hari, P4: Mencit betina dewasa yang diberi latihan fisik maksimal dan vitamin E 2mg/hari per oral setiap hari selama 30 hari.


(53)

Gambar 2. Grafik Histogram hasil rata-rata perubahan jaringan Ginjal sel nekrotik yang tertera pada Tabel 4.

Pada Tabel 4 dan Gambar 2 dapat dilihat rata-rata luas sel ginjal (tubulus proksimal) nekrotik yang terluas didapatkan pada P1 (54,25 ± 4,16%), jumlah sel ginjal (tubulus proksimal) nekrotik mencit betina dewasa pada setiap perlakuan didapati paling luas terdapat pada mencit betina dewasa yang diberi latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari bila dibandingkan dengan kontrol, P2, P3 dan P4, didapati hasilnya berbeda nyata.

Rata-rata jumlah sel ginjal (tubulus proksimal) nekrotik mencit betina dewasa pada setiap perlakuan didapati paling sedikit luas kerusakan terdapat pada mencit betina dewasa yang diberi latihan fisik maksimal setiap hari selama 15 hari pertama, kemudian 15 hari berikutnya diberikan latihan fisik maksimal dan vitamin E 2mg/hari per oral setiap hari (P3) yakni (27,81±2,86%), bila dibandingkan dengan kontrol, P2 dan P4 didapati hasilnya berbeda tidak nyata, namun bila dibandingkan dengan P1 didapati hasilnya berbeda nyata.

a

b

a


(54)

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 3. Perubahan Struktur Histopatologi Jaringan Tubulus Proksimal Ginjal Mencit (a) P 0 (b) P 1 (c) P 2 (c) P 3 (d) P 4 (e) P 5. Melalui pembesaran 400 x 4.2. PEMBAHASAN

4.2.1. Bobot Ginjal (g) Mencit Betina Dewasa (Mus musculus L.)

Pada penelitian ini didapati rata-rata bobot ginjal terberat pada mencit betina dewasa yang mendapat latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari tidak nyata. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Wresdiyati dan Makita (2005) mendapatkan hasil adanya kondisi stres mengakibatkan terjadinya kelainan morfologi dan peningkatan jumlah organel peroksisomes pada ginjal kera. Wresdiyati, Made, dan I Ketut (2003), kerusakan sel disini termasuk kerusakan sel parenkhim ginjal dan kerusakan sel endotel pembuluh darah yang dapat mengakibatkan permeabilitas pembuluh darah meningkat, serta diapedesis sel radang atau leukosit. Proses fagositosis yang


(55)

dilakukan oleh sel-sel inflamasi juga dapat menghasilkan radikal bebas. Kondisi ini lebih memperparah keadaan kerusakan sel akibat radikal bebas, termasuk terjadinya inflamasi. Menurut Ames and Shigenaga (1992), kondisi stres oksidatif dapat diinduksi oleh berbagai faktor seperti kurangnya antioksidan dan kelebihan produksi radikal bebas. Keadaan ini dapat mempengaruhi prosesproses fisologis maupun biokimia tubuh, yang mengakibatkan terjadinya gangguan metabolisme fungsi sel dan dapat berakhir pada kematian sel. Oksigen reaktif dapat bereaksi dengan beberapa makromolekul seperti DNA, protein, dan lemak. Gangguan dan kerusakan tersebut dapat menginduksi terjadinya berbagai penyakit dan proses degeneratif seperti penuaan dan karsinogenesis. Menurut Nayanatara (2004) Latihan fisik maksimal renang pada tikus dengan durasi 45 menit dengan suhu lingkungan 200C selama tujuh hari memberikan gambaran makroskopis berupa peningkatan berat hati, ginjal, kelenjar adrenal dan kortek serebri.

