Pemolaan Komunikasi Ritual Pamaleon Bolon Sipahalimaajaran Kepercayaan Parmalim (Studi Etnografi Komunikasi mengenai Pemolaan Komunikasi Ritual Pamaleon Bolon SipahalimaAjaran Kepercayaan Parmalim)

(1)

(Studi Etnografi Komunikasi Mengenai Komunikasi Ritual Pamaleaon Bolon Sipahalima Ajaran Kepercayaan Parmalim)

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia

Oleh, Eka Nova Yanti

Nim. 41809163

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI JURNALISTIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG


(2)

(3)

(4)

x

LEMBAR PERSEMBAHAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.2.1 Pertanyaan Makro ... 9

1.2.2 Pertanyaan Mikro ... 9

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian ... 10

1.3.1 Maksud Penelitian ... 10

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 10


(5)

xi

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 11

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka ... 13

2.1.1 Tinjauan Tentang Penelitian Terdahulu ... 13

2.1.2 Tinjauan Pustaka ... 16

2.1.2.1 Defenisi Komunikasi ... 17

2.1.2.2 Tujuan Komunikasi ... 19

2.1.2.3 Proses Komunikasi ... 20

2.1.2.4 Karakteristik Komunikasi ... 24

2.1.2.5 Fungsi Komunikasi ... 25

2.1.3 Tinjauan Tentang Komunikasi Ritual ... 26

2.1.4 Tinjauan Komunikasi mengenai Perspektif Ritual ... 30

2.1.5 Tinjauan tentang Pemolaan Komunikasi 2.1.6 Tinjauan Etnografi Komunikasi ... 43

2.1.6.1 Dasar Etnografi Komunikasi ... 41

2.2 Kerangka Pemikiran ... 43

2.2.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 47

2.2.1.1 Interaksi Simbolik ... 47

2.2.2 Model Alur Kerangka Pemikiran ... 49

BAB III OBJEK PENELITIAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian ... 52


(6)

xii

3.1.1 Sejarah Kepercayaaan Parmalim di Tanah Batak ... 52

3.1.2 Ajaran Kepercayaan Parmalim ... 60

3.1.3 Pamaleaon Bolon Sipahalima ... 64

3.2 Metode Penelitian ... 67

3.2.1 Desain Penelitian ... 67

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 69

3.2.2.1 Studi Pustaka ... 70

3.2.2.2 Studi Lapangan ... 70

3.2.3 Teknik Penentuan Informan ... 72

3.2.4 Teknik Analisa Data ... 74

3.2.5 Uji Keabsahan Data ... 78

3.2.5.1 Keterpercayaan (Credibility/ Validitas Internal) .... 78

3.2.5.2 Kebergantungan (Dependability/ Realibitas) ... 79

3.2.5 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 81

3.2.5.1 Lokasi Penelitian ... 81

3.2.5.2 Waktu Penelitian ... 81

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Informan Penelitian ... 84

4.1.1 Identitas Informan Penelitian ... 84

4.1.2 Identitas Informan Kunci (Key Informan) . ... 86

4.2 Hasil Penelitian ... 86 4.2.1 Peristiwa Komunikasi dalam Ritual Pamaleaon Bolon


(7)

xiii

Sipahalima ... ... 87 4.2.2 Komponen Komunikasi dalam Ritual Pamaleaon Bolon

Sipahalima ... 89 4.2.3 Hubungan Antar Komponen dengan Peristiwa dalam

Ritual Pamaleaon Bolon Sipahalima ... ... 91 4.3 Pembahasan ... ... 93

4.3.1 Peristiwa Komunikasi dalam Ritual Pamaleaon Bolon

Sipahalima ... 93 1.3.2 Komponen Komuniksi dalam Ritual Pamaleaon Bolon

Sipahalima . ... 98 1.3.3 Hubungan antar Komponen dengan Peristiwa dalam

Ritual Pamaleaon Bolon Sipahalima . ... 104 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan . ... 109 5.2 Saran . ... 110 DAFTAR PUSTAKA ... 111 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(8)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ... 13

Tabel 3.1 Informan ... 73

Tabel 3.2Key Informan ... 73

Tabel 3.3 Waktu dan Kegiatan Penelitian ... 78

Tabel 4.1 Jadwal Wawancara Informan . ... 83

Tabel 4.2Jadwal Wawancara Informan Kunci (Key Informan). ... 84

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Model Alur Kerangka Pemikiran ... 12


(9)

xv

Gambar 3.1 Komponenp-komponen Analisis Data Kualitatif ... 78

Gambar 4.1 Langgatan sebagai Tempai Pelean (sesajian) . ... 100

Gambar 4.2 Borotan Tempat Mengikatkan Kerbau . ... 101

Gambar 4.3 Tiga Bendera Hitam, Merah dan Putih . ... 102

Gambar 4.4 Penyembelihan Kerbau oleh Para Pangabar . ... 105

DAFTAR LAMPIRAN - LAMPIRAN Lampiran 1 Surat Persetujuan Menjadi Pembimbing Skripsi Lampiran 2 Surat Rekomendasi Sidang

Lampiran 3 Berita Acara Bimbingan Lampiran 4 Lembar Revisian Usulan Lampiran 5 Transkrip Observasi

Lampiran 6 Pengajuan Pendaftaran Ujian Sidang Sidang Lampiran 7 Pertanyaan Penelitian


(10)

xvi Lampiran 9 Biodata Informan Kunci Lampiran 10 Hasil Wawancara Lampiran 11 Dokumentasi


(11)

vi

anugerah-Nya terutama kepada orang tua yang selalu memberi dukungan dan doa-doanya. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini, banyak menemukan kesulitan dan hambatan disebabkan keterbatasan dan kemampuan peneliti, namun berkat bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak, disertai keinginan yang kuat dan usaha yang sungguh-sungguh, maka akhirnya penelitian ini dapat diselesaikan sebagaimana diharapkan.

Skripsi penelitian ini berisi tentang penelitian PEMOLAAN KOMUNIKASI RITUAL PAMALEAON BOLON SIPAHALIMA AJARAN KEPERCAYAAN PARMALIM. Terimakasih yang tak terkira, mulai dari pelaksanaan sampai penyelesaian rangkaian penulisan serta penyusunan skripsi ini sebagai syarat kelulusan untuk menempuh ujian sarjana ini dapat terselesaikan pada waktunya terutama kepada kedua orang tua penulis yaitu Bapak Jhonni Sidauruk dan Mamak Rosdiana br. Situngkir tercinta yang selalu memberikan dukungan, kasih sayang serta doanya terhadap penulis dan tak luput terimakasih yang tiada taranya kepada pihak-pihak yang turut membantu ini semua pada pihak-pihak yang terhormat:

1. Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto selalu Rektor di Universitas Komputer Indonesia.

2. Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, Drs., M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberikan pengesahan penelitian


(12)

vii

3. Drs. Manap Solihat, M.Si., selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi dan Dosen, yang telah banyak membantu baik saat penulis melakukan kegiatan perkuliahan maupun saat mengurus berbagai perizinan yang cukup membantu kelancaran melaksanakan penelitian ini.

4. Melly Maulin P., S.Sos., M.Si selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi yang telah memberikan pengarahan dan motivasi untuk terus maju dalam penelitian ini.

5. Sangra Juliano, S.I.kom, selaku Dosen Wali yang telah memberi motivasi, semangat dan doa kepada penulis.

6. Adiyana Slamet S.IP., M.Si selaku dosen pembimbing yang telah sabar dan banyak membantu serta memberikan motivasi dan juga memberikan dukungan dalam membimbing penelitian ini sampai selesai.

7. Staf Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada peneliti.

8. Astri Ikawati, Amd selaku Sekretariat Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia yang telah banyak membantu dalam mengurus surat perizinan yang berkaitan dengan penelitian.


(13)

viii

10.Keluarga Tercinta, keluarga besar Op. Sharen Sidauruk, Bapak dan Mamak yang sabar dan perhatian dengan kasih sayangnya yang tak henti-hentinya juga selalu menghibur walaupun dari kejauhan, Abang-abang dan adik-adik, serta kedua keponakan yang tak pernah berhenti memberikan dukungan materil, moril, doa dan semangat spiritual yang begitu berarti.

11.Sahabat-sahabat setia, Vida, Fitri, Memei, Mpi, Hans, Eby, Tina, Maria, Tika, Nisa, Dilla, Wita, Marta, Popy dan kepada sahabat lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu-satu yang selalu memberikan dukungan dan memberikan keceriaan di ruang tersendiri selama ini kepada penulis.

12.Sahabat-sahabat KMK yang selalu memberikan dukungan, doa dan memberikan keceriaan di ruang tersendiri selama ini kepada peneliti.

13.Rekan-rekan Ilmu Komunikasi - 5 dan Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik-2 ’09, terimakasih atas segala kerjasamanya, jangan pernah menyerah, kita semua adalah agen perubahan bangsa. Semoga kita semua dapat lulus bersama-sama. Amien.

14.Serta semua pihak yang telah banyaj membantu penulis dalam pembuatan Skripsi ini.

Semoga Tuhan membalas kebaikan yang mereka lakukan dan senantiasa menganugrahkan nikmat kepada hamba-hamba-Nya yang patuh, amin. Peneliti


(14)

ix

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan penelitian masih diperlukan penyempurnaan dari berbagai sudut, baik dari segi isi maupun pemakaian kalimat dan kata-kata yang tepat, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan penulisan penelitian ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah turut serta membantu penulis dalam melakukan penulisan penelitian dan semoga penelitian dapat memberikan manfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca umumnya. Besar harapan penulis skripsi ini akan bermanfaat bagi para pembaca dan pengembangan hasanah Ilmu Komunikasi.

Bandung, Juli 2013 Penulis

Eka Nova Yanti 41809163


(15)

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta,

RajaGrafindo Persada.

Carey, James W. 1992. Communication as Culture: Essays on Media and Society.

Newyork: Routledge.

Couldry, Nick. 2005. Media Rituals; Beyond Functionalism., dalam

MediaAnthropology. Editor: Eric W. Rothenbuhler dan Mihai Coman.Thousand Oaks: SAGE Publications

Effendi, Onong Uchjana. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

James, P. Spradley. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Kencana

Kuswarno, Engkus. 2008. Etnografi Komunikasi. Bandung: Widya Padjadjaran

Little John, Stephen W, Theories Of Human Communication, Fifth Edition, (Belmont, California: Wadsworth Peblishing Company, 1996)

Marsden, William. Pengantar: John Bastin. 2008. Sejarah Sumatera. Jakarta: Komunitas Bambu

McQuail, Denis. 2000. McQuail’s Mass Communication Theory. London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Publications


(16)

the study of mass communications (Second edition). London and New York: Longman.

Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy, 2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

………., 2005.Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya

………..2007.Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Rothenbuhler, Eric W. dan Mihai Coman. 2005. The Promise Of MediaAnthropology, dalam Media Anthropology. Editor. Eric W.

Rothenbuhler, Eric W. 1998. Ritual Communication: From EverydayConversation to Mediated Ceremony. Thousand Oaks. SAGEPublications.

