HUKUM PERDATA INTERNATIONAL

I.ISTILAH & PENYEBUTAN
ISTILAH:
Hukum Perdata International
(HPI) di Indonesia oleh Prof.
GOUW GIOK SIONG
(Gautama) dipergunakan
istilah : Hukum Antar Tata
Hukum (HATAH), yaitu
dimana beberapa system
hukum bertemu dengan
posisi / kedudukan yang
sama (azas equality).
Cabang-cabang dari HATAH :
A. HATAH Intern (pluralisme
system hkum), terdiri dari:
- Hukum Antar Waktu (HAW)
dalam praktek ditemukan
dalam Aturan Peralihan;
- Hukum Antar Tempat (HAT)
timbul karena adanya
kekuasaan hukum adat;

- Hukum Antar Golongan
(HAG)
Warisan Belanda, yaitu
penggolongan beberapa
system Hukum
terhadap penduduk di
Indonesia, al: Gol Eropah,
Timur Asing dan
Bumiputera (Psl 131 IS jo
163), penggolongannya
sudah dihapus,
tetapi hukumnya belum
dihapus.
B. HATAH Ekstern, yaitu
Hukum Perdata
International
- adanya unsure asing.
Keadaan dimana dua / lebih
system hukum bertemu,
sehingga harus melakukan /

memilih hukum mana yang
berlaku, untuk itu perlu ada
prinsip persamarataan
(equal), dimana system
hukum yang bertemu itu
mempunyai kedudukan yang
sama, tidak ada system
hukum yang lebih rendah
atau lebih tinggi dari sistim
hukum lainnya.
Masalah HPI timbul karena
terdapat pluralisme HPI,
dimana setiap Negara
memiliki pengertian HPI

masing-masing.
- Apakah HPI hukum
Internasional atau hukum
nasional? Silang pendapat
mengenai ini dimulai dari

judul materinya (dispute
starts from the title of the
page).
- HPI adalah hukum nasional,
bukan International.
Sumbernya hukumnya
nasional. Hanya saja dalam
HPI ada unsure asingnya
(foreign element). Perkataan
International pada HPI
jangan dipandang bahwa HPI
bersumber dari hukum
International. Sifat
Internationalnya adalah
karena HPI mengatur
masalah keperdataan yang
mengandung unsur asing.
Istilah lain dari bertemunya
beberapa sistim hukum ini
adalah Hukum Perselisihan

(Conflictenrecht- Van
Hasselt), Hukum Konflik
(Conflict of law- DicceyMorris), Hukum Pertikaian
(Collisierecht).
Istilah-istilah ini kurang /
tidak tepat, karena yang
terjadi bukanlah betrokan /
tabrakan , namun suatu
pertautan stelsel-stelsel
hukum dalam suatu masalah
keperdataan yang ada
unsure asingnya.
Istilah yang tepat adalah :
Choice of law, bukan Conflict
of law, karena HPI bertugas
untuk menghindari
bentrokan, dan bertugas
untuk mengambil salah satu
stelsel hukum yang
diberlakukan dalam suatu

permasalahan.
HPI juga bukan konflik
kedaulatan, karena hukum
asing digunakan disebabkan
hukum nasional
menginginkannya seperti
itu, HPI bersumber dari
hukum nasional.
Jadi HPI merupakan Hukum
Perdata (nasional) untuk

hubungan-hubungan
International.
- sumber hukumnya hukum
nasional;
- hubungannya, faktafaktanya, materinya bersifat
International.
- Azas nasionalistis : sumber
dari HPI adalah hukum
nasional.

- Azas internationalistis : dari
berbagai HPI ada satu HPI
yang posisinya berada
diatas dari system hukum
yang ada (Supranasional).
- HPI merupakan hubungan
antara orang (person)
dengan orang dimana
terdapat unsure-unsur asing.
Contoh-contoh sumber
hukum nasional:
1. Pasal 57 UU No. 1 tahun
1974 Tentang Perkawinan:
2. UUPMA No. 1 Tahun 1967;
3. Pasal 16, 17, 18 AB
(Algemeine Bevalingen)
Pasal 16 AB mengatur :
status & kewenangan hukum
/status persona;
Dalam pasal ini diatur

prinsip nasionalitas,
dimanapun Warga Negara
Indonesia (WNI) berada,
hukum nasional Indonesia
mengikutinya. Dalam hal ini
Indonesia mengikuti Eropa
Kontinental. (Anglo Saxon:
yang berlaku prinsip
domisili, dimana hukum
yang berlaku pada seorang
WN didasarkan pada tempat
tinggalnya atau berlaku
hukum dimana seseorang
bertempat tinggal)
Pasal 17 AB mengatur :
benda bergerak & tidak
bergerak;
Dalam pasal ini diatur benda
tidak bergerak tunduk pada
hukum dimana benda itu

terletak (Azas Lex Rei Sitae).
Sejak zaman Von Savigny
ada perubahan makna
bahwa benda tak bergerak
sama dengan benda
bergerak.

Pasal 18 AB mengatur :
bentuk perbuatan hukum
Dalam pasal ini diatur bahwa
suatu perbuatan hukum
tunduk pada hukum dimana
perbuatan itu dilakukan
(Locus Regim Actum). Jika
perkawinan, hanya syarat
formalnya saja yang tunduk
pada hukum dimana
perbuatan itu dilakukan (Lex
Loci Celebrationis)
II. PENGERTIAN HPI


interntional.
- HPI adalah hukum yang
mengatur hubungan antar
individu dalam masyarakat
yang didalam hubungan itu
mengandung unsur asing;
2. OBJEK HPI
Ruang lingkup kaedahkaedah HPI di setiap Negara
berbeda, hal ini
menunjukkan juga bahwa
HPI adalah hukum nasional.

DEFENISI HPI:
Van Brakel (Grond Slagen en
Beginselen Van Nederlands
International Privat Recht) :
“Hukum Perdata Interntional
adalah hukum nasional yang
ditulis (diadakan) untuk

hubungan-hubungan
International”
Graveson : Conflict of Law
(HPI) adalah : “cabang dari
hukum Inggris” yang
berhadapan dengan
masalah-masalah yang fakta
relevannya mempunyai
hubungan geografis dengan
Negara asing, dan
memungkinkan timbulnya
pertanyaan tentang
penerapan hukum Inggris
atau asing yang sesuai
untuk pemecahan masalah,
atau seperti pada
pelanggaran yuridiksi oleh
pengadilan Inggris atau
pengadilan asing.
Prof. GOUW GIOK SIONG (S

GAUTAMA) & Schnitzer:
HPI bukanlah hukum
international, tetapi hukum
national. Di Indonesia HPI
dan Hukum Antar Golongan
(HAG) sangat erat
hubungannya.
Kesimpulannya
- Hukum Perdata
Interntional, bukan sumber
hukumnya international,
tetapi materinya (yaitu
hubungan-hubungan
/peristiwa-peristiwa yang
merupakan objeknya) yang

Di Inggris: HPI= (Confict of
Laws) disamping mengatur
hubungan antara orang Skot
(sistim hukum Scotlandia
lebih condong pd hukum
Belanda) dengan orang
Inggris, juga mencakup
kaedah-kaedah hukum antar
agama;

intern. meskipun keduaduanya merupakan hukum
nasional.
Karena berdasarkan Pasal
131 I.S (Indische
Staatregeling) penduduk
Indonesia dibedakan
kedalam golongan-golongan
penduduk: Eropah, Timur
Asing, dan Bumiputera,
maka pada waktu lalu dalam
prakteknya orang-orang
yang berasal dari Eropah.
Amerika, Jepang, Asia dan
Afrika (sekarang unsure
Asing) tunduk kepada
hukum Barat yang berlaku di
Indonesia. Hal ini
menunjukan peristiwa yang
sesungguhnya HPI diubah
menjadi HAG.
HPI tidak semata-mata
hukum perdata

Di Amerika Serikat: HPI
mencakup hubungan antara
orang-orang dari Negara
bagian yang berbeda
(seperti Negara Bagian New
York dengan Calipornia dsb),
orang kulit putih dan orang
negro, serta orang (WN)
Amerika Serikat dengan
orang Asing;

Corak HPI dibeberapa
Negara menunjukkan bahwa
sejarah dan struktur
ketatanegaraan suatu
masyarakat hukum sangat
menentukan corak dan luas
lingkup kaedah-kaedah HPI,
sehingga HPI tidak sematamata mengenai hukum
perdata.

