PENGANTAR 6C2. MAKALAH PROF. THOMAS PENTURY

1. PENGANTAR

Indonesia disebut-sebut sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau 17.504 Kepmendagri, 2008, luas daratan 1.910.931 km 2 Kepmendagri, 2010 dan luas perairan 3.544.743,90 km 2 KKP, 2011 dan total panjang garis pantai Indonesia adalah 104.000 kilometer Bakosurtanal, 2006. Walaupun sebenarnya, hasil dari Badan Informasi Geospasial BIG menyebutkan nilai-nilai ini telah mengalami perubahan. Potensi negara kepulauan ini, tentunya memberikan dampak terhadap dinamika pembangunan secara kewilayahan. Dinamika pembangunan dalam konteks kewilayahan di Indonesia tidak hanya menunjukkan pertumbuhan yang positif saja, namun juga memberikan konsekuensi logis terbentuknya berbagai persoalan yang menunjukkan kondisi negatif yang mempengaruhi dinamika pembangunan secara menyeluruh di Indonesia. Saya kira ini yg pertama, yang berikut : Beberapa isu dan masalah strategis yang berkaitan dengan eksistensi potensi dan pemanfaatannya di “Negara Kepulauan Indonesia”, dapat dikelompokkan atas enam kelompok isu dan masalah, meliputi: lingkungan dan sumberdaya alam, sosial, ekonomi, budaya, teknologi serta kebijakan, hukum dan kelembagaan. Pengelompokkan isu dan masalah ini mengacu pada berbagai referensi, dan paling banyak dipilih adalah isu-isu dan masalah yang terekam melalui berbagai pernyataan pada Indonesia Maritime Magazine. Pertama, isu dan masalah lingkungan dan sumberdaya alam, Indonesia disebut sebagai Amazon of The Sea, namun untuk kepentingan peningkatan ekonomi negara negara, muncul persoalan yang sulit dihindari. Sebagai contoh eksploitasi Dengan tujuan peningkatan pertumbuhan ekonomi namun berimplikasi pada lingkungan. minyak dan tambang lainnya berada pada dualisme “peningkatan energi dan ekonomi negara” versus “masalah lingkungan, pencemaran”. Oleh sebab itu, berbagai temuan di negara kita bahwa polusi yang terjadi mengancam eksitensi lingkungan perairan dan sumberdaya yang ada. Pencemaran lingkungan perairan karena tumpahan minyak dari Celah Timor dinyatakan telah merusak ekosistem laut. Namun Indonesia masih dituntut untuk bisa membuktikan masalah itu. Persoalan perubahan iklim, ternyata memberikan dampak terhadap pergeseran daerah penangkapan ikan Fishing Ground. Masalah ini kemudian mendorong persoalan baru baik pada aspek ekonomi maupun sosial. Pada aspek ekonomi, nelayan harus memberikan energi lebih untuk menjangkau daerah penangkapan yang potensial. Beberapa temuan membuktikan bahwa biaya operasional cenderung meningkat sementara pendapatan masih berjalan di tempat. Dampaknya pada spek sosial adalah banyak nelayan harus mengurungkan niatnya untuk menjangkau fishing ground yang lebih jauh, dan tetap berada dalam keterpurukan di level rumah tangga nelayan. Dalam konteks perubahan iklim ini , banyak pernyataan tentang “Global Warming Mengancam Kepulauan Indonesia”, sangat nyata terlihat pada kenaikan muka air laut, peningkatan suhu permukaan laut, perubahan kecepatan angin dan curah hujan, serta perubahan pH derajat keasaman perairan laut. Perubahan- perubahan ini diduga telah memberikan dampak yang sangat besar baik terhadap menurunnya luasan wilayah daratan NKRI maupun menyebabkan perubahan ekosistem laut Karopitan, 2013a, 2013b. Isu dan masalah lingkungan dan sumberdaya alam menyisahkan pertanyaan kritis tentang, pencerahan-pencerahan harus dikelola oleh siapa saja? Pertanyaan ini menjadi pembuka diskursus kita tentang “peran siapa?” dan “apa alternatifnya?”. Kedua, isu dan masalah sosial, yang lebih banyak mengarah pada ketidakberdayaan masyarakat dalam hal ini nelayan. Oleh karena itu, beberapa persoalan yang terekam, seperti masyarakat nelayan tradisional yang tidak dapat mengakses daerah tangkapan fishing ground , teror bagi nelayan akibat illegal fishing , banyaknya nelayan di perbatasan terlindas nelayan asing. Persoalan-persoalan ini menunjukkan begitu kuatnya potensi konflik yang akan dan harus dihadapi masyarakat nelayan dengan ketidakberdayaannya. Mengacu pada pikiran Engel and Korf 2005 seerta Kinseng 2013, masyarakat di tingkat lokal termasuk nelayan sebenarnya memiliki kekuatan dalam mengatasi persoalan terkait pengelolaan konflik itu, namun banyak juga kelemahan yang mereka miliki. Keberhasilan pengelolaan konflik di tingkat masyarakat lokal seringkali tergantung pada kapasitas enforcement mereka. Oleh karena itu, pengelolaan konflik sebagai basis persoalan di atas ditawarkan melalui pengelolaan konflik alternatif Alternative Conflict ManagementACM. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapa saja yang dapat mencermati dan menjadi aktor dalam mendukung alternatif-alternatif yang ditawarkan? Ketiga, isu dan masalah ekonomi, yang paling “panas” atau “terkini” dihadapi oleh Indonesia adalah eksistensi Geostrategi NKRI di Era Ekonomi Pasifik. Keterlambatan inisiatif kita merupakan “bencana” yang tersimpan bagi ekonomi nasional masa depan. Kondisi ini akan diperparah juga dengan lemahnya akses Indonesia dalam mengelola seluruh potensi yang ada di di negara ini. Pernyataan tentang “Zona Ekonomi Eksklusif sebagai Potensi Maritim Tak Terjamah” merupakan salah satu pemicu percepatan keterpurukan kita jika tidak kelola dengan baik. Dalam konteks pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, masih banyak persoalan yang harus disikapi secara baik. Persoalan industrialisasi perikanan import, dan import ikan illegal yang semakin membuat nelayan kian terpuruk adalah fakta tragis yang membutuhkan sentuhan-sentuhan kebijakan yang tepat. Di sisi lain, “Dilema Ekonomi dan Ekologis” juga dihadapi oleh Indonesia terkait dengan upaya-upaya pengembangan ekonomi berbasis kegiatan produktif seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, ekowisata pesisirbahari dan pertambangan. Langkah-langkah strategis dalam mencermati persoalan geostrategi Indonesia dalam konteks ekonomi global, temuan-temuan praktek illegal dalam pembangunan industrialisasi serta dilematis ekonomi dan ekologis menjadi tugas bersama. Peran siapa dan strategis seperti apa yang penting dicermati dalam mereduksi persoalan itu merupakan pertanyaan penting yang harus dijawab secara komprehensif. Keempat, isu dan masalah teknologi. Dalam berbagai diskursus tentang percepatan pembangunan di sektor maritim, persoalan-persoalan yang sering mengemuka adalah kelemahan nasional dalam pengembangan dan introduksi teknologi. Kebutuhan mendasar terhadap teknologi informasi maritim untuk menjawab masalah di tingkat nasional dan masyarakat lokal telah menjadi fenoma utama pembangunan kemaritiman di Indonesia. Oleh sebab itu, dilakukan idenitifkasi potensi kelembagaan yang berfungsi dalam pengembangan teknologi yang mendukung pembangunan maritim. Kita berharap pemerintah baru Jokowi JK dengan poros Maritim bisa menyelesaikan sedikti dari sejumlah besar masalah ini. Persoalan lain adalah aksesibilitas dan konektivitas pulau-pulau kecil terluar dengan dengan mainland, merupakan persoalan umum di Indonesia terutama dalam membuka keterisolasian. Pada level kebutuhan masyarakat kepulauan saja banyak masalah teknologi yang harus dijawab, apalagi persoalan di tingkat negara seperti pertahanan dan keamanan. Pernyataan tentang adanya kebutuhan pertahanan maritim terhadap teknologi yang handal menjadi benar ketika seluruh isu dan masalah yang disebutkan sebelum ini terus terjadi. Pertanyaannya adalah peran siapa yang dibutuhkan dalam pengembangan teknologi yang mendukung kebijakan-kebijakan pembangunan di sektor maritim? Tentunya pertanyaan ini menjadi penting untuk dijawab secara institusional. Kelima, isu dan masalah kebijakan, hukum dan kelembagaan, yang mengemuka dan persoalan nasional, regional maupun internasional, antara lain berbagai pertanyaan yang diarahkan untuk “Menggugat Deklarasi Djuanda 57”, dan menjadi potensi persoalan yang harus dicermati dari berbagai perspektif. Kondisi ini menjadi bumerang bagi Indonesia ketika belum memberikan pegangan yang kuat tentang subtansinya. Saya kira itu adalah bagian pengantar makalah ini Salah satu fakta yang teridentifikasi memiliki keterkaitan kuat dengan persoalan ini adalah “Maritime Policy Negara Asing Intervesi Indonesia”. Pernyataan dalam Indonesia Maritime Magazine ini mengingatkan kita pada betapa kuatnya goncangan yang kita hadapi di mesa depan, apabila kebijakan pembangunan maritim tidak dapat menyelesaikan persoalan kemaritiman secara komprehensif. Bila secara holistik, persoalan kemaritiman belum dapat diikuti dengan kebijakan-kebijakan yang sarat dengan strategi-strategi yang adaptif, maka persoalan-persoalan lain yang baru akan cenderung muncuk dan muncul lagi. “Kontroversi Pengawasan Perikanan” misalnya merupakan persoalan yang sering muncul dan mewarnai dinamika pembangunan kemaritiman di Indonesia. Pemahaman tentang penegakan hukum di laut yang belum solid dan persepsi pencurian ikan oleh kapal asing atau illegal fishing yang berbeda- beda merupakan