Konstruksi Upacara Sipaha Lima Dalam Kepercayaan Parmalim ( Studi Deskriptif Mengenai kepercayaan Parmalim Di Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi, Kec. Laguboti, Kab. Toba Samosir )

(1)

KONSTRUKSI UPACARA SIPAHA LIMA DALAM

KEPERCAYAAN PARMALIM

( Studi Deskriptif Mengenai kepercayaan Parmalim Di Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi, Kec. Laguboti, Kab. Toba Samosir )

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Dalam Bidang Antropologi

Oleh:

Tety Irawati Nadapdap NIM. 040905016

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Kasih dan KaruniaNya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Judul skripsi ini adalah “ Konstruksi Upacara Sipaha Lima Dalam Kepercayaan Parmalim “. Penulis menyadari sepenuhnya, walaupun skripsi ini telah selesai, tetapi masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan, terutama dalam penyajian. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak untuk dapat menyempurnakan skripsi ini.

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik itu moral maupun material. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. DR. M. Arif Nasution, M.A, selaku Dekan FISIP USU. 2. Bapak Drs. Humaizi, M.A, selaku Pembantu Dekan I FISIP USU.

3. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, M.A, selaku Ketua Departemen Antropologi FISIP USU.

4. Bapak Drs. Irfan, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Antropologi FISIP USU, selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah banyak memberikan nasehat dan arahan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan dan selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang banyak memberikan bimbingan dan petunjuk yang bermanfaat sehingga tulisan ini dapat terwujud.


(3)

5. Seluruh Dosen-Dosen dan Staff yang mengajar di Departemen Antropologi, yang selama ini banyak memberi bekal Ilmu Pengetahuan melalui proses perkuliahan maupun proses lainnya.

6. Seluruh Staff Pegawai FISIP USU yang telah membantu dalam pengurusan administrasi dan seluruh berkas.

7. Kepada seluruh informan penelitian, kepada Bapak Kepala Desa yaitu Bapak Josia Hutahaean, Oppung Raja Marnangkok Naipospos selaku Ihutan Parmalim dan umat Parmalim yang bersedia membantu dan memberikan kesempatan serta informasi sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

8. Teristimewa kepada Orang Tua ku tercinta: Ayahanda T.K. Nadapdap dan Ibunda Ruttimah Manik yang telah banyak memberikan doa, dorongan, semangat, perhatian, dan pengorbanan membiayai seluruh keperluan penulis demi selesainya tulisan ini dan terima kasih banyak atas kasih saying yang tidak ternilai yang telah diberikan kepada penulis, semoga Tuhan Yesus senantiasa memberkati Ayahanda dan Ibunda.

9. Kepada Adekku yang sangat aku sayangi “ Bintang Nadapdap dan Pandapotan Nadapdap “ terima kasih atas doa, dorongan dan semangat yang telah diberikan tiada hentinya kepada penulis. Tuhan Yesus Memberkati.

10. Kepada Sahabat ku di Papua “ Ka Iyan Kristian, Francisco Ningmabin, Yoriez Nelwan, sahabat ku di Ambon “ Ka Andi, Arnold Watimena, Ka Diland dan Mario yang senantiasa memberikan doa, nasehat, dan dorongannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tuhan


(4)

Yesus Memberkati, Kepada B’ Leo Marbun dan B’ Jhon Sumber terima kasih atas dukungan dan semangatnya.

11. Teman- teman dekatku yang telah setia menemani aku khususnya buat Irma Fryska Tambun , S.Sos terima kasih atas perhatiannya, kebaikan dan bantuannya selama ini dalam menemani penulis hingga terlaksananya skripsi ini, buat K’ Ana terima kasih buat persahabatannya selama ini, buat Erly dan Gita terima kasih atas perhatiannya, kebaikan, bantuan dan persahabatannya selama ini serta dorongan semangat untuk penulis sehingga dapat terlaksananya skripsi ini. buat teman-teman SMU ku Henny, Wida, Magda, Dely, Minar, Liberti, Lucy terima kasih atas perhatian, dukungan, dan persahabatannya selama ini

12. Kepada seluruh keluarga ku Opung Tety, Opung Desy yang tersayang terima kasih untuk doa dan semangat kepada penulis Tuhan Yesus Memberkati. Kepada Patuo, Maktuo Fryska, Uda dan Nanguda Togu, Uda Nasib, Uda Mason dan Nanguda, Amangboru dan Namboru Sondang, Maktuo Sabar, Uda Karlina dan tante Renda, Uda Sidabutar dan tante Tiarmin, Tulang dan Nantulang Desy, Tulang dan Nantulang Tenny, Tulang dan Nantulang Yessi, serta Tulang dan Nantulang Nina.

13. Kepada kakak ku satu-satunya K’ Fryska Nadapdap, Adek-adek sepupuku Sondang, Yus, dan Ran.

Kepada Kerabat-kerabat Antropologi Angkatan 2003: K’ Nanik, K’ Anis, K’Eci, K’ Maria, B’ Palti, B’ Sandrak, Angkatan 2004: B’ Hariman Silalahi, B’ Joseph Silalahi, M. Dian, Agif, Ewin, Ales, Siwa, Kia, Arnov, Iwan, Naga Sakti “ Nasa “, Meche, Rika, Farida, Lelita, Lenti, Icha, Pipit,


(5)

Mona, Yani, Mimin dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, tetap semangat, Angkatan 2005: Fery Laila, Hery Sianturi, Erold, Sukma., Tika, Angkatan 2006, 2007, 2008 semuanya

Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang membantu dan penulis berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2009 Penulis

Tety Irawati Nadapdap 040905016


(6)

ABSTRAKS

Skripsi ini berjudul “ Kontruksi Upacara Sipaha Lima Dalam Kepercayaan Parmalim” ( Studi Deskriptif Mengenai Kepercayaan Parmalim Di Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir ) yang disusun oleh Tety Irawati Nadapdap, 2009. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 117 halaman, 5 tabel, 10 gambar, 6 Lampiran yang terdiri dari pedoman pengumpulan data dan surat penelitian.

Parmalim merupakan sebuah kepercayaan tua yang ada pada masyarakat Batak yang masih diyakini sampai saat ini, Parmalim sudah tidak begitu menguat ketika agama modern masuk ke Tanah Batak oleh Misionaris dari Eropa. Munculnya aliran kepercayaan di Indonesia yang diantaranya sudah disahkan oleh negara memberikan motifikasi tersendiri bagi Parmalim untuk diakui secara sah. Adapun yang menjadi alasan saya untuk melakukan penelitian ini yaitu saya ingin melihat bagaimana kepercayaan Parmalim membangun kepercayaan mereka hingga bisa bertahan dan berkembang sampai saat ini dimana para pengikutnya telah menyebar ke berbagai daerah dan berbaur dengan pengikut agama lain, tetapi pada saat pelaksanaan ritual kepercayaan mereka yaitu upacara Sipaha Lima yang dilakukan di pusat kepercayaan Parmalim, mereka dapat berkumpul dan bersatu di dalam pelaksanaan upacara tersebut.

Penelitian ini dilakukan di Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir khususnya Huta Parmalim yang merupakan perkampungan kecil yang ada di dalam Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi dan hanya di huni oleh umat Parmalim saja. Daerah ini merupakan tempat tinggal dari Raja Mulia Naipospos yang dipilih oleh Raja Sisingamaraja untuk meneruskan ajaran Parmalim, saat ini Huta Parmalim atau yang lebih sering disebut dengan Hutatinggi menjadi pusat dari kepercayaan Parmalim yang ada di seluruh tanah air. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menggambarkan kepercayaan Parmalim yang semakin berkembang di tengah-tengah agama lain yang telah di akui oleh negara, tetapi para pengikut kepercayaan ini mampu membangun kepercayaan mereka hingga dapat bertahan sampai saat ini meskipun kepercayaan


(7)

aini hanya diakui oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata saja serta untuk menambah kepustakaan tentang agama khususnya di bidang Antropologi Religi..

Cara hidup pengikut parmalim yang berbeda dari kelompok etnik lainnya seperti mentaati aturan agama, bersatu dengan alam, dan memelihara alam dengan akal dan pikiran membuat cara hidup pengikut Parmalim ini menjadi berbeda dengan masyarakat lain di luar pengikut Parmalim. Manusia harus mensatukan dirinya sendiri. Dia adalah multikompleks. Pada kebhinnekaan itu ada macam-macam tendensi. Dia harus membangun semuanya itu, sehingga menjadi kesatuan, keseluruhan, keutuhan, sehingga dia betul-betul menjadi diri sendiri. Awalnya Ugamo Malim masih dianggap sebagai aliran kepercayaan yang menyembah berhala atau sipelebegu karena kepercayaan ini tidak sesuai dengan ajaran agama yang dibawa oleh Dr. IL. Nomensen ke tanah batak, kemudian kepercayaan ini mulai disebut sebagai Ugamo Malim karena pengikutnya dituntut untuk hidup suci dan jadi teladan bagi masyarakat, tetapi pengikutnya belum disebut sebagai Parmalim. Kepercayaan Parmalim memiliki dua upacara keagamaan yang di rayakan menurut kalender Batak yaitu Upacara Sipaha Sada dan Upacara Sipaha Lima, dimana kedua Upacara ini merupakan hal yang sangat penting dan wajib di hadiri oleh seluruh pengikut Ugamo malim dan dilaksanakan di Huta Parmalim Hutatinggi. Dalam perayaan kedua Upacara ini seluruh pengikut Ugamo yang berasal dari berbagai daerah hadir dan turut merayakannya bersama pengikut Ugamo lainnya yang ada di tanah Batak. Sehingga kesatuan dan kebersamaan diantara sesama pengikut aliran kepercayaan ini tampak sangat jelas, hal inilah yang membuat mereka menjadi kuat dan bisa tetap bertahan sampai saat ini.

Salah satu Upacara keagamaan dalam kepercayaan Parmalim yaitu Upacara Sipaha Lima, Upacara ini merupakan Upacara yang dilakukan pada bulan kelima pada kalender batak dan sebagai ungkapan rasa Syukur pengikut Ugamo Malim atas segala rejeki yang telah diberikan oleh Debata Mulajadi Nabolon kepada seluruh pengikut Ugamo Malim di sepanjang Tahun, sebelum dilakukan upacara Sipaha Lima yang akan diikuti oleh seluruh Umat Parmalim maka rejeki yang telah diperoleh terlebih dahulu di doakan di rumah masing-masing ruas, lalu beberapa hari kemudian dilakukan Upacara Sipaha Lima.


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ...

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Lokasi Penelitian ... 6

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1.5. Tinjauan Pustaka ... 7

1.6. Metode Penelitian ... 13

1.7. Analisa Data ... 16

BAB II. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN SECARA UMUM ... 17

A. GAMBARAN DESA PARDOMUAN NAULI HUTATINGGI 17 2.1. Letak dan Keadaan Alam ... 17

2.2. Keadaan Penduduk ... 20

2.3. Keadaan Sosial Ekonomi ... 22

2.4. Keadaan Sosial Budaya ... 24

B. GAMBARAN UMUM HUTA PARMALIM ... 28


(9)

2.2.2. Keadaan Penduduk ... 29

2.2.3. Keadaan Sosial Ekonomi ... 30

2.2.4. Keadaan Sosial Budaya dan Sistem Kekerabatan ... 30

2.2.5. Sejarah Huta Parmalim ... 30

2.2.6. Sistem Pendidikan dan Sarana Kesehatan ... 31

BAB III. PARMALIM DAN KEHIDUPANNYA DI DESA PARDOMUAN NAULI HUTATINGGI ... 33

A. Sejarah Ugamo Malim di Tanah Batak ... 33

B. Kehidupan Sosial Pengikut Parmalim ... 40

3.3.1. Struktur Organisasi Pada Parmalim ... 45

3.3.2. Parmalim Masyarakat Minoritas ... 52

3.3.3. Solidaritas di Dalam Komunitas Parmalim ... 55

3.3.4. Marari Sabtu Pada Kepercayaan Parmalim ... 60

BAB IV. KONSTRUKSI UPACARA SIPAHA LIMA PADA KEPERCAYAAN PARMALIM ... 64

4.1. Persiapan Upacara dan Penentuan Hari Upacara Sipaha Lima .. 71

4.2. Tempat Upacara ... 78

4.3. Pimpinan Dan Peserta Upacara ... 81

4.4. Pelaksanaan Upacara Sipaha Lima ... 85

4.4.1. Hari Pertama atau Parsahadaton ... 86

4.4.2. Hari Kedua atau Pelaksanaan Upacara Sipaha Lima ... 88

4.4.3. Hari Ketiga Penutupan atau Manggohi ... 99

4.5. Tujuan Upacara Sipaha Lima Pada Kepercayaan Parmalim ... 100


(10)