Di Aljazair : kaedah-kaedah
HPI berkisar pada perbedaan
agama (Hanya orang Kristen
dan Yahudi yg sabagai orang
asing memperoleh
perlindungan hukum).
Agamalah yang menjadi
criteria seseorang dianggap
asing atau tidak;

Scholten & Hamaker:

Di Indonesia: HPI berkisar
pada hubungan perdata
dengan unsur asing dalam
hubungan–hubungan
International, Hukum Antar
Golongan (HAG) hanya
berlangsung dalam suasana
hukum international,
karenanya maka:
- HPI merupakan Hukum
Antar Tata Hukum (HATAH)
extern, sedangkan
- HAG merupakan Hukum
Antar Tata Hukum (HATAH)

Antara hukum tata negara
(constitutional law) dan
hukum perdata dapat kita
bedakan, tetapi antara
hukum public dengan hukum
perdata hanyalah hubungan
antara hukum khusus
(perdata) dengan hukum
yang berlaku umum (public).
Perbedaannya dalam hukum
perdata orang dapat
melepaskan (tidak
menggunakan) haknya,
sedang dalam hukum public
hal itu tidak mungkin.
Kranenburg: (bukunya:
Grondslagen der
Rechtswetenschap) tidak
keberatan jika pembagian
hukum perdata dan hukum
public ditiadakan.

Schnitzer:
Perbedaan antara hkm
perdata dan hkm public
makin kabur, karena kaedahkaedah yang mengatur
hukum public makin lama
makin berkembang
disamping hukum perdata,
sebagai contoh: hukum
perjanjian International,
hukum devisa, hkm
perdagangan International,
hukum penanaman modal,
hukum pengangkutan
international dsb. Hal ini
terjadi seiring dengan
lahirnya gagasan tentang
“Negara kesejahteraan”
(welfare state) dimana
pemerintah berkewajiban
untuk mengatur kepentingan
orang banyak.
Di Indonesia: hukum
adatpun tidak mengenal
pembedaan perdata dan
public.
Hukum Inggris: tidak
membuat perbedaan antara
kaedah-kaedah hukum
public dan hukum perdata,
ini nampak dalam corak dan
luas lingkup HPI nya.
Conplict of Law tidak hanya
ditemui dalam hukum
perdata saja tetapi juga
dalam HTN, hukum pidana
dan hukum lainnya
(Graveson). Hukum
kewarganegaraan pun
dimasukkan dalam HPI
(Dicey).
UNSUR ASING
HPI lahir sebagai akibat
adanya unsure asing dalam
suatu peristiwa. Maka
karena ada unsure asing itu
timbul pertanyaan: kaedah
hukum mana yang harus
berlaku, kaedah lex fori
(hukum setempat) atau
kaedah hukum asing yang
bersangkutan?
Sebelum lahirnya HPI, di
Eropah selalu Lex fori yang

dianggap berlaku sekalipun
ada unsure asingnya, karena
setiap orang yang berdiam
disuatu Negara /kerajaan
dianggap tunduk pada
hukum setempat. Ketentuan
ini didasarkan pada azas
territorial. Penyelesaian
masalah berdasarkan lex fori
ini lama kelamaan
menimbulkan putusanputusan yang bertentangan
dengan rasa keadilan.
Dengan berkembangnya
hukum Romawi di Eropah,
terjadilah pembagian antara
soal-soal hukum materiil dan
soal hukum acara. Bagi
hukum acara berlaku lex fori
(pengadilan setempat),
sedang bagi masalah hukum
materiil berlaku lex loci
actus (yaitu hukum dari
tempat perjanjian atau
perbuatan itu diadakan),
karena dianggap pada waktu
dibuatnya perjanjian semua
pihak tunduk pada hukum
setempat. Sebagai contoh
perkawinan dianggap tunduk
pada hukum perkawinan
dimana perkawinan itu
dilaksanakan.
Kesimpulannya:
HPI mengatur setiap
peristiwa atau hubungan
hukum yang mengandung
unsur asing, baik peristiwa
termasuk hukum public
(TUN, pajak, pidana)
maupun termsuk hukum
perdata (perkawinan, waris
dan hukum dagang).
HPI akan mencari jawaban 3
masalah pokok yang
menyangkut peristiwa
hukum yang mengandung
unsure asingnya, yaitu:
- Hakim mana yang
berwenang ?
- Hukum mana yang
berlaku ?
- Kapan dan sampai sejauh
mana Hakim nasional wajib
memperhatikan putusan
hakim asing ?

3. Sejarah lahirnya Hukum
Perdata International (HPI)
Hukum Perdata adalah
hukum yang mengatur
hubungan antar individu
dalam pergaulan
masyarakat. Jika didalam
suatu perkara perdata
tersimpul ada unsur
asingnya (pihak atau
substansi),maka disebut
sebagai Hukum Perdata
International (HPI);
HPI di Eropah Barat:
Di Eropah Barat, selalu ada
pertentangan antara dua
kutub, yaitu kepentingan
masyarakat dan kepentingan
individu.
A. YSSEN (dalam bukunya
“Individu en Gemeenschap)
“ manusia sepanjang masa
selalu berhadapan dengan
dilemma antara
individualisme dan
kolektivisme, sehingga
karenanya bentuk dan sifat
tau pola kebudayaan setiap
masyarakat manusia selalu
berkisar pada dua ktub itu”
Di Indonesia (dahulu), antara
masyarakat dan individu
tidak dapat dipisahkan atau
dwi tunggal, tetapi di Eropah
dan Amerika 2 kutub
tersebut dipandang sebagai
hal yang berlawanan
(antagonistis), sehingga
selalu terjadi dilemma.
Pertentangan ini tercermin
juga di lapangan hukum
yang selalu
mempertentangkan antara
hukum public dan hukum
perdata. Khususnya HPI di
Eropah Barat pertentangan
selalu berkisar diantara
prinsip personil dan prinsip
territorial, atau pada zaman
modern ini antara prinsip
domisili dan prinsip
kewarganegaraan (Mancini
dari Italia).
I. Perkembangan masyarakat
dari masy. geneologis (suku-

suku, hubungan darah) ke
masy,geneologis-territorial
(rumpun) dan dari masy
territorial kepada masy
territorial-geneologis (ikatan
Negara nasional) sangat
berpengaruh pada
perkembangan hukum
khususnya terhadap HPI;
- masy geneologis, dibangun
berdasarkan hubungan
darah sebagai anggotanya,
orang asing tidak punya hak
apa-apa. Type ini berubah
karena perang atau
penyatuan ikatan dgn masy
lain;
- masy territorial, orang
asing masuk (adopsi)
kedalam masyarakat hukum
tertentu, sehingga baginya
berlaku hukum masyarakat
yang mengangkatnya
(prinsip territorial);
- orang asing membawa
bahasa dan kebiasaan
Negara asalnya kedalam
masyarakat hukum lain
dalam keadaan damai
(prinsip personil) ;
- Pertukaran barang dengan
orang asing inilah yang
melahirkan kaedah-kaedah
hukum HPI;
- Cara pertukaran barang ini
juga dikenal dalam Hukum
Adat Indonesia, karenanya
dapat dikatakan hkm adat
juga mengandung kaedahkaedah HPI;
II. - Commercium adalah hak
berdagang ditempat yang
bukan tempat asalnya yang
diberikan Pemerintah
Romawi kepada pedagang
Yunani, Syiria dan Timur
Tengah;
- Praetor peregrines : hakim
pengadilan khusus yang
menyelesaikan perselisihan
antara orang Romawi
dengan pedagang asing;
- Ius Gentium : hukum yang
digunakan untuk mengadili
peristiwa yang mengandung
unsure asing berdasarkan
azas-azas keadilan,
disamping ius civile Romawi;
- Pada abad ke 3 M setelah
Romawi menaklukkan