salah pemicu dan penambah potret persoalan kemarimtiman di Indonesia. Kebijakan peningkatan dinamika pembangunan kelautan dan perikanan melalui “Konsep Minapolitan” misalnya, dinilai “Tak Mampu Sejahterakan Nelayan”. Walaupun demikian, ini telah menjadi kebijakan nasional yang patut didukung. Pertanyan menarik pada kelompok isu dan masalah keenam ini adalah: perspektif kebijakan, hukum dan kelembagan seperti apa yang mampu mereduksi seluruh persoalan kemaritiman di Indonesia?. Siapakah yang seharusnya berperan dalam mereduksi persoalan-persoalan dimaksud?. Tentunya pertanyaan-pertanyaan ini menjadi bagian penting dari seluruh pertanyaan yang dirumuskan untuk mereduksi seluruh persoalan kemaritiman, sekaligus menjawab kebutuhan memantapkan Indonesia sebagai negara maritim yang tangguh. Indonesia Marine Institute IMI dalam memberikan jastifikasi latar belakang kelembagaannya menyatakan pentingnya sektor laut dan pesisir di Indonesia yang menghendaki adanya perubahan orientasi pembangunan pada pendekatan maritim. Dinyatakan bahwa: “Pesatnya perkembangan teknologi dan tuntutan penyediaan kebutuhan sumber daya yang semakin besar mengakibatkan sektor laut dan pesisir menjadi sangat penting bagi pembangunan nasional. Oleh karena itu, perubahan orientasi pembangunan nasional Indonesia ke arah pendekatan maritim merupakan suatu hal yang sangat penting dan mendesak. Wilayah laut harus dapat dikelola secara profesional dan proporsional serta senantiasa diarahkan pada kepentingan asasi bangsa Indonesia ” Indonesia Marine Institute, IMI. Lebih lanjut d alam latar belakang itu dikemukakan “Tentunya mengembalikan semangat maritim itu tidak mudah, diperlukan upaya yang serius dari semua elemen bangsa”. Untuk menjawab tantangan itu, IMI merumuskan misi kelembagaannya, antara lain: 1 melakukan pengkajian dan pengembangan segala potensi maritim yang ada dalam wilayah NKRI; 2 mengoptimalkan implementasi Deklarasi Juanda 1957 dan UNCLOS 1982 menunju Indonesia sebagai Negara Maritim terbesar di Dunia; 3 menjalin komunikasi dengan semua stake holder yang memiliki kesamaan visi untuk bersama-sama memperjuangkan visi maritim sebagai visi Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam bingkai Negara Kepulauan Archipelagic State; 4 menumbuhkan kembali semangat maritim yang dimulai dari suatu gerakan cinta laut melaui berbagai event ilmiah, hiburan dan olah raga; serta 5 mendorong dan ikut serta dalam merumuskan kurikulum berbasis maritim mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga ke perguruan tinggi untuk dimasukkan ke dalam Kurikulum Pendidikan Nasional. Rumusan-rumusan misi ini menjadi inspirasi bagi pengembangan upaya-upaya integrasi kelembagaan dalam membangun bangsa dalam konteks kemaritiman. Kelima rumusan misi ini, secara holistik mendorong setiap sektor dalam mencermati perannya untuk mendukung pembangunan nasional berbasis maritim. Secara khusus untuk sektor pendidikan, visi kelima memberikan dorongan yang kuat bagi peran sektor perikanan dalam mendinamisasi pembangunan maritim di Indonesia. Rumusan visi kelima ini menjadi inspriasi awal dalam membangun gagasan akademik dalam rangka memantapkan Indonesia sebagai negara maritim yang tangguh. Terkait dengan peran sektor pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, rumusan visi kelima ini jugalah yang menjadi dasar pengembangan gagasan akademik dalam mencerm ati ”Peran Perguruan Tinggi dalam Mewujudkan Indonesia sebagai Negara Maritim Berbasis Kepulauan ”. Pengembangan gagasan akademik ini, diarahkan untuk menjawab persoalan umum kemaritiman di Indonesia, dan menjawab tantangan berbagai pernyataan yang menempa tkan “Indonesia sebagai raksasa maritim, yang tertidur lelap dan masih bermimpi ”. Gagasan ini juga berupaya menyampaikan konsep peran perguruan tinggi dalam perspektif untuk mencapai “Strategi Maritim: Jalan Menuju Jaya ”. Penyampaian konsep yang dimaksudkan pada gagasan akademik ini melalui pencermatan berbagai rumusan isu dan masalah di atas, yang dipandang sebagai suatu sistem besar yang harus diungkap dalam suatu kesatuan “Sistem Peran Perguruan Tinggi dalam Mewujudkan Indonesia sebagai Negara Maritim Berbasis Kepulauan”. Pendekatan kerangka karakter kepulauan serta tridharma dan peran perguruan tinggi merupakan dasar dalam membangun kesisteman peran perguruan tinggi yang dintegrasikan untuk memantapkan dimnamika pembangunan Indonesia sebagai negara maritim yang tangguh.

2. KERANGKA KARAKTER KEPULAUAN