4.5.2. Sebagai Sarana Berkumpul Seluruh Umat Parmalim ... 102 4.5.3. Sebagai Bentuk Kesatuan dari Seluruh Umat Parmalim .. 103 BAB V. ANALISA DAN KESIMPULAN ... 105 ISTILAH-ISTILAH DALAM BAHASA BATAK ... 111 DAFTAR PUSTAKA ... 115 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jumlah penduduk di Desa Pardomuan Nauli berdasarkan Etnis tahun 2008... 20 Tabel 2.2 Jumlah penduduk di Desa Pardomuan Nauli berdasarkan jenis

kelamin tahun 2008 ... 21 Tabel 2.3 Jumlah penduduk di desa Pardomuan Nauli berdasarkan batas

umur tahun 2008 ... 21 Tabel 2.4 Jumlah penduduk di Desa Pardomuan Nauli berdasarkan mata

pencaharian penduduk tahun 2008 ... 23 Tabel 2.5 Jumlah penduduk di Desa Pardomuan Nauli berdasarkan


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Longgatan Sebagai Tempat Pelean Yang Terdiri Dari Tiga Tempat Yang Ditengah Adalah Mombang ... 75 Gambar 2. Borotan Untuk Mengikat Kerbau Pelean ... 76 Gambar 3. Bambu Hijau Sebagai Tempat Persembahan Habonaran Untuk

Menghormati Makhluk Halus Atau Malaikat Tuhan Yang Akan Berdiam Disitu Selama Upacara Berlangsung ... 77 Gambar 4. Bale Partonggoan Tempat Upacara Sipaha Lima Dilaksanakan

Oleh Seluruh Pengikut Ugamo Malim ... 80 Gambar 5. Raja Marnangkok Naipospos Sebagai Ihutan Parmalim Sedang

Memimpin Upacara Sipaha Lima Di Halaman Bale Partonggoan ... 83 Gambar 6. Ihutan Beserta Ulu Punguan Sedang Memasukkan Pelean Ke

Dalam Longgatan ... 91 Gambar 7. Parhobas Sedang Mengikat Horbo Pelean Untuk Dibawa Ke

Tempat Pemotongan Horbo ... 94 Gambar 8. Bagian Ina Parmalim Mendengarkan Patik Yang Disampaikan

Oleh Ihutan Yang Kemudian Akan Dilanjutkan Dengan Tor-Tor ... 95 Gambar 9. Pemotongan Horbo Pelean Di Tempat Pemotongan ... 96 Gambar 10. Horbo Pelean Yang Telah Di Persiapkan Di Dalam Bale


(13)

ABSTRAKS

Skripsi ini berjudul “ Kontruksi Upacara Sipaha Lima Dalam Kepercayaan Parmalim” ( Studi Deskriptif Mengenai Kepercayaan Parmalim Di Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir ) yang disusun oleh Tety Irawati Nadapdap, 2009. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 117 halaman, 5 tabel, 10 gambar, 6 Lampiran yang terdiri dari pedoman pengumpulan data dan surat penelitian.

Parmalim merupakan sebuah kepercayaan tua yang ada pada masyarakat Batak yang masih diyakini sampai saat ini, Parmalim sudah tidak begitu menguat ketika agama modern masuk ke Tanah Batak oleh Misionaris dari Eropa. Munculnya aliran kepercayaan di Indonesia yang diantaranya sudah disahkan oleh negara memberikan motifikasi tersendiri bagi Parmalim untuk diakui secara sah. Adapun yang menjadi alasan saya untuk melakukan penelitian ini yaitu saya ingin melihat bagaimana kepercayaan Parmalim membangun kepercayaan mereka hingga bisa bertahan dan berkembang sampai saat ini dimana para pengikutnya telah menyebar ke berbagai daerah dan berbaur dengan pengikut agama lain, tetapi pada saat pelaksanaan ritual kepercayaan mereka yaitu upacara Sipaha Lima yang dilakukan di pusat kepercayaan Parmalim, mereka dapat berkumpul dan bersatu di dalam pelaksanaan upacara tersebut.

Penelitian ini dilakukan di Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir khususnya Huta Parmalim yang merupakan perkampungan kecil yang ada di dalam Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi dan hanya di huni oleh umat Parmalim saja. Daerah ini merupakan tempat tinggal dari Raja Mulia Naipospos yang dipilih oleh Raja Sisingamaraja untuk meneruskan ajaran Parmalim, saat ini Huta Parmalim atau yang lebih sering disebut dengan Hutatinggi menjadi pusat dari kepercayaan Parmalim yang ada di seluruh tanah air. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menggambarkan kepercayaan Parmalim yang semakin berkembang di tengah-tengah agama lain yang telah di akui oleh negara, tetapi para pengikut kepercayaan ini mampu membangun kepercayaan mereka hingga dapat bertahan sampai saat ini meskipun kepercayaan


(14)

aini hanya diakui oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata saja serta untuk menambah kepustakaan tentang agama khususnya di bidang Antropologi Religi..

Cara hidup pengikut parmalim yang berbeda dari kelompok etnik lainnya seperti mentaati aturan agama, bersatu dengan alam, dan memelihara alam dengan akal dan pikiran membuat cara hidup pengikut Parmalim ini menjadi berbeda dengan masyarakat lain di luar pengikut Parmalim. Manusia harus mensatukan dirinya sendiri. Dia adalah multikompleks. Pada kebhinnekaan itu ada macam-macam tendensi. Dia harus membangun semuanya itu, sehingga menjadi kesatuan, keseluruhan, keutuhan, sehingga dia betul-betul menjadi diri sendiri. Awalnya Ugamo Malim masih dianggap sebagai aliran kepercayaan yang menyembah berhala atau sipelebegu karena kepercayaan ini tidak sesuai dengan ajaran agama yang dibawa oleh Dr. IL. Nomensen ke tanah batak, kemudian kepercayaan ini mulai disebut sebagai Ugamo Malim karena pengikutnya dituntut untuk hidup suci dan jadi teladan bagi masyarakat, tetapi pengikutnya belum disebut sebagai Parmalim. Kepercayaan Parmalim memiliki dua upacara keagamaan yang di rayakan menurut kalender Batak yaitu Upacara Sipaha Sada dan Upacara Sipaha Lima, dimana kedua Upacara ini merupakan hal yang sangat penting dan wajib di hadiri oleh seluruh pengikut Ugamo malim dan dilaksanakan di Huta Parmalim Hutatinggi. Dalam perayaan kedua Upacara ini seluruh pengikut Ugamo yang berasal dari berbagai daerah hadir dan turut merayakannya bersama pengikut Ugamo lainnya yang ada di tanah Batak. Sehingga kesatuan dan kebersamaan diantara sesama pengikut aliran kepercayaan ini tampak sangat jelas, hal inilah yang membuat mereka menjadi kuat dan bisa tetap bertahan sampai saat ini.

Salah satu Upacara keagamaan dalam kepercayaan Parmalim yaitu Upacara Sipaha Lima, Upacara ini merupakan Upacara yang dilakukan pada bulan kelima pada kalender batak dan sebagai ungkapan rasa Syukur pengikut Ugamo Malim atas segala rejeki yang telah diberikan oleh Debata Mulajadi Nabolon kepada seluruh pengikut Ugamo Malim di sepanjang Tahun, sebelum dilakukan upacara Sipaha Lima yang akan diikuti oleh seluruh Umat Parmalim maka rejeki yang telah diperoleh terlebih dahulu di doakan di rumah masing-masing ruas, lalu beberapa hari kemudian dilakukan Upacara Sipaha Lima.


(15)

BAB. I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia yang merupakan Negara kepulauan, memiliki masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis dan beragam budaya yang tampak pada kebiasaan-kebiasaan, benda dan kebudayaan kelompok masyarakat tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat bahwa kebudayaan memiliki 3 wujud yaitu: wujud Ide, sistem sosial atau tindakan masyarakat, dan fisik atau benda, artefak (Koentjaraningrat 2000;186-187). Kebiasaan-kebiasaan yang dimaksud sangat terkait dengan lingkungan tempat kelompok masyarakat tersebut berdiam. Sehingga dari kebudayaan yang ada pada masyarakat dapatlah dilihat hubungannya terhadap pembentukan kepribadian seseorang dari tiap kelompok masyarakat yang tampak pada kelakuan-kelakuan atau kebiasaan individu yang mengandung nilai dan diturunkan secara turun-temurun ke generasi berikutnya.

Diangkat dari uraian di atas, dapat kita lihat bahwa banyak kebudayaan-kebudayaan yang harus kita jaga dan kita lestarikan dan bagi pemegang kebudayaan tersebut haruslah tetap menjaga dan menurunkan kebudayaan mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kebudayaan memiliki 7 unsur dan salah satunya yaitu Agama yang juga dianggap Religi atau kepercayaan.

Tylor ( dalam Adimihardja 1976; 86-87) yang mengatakan bahwa agama yang paling awal adalah animisme yakni kepercayaan bahwa segala sesuatu baik yang dalam dunia yang bernyawa ataupun benda mati dihuni roh dimana roh tersebut dapat meninggalkan manusia baik untuk sementara seperti pada saat


(16)

manusia sedang tidur dan untuk selamanya seperti manusia mati dan segala bentuk kepercayaan dan praktek keagamaan mulai dari yang primitif hingga yang paling tinggi tingkatannya berkembang dari Animisme. Sehingga Perkembangan Animisme secara keseluruhan termasuk percaya kepada roh-roh dan keadaan dimasa depan dalam upaya mengendalikan dewa-dewa dan roh yang lebih rendahan dan ajaran-ajarannya menghasilkan beberapa macam penyembahan yang tetap berlangsung, seperti halnya agama Parmalim yang merupakan kepercayaan tua dan kepercayaan asli pada suku Batak Toba dimana kepercayaan ini dahulunya hanya sebagai kepercayaan masyarakat Batak Toba pada masa penjajahan belanda dan dibawa oleh Raja Sisingamangaraja.

Parmalim berasal dari kata malim yang memiliki 2 arti yaitu: malim sebagai sifat dasar yang dituju yang berawal dari haiason dan parsolamon, dimana haiason diartikan dengan kebersihan fisik dan parsolamon diartikan dengan membatasi diri dari menikmati dan bertindak, kedua adalah malim sebagai sosok pribadi

Bentuk penghayatan dari kepercayaan Parmalim dahulunya hanya berbentuk upacara biasa saja dan belum disebut sebagai kepercayaan Parmalim tetapi disebut sebagai Ugamo Malim pada masyarakat Batak dan inti ajarannya berpegang pada adat istiadat Batak, lama-kelamaan kepercayaan ini mulai berkembang seiring dengan bertambahnya pengikut kepercayaan ini. Tetapi dengan masuknya agama modern yang dibawa oleh Dr. Il Nomensen maka . Parmalim sendiri dapat diartikan dengan orang yang mengikuti ajaran malim, dimana pengikutnya harus memiliki sifat yang bersih atau suci baik fisik maupun rohani, serta dapat membatasi diri dari menikmati dan bertindak dari hal-hal duniawi.


(17)

pengikut ajaran kepercayaan tua ini pun berkurang, sehingga muncul istilah dari suku Batak Toba sendiri istilah Parmalim yang artinya orang yang mengikuti ajaran ugamo malim (

Pengikut kepercayaan Parmalim saat ini sudah mulai berkembang dan sudah mulai menyebar ke beberapa daerah di Nusantara bahkan hingga keluar Negeri. Untuk di Indonesia sendiri pengikutnya telah ada di daerah Pekanbaru, Batam, Irian Jaya, Jakarta, Semarang dan di daerah Sumatera Utara yaitu Medan . Di dalam doa-doa dan pujian pengikut Parmalim selalu menyampaikan doa kepada Debata Mulajadi Nabolon dan Raja Sisingamangaraja yang dipandang sebagai malim tertinggi yaitu malim pilihan Tuhan atau Malim Ni Debata ( Situmorang 2004 ;409)

Tuhan dalam ajaran Parmalim di sebut dengan Mulajadi Nabolon. Hubungan penganut dengan Mulajadi Nabolon disebut dengan Ugamo dan inti ajaran dalam menjalankan hubungan itu disebut dengan Hamalimon atau kebersihan atau kesucian. Hari khusus bagi penganut Ugamo Malim yaitu hari Sabtu, dimana mereka melakukan perkumpulan atau parpunguan tersebut pada satu tempat yang merupakan tempat berkumpul mereka dalam melaksanakan ibadahnya yang disebut dengan Balai Partonggoan atau Bale Pasogit untuk di pusat, yang terletak di desa Pardomuan Nauli Hutatinggi, kecamatan. Laguboti, kabupaten. Toba Samosir. Desa Pardomuan Nauli merupakan desa tempat tinggal dari Raja Mulia Naipospos yang merupakan salah satu panglima dari Raja Sisingamangaraja yang menerima perintah dari Raja Sisingamangaraja untuk memimpin dan meneruskan ajaran Parmalim, sehingga Desa Pardomuan Nauli yang lebih dikenal masyarakat sebagai Desa Hutatinggi dijadikan sebagai pusat dari kepercayaan Parmalim dan tidak dapat dipindahkan ke daerah lain.