seluruh wilayah Eropah
Continental, ius civile hanya
berlaku bagi Cives (warga)
Roma, dan ius gentium
berlaku bagi seluruh
kerajaan Roma.
III. Sesudah keruntuhan
Kerajaan Romawi Kuno,
maka hukum kesukuan
(stamenrecht) berlaku
kembali dan berlaku prinsip
personil. Tetapi karena
banyaknya suku dan sukar
untuk membuktikan
seseorang berasal dari suku
tertentu, maka berkembang
penundukan pada sistim
hukum tertentu, maka
mulailah “pilihan hukum”
memegang peranan dalam
HPI;
IV. Antara abad ke-6 dan ke11, berlaku hukum Franka,
yang dinamakan capitularia,
yaitu hukum-hukum yang
dinyatakan Raja-Raja Franka.
Hukum ini berlaku diseluruh
wilayahnya dan bagisetiap
orang, berlaku secara
territorial;
V. Abad ke-10 hukum
personil (lex originis)
kehilangan artinya di
Perancis dan Jerman,
berlakunya hukum masingmasing Negara mempunyai
arti yang menentukan.
Mulailah berkembang asas
domisili;
VI. Abad ke-13 di Italia
tumbuh kota-kota yang
masing-masing mempunyai
undang-undang (Statuta)
tersendiri (missal: Geno Pisa,
Milan, Bologna, Venezia,
Plorence, Parma dll).
Dalam konteks HPI, pada
abad ke-12 Aldricus
mempersoalkan apakah
pengadilan akan
memberlakukan hukum /
statute nya sendiri atau
hukum orang asing, menurut
pendapatnya hakim harus
menggunakan hukum yang
menurut pendapatnya lebih

baik dan lebih berguna.
Tumbuhnya Teori-teori
Statuta:
Abad ke-12 berdasarkan
Corpus Iuris dari Justianus
(Huku Romawi), azas HPI,
yaitu hukum yang dibuat
penguasa kota (principe)
hanya berlaku bagi kaula
kota yang bersangkutan
(Statuta).
Pada masa ini Statuta
dibedakan antara lain:
- Statuta realita, yang
berlaku dalam lingkungan
batas wilayah kekuasaan,
mengikat pada tempat,
benda atau orang seperti:
kaedah-kaedah hak atas
tanah;
- Statuta personalia, yang
berlaku mengikuti
seseorang, kemana saja
orang pergi, seperti:
wewenang hubungan pribadi
(perjanjian),
Abad ke-13 (1314-1357)
Bartolus de Saxoferrata:
- Statuta yang mengijinkan
sesuatu, dan
- Statuta yang melarang
sesuatu;
- Statuta Mixta, yaitu statute
berlaku bagi semua
perjanjian yang dibuat
ditempat berlakunya statute
dgn segala akibat
hukumnya, sedang
wanprestasi dan segala
akibat hukumnya diatur
menurut statuta ditempat
seharusnya perjanjian
dilaksanakan.
Teori Statuta di Perancis:
Teori Statuta Bortolus
diabad-abad berikutnya
diikuti oleh ahli-ahli hukum
Perancis,
Charles Dumoulin (15001566):
- setiap pihak dapat
menentukan pilihan hukum
yang berlaku dalam setiap
perkara;
- Hukum yang berlaku
adalah ditempat perbuatan
hukum dilakukan;

Bertrand D’Argente’ (15191590)
- barang warisan tunduk
bukan hanya pada satu
system hukum saja, tetapi
setiap barang tak bergerak
itu tunduk pada hukum
tempat letaknya barang (lex
rei sitae)

International tidak mengenal
azas Comitas, karena
berlakunya hukum asing
hanyalah disebabkan karena
keinginan untuk mencari
penyelesaian yang seadiladilnya (the desire to do
justice)”.
Teori Statuta Jerman

Teori Statuta di Belanda
Ahli hukum Belanda Ulrik
Huber (1636-1694):
1). Hukum suatu Negara
hanya berlaku dalam batasbatas wilayah
hukumnya dan terhadap
subjects nya sendiri;
2). Kaula (subject) negara
adalah mereka yang berada
dalam
lingkungan kekuasaan
negara tersebut, baik yang
menetap, maupun
yang hanya sementara
tinggal;
3). Berdasarkan azas
Comitas (sopan santun),
hukum suatu Negara
dapat dianggap seakan-akan
berlaku dimana-mana,
asalkan tidak
melanggar kekuasaan atau
hak-hak negara lain;
Johanes Voet 1666-1698),
melahirkan theori Comitas,
yaitu:
- Pada hakekatnya tidak ada
Negara yg wajib
menyatakan berlakunya
kaedah hukum asing dalam
batas-batas wilayah
hukumnya, jika kaedah
hukum asing itu
diberlakukan, maka itu
disebabkan semata-mata
berdasarkan sopan santun
pergaulan antar bangsa
(Comitas gentium)
- Comitas harus ditentukan
secara objectif, berdasarkan
azas locus regit actum
(perbuatan hukum tunduk
pada hukum setempat);
Teori Comitas gentium ini
ditentang oleh Wolf, Van
Brekel dan Cheshire, yang
menyatakan: “Hukum

Ahli-ahli hukum Jerman
antara lain Johan Nikolaus
Hert (1651-1710)
menyempurnakan HPI yang
menolak teori-teori statute
dan mengemu
kakan teori tersendiri;
Teori Statuta di Inggris
Sampai akhir abad-17 HPI di
Inggris tidak berkembang
karena hukum setempat
yang selalu berlaku. Ketika
tampuk kerajaan Inggris dan
kerajaan Scotlandia berada
disatu tangan (Raja James I)
mulailah dipikirkan
berlakunya hukum asing
yang juga diakibatkan oleh
perdagangan international
yang pesat:
- tidak lagi berpegang pada
azas lex fori;
- berlaku azas Comitas dan
pilihan hukum
Teori-teori Modern (abad 19)
Pada abad-19 ini HPI
mengalami kemajuan yang
pesat, berkat tiga
orang sarjana, yaitu:
1. Joseph Story (Hakim
Amerika, bukunya:
Commentaries on the
Conflict of Law – 1834);
Story mereview putusanputusan hakim Inggris dan
Amerika dengan cara
induktif, sehingga ia
berkesimpulan: adanya
kaedah-kaedah HPI tertentu
didalamnya.
2. Carl Frederick Von Savigny
(Prof Jerman;bukunya:
Sistem hukum Romawi1849):

- suatu hubungan hukum
yang sama harus memberi
penyelesaian yang sama,
baik diputuskan oleh hakim
di Negara A, maupun oleh
Hakim di Negara B. maka
karenanya penyelesaian yg
menyangkut unsur asing
hendaknya diatur
sedemikian rupa, sehingga
putusannya akan sama
dimana-mana;
- Adanya pergaulan hidup
masyarakat international
menimbulkan satu system
hukum yang merupakan
system hukum supranasional, yaitu HPI;
- Pengakuan terhadap
hukum asing bukan sematamata berdasarkan comitas
(sopan santun), akan tetapi
berdasar pada
kebaikan/kegunaan
(manfaat) fungsi yang
dipenuhinya bagi semua
pihak (Negara dan manusia)
yang bersangkutan;
3. Pascuale Stanislao
Mancini (bukunya :
Kewarganegaraan sebagai
Dasar Hukum Antar Bangsa1851) – mazhab Italy:
- Semua nation (bangsa)
mempunyai kedudukan yang
sama dalam masyarakat
antar bangsa, dan timbulnya
Hukum Internasional adalah
karena hidup bersama antar
bangsa, yaitu kedudukan
yang sama rendah dan sama
tinggi;
- Mancini membuat
perbedaan antara Negara
dan nation, bahkan
menurutnya nasion itu
mungkin ada sebelum
adanyya Negara (state);
- Nasionalitas diartikan
condong pada faham “tanah
air” dari pada faham
“kewarganegaraan” yang
berakar pada hukum publik,
ataupun faham “domicile”
yang berakar pada hukum
perdata. Karenanya
“nasionalitas” Mancini
mempunyai arti politis (extra
juridis).

