7
membaca beberapa literatur. Bahwa sebelumnya sudah terdapat penelitian yang sejenis di Universitas Udayana yaitu :
No Penulis
Judul Masalah
1. Alfitra
Pangenyori, 2015
Tanggung Jawab Perusahaan Angkutan
Bus Terhadap Kecelakaan
Penumpang Tidak Resmi Dalam
Angkutan Bus Antar Kota Antar Provinsi :
Studi Pada P.O Restu Mulya Denpasar
1. Bagaimanakah pengawasan
pihak perusahaan angkutan terhadap awak bus yang
menaikkan penumpang
tidak resmi ? 2.
Bagaimanakah tanggung
jawab perusahaan angkutan bus
apabila terjadi
kecelakaan terhadap
penumpang tidak resmi ?
2. I Putu
Ananta Wijaya,
2015 Tanggung Jawab
Pengangkut Terhadap Kecelakaan
Penumpang Angkutan Umum Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan
Jalan 1.
Bagaimanakah bentuk
pengaturan pengangkutan
penumpang umum yang menurunkan
penumpang tidak sesuai dengan izin
trayek ? 2.
Bagaimanakah tanggung
jawab dalam hal terjadinya kecelakaan lalu lintas pada
angkutan umum
yang menurunkan penumpang di
tempat yang
tidak seharusnya
akibat permintaan
penumpang sendiri
1.5. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan ini secara garis besarnya dapat diperinci sebagai berikut.
a. Tujuan umum.
- Untuk mengetahui tentang bagaimana tanggung jawab pengangkut
terhadap keselamatan penumpang kapal wisata dalam hal terjadinya kecelakaan.
8
- Untuk mengetahui tentang bagaimana pemberian ganti kerugian
kepada penumpang kapal wisata akibat terjadinya kecelakaan. b.
Tujuan khusus. -
Untuk memahami tentang bagaimana tanggung jawab pengangkut terhadap keselamatan penumpang kapal wisata dalam hal terjadinya
kecelakaan. -
Untuk memahami tentang bagaimana pemberian ganti kerugian kepada penumpang kapal wisata akibat terjadinya kecelakaan.
1.6. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Manfaat teoritis.
Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan dalam pengembangan ilmu hukum khususnya yang berkaitan
dengan masalah pertanggung jawaban terhadap kerugian yang dialami penumpang kapal.
b. Manfaat praktis.
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan mampu mengetahui lebih jauh mengenai bagaimana kesesuaian antara teori yang telah diperoleh di
bangku kuliah dengan kenyataan yang terjadi di lapangan serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah penulisan skripsi
ini.
9
1.7. Landasan Teoritis
Pengangkutan merupakan kegiatan memindahkan barang atau commodity of goods dan penumpang dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga pengangkut
menghasilkan jasa angkutan atau produksi jasa bagi masyarakat yang membutuhkan
untuk pemindahan
atau pengiriman
barang-barangnya.
6
Pengangkutan berasal
dari suatu
perjanjian pengangkutan.
Perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil antara pengangkut
dan penumpang dan memiliki timbal balik antara pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Pengangkut berjanji untuk mengangkut penumpang serta barang-
barang bawaannya ke tempat tujuan dan penumpang berkewajiban untuk membayar biaya-biaya pengangkutan.
Konsep dari pengangkutan meliputi tiga aspek, yaitu sebagai berikut. 1.
Pengangkutan sebagai usaha business, 2.
Pengangkutan sebagai perjanjian agreement, dan 3.
Pengangkutan sebagai proses penerapan applying process. Ketiga aspek pengangkutan tersebut menyatakan kegiatan yang berakhir
dengan pencapaian tujuan pengangkutan. Tujuan kegiatan usaha pengangkutan adalah memperoleh keuntungan danatau laba, tujuan kegiatan perjanjian
pengangkutan adalah memperoleh hasil realisasi yang diinginkan oleh pihak- pihak, dan tujuan kegiatan pelaksanaan pengangkutan adalah memperoleh
keuntungan dan tiba dengan selamat di tempat tujuan.
7
6
Soegijatna Tjakranegara, 1995, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Rineka Cipta, Jakarta, h.1.
7
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h.1.
10
Kegiatan memindahkan tersebut dapat dibedakan ke dalam dua pengertian, yaitu :
1. dalam arti luas, menyangkut :
a. memuat penumpang ataupun barang ke dalam alat pengangkut
b. membawa apa yang diangkut ke tempat tujuan
c. menurunkan penumpang atau membongkar barang di tempat tujuan.
2. sedangkan dalam arti sempit meliputi pemindahan barang atau
penumpang dari terminal apabila melalui jalur darat, dari pelabuhan apabila menggunakan jalur laut, dan bandara apabila menggunakan
jalur udara ke tempat tujuan.