Pada penelitian ini pemberian vitamin E 2 mg/hari per oral setiap hari setelah aktifitas fisik maksimal 15 hari berikutnya didapati rata-rata bobot ginjal yang terkecil, tetapi masih dalam batas normal. Hal ini menurut penelitian Suhartono et al., (2007) bahwa, vitamin E berada di dalam lapisan fosfolipid membran sel dan berfungsi melindungi asam lemak jenuh ganda dan komponen membran sel lain dari oksidasi radikal bebas dengan memutuskan rantai peroksidase lipid dengan cara menyumbangkan satu atom hidrogen dari gugus OH pada cincinnya ke radikal bebas, sehingga terbentuk radikal vitamin E yang stabil dan tidak merusak. Vitamin E berfungsi sebagai pelindung terhadap peroksidasi lipid di dalam membran.


(56)

4.2.1. Penilaian perubahan jaringan ginjal (sel ginjal nekrotik) mencit (Mus musculus L.) jantan dewasa.

Pada penelitian ini didapati penilaian perubahan jaringan ginjal (Tubulus proksimal) nekrotik mencit betina dewasa yang diberi latihan fisik maksimal setiap hari selama 30 hari nyata. Kemungkinan hal ini timbul karena adanya adanya stres oksidatif yang ditimbulkan oleh latihan fisik maksimal yang diberikan, sehingga meningkatkan akumulasi oksidan pengaruh radikal bebas yang menyebabkan kerusakan sel. Pengaruh radikal bebas yang menyebabkan kerusakan sel otot tungkai mencit yang ditandai oleh adanya semiquinone, diikuti dengan berbagai kerusakan seluler karena peroksidasi lipid seperti hilangnya kelenturan retikulum sarkoplasma sel. Seperti pernyataan Astuti (1999), bahwa radikal bebas yang muncul pada tikus dapat terdeteksi pada otot tungkai dan hati tikus. Ini ditantandai dengan adanya semiquinone, diiringi dengan berbagai kerusakan seluler akibat peroksidasi lipid seperti hilangnya kelenturan sarkoplasma dan uncoupling mitokondria. Peningkatan kadar anion superoksida dalam sel menyebabkan akumulasi produk antara seperti peroksidasi lipid yang dapat mengubah integritas membran, bahkan dapat menyebabkan kematian sel.

Pada penelitian ini didapat jumlah perubahan jaringan ginjal (Tubulus proksimal) nekrotik mencit betina dewasa yang diberi latihan fisik maksimal setiap hari selama 15 hari pertama, kemudian 15 hari berikutnya diberikan latihan fisik maksimal dan vitamin E 2mg/hari per oral setiap hari terdapat perbedaan tidak nyata.


(57)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut :

5.1.1 Pemberian vitamin E tidak mempengaruhi bobot ginjal mencit betina dewasa (Mus musculus L) yang mendapat perlakuan latihan fisik maksimal

5.1.2 Pemberian vitamin E mempengaruhi nyata (p<0,05) gambaran histologis tubulus proksimal mencit betina dewasa (Mus musculus L) yang mendapat perlakuan latihan fisik maksimal

5.2. Saran

a. Disarankan adanya penelitian lanjutan dengan memeriksa berbagai indikator stres oksidatif.

b. Membandingkan vitamin E dengan antioksidan lain seperti vitamin C dan beta karotin dalam menekan oksidan (radikal bebas) yang diakibatkan oleh latihan fisik maksimal pada mencit betina.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Allan S .2001. Michael IL, Timothy DN. Neural Control of Force Output During Maximal and Submaximal Exercise. Sports Medicine 31(9). p. 637-50. Belviranh M, Gokbel H. Acute exercise induced oxidative stress and antioxidative

stress and antioxidant changes. 2006. Eur J Gen, 126-131.

Bompa T.O. Theory and Methodology of Training. Toronto, Ontorio, Canada, Kendall/Hunt Publishing Company. 1990. p. 343.

Brezis M, Rosen S. Hypoxia of the renal medulla: its implication for disease. 1995 N.Eng J Med, 332: 647-55.

Coller BS. Leukocytosis and ischemic vascular disease morbidity and mortality: is it time to intervene? Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2005 Apr;25(4):658-70.

Cooper, K.H. 1994. Antioxidant Revolution , Thomas Nelson Publishers , Nashville-Atlanta-London-Vancouver.