Menurut Mazhab Italy ini,
ada dua macam kaedah
dalam setiap sistim hukum,
yaitu :
a) kaedah-kaedah hukum yg
menyangkut perseorangan;
b) kaedah-kaedah hukum
untuk melindungi dan
menjaga keteriban umum
(public order)
Berdasarkan pembagian ini,
ada tiga azas HPI :
1. Kaedah-kaedah untuk
kepentingan perseorangan
berlaku bagi setiap warga
Negara, dimanapun dan
pada waktu apun juga
(prinsip personil);
2. Kaedah-kaedah untuk
menjaga ketertiban umum
bersifat territorial dan
berlaku bagi setiap orang
yang berada dalam wilayah
kekuasaan suatu Negara
(azas territorial);
3. Azas kebebasan, yang
menyatakan bahwa para
pihak yang bersangkutan
boleh memilih hukum
manakah yang akan berlaku
terhadap transaksi diantara
mereka (pilihan hukum).

Konsepsi-konsepsi tentang
Ruang Lingkup HPI, ada 4
konsepsi:
1. Konsepsi tersempit, HPI =
Choice of Law (pilihan
hukum)
Penganutnya : Jerman,
Belanda.
2. Konsepsi Luas, HPI =
Choice of Law + Choice of
Juridiction (Pilihan hukum
dan pilihan Yuridiksi)
Penganutnya : Negaranegara Anglo Saxon.
3. Konsepsi Lebih Luas, HPI
= Choice of Law + Choice of
Juridiction + Status orang
asing (Condition des
strangers). Penganutnya :

Negara-negara Latin, spt:
Itali, Spanyol, Amerika latin.
4. Konsepsi Paling Luas, HPI
= Choice of Law + Choice of
Juridiction + Status orang
asing (Condition des
strangers) +
kewarganegaraan
(nasionalitet). Penganutnya :
Prancis.
Sejarah ASAS-ASAS HPI –
HATAH EXTERN
- Prinsip Personalitas: Hukum
berlaku digantungkan pada
perorangan, ikatan personil,
berdasarkan hubungan
darah; (kemudian
berkembang);
- Prinsip Territorialitas :
ikatan didasarkan pada
territorialitas (karena
daerahnya makin luas);
- Ius Gentium: hukum yang
mengatur hubungan antara
warga civitas dengan
peregrine;
- Civitas : suatu wilayah
yang sudah direbut oleh
kerajaan romawi dan
memppunyai aturan sendiri;
- Peregrini : orang-orang
/pedagang asing yang
masuk kedalam civitas.
- Setelah kerajaan Romawi
runtuh, kekuasaan dipegang
oleh kaum bar-bar, prinsip
territorialitas kembali lagi
kedalam prinsip
personalitas;
- Abad 11 – 12, kembali ke
prinsip territorialitas, kotakota dagang mempunyai
ketentuan-ketentuan /
hukum tersendiri yang
dinamakan “Statuta”;
- Abad 13-14, BARTOLUS DE
SAXOFERRATA
mengembangkan “TEORI
STATUTA” yang menjadi cikal
bakal HPI, yaitu:
- STATUTA PERSONALIA,
mempunyai lingkungan
kuasa berlaku secara
personil, mengikuti
seseorang dimanapun dia
pergi, mencakup aturanaturan / hukum perorangan

termasuk hukum
kekeluargaan dan benda
bergerak. (benda bergerak
mengikuti status penguasa
benda tersebut – mobilia
sequntur personom);
- STATUTA REALITA; berlaku
secara territorial. Hanya
benda yang terletak dalam
wilayah pembentuk undangundang tunduk pada
peraturan yang berlaku
tersebut, (berlaku juga untuk
benda tidak bergerak);
- STATUTA MIXTA; berlaku
bagi yang tidak masuk
statute realita dan statute
personalia, yaitu bentuk
perbuatan hukum (azas
Locus Regit Actum) ditempat
dimana perbuatan hukum itu
dilakukan.
VON SAVIGNI :
- benda bergerak dan benda
tidak bergerak disatukan
tunduk pada azas Lex
Recipe,;
- untuk hukum pribadi yang
menjadi ukuran adalah
tempat tinggal, (mulai
berlaku Prinsip Domisili);
- untuk hukum bidang
kontrak/perjanjian berlaku
Lex Loci Executionis hukum
dimana konttrak
dilaksanakan / diselesaikan;
Kuliah : Hukum Perdata
International (3)
(Dosen : Abdul Fickar Hadjar,
SH., MH)
KUALIFIKASI atau
PENGGOLONGAN
Penggolongan suatu
peristiwa atau hubungan
hukum yang terjadi kedalam
system kaedah-kaedah
Hukum perdata Internasional
dan hukum materiil nasional
disebut : kwalifikasi (Bartin,
Van Brakel), atau
“Classification” (Wolf,
Graveson) atau
characterization

(Ehrensweig).
Kualifikasi dapat dilakukan
baik pada lapangan hukum
public, hukum pidana
maupun hukum perdata.
(sebagai contoh: seseorang
yang memasuki rumah
orang lain secara paksa
dengan merusak pintu,
maka kualifikasinya/
penggolonngan peristiwa ini
kedalam hukum Pidana, dan
kejahatannya (tindak
pidananya) adalah:
memasuki rumah orang
tanpa izin melanggar Pasal
167 (1) KUHP dan merusak
pintu: melanggar Pasal 167
ayat (2) KUHP)
- Contoh lain mengenai:
seorang anak asing (bukan
WNI) yang tidak diakui sah,
akan menuntut hak-haknya
dari ayahnya yang
berkewarganegaraan sama,
maka penggolongan faktafakta ini kedalam hukum
Perdata, mengenai status
seorang anak yang diatur
dalam Pasal 16 AB (prinsip
nasionalitas).
Kualifikasi ada dua macam,
yaitu:
1) QUALIFICATION OF LAW,
yaitu penggolongan atau
pembagian semua kaedahkaedah hukum yang ada,
menurut kriteria yang
ditentukan lebih dahulu.
Misalnya pembagian
kedalam: hukum perjanjian,
Hukum Penanaman Modal,
Hukum Waris, Hukum
Perseorangan dan
sebagainya.
2) QUALIFICATION OF FACTS,
penggolongan / penyalinan
hukum dari fakta-fakta
sehari-hari kedalam istilah
hukum, fakta-fakta tersebut
dimasukkan kedalam kotakkotak hukum / bagian-bagian
hukum yang telah tersedia
(kaedah hukum yang
bersangkutan).
Dalam melakukan kualifikasi
terhadap suatu peristiwa /

fakta-fakta tertentu, dapat
terjadi beberapa
kemungkinan:
a. Jika kaedah hukum yang
harus berlaku bagi peristiwa
(berdasar kaedah penunjuk
dan titik taut) itu adalah lex
fori (hukum setempat), maka
kualifikasi seakan-akan
terdiri dari satu macam
perbuatan saja yaitu karena
penggolongan kaedahkaedah hukum yang harus
berlaku itu dilakukan hanya
menurut lex fori;
b. Jika kaedah penunjuk dan
titik tautnya dalam
kumpulan fakta-fakta itu
menunjuk pada kaedah
hukum asing, maka
kualifikasi / penggolongan
dari hukum asing itu harus
dilakukan menurut hukum
asing tersebut (lex causae –
the proper law);
c. Dalam hal tertentu, UU
dengan nyata dan tegas
menyatakan kualifikasi harus
dilakukan menurut hukum
tertentu, misalnya dalam
Pasal 17 AB yang berbunyi:
“Mengenai benda-benda tak
bergerak (immovebles)
berlaku ketentuan / UU dari
Negara / wilayah hukum
setempat ditempat benda
tersebut terletak”. Sehingga
kualifikasi ini bukan menurut
lex fori, tetapi system
hukum yang lain;
d. Para pihak berhak
menentukan kualifikasi
dilakukan berdasarkan
system hukum tertentu
(pilihan hukum);
TEORI-TEORI KUALIFIKASI
1. KUALIFIKASI menurut LEX
FORI
- Kualifikasi ini merupakan
teori yang paling tua, dan
paling banyak diakui, yaitu
kualifikasi / penggolongan
dilakukan menurut hukum
sang hakim (BARTIN).
- Kualifikasi lex fori ini harus
dilakukan, karena kaedah
HPI merupakan juga kaedahkaedah hukum intern /
nasional, lex fori dikenal baik