8
Subjek hukum dari pengangkutan terdiri dari pengangkut, pengirim, penumpang, penerima, ekspeditur, pengatur muatan, pengusaha pergudangan.
Penumpang selalu berupa manusia pribadi dapat berfungsi ganda yaitu sebagai subjek sekaligus objek pengangkutan. Sedangkan objek perjanjian pengangkutan
adalah apa yang diangkut muatan barang dan penumpang, biaya pengangkutan dan alat pengangkutan.
Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut danatau memindahkan penumpang danatau barang dengan menggunakan kapal.
Berdasarkan Undang- Undang Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008 Pasal 6, bahwa Jenis-jenis angkutan di
Perairan terdiri atas 3 tiga jenis, yaitu : 1.
angkutan laut
8
Lestari Ningrum, 2004, Usaha Perjalanan Wisata Dalam Perspektif Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 134.
11
angkutan laut adalah kegiatan angkutan yang menurut kegiatannya melayani kegiatan angkutan laut.
2. angkutan sungai dan danau
angkutan sungai dan danau adalah kegiatan angkutan dengan menggunakan kapal yang dilakukan di sungai, danau, waduk, rawa,
banjir kanal, dan terusan untuk mengangkut penumpang dan atau barang yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan sungai dan
danau. 3.
angkutan penyeberangan Angkutan Penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai
jembatan yang menghubungkan jaringan jalan danatau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang
dan kendaraan beserta muatannya. Jenis Angkutan Laut, berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Pelayaran
Nomor 17 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang angkutan perairan, terdiri atas 4 jenis yaitu sebagai berikut.
1. Angkutan laut dalam negeri
2. Angkutan laut luar negeri
3. Angkutan laut khusus
4. Angkutan laut pelayaran rakyat
Dalam penyelenggaraan pengangkutan sebelumnya harus ada perjanjian pengangkutan antara pengangkut dan penumpang. Suatu perjanjian merupakan
suatu peristiwa di mana seorang berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Perjanjian
12
merupakan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan di mana untuk terjadinya atau lenyapnya hukum atau hubungan hukum sebagai akibat yang
dikehendaki oleh perbuatan orang atau orang-orang itu.
9
Istilah perjanjian ini sama dengan kontrak. Subekti mendefinisikan kontrak sebagai peristiwa di mana
seseorang berjanji kepada orang lain di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
10
Suatu perjanjian dianggap sah apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4
empat syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu sebagai berikut. 1.
Adanya kata sepakat Supaya kontrak menjadi sah maka para pihak harus sepakat terhadap
segala hal yang terdapat di dalam perjanjian.
11
Pada dasarnya kata sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak
di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang
disepakati.
12
2. Kecakapan untuk membuat perikatan
Dalam pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-
undang dinyatakan tidak cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan
9
Purwahid, 1994, Pengertian Perjanjian, Rineka Cipta, Jakarta, h. 47.
10
Subekti, 1984, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h. 36.
11
Sudargo Gautama, 1995, Indonesian Business Law, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 76.
12
J. Satrio, 1955, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 164.
13
bahwa ada beberapa orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yaitu orang yang belum dewasa persons under 21 years of age,
mereka yang
ditaruh di
bawah pengampuan
curatele or
conservatorship dan perempuan yang sudah menikah. Berdasarkan Pasal 1330 KUHPerdata, seseorang dianggap dewasa jika dia telah
berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah. 3.
Suatu hal tertentu Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu
een bepaald onderwerp, suatu hal tertentu adalah hal bisa ditentukan jenisnya determinable.
13
4. Kausa hukum yang halal
Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum yang halal. Jika objek dalam perjanjian itu illegal, atau bertentangan
dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian untuk membunuh
seseorang mempunyai objek tujuan yang illegal, maka kontrak ini tidak sah.
14
Ada asas-asas hukum perjanjian yang penting untuk diketahui dalam rangka memahami hukum perjanjian pada umumnya. Dari asas-asas perjanjian tersebut,
terdapat asas-asas yang berlaku pada saat mengadakan perjanjian dan ada yang berlaku pada saat setelah mengadakan perjanjian sebagai akibat dari perjanjian
13
Sudargo Gautama, op.cit, h. 79.
14
Sudargo Gautama, op.cit, h. 80.