(18)

dan di tanah Batak. Peribadatan atau biasa disebut parpunguan bagi pengikut Parmalim biasannya dilakukan di Bale partonggoan untuk di pusat dan rumah parsantian untuk di setiap cabang

Dalam melakukan parpunguan, mereka hanya memanjatkan doa kepada Debata Mulajadi Nabolon dan nasihat-nasihat di dalam melaksanakan kehidupan sehari-sehari dan mereka tidak mengumpulkan persembahan tetap mingguan atau bulanan.

Adapun peraturan-peraturan yang ada di dalam Parmalim yaitu para pengikutnya dilarang berdusta, berjinah dan mencemari agama mereka, dalam setiap pelanggarannya akan ada sanksi-sanksi tertentu bagi orang yang melanggar peraturan agama tersebut, salah satu hukumannya yaitu pemberian peringatan kepada si pelaku dan membuat suatu upacara tersendiri untuk menebus kesalahannya, upacara ini haruslah berupa persembahan seekor ayam dan diiringi oleh gondang sabangunan. Ciri khas dari pengikut Parmalim yaitu adanya bane-bane yang diikat bersama jeruk kecil dan bonang manalu atau bonang Batak dan diletakkan di atas pintu atau di suatu tempat yang dapat terlihat oleh orang lain. Adapun adat yang menjadi pedoman bagi perilaku pengikut Parmalim yaitu :

1. Marari Sabtu

Di mana seluruh pengikut Parmalim di manapun mereka berada haruslah melaksanakan perkumpulan setiap hari Sabtunya dan dilaksanakan di setiap cabang atau rumah parsantian, dalam perkumpulan ini para pengikut parmalim akan diberi poda atau bimbingan untuk lebih tekun dalam menghayati ajaran kepercayaan Parmalim.


(19)

2. Martutuaek

Upacara yang dilakukan di rumah umat karena mendapat karunia kelahiran seorang anak ataupun pemberian nama pada anak. Dimana seorang anak yang baru lahir haruslah terlebih dahulu diperkenalkan dengan bumi terutama air yaitu umbul mata air disertai dengan bara api tempat membakar dupa.

3. Mardebata

Upacara yang dilakukan secara individual untuk meminta ampunan atas penyimpangan yang dilakukan dari aturan ajaran kepercayaannya.

4. Pasahat Tondi

Upacara yang dilakukan pada umat yang mengalami duka atau meninggal dunia. Dimana setelah satu bulan pemakaman maka dilakukanlah upacara pasahat tondi atau menghantar roh, dalam upacara ini biasanya dilakukan doa saja, bisa dilakukan dengan sederhana atau besar tergantung pada kemampuan keluarga yang mengalami kemalangan.

5. Mangan Napaet

Upacara berpuasa untuk menebus dosa dan dilaksanakan selama 24 jam penuh pada setiap penghujung tahun kalender batak yaitu pada ari hurung bulan hurung, upacara ini juga dilaksanakan di Bale Partonggoan dan dihadiri oleh seluruh umat Parmalim. Setelah berpuasa selama 24 jam maka tepat tengah hari pukul 12.00 sebelum berbuka dilaksanakanlah mangan napaet, lalu dilakukan perkumpulan di dalam Bale Partonggoan dan dipimpin oleh Ihutan.

Adapun yang menjadi alasan saya untuk melakukan penelitian ini yaitu saya ingin melihat bagaimana kepercayaan Parmalim membangun kepercayaan mereka hingga bisa bertahan serta berkembang sampai saat ini sementara para


(20)

pengikutnya telah menyebar ke berbagai daerah dan berbaur dengan pengikut agama lain, tetapi pada saat pelaksanaan ritual kepercayaan mereka yaitu upacara Sipaha Lima yang dilakukan di pusat kepercayaan Parmalim mereka dapat berkumpul dan bersatu di dalam pelaksanaan upacara tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Adapun masalah pokok yang akan di analisis dalam penelitian ini adalah tentang bagaimana kepercayaan Parmalim bisa membangun kepercayaan mereka ditengah-tengah agama yang lebih mendominasi pada saat ini.

Dari permasalahan diatas maka muncul beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah kepercayaan Parmalim? 2. Bagaimana struktur dan kesatuan Parmalim? 3. Bagaimana kehidupan kepercayaan Parmalim? 4. Bagaimana bentuk Upacara Sipaha Lima?

1.3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir khususnya Huta Parmalim yang merupakan perkampungan kecil yang ada di dalam Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi dan hanya di huni oleh umat Parmalim saja. Daerah ini merupakan tempat tinggal dari Raja Mulia Naipospos yang dipilih oleh Raja Sisingamaraja untuk meneruskan ajaran Parmalim, saat ini Huta Parmalim atau yang lebih sering disebut dengan


(21)

Hutatinggi menjadi pusat dari kepercayaan Parmalim yang ada di seluruh tanah air.

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menggambarkan kepercayaan Parmalim yang semakin berkembang di tengah-tengah agama lain yang telah di akui oleh negara, tetapi para pengikut kepercayaan ini mampu membangun kepercayaan mereka hingga dapat bertahan sampai saat ini meskipun kepercayaan ini hanya diakui oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata saja..

Manfaat dari Penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan dalam ilmu Antropologi khususnya dalam bidang Antropologi Religi dan juga menambah pemahaman masyarakat khususnya masyarakat Batak Toba mengenai salah satu budaya dan tradisi tua pada masyarakat Batak Toba yang mulai tidak dikenal dan dipahami oleh masyarakat Batak toba sendiri.

1.5. Tinjauan Pustaka

Perhatian terhadap keragaman budaya yang ada di Indonesia sangatlah mewarnai kehidupan tiap-tiap kelompok etnik untuk tetap dapat mempertahankan budaya mereka sendiri, dimana budaya yang mereka miliki merupakan suatu identitas diri mereka untuk dapat diperkenalkan pada dunia luar.

Parmalim yang merupakan suatu kepercayaan tua dimana dalam tujuh unsur kebudayaan kepercayaan disebut sebagai religi. Van Baal (1978;175) mengatakan religi sebagai keseluruhan anggapan yang benar yang mempunyai hubungan kepada kebenaran yang tidak empiris dan segala perbuatan yang


(22)

berhubungan dengan anggapan tersebut, secara ringkas bahwa religi yaitu suatu sistem kepercayaan dan upacara-upacaranya yang terdapat dalam setiap kebudayaan manusia, jadi religi bersifat universal.

Awalnya Parmalim hanya sebagai kepercayaan biasa untuk mempertahankan adat istiadat dan kepercayaan tua yang terancam agama baru yang dibawa belanda, dimana K. T Preusz ( dalam Koentjaraningrat 1987;68-69 ). mengatakan bahwa wujud religi yang tertua berupa tindakan- tindakan manusia untuk mengadakan keperluan-keperluan hidupnya yang tak dapat dicapainya secara naluri atau dengan akalnya dan kemampuan akal manusia yang terbatas dan kebodohan akal manusia yang asli merupakan awal dari permulaan religi.

Kemudian kepercayaan ini menyebar ke tanah Batak menjadi gerakan politik atau parhudamdam yang menyatukan orang Batak menentang Belanda, kepercayaan ini muncul sekitar tahun 1883 atau tujuh tahun sebelum kematian Raja Sisingamangaraja XII, seiring dengan perkembangannya kepercayaan ini menempatkan Sisingamangaraja sebagai pemimpin tertinggi.

Berbagai kecaman dilontarkan belanda untuk memberhentikan pengikutnya dan dimulai dari sebutan pembangkang, penyembah berhala, dan pemakan sesama manusia serta upacara keagamaan pun dilarang. Pada tahun 1895 ( tujuh tahun setelah kematian Sisingamangaraja ) Guru Somalaing yang merupakan salah satu panglima dari Sisingamangaraja ditangkap oleh belanda dan kemudian dibuang ke Kalimantan bersama Raja Mulia Naipospos yang juga salah satu panglima dari Sisingamangaraja tetapi Raja Mulia Naipospos berhasil kembali ke tanah Batak sedangkan Guru Somalaing meninggal di tempat pembuangan dan kemudian Raja Mulia Naipospos memperoleh restu dari


(23)

Sisingamangaraja dan kemudian memegang tongkat kepemimpinan Parmalim dan kemudian kepercayaan ini kembali memusatkan diri pada spritiual dan tata cara hidup berdasarkan adat.

Tongkat kepemimpinan pun diwariskan secara turun temurun kepada anak dan cucu dari Raja Mulia Naipospos, saat ini dipegang oleh Raja Marnangkok Naipospos cucu dari Raja Mulia Naipospos dan berpusat di Huta Parmalim bagian dari Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir.

Ciri kelompok etnik yang utama yaitu kemampuan untuk berbagi sifat budaya yang sama dan dapat memberikan dampak yang lebih luas, apalagi dengan asumsi bahwa tiap kelompok etnik mempunyai ciri budaya sendiri dimana kelompok etnik mampu untuk memperlihatkan sifat budaya kelompok tersebut

Saat ini pengikut Parmalim telah menyebar ke berbagai daerah di nusantara seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat ( 2000; 242 ) mengenai migrasi manusia jaman dahulu yaitu kelompok manusia lama kelamaan akan pindah wilayah juga, karena di wilayah yang lama binatang perburuan misalnya sudah mulai berkurang atau karena dalam wilayah yang lama jumlah manusia sudah mulai terlampau banyak, dan migrasi ini terjadi dengan lambat.

Pengikut Parmalim yang menyebar di berbagai daerah di Nusantara ini tetap memiliki rasa kesatuan diantara sesama pengikutnya, adat batak yang mereka pertahankan sampai saat ini dan sangat diterapkan pada kehidupan sehari-hari membuat para pengikut Parmalim dapat berinteraksi dengan sesama pengikut Parmalim di seluruh tanah air.


(24)

serta adanya penyesuaian diri dari kelompok etnik ini untuk menghadapi berbagai faktor-faktor dari luar (Barth 1988 : 12-13)

Cara hidup pengikut Parmalim yang berbeda dari kelompok etnik lainnya seperti mentaati aturan agama, bersatu dengan alam, dan memelihara alam dengan akal dan pikiran membuat cara hidup pengikut Parmalim ini menjadi berbeda dengan masyarakat lain di luar pengikut Parmalim.

Manusia harus mensatukan dirinya sendiri. Dia adalah multikompleks. Pada kebhinnekaan itu ada macam-macam tendensi. Dia harus membangun semuanya itu, sehingga menjadi kesatuan, keseluruhan, keutuhan, sehingga dia betul-betul menjadi diri sendiri…Dia harus mempribadi (Widyasusanto 1996:32)

Pengikut Parmalim dalam membangun ajaran kepercayaannya ditengah-tengah agama lain maka pengikut kepercayaan ini haruslah dapat menyatukan dirinya sendiri terlebih dahulu dengan ajaran kepercayaannya sehingga ajaran Parmalim dapat terus bertahan hingga saat ini. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia memerlukan sarana ataupun alat untuk mempermudah pencapaian hasil, peralatan dan perlengkapan hidup sesuai dengan tingkat masyarakatnya, maupun tingkat hidupnya (Widyasusanto 1996:38). Demikian halnya dengan pengikut Parmalim dalam mempertahankan kepercayaannya adalah dengan membangun rumah-rumah parsantian di berbagai daerah dan melakukan parpunguan setiap hari sabtu yang akan dipimpin oleh Ihutan.

Setiap tahun para pengikut Parmalim yang berasal dari segala cabang akan berkumpul pada satu tempat yang menjadi pusat dari kepercayaan Parmalim yaitu di desa Hutatinggi untuk merayakan upacara Sipaha Lima yang merupakan suatu bentuk upacara untuk penyampaian rasa syukur pengikut Parmalim atas segala


(25)

berkat yang telah mereka terima dari Debata Mulajadi Nabolon serta untuk memohon berkat untuk kehidupan mendatang serta kesiapan pengikut Parmalim dalam menghadapi setiap tantangan yang mereka peroleh dari kehidupan diluar mereka

Anthony F. C. Wallace ( dalam William A.Haviland 1988;195 - 196) yang mendefinisikan agama sebagai seperangkat upacara yang diberi rasionalisasi mitos yang menggerakkan kekuatan-kekuatan supernatural dengan maksud untuk mencapai atau untuk menghindarkan sesuatu perubahan keadaan manusia atau alam, dimana fungsi upacara keagamaan yang utama adalah untuk mengurangi kegelisahan dan untuk memantapkan kepercayaan kepada diri sendiri, yang penting untuk memelihara keadaan manusia agar tetap siap untuk menghadapi realitas.