oleh hakim dan pembuat UU
sehingga memudahkan
penyelesaiannya.
- Kelemahan teori ini
seringkali menimbulkan
ketidak adilan, karena
kualifikasi kaedah-kaedah
hukum itu bukan saja tidak
sesuai dengan hukum asing,
juga bahkan tidak dikenal
oleh system hukum asing
tersebut.
2. KUALIFIKASI menurut LEX
CAUSAE
- Teori ini dikembangkan
oleh MARTIN WOLFF dan
CHESHIRE, yang
berpendapat bahwa
kualifikasi hendaknya
dilakukan sesuai dengan
sistim dan ukuran-ukuran
keseluruhan sistim hukum
yang besangkutan (lex
causae).
- Menurut Wolff, tujuan
utama kualifikasi ini untuk
menetapkan kaedah HPI
yang mana dari lex fori yang
berhubungan dengan atau
menyangkut kaedah hukum
materiil asing.
- kelemahan teori ini, jika
kualifikasi berhadapan
dengan suatu sistim hukum
yang tidak mempunyai
kualifikasi yang lengkap,
seperti dalam Hukum Adat
dan Hukum Inggris. Apalagi
jika sistim hukum asing itu
tidak mengenal lembaga
hukum yang dikenal dalam
hukum nasional setempat
atau sebaliknya.
Menghadapi yang demikian,
maka kualifikasi harus
diselesaikan dengan
mendasarkan pada analogi
terhadap peristiwa/faktafakta yang sama dasarnya,
jika tidak mungkin maka
digunakan lex fori.
3. KUALIFIKASI secara
ANALITIS atau OTONOM
- Teori ini dikemukakan oleh
RABEL, oleh BECKET disebut
“Teori Hukum Analitis”
(analytical jurisprudence);
- Menurut teori ini: setiap
kaedah hukum harus

dibandingkan dengan
kaedah-kaedah hukum yang
serupa dari sistim hukum
yang dikenal, dimaksudkan
agar tercipta satu macam
kualifikasi bagi HPI yang
universal, yaitu tercipta
pengertian-pengertian HPI
yang diterima umum
terlepas dari stelsel-stelsel
hukum yang ada.
- Dalam praktek tidak
mungkin dilakukan
mengingat:1) sulit
menyelidiki semua sistim
hukum yg berlaku, 2) setiap
sistim hukum selalu
berkembang, sehingga
selalu sukar untuk mengejar
perubahan-perubahan
disemua sistim hukum, 3)
seandainya dapat diciptakan
suatu sistim kualifikasi
universal, hanyalah
gambaran rata-rata dari
sistim hukum, bukan
gambaran sistim yang riil
yang berlaku di setiap
negara. (Contoh: lembaga
“trust” di Inggris tidak
dikenal dalam sistim hukum
lain, demikian jua “domicile”
dalam hukum Inggris,
berbeda sifatnya dengan
“domicilie” dalam hukum
Belanda, berlainan pula
dengan arti “domisili” dalam
hukum Indonesia.
4. KUALIFIKASI secara
BERTAHAP
- Teori ini dikemukakan oleh
SCHNITZER, yang
membedakan dua tingkat
kualifikasi, yaitu:
- Kualifikasi tahap pertama
kualifikasi menurut lex fori
untuk menemukan hukum
mana yang dipergunakan;
dan
- kualifikasi tahap kedua
kualifikasi menurut lex
causae yaitu kualifikasi lebih
jauh dari hukum asing mana
yang harus dipergunakan.
- Ada yang menganggap
kualifikasi sama dengan
interpretasi
(EHRENZWEIG) ,meskipun
ada hubungan erat antara
keduanya, namun tetap

harus dibedakan antara
keduanya, karena
“Menafsirkan” berarti
memberi arti dan isi kepada
suatu kaedah penunjuk
(terlepas ada
kasus/peristiwa atau tidak),
sebaliknya “kualifikasi”
berarti menerapkan suatu
kaedah hukum untuk suatu
peristiwa tertentu
(LEMAIRE);
- Teori ini mengatasi
kesulitan secara realistis,
karena untuk menemukan
lex causae, tidak mungkin
dapat mempergunakan
kualifikasi lain selain
kualifikasi menurut lex fori.
- Pengecualian dari
kualifikasi ini, adalah:
a. Kewarganegaraan, yang
berlaku lex causae (hkum
WN melekat);
b. Benda bergerak/tidak
bergerak, lex rei sitae
(dimana benda
terletak)
c. Kontrak/perjanjian, pilihan
hukum (choice of law)
d. PMH / tort, lex loci delictie
commissie (tempat
terjadinya PMH)
5. KUALIFIKASI HPI
- Teori ini dikemukakan
KEGEL, yang menyatakan
kualifikasi kaedah hukum
asing tergantung pada
tujuan yang akan dicapai
HPI, yaitu latar belakang
kepentingan HPI (keadilan,
ketertiban, kepastian,
kelancaran pergaulan
international) yang akan
dilindungi. Jadi harus
ditentukan lebih dahulu
kepentingan HPI manakah
yang dilindungi oleh suatu
kaedah hukum HPI tertentu.
- Kepentingan HPI, antara
lain:
a. kepentingan para pihak
(hukumnya sendiri atau
hukum yang
dipilihnya);
b. kepentingan pergaulan
dan lalu lintas international
(kepastian hukum dan
kecepatan dalam lalu lintas
orang dan barang

menentukan menurut hukum
mana kualifikasi dilakukan);
c. ketertiban dan kepastian
hukum (yg merupakan
tujuan unifikasi
hukum extern, dan
kecenderungannya
memerlukan lex fori);
d. perasaan keadilan dalam
masyarakat (pergaulan)
international
TAHAP-TAHAP PEMERIKSAAN
SUATU PERKARA HPI :
1. Menentukan Pengadilan
mana yang berwenang
memeriksa perkara
HPI;
Penentuan ini
didasarkan/dengan bantuan
“titik-titik taut primer”. Jika
pengadilan Indonesia yang
berhak memeriksa, maka
HPI dan Hukum Acara
Indonesia yang akan
diberlakukan.
2. Menentukan jenis atau
soal apakah peristiwa HPI
itu, perkara adopsi, atau
perkawinan atau PMH atau
pidana. Pada tahap ini
dilakukan kualifikasi dari
fakta-fakta, disini baru
diketahui lex forinya,
karenanya pengkualifikasian
ini hanya dapat dilakukan
menurut lex fori.
3. Dengan berdasarkan lex
fori, dicari hukum mana
yang berlaku, untuk itu
harus dicari “titik-titik taut
sekunder” guna menemukan
hukum yang harus berlaku:
lex causae.
- Kadang-kadang lex causae
ini adalah lex fori juga, maka
selanjutnya diteruskan
menurut lex fori;
- Lex causae ditentukan
letak benda tak bergerak,
maka sistim hukum yang
berlaku lex situs;
- Ditentukan oleh tempat
terjadinya perjanjian (lex loci
contractus), tempat
dilangsungkannya perjanjian
(lex loci solutionis) atau
tempat terjadinya