Eckardt K, Bernhardt WM, Weidemann A, Wernecke C, Rosenberger C, Wiesener WS, Willam C. 2005. Role of hypoxia in the pathogenesis of renal disease. Kidney Int , 68:S46-S51.

Fox SI. Muscle. 2003. Mechanism of Contraction and Neural Control. In : Fox SI. Human Physiology, 8nd ed. McGraw-Hill, p. 343.

Gillenwater JY. 1992. The pathophysiology of urinary tract obstruction. In:

Campbell’s urology. Sixth Ed. W.B. Saunders. Philadelphia, London, Toronto, Montrel, Sydney,Tokyo. Vol I: 499-532.

Gunduz F, Senturk U.K, Kuru O, Aktekin B, M.R. Aktekin. 2004. The effect of One Ywer's Swimming Exercise on Oxidant Stress ans Antioxidant Capacity in Aged Rats, (4) 3: 121-176.

Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of medical physiology. Eleventh ed. Philadelphia: Elsevier saunders;


(59)

Halliwell B, Gutteridge JMC. 1994. Free radicals, antioxidants, and human disease. Curiosity, cause, or cosequence?. Neurogenerative disease research Group, King College, London . Vol. 344. 721-725.

Hariyatmi. 2004. Kemampuan vitamin E sebagai antioksidan terhadap radikal bebas pada lanjut usia. MIPA, 14(1), 52-60

Jawi, I.M., Suprapta, D.N., Subawa, A.A.N. 2008. Ubi Jalar Ungu menurunkan Kadar MDA dalam Darah dan Hati Mencit setelah Aktivitas Fisik Maksimal. Jurnal Veteriner, 9(2), 65-72.

Ji.L.L. 1999. Antioxidant Enzyme Response to Exercise and Aging . Med Scient Sport Exercise, 25, 225-231.

Junqueira, L.C., Carneiro, J., Kelley, R.O., ahli bahasa, Jan Tambayong. 1995, Histologi Dasar. Edisi ke 8, Jakarta. EGC.:370-387.

Junqueira, L.E., Carneiro, J., Kelley, R.O. 2005, Basic Histology. 11th Edition, Boston: Mc Graw-Hill, p: 373-90.

Khassaf M, McArdle A, Esanu C, Vasilaki A, McArdle F, Griffiths RD, et al. Effect of vitamin C supplements on antioxidant defence and stress proteins in human lymphocytes and skeletal muscle. J Physiol. 2003 Jun 1;549(Pt 2):645-52.

Laksmi, D.N.D.I. 2010. Glutathion meningkatkan kualitas tubulus seminiferus pada mencit yang menerima pelatihan fisik berlebih. Buletin Veteriner Udayana, 3, 719-21

Leeuwenburgh, C., Ji, L.L. 1998. Glutathione and Glutathione Ethyl Ester Supplementation of Mice Alter Glutathione Homeostasis during Exercise. The Journal of Nutrition, 128, 2420-26.

Leeuwenburgh C, Heinecke J.W.2001. Oxidative stress and Antioxidants in Exercise. Current Medicinal Cemistry Rev. 8(7):829-838

Munawar. 2009. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Valerian (valerian Officinalis) terhadap Ginjal mencit Balb/C. J Farmakologi UNDIP


(60)

Nangaku. 2006. M. Chronic hypoxia and tubulointerstitial injury: a final common pathway to end-stage renal failure. J Am Soc Nephrol ,17:17-25.

Physical Fitness and Activity in School. 1994. American Academy of Pedriatics. Pedriatics , 93 : 686-8.

Poodhorska Marzena O, et.all. 2006. Expression of metallothionein in renal tubules of rats exposed to acute and endurance exercise. J Histology and embriologi,195-200-44

Poortmans JR, Vanderstraeten. 1994. J. Kidney function during exercise in healthy and diseased humans. An update. Sports Med 18: 419–437.

Sastrawan I.G.P. 2008. Peran Hipoksia Pada Patogenesis Penyakit Ginjal. J Penyakit Dalam. (1): 9(1).