Upacara Sipaha Lima dilaksanakan setiap bulan kelima pada kalender Batak, atau sekitar bulan juli - bulan agustus pada bulan masehi, dan upacara ini biasanya jatuh pada hari ke 12, 13, dan 14 menjelang bulan purnama (Rajamarpodang 1992: 194). Untuk pelaksanaan upacara Sipaha lima maka Parmalim tidak membentuk panitia-panitia yang akan turut membantu di dalam persiapan upacara tetapi persiapan Upacara akan dibantu oleh para Ulu Punguan dan Suhi Ni Ampang Na Opat, pemilihan hari yang tepat, hingga ke penutupan upacara. Ihutan yang ada di pusat akan memberitahukan kepada seluruh Ulu Punguan tentang pelaksanaan upacara dan Ulu Punguan akan memberitahukan kembali kepada seluruh Parmalim pada saat melakukan parpunguan setiap hari Sabtu.


(26)

Setelah pemberitahuan maka seluruh Parmalim akan bersiap-siap untuk melaksanakan kegiatan Upacara tersebut, mulai dari biaya, persiapan diri,dll. Parmalim memiliki rasa solidaritas yang tinggi baik dari individunya hingga pada masyarakat Parmalim, hal ini tampak pada setiap persiapan upacara Sipaha Lima dimana pengikutnya akan bergotong royong secara penuh mulai dari persiapan Upacara hingga penutupan upacara dimana Solidaritas sosial dipertahankan sejauh kesadaran individu pada masyarakat sama kuatnya, dengan sendirinya akan memelihara unsur-unsur pengintegrasian yang ada pada masyarakat tersebut (Neni 1993; 12)

Lysen ( dalam Neni 1993; 12) mengatakan bahwa kesadaran masyarakat adalah unsur tertentu dalam kesatuan sosial yang menetapkan dan mempengaruhi kelakuan manusia yang menjadi bagian dari kesatuan itu. Unsur-unsur yang dimaksud adalah situasi- situasi yang memuat individu-individu dalam masyarakat terlibat langsung serta berbuat sesuai dengan keinginan situasi tersebut.

Pada pelaksanaan upacara Sipaha Lima seluruh Parmalim harus menghadirinya sehingga mereka dapat bersatu dengan pengikut parmalim yang berdatangan dari berbagai daerah di Nusantara. Haviland (1988; 197) mengatakan bahwa keikutsertaan dalam upacara keagamaan dapat menimbulkan suatu rasa “ transendensi pribadi”, suatu gelombang keyakinan, rasa keamanan dan bahkan rasa ekstase atau rasa bersatu dengan sesama yang beribadat.

Perayaan Upacara pada Parmalim inilah yang dijadikan sebagai cara agar mereka dapat membangun kepercayaan mereka yang terasing dari masyarakat luas, serta ketaatan pada adat istiadat yang selalu dipertahamkam dari dulu hingga


(27)

sekarang sehingga para pengikutnya bisa membangun kepercayaan untuk tetap bisa bertahan sampai saat ini.

1.6. Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kulitatif yang bersifat deskriptif. Dimana penelitian ini akan mencoba mendeskripsikan secara nyata dan sistematis mengenai kepercayaan Parmalim dalam mempertahankan kepercayaan mereka ditengah-tengah tantangan yang mereka hadapi di dalam kehidupan bermasyarakat dengan umat yang beragama lain. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong 2006; 4) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati, dimana pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik atau utuh.

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu sebagai berikut: 1. Teknik observasi

Teknik ini dilakukan dengan mengamati dan mencatat secara sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti dan dibantu dengan alat dokumentasi seperti kamera dan alat perekam yaitu type recorder. Focus utama peneliti adalah melihat dan mengamati jalannya upacara sipaha lima yang dilaksanakan pada bulan kelima menurut kalender etnis Batak T oba serta kesatuan umat Parmalim di dalam melaksanakan Upacara tersebut yang dapat membuat mereka mampu untuk mempertahankan kepercayaan mereka.


(28)

2 Teknik wawancara

Wawancara yang akan dilakukan adalah wawancara mendalam ( deep interview ) dan wawancara bebas, dimana pertanyaan akan berfokus pada petanyaan yang terkait dengan perumusan masalah. Peneliti juga akan menggunakan alat perekam tape recorder dan catatan lapangan untuk menyimpan data yang didapat dari lapangan.

Informan dalam penelitian ini adalah penduduk Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi, kecamatan Laguboti, kabupaten Toba Samosir dan masyarakat umat Parmalim yang berdomisili di Kota Medan tetapi peneliti tidak terlalu focus pada umat Parmalim yang berdomisili di kota Medan. Peneliti mengkategorikan informan menjadi 3 yaitu:

a) Informan pangkal

Informan pangkal pada penelitian ini adalah orang yang pertama kali diwawancarai oleh peneliti.

b) Informan kunci

Informan kunci pada penelitian ini adalah informan yang akan menjawab permasalahan pada perumusan masalah.

c) Informan biasa

Informan biasa pada penelitian ini adalah penduduk setempat yang merupakan penganut kepercayaan Parmalim dan masyarakat penganut kepercayaan Parmalim yang berdomisili di kota Medan.

Untuk melengkapi data-data pada penulisan karya ilmiah ini peneliti telah melakukan penelitian ke lokasi penelitian di Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba Samosir sebanyak empat kali, dimana


(29)

penelitian pertama dilakukan pada bulan April tahun 2008, pada saat itu peneliti hanya meminta gambaran tentang umat Parmalim secara umum kepada salah satu keluarga keturunan Raja Mulia Naipospos yang bernama Monang Naipospos yang bertempat tinggal di Huta Parmalim.

Penelitian kedua dilakukan pada saat pelaksanaan Upacara Sipaha Lima yang berlanggsung selama 3 hari yaitu pada bulan Juli tahun 2008, pada penelitian ini peneliti sudah mulai meneliti tentang Upacara Sipaha Lima dan telah menyaksikan secara langsung pelaksanaan Upacara Sipaha Lima tersebut, peneliti juga telah melakukan wawancara kepada Ihutan Parmalim yang merupakan pimpinan tertinggi dari Ugamo Malim.

Penelitian ketiga dilakukan peneliti pada bulan Februari tahun 2009 dimana peneliti telah memfokuskan peneltiannya kepada Konstruksi Upacara Sipaha Lima Pada Kepercayaan Parmalim, sehingga peneliti langsung melakukan wawancara mendalam kembali kepada Ihutan, dan wawancara kepada umat Parmalim yang ada di Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi, Desa Kampung Bibir aek Hutapea, Desa Lumban Na Bolon, Desa Hutapea, serta umat Parmalim yang ada di Balige, selain itu peneliti juga melakukan wawancara kepada umat Parmalim lainnya yang hadir pada saat marari sabtu dimana peneliti juga telah mengikuti ibadah marari sabtu pada penelitian ketiga ini. Dalam penelitian ketiga ini, peneliti bertempat tinggal di rumah umat Parmalim yang ada di Huta Parmalim selama 10 hari.

Penelitian keempat dilakukan peneliti pada bulan April 2009 dimana peneliti sudah tinggal melengkapi data-data yang kurang serta mengikuti kembali ibadah marari sabtu di Huta Parmalim, pada penelitian ini peneliti juga sekalian


(30)

meminta surat bukti nahwa peneliti telah melakukan penelitian di Huta Parmalim tersebut.

1.7. Analisa Data

Analisis data merupakan proses untuk mengatur dan mengkategorikan data yang di dapat. Hasil data yang sudah terkumpul kemudian akan diolah dan di analisis secara kualitatif.

Proses analisis data dimulai dengan menelaah data yang terkumpul yang berasal dari hasil wawancara dan observasi. Setelah proses tersebut langkah selanjutnya adalah membuat abstraksi yang berisi inti atau rangkuman dari penelitian.


(31)

BAB. II

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN SECARA UMUM

A. Gambaran Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi 2.1 Letak dan Keadaan Alam

Desa Hutatinggi merupakan salah satu desa yang berada di Kabupaten Toba Samosir, Kecamatan Laguboti, Desa ini merupakan bagian dari Desa Pardomuan Nauli tetapi masyarakat luar lebih mengenal Desa ini sebagai Desa Hutatinggi. Desa ini mempunyai luas wilayah kurang lebih 395 Ha, dengan batas-batas administratif desa yaitu:

Sebelah Utara berbatasan dengan jalan Provinsi

Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sittong Marnipi Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Simatibung Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Ujung Tanduk

Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi letaknya tidak jauh dari kota Laguboti, hanya berjarak sekitar kurang lebih 1.5 km dari kota Laguboti, untuk sampai ke Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi maka dari Kota Medan akan melalui kota Siantar kemudian Parapat yang merupakan salah satu daerah pariwisata di Toba Samosir, dengan perjalanan sekitar lebih kurang 2 jam dari Parapat menuju Laguboti, kemudian pemberhentian terakhir untuk menuju Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi yaitu Simpang Sirongit, jarak dari Simpang Sirongit menuju Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi sekitar kurang lebih 100 m.

Alat transportasi menuju Desa Pardomuan Nauli yaitu becak motor dan angkutan umum, biasanya untuk angkutan umum hanya ada pada saat menjemput


(32)

anak sekolah pada pagi hari dan mengantar anak sekolah pulang pada siang hari. Adapun angkutan umum masuk ke Desa Pardomuan Nauli diluar jam berangkat dan jam pulang anak sekolah, maka angkutan umum tersebut hanya ada pada saat mengantar para ibu-ibu yang pulang dari pasar sedangkan becak motor lancar setiap saat.

Secara garis besar wilayah Desa Pardomuan Nauli dipergunakan untuk persawahan, perkebunan, perumahan dan pekarangan penduduk, serta rawa-rawa yang belum dimanfaatkan warga desa untuk persawahan. Keadaan tanah yang cukup subur di daerah ini membuat para warga desa tertarik untuk membuka persawahan, sehingga penggunaan tanah menurut data pada tahun 2008 adalah sebagai berikut :

Tanah rawa-rawa 5 ha

Tanah perumahan / pekarangan 30 ha Tanah perkebunan 70 ha Tanah persawahan 235 ha

Lain-lain 55 ha

Jalan menuju Desa Pardomuan Nauli sudah diaspal sehingga kendaraan dapat berjalan dengan lanacar menuju Desa Pardomuan Nauli maupun menuju desa lain yang harus melalui Desa Pardomuan Nauli tersebut. Adapun keadaan tanah di Desa ini masih ada sedikit tanah yang kurang subur karena masih adanya tanah merah sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh warga Desa Pardomuan Nauli.

Persawahan di Desa Pardomuan Nauli tidak dipengaruhi oleh curah hujan, karena pengairan di Desa ini masih sangat lancar karena dekat dengan


(33)

pegunungan, jadi untuk pengairan ke sawah penduduk Desa Pardomuan Nauli memanfaatkan air dari pegunungan yang masih di tumbuhi oleh pepohonan yang rindang dan segar. Untuk keadaan iklim di Desa Pardomuan Nauli ini curah hujan tidak dapat ditentukan berapa curah hujan per tahunnya, tetapi pada musim hujan yaitu sekitar bulan September hingga Desember suhu minimum di desa Pardomuan Nauli cukup dingin yakni sekitar 26° c, tetapi sejak adanya pemanasan global keadaan iklim di wilayah ini cukup sulit untuk ditentukan dan suhu di wilayah ini pun semakin bergeser dari suhu biasanya pada musim hujan, sedangkan untuk musim kemarau suhu maksimum siang hari di desa Pardomuan Nauli yaitu 29°c hingga 30°c, tetapi pada malam dan pagi hari suhunya cukup dingin sekitar 27°c.

Keadaan iklim diatas tidak terlalu berpengaruh dengan jenis flora dan fauna, adapun pengaruh yang tampak yaitu pada perkebunan warga yang masih membutuhkan air untuk kelembaban tanah dan menjaga kesuburan tanah, sedangkan untuk hewan tidak berpengaruh karena di desa ini tidak ada hutan yang menjadi tempat tinggal dari hewan-hewan hutan, hewan yang ada hanyalah hewan peliharaan penduduk.

Di pinggiran Desa ini ada sebuah sungai yang mengalir dari sekitar pinggir Desa Pardomuan Nauli menuju ke Desa sebelah yang berbatasan dengan jalan Propinsi, sebagian warga Desa Pardomuan Nauli memanfaatkan air dari sungai ini untuk mengairi sawah yang kebetulan dekat dengan sungai tersebut, keadaan airnya cukup jernih dan masih berbatu.