Satori, Djam’an. 2012. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Alfabeta

Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : CV. Alfabeta

Tambunan, E.H. 1982. Sekelumit Mengenai Masyarakat Toba dan Kebudayaannya Sebagai Sarana Pembangunan. Bandung: Tarsito


(17)

Sumber lain :

www.elib.unikom.ac.id

www.library.unisba.ac.id

http://www.parmalim.com/

http://www.analisadaily.com/new/news

http://pardedejabijabi.blogspot.com/

http://static.rnw.nl/migratie/www.ranes

http://arifrohmansocialworker.blogspot

http://budiawan-hutasoit.blogspot.com/ http://matarakyat.blogspot.com/2009/01/

Karya akademis :

Tuahuns, Natasha. 2012. Komunikasi Ritual Ma’atenu Pakapita Dalam Pemanfaatan Media Tradisional Kapata (Syair) Dan Tarian Ma’atenu (Tarian Perang) Masyarakat Adat Negeri Pelauw. Skripsi. Bandung: Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Sosial dan Politik, Universitas Komunitas Indonesia

Octaviani, Chandra Dewi. 2012. Komunikasi Ritual Rendaman Suku Dayak Indramayu Di Kabupaten Indramayu.Skripsi. Bandung: Jurusan Ilmu


(18)

Komunikasi Fakultas Sosial dan Politik, Universitas Komunitas Indonesia

Okiawan, Mauludin Dwiyanda. 2012. Pemolaan Komunikasi Dalam Upavara Adat “Mapad Sri” di Masyarakat Desa Tugu Sliyeg Indramayu


(19)

1   

1.1Latar Belakang

Kegiatan ritual merupakan suatu kegiatan yang setiap tahunnya dilakukan oleh suatu Kelompok Masyarakat atau Komunitas tertentu, tetapi kegiatan ritual juga merupakan suatu kegiatan yang sering dilakukan oleh orang-orang tertentu yang suka menyembah dan memuja penguasa gelap, hal ini dilakukan oleh orang-orang tersebut sebagai suatu bentuk komunikasi mereka dengan para penguasa gelap yang mereka puja atau sembah. Tetapi seperti yang diketahui bersama bukan hanya kegiatan ritual pemujaan penyembahan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu yang suka menyembah penguasa gelap saja, tetapi juga ada kegiatan ritual yang dilakukan oleh orang-orang yang menetap di suatu kelompok masyarakat atau komunitas tertentu.

Kegiatan ritual yang dilakukan oleh kelompok masyarakat atau komunitas itu sebagai bentuk salah satu kegiatan ritual upacara adat, atau juga sebagai bentuk pengucapan syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang mereka dapat bisa juga sebagai bentuk pemujaan kepada para leluhur yang selalu menyertai mereka dalam melakukan kegiatan mereka sehari-hari.

Indonesia memiliki beragam suku dan adat istiadat yang memiliki kegiatan ritual adat yang sampai saat ini masih dilestarikan oleh para tua-tua adat


(20)

di suatu wilayah atau daerah tertentu. Seharusnya kita sebagai orang Indonesia harus bisa berbangga hati karena di negara tercinta ini memilki begitu banyak beragam kebudayaan, kesenian, adat-istiadat, dan juga salah satunya adalah kegiatan ritual upacara adat.

Kegiatan ritual upacara adat merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan untuk berkomunikasi dengan para leluhur atau juga dengan Tuhan. Kegiatan ritual upacara adat juga bisa sebagai suatu bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang didapat atau juga bisa sebagai suatu bentuk komunikasi dengan leluhur yang selalu menjaga mereka setiap hari. Komunikasi ritual upacara adat ini memang sangat penting bagi kelangsungan kelompok masyarakat tertentu atau komunitas sebagai wujud untuk mempertahankan tradisi mereka yang selalu dilakukan dan tradisi kegiatan ritual upacara adat tersebut juga masih dilakukan oleh beberapa daerah yang ada di Indonesia.

Tentunya dalam melakukan kegiatan komunikasi ritual upacara adat tersebut yang biasanya dilakukan oleh suatu daerah tidak selalu menggunakan media tradisional. Media tradisional ini tentunya sangat diperlukan pada saat melakukan kegiatan komunikasi ritual upacara adat. Contoh media tradisional yang biasa digunakan pada ritual upacara adat lainnya seperti wayang, ludruk, ketoprak dan lain sebagainya. Tetapi upacara ritual yang dibahas disini menggunakan media trasendental yang merupakan sebuah alat yang selalu


(21)

dianggap keramat dan suci apabila tanpa menggunakan media ini sebuah kegiatan komunikasi ritual upacara adat tidak akan dapat berjalan dengan lancar.

Kegiatan upacara adat merupakan suatu kegiatan rutinitas atau kebiasaan yang sering dilakukan oleh suatu komunitas tertentu atau juga suatu daerah wilayah tertentu. Kegiatan upacara adat dapat dilakukan dalam berbagai macam bentuk sesuai dengan adat istiadat daerah tertentu, ada yang berupa acara perkawinan, mensyukuri hasil panen dan lain-lain. Kegiatan upacara dilakukan dengan maksud sebagai suatu bentuk untuk mempertahankan tradisi adat istiadat yang ada di suatu daerah, yang merupakan bagian dari suatu bentuk dari kebudayaan yang harus dilestarikan, dan juga untuk meneruskan warisan dari nenek moyang yang sudah dilakukan dari sejak dulu.

Seperti halnya di daerah-daerah terpencil, di Propinsi Sumatera Utara dimana daerah ini masih memiliki ajaran kepercayaan yang menurut mereka wajib dilakukan setiap tahunnya. Yaitu ajaran Parmalim(Ugamo Malim) memang tidak tercatat sebagai agama di Indonesia dan hanya diakui sebagai aliran kepercayaan di bawah naungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Namun hingga kini, kepercayaan yang dianut Sisingamaraja ini tetap terjaga di Tanah Batak, tepatnya di Desa Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Bahkan, penganutnya sudah menyebar ke seluruh Indonesia.


(22)

Kepercayaan ini, pimpinan disebut Ihutan Bolon. Sementara penganutnya disebut ras, dan orang yang mewakili penganut dari setiap daerah (cabang) disebut Ulupunguan. Awalnya, kepercayaan ini berkembang di Desa Bakara, tempat kerajaan Sisingamangaraja berdiri. Namun, sekarang berpindah ke Desa Huta Tinggi. Karena masyarakat di Desa Bakara sendiri kini sudah jarang yang menganut agama Parmalim dan lebih memilih agama Kristen atau Islam.

Parmalim memang kepercayaan yang cukup unik. Rata-rata penganutnya asli keturunan Batak, namun kepercayaan ini mengharamkan penganutnya memakan babi, anjing, maupun darah. Menyantap makanan dari rumah keluarga yang tengah berduka (meninggal dunia) juga diharamkan. Kepercayaan ini juga mengharuskan penganutnya menyanyi seisi alam, yakni sesama manusia, hewan, dan tumbuhan.

Rumah ibadah Parmalin adalah Bale Pasogit. Di atas bubungan Bale Pasogit terdapat replika tiga ekor ayam, masing-masing berwana merah, hitam, dan putih. Merah melambangkan keberanian, hitam adalah tahta kerajaan, dan putih adalah tanda kesucian. Konon katanya, ayam adalah binatang yang kerap dibawa Sisingamangaraja saat akan berperang melawan kolonial Belanda.

Tiap tahunnya, agama ini melaksanakan ritual keagamaan Pamaleaon Bolon Sipahalima. Biasanya, dalam ritual ini, seluruh penganut kepercayaan Parmalim dari penjuru Indonesia bahkan luar negeri akan berkumpul di Desa


(23)

Huta Tinggi untuk memanjatkan rasa syukur kepada Debata Mulajadi Nabolon atau Sang Pencipta, atas berkah yang diberikan selama setahun.

Kegiatan ritual ini biasanya dilakukan setiap tahunnya. Upacara yang dilakukan setiap bulan kelima dalam kalender Batak dan pertengahan tahun dalam kalender masehi ini dilakukan untuk selalu bersyukur atas panen yang telah mereka peroleh. Upacara ini juga merupakan upaya untuk menghimpun dana sosial bersama dengan menyisihkan sebagian hasil panen untuk kepentingan warga yang membutuhkan. Misalnya, untuk modal anak muda yang baru menikah, tetapi tidak punya uang atau menyantuni warga yang tidak mampu makan.

Semua yang ada didalamnya akan dipersembahakan kepada Mulajadi Na Bolon untuk mengucapkan rasa syukur yang berlimpah atas satu tahun yang sudah dijalankan. Sesajen-sesajen yang akan dipersembahkan juga harus dalam keadaan bersih atau suci, karena untuk mengungkapkan rasa hormat atas jasa-jasa yang diberikan kepada umat-umatnya. Semua yang berkumpul juga wajib memberikan tanda hormat.

Pemilihan ritual keagamaan Pamaleaon Bolon Sipahalima ajaran kepercayaan Parmalim dalam budaya Batak sebagai sasaran penelitian ini didasari oleh pertimbangan akan keunikan mereka dalam hal berinteraksi satu sama lainnya. Selain itu, para umat Ugamo Malim sangat patuh dan setia


(24)

mempertahankan keaslian tradisi nenek moyangnya. Sekalipun ditantang oleh perkembangan zaman yang terus berubah, masyarakat Parmalim tidak berubah dan selalu menjaga kemurnian adat. Untuk mempertahankan kemurnian adat, mereka menutup diri dari pengaruh nilai-nilai budaya luar dengan cara melestarikan dan menjaga nama baik agama parmalim ini. Walaupun demikian, mereka tetap berinteraksi dan menerima berbagai kunjungan pihak luar.

Keunikan-keunikan lain dari komunitas adat ini terlihat pada komitmen mereka dalam menghargai alam. Umat parmalim sangat menjunjung tinggi nilai etika dan moral disimpulkan sebagai berikut: Sebagai anggota harus tunduk sepenuhnya pada adat, moral yang tinggi adalah idealisme setiap anggota, berbuat baik kepada sesama manusia, hormat kepada raja dan mencintainya, harus memupuk solidaritas, kepatuhan pada acara-acara agama merupakan kewajiban khusus dilaksanakan. Setiap tindakan harus melukiskan sifat Parmalim yang selalu menjunjung tinggi kesucian jasmani dan rohani.

Agama Parmalim mengenal banyak dewa. Menurut kepercayaan mereka bahwa ada puluhan roh yang harus dihormati. Dalam upacara membujuk roh-roh itu dengan tonggo-tonggo (doa) menyebut roh-roh itu, mulai dari Mula Jadi Na Bolon sampai roh nenek moyang. Roh nenek moyang itu disebut “sumangot”. Menurut orang Batak zaman dahulu, roh orang mati tetap melayang-layang di udara, dan mereka dapat dibujuk untuk memberi berkah. (Tambunan 1982:68)


(25)

Agama ini mengenal hukum etika yang harus dituruti oleh setiap penganutnya. Hukum etika kemudian tertuang dalam hukum adat. Adat harus dijunjung tinggi. Bagi masyarakat Batak, eksistensi adat merupakan filsafat hidup yang tetap dihidupkan. Dikatakan :

Peak adat na so jadi gulingon (adat yang sudah ditentukan)

Jongjong naso jadi tabaon (janganlah diingkari)

Ido poda ni ompunta (itulah pesan dari leluhur kita)(Tambunan 1982:67) Artinya hukum adat harus hidup dalam masyarakat sampai selama-lamanya.