14
yang telah diadakan. Berikut ini ada 10 sepuluh asas hukum perjanjian yang akan diuraikan, yaitu
15
1. asas kebebasan berkontrak, asas ini mengatur kebebasan para pihak
untuk menentukan sendiri kehendaknya dalam perjanjian. 2.
asas konsensualisme persesuaian kehendak, asas ini tercermin dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dan mengandung arti kemauan para pihak
untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu harus
dipenuhi. Grotius mencari dasar konsensus di dalam hukum kodrat, yaitu pada prinsip pacta sunt servanda janji itu mengikat, dan
selanjutnya dia juga menyatakan lagi “promissorum implentidorum
obligato” kita harus memenuhi janji kita, sehingga asas ini mempunyai pengertian yang sama dengan Pasal 1338 KUHPerdata
bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”. 3.
asas kepercayaan, dengan mengadakan perjanjian dengan pihak lain, akan menimbulkan kepercayaan di antara kedua belah pihak, di mana
satu dengan yang lain akan saling memegang janji, dan para pihak akan saling memenuhi prestasinya. Tanpa adanya kepercayaan, perjanjian
tidak mungkin terjadi. 4.
asas kekuatan mengikat, terikatnya para pihak tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, tetapi para pihak juga terikat
15
H. Djafar Al Bram, op.cit, h.7.
15
terhadap unsur-unsur lain yang dikehendaki oleh kebiasaan, kepatuhan, serta moral.
5. asas persamaan hukum, tidak membedakan warna kulit, bangsa, jabatan
maupun kekuasaan, mereka para pihak dalam perjanjian harus saling menghormati.
6. asas keseimbangan, asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan,
di mana meskipun kreditur mempunyai kedudukan yang lebih kuat, namun kreditur dibebani untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad
baik sehingga kedudukan kedua pihak seimbang. 7.
asas kepastian hukum, asas ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu sebagai undang-undang yang harus ditaati.
8. asas moral, orang melakukan perbuatan hukum harus didasari
kesusilaan atau moral yang merupakan panggilan hati nuraninya. 9.
asas kepatuhan, berkaitan dengan isi perjanjian yang dihubungkan dengan rasa keadilan dalam masyarakat.
10. asas kebiasaan, merupakan bagian dari perjanjian, sebab perjanjian
tidak hanya mengikat pada hal-hal yang nyata diperjanjikan, tetapi juga terikat pada hal-hal yang dalam keadaan atau kebiasaan yang lazim
diikuti. Artinya, perjanjian itu juga mengikat segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh keputusan, kebiasaan, dan
undang-undang.
16
Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu : a.
perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian.
b. perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan
kewajiban pada salah satu pihak saja. c.
perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi keuntungan bagi salah satu pihak saja.
d. perjanjian konsensuil, riil dan formil.
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian.
Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus diserahkan
Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan
bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT.
e. perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian
bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku III Bab V sampai dengan Bab XVIII.
Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur
17
secara khusus dalam undang-undang. Misalnya perjanjian Leasing, perjanjian keagenan dan distributor, perjanjian kredit.
16
Hukum perjanjian menganut sistem terbuka atau sering disebut dengan asas kebebasan berkontrak freedom of contract laissez faire. Konarz Zwiegert dan
Hein Kotz berpendapat “freedom of contract has always had many meaning : freedom to select and enter contract of any amaginable type, the freedom to
decide whether to contract or not, and the freedom of Beach contractor to fix terms of his own promise, subject to the agreement of the other party
”.
17
Kebebasan berkontrak memiliki banyak makna : kebebasan untuk memilih atau bergabung dalam segala jenis perjanjian, kebebasan dalam memilih untuk
menerima perjanjian atau tidak, dan kebebasan para pihak dalam menentukan isi kontrak.
Kebebasan berkontrak tetap memiliki pembatasan. Batasannya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan suatu sebab terlarang
apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Selain itu dibatasi juga oleh Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, dimana tiap perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Jadi tanpa adanya itikad baik perjanjian dapat batal demi hukum.
Pengangkutan perairan dengan kapal diadakan berdasarkan perjanjian antara perusahaan pengangkutan perairan dan penumpang atau pemilik barang.
18
Karcis penumpang dan dokumen pengangkutan merupakan tanda bukti telah terjadi
16
Sutarno, 2003, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, h. 82.
17
Konarz Zwiegert and Hein Kotz, 1987, Introduction to Comparative Law, Clarendon Press, Oxford, h. 13.
18
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 11.
18
perjanjian pengangkutan antara perusahaan pengangkutan perairan dan penumpang atau pemilik barang dengan pembayaran biaya pengangkutan.
19
Keselamatan penumpang merupakan tanggung jawab pengangkut. Pengangkut perlu juga mencantumkan pada dokumen pengangkutan atau dalam
perjanjian pengangkutan bahwa pengangkut wajib : a.
menjaga keselamatan barang yang diangkut sejak penerimaan sampai saat penyerahannya
b. menjaga keselamatan penumpang sejak saat naik ke kapal sampai saat
turun dari kapal.