perkawinan (lex loci
celebrationis).
- Bisa juga lex causae ini
ditentukan oleh tempat
tinggal terakhitr atau tempat
asal seseorang (lex domicilii)
4. Setelah lex causae, maka
kualifikasi dan penentuan
perkara HPI dilakukan
menurut lex causae, kecuali
jika lex causae memberi
hasil yang:
a. bertentangan dengan
“kepentingan umum lex fori,
maka lex fori yang berlaku,
atau
b. lex causae tidak mengatur
persoalan HPI yang
bersangkutan.
5. Penunjukan kembali
(Renvoi)
Dalam mencari lex cause,
jika yg dimaksud “hukum
asing” seluruh kaedah
hukum asing termasuk
kaedah HPI, maka ada
kemungkinan HPI asing itu
menunjuk kembali kepada
lex fori, atau kepada hukum
asing yang kedua / lainnya,
inilah yang disebut
persoalan renvoi
(penunjukan kembali dan
penunjukan lebih lanjut).
Contoh-contoh:
A. Kulaifikasi menurut lex
fori, biasa dilakukan
pengadilan Inggris.
I. Perkara Ogden Vs Ogden
(1908)
- Suami (domisili di Perancis)
menikahi istrinya
(berdomicile di Inggris)
di Inggris;
- Perkawinan ini dibatalkan
di Perancis, karena di
Perancis suami masih
dianggap belum dewasa dan
tidak mendapat izin orang
tuanya.
- Menurut HPI Inggris syaratsyarat formil suatu
perkawinan diatur oleh lex
loci celebrationis dan syaratsyarat materiil oleh
lexdomicilie;
- Dalam hukum Inggris: izin
orang tua dianggap unsure

formil (formality) yang diatur
oleh hukum tempat
dilangsungkannya
perkawinan (lex loci
celebrationis), sedangkan
menurut hukum Perancis:
izin orang tua dianggap
sebagai unsure materiil yang
harus diatur menurut hukum
pribadi personil yang
bersangkutan;
- Jika izin dikualifikasikan
menurut lex fori (hkm
Inggris), maka perkawinan
dianggap syah, tetapi jika
dikualifikasi menurut hukum
Perancis, maka perkawinan
itu batal.
- Menurut Pengadilan Tinggi
(Court of Appeal) harus
dilakukan kualifikasi
menurut lex fori, sehingga
perkawinan seperti itu
dianggap sah.

II. Perkara Apt Vs Apt (1947)
- Ny. Apt (WN Jerman,
bertempat tinggal dan
mempunyai domisili di
Inggris) telah menikah
dengan perantaraan (by
proxy) dengan Tn. Apt (WN
Jerman tinggal dan
mempunyai domisili di
Argentina);
- Pengadilan Inggris harus
menentukan apakah “cara
perkawinan” ini merupakan
syarat formil ataukah syarat
materiil. Jika cara ini
merupakan syarat formil,
maka perkawinan yang
dilangsungkan di Argentina
harus berlangsung menurut
hukum Argentina adalah
sah. Namun jika cara itu
dianggap sebagai syarat
materiil, maka perkawinan
itu dianggap tidak sah.
- Pengadilan Inggris
mengnggap cara perkawinan
ini sebagai syarat formil,
maka perkawinan ini
dianggap sah.
Jika telah ditetapkan
perkawinan itu sah, maka
hakim akan mencari “titiktitik taut” yang menentukan

hukum yang harus berlaku.
Dalam hukum Inggris “titiktitik taut” ini ditentukan pula
oleh lex fori:
a). Jika perkawinan (di
Argentina), maka Hkm Pdt
Inggris akan memeriksa
apakah menurut hukum
Argentina, syarat-syarat
formilnya dipenuhi atau
tidak;
b). Jika mengenai warisan,
maka akan ditentukan
dimana domicile Pewaris
pada waktu meninggal, dan
dimana lex situs (letak)
barang-barang tak bergerak
yang ditinggalkan pewaris;
c). Jika mengenai perjanjian,
maka akan ditentukan
dimana lex loci contractus
(tempat terjadinya) atau lex
loci solutionis (tempat
dilaksanakannya);
B. Kualifikasi menurut lex
causae:
I. Perkara Anton Vs Bartolo
(1891)
- Ny. Anton dan suaminya
pada permulaan perkawinan
berdomisili di Malta,
kemudian pindah ke Aljazair
(jajahan Perancis) dan
membeli sebidang tanah;
- Sesudah suaminya
meninggal, Ny. Anton
menggugat ¼ bagian hasil
tanah tersebut sebagai harta
warisan;
- Jika hukum Malta yang
berlaku, maka gugatan akan
dikabulkan, tetapi jika
hukum Perancis yang
berlaku akan ditolak. Yang
jadi persolan adalah apakah
perkara ini perkara
“warisan” ataukah masalah
“harta perkawinan”;
- Baik hukum Perancis
maupun Malta berlaku
kaedah-kaedah HPI, dimana
mengenai warisan benda tak
bergerak tunduk pada lex
situs (letak benda), dan
mengenai harta perkawinan
berlaku lex domicilii.
- persoalannya apakah
perkara ini akan dikualifikasi
sebagai perkara warisan
atau perkara perkawinan.

Gugatan hak waris tidak
dikenal hukum Perancis, jika
dianggap soal waris, maka
yang berlaku hukum
Perancis. Sedangkan jika
dianggap sebagai masalah
perkawinan berlaku hukum
Malta
- Pengadilan Aljazair
menggolongkannya menurut
hukum Malta, yang
menggolongkan hak janda ¼
bagian hasil tanah sebagai
kaedah harta perkawinan,
sehingga gugatan Ny. Anton
dikabulkan.
C. Kualifikasi di dalam dua
tingkat:
- Menurut HPI Swiss, warisan
diatur menurut hukum
tempat tinggal terakhir
Pewaris, tanpa dibedakan
barang bergerak atau tidak
bergerak;
- Jika kualifikasi tingkat
pertama, dapat ditentukan
hukum Inggris yang berlaku
(tempat tinggal terakhir
Pewaris), maka harus
ditentukan benda-benda apa
yang merupakan benda
bergerak (movables) dan
benda tidak bergerak
(immovables) menurut
hukum Inggris (kualifikasi
tingkat kedua);
- Hkum Inggris, jika tak ada
wasiat, benda movables
berlaku hukum dari lex
dimicili Pewaris, terhadap
benda immovables berlaku
lex rei situs; (letak benda
immovables);
- Jika lex domicile Pewaris
adalah hukum Swiss, maka
akan berlaku hukum Swiss
terhadap benda movables
(Renvoi). Dan jika lex situs
dari benda immovables
adalah Jerman, maka hukum
Jermanlah yang harus
berlaku (penunjukan lebih
lanjut).
TITIK-TITIK TAUT / PERTALIAN
Yang dimaksud dengan Titiktitik Taut (Prof. Sunaryati
Hartono) atau Titik-Titik
Pertalian (Prof. Gautama)

yaitu adanya unsure-unsur
yang menandakan adanya
unsure asing, sehingga ada
kemungkinan suatu kaedah
hukum asing diberlakukan
dalam suatu peristiwa
hukum.
Titik-titik Pertalian (TP)
dalam HPI, yaitu:
I. Titik Pertalian Primer;
II. Titik Pertalian Skunder;
III. Titik Pertalian Kumulatif;
IV. Titik Pertalian Alternatif;
V. Titik Pertalian Tambahan;
VI. Titik Pertalian Accesoir;
VII. Titik Pertalian Pengganti.
I. Titik-titik Pertalian Primer
Yaitu merupakan titik
pertalian yang memberikan
petunjuk bahwa suatu
peristiwa merupakan HPI
atau bukan, atau alat yang
membedakan apakah suatu
persoalan masuk kedalam
lingkup HPI atau bukan,
sehingga TP Primer ini
disebut juga sebagai Titik
Pembeda.
Yang merupakan TP Primer
adalah:
1. Kewarganegaraan;
- Seorang WNI menikah
dengan WN Jepang.
Kewarganegaraan Jepang
menunjukkan ini merupakan
peristiwa HPI;
2. Domisili, tempat tinggal
seseorang yang sah
menurut hukum (tetap);
- Dua orang WN Inggris yang
berlainan domicilinya satu
berdomicili di negra X, yang
satu lainnya di Negara Y,
mereka menikah disalah
satu domicili diantara
mereka. HPI Inggris
menanggap seorang WN
Inggris tunduk pada hukum
perkawinan negri
domisilinya yang baru.
Domicili disini menunjukan
peristiwa HPI;
3. Bendera kapal,
menandakan kapal itu
tunduk pada hukum apa;
- Sebuah kapal berbendera