Komunikasi Ritual berkaitan dengan identitas sistem religi dan kepercayaan masyarakat. Didalamnya terkandung makna utama yaitu kemampuan masyarakat dalam memahami konteks lokal dan kemudian diwujudkan dengan dialog terhadap kondisi yang ada. Masyarakat cenderung memandang adanya kekuatan gaib yang menguasai alam semesta dan untuk itu harus dilakukan dialog komunikasi ritual berada pada titik ini. Dalam konteks tersebut, maka penciptaan dan pemaknaan simbol-simbol tertentu menjadi sangat penting dan bervariasi. Melalui sebuah proses tertentu masyarakat mampu menciptakan simbol-simbol yang kemudian disepakati bersama sebagai sebuah pranata tersendiri. Didalam simbol-simbol tersebut dimasukkanlah unsur-unsur keyakinan yang membuat semakin tingginya nilai sebuah sakralitas sebuah simbol.


(26)

Salah satu kebutuhan pokok manusia, seperti yang dikatakan Susanne K. Langer, adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang.

“Manusia memang satu-satunya hewan yang menggunakan lambang, dan itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Ernst Cassirer mengatakan bahwa keunggulan manusia atas makhluk lainnya adalah keistimewaan mereka sebagai animal symbolicum.” (Mulyana, 2007 : 92)

Etnografi Komunikasi adalah pengkajian peranan bahasa dalam perilaku komunikatif suatu masyarakat, yaitu cara-cara bagaimana bahasa dipergunakan dalam masyarakat yang berbeda-beda kebudayaannya. Etnografi komunikasi (ethnography of comunication) juga dikenal sebagai salah satu cabang ilmu antropologi, khususnya turunan dari Etnografi Berbahasa (ethnography of speaking). Disebut etnografi komunikasi karena Hymes beranggapan bahwa yang menjadi kerangka acuan untuk memberikan tempat bahasa dalam suatu kebudayaan haruslah difokuskan pada komunikasi bukan pada bahasa. Bahasa hidup dalam komunikasi bahasa tidak akan mempunyai makna jika tidak dikomunikasikan. (Kuswarno, 2008 : 11)

Penelitian ini bisa dijadikan penelitian selanjutnya, karena masih banyak orang yang belum mengetahui apa yang dimaksud dari kepercayaan parmalim yang ada diadat Batak Toba. Pada umumnya, masih sedikit orang yang mengetahui bahwa agama budaya ini masih berkembang pada zaman sekarang ini. Dengan demikian, ada baiknya jika penelitian selanjutnya bisa lebih menarik


(27)

lagi dengan pembahasan yang ada agar bisa menjadi literatur bagi penelitian selanjutnya.

1.2Rumusan Masalah

1.2.1 Rumusan Masalah Makro

Adapun rumusan masalah penelitian yang ingin dikaji lebih mendalam sesuai pada latar belakang masalah penelitian diatas, sehingga

penulis membuat pertanyaan makro sebagai berikut: “Bagaimana

Pemolaan Komunikasi Ritual Pamaleaon Bolon Sipahalima Ajaran Kepercayaan Parmalim ?”

1.2.2 Rumusan Masalah Mikro

Mengacu dari rumusan masalah di atas, penulis merancang pertanyaan-pertanyaan Mikro (identifikasi masalah) yang diharapkan dapat diperoleh jawaban melalui penelitian ini antara lain: (Kuswarno 2008 : 39-40)

1) Bagaimana Peristiwa Pemolaan Komunikasi Ritual Pamaleaon Bolon Sipahalima Ajaran Kepercayaan Parmalim?

2) Bagaimana Komponen yang digunakan dalam Pemolaan

Komunikasi Ritual Sipahalima Pamaleaon Bolon Ajaran Kepercayaan Parmalim?


(28)

3) Bagaimana Hubungan atau Keterikatan Antar Komponen dengan Peristiwa yang disampaikan dalam Pemolaan Komunikasi Ritual Pamaleaon Bolon Sipahalima Ajaran Kepercayaan Parmalim?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengkaji lebih dalam dan mengetahui lebih jauh tentang Pemolaan Komunikasi Ritual Pamaleaon Bolon Sipahalima Ajaran Kepercayaan Parmalim.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang Komunikasi Ritual Pamaleon Bolon Sipahalima Ajaran Kepercayaan Parmalim yang dimaksud sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui peristiwa Pemolaan Komunikasi Ritual

Pamaleaon Bolon Sipahalima Ajaran Kepercayaan Parmalim.

2) Untuk mengetahui komponen yang digunakan dalam Pemolaan

Komunikasi Ritual Pamaleaon Bolon Sipahalima Ajaran


(29)

3) Untuk mengetahui hubungan atau keterikatan antar komponen dengan peristiwa dalam Pemolaan Komunikasi Ritual Sipahalima Ajaran Kepercayaan Parmalim.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

Diharapkan dari hasil Penelitian ini dapat berguna dan dapat juga digunakan sebagai bahan Literatur untuk Ilmu Komunikasi terutama yang berkaitan dengan Komunikasi Ritual tentang Studi Etnografi.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Menjadi bahan masukan bagi para peneliti yang tertarik untuk meneliti Komunikasi Ritual tentang Studi Etnografi, selain itu juga lewat penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan adanya sikap kearifan masyarakat untuk senantiasa menjunjung tinggi, memelihara, mewarisi dan mengembangkan warisan privasi budaya leluhur, baik berupa warisan etika, moral maupun warisan budaya ritual tradisional sebagai khasanah budaya nasional bangsa Indonesia.

a. Kegunaan Bagi Peneliti

Diharapkan dari penelitian ini dapat berguna sebagai suatu pengaplikasian ilmu atau teori yang selama ini penulis dapat, khususnya mengenai ilmu yang berhubungan dengan Komunikasi


(30)

Ritual agar peneliti lebih dapat lagi memahami tentang ilmu atau teori yang selama ini peneliti dapat.

b. Kegunaan Bagi Universitas

Diharapkan Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan Literatur bagi peneliti yang akan melakukan penelitian yang sama. c. Kegunaan Bagi Masyarakat adat Batak

Diharapkan dari Penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat bagi Masyarakat Batak pada umumnya agar lebih dapat memahami untuk dapat melestarikan bentuk tradisi Kebudayaan Ritual Upacara Adat Sipahalima dan dapat memperkenal diri kepada masyarakat pada umumnya.


(31)

13   

2.1 Tinjauan Pustaka

Bab ini, akan menjelaskan mengenai teori-teori yang relevan mengenai penelitian ini, serta study literature, dokumen atau arsip yang mendukung, yang telah dilakukan sebagai pedoman pelaksanaan pra penelitian.

2.1.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu adalah referensi yang berkaitan dengan penelitian. Penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai bahan acuan antara lain sebagi berikut: 

Tabel 2.1 Penelitian terdahulu N o Nama Peneliti Judul Skripsi Metode Penelitian Hasil Penelitian Kesimpulan

1. Natasha Tuahuns Komunikasi Ritual Ma’atenu Pakapita Dalam

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Tarian

Hasil dari penelitian ini menunjukan

Kapata dan

Ma’atenu dalam praktek komunikasi

Kesimpulan dari penelitian ini

Kapata dan Tarian ma’atenu


(32)

   

Pemanfaatan Media Tradisional

Kapata (Syair) Dan Tarian

Ma’atenu

(Tarian Perang) Masyarakat Adat Negeri

Pelauw. ritual lebih cenderung menampilkan aspek pertunjukan atau seremonial yang sakral dan keramat dibandingkan dengan transmisi pesan jika dilihat dari metode,

prosedur dan fungsi dari pemanfaatan media tradisional.

ma’atenu pakapita masih dipelihara oleh masyarakat negeri pelauw, proses

komunikasi melalui kapata

dan tarian

ma’atenu namun yang paling menonjol adalah

sharing culture

dan pergelaran budaya.

2. Chandra Dewi Octaviani Komunikasi Ritual Rendaman Suku Dayak Indramayu Di Kabupaten Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, sedangkan metode yang

Hasil penelitian yang diperoleh bermanfaat mengetahui

kebudayaan Suku Dayak Indramayu dalam adat Ritual

Kesimpulan dalam cara komunikasi Ritual Rendaman tersebut dapat dikatakan


(33)

   

Indramayu digunakan Etnografi komunikasi.

Rendaman dalam penyampaian tujuan dan maksud tertentu didalam komunitas tersebut dalam arti memaknai cara berkomunikasi sesama anggota komunitas tersebut. memberi makna dalam keseharian bersyukur kepada Tuhan Yang Mahaesa, dan merupakan kegiatan rutin yang dilakukan komunitas tersebut.

3. Mauludin Dwiyanda Okiawan Pemolaan Komunikasi Dalam Upacara Adat “Mapag Sri” Di Masyarakat Desa Tugu Sliyeg Indramayu Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tradisi etnografi komunikasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam peristiwa komunikasi terdapat 4 (empat) rangkaian dalam upacara adat Mapag Sri yaitu Bogbogneng, Sedekah Bumi, Mapag Tamba, dan Mapag Sri. Tujuan sebagai Kesimpulan dari penelitian ini adalah menimbulkan pemolaan komunikasi yang berupa adanya rangkaian-rangkaian dari sebelum dan sampai upacara


(34)

   

ucapan rasa syukur dan menghormati legenda Dewi Sri, dan masyarakat

berantusias.

adat Mapag Sri

berlangsung sehingga memunculkan perilaku yang khas yang hanya ada di

masyarakat Desa Tugu Kecamatan Sliyeg Indramayu

2.1.2 Tinjauan Pustaka

Kehidupan manusia tak luput akan sosialisasi karena manusia adalah makhluk sosial, dan membahas ilmu komunikasi maka sangatlah makro didalamnya. Sebagaimana Onong Uchjana Effendy dalam bukunya Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek ini, menyatakan “Ilmu Komunikasi sifatnya interdisipliner atau multidisipliner, ini disebabkan oleh objek materialnya sama dengan ilmu-ilmu lainnya, terutama termasuk kedalam ilmu sosial atau ilmu kemasyarakatan“. (Effendy, 2004:3).

Untuk mengetahui lebih dalam dan jelas tentang Ilmu Komunikasi, diawali dengan pengertian dan asal kata dari para ahli terkemuka.


(35)

   

2.1.2.1 Defenisi Komunikasi

Komunikasi menurut Carl I. Hovland dalam Mulyana, yang bukunya Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar yaitu Komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain (communicate).

Pengertian Komunikasi menurut Harold Laswell dalam karyanya, The Structure and Function of Communication in Society. Laswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?

Paradigma Laswell di atas menunjukan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan tersebut, yakni:

• Komunikator (communicator, source, sender) • Pesan (message)


(36)

   

• Komunikan (communicant, communicate, receiver, recipient)

• Efek (effect, impact, influence)

Jadi, berdasarkan paradigma Laswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.