(34)

2.2 Keadaan Penduduk

Penduduk di Desa Pardomuan Nauli hanya terdiri dari dua etnis yaitu etnis Batak dan etnis Minang. Jumlah penduduk di Desa Pardomuan Nauli pada tahun 2008 yaitu sebanyak 1250 jiwa dan sekitar 307 kepala keluarga. Etnis Penduduk tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 2.1 Jumlah penduduk di Desa Pardomuan Nauli Berdasarkan etnis tahun 2008

No Etnis Jumlah Persentase

1 Etnis Batak 1238 jiwa 99,04 %

2 Etnis Minang 12 jiwa 0,96 %

Jumlah 1250 jiwa 100 %

Sumber : data Desa Padomuan Nauli 2008

Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa etnis Batak lebih mendominasi di Desa Pardomuan Nauli, adapun etnis Minang yang ada di Desa Pardomuan Nauli tersebut, mereka hanya pendatang dan telah menetap di Desa Pardomuan Nauli selama bertahun-tahun. Meskipun di Desa ini hanya terdapat dua etnis sja tetapi kerukunan diantara mereka terjalin dengan erat, sikap saling menghargai antara etnis pendatang dan etnis yang menetap di Desa ini terlihat sangat baik.


(35)

Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 2.2 Jumlah penduduk di Desa Pardomuan Nauli Berdasarkan jenis kelamin tahun 2008

No Jenis Kelamin Jumlah Persentase

1 Laki-laki 550 jiwa 44 %

2 Perempuan 700 jiwa 56 %

Jumlah 1250 jiwa 100 %

Sumber : data Desa Pardomuan Nauli 2008

Berdasarkan tabel diatas tampak bahwa jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin yaitu penduduk dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan penduduk dengan jenis kelamin laki-laki yang hanya berjumlah sekitar 44 % saja.

Jumlah penduduk berdasarkan batas umur dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Table 2.3 Jumlah penduduk di desa Pardomuan Nauli Berdasarkan batas umur tahun 2008

No Batas Umur ( Tahun ) Jumlah Persentase

1 0 - 5 tahun 265 jiwa 21,2 %

2 6 – 15 tahun 110 jiwa 8,8 %

3 16 – 25 tahun 163 jiwa 13,04 %

4 26 – 55 tahun 589 jiwa 47,12 %

5 56 tahun keatas 123 jiwa 9,84 %


(36)

Berdasarkan tabel diatas tampak bahwa jumlah penduduk berdasarkan batas umur yaitu penduduk yang berumu antara 26 – 55 tahun lebih banyak bila dibandingkan dengan penduduk yang berumur 0- 25 tahun dan penduduk yang berumur 56 tahun keatas yang jumlahnya hanya sekitar 9,84 % saja. Hal ini terjadi diakibatkan penduduk yang berumur antara 16- 25 tahun lebih banyak merantau ke luar Desa untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik serta pekerjaan yang lebih layak, sementara penduduk yang berusia sekitar 26-55 tahun diantara mereka ada yang memilih pulang dari perantauan dan memilih menetap di Desa dan ada juga yang telah berumah tangga dan menetap Di Desa Pardomuan Nauli.

2.3Keadaan Sosial Ekonomi

Luasnya lahan persawahan di desa ini membuat penduduk desa menggantungkan perekonomian mereka pada pertanian, sehingga penduduk desa Pardomuan Nauli lebih dominant sebagai petani dibandingkan dengan pekerjaan lain, seorang penduduk walaupun telah memiliki pekerjaan dibidang pemerintahan tetapi pertanian tetaplah selalu dipegang, sebagian penduduk memanfaatkan pekerjaan bertani sebagai pekerjaan sampingan tetapi untuk kebanyakan penduduk lainnya tetap menggantungkan perekonomiannya pada pertanian.

Etnis batak pada umumnya memang lebih suka bertani, luasnya tanah yang mereka miliki tidak akan mereka gunakan untuk perumahannya tetapi tanah yang mereka miliki selalu dimanfaatkan untuk berladang dan bersawah, kebiasaan ini telah lama ada bahkan sejak dari nenek moyang etnis Batak sudah memulai


(37)

kehidupannya dengan mencangkul dan bergantung pada pertanian maupun persawahan.

Kebiasaan diatas sangat berkaitan dengan budaya etnis Batak yang memiliki pandangan bahwa lebih baik memiliki sawah yang luas daripada rumah yang besar, karena sawah dapat digarap dan dimanfaatkan untuk berbagai hal, sehingga tampak untuk rumah masyarakat etnis Batak persawahannya jauh lebih luas daripada tempat tinggalnya sendiri.

Adapun jumlah penduduk berdasarkan mata pencahariannya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

Tabel 2.4 Jumlah penduduk di desa Pardomuan Nauli Berdasarkan mata pencaharian penduduk tahun 2008

No Mata Pencaharian Jumlah Persentase

1 Petani 1125 jiwa 90 %

2 Pedagang 62 jiwa 4,96 %

3 Pegawai Negeri 25 jiwa 2 %

4 Pengrajin 20 jiwa 1,6 %

5 Guru 10 Jiwa 0,8 %

6 Peternak 8 jiwa 0,64 %

Jumlah 1250 jiwa 100 %

Sumber : data Desa Pardomuan Nauli 2008

Berdasarkan tabel diatas tampak bahwa masyarakat Desa Pardomuan Nauli lebih di dominasi oleh mata pencaharian sebagai petani, hal ini terjadi karena keadaan alan serta iklimnya yang memungkinkan mereka untuk membuka


(38)

memilih hidup bertani yaitu karena kehidupan bertani telah dilakukan oleh nenek moyang etnis Batak sejak dahulu sehingga budaya bertani di kalangan etnis Batak sulit untuk dihapuskan meskipun mereka sudah memiliki pekerjaan tetap seperti pegawai negeri dan Guru.

Tingkat kesejahteraan masyarakat desa Pardomuan Nauli tidak merata, hal ini terjadi karena sebagian warga yang berprofesi sebagai petani sebagian hanya menggarap sawah milik orang lain dan kemudian di upah, sebahagian lagi ada yang menyewa sawah dan kemudian hasilnya di bagi kepada pemilik sawah. Tingkat kesejahteraan yang tidak merata ini tidak terlalu tampak mencolok pada masyarakat Desa Pardomuan Nauli, hal ini terjadi karena masih kuatnya system kekerabatan diantara mereka, sehingga sikap tolong menolong dan rasa solidaritas tetap bertahan meskipun telah mengalami sedikit pemudaran akibat perkembangan teknologi saat ini.

2.4Keadaan Sosial Budaya

Desa Pardomuan Nauli di dominasi oleh etnis batak walaupun ada beberapa orang etnis minang, tetapi etnis minang yang merupakan pendatang ke Desa ini dapat beradaptasi dengan baik, perbedaan budaya diantara mereka tidak menghambat persatuan diantara mereka. Dua etnis tersebut bisa saling menerima budaya-budaya masing-masing etnis yang ada.

Sikap gotong royong yang ada pada etnis batak yang tetap bertahan sampai pada saat ini dapat juga dipertahankna oleh etnis minang, hubungan kekerabatan diantara sesama etnis batak pun sangat erat, pada acara pesta perkawinan maupun pesta lain kekerabatan diantara etnis batak dapat terlihat


(39)

sangat jelas, dimana mereka akan berkumpul dan saling membantu untuk kelancaran acara tersebut.

Pada saat musim tanam padi maupun musim panen maka warga desa yang telah selesai menanan ataupun memanen padinya maka mereka akan membantu warga lain untuk menanam ataupun memanen padi tersebut, kekerabatan yang erat tersebut dapat terlihat pada saat pekan atau buka pasar, dimana seluruh warga akan berdatangan ke pasar untuk berbelanja, pada saat berbelanja ini satu warga bisa mengenal 20 orang warga dari desa yang berlainan, tidak hanya kesatuan marga yang membuat mereka terlihat dekat dan akrab tetapi kesatuan wilayah, bahasa dan etnis yang membuat kesatuan diantara mereka semakin erat.

Dua etnis yang tergabung pada satu desa serta dua budaya yang ada di satu desa tidak membuat budaya Batak menjadi luntur, budaya etnis minang tidak dapat mempengaruhi budaya Batak yang menjadi budaya dominan di Desa Pardomuan Nauli ini. Adapun perkumpulan yang ada diantara warga Desa Pardomuan Nauli yaitu hanya perkumpulan marga saja itupun hanya ada pada saat ada acara maupun pesta marga.

Untuk sarana kesehatan di desa ini hanya ada 1 polindes yang jaraknya sekitar 1 km dari Simpang Sirongit, letaknya tepat berdekatan dengan Huta Parmalim, selanjutnya untuk kesehatan penduduk, warga Desa Pardomuan Nauli lebih meyakini khasiat pengobatan tradisional yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang berasal dari pengetahuan etnis batak bahkan telah dipercaya sejak jaman nenek moyang suku batak.

Untuk sarana pendidikan di Desa Pardomuan nauli terdapat 1 buah TK, buah SD, 4 buah SLTP tetapi untuk kecamatan Laguboti, SMU, 2 buah untuk


(40)

kecamatan Laguboti, dan 3 buah STM / SMK untuk kecamatan Laguboti, serta 1 buah perguruan tinggi di Laguboti yaitu AKBID Arjuna. Sedangkan untuk sarana agama dan kepercayaan di desa ini hanya terdapat 1 tempat peribadatan yaitu Bale Partonggoan untuk Ugamo Malim, sedangkan untuk masjid dan Gereja berada di luar Desa Pardomuan Nauli.

Adapun jumlah penduduk berdasarkan agama dan kepercayaan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

Tabel 2.5 Jumlah penduduk di Desa Pardomuan Nauli Berdasarkan Agama dan Kepercayaan tahun 2008

No Agama dan Kepercayaan Jumlah Persentase 1 Kristen Protestan 1167 jiwa 93,28 %

2 Islam 12 jiwa 0,96 %

3 Ugamo Malim/ Parmalim 72 jiwa 5,76 %

Jumlah 1250 jiwa 100 %

Sumber : data Desa Pardomuan Nauli 2008

Berdasarkan data diatas jumlah penduduk yang beragama Kristen Protestan masih mendominasi, etnis Batak umumnya sudah memeluk Agama Kristen yang dibawa oleh DR.IL. Nomensen pada masa penjajahan belanda dahulu, sehingga kepercayaan tradisional seperti Parmalim telah menjadi minoritas di tanah Batak sendiri yang merupakan asal dari kepercayaan Parmalim ini. Tetapi walaupun jumlah pengikut Ugamo Malim ini hanya berjumlah 5,76% saja dibandingkan dengan penduduk yang beragama Kristen tidak membuat pengikut Ugamo Malim menjadi diasingkan dari kehidupan bermasyarakat serta kegiatan adat istiadat etnis Batak.


(41)

Pada saat penduduk yang beragama Kristen maupun Islam mengadakan pesta adat seperti pernikahan, kelahiran, dan kematian pengikut Ugamo Malim pun turut hadir dan mengikuti adat Batak pada pesta etnis Batak dan hadir pada acara pesta etnis lainya seperti Minang. Kekerabatan diantara mereka tampak sangat erat meskipun mereka berbeda keyakinan. Pada saat hari suci Parmalim tiba yaitu marari sabtu umat Parmalim tidak hanya datang dari Desa Pardomuan Nauli dan sekitarnya saja tetapi mereka juga ada yang datang dari Balige, Tarutung, Silimbat dan daerah lain yang hamper berdekatan dengan Desa Pardomuan Nauli, sehingga pada saat marari sabtu tempat peribadatan yaitu Bale Partonggoan akan ramai di datangi oleh umat Parmalim yang akan melakukan ibadah mereka.

Sarana pemerintahan sepenuhnya ada di kota Balige sekitar 40 menit dari kota Laguboti, sedangkan untuk di Desa Pardomuan Nauli hanya ada kantor Kepala Desa yang sekaligus merangkap sebagai tempat tinggal Kepala Desa Pardomuan Nauli.


(42)

B. Gambaran Umum Huta Parmalim

2.2.1 Letak dan Keadaan Alam Huta Parmalim

Huta Parmalim yang biasa di kenal sebagai Bale Pasogit atau tanah suci bagi umat Parmalim yang terletak di Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi Kabupaten Toba Samosir, Kecamatan Laguboti yang jaraknya sekitar ± 2 km dari kota Laguboti, sedangkan dari simpang pasar atau simpang Sirongit sekitar ± 1 km.

Huta Parmalim yang terletak di Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi yang juga termasuk ke dalam Kecamatan Laguboti memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Lumban Dolok Sebelah Utara berbatasan dengan desa Hutatinggi Sebelah Barat berbatasan dengan desa Hutatinggi Sebelah Timur berbatasan dengan Areal Perladangan

Adapun luas dari Huta Parmalim ini yaitu sekitar ± 5 ha yang terdiri dari kebun, pemukiman pengikut Parmalim khususnya keturunan Naipospos, Bale Partonggoan, Bale Pangaminan yang berhadapan langsung dengan Bale Parpitaan. Sebelah timur dari huta ini yaitu Bale Parhobasan dan sebelah barat perumahan, sebelah utara rumah Ihutan Parmalim. Masyarakat yang tinggal di Huta Parmalim ini rata-rata adalah yang masih keturunan dari raja Naipospos dan umat Parmalim, adapun warga yang bukan pengikut kepercayaan Parmalim yang bertempat tinggal di Huta ini tetapi masih keturunan dari raja Naipospos yang telah berpindah aliran kepercayaan menjadi Agama Kristen.