Panama, para
penumpangnya WNI. Kapal
berlayar di perairan
Indonesia. Jika timbul
persoalan dengan kapal, ini
merupakan peristiwa HPI,
karena bendera bagi sebuah
kapal merupakan
kewarganegaraan.
4. Tempat kediaman
(Residence), sifatnya
sementara (Habitual
residence , tempat kediaman
seseorang yang nyata
sehari-hari)
- Dua orang WN Malaysia
bertempat kediaman di
Jakarta tanpa melepaskan
domisilinya di Kualalumpur.
Jika mereka akan menikah
apakah di KUA, Catatan Sipil
atau di Embassy
(Kedutaan)nya, ini
merupakan peristiwa HPI
karena tempat
kediamannya;
5. Tempat kedudukan badan
Hukum;
- Tempat kedudukan badan
hukum sebuah perseroan
terbatas dan sebagainya,
menunjukan peristiwa HPI;
6. Pilihan Hukum dalam
hubungan intern
- Dua orang Indonesia yang
mempunyai domisili kantor
berbeda masing-masing di
Indonesia dan di London,
mengadakan perjanjian
import-export barang dari
Inggris. Dalam perjanjian
ditentukan hukum yang
berlaku disepakati hukum
Inggris, maka oleh karena
adanya pilihan hukum
(hukum Inggris),peristiwa ini
merupakan HPI;
II. Titik-titik Pertalian
Sekunder
yaitu merupakan titik
pertalian yang menjawab
hukum mana yang dipakai
dalam menghadapi
persoalan HPI, atau alat
yang menentukan hukum
yang berlaku dalam
persoalan HPI disebut juga

sebagai Titik taut Penentu.
Yang merupakan Titik
Pertalian Sekunder (TPS),
yalah:
1). TPS Dalam BIDANG
KONTRAK:
a. Pilihan Hukum, yaitu
hukum yang dipilih para
pihak yang berlaku;
- Jika dalam suatu perjanjian
dagang/kontrak para pihak
menentukan hukum yang
berlaku dalam kontrak
tersebut, maka pilihan
hukum yang dipilih itulah
yang berlaku dalam kontrak
tersebut.
Sebagai contoh: PT. Hotel
Indonesia mengadakan
kontrak dengan
management Hotel
Corporation mengenai
exploitasi dan mamagemen
bersama HI di Jakarta,
dengan ketentuan bahwa
hukum Indonesia yang
berlaku dalam kontrak
tersebut.
Jika secara tegas pilihan
hukum itu dipilih, maka
pilihan hukum tersebut akan
menentukan berlakunya
hukum Indonesia, kecuali
bertentangan dengan
ketertiban umum.
b. Tidak ada pilihan hukum:
b.1. Lex Loci Contractus,
berlakunya / keberlakuan
hokum
berdasarkan tempat
penandatanganan kontrak;
- Mail box theory (Anglo
Saxon)
keberlakuan hukum
didasarkan didasarkan pada
tempat dimana
dikirimkannya jawaban atas
penerimaan penawaran.
Contoh:
Pengusaha Inggris dan
pengusaha Singapura
mengadakan perja
njian (kontrak) dalam hal
jual beli kertas. Setelah
pengusaha
Inggris memberikan
penawaran (melalui
korespondensi: surat,
Fax, email dll), maka

Singapor menerima dan
memberikan jawaban yang dikirimkan ke
Inggris. (Inggris X Singapura)
Maka hukum Singapura yang
berlaku.
- Acceptance theory (Eropa
Kontinental)
keberlakuan hukum
didasarkan pada tempat
dimana jawaban
atas penerimaan penawaran
diterima.
Contoh:
Pengusaha Tasik (Indonesia)
dan pengusaha Perancis
melakukan kontrak/perjanjian jual
beli kain batik, pengusaha
Tasik
memberikan penawaran
yang kemudian diterima
oleh pengusaha
Perancis, dan pengusaha
Perancis tersebut
mengirimkan jawaban penerimaannya ke Tasik
(Tasik X Perancis).
Maka hukum Indonesia lah
(Tasik) yang berlaku.
b.2. Lex loci solutionis,
berlakunya / keberlakuan
hukum berdasar
kan tempat dimana suatu
kontrak dilaksanakan /
diselesaikan.

paling
banyak memiliki titik taut /
pertalian di dalam kontrak
yang
diadakan.
Contoh:
Perjanjian import-export
antara pengusaha Indonesia
dan Jepa
ng, bertempat di Jakarta.
Perjanjian dibuat dalam bhs
Inggris.
Impor barang Jepang ke
Indonesia dilaksanakan di
Indonesia,
Export barang-barang
Indonesia harus
dilaksanakan di Tokyo.
Jika pengusaha Jepang
wanprestasi atas mutu
barang, maka pe
ngusaha Indonesia dapat
menggugat Pengusaha
Jepang di Penga
dilan di Indonesia, karena
ditemukan titik
taut/pertalian:
- kewarganegaraan Tergugat
= Jepang.
- lex loci solutionis =
Indonesia.
- lex rei sitae = Indonesia,
karena brg te
lah tiba di Indonesia.
- lex loci contractus =
Indonesia (Jakarta)
- bentuk/bahasa perjanjian =
Inggris.
- lex fori = Indonesia.

Contoh:
Pengusaha Jepang dan
Perancis mengadakan
kontrak mengenai pembangunan sebuah Cottage
di Bali, apabila ada
permasalahan antara kedua belah pihak (Jepang
X Perancis), maka hukum
yang mengatur bagi permasalahan
tersebut adalah hukum
Indonesia yang me
rupakan tempat dimana
kontrak tersebut
dilaksanakan / diselesai
kan.

b.4. The most characteristic
connection
hukum yang digunakan
adalah hukum pihak yang
menanggung resiko paling besar.
- umumnya dipakai dalam
konvensi jual beli
international.
Contoh:
Penjual X Pembeli,
hukumnya penjual;
Bank X Nasabah, hukumnya
Bank;
Pengacara X Klien,
hukumnya pengacara.

b.3. Proper law of the
contract
hukum yang digunakan /
berlaku adalah hukum yang

2. TPS DILUAR BIDANG
KONTRAK
a. Kewarganegaraan

Dalam perkawinan dua
orang yang berlainan
kewarganegaraan, maka jika terjadi perselisihan /
perceraian, maka hukum
yang berlaku adalah hukum nasional
sang suami, karena menurut
Pasal 2 Pera
turan Perkawinan Campuran
(S.1898-158) jo Pasal 58 UU
No. 1/74
tentang Perkawinan, seorang
istri mengikuti status hukum
suaminya, kewarganegaraan
suaminya menentukan
kewarganegaraan iste
rinya.
b. Domisili
Keberlakuan hukum
didasarkan atas domisili
para pihak
- Dua orang WN Inggris yang
berlainan domicilinya satu
berdomicili di negra X, yang
satu lainnya di Negara Y,
mereka menikah disalah
satu domicili diantara
mereka. HPI Inggris
menanggap seorang WN
Inggris tunduk pada hukum
perkawinan negri
domisilinya yang baru.
Domicili disini
menentukankan hukum
mana yang berlaku bagi
para pihak;
c. Bendera kapal
Bendera merupakan
kewarganegaraan sebuah
kapal, jika terjadi
perselisihan diatas sebuah
kapal yang berbendera
Negara tertentu, maka
hukum yang berlaku adalah
hukum dimana kapal itu
berbendera.
d. Tempat kediaman
- Dua orang WN Malaysia
bertempat kediaman di
Jakarta tanpa melepaskan
domisilinya di Kualalumpur.
Jika mereka akan menikah di
Jakarta (KUA atau Catatan
Sipil), maka yang berlaku
hukum Indonesia;