Selain itu menurut Everett M. Rogers yang dikutip oleh Deddy Mulyana dalam bukunya yang berjudul Ilmu Komunikasi, yang menjelaskan Komunikasi adalah

“Proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.” (Mulyana, 2003:62) Definisi diatas kemudian dikembangkan kembali oleh Rogers bersama D. Lawrence Kincaid (1981) sehingga melahirkan suatu definisi baru yang menyatakan bahwa:

“Komunikasi adalah proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.” (Hafied Cengara, 1998:20)

Rogers mencoba menspesialisasikan hakikat suatu hubungan dengan adanya suatu pertukaran informasi (pesan), dimana ia menginginkan adanya suatu perubahan sikap dan tingkah laku serta kebersamaan dalam menciptakan saling


(37)

   

pengertian dari orang-orang yang ikut serta dalam suatu proses komunikasi.

2.1.2.2 Tujuan Komunikasi

R. Wayne Pace, Brent D. Peterson, dan M. Dallas Burnett dalam bukunya, Techniques for effective Communication, menyatakan bahwa tujuan sentral dalam kegiatan komunikasi terdiri atas tiga tujuan utama, yaitu:

a. To secure understanding, b. To establish acceptance, c. To motivate action.

Pertama adalah to secure understanding, memastikan bahwa komunikan mengerti pesan yang diterimanya. Andai kata ia sudah dapat mengerti dan menerima, maka penerimanya itu harus dibina (to establish acceptance). Pada akhirnya kegiatan dimotivasikan (To motivate action).

Gordon I. Zimmerman merumuskan bahwa kita dapat membagi tujuan komunikasi menjadi dua kategori besar. Pertama, kita berkomunikasi untuk menyelesaikan tugas-tugas yang penting bagi kebutuhan kita untuk memberi makan dan pakaian kepada diri sendiri, memuaskan kepenasaran kita akan lingkungan, dan menikmati hidup. Kedua, kita berkomunikasi untuk menciptakan dan memupuk hubungan dengan orang lain. Jadi komunikasi


(38)

   

mempunyai fungsi isi, yang melibatkan pertukaran informasi yang kita perlukan untuk menyelesaikan tugas, dan fungsi hubungan yang melibatkan pertukaran informasi mengenai bagaimana hubungan kita dengan orang lain. (Mulyana, 2007:4).

Rudolph F. Verderber mengemukakan bahwa komunikasi mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi sosial, yakni untuk tujuan kesenangan, untuk menunjukan ikatan dengan orang lain, membangun dan memelihara hubungan. Kedua, fungsi pengambilan keputusan, yakni memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu pada saat tertentu. (Mulyana, 2007:5)

2.1.2.3 Proses Komunikasi

Komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Menurut Onong Uchjana Effendy proses komunikasi terbagi menjadi dua macam proses yaitu:

a. Proses Komunikasi secara Primer

Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain


(39)

   

sebagainya yang secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan.

Bahasa yang paling banyak dipergunakan dalam konteks komunikasi adalah jelas hanya bahasalah yang mampu “menerjemahkan” opini, baik mengenal hal yang konkret maupun yang abstrak, bukan saja tentang hal atau peristiwa yang terjadi pada saat sekarang, melainkan juga pada waktu yang lalu dan masa yang akan datang. Adalah berkat kemampuan bahasa maka kita dapat mempelajari ilmu pengetahuan sejak ditampilkan oleh Aristoteles, Plato, dan Socrates, dapat menjadi manusia yang beradab dan berbudaya, dan dapat memperkirakan apa yang akan terjadi pada tahun, decade, bahkan abad yang akan datang.

b. Proses Komunikasi secara Sekunder

Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada ditempat yang relatif jauh ataupun


(40)

   

jumlahnya banyak. Surat, telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, dan banyak lagi adalah media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi.

Pada umumnya kalau kita berbicara dikalangan masyarakat, yang dinamakan media komunikasi itu adalah media kedua sebagaimana diterangkan diatas. Jarang sekali orang menganggap bahasa sebagai media komunikasi. Hal ini disebabkan oleh bahasa sebagai lambang (symbol)

beserta isi (content) yakni pikiran dan atau perasaan yang dibawanya menjadi totalitas pesan (message), yang tampak tak dapat dipisahkan. Tidak seperti media dalam bentuk surat, telepon, radio dan lain-lainnya. Yang jelas tidak selalu dipergunakan.

Tampaknya seolah-olah orang tak mungkin berkomunikasi tanpa bahasa, tetapi orang mungkin dapat berkomunikasi tanpa surat, atau telepon, atau televisi, dan sebagainya. Setelah pembahasan di atas mengenai proses komunikasi, kini kita mengenal unsur-unsur dalam proses komunikasi. Menurut Deddy Mulyana dalam bukunya“Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar” Penegasan tentang unsur-unsur dalam proses komunikasi itu adalah sebagai berikut:


(41)

   

Sender : Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau sejumlah orang.

Encoding : Penyandian, yakni proses pengalihan pikiran kedalam bentuk lambang.

Message : Pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator.

Media : Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator kepada komunikan.

Decoding : Penyandian, yaitu proses dimana komunikan menetapkan makna pada lambang yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.

Receiver : Komunikan yang menerima pesan dari komunikator.

Response : Tanggapan, seperangkat reaksi pada komunikan setelah diterpa pesan.

Feedback : Umpan Balik, yakni tanggapan komunikan apabila tersampaikan atau disampaikan kepada komunikator.

Noise : Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai akibat diterimanya pesan


(42)

   

lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.

2.1.2.4 Karakteristik Komunikasi

Proses penyampaian pesan atau komunikasi memiliki karateristik tersendiri, menurut Sasa Djuarsa Sendjaja dalam bukunya diperoleh gambaran bahwa pengertian komunikasi memiliki karakterisitik komunikasi, yaitu:

1. Komunikasi adalah suatu proses, Artinya bahwa komunikasi merupakan serangkaian tindak atau peristiwa yang terjadi secara berurutan (ada tahapan atau sekuensi) serta berkaitan sama lainnya dalam kurun waktu tertentu. 2. Komunikasi dalam upaya yang disengaja serta mempunyai

tujuan, Komunikasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar, disengaja serta sesuai dengan tujuan atau keinginan dari pelakunya.

3. Komunikasi menurut adanya partisipasi dan kerja sama dari para pelaku yang terlibat, Kegiatan komunikasi akan berlangsung baik, apabila pihak-pihak yang berkomunikasi (dua orang atau lebih) sama ikut terlibat dan sama-sama mempunyai perhatian yang sama-sama terhadap topik pesan yang dikomunikasikan.


(43)

   

4. Komunikasi bersifat simbolis, Dimana komunikasi pada dasarnya merupakan tindak yang dilakukan dengan menggunakan lambang-lambang.

5. Komunikasi bersifat transaksional, Pada dasarnya menuntut dua tindak: memberi dan menerima. Dua tindak tersebut tentunya pula dilakukan secara seimbang atau proporsional oleh masing-masing, pelaku yang terlibat dalam komunikasi.

6. Komunikasi menembus faktor ruang dan waktu, maksudnya bahwa para peserta atau pelaku yang terlibat dalam komunikasi tidak harus hadir pada waktu serta tempat yang sama. (Sendjaja, 1993: 9-11)

2.1.2.5 Fungsi Komunikasi

Fungsi Komunikasi menurut Onong Uchjana Effendy memiliki empat fungsi utama dari kegiatan komunikasi, yaitu :

1. Menginformasikan (to inform)

Memberikan informasi kepada masyarakat, memberitahukan kepada masyarakat mengenai peristiwa yang terjadi, idea atau pikiran dan tingkah laku orang lain, serta segala sesuatu yang disampaikan orang lain.


(44)

   

2. Mendidik (to educate)

Komunikasi merupakan saran pendidikan, dengan komunikasi manusia dapat menyampaikan ide dan pikirannya kepada orang lain sehingga orang lain mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan.

3. Menghibur (to entertain)

Komunikasi selain berguna untuk menyampaikan komunikasi, pendidikan juga berfungsi untuk menyampaikan hiburan atau menghibur orang lain.

4. Mempengaruhi (to influence)

Fungsi mempengaruhi setiap individu yang berkomunikasi tentunya berusaha mempengaruhi jalan pikiran komunikan dan lebih jauh lagi berusaha merubah sikap dan tingkah laku komunikan sesuai dengan apa yang diharapkan.

2.1.3 Tinjauan Komunikasi Ritual

Komunikasi ritual merupakan sebuah fungsi komunikasi yang digunakan untuk pemenuhan jati diri manusia sebagai individu, sebagai anggota komunitas sosial dan sebagai salah satu unsur dari alam semesta. Individu yang melakukan komunikasi ritual berarti


(45)

   

menegaskan komitmennya kepada tradisi keluarga, suku, bangsa, ideologi atau agamanya.

Komunikasi ritual erat kaitannya dengan komunikasi ekspresif yang biasanya dilakukan secara kolektif. Upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun, pertunangan, siraman, pernikahan, upacara kematian, berdoa, shalat, sembahyang, misa, upacara bendera merupakan contoh dari komunikasi ritual. Dalam acara-acara tersebut, orang-orang biasanya mengucapkan kata-kata atau menampilkan perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik. Komunikasi ritual juga bersifat ekpresif, sebagai contoh: orang berdoa sambil menangis. (Mulyana, 2007 : 27)

Kegiatan ritual memungkinkan para pesertanya berbagi komitmen emosional dan menjadi perekat bagi kepaduan mereka, juga sebagai pengabdian kepada kelompok. Yang terpenting dari kegiatan ritual tersebut bukan bentuknya, melainkan perasaan senasib sepenanggungan yang menyertainya, perasaan yang terikat, diakui dan diterima oleh kelompok, bahkan oleh sesuatu yang lebih besar daripada diri kita sendiri, yang bersifat abadi. (Mulyana, 2007 : 30)

2.1.4 Komunikasi Dalam Perspektif Ritual

Sebelum lebih jauh mendalami ritual dalam perspektif komunikasi, terlebih dahulu memahami gambaran akan ritual itu sendiri. Menurut Mulyana (2005 : 25) komunikasi ritual erat kaitannya dengan


(46)

   

komunikasi ekspresif. Komunikasi ritual,biasanya dilakukan secara kolektif oleh suatu komunitas yang sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para antropolog sebagai rites of passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun (nyanyi Happy Birthday dan pemotongan kue), pertunangan (melamar, tukar cincin), siraman, pernikahan (ijab-qabul, sungkem kepada orangtua, sawer dan sebagainya), ulang tahun perkawinan, hingga upacara kematian.

Selanjutnya menurut Deddy Mulyana (2005 : 25). Dalam acara-acara itu orang mengucapkan kata-kata atau menampilkan perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik. Ritus-ritus lain seperti berdoa (shalat, sembahyang, misa), membaca kitab suci, naik haji, upacara bendera (termasuk menyanyikan lagu kebangsaan), upacara wisuda, perayaan lebaran (Idul Fitri) atau Natal, juga adalah komunikasi ritual.

Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk komunikasi ritual tersebut menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, suku, bangsa, negara, ideologi, atau agama mereka. Menurut Rothenbuhler (1998 : 28), kata ritual selalu diidentikkan dengan habit

(kebiasaan) atau menguaraikan bahwa: “ritual is the voluntary performance of appropriately patterned behavior to symbolically effect or participate in the serious life” jika diterjemahkan artinya ritual adalah kinerja sukarela perilaku tepat bermotif untuk simbolis efek atau


(47)

   

berpartisipasi dalam kehidupan yang serius. Sementara itu, Couldry (2005 : 60) memahami ritual sebagai suatu habitual action (aksi turun temurun), aksi formal dan juga mengandung nilai-nilai transedental, mencermati pandangan-pandangan tersebut, dipahami bahwa ritual berkaitan dengan pertunjukan secara sukarela yang dilakukan masyarakat secara turun temurun (berdasarkan kebiasaan) menyangkut perilaku yang terpola.

Pertunjukan tersebut bertujuan mensimbolisasi suatu pengaruh kepada kehidupan kemasyarakatan. Lebih jelasnya, Rohtenbuhler (1998: 29 – 33) menguraikan beberapa karakteristik Ritual itu sendiri sebagai berikut :

1. Ritual Sebagai Aksi

Ritual merupakan aksi dan bukan hanya sekedar pemikiran atau konsep semata. Dalam kehidupan sehari-hari, mitos adalah salah satu rasionalisasi dari aktifitas ritual.

2. Pertunjukan (Performance)

Ritual dipertunjukan sebagai suatu bentuk komunikasi tingkat tinggi yang ditandai dengan keindahan (estetika), dirancang dalam suatu cara yang khusus serta memperagakan sesuatu kepada khalayaknya, karena


(48)

   

menekankan pada unsur estetika. Pertunjukan ritual mengandung dua karakteristik.

Pertama, ritual tidak pernah diciptakan dalam momentum aksi itu sendiri, sebaliknya ritual selalu merupakan aksi yang didasari pada konsepsi-konsepsi yang ada sebelumnya. Kedua, ritual selalu merupakan pertunjukan untuk orang lain. Pertunjukan tersebut dimaksudkan untuk memperagakan kompetensi komunikasi kepada khalayak.

3. Kesadaran dan Kerelaan

Ritual selalu dilakukan secara sadar dan karenanya bersifat kerelaan. Dalam hal ritual-ritual yang bersifat acara (event), orang secara sadar untuk terlibat baik sebagai pelaku pertunjukan maupun sebagai penonton, biasanya untuk terlibat dalam suatu ritual adalah pilihan, orang dapat memilih untuk terlibat ataupun sebaliknya tidak terlibat.

4. Tidak Masuk Akal (Irrational)

Seringkali ritual dipandang sebagai tindakan yang tidak masuk akal (irrational), karena dianggap tidak banyak bermanfaat bagi tujuan-tujuan yang spesifik. Parsons lalu berkesimpulan bahwa pelaksanaan ritual-ritual seringkali diasosiasikan dengan praktek Magis. Dalam


(49)

   

konteks yang demikian ritual dipandang tidak masuk akal, namun pendapat di atas dibantah oleh Wallace, yang menyatakan kalau tidak semua ritual bersifat tidak masuk akal (irrational) dan non-instrumental dalam segala hal.

Dalam pandangan Wallace, ritual magis sekalipun dipakai untuk mempertunjukan fungsi-fungsi sosial yang lain seperti mengurangi keragu-raguan, bagaimana menghasilkan kesepakatan, dan bahkan bisa menginspirasi orang lain untuk bertindak.

5. Ritual Bukanlah Sekedar Rekreasi

Berbagai ritual yang dipraktekkan tidaklah sekedar kegiatan rekreasi. Walaupun sering terjadi perayaan melalui ritual, namun ritual bukan saja untuk kegiatan hura-hura atau bersenang-senang semata. Sesungguhnya ritual merupakan bagian dari kehidupan yang serius

(serious life).

6. Kolektif

Secara menyeluruh ritual bukanlah sesuatu yang dilakukan secara individual untuk kepentingan individual, dalam cara-cara yang murni individualistik. Ritual meskipun dipertunjukan secara pribadi, tetapi selalu terdapat struktur secara sosial didalamnya, misalnya:


(50)

   

sistem bahasa dan tanda yang digunakan, tradisi, dan moral. Selain itu ritual juga berorientasi pada suatu kelompok dan umumnya ditampilkan dalam situasi-situasi sosial.

Bahkan ritual tidak saja ditampilkan dalam situasi sosial dan diatur oleh fenomena sosial melainkan ritual juga memiliki makna-makna sosial. Karena itulah Wallace mengatakan bahwa ritual selalu merujuk pada sebuah hubungan (relationship) dan posisi sosial. Ritual pun merupakan salah satu cara dalam mengukur dan menyampaikan maksud-maksud yang berorientasi sosial.

7. Ekspresi dari Relasi Sosial

Ritual meliputi penggunaan model-model perilaku yang mengekspresikan relasi sosial (hubungan sosial). Bentuk-bentuk dari aksi ritual merupakan simbol-simbol dari referen atau petunjuk dalam hubungan sosial, perintah-perintah dan institusi-institusi dimana ritual itu di pertunjukan.

8. Subjective and not Indicative

Ritual selalu terjadi dalam modus pengandaian. Dimana bahwa ritual seringkali berkaitan dengan berbagai kemungkinan seperti bagaimana sebaiknya atau


(51)

   

seharusnya, dan bukanlah apa menyangkut sesuatu yang sedang terjadi. Sebagaimana Handelman menjelaskan; Ritual-ritual boleh saja dipakai oleh model atau menghadirkan ide berkaitan dengan berbagai peraturan sosial, namun ritual tidak pernah mencerminkan status secara struktural.

9. Efektifitas Simbol-simbol

Simbol-simbol dalam suatu ritual sangat efektif dan memiliki kekuatan. Kekuatan dari simbol-simbol ritual ini secara jelasnya nampak dalam bentuk ritual. Bahkan, ketika terjadi transformasi sosial yang tidak menampilkan maksud dan eksplisit dari suatu pertunjukan ritual seperti halnya lagu, tarian, gerak-gerik tubuh, doa, penjamuan, kebiasaan dan sebagainya. Simbol-simbol tersebut berfungsi sebagai alat komunikasi.

10.Condensed Symbols

Simbol-simbol yang singkat merujuk pada karakteristik dari simbol-simbol ritual yang memiliki makna dan aksi ganda, karenanya simbol-simbol yang dipersingkat atau kental (Condensed symbols), seringkali membingungkan (Ambiguous), dan sulit bagi mengamat sosial, misalnya simbol-simbol dapat ditampilkan dalam


(52)

   

cara-cara yang berbeda untuk orang-orang yang berbeda, tergantung pada kepekaan mereka terhadap perbedaan-perbedaan valensi. Implikasinya, simbol-simbol mengandung makna lebih dari yang biasanya.

11.Ekspresif atau Perilaku Estetik

Ekspresif adalah salah satu bentuk inti dari ritual dimana mengambil posisi sebagai bagian dari apa yang dilakukan dalam ritual serta bagaimana melakukannya. Ritual juga mempunyai komponen estetika yang mendasar.

12.Costumary Behavior

Bentuk-bentuk dari perilaku yang bersifat kebiasaan. Ritual mengandung makna pengulangan sebagaimana dilakukan dengan cara yang serupa pada zaman atau era sebelumnya. Artinya ritual tidaklah dilarang oleh pelaku, sebaliknya ritual merupakan perilaku yang didasarkan menurut kebiasaan atau aturan yang distandarkan. Dengan demikian, perilaku karena kebiasaan ini bersifat imperatif, berkaitan dengan etika dan perintah sosial.


(53)

   

13.Regularly Recuring Behavior

Ritual merupakan perilaku yang dilakukan berulang

(Repetitive) secara rutin. Banyak ritual yang dilakukan secara terjadwal, dan ditentukan mengikuti suatu siklus waktu. Salah satunya implikasi penting dari ritual yang terjadi secara berkala ini adalah tidak diatur dan didikte oleh situasi yang spesifik, melainkan melalui apa yang dipandang benar.

14.Komunikasi tanpa informasi

Sebetulnya ide tentang ritual sebagai suatu komunikasi tanpa informasi menekankan bahwa ritual lebih banyak menampilkan atau mengetengahkan pertunjukan ketimbang informasi. Dalam hal-hal tertentu lebih cenderung mengutamakan penerimaan dari pada perubahan. Sebagaimana diketahui bahwa ada unsur kerelaan dalam ritual. Kemudian aksi untuk terlibat dalam ritual juga adalah pilihan. Karena itu dalam setiap ritual terkandung sedikit tidak sejumlah informasi.

15.Keramat

Banyak ahli menekankan bahwa ritual adalah aksi yang berkaitan dengan keramat atau sakralan. Adapun


(54)

   

kriteria dari kesakralan itu adalah menyangkut pola aktifitas atau tindakan dari anggota masyarakat.

Contohnya, bagaimana masyarakat menyuguhkan dan memperlakukan objek-objek yang dianggap sakral, tindakan semacam ini mencerminkan suatu tendensi betapa pentingnya suatu benda yang disakralkan tersebut dalam kehidupan mereka.

Ritual merupakan salah satu cara dalam berkomunikasi. Semua bentuk ritual adalah komunikatif, ritual selalu merupakan perilaku simbolik dalam situasi-situasi sosial. Karena itu ritual selalu merupakan suatu cara untuk menyampaikan sesuatu menyadari bahwa ritual sebagai salah satu cara dalam berkomunikasi, maka kemudian muncul istilah komunikasi ritual. Istilah komunikasi ritual pertama kalinya dicetuskan oleh James W. Carey (1992 :18)

Komunikasi dalam perspektif ritual, berkaitan dengan berbagai partisipan, perkumpulan/ asosiasi, persahabatan dan kepemilikan akan keyakinan iman yang sama. Selanjutnya ditambahkan Carey dalam pandangan ritual, komunikasi tidak secara langsung diarahkan untuk menyebarluaskan pesan dalam suatu waktu.

Komunikasi yang dibangun juga bukanlah sebagai tindakan untuk memberikan atau mengimpartasikan informasi melainkan untuk merepresentasi atau menghadirkan kembali kepercayaan-kepercayaan


(55)

   

bersama. Pola komunikasi yang dibangun dalam pandangan ritual adalah Sacred Ceremony (upacara sakral atau suci), dimana setiap orang secara bersama-sama bersekutu dan berkumpul (Fellowship and Commonality). Senada dengan hal ini, Couldry (2005 : 15) menambahkan pola komunikasi dalam perspektif ritual bukanlah sipengirim (komunikator) mengirimkan suatu pesan kepada penerima (komunikan), namun sebagai upacara suci dimana setiap orang ikut mengambil bagian secara bersama dalam bersekutu dan berkumpul sebagaimana halnya melakukan perjamuan kudus. Dalam pandangan ritual, yang lebih dipentingkan adalah kebersamaan masyarakat dalam melakukan doa, bernyanyi dan seremonial, perwujudan atau manifestasi komunikasi dalam pandangan ini bukanlah pada transmisi atau pengiriman informasi-informasi intelijen namun diarahkan untuk konstruksi dan memelihara ketertiban, dunia budaya yang penuh makna dimana dapat berperan sebagai kontrol dalam tindakan atau pergaulan antar sesama manusia.