(43)

Keadaan alam di Huta Parmalim tidaklah sama seperti desa lain yang memiliki areal persawahan, Huta Parmalim lebih dominan didirikan bangunan yaitu tempat keturunan Raja Naipospos, adapun tumbuhan yang ada di sekitar Huta hanya sebagai tumbuhan pelindung yaitu seperti pohon kelapa, coklat, kemiri, serta tumbuhan lainnya yang memberi kesejukan di Huta ini. Luas areal perumahan di Huta ini sekitar ± 2 Ha dan 1 lagi sebagai halaman yang sudah di paving blok secara rapi.

Perumahan yang ada di Huta ini tersusun rapi dan berjejer di pinggiran Huta dan sudah berdinding batu, tetapi ada sebahagian rumah warga yang masih berdinding papan. Bangunan yang sudah berdinding batu yaitu rumah Ihutan, Bale Partonggoan, Bale Parpitaan dan Bale Parhobasan. Disamping rumah Ihutan terdapat sebuah bangunan dan berfungsi sebagai Bale Pengobatan dan biasanya di buka pada saat ada perayaan-perayaan besar kepercayaan Parmalim dan akan di urus oleh tim medis yang merupakan umat Parmalim juga.

Jalan menuju Huta Parmalim sendiri masih berbatu tetapi masih bisa dilalui oleh alat transportasi seperti mobil dan becak, tetapi bukan jalan perlintasan kendaraan.

2.2.2 Keadaan Penduduk

Huta Parmalim hanya memiliki jumlah penduduk sekitar 72 jiwa atau sekitar 13 rumah tangga, dalam 1 rumah tangga bisa terdapat 5 – 6 jiwa, dimana seluruhnya hanya etnis batak toba, menurut data tahun 2008.


(44)

2.2.3. Keadaan Sosial Ekonomi

Penduduk di Huta Parmalim umumnya bekerja sebagai petani dan berkebun, adapun mata pencaharian lainnya yaitu sebagai LSM dan Pensiunan Kodam, tetapi pada umumnya masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani.

2.2.4. Keadaan Sosial Budaya dan Sistem Kekerabatan

Masyarakat di Huta Parmalim ini adalah etnis batak asli, sehingga adat budaya yang dipakai pun masih adat batak, terlebih lagi pengikut Parmalim sangat memegang teguh adat istiadat etnis batak, maka dalam setiap perilaku masyarakat haruslah mencerminkan adat istiadat etnis batak.

System kekerabatan masyarakat di Huta Parmalim seluruhnya masih satu keturunan dari Raja Naipospos dan saat ini yang bertempat tinggal di Huta itu adalah cucu dari Raja Naipospos pertama yaitu Raja Mulia Naipospos, sehingga hubungan mereka di Huta Parmalim sangat erat dan dekat dikarenakan masih saudara sekandung.

2.2.5. Sejarah Huta Parmalim

Huta Parmalim dahulunya merupakan tempat tinggal dari Raja Mulia Naipospos beserta keluarganya dan Raja Mulia juga seorang penganut keprcayaan Ugamo Malim, Raja Mulia merupakan salah satu Panglima dari Raja Sisingamangaraja, setelah Raja Sisingamangaraja menghilang dan bersembunyi di suatu tempat, dan tanah Bakkara yang dahulunya merupakan Bale Pasogit Ugamo Malim telah dibumi hanguskan oleh Belanda, maka Sisingamangaraja mengamanatkan kepada Raja Mulia Naipospos untuk mendirikan Bale Pasogit di


(45)

Desa Pardomuan Nauli tetapi lebih dikenal dengan Desa Hutatinggi yang saat ini telah menjadi Bale Pasogit Parmalim.

Amanat tersebut pun segera dilaksanakan oleh Raja Mulia dan Raja Mulia pun diminta Sisingamangaraja untuk memimpin dan meneruskan ajaran Ugamo Malim, sehingga seluruh keturunan dari Raja Mulia pun bertempat tinggal di Huta tersebut, dan kepemimpinan Parmalim pun diturunkan secara turun temurun oleh keturunan dari Raja Mulia Naipospos dan saat ini dipimpin oleh Raja Marnangkok Naipospos sebagai cucu dari Raja Mulia Naipospos.

2.2.6. Sistem Pendidikan dan Sarana Kesehatan

Huta Parmalim merupakan sebuah Huta tersendiri yang terletak di dalam Desa Pardomuan Nauli, pengikut Ugamo Malim yang ada di Desa Pardomuan Nauli seluruhnya tinggal di dalam Huta Parmalim, mereka tinggal di pinggiran Bale Partonggoan, pengikut Ugamo Malim yang tinggal di sekitar Bale berjumlah lebih kurang 13 rumah tangga sehingga Huta tersebut disebut dengan Huta Parmalim.

Masyarakat di Huta Parmalim memperoleh pendidikan dari luar Huta Parmalim, seperti SD, SMP, SMA atau STM dan Perguruan Tinggi, adapun anak-anak yang memperoleh pendidikan saat ini yaitu SD sekitar 10 orang, SMP sekitar 5 orang, SMA/ STM sekitar 7 orang dan sarana Pendidikan ini masih berada di sekitar Laguboti, sementara untuk Perguruan tinggi ada sekitar 4 orang dan memperoleh pendidikan tersebut dari luar Huta Parmalim yaitu di Kota Medan dan Kota Bandung.


(46)

Sarana kesehatan di Huta Parmalim hanya ada satu yaitu Bale pengobatan tetapi dipakai hanya pada saat perayaan Upacara Sipaha Sada dan Sipaha Lima yaitu untuk membantu para Parmalim yang sakit pada saat Upacara berlangsung, sedangkan untuk sarana kesehatan yang dimanfaatkan sehari-harinya yaitu menggunakan bantuan Polindes yang letaknya tepat dipinggir jalan menuju ke Huta Parmalim dan berjarak sekitar ± 100 m dari Huta Parmalim.


(47)

BAB. III

PARMALIM DAN KEHIDUPANNYA DI DESA PARDOMUAN NAULI HUTATINGGI

A. Sejarah Ugamo Malim di Tanah batak

Parmalim yang berarti pengikut ajaran Ugamo Malim sampai saat ini masih tetap mempertahankan kepercayaannya, saat ini tanah suci bagi parmalim terletak di desa Pardomuan Nauli Hutatinggi, kecamatan Laguboti, kabupaten Toba Samosir, tanah suci ini disebut oleh masyarakat sekitar sebagai Huta Parmalim, dimana di Huta ini terdapat sekitar 13 rumah tangga yang merupakan keturunan dari Raja Mulia Naipospos yang diberi amanat oleh Raja Sisingamangaraja untuk meneruskan ajaran Ugamo Malim, seluruh keturunan Raja Naipospos yang tinggal di Huta ini masih tetap memegang teguh ajaran Ugamonya.

Awalnya Ugamo Malim masih dianggap sebagai aliran kepercayaan yang menyembah berhala atau sipelebegu karena kepercayaan ini tidak sesuai dengan ajaran agama yang dibawa oleh Dr. IL. Nomensen ke tanah batak, kemudian kepercayaan ini mulai disebut sebagai Ugamo Malim karena pengikutnya dituntut untuk hidup suci dan jadi teladan bagi masyarakat, tetapi pengikutnya belum disebut sebagai Parmalim.

Sama halnya dengan kepercayaan masyarakat tradisional atau kepercayaan asli pada sebuah kelompok masyarakat dimana subyek kepercayaan asli adalah umat local atau masyarakat kecil yang homogen dengan primordian loyalty ( kesetiaan kepada yang awalnya ) dan orang-orang yang saling mengenal (face to


(48)

face relations ). Masyarakat kecil ini bagaikan kosmos ( alam semesta ) untuk anggota-anggotanya. Didalamnya kepercayaan merupakan gejala ( Fenomen ) yang mempengaruhi seluruh pola kebudayaan dean yang mengatasi unsur-unsur hidup kemasyarakatan yang lain. Di dalam semua kegiatannya manusia menyerahkan diri kepada kekuatan yang tidak kelihatan yang merupakan tujuan segala sesuatu yang berubah. Kekuatan itu diakui sebagai pemberi makna yang terakhir terhadap kegiatan dan penderitaan manusia. Daya atau kekuatan tidak terbatas itu tidak selalu di indentifikasikan dengan Tuhan ( Laurent Widyasusanto 1996 ; 32-33 )

Suku batak dahulunya identik dengan kepercayaan yang dianggap sipelebegu dan kemudian di sebut sebagai Ugamo Malim dimana kepercayaan ini berinti kepada Debata Mulajadi Na Bolon dan di pimpin oleh Raja Sisingamangaraja, dimana Sisingamangaraja dianggap sebagai Malim tertinggi pilihan Debata Mulajadi Na Bolon ( Malim Ni Debata ) sehingga setiap doa dan pujian ditujukan rakyat kepada Sisingamangaraja ( Sitor Situmorang 2004 ; 409 ). Masyarakat batak meyakini bahwa adanya kekuatan lain diluar mereka sehingga mereka harus melakukan upacara-upacara yang ditujukan kepada Debata Mulajadi nabolon dan para pengikutnya dituntut untuk dapat mengasihi sesama manusia serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang diajarkan oleh nenek moyang suku batak ( E. H. Tambunan 1982 ; 65 )

Setiap manusia hidup dengan aturan, dimana aturan tersebut bisa datang dari adat istiadat kelompok masyarakatnya dan adapula yang berasal dari agama atau kepercayaan yang diakui sebuah kelompok masyarakat, sehingga manusia dapat dan mau melakukan apa saja untuk menunjukkan adat istiadat maupun


(49)

kepercayaan mereka. Masyarakat Batak mau melakukan upacara-upacara serta menjunjung tinggi nilai-nilai moral karena ajaran dari kepercayaan mereka, dimana asla mula religi dan intinya didasarkan pada:

1. manusia sadar akan adanya konsep ruh

2. manusia mengakui adanya berbagai gejala yang tak dapat dijelaskan dengan akal

3. keinginan manusia untuk menghadapi berbagai krisis yang senantiasa dialami manusia dalam daur hidupnya

4. kejadian-kejadian luar biasa yang dialami manusia di alam sekelilingnya 5. adanya getaran ( emosi ) berupa rasa kesatuan yang timbul dalam jiwa

manusia sebagai warga dari masyarakatnya 6. manusia menerima suatu firman dari Tuhan

( Koentjaraningrat 1997 ; 194-195 )

Upacara-upacara kepercayaan ini dilakukan pada hari-hari tertentu oleh pengikut Ugamo Malim. Setelah Belanda datang ke tanah Batak dan mulai menjajah suku batak, Belanda melihat bahwa kepercayaan Suku Batak sebagai ajaran sesat, bahkan Belanda menganggap kepercayaan Batak ini sebagai Gerakan perlawanan Politik ( Sitor Situmorang 2004 ; 411 ).

Dalam tujuan penjajahannya, maka yang pertama kali yang dijajah Belanda adalah kepercayaan suku Batak yang tidak sesuai dengan kepercayaan bangsa Eropa, para misi Zending yang datang pun mengatakan bahwa Ugamo Malim adalah kuasa jahilliah, kafir ( Sitor Situmorang 2004 ; 411 ) dan animisme dimana bentuk religi ini didasarkan pada kepercayaan bahwa alam sekeliling tempat tinggal manusia dihuni oleh berbagai macam roh dan terdiri dari berbagai


(50)

bentuk kegiatan keagamaan guna memuja roh-roh tersebut( Koentjaraningrat 1997 ; 212 ).

Banyaknya aliran kepercayaan saat itu di tanah Batak membuat Ugamo Malim yang di pimpin oleh Sisingamangaraja ini semakin terdesak dan terpuruk, sehingga raja Sisingamangaraja pun akhirnya di uber-uber oleh Belanda karena dianggap telah menyebarkan ajaran sesat, tetapi karena Sisingamangaraja telah di pilih oleh Debata Mulajadi Na Bolon sebagai Malim ni Debata untuk maningahon adat, harajaon uhum dan patik ni Debata di tanah batak dan menyampaikan pesan tersebut kepada seluruh masyarakat batak maka Sisingamangaraja pun berjuang demi mempertahankan kepercayaan Ugamo Malim.

Pandangan Belanda tentang ajaran Ugamo Malim yang tidak meyakini Allah dan adanya perbedaan cara penyembahan antara Ugamo Malim dengan keprecayaan Belanda yang saat itu telah menganut agama Kristen membuat belanda harus mengeluarkan keputusan untuk tidak mengembangkan kepercayaan ini dan mulai mendatangkan beberapa orang Eropa ke tanah Batak untuk menyebarkan dan mengajarkan agama Kristen kepada masyarakat Batak.