e. Tempat diadakan
perbuatan-perbuatan resmi
yang penting (forum)
termasuk tempat kedudukan
badan hukum:
- Tempat Pendaftaran tanah,
tempat izin diperolehnya
untuk mendirikan badan
hukum, tempat diajukannya
suatu perkara (juridiksi),
merupakan titik taut
penentu, karena hukum
acara ditentukan oleh lex
fori yang bersangkutan.
f. Letak suatu benda (lex rei
sitae)
Terhadap benda-benda baik
tak bergerak (immovable)
maupun benda bergerak
(movable) dibidang HPI
berlaku hukum dimana
letaknya benda-benda
tersebut (lex rei sitae)
Contoh:
Seorang WNI hendak
meletakkan hak tanggungan
(hypotheek) atas tanah dan
rumah di Malaysia, maka
hukum yang digunakan
adalah hukum Malaysia yaitu
hukum dimana tanah dan
bangunan itu berada.
g. Perbuatan Melawan
Hukum (lex loci delicti
commisi)
Hukum yang digunakan
adalah hukum tempat
dimana perbuatan melawan
hukum (PMH) itu dilakukan.
Ada 2 teori :
- The last event theory
(Anglo Saxon)
hukum yang digunakan
berdasarkan locus delicti,
ditempat dimana akibat dari
suatu perbuatan melawan
hukum itu dirasakan.
- The last event theory
(Eropah Kontinental)
locus delicti, ditempat
terjadinya perbuatan
melawan hukum yang
sebenarnya.
h. Bentuk perbuatan hukum
(locus regit actum)
Hukum tunduk pada tempat
dimana suatu perbuatan

hukum akan dilakukan.
Contoh: Perkawinan
International.
- Seorang WNI akan menikah
dengan seorang WN
Perancis di Jerman, maka
syarat materiilnya (Status
personal tunduk pada
hukum masing-masing
kewarganegaraannya – Pasal
16 AB), karena
perkawinannya akan
dilaksanakan di Jerman,
maka syarat formilnya /
bentuk perbuatan hukumnya
tunduk pada hukum Jerman
(lex loci celebrationis – Pasal
18 AB).
III. Titik Pertalian Kumulatif:
Yaitu beberapa titik pertalian
yang digunakan sekaligus;
IV. Titik Pertalian Alternatif:
Yaitu memilih salah satu titik
pertalian dari beberapa titik
pertalian
yang ada;
V. Titik Pertalian Tambahan
Yaitu titik-titik pertalian yang
seharusnya dipergunakan
tidak dipakai, karena
dianggap tidak mencukupi,
sehingga digunakan
tambahan titik pertalian
lainnya;
VI. Titik Pertalian Accesoir
Yaitu titik pertalian yang
mengikuti titik pertalian
yang pokok.
VII. Titik Pertalian Pengganti
Yaitu jika dalam peristiwa
HPI terjadi hanya ada satu
titik pertalian, namun tidak
memadai, maka dapat
diganti dengan titik pertalian
lainnya. Bila tidak ada
penggantinya, maka harus
digunakan titik pertalian
yang satu tersebut.
HUBUNGAN ANTAR TITIKTITIK PERTALIAN;
- Jika Titik Pertalian Primer
(TPP) tidak ditemukan dalam
suatu peristiwa hukum,

maka dengan sendirinya
Titik Pertalian Sekunder
(TPS) juga tidak ada;
(Contoh: jual beli yang
dilakukan oleh dua orang
WNI, di Jakarta, memakai
hukum Indonesia, atas
barang-barang yang terletak
di Indonesia);
- Meskipun Titik Pertalian
Sekunder (TPS) tidak
ditemukan dalam suatu
peristiwa hukum, namun
dapat saja ditemukan Titik
Pertalian Primer (TPP) dalam
suatu peristiwa yang
menunjukan peristiwa HPI;
(Contoh: dua pihak WNI
melakukan perkawinan
diatas kapal berbendera
Panama yang sedang
berlayar diatas perairan di
Indonesia )
- Jika ada Titik Pertalian
Pengganti (TP Pengganti)
hanya satu, tidak sama
dengan Titik Pertalian
Alternatif (TP Alterbatif).
- TP Alternatif dapat
merupakan TP Pengganti,
namun TP Pengganti tidak
bias menjadin TP Alternatif.
- Dalam suatu peristiwa
hukum Kewarganegaraan
dapat menjadi Titik Pertalian
Primer (TPP) sekaligus juga
menjadi Titik Pertalian
Sekunder (TPS) yang
menentukan hukum mana
yang berlaku dalam
peristiwa tersebut.
(Contoh: dua orang WNI
yang melaksanakan
perkawinannya di Perancis)
- Demikian juga “Domisili”
dapat menjadi Titik Pertalian
Primer (TPP) dalam suatu
peristiwa hukum, sekaligus
juga merupakan Titik
Pertalian Sekunder (TPS)
yang menentukan hukum
asing apa yang berlaku
dalam peris tiwa hukum
tertentu.
(Contoh: seorang WNI
melakukan perkawinan
dengan seorang Warga
Negara Inggris, yang
dilaksanakan di Indonesia

dan keduanya berdomisili di
Indonesia).
MENENTUKAN HUKUM YANG
BERLAKU (LEX CAUSAE)
DENGAN BANTUAN TITIK
PERTALIAN
Dalam Hukum Antar
Golongan di Indonesia, Titik
taut / ppertalian hanya
ditentukan oleh Hukum Adat
atau Hukum Barat yang
berlaku di Indonesia, namun
dalam HPI titik taut /
pertalian itu ditentukan oleh
lebih dari satu sistim hukum,
karena HPI menyangkut
seluruh sistim hukum di
dunia.
Maka oleh karenanya jika
menghadapi suatu kasus
HPI, cara kerjanya dilakukan
sebagai berikut:
1. Pertama-tama harus dicari
TTP (Titik Taut Primer)
menurut Lex fori, apakah
kasus yang dihadapi
merupakan peristiwa HPI
atau bukan;
2. Jika sudah diketahui
bahwa suatu kasus itu HPI,
maka harus dilakukan
“qualification of facts”
menurut lex fori;
3. Kemudian kita mencari
titik taut sekunder (TTS)
menurut lex fori, untuk
menentukan sistim hukum
yang berlaku (lex causae);
4. Titik-titik taut menurut lex
causae kemudian akan
menentukan apakah kaedah
hukum lex causae, lex fori
atau kaedah sistim hukum
asing yang lain (ingat
kemungkinan renvoi) yang
harus berlaku;
5. Jika berdasarkan titik-titik
taut dari lex causae telah
ditentukan kaedah hukum
materiil yang harus berlaku,
barulah dapat kita
menentukan penyelesaian
masalah atau menjatuhkan
putusan in concreto.
Tetapi dalam kenyataan
kemungkinan titik taut lex
fori menunjuk pada dua lex

causae atau lebih.
Contoh:
- Perjanjian import-ekport
antara WNI dengan WN
Jepang. Impor barangbarang Jepang ke Indonesia
harus dlaksanakan di
Indonesia, sedang export
barang Indonesia harus
dilaksanakan di Tokyo.
Pembayaran dilakukan
secara kompensasi.
- Jika exporter Jepang
menyerahkan barang yang
harus diexport ke Indonesia
kualitasnya tidak sesuai
dengan yang diperjanjikan,
maka akan terjadi
kemacetan karena pihak
Indonesia tidak mau
mengirimkan barangbarangnya ke Jepang akibat
pihak Jepang “wanprestasi”
BEBERAPA PENYELESAIAN
A. Jika pihak Indonesia
melakukan gugatan ke
Pengadilan negeri Jakarta
Pusat, maka kita akan
menemukan titik-titik
perytalian sbb:
- kewarganegaraan tergugat
= Jepang;
- lex loci solutionis =
Indonesia;
- lex rei sitae = Indonesia,
karena barang
telah datang di Indonesia.
- lex loci contractus =
Indonesia / Jakarta;
- bentuk perjanjian/bahasa =
Inggris;
- lex fori = Indonesia.
Karena lex fori Indonesia,
maka yang berlaku kaedahkardah HPI Indonesia, yang
berlaku Pasal 18 AB
(Algemeine Bevalingen):
suatu perbuatan hukum itu
tunduk pada dimana
perbuatan hukum itu
dilakukan (locus regim
actum), maka yang
dianggap lex cusae adal