Menurut Carey (1992 : 19), perwujudan atau manifestasi komunikasi dalam pandangan ini bukanlah pada transmisi atau pengiriman informasi-informasi intelijen namun diarahkan untuk konstruksi dan memelihara ketertiban, dunia budaya yang penuh makna dimana dapat berperan sebagai alat kontrol dalam tindakan atau


(56)

   

pergaulan antar sesama manusia. Komunitas ideal diwujudkan dalam bentuk materi seperti tarian, permainan, arsitektur, kisah, dan penuturan.

Penggunaan bahasa baik melalui artifisial maupun simbolik (sebagaimana tampak dalam wujud tarian, permainan, kisah, dan tutur lisan) tidak ditujukan untuk kepentingan informasi tetapi untuk konfirmasi juga tidak untuk mengubah sikap atau pemikiran, tetapi untuk menggambarkan sesuatu yang dianggap penting oleh sebuah komunitas, tidak untuk membentuk fungsi-fungsi tetapi untuk menunjukkan sesuatu yang sedang berlangsung dan mudah pecah

(fragile) dalam sebuah proses sosial.

Perspektif ini kemudian memahami komunikasi sebagai suatu proses melalui mana budaya bersama diciptakan, diubah dan diganti. Dalam konteks antropologi, komunikasi berhubungan dengan ritual dan mitologi. Sedangkan dalam konteks sastra dan sejarah, komunikasi merupakan seni (art) dan sastra (literature).

Komunikasi ritual pun tidak secara langsung ditujukan untuk menyebarluaskan informasi atau pengaruh tetapi untuk menciptakan, menghadirkan kembali dan merayakan keyakinan-keyakinan ilusif yang dimiliki bersama. Komunikasi ritual dalam pemahaman McQuail (2000:54) disebut pula dengan istilah komunikasi ekspresif. Komunikasi dalam model yang demikian lebih menekankan akan kepuasan intrinsic


(57)

   

instrumental lainnya. Komunikasi ritual atau ekspresif bergantung pada emosi dan pengertian bersama.

Menurut McQuail (2000 : 55), komunikasi dalam pandangan ini merupakan kegiatan yang berhubungan dengan perayaan (celebratory),

menikmati (consummatory), dan bersifat menghiasi (decorative).

Karena itu untuk mewujudkan terjadinya komunikasi, dibutuhkan beberapa elemen pertunjukan. Komunikasi yang terbangun seperti halnya suatu resepsi yang menyenangkan. Pesan yang disampaikan dalam komunikasi ritual biasanya tersembunyi (latent), dan membingungkan atau bermakna ganda (ambiguous), tergantung pada asosiasi dan simbol-simbol komunikasi yang digunakan bukanlah simbol-simbol yang dipilih oleh partisipan, melainkan sudah disediakan oleh budaya yang bersangkutan keberadaan media dan pesan biasanya agak sulit dipisahkan.

Penggunaan simbol-simbol dalam komunikasi ritual ditujukan untuk mensimbolisasi ide-ide dan nilai-nilai yang berkaitan dengan ramah-tamah, perayaan atau upacara penyembahan dan persekutuan. Simbol-simbol tersebut dibagikan secara luas dan dipahami, walaupun bervariasi dan maknanya samar-samar (McQuail & Windahl, 1993 : 55).

Komunikasi ritual ini tidak akan pernah selesai/tidak memiliki batas waktu (timeless) dan tidak akan berubah (unchanging). Dalam kehidupan suatu komunitas, komunikasi ritual ini sangat memegang


(58)

   

peranan penting, utamanya dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Ibnu Hamad (2006 : 3) menyatakan bahwa dalam memahami komunikasi ritual, menguraikan ciri-ciri komunikasi ritual sebagai berikut:

1. Komunikasi ritual berhubungan erat dengan kegiatan berbagi, berpartisipasi, berkumpul, bersahabat dari suatu komunitas yang memiliki satu keyakinan sama.

2. Komunikasi tidak secara langsung ditujukan untuk transmisi pesan, namun untuk memelihara keutuhan komunitas.

3. Komunikasi yang dibangun juga tidak secara langsung untuk menyampaikan atau mengimpartasikan informasi melainkan untuk merepresentasi atau menghadirkan kembali kepercayaan-kepercayaan bersama masyarakat. 4. Pola komunikasi yang dibangun ibarat upacara sakral atau

suci dimana setiap orang secara bersama-sama bersekutu dan berkumpul (misalnya melakukan doa bersama, bernyanyi dan kegiatan seremonial lainnya).

5. Penggunaan bahasa baik melalui artifisial maupun simbolik (umumnya dalam wujud tarian, permainan, kisah dan tutur lisan) ditujukan untuk konfirmasi, menggambarkan sesuatu yang dianggap penting oleh


(59)

   

sebuah komunitas, dan menunjukkan sesuatu yang sedang berlangsung dan mudah pecah dalam sebuah proses sosial. 6. Seperti halnya dalam upacara ritual, komunikan

diusahakan terlibat dalam drama suci itu, dan tidak hanya menjadi pengamat atau penonton.

7. Agar komunikasi ikut larut dalam proses komunikasi maka pemilihan simbol komunikasi hendaknya berakar dari tradisi komunitas itu sendiri, seperti hal-hal yang unik, asli dan baru bagi mereka.

8. Komunikasi ritual atau komunikasi ekspresif bergantung pada emosi atau perasaan dan pengertian bersama warga. Juga lebih menekankan akan kepuasan intrinsic (hakiki) dari pengirim atau penerima.

9. Pesan yang disampaikan dalam komunikasi ritual bersifat tersembunyi (latent), dan membingungkan/ bermakna ganda (ambiguous), tergantung pada asosiasi dan simbol-simbol komunikasi yang digunakan oleh suatu budaya. 10.Antara media dan pesan agak sulit dipisahkan. Media itu

sendiri bisa menjadi pesan.

11.Penggunaan simbol-simbol ditujukan untuk mensimbolisasi ide-ide dan nilai-nilai yang berkaitan


(60)

   

dengan keramah-tamahan, perayaan atau upacara penyembahan dan persekutuan.

Selanjutnya Couldry (2005 : 15) menambahkan bahwa dalam komunikasi ritual terdapat tiga terminologi yang saling berkaitan erat. Ketiga hal tersebut adalah communication (komunikasi), communion

(komuni atau perayaan), dan common (bersama-sama). Kata ”komunikasi” sebagaimana ditemukan dalam OED (Oxford English Dictionary), salah satunya berkaitan erat dengan terminologi komuni

(communion) untuk merujuk kegiatan saling bersekutu dan berpartisipasi, berbagi dengan sesama warga termasuk di dalamnya berbicara dan bercakap-cakap bersama.

Komunikasi sebagaimana menggunakan kata penghubung

”communion” berarti serangkaian perayaan yang dilakukan untuk menghormati Tuhan. Sebaliknya kata sifat ”communicative” berarti orang yang secara terbuka untuk berbicara, bisa bersosialisasi, bebas berkomunikasi dan banyak omong. Komunikasi juga berhubungan dengan kata common yakni kepemilikan bersama lebih dari satu orang. OED (1933) mengartikan common: untuk mengkomunikasikan, menyampaikan, membagikan; mengkomunikasikan secara verbal, menjelaskan, mendeklarasikan, menyiarkan, melaporkan mengambil bagian dalam kebersamaan dengan orang lain, berpartisipasi, berbagi, dan berkumpul.


(61)

   

Sejalan dengan pandangan di atas, Dewey (1916) sebagaimana dikutip Carey (1992 : 22) menekankan, antara kata-kata common, community dan communication tidak sekedar ikatan verbal. Ditegaskan, orang yang tinggal dalam suatu komunitas memiliki sesuatu yang dipunyai secara bersama dan komunikasi merupakan cara untuk membuat mereka bisa memiliki hal-hal tersebut secara bersama.

Jadi jelaslah bahwa dalam konteks komunikasi ritual, ketiga elemen (komunikasi, komuni atau perayaan, dan kebersamaan) saling kait-mengait. Komunikasi yang dibangun berkaitan erat dengan upacara atau kegiatan komuni atau penyembahan suatu komunitas. Sebagaimana halnya suatu komuni, biasanya dilakukan warga suatu komunitas secara bersama-sama.

2.1.5 Tinjauan tentang Pemolaan Komunikasi

Pola Komunikasi telah lama diakui bahwa banyak perilaku linguistik rulegoverned: yaitu, ia mengikuti pola teratur dan kendala yang dapat dirumuskan secara deskriptif sebagai aturan (Sapir 1994 dalam buku Saville, Troike, 2003:10-12). Dengan demikian, suara yang dihasilkan harus dalam urutan bahasa-khusus tapi biasa jika mereka harus ditafsirkan sebagai pembicara bermaksud; urutan mungkin dan bentuk kata-kata dalam sebuah kalimat dibatasi oleh aturan tata bahasa, dan bahkan definisi baik wacana terbentuk ditentukan oleh budaya khusus aturan retorika. Hymes mengidentifikasi kepedulian terhadap


(62)

   

pola sebagai faktor pendorong kunci dalam pembentukannya disiplin ini: "tujuan saya sendiri dengan etnografi berbahasa itu untuk menunjukkan bahwa ada yang berpola keteraturan di mana ia telah diambil untuk tidak hadir, dalam kegiatan berbicara sendiri.”

Sosiolinguistik seperti yang diungkapkan Labov, Trudgill, dan Bailey dalam Saville, Troike 2003, telah menunjukkan bahwa ahli bahasa sebelumnya apa yang dianggap penyimpangan atau "variasi bebas" dalam perilaku linguistik dapat ditemukan dan diprediksi untuk menunjukkan regular dan pola statistik. Sosiolinguistik dan etnografi komunikasi keduanya peduli dengan menemukan keteraturan dalam penggunaan bahasa, tetapi sosiolinguistik biasanya berfokus pada variabilitas dalam pengucapan dan bentuk gramatikal, sementara etnografer prihatin dengan bagaimana unit komunikatif diatur dan bagaimana mereka pola dalam arti lebih luas dari "cara berbicara, "dan juga dengan bagaimana pola-pola ini saling berhubungan secara sistematis dengan dan memperoleh arti dari aspek lain dari budaya. Memang, bagi sebagian orang, pola budaya adalah: "jika kita memahami kebudayaan sebagai pola yang memberikan makna pada tindakan sosial dan entitas kita dapat mulai melihat dengan tepat bagaimana aktor sosial memberlakukan budaya melalui berbahasa bermotif dan tindakan berpola“.