Senturk UK, Gunduz F, Kuru O, Aktekin MR, Kipmen D, Yalcin O, et al. . 2001. Exercise-induced oxidative stress affects erythrocytes in sedentary rats but not exercise-trained rats. J Appl Physiol. Nov; 91(5):1999-2004.

Senturk UK, Gunduz F, Kuru O, Kocer G, Ozkaya YG, Yesilkaya A, et al. 2005.Exercise-induced oxidative stress leads hemolysis in sedentary but not trained humans. J Appl Physiol. Oct, 99(4):1434-41.

Suhartono E, Fachir H & Setiawan B. 2007. Kapita Sketsa Biokimia Stres Oksidatif Dasar dan Penyakit. Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin: Pustaka Banua.

Terblance SE. 2000. The Effects of exhausative exercise on the activity levels of catalase in various tissue of male and female. Cell Biol , 23(11):749-53. Underwood JCE. 2000. Patologi Umum dan Sistemik. Vol.2. 2nd ed. Jakarta:

EGC

Verma, R.J., Nair, A. 2001. Ameliorative effect of vitamin E on aflatoxin-induced lipid peroxidation in the testis of mice. Asian J Androl, 3, 217-21

Wijaya A. 1996. Radikal bebas dan parameter status antioksidan. Forum diagnosticum. Prodia diagnostics educational services. No. 1. 1-11.


(61)

Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas: Potensi dan Aplikasinya dalam Kesehatan. KANISIUS, Yogyakarta

Yusuf M.A, Widodo J.P, Soebadi D.M. 2000. Hubungan Radikal bebas dan Antioksidan dengan Kerusakan Ginjal Pada Obstruksi Akut, Eksperimen Pada Hewan Coba. Jurnal Bedah.


(62)

LAMPIRAN 1 A. BERAT GINJAL

Tabel 1. Hasil rata-rata berat ginjal mencit jantan setelah latihan fisik maksimal

Perlakuan Ulangan

1 2 3 4 5 x±SD

P0 0,16 0,28 0,16 0,20 0,25 0,21±0,05

P1 0,17 0,20 0,21 0,20 0,18 0,19±0,02

P2 0,20 0,23 0,25 0,21 0,18 0,21±0,03

P3 0,20 0,16 0,24 0,21 0,23 0,21±0,03

P4 0,22 0,25 0,22 0,23 0,22 0,23±0,01

Karena tidak homogeny maka ditransformasi datanya. Setelah transformasi didapatkan hasil sebagai berikut:

Tests of Normality

.223 5 .200* .888 5 .346

.287 5 .200* .914 5 .490

.159 5 .200* .990 5 .980

.199 5 .200* .941 5 .670

.330 5 .079 .735 5 .021

Kelompok Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 Berat Ginjal

St at ist ic df Sig. St at ist ic df Sig. Kolmogorov -Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true signif icance. *.

Lillief ors Signif icance Correction a.

Test of Homogeneity of Variance

4.013 4 20 .015

2.433 4 20 .081

2.433 4 13.633 .098

3.831 4 20 .018

Based on Mean Based on Median Based on Median and with adjusted df

Based on t rimmed mean Berat Ginjal

Lev ene

St at ist ic df 1 df 2 Sig.

Tests of Normality

.223 5 .200* .888 5 .346

.287 5 .200* .914 5 .490

.159 5 .200* .990 5 .980

.199 5 .200* .941 5 .670

.330 5 .079 .735 5 .021

Kelompok Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 Berat Ginjal

St at ist ic df Sig. St at ist ic df Sig. Kolmogorov -Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true signif icance. *.

Lillief ors Signif icance Correction a.


(63)

Hasil: Data tetap berdistribusi normal tetapi juga tetap tidak homogen

variansinya, sehingga dilanjutkan dengan uji nonparametrik. Kruskal-Wallis. Kruskal-Wallis Test

Hasil: Tidak terdapat perbedaan berat badan mencit sebelum dan setelah perlakuan (p>0,05)

Test of Homogeneity of Variance

3.091 4 20 .039

2.525 4 20 .073

2.525 4 15.032 .084

3.089 4 20 .039

Based on Mean Based on Median Based on Median and with adjusted df

Based on t rimmed mean Berat Ginjal

Lev ene

St at ist ic df 1 df 2 Sig.