Belanda juga melarang pelaksanaan upacara-upacara kurban atau dahulunya disebut upacara bius dan lama kelamaan upacara inipun mulai lenyap dan bahkan tidak ditemukan lagi sampai sekarang, jika pun ada hanya dilakukan oleh keluarga saja tetapi tidak lagi utuh seperti bentuk upacara aslinya dahulu, saat ini upacara Bius ini dilakukan dengan terpenggal-penggal dan sudah disebut sebagai Horja Bius atau Asean Taon ( Sitor Situmorang 2004 ; 413 )

Misionaris pertama yang datang ke tanah Batak untuk menyebarkan ajaran Kristen yaitu Pdt. Lyman dan Pdt. Munson Missionaris dari Amerika ( Pdt. R. T.


(51)

Munthe, MTh. 2007 ; 2 ), kedua missionaries ini tidak berhasil untuk menyebarkan ajaran Kristen di tanah Batak karena kedua missionaries ini tidak dapat memahami budaya serta bahasa suku Batak, pada tahun 1834 kedua missionaries ini pun terbunuh di Sisangkak Lobupining oleh Raja Panggalamei (Pdt. R. T. Munthe, MTh. 2007 ; 2 )

Pada tahun 1824 Burton dan Ward dari Barat datang ke tanah Batak khususnya di Lembah Silindung dan mulai mempelajari tentang Batak dan kepercayaan Batak kemudian membuat tulisan mengenai Batak saat itu, pada tahun 1853 Van der Tuuk datang ke Bakkara dimana dahulunya Bakkara masih menjadi Bona Pasogit Ugamo Malim, dalam hal ini ketiga bangsa barat tersebut memahami masyarakat Batak adalah bukan masyarakat yang tidak punya struktur politik dan pemerintahan, dan sangat berbeda jauh dari prasangka masyarakat barat yang melihat masyarakat Batak secara negatif.

Pada masa ini masyarakat Batak sudah mengalami krisis dalam tifa Front yaitu terancamnya lembaga Singamangaraja ( kepercayaan Ugamo Malim ), masuknya Gereja, dan kekuasaan Belanda. Pengikut Ugamo Malim yang sangat tertib dan tenteram dibawah kepemimpinan Sisingamangaraja tiba-tiba mulai terancam sirna, masuknya Gereja membuat upacara-upacara keagaamaan pun dilarang untuk dilaksanakan sehingga masyarakat Batak merasakan kekosongan batinyang dahsyat, identitas masyarakat Batak yang berabad-abad dipelihara kini terancam hancur ( Sitor Situmorang 2004 ; 411- 412 )

Pada Tahun 1861 Dr. IL. Nomensen datang ke tanah batak dan memulai pekerjaannya untuk menyebarkan ajaran Kristen, Barus merupakan tempat pertama yang di datangi oleh Nomensen untuk memulai pekerjaannya sementara


(52)

di Barus pengikut Ugamo Malim pun ada. (Pdt. R. T. Munthe, MTh. 2007 ; 5 ). Kemudian Nomensen mulai menyebarkan injil ke seluruh tanah Batak dan mulai mendirikan beberapa Gereja, dengan ketekunan dan kesabarannya akhirnya Nomensen berhasil mengkristenkan masyarakat Batak dan meninggalkan kepercayaan mereka, tetapi sebagian masyarakat masih ada yang tetap mau mempertahankan kepercayaan mereka dan memilih untuk tetap mengikut Ugamo Malim.

Melihat pengikut Ugamo Malim yang semakin berkurang maka seluruh raja Bius dari Ugamo Malim pun mulai berusaha untuk mempertahankan kepercayaannya dan mulai mempertahankan pengikutnya dengan memberi poda, uhum, adat, dan patik ni Debata di Tanah Batak, tanah suci Ugamo malim yang dahulunya terletak di Bakkara dan sekaligus merupakan tempat tinggal dari Raja Sisingamangaraja beserta keluarganya kemudian di bumi hanguskan oleh Belanda, akhirnya Sisingamangaraja menghilang dan dikabarkan bersembunyi di Dairi tepatnya di Hutan Lintong.

Saat itu Belanda tetap mencari Sisingamangaraja, siapapun yang membicarakan Sisingamangaraja dan ajarannya langsung ditangkap oleh Belanda. Para Panglima Sisingamangaraja pun saat itu telah pecah dan mulai membuat kepercayaan masing-masing di tanah Batak, mendengar hal itu akhirnya Raja Sisingamangaraja membuat suatu perintah untuk disampaikan kepada Raja Mulia Naipospos salah satu Panglima Sisingamangaraja untuk meneruskan ajaran Ugamo Malim, isi perintah tersebut yaitu bahwa Raja Mulia Naipospos diminta untuk mendirikan Bale Pasogit di Desa Pardomuan Nauli Hutatinggi yang merupakan tempat tinggal dari Raja Mulia beserta keluarganya.


(53)

Banyak rintangan yang dialami oleh Raja Mulia dalam mendirikan Bale tersebut seperti perkataan yang kejam dari masyarakat luar dan penghalangan materi, tetapi dengan tuntunan Raja Sisingamangaraja maka Raja Mulia pun berhasil mendirikan Bale Pasogit di Desa Pardomuan Nauli.

Raja Somalaing yang merupakan mantan Panglima Sisingamangaraja pun turut mendirikan ajaran kepercayaannya sendiri yaitu Ugamo Somalaing dan berpusat di Janjimaria – Balige, tetapi Ugamo Somalaing tidak bertahan lama, saat Raja Somalaing dan Raja Mulia Naipospos ditangkap oleh kompeni Belanda dan di buang ke Sulawesi, maka pengikut Ugamo Somalaing pun meredup, akhirnya Raja Somalaing pun meninggal di tempat pembuangan sementara Raja Mulia Naipospos selamat dan kembali ke tanah Batak dan kembali memimpin Ugamo Malim

Tahun 1921 Belanda mengeluarkan surat ijin untuk Ugamo Malim untuk melaksanakan kembali upacara adat dan kemudian meresmikan Bale pasogit, kemudian pengikut Ugamo ini pun disebut masyarakat sebagai parmalim yang berarti orang yang mengikuti ajaran Ugamo Malim, kemudian Bale Pasogit Parmalim pun di pusatkan di Hutatinggi atau Desa Pardomuan Nauli kecamatan Laguboti kabupaten Toba samosir, dan kegiatan keagamaan pun seperti Upacara sipaha sada yang dilaksanakan pada bulan pertama kalender batak dan Upacara Sipaha Lima yang jatuh pada bulan kelima kalender Batak pun akhirnya mulai dilaksanakan dibawah pimpinan Raja Mulia Naipospos.


(54)

B. KEHIDUPAN SOSIAL PENGIKUT PARMALIM

Masyarakat pengikut Parmalim sangat memegang teguh adat istiadat batak yang memang berasal dari nenek moyang suku batak, sehingga pengikut Parmalim dalam kesehariannya haruslah mencerminkan sikap dan perilaku sebagai seorang yang taat pada ajaran Parmalim seperti mengasihi sesame manusuia, berbuat baik kepada sesame dan yang paling utama yaitu taat pada ajaran Parmalim dan mengikuti segala aturan-aturan yang ada di Parmalim yaitu 7 aturan dalam Ugamo Malim:

1. Marari Sabtu yaitu peribadatan yang dilakukan setiap hari sabtu dan hari sabtu merupakan hari suci bagi pengikut Ugamo Malim 2. Martutuaek atau masrgoar-goar yaitu pemberian nama kepada

seorang anak yang baru lahir dan sekaligus perkenalan si anak kepada yang paling utama didalam kehidupan manusia yaitu air. 3. Pasahat Tondi yaitu sebuah acara yang dilakukan dirumah

keluarga yang ditinggal mati oleh salah satu anggota keluarganya, acara ini biasanya dilakukan sebulan setelah anggota keluarga meninggal dan wajib untuk di doakan agar arwahnya tenang di alam sana.

4. Mardebata yaitu marsomba tu Debata acara ini dilakukan di rumah masing-masing ruas dengan doa pribadi keluarga. Marsomba tu Debata ini dapat dilakukan secara besar dan akan dipimpin oleh Ihutan tetapi jika acaranya kecil boleh hanya dipimpin oleh Ulu Punguan yang ada di cabang. Dalam setiap acara Marsomba boleh mengundang pengikut Parmalim yang


(55)

lainnya. Acara Marsomba ini dilakukan pengikut Parmalim baik dalam keadaan suka maupun duka sebagai pemanjatan Doa kepada Tuhan dari Pribadi pengikut Parmalim.

5. Mangan Napaet yaitu suatu acara perenungan bagi pengikut Parmlaim untuk mengenang semua perjuangan para Raja-Raja yang telah berjuan untuk mempertahankan Ugamo Malim, sebelum melakukan mangan Napaet pengikut Parmalim akan melakukan puasa 24 jam penuh dan tepat tengah hari akan dilakukan Mangan Napaet sebelum memakan makanan lainnya.

6. Sipaha Sada yaitu sebagai penghormatan terhadap hari Tuhan, dalam Sipaha Sada juga dilakukan Upacara untuk menghormati hari Tuhan dan merupakan awal untuk menjalani bulan yang baru. Upacara Sipaha Sada dilakukan pada bulan pertama kalender batak dan dilakukan di Pusat atau Bale partonggoan diikuti oleh seluruh pengikut Parmalim.

7. Sipaha Lima yaitu sebagai pengungkapan rasa syukur pengikut Parmalim atas segala berkat yang diberikan oleh Debata Mulajadi Na Bolon kepada seluruh pengikut Parmalim serta pengharapan akan kehidupan yang akan dating baik dari materi maupun rohani setiap pengikut Parmalim. Pengungkapan rasa syukur ini juga dilakukan melalui Upacara yaitu Upacara Sipaha Lima yang dilakukan di Pusat atau Bale Partonggoan dan dilakukan pada bulan kelima pada kalender batak dan diikuti oleh seluruh pengikut Parmalim.


(56)

Dalam keseharian kehidupan pengikut Parmalim dengan penganut kepercayaan lainnya di desa Pardomuan Nauli terlihat sangat harmonis, hal ini tampak pada adanya sikap saling menghargai diantara mereka pada saat acara-acara tertentu serta gotong royong yang masih ada dan tetap dipertahankan di desa ini, seperti halnya pada saat pelaksanaan ibadah rutin mingguan di Bale Partonggoan, masyarakat Batak yang beragama lain tidak menimbulkan kebisingan disekitar rumahnya.

Parmalim juga dituntut untuk dekat alam karena segala sesuatu berasal dari alam dan hidup kita bergantung pada alam yang telahdiciptakan oleh Debata Mulajadi Na Bolon, dimana Allah telah berfirman “ lihatlah Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah yang akan menjadi makananmu, tetapi kepada segala binatang di bumi dan segala burung di udara yang merayap di bumi, yang bernyawa kuberikan segala tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya (E. H. Tambunan 1982; 39 ). Selain itu suku Batak juga menganggap bahwa berkat jasa rumput-rumputan itulah mengambil sari makanan dari tanah dan mengolahnya menjadi buah dan sayur-sayuran maka manusia itu dapat makan dan hidup di bumi ini, sehingga manusia harus menjaga alam dan berterima kasih pada alam tumbuh-tumbuhan tersebut karena berkat adanya tumbuh-tumbuhan maka manusia dapat berkelanjutan ( Drs. DJ. Gultom Rajamarpodang 1992; 198-199)

Parmalim sangat dipantangkan untuk makan darah binatang hal ini disebabkan oleh adanya kepercayaan mereka bahwa manusia hidup dari darah sehingga manusia dilarang untuk makan darah. Selain itu ada binatang tertentu


(57)

yang tidak boleh untuk dikonsumsi Parmalim yaitu daging babi, monyet dan binatang lain yang masih ada darahnya.

Salah satu yang menonjol dari Parmalim yaitu kearifan lokal yang tetap dipertahankan sejak dari jaman nenek moyangnya hingga sekarang. Adanya pandangan Parmalim tentang kelanjutan hidup manusia bergantung pada alam sekitar manusia sehingga kehidupan Parmalim tidak terlepas dari alam tempat manusia berdiam, sehingga alam harus dijaga.

Dalam setiap kelahiran manusia, hal yang paling utama untuk diperkenalkan kepada manusia yang baru lahir yaitu air, dimana air merupakan hal yang paling utama sebagai sumber kehidupan sebelum mengenali smua apa yang ada di bumi. Sehingga dalam kehidupan Parmalim ada adat yang harus dijalankan yaitu martutu aek ( menuju ke sumber air ) dimana seorang anak yang baru lahir, pada saat acara pemberian nama kepada si anak, anak terlebih dahulu diperkenalkan dengan air yang merupakan sumber hidup sebelum si anak mengenal kehidupan lain. Air juga diperkenalkan sebagai saudara tubuh dari awal terbentuk hingga pemeliharaannya dalam sirkulasi darah dalam tubuhnya.( Drs. DJ. Gultom Rajamarpodang 1992; 191 )

Struktur organisasi pada Ugamo Malim sangat singkat hanya terdiri dari Ihutan, Ulu Puanguan, dan Suhi Ni Ampang Na opat, dimana Suhi Ni Ampang Na Opat terbagi empat yaitu Pargonggom, Namora, Pangumei, dan Partahi. Suhi Ni Ampang Na Opat ini bertugas untuk membantu Ihutan untuk di Pusat dan menbantu Ulu Punguan untuk di cabang.

