kemudian selama masih dalam iddah ditalak lagi dengan talak dua atau sebaliknya.
Larangan kawin dengan mantan istri tersebut berakhir tidak hanya cukup dengan kawinnya istri itu dengan suami kedua dalam
satu akad perkawinan, tetapi setelah istri bergaul secara sah dengan suami keduanya.
34
5. Ihram hajiUmrah
Seorang yang melakukan ihram haji atau umrah, baik pria maupun wanita dilarang melakukan akad nikah. Larangan ini tidak
berlaku lagi sesudah lepas dari masa ihramnya. 6.
Perbedaan Agama
Yang dimaksud dengan beda agama disini adalah perempuan muslimah dengan laki
–laki nonmuslim dan sebaliknya laki–laki muslim dengan perempuan non muslim. Keharaman laki-laki muslim
kawin dengan perempuan musryk atau perempuan muslimah menikah dengan laki-laki musryk dinyatakan Allah dalam surat Al-Baqarah
ayat 221, yaitu :
34
Ibid, hal. 128-129
Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya perintah-perintah-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran
”
35
Pernikahan yang melanggar larangan –larangan tersebut
diatas dinyatakan tidak sah atau batal demi hukum. Selanjutnya mengenai larangan perkawinan yang tertuang dalam
UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam KHI hal itu diungkapkan sebagai berikut;
36
Larangan perkawinan disebabkan nasab, mushaharah, dan susuan diatur dalam pasal 8, dengan rumusan sebagai berikut;
Pasal 8 Perkawinan dilarang anatara dua orang yang;
a Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atasa ataupun
ke bawah; b
Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan
antara seorang denfan saudara neneknya; c
Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibubapak tiri;
d Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan, dan bibipaman susuan;
35
Ibid, hal. 27
36
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal.32
e Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
37
Pasal 41 menjelaskan larangan kawin karena pertalian nasab dengan perempuan yang telah dikawini, atau karena seperususuan.
1. Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang
mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istrinya; a.
Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya. b.
Wanita dengan bibinya atau kemenakannya. 2.
Larangan pada ayat 1 itu tetap berlaku meskipun istrinya telah ditalak raj‟i tetapi masih dalam masa „iddah.
Kompilasi Hukum islam KHI menguatkan dan memperinci UU Perkawinan ini dalam Pasal 39 dengan rumusan;
Pasal 39 Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita
disebabkan :
1. Karena pertalian nasab :
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang
diturunkannya atau keturunannya; b.
Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; dan c.
Dengan seorang wanita saudara yang melahirkan. 2.
Karena pertalian kerabat semenda; a.
Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya;
b. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang
menurunkannya; c.
Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya
itu qobla al-dukhul; dan d.
Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya. 3.
Karena pertalian sesusuan; a.
Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut
garis lurus ke bawah; c.
Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan susuan ke bawah;
d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan
ke atas. e.
Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.
38
37
UURI Nomor 1 Tahun 1974 …., hal. 5-6
Larangan sementara karena perkawinan dan poligami yang terdapat dalam fiqh diakomodir oleh UU Perkawinan dalam pasal
9, yaitu; Pasal 9
“Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 3 ayat
2 dan Pasal 4 Undang-undang ini ”.
39
Pasal 3 ayat 2 berbunyi : Pengadilan dapat member izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak –pihak yang bersangkutan.
Pasal 4 berbunyi; 1.
Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 Undang-undang
ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
2. Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan; c.
Istri tidak dapat melahirkan keturuan.
40
Pasal UU Perkawinan ini dikuatkan dalam KHI pasal 40 sebagai berikut;
Pada pasal 40 KHI dinyatakan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita karena keadaan
tertentu. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dan seorang wanita karena keadaan tertentu; a.
Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa „iddah
dengan pria lain.
38
Ibid, hal. 239-240
39
UURI Nomor 1 Tahun1974 …, hal.5-6
40
Ibid, hal. 2-3
Larangan karena talak tiga dalam fiqih diatur dalam UU Perkawinan pasal 10, yaitu;
Pasal 10 “Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan
yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang
hokum masing-masing agamnya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain
”.
41
Ketentuan UU Perkawinan itu dijelaskan lagi dalam KHI sebagai berikut;
Pasal 43 1
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria; a.
Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali;
b. Dengan seorang wanita bekas istrinya yang di li‟an.
2 Larangan tersebut pada ayat 1 huruf a. gugur, kalu bekas istri
tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba‟da dukhul dan telah habis masa iddahnya
Larangan yang bersifat sementara karena poligami diluar batas diatur dalam pasal 8 f dengan rumusan;
f Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku, dilarang kawin. Pasal 8 ayat f ini dijelaskan dalam KHI dengan rumusan;
Pasal 42 “Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang
wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 empat orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih
dalam iddah talak raj‟I ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak
raj‟i”. Larangan karena beda agama tidak diatur sama sekali dalam
UU Perkawinan, namun diatur dalam KHI dalam pasal 44 Pasal 44
41
Ibid, hal. 5-6
“Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam
”.
42
Bila diperhatikan UU Perkawinan dan KHI yang mengatur larangan perkawinan hampir semua ketentuan yang terdapat dalam fiqh
telah diakomodir dalm peraturan perundangan tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia. Bahkan ketentuan dalam perundangan tersebut
hampir seluruhnya berasal dari fiqh yang bersumber langsung dari Al- Qur‟an.
43
B. Tinjauan tentang Pembatalan Perkawinan