(63)

   

Pola terjadi di semua tingkat komunikasi; masyarakat, kelompok, dan individual (cf. Hymes 1961). Pada tingkat masyarakat, komunikasi biasanya pola dari segi fungsinya, kategori bicara, dan sikap dan konsepsi tentang bahasa dan speaker. Pola komunikasi juga sesuai dengan peran-peran tertentu dan kelompok dalam masyarakat, seperti jenis kelamin, usia, status sosial, dan pekerjaan: misalnya, seorang guru memiliki cara yang berbeda untuk berbicara dari pengacara, dokter, atau seorang salesman asuransi. Cara berbicara juga pola sesuai dengan tingkat pendidikan, tempat tinggal pedesaan atau perkotaan, wilayah geografis, dan fitur lain dari organisasi sosial.

Hubungan antara bentuk dan fungsi adalah contoh dari pola komunikatif sepanjang dimensi yang berbeda. Meminta seseorang dalam bahasa Inggris jika ia memiliki pena ini mudah diakui sebagai permintaan bukan pertanyaan nilai kebenaran, misalnya, karena merupakan bagian dari pola struktural reguler untuk meminta hal-hal dalam bahasa Inggris, orang yang menjawab "Ya, saya lakukan", tanpa menawarkan satu sedang bercanda, kasar, atau anggota masyarakat tutur yang berbeda. Akhirnya, pola komunikasi pada tingkat individu, di tingkat ekspresi dan interpretasi dari kepribadian. Sejauh faktor-faktor emosional seperti kegugupan memiliki efek fisiologis paksa pada mekanisme vokal, efek ini biasanya tidak dianggap sebagai bagian yang


(64)

   

disengaja "komunikasi" (meskipun mereka mungkin jika sengaja dimanipulasi, seperti dalam bertindak).

Sebuah contoh dari ekspresi konvensional emosi individu (dan dengan demikian bagian dari bermotif komunikasi) adalah peningkatan penggunaan volume dalam pidato menyampaikan "kemarahan" dalam bahasa Inggris. Kemarahan yang Navajo mengekspresikan menggunakan enclitics tidak diakui sebagai penanda emosi oleh penutur bahasa lain, dan ucapan ramah di jalan antara speaker Cina mungkin memiliki manifestasi permukaan yang sesuai untuk marah untuk bahasa Inggris. Guru Anglo Demikian pula, siswa Indian Amerika sering menafsirkan '"normal" kelas proyeksi tingkat sebagai kemarahan dan permusuhan dan guru menafsirkan tingkat siswa lebih lembut sebagai rasa malu atau kemasaman. Persepsi individu sebagai "fasih" atau "pendiam" juga dalam hal norma-norma budaya dan bahkan ekspresi rasa sakit dan stres secara budaya berpola, orang-orang dalam masyarakat tutur bahasa Inggris belajar penarikan atau marah, dalam tawa gugup Jepang atau cekikikan, dan dalam Navajo diam. Walaupun saya telah terdaftar sosial, kelompok dan tingkat individu pola secara terpisah, ada web tak terlihat hubungan timbal balik antara mereka, dan memang di antara semua pola-pola budaya. Mungkin sangat baik menjadi tema umum yang terkait dengan pandangan dunia hadir dalam beberapa aspek budaya, termasuk bahasa. Ada masyarakat yang lebih


(65)

   

langsung daripada yang lain, misalnya, dan ini akan diwujudkan dalam cara berbicara serta dalam kepercayaan dan sistem nilai.

Gagasan hirarki kontrol tampaknya meresap dalam beberapa kebudayaan, dan pertama harus dipahami untuk menjelaskan kendala bahasa tertentu serta keyakinan agama dan organisasi social (Witherspoon 1977; Thompson 1978; Watkins 1979 dalam Saville, Troike, 2003). Perhatian untuk pola selalu menjadi dasar dalam antropologi, dengan interpretasi makna yang mendasari tergantung pada penemuan dan deskripsi struktur normatif atau desain. Penekanan yang lebih baru pada proses interaksi dalam menghasilkan pola perilaku meluas kekhawatiran ini penjelasan serta deskripsi. (Saville, Troike, 2003:10-12)

2.1.6 Tinjauan tentang Etnografi Komunikasi

Etnografi komunikasi (ethnography of communication) juga dikenal sebagai salah satu cabang ilmu dari Antropologi, khususnya turunan dari Etnografi Berbahasa (ethnography of speaking). Disebut etnografi komunikasi karena Hymes beranggapan bahwa yang menjadi kerangka acuan untuk memberikan tempat bahsa dalam suatu kebudayaan haruslah difokuskan pada komunikasi bukan pada bahasa. Bahasa hidup dalam komunikasi, bahasa tidak akan mempunyai makna jika tidak dikomunikasikan.


(66)

   

Pada hakikatnya, etnografi komunikasi adalah salah satu cabang dari antropologi, khususnya antropologi budaya. Etnografi adalah uraian terperinci mengenai pola-pola kelakuan suatu suku bangsa dalam etnologi (ilmu tentang bangsa-bangsa).etnografi komunikasi ini lahir karena baik antropologi maupun linguistik sering mengabaikan sebagian besar bidang komunikasi manusia, dan hanya menjadikannya sebagai sarana untuk mencapai topik tertentu saja. Jadi komunikasi sering dipandang sebagai hal yang subsider. (Kuswarno 2008 : 11)

2.1.6.1 Dasar Etnografi Komunikasi 1. Bahasa

Bahasa yang digunakan oleh para ahli antropologi adalah “Sandi konseptual sistem pengetahuan, yang memberikan kesanggupan kepada penuturan-penuturnya guna menghasilkan dan memahami ujaran. Sedangkan menurut ilmu linguistik, sebagai ibunya bahsa, definisi bahasa adalah “a system of communication by symbols, i.e., through the organs of speech and hearing, among human beings of certain group or community, using vocal symbols processing arbitrary conventional meaning.”

Para ahli telah sepakat mengenai satu hal, bahwa bahasalah yang membuat perbedaan antara manusia dan binatang. Bahasa merupakan refleksi dari kemampuan


(67)

   

tertinggi akal budi manusia yang tidak dimiliki binatang. Ciri pokok yang membedakan manusia dari spesies lain yang lebih rendah adalah kemampuan untuk melakukan simbolisasi dan berbicara. (Kuswarno 2008 : 3)

Para awalnya, penelitiannya mengenai bahasa ini dipelopori oleh linguistik dengan ilmu deskriptif. Ilmu ini tertarik pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam bahasa selama masa lalu dan juga tertarik pada variasi bahsa pada masa kini. (Kuswarno 2008 :4)

2. Bahasa dan Komunikasi

Bahasa dan komunikasi memang merupakan dua bagian yang saling melengkapi dan sulit untuk dipahami sebagai bagian yang terpish satu dengan yang lain. Komunikasi tidak akan berlangsung bila tidak ada simbol-simbol (bahasa) yang dipertukarkan. Begitu juga sebaliknya, bahasa tidak akan memiliki makna jika tidak dilihat dalam konteks sosial atau ketika ia dipertukarkan. Bahasa yang tidak terkatakan hanyalah berupa pikiran saja, tetapi pikiran ini pun terbentuk dari pengalaman. Sehingga apapun bentuknya, bahasa merupakan hasil dari interaksi manusia. (Kuswarno 2008 : 6)


(68)

   

3. Bahasa, Komunikasi Dan Kebudayaan

Kebudayaan mencakup semua hal yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat. Suatu kebudayaan mengandung semua pola kebiasaan-kebiasaan suatu masyarakat, seperti dalam bidang ekonomi, religi, hukum, kesenian dan lain sebagainya.

Kebudayaan sangat berarti banyak bagi masyarakat dan individu-individu didalamnya, karena kebudayaan mengajarkan manusia untuk hidup selaras dengan alam, sekaligus memberikan tuntutan untuk berinteraksi dengan sesamanya. (Kuswarno 2008 :8)

Kaitan antara bahasa, komunikasi dan kebudayaan melahirkan hipotesis relavitas linguistik dari Edwar Safir dan benjamin Lee Whorf, yang berbunyi “Struktur bahasa atau kaidah berbicara suatu budaya akan menentukan perilaku dan pola pikir dalam budaya tersebut.” Itulah sebabnya mengapa orang eksimo memiliki macam-macam kata untuk sebuah kata “salju” dalam bahasa Inggris, dan bagaimana Indian Hopi, warga asli Amerika di bagian barat hanya memiliki satu kata masa’ykata yang berarti pesawat terbang, serangga dan pilot. (Kuswarno 2008 :9)


(69)

   

2.2 Kerangka Pemikiran

2.2.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 2.2.1.1 Interaksi Simbolik

Hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu merupakan karakteristik dasar ide yang dikemukakan oleh George Herbert Mead (murid Blumer) yang kemudian dimodifikasi oleh Blumer dengan tujuan tertentu. Interaksi yang terjadi antar individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Realitas sosial merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi pada individu dalam masyarakat. Interaksi yang dilakukan antar individu itu berlangsung secara sadar dan berkaitan dengan gerak tubuh, vokal, suara dan ekspresi tubuh, vokal, suara, dan ekspresi tubuh, yang kesemuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan “simbol”.

Pendekatan interaksi simbolik yang dimaksud Blumer mengacu pada tiga premis utama, yaitu:

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-maknanya yang ada pada sesuatu itu bagi mereka,

2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan oleh orang lain,

3. Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial sedang berlangsung.


(70)

   

Interaksi simbolik dalam pembahasannya telah berhasil membuktikan adanya hubungan antara bahasa dan komunikasi. Sehingga, pendekatan ini menjadi dasar pemikiran ahli-ahli ilmu sosiolinguistik dan ilmu komunikasi.

Tiga konsep utama dalam teori Mead ditangkap dalam judul karyanya yang paling terkenal, yaitu masyarakat, diri sendiri dan pikiran. Kategori-kategori ini merupakan aspek-aspek berbeda dari proses umum yang disebut tindak sosial, yang merupakan sebuah kesatuan tingkah laku yang tidak dapat dianalisis ke dalam bagian-bagian tertentu. Tindakan saling berhubungan dan dibangun seumur hidup. Tindakan dimulai dengan sebuah dorongan, melibatkan persepsi dan penunjukan makna, repetisi mental, pertimbangan alternatif dan penyempurnaan.

Tindakan individu yang tetap, seperti berjalan sendirian atau membaca sebuah buku adalah interaksional karena didasarkan pada gerak tubuh serta respon yang banyak terjadi dimasa lalu dan terus berlanjut dalam pikiran individu. Tindakan bersama (joint action) antar dua orang atau lebih, seperti yang terjadi dalam pernikahan, perdagangan, perang atau kebaktian digereja terdiri atas sebuah interhubungan (interlinkage) dan interaksi-interaksi yang lebih kecil.

Blumer mencatat bahwa dalam sebuah masyarakat maju, bagian terbesar dari tindakan kelompok terdiri atas pola-pola yang


(71)

   

stabil dan selalu berulang yang memiliki makna yang umum dan tetap bagi anggota masyarakat mereka. Dikarenakan frekuensi pola-pola tersebut dan stabilitas maknanya, para peneliti cenderung menganggap mereka sebagai susunan-susunan, melupakan asal usul mereka dalam percakapan.