Ranks 5 12.20 5 8.10 5 13.90 5 12.80 5 18.00 25 Kelompok Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 Total Berat Ginjal

N Mean Rank

Test Statisticsa,b

4.736 4 .315 Chi-Square

df

Asy mp. Sig.

Berat Ginjal

Kruskal Wallis Test a.

Grouping Variable: Kelompok Perlakuan b.


(64)

LAMPIRAN 2 B. SEL NEKROTIK

Tabel 2. Hasil rata-rata sel nekrotik (%) mencit jantan setelah latihan fisik maksimal

Perlakuan Ulangan

1 2 3 4 5 x±SD

P0 6,92 5,87 5,00 6,65 8,81 6,65±1,42

P1 59,04 48,39 53,42 57,36 53,04 54,25±4,16

P2 32,81 41,53 37,73 28,01 23,92 32,80±7,11

P3 29,68 25,96 23,73 30,44 29,25 27,81±2,86

P4 38,80 25,59 25,96 30,96 24,00 29,06±6,04

Tests of Normality

.225 5 .200* .962 5 .820

.185 5 .200* .954 5 .768

.156 5 .200* .976 5 .911

.293 5 .186 .882 5 .317

.296 5 .174 .850 5 .196

Kelompok Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 Sel Nekrotik (%)

St at ist ic df Sig. St at ist ic df Sig. Kolmogorov -Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true signif icance. *.

Lillief ors Signif icance Correction a.

Test of Homogeneity of Variance

2.738 4 20 .058

1.383 4 20 .276

1.383 4 11.357 .300

2.643 4 20 .064

Based on Mean Based on Median Based on Median and with adjusted df

Based on t rimmed mean Sel Nekrotik (%)

Lev ene

St at ist ic df 1 df 2 Sig.

ANOVA Sel Nekrotik (%)

5733.631 4 1433.408 62.624 .000

457.783 20 22.889

6191.414 24

Between Groups Within Groups Total

Sum of


(65)

Post Hoc Tests

Multi ple Comparisons

Dependent Variable: Sel Nekrotik (%) Bonf erroni

-47.60000* 3.02583 .000 -57.1417 -38.0583 -26.15000* 3.02583 .000 -35.6917 -16.6083 -21.16200* 3.02583 .000 -30.7037 -11.6203 -22.41200* 3.02583 .000 -31.9537 -12.8703 47.60000* 3.02583 .000 38.0583 57.1417 21.45000* 3.02583 .000 11.9083 30.9917 26.43800* 3.02583 .000 16.8963 35.9797 25.18800* 3.02583 .000 15.6463 34.7297 26.15000* 3.02583 .000 16.6083 35.6917 -21.45000* 3.02583 .000 -30.9917 -11.9083 4.98800 3.02583 1.000 -4.5537 14.5297 3.73800 3.02583 1.000 -5.8037 13.2797 21.16200* 3.02583 .000 11.6203 30.7037 -26.43800* 3.02583 .000 -35.9797 -16.8963 -4.98800 3.02583 1.000 -14.5297 4.5537 -1.25000 3.02583 1.000 -10.7917 8.2917 22.41200* 3.02583 .000 12.8703 31.9537 -25.18800* 3.02583 .000 -34.7297 -15.6463 -3.73800 3.02583 1.000 -13.2797 5.8037 1.25000 3.02583 1.000 -8.2917 10.7917 (J) Kelompok Perlakuan

P1 P2 P3 P4 P0 P2 P3 P4 P0 P1 P3 P4 P0 P1 P2 P4 P0 P1 P2 P3 (I) Kelompok Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 Mean Dif f erence

(I-J) St d. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 95% Conf idence Interv al

The mean dif f erence is signif icant at the .05 lev el. *.