Solidaritas diantara para pengikut Parmalim sangat erat, dimana rasa solidaritas mereka terlihat pada setiap semangat yang mereka miliki pada saat


(58)

menjelang pelaksanaan upacara keagamaan maupun pada saat upacara dan setelah selesai upacara keagamaan, setiap pekerjaan mereka kerjakan dengan gotong royong tanpa menunggu perintah dari orang-orang yang mengawasi mereka.

Setiap tahunnya ada dua perayaan uapacara keagamaan pada Ugamo Malim yaitu Upacara Sipaha Sada dan Upacara Sipaha Lima, dimana kedua upacara keagamaan ini dirayakan di pusat dan akan dihadiri oleh seluruh pengikut Parmalim. Sementara bagi pengikut yang berada jauh di luar kota dan tidak mampu untuk menghadirinya masih diberi keringanan untuk tidak harus dating pada saat upacara, tetapi harus bisa mengikutinya di tempat masing-masing.

Ugamo Malim bukan kepercayaan yang mengumpulkan persembahan tetap mingguan ataupun bulanan, setiap dana yang diperlukan untuk biaya Upacara keagamaan tidaklah diminta secara paksa, tetapi menurut kesanggupan dari para pengikutnya, bahkan jika mereka tidak sanggup sebaliknya mereka akan mendapat santunan dari Ugamo Malim, dan dana santunan tersebut berasal dari dana Ugasa Torop Parmalim ( harta bersama pengikut Parmalim ), dimana dana ini sewaktu-waktu dapat digunakan oleh pengikut Parmalim lainnya yang kebetulan membutuhkan bantuan dana untuk keperluan hidupnya.

Untuk dapat mengetahui penjelasan lebih lanjut mengenai kehidupan social pengikut Parmalimdi tanah batak, maka dibawah ini penulis akan membahas tentang kehidupan Pengikut Parmalim dan adat yang mereka pertahankan sampai saat ini sehingga mereka bisa tetap mempertahankan kepercayaan mereka hingga sampai saat ini, dibawah ini penulis akan melanjutkan kembali mengenai struktur organisasi pada pengikut Parmalim, parmalim sebagai masyarakat minoritas di tanah batak, komunitas pengikut kepercayaan Ugamo


(59)

Malim, solidaritas diantara pengikut Ugamo Malim, perayaan upacara Sipaha Lima Pada Parmalim. Melalui pembahasan berikut maka kita akan dapat melihat bagaimana seluruh pengikut Ugamo Malim dapat mempertahankan kepercayaan mereka sampai saat ini ditengah-tengah Agama lain yang sudah berkembang, melalui Upacara Sipaha Lima yang merupakan bentuk ungkapan syukur pengikut Ugamo Malim tersebut.

2.2.1 Struktur Organisasi Pada Parmalim

Dalam sebuah Agama maupun kepercayaan tradisional akan selalu memiliki pemimpin dan pemimpin akan memperoleh tempat yang paling tinggi dan sangat di hormati, dalam masyarakat tradisional ada beberapa cara untuk memilih seorang pemimpin yaitu berdasarkan garis keturunan, kemampuan didalam memimpin, dan atas rekomendasi dari masyarakat setempat.

Dalam kehidupan masyarakat Sakai di Riau seorang raja adalah pemimpin bagi Suku Sakai yaitu Raja Siak seorang penguasa tertinggi yang dikenal dan di akui di dalam kehidupan suku Sakai. Segala peraturan dan ketentuan yang dikeluarkan dan diberlakukan oleh Raja Siak adalah sesuatu yang tidak dapat di tawar-tawar lagi, suatu kehormatan dan sesuatu yang suci ( Parsudi Suparlan 1995; 212 ).

Pemimpin yang memperoleh pengesahan resmi atau keabsahan mempunyai wewenang untuk menjadi pemimpin yang resmi, dalam masyarakat tradisional prosedur itu biasanya berupa serangkaian upacara yang dilambangkan oleh pengesahan daripada roh nenek moyang dan para dewa. Seorang pemuka agama atau pendetaadalah seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat yang


(1)

Munthe. Pdt. R. T. MTH

2007 Abstraksi Pelayanan DR. Ingwer Ludwig Nomensen di Tanah Batak. Napak Tilas Perjalanan DR. I.L. Nomensen di Tanak Batak Tahun 2007

Moleong, Lexy,J

2006 Metodologi Penelitian Kualitatif edisi revisi. Penerbit PT. Remaja Rosdakarya. Bandung Oflin, Neni Cori

1993 Solidaritas social suku Sakai (suatu kajian Antropologi masyarakat terasing yang telah dimukimkan di PMT. Pematang Pudu, Kab. Bengkalis Propinsi Riau) skripsi tidak diterbitkan.

Rajamarpodang, Gultom. Drs.

1992 Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak. CV. Armanda. Medan

Suparlan, Parsudi

1995 Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Situmorang, Sitor

2004 Toba Na Sae, Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX. Yayasan Komunitas Bambu. Jakarta

Salim, Warsani. S.H

1978 Pengantar Antropologi Budaya. Penerbitan Fakultas Hukum USU. Medan

Tambunan. E. H

1982 Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya. Sebagai Sarana


(2)

Widyasusanto, Laurent. Drs.

1996 Panduan belajar Antropologi untuk SMU-SMK. Penerbit PT. Pradnya Paramita. Jakarta

1 Harian Kompas 18 Juli 2008 SUMBER LAIN:

2 http://

3

4

7

http://gubugbudaya.wordpress.com/2007/06/08/artikel-27-iccpr-hak-minoritas-di-indonesia/


(3)

ISTILAH-ISTILAH DALAM BAHASA BATAK

Ama : Bapak-Bapak

Aek Pangurasan : Air Pembersihan Atau Air Yang Digunakan Untuk Membersihkan Umat, Air Tersebut Terbuat Dari Jeruk Purut Dan Air Putih

Bale Partonggoan : Rumah Atau Bangunan Tempat Umat Parmalim Di Pusat

Bale Pasigit : Tempat Asal Nuasal Suatu Kepercayaan Atau Pusat

Bane-Bane : Bunga-Bunga Yang Disatukan Untuk Digunakan Sebagai Pemercik Dari Aek Pangurasan Dan Dapat Digantungkan Di Dinding Rumah

Bonang Manalu : 3 Warna Benang Yang Disatukan Yaitu Merah, Hitam, Dan Putih

Bale Parpitaan : Tempat Persembahan Atau Pelean Di Doakan Sebelum Dinaikkan Ke Dalam Longgatan

Bale Parhobasan : Tempat Mempersiapkan Atau Memasak Bahan Pelean

Bale Pengobatan : Sebuah Klinik Yang Ada Di Huta Parmalim

Borotan : Pohon Untuk Mengikat Kerbau

Batu Siungkapon : Tempat Pemotongan Kerbau Yang Dibuat Secara Khusus

Debata Mulajadi Na Bolon : Tuhan Atau Allah

Dekke : Ikan

Demban : Sirih

Gondang Sabangunan : Alat Musik Yang Ada Pada Masyarakat Batak


(4)

Huta : Perkampungan Atau Kampung Yang Dihuni Oleh Beberapa Orang Yang Masih 1 Keturunan

Harajaon : Kerajaan

Horja Bius : Pesta Raktyat

Habonaran : Kebenaran

Horbo : Kerbau

Hembang : Bendera

Hamalimon : Kesucian, Kebersihan

Ihutan : Pemimpin Tertinggi Pada Kepercayaan Parmalim

Ina : Ibu-Ibu

Junjungan : Atasan

Longgatan : Tempat Pelean Yang Terdiri Dari 3 Tempat

Malim : Suci, Bersih

Marari Sabtu : Ibadah Yang Dilakukan Umat Parmalim Tiap Hari Sabtu

Malim Ni Debata : Malim Pilihan Tuhan

Maningahon : Menyampaikan

Marsomba : Menyembah

Mangan : Makan

Margoar-Goar : Pemberian Nama

Mombang : Tempat Pelean Yang Ada Pada Longgatan Yang Bagian Tengah Sebagai Tempat Pelean Untuk Debata Mulajadi Na Bolon

Manuk : Ayam

Mare-Mare : Hiasan Yang Dibuat Pada Kerbau, Borotan, Dan Longgatan

Mangalahat : Mempersiapkan, Mangalahat Horbo Yaitu Persiapan Kerbau Persembahan Mulai Dari Mengeluarkan Kerbau Dari Kandang,


(5)

Mengikat Kerbau Ke Borotan, Hingga Pemotongan Kerbau Di Batu Siungkapon

Manortor : Menari

Mauliate : Terima Kasih

Manggohi : Memenuhi Atau Penutupan

Nabontar : Putih

Naposo : Muda Mudi

Na Torop : Orang Tua

Parmalim : Orang Yang Mengikuti Ajaran Ugamo Malim

Parsolamon : Pembatasan Diri Dari Bertindak Dan Menikmati Hal Duniawi

Poda : Nasihat

Parpunguan : Perkumpulan

Patik : Perintah

Pelean : Persembahan

Parsahadaton : Pengakuan Atau Pernyataan Parbanua Ginjang : Penguasa Langit

Parbanua Tonga : Penguasa Bumi Parbanua Toru : Penguasa Tanah

Parhobas : Orang-Orang Yang Mempersiapkan

Bahan-Bahan Pelean Atau Upacara

Paniaran : Yang Diutamakan

Pasahaton : Menyampaikan Atau Penyampaian

Rumah Parsantian : Tempat Ibadah Umat Parmalim Di Cabang Atau Daerah

Sipaha : Bulan

Sada : Satu

Suhi Ni Ampang Na Opat : 4 Sudut Yang Ada Pada Bakul Sipelebegu : Pemuja Hantu Atau Makhluk Halus


(6)

Tor-Tor : Tarian Pada Etnis Batak

Ulu Punguan : Pemimpin Di Cabang Pada Kepercayaan Parmalim

Ugamo : Agama

Uhum : Hukum


Dokumen yang terkait

Studi Deskriptif Dan Musikologis Gondang Sabangunan Dalam Upacara Mardebata Pada Masyarakat Parmalim Hutatinggi-Laguboti Di Desa Siregar Kecamatan Lumban Julu Kabupaten Toba Samosir

3 39 117

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP PARMALIM DI DESA HUTATINGGI KECAMATAN LAGUBOTI KABUPATEN TOBA SAMOSIR

0 11 69

Relasi Parmalim dengan Agama yang Diakui dan Dilayani oleh Negara ( Studi Pada Aliran Kepercayaan Parmalim di Desa Saornauli Hatoguan,Kecamatan Palipi, Kabupaten Samosir )

0 28 115

PANDANGAN HIDUP PARMALIM DI DESA HUTATINGGI KECAMATAN LAGUBOTI KABUPATEN TOBA SAMOSIR.

2 13 20

Relasi Parmalim dengan Agama yang Diakui dan Dilayani oleh Negara ( Studi Pada Aliran Kepercayaan Parmalim di Desa Saornauli Hatoguan,Kecamatan Palipi, Kabupaten Samosir )

0 0 8

Relasi Parmalim dengan Agama yang Diakui dan Dilayani oleh Negara ( Studi Pada Aliran Kepercayaan Parmalim di Desa Saornauli Hatoguan,Kecamatan Palipi, Kabupaten Samosir )

0 0 1

Relasi Parmalim dengan Agama yang Diakui dan Dilayani oleh Negara ( Studi Pada Aliran Kepercayaan Parmalim di Desa Saornauli Hatoguan,Kecamatan Palipi, Kabupaten Samosir )

0 0 14

Relasi Parmalim dengan Agama yang Diakui dan Dilayani oleh Negara ( Studi Pada Aliran Kepercayaan Parmalim di Desa Saornauli Hatoguan,Kecamatan Palipi, Kabupaten Samosir )

0 1 16

Relasi Parmalim dengan Agama yang Diakui dan Dilayani oleh Negara ( Studi Pada Aliran Kepercayaan Parmalim di Desa Saornauli Hatoguan,Kecamatan Palipi, Kabupaten Samosir )

0 0 3

PENGGUNAAN TANAMAN AREN PADA UPACARA SIPAHA LIMA MASYARAKAT PARMALIM The Use of Palm Trees at The Ceremony Sipaha Lima Parmalim Communities

0 0 5