2.2.2 Model Alur Kerangka Pemikiran

Peristiwa, komponen dan hubungan antar komponen adalah tindakan yang berfungsi sebagai interaksi tunggal, semua yang bergaris menggambarkan aspek-aspek yang mempengaruhi sebuah peristiwa komunikasi. Dimana peristiwa komunikasi ritual Pamaleaon Bolon Sipahalima ajaran kepercayaan Parmalim adalah seluruh perangkat komponen komunikasi yang utuh. Dimulai dengan tujuan utama komunikasi, topik umum yang sama dan melibatkan partisipan yang sama, yang secara umum menggunakan varietas bahasa yang sama, mempertahankan tone yang sama dan kaidah-kaidah yang sama untuk berintekasi dan dalam setting yang sama.

Interaksi adalah sebuah gagasan khusus mengenai diri sendiri – siapakah anda sebagai seseorang. Manford Kuhn dan para siswanya, menempatkan diri sendiri pada pusat kehidupan sosial. Pelaku komunikasi tidak hanya berinteraksi dengan orang lain dan dengan objek-objek sosial, mereka juga berkomunikasi dengan diri mereka


(1)

menggambarkan, menganalisis dan menjelaskan perilaku komunikasi dari suatu kelompok sosial.

Sesuai dengan dasar pemikiran etnografi komunikasi, yang menyatakan bahwa saluran komunikasi yang berbeda akan mengakibatkan perbedaan struktur berbicara, dan kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Dengan demikian, etnografi komunikasi membutuhkan alat atau metode penelitian yang bersifat kualitatif untuk dapat memahami objek kajiannya itu. Penelitian (berparadigma) kualitatif mengasumsikan bahwa perilaku dan makna yang dianut sekelompok manusia hanya dapat dipahami melalui analisis atas lingkungan alamiah (natural setting) mereka.

Defenisi penelitian (berparadigma) kualitatif itu sendiri menurut Bogdan dan Taylor adalah pendekatan keilmuan yang diarahkan pada latar dan individu secara holistic dan utuh. Moleong kemudian melengkapi penjelasannya mengenai metode penelitian kualitatif melalui definisi penelitian kualitatif dari Kirk dan Miller, yang menyebutkan bahwa sebagai tradisi tertentu dalam ilmu sosial metode penelitian kualitatif secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri, dan berhubungan dengan orang-orang tersebut, baik dalam bahasannya maupun dalam peristilahannya. Etnografi komunikasi sangat relevan termasuk dalam ranah penelitian kualitatif.


(2)

Penelitian kualitatif akan menuntun etnografi komunikasi untuk memahami bagaimana bahasa, komunikasi, dan kebudayaan saling bekerja sama untuk menghasilkan perilaku komunikasi yang khas. Etnografi komunikasi juga merupakan ilmu sekaligus metode penelitian dalam ilmu sosial.

Etnografi komunikasi adalah metode aplikasi etnografi sederhana dalam pola komunikasi sebuah kelompok. Etnografi komunikasi melihat pada :

1. Pola komunikasi yang digunakan oleh sebuah kelompok

2. Mengartikan sebuah kegiatan komunikasi ini ada untuk kelompok

3. Kapan dan dimana anggota kelompok menggunakan semua kegiatan ini

4. Bagaimana praktik komunikasi menciptakan sebuah komunitas 5. Keragaman kode yang digunakan oleh sebuah kelompok

Hymes mengusulkan bahwa linguistik formal saja tidak cukup untuk untuk membongkar sebuah pemahaman bahasa secara lengkap karena hal ini mengabaikan variabel yang sangat berguna dimana bahasa digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Menurutnya, budaya berkomunikasi memiliki cara yang berbeda, tetapi semua bentuk komunikasi membutuhkan kode bersama, pelaku komunikasi yang tahu dan menggunakan kode, sebuah alat, keadaan, bentuk pesan, topik, dan sebuah peristiwa yang diciptakan dengan penyebaran pesan.


(3)

Hymes menunjuk sebuah kelompok yang menggunakan kode biasa sebuah komunitas percakapan (speech community), sebuah konsep ayang telah menjadi hiasan dalam kajian etnografi komunikasi yang berkelanjutan.

III. Pembahasan

Fokus pada penelitian ini adalah Pemolaan Komunikasi Ritual Pamaleaon Bolon Sipahalima Ajaran Kepercayaan Parmalim, dimana dalam peristiwa komunikasi yang khas dan berulang serta adanya komponen komunikasi yang membentuk peristiwa komunikasi dan keterkaitan keduanya yang membentuk ciri komunikasi.

Dalam keilmuan komunikasi yang semakin hari semakin kaya dengan kajian komunikasinya. Dalam ranah keilmuan, ilmu komunikasi tidak hanya mempelajari suatu interaksi dengan sesamanya, komunikasi juga mempelajari interaksi dengan Tuhan atau leluhurnya yang ditransferkan melalui simbol-simbol yang mempunyai arti khusus tersendiri bagi mereka atau budayanya.

Pada sub bab ini peneliti menguraikan hasil penelitian dengan metode observasi partisipasi pasif dan wawancara mendalam yang dilakukan dalam beberapa tahap wawancara dengan informan penelitian orang yang terlibat dalam interaksi simbolik sebagai berikut:

1. Peristiwa Komunikasi dalam Ritual Pamaleaon Bolon Sipahalima


(4)

2. Komponen Komunikasi dalam Ritual Pamaleaon Bolon Sipahalima

3. Hubungan atau Keterikatan Antar Komunikasi dengan Peristiwa dalam Ritual Pamaleaon Bolon Sipahalima

IV. Simpulan

1. Peristiwa Komunikasi yang terjadi saat Upacara Pamaleaon

Bolon Sipahalima Ajaran Kepercayaan Parmalim memiliki tiga urutan acara, dimana kesemuanya yang paling penting adalah Upacara di hari kedua yaitu Pamaleaon Bolon karena disanalah puncak Upacara ini, mempersembahkan dan mendoakan para leluhur dan juga Debata Mulajadi Nabolon.

2. Komponen Komunikasi disini mencakup kesemua yang

mendukung upacara karena komponen komunikasi merupakan tempat yang paling penting dalam etnografi komunikasi. Tanpa adanya komponen-komponen yang ada didalam seperti horbo santi, dekke dan peserta lainnya, Upacara tidak akan berjalan dengan lancar.

3. Hubungan atau Keterikatan Antarkomponen dengan Peristiwa

merupakan kerja sama untuk menciptakan perilaku komunikasi mulai dari bahasa, persiapan yang dilaksanakan, persembahan yang diberikan kepada Debata Mulajadi Nabolon, doa-doa yang dilafalkan dan juga peralatan yang digunakan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta,

RajaGrafindo Persada.

Carey, James W. 1992. Communication as Culture: Essays on Media and Society. Newyork: Routledge.

Couldry, Nick. 2005. Media Rituals; Beyond Functionalism., dalam MediaAnthropology. Editor: Eric W. Rothenbuhler dan Mihai Coman.Thousand Oaks: SAGE Publications

Effendi, Onong Uchjana. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

James, P. Spradley. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Kencana

Kuswarno, Engkus. 2008. Etnografi Komunikasi. Bandung: Widya Padjadjaran

Little John, Stephen W, Theories Of Human Communication, Fifth Edition, (Belmont, California: Wadsworth Peblishing Company, 1996)

Marsden, William. Pengantar: John Bastin. 2008. Sejarah Sumatera. Jakarta: Komunitas Bambu

McQuail, Denis. 2000. McQuail’s Mass Communication Theory. London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Publications


(6)

the study of mass communications (Second edition). London and New York: Longman.

Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy, 2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

………., 2005.Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya

………..2007.Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Rothenbuhler, Eric W. dan Mihai Coman. 2005. The Promise Of MediaAnthropology, dalam Media Anthropology. Editor. Eric W.

Rothenbuhler, Eric W. 1998. Ritual Communication: From EverydayConversation to Mediated Ceremony. Thousand Oaks. SAGEPublications.

Satori, Djam’an. 2012. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Alfabeta

Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : CV. Alfabeta

Tambunan, E.H. 1982. Sekelumit Mengenai Masyarakat Toba dan Kebudayaannya Sebagai Sarana Pembangunan. Bandung: Tarsito


Dokumen yang terkait

Konstruksi Upacara Sipaha Lima Dalam Kepercayaan Parmalim ( Studi Deskriptif Mengenai kepercayaan Parmalim Di Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi, Kec. Laguboti, Kab. Toba Samosir )

10 105 131

Aktivitas Komunikasi Ritual Dalam Upacara bersih Desa Sigedang (studi Etnografi Komunikasi Mengenai Aktivitas Komunikasi Ritual, Melalui Upacara Bersih Desa dalam Mewujudkan Rasa Syukur pada Tuhan Serta Mengenai Pejuang Islam di Desa Sigedang Kabupaten Wo

0 5 1

Aktivitas Komunikasi Ritual Mipit Pare di Kampung Adat Ciptagelar (Studi Etnografi Komunikasi Mengenai Aktivitas Komunikasi Ritual Mipit Pare di Kampung Adat Ciptagelar Kabupaten Sukabumi)

6 57 98

Komunikasi Ritual Ruwatan Kampung Di Desa Bunihayu Kabupaten Subang (Studi Deskriftif Mengenai Komunikasi Ritual Ruwatan Kampung Di Desa Bunihayu Kabupaten Subang)

0 8 1

Aktivitas Komunikasi Pada Ritual Upacara Kematian Etnis Tionghoa (Studi Etnografi Komunikasi Mengenai Aktivitas Komunikasi Pada Ritual Upacara Kematian Etnis Tionghoa di Kota Sukabumi)

5 29 49

Pemolaan Komunikasi Dalam Upacara Adat Mapag Sri Di Masyarakat Desa Tugu Kecamatan Slyeg Indramayu (Studi Etnografi Komunikasi Tentang Pemolaan Komunikasi Dalam Upacara Adat Mapag Sri Dimasyarakat Desa Tugu Kecamatan Sliyeg Indramayu)

1 3 1

Aktivitas Komunikasi Ritual Dalam Upacara bersih Desa Sigedang (studi Etnografi Komunikasi Mengenai Aktivitas Komunikasi Ritual, Melalui Upacara Bersih Desa dalam Mewujudkan Rasa Syukur pada Tuhan Serta Mengenai Pejuang Islam di Desa Sigedang Kabupaten Wo

0 5 1

Aktivitas Komunikasi Ritual Dalam Upacara Hajat Sasih Kampung Naga Tasikmalaya (Studi Etnografi Komunikasi Mengenai Aktivitas Komunikasi Ritual Dalam Upacara Hajat Sasih Kampung Naga Tasikmalaya)

1 4 1

Pemolaan Komunikasi Upacara adat Pernikahan Suku Melayu di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau (Studi Etnografi Pemolaan Komunikasi Upacara Adat Pernikahan Suku Melayu Pesisir di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau)

2 29 82

AKTIVITAS KOMUNIKASI RITUAL SEREN TAUN (Studi Etnografi Aktivitas Komunikasi Ritual Seren Taun di Kasepuhan Cisungsang) - FISIP Untirta Repository

0 1 150