(66)

(1)

Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas: Potensi dan Aplikasinya

dalam Kesehatan. KANISIUS, Yogyakarta

Yusuf M.A, Widodo J.P, Soebadi D.M. 2000. Hubungan Radikal bebas dan

Antioksidan dengan Kerusakan Ginjal Pada Obstruksi Akut, Eksperimen

Pada Hewan Coba. Jurnal Bedah.


(2)

LAMPIRAN 1

A. BERAT GINJAL

Tabel 1. Hasil rata-rata berat ginjal mencit jantan setelah latihan fisik

maksimal

Perlakuan

Ulangan

1

2

3

4

5

x

±SD

P0

0,16

0,28

0,16

0,20

0,25

0,21±0,05

P1

0,17

0,20

0,21

0,20

0,18

0,19±0,02

P2

0,20

0,23

0,25

0,21

0,18

0,21±0,03

P3

0,20

0,16

0,24

0,21

0,23

0,21±0,03

P4

0,22

0,25

0,22

0,23

0,22

0,23±0,01

Karena tidak homogeny maka ditransformasi datanya. Setelah transformasi

didapatkan hasil sebagai berikut:

Tests of Normality

.223 5 .200* .888 5 .346

.287 5 .200* .914 5 .490

.159 5 .200* .990 5 .980

.199 5 .200* .941 5 .670

.330 5 .079 .735 5 .021

Kelompok Perlakuan P0

P1 P2 P3 P4 Berat Ginjal

St at ist ic df Sig. St at ist ic df Sig. Kolmogorov -Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true signif icance. *.

Lillief ors Signif icance Correction a.

Test of Homogeneity of Variance

4.013

4

20

.015

2.433

4

20

.081

2.433

4

13.633

.098

3.831

4

20

.018

Based on Mean

Based on Median

Based on Median and

with adjusted df

Based on t rimmed mean

Berat Ginjal

Lev ene

St at ist ic

df 1

df 2

Sig.


(3)

Hasil: Data tetap berdistribusi normal tetapi juga tetap tidak homogen

variansinya, sehingga dilanjutkan dengan uji nonparametrik. Kruskal-Wallis.

Kruskal-Wallis Test

Hasil: Tidak terdapat perbedaan berat badan mencit sebelum dan setelah

perlakuan (p>0,05)

Test of Homogeneity of Variance

3.091

4

20

.039

2.525

4

20

.073

2.525

4

15.032

.084

3.089

4

20

.039

Based on Mean

Based on Median

Based on Median and

with adjusted df

Based on t rimmed mean

Berat Ginjal

Lev ene

St at ist ic

df 1

df 2

Sig.

Ranks

5

12.20

5

8.10

5

13.90

5

12.80

5

18.00

25

Kelompok Perlakuan

P0

P1

P2

P3

P4

Total

Berat Ginjal

N

Mean Rank

Test Statistics

a,b

4.736

4

.315

Chi-Square

df

Asy mp. Sig.

Berat Ginjal

Kruskal Wallis Test

a.

Grouping Variable: Kelompok Perlakuan

b.


(4)

LAMPIRAN 2

B. SEL NEKROTIK

Tabel 2. Hasil rata-rata sel nekrotik (%) mencit jantan setelah latihan fisik

maksimal

Perlakuan

Ulangan

1

2

3

4

5

x

±SD

P0

6,92

5,87

5,00

6,65

8,81

6,65±1,42

P1

59,04

48,39

53,42

57,36

53,04 54,25±4,16

P2

32,81

41,53

37,73

28,01

23,92 32,80±7,11

P3

29,68

25,96

23,73

30,44

29,25 27,81±2,86

P4

38,80

25,59

25,96

30,96

24,00 29,06±6,04

Tests of Normality

.225 5 .200* .962 5 .820

.185 5 .200* .954 5 .768

.156 5 .200* .976 5 .911

.293 5 .186 .882 5 .317

.296 5 .174 .850 5 .196

Kelompok Perlakuan P0

P1 P2 P3 P4 Sel Nekrotik (%)

St at ist ic df Sig. St at ist ic df Sig. Kolmogorov -Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true signif icance. *.

Lillief ors Signif icance Correction a.

Test of Homogeneity of Variance

2.738

4

20

.058

1.383

4

20

.276

1.383

4

11.357

.300

2.643

4

20

.064

Based on Mean

Based on Median

Based on Median and

with adjusted df

Based on t rimmed mean

Sel Nekrotik (%)

Lev ene

St at ist ic

df 1

df 2

Sig.


(5)

Post Hoc Tests

Multi ple Comparisons Dependent Variable: Sel Nekrotik (%)

Bonf erroni

-47.60000* 3.02583 .000 -57.1417 -38.0583 -26.15000* 3.02583 .000 -35.6917 -16.6083 -21.16200* 3.02583 .000 -30.7037 -11.6203 -22.41200* 3.02583 .000 -31.9537 -12.8703 47.60000* 3.02583 .000 38.0583 57.1417 21.45000* 3.02583 .000 11.9083 30.9917 26.43800* 3.02583 .000 16.8963 35.9797 25.18800* 3.02583 .000 15.6463 34.7297 26.15000* 3.02583 .000 16.6083 35.6917 -21.45000* 3.02583 .000 -30.9917 -11.9083 4.98800 3.02583 1.000 -4.5537 14.5297 3.73800 3.02583 1.000 -5.8037 13.2797 21.16200* 3.02583 .000 11.6203 30.7037 -26.43800* 3.02583 .000 -35.9797 -16.8963 -4.98800 3.02583 1.000 -14.5297 4.5537 -1.25000 3.02583 1.000 -10.7917 8.2917 22.41200* 3.02583 .000 12.8703 31.9537 -25.18800* 3.02583 .000 -34.7297 -15.6463 -3.73800 3.02583 1.000 -13.2797 5.8037 1.25000 3.02583 1.000 -8.2917 10.7917 (J) Kelompok Perlakuan

P1 P2 P3 P4 P0 P2 P3 P4 P0 P1 P3 P4 P0 P1 P2 P4 P0 P1 P2 P3 (I) Kelompok Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 Mean Dif f erence

(I-J) St d. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 95% Conf idence Interv al

The mean dif f erence is signif icant at the .05 lev el. *.


(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Ginjal Mencit(Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

6 49 63

Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Kadar Hormon Estrogen dan Gambaran Histopatologi Tulang Alveolar Mencit (Mus musculus L.) yang Melakukan Latihan Fisik Maksimal

1 43 78

Pengaruh Pemberian Tocopherol Terhadap Kadar Testosteron, Jumlah Sperma, dan Berat Testis Mencit Jantan Dewasa (Mus musculus L.) Yang Mendapat Latihan Fisik Maksimal

3 65 88

Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Perubahan Bobot Dan Gambaran Mikroskopis Tubulus Proksimal Ginjal Mencit (Mus musculus, L.) Jantan Dewasa Yang Dipapari Tuak (Alkohol)

1 39 89

Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Jumlah, Morfologi Dan Motilitas Sperma Serta Kadar Malondialdehyde (MDA) Testis Mencit Jantan Dewasa (Mus musculus L) Yang Mendapat Latihan Fisik Maksimal

0 66 81

GAMBARAN HISTOLOGIS TUBULUS PROKSIMAL GINJAL MENCIT (Mus musculus L.) JANTAN YANG TERPAPAR KEBISINGAN

4 35 53

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGIS TUBULUS PROKSIMAL GINJAL PADA MENCIT BETINA DEWASA (Mus musculus L) YANG MENDAPAT LATIHAN FISIK MAKSIMAL

0 0 7

b. Pembuatan Vitamin C - Pengaruh Pemberian Vitamin C Dan E Terhadap Gambaran Histologis Ginjal Mencit(Mus musculus L.) Yang Dipajankan Monosodium Glutamat (MSG)

0 0 15

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C DAN E TERHADAP GAMBARAN HISTOLOGIS GINJAL MENCIT (Mus musculus L.) YANG DIPAJANKAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG) SKRIPSI ZULFIANI 080805010

0 0 13

4 129 GAMBARAN HISTOLOGIS TUBULUS PROKSIMAL GINJAL MENCIT

0 3 31