20
Mengenai kewajiban pengangkut untuk menjaga keselamatan dan keamanan dari penumpang diatur dalam Pasal 522 KUHD ayat 1 “perjanjian untuk
mengangkut mewajibkan pengangkut untuk menjaga keamanan penumpang dari saat naik sampai saat turun dari kapal”. Dalam ayat 2 juga disebutkan
“pengangkut wajib mengganti kerugian yang disebabkan oleh cedera yang menimpa penumpang berkenaan dengan pengangkutan, kecuali ia dapat
membuktikan, bahwa cedera itu adalah akibat dari suatu peristiwa yang layaknya tidak dapat dicegah atau dihindari atau akibat kesalahan penumpang sendiri.”
Tanggung Jawab secara harfiah dapat diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan,
diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi menerima pembebanan sebagai
19
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 183.
20
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 184.
19
akibat sikapnya oleh pihak lain.
21
Menurut Sugeng Istanto, pertanggungjawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas semua
hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya.
22
Ganti rugi sendiri merupakan bentuk pemenuhan hak kepada pihak yang telah dirugikan oleh pihak lainnya yang telah melakukan kesalahan atau pun
kelalaian sehingga menyebabkan kerugian pada pihak tersebut. Ganti rugi sendiri timbul karena ada sebab, sebab-sebab tersebut antara lain adalah :
a. ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. Ganti rugi macam ini
disimpulkan dari Pasal 1365 KUHPerdata yang membebankan ganti rugi kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang
dirugikan. Ganti rugi ini muncul karena adanya kesalahan. b.
ganti rugi yang disebabkan karena wanprestasi. Di mana dalam hal ini salah satu pihak telah melakukan wanprestasi atau tidak melakukan hal
yang sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama. Pembebanan ganti rugi ini harus melalui proses somasi. Ganti rugi ini
muncul karena adanya perjanjian dan didasarkan pada Pasal 1243 KUHPerdata.
Hukum pengangkutan mengenal tiga prinsip tanggung jawab, yaitu tanggung jawab karena kesalahan fault liability, tanggung jawab karena praduga
presumption liability, dan tanggung jawab mutlak absolut liability.
21
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 1006.
22
F. Soegeng Istanto, 1994, Hukum Internasional, UAJ Yogyakarta, Yogyakarta, h. 77.
20
Hukum pengangkutan Indonesia umumnya menganut prinsip tanggung jawab karena kesalahan dan karena praduga. Tanggung jawab karena kesalahan di
mana setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar segala kerugian yang timbul
akibat kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan, bukan
pada pengangkut. Prinsip ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata Indonesia tentang perbuatan melawan hukum illegal act sebagai aturan umum general
rule.
23
Menurut prinsip tanggung jawab praduga pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari pengangkutan yang
diselenggarakannya. Akan tetapi, jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti kerugian
itu. Tidak bersalah artinya tidak melakukan kelalaian, telah berupaya melakukan tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian atau peristiwa yang
menimbulkan kerugian itu tidak mungkin dihindari. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian yang diderita dalam
pengangkutan yang diselenggarakan pengangkut.
24
Prinsip ini dapat dijumpai dalam Undang-Undang Pelayaran Indonesia. Perusahaan pengangkutan perairan bertanggung jawab atas akibat yang
ditimbulkan oleh pengoperasian kapalnya berupa :
23
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 49.
24
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 54.
21
a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut selama dalam
pengangkutan dan terjadi di dalam kapal danatau kecelakaan pada saat naik ke atau turun dari kapal, sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku. b.
musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut sesuai dengan perjanjian pengangkutan dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. c.
keterlambatan pengangkutan penumpang danatau barang yang diangkut meliputi antara lain, memberikan pelayanan dalam batas-batas
kelayakan sesuai dengan kemampuan perusahaan perairan kepada penumpang selama menunggu keberangkatan dalam hal terjadi
keterlambatan keberangkatan
karena kelalaian
perusahaan pengangkutan tersebut mengingat perusahaan pengangkutan perairan
yang masih tergolong usaha ekonomi lemah. d.
kerugian pihak ketiga yaitu orang atau badan hukum yang tidak ada kaitannya dengan pengoperasian kapal, tetapi meninggal atau luka atau
menderita kerugian akibat pengoperasian kapal.
25
Prinsip tanggung jawab mutlak absolute liability, yaitu menurut prinsip ini pengangkut harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian terhadap setiap
kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut.
26
25
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 52.
26
Wiradipraja Saefullah, 1989, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkut Udara Internasional Dan Nasional, Liberty, Yogyakarta, h. 19.
22
Cara membedakan prinsip-prinsip tanggung jawab tersebut di atas pada dasarnya diletakkan pada masalah pembuktian, yaitu mengenai ada tidaknya
kewajiban pembuktian, dan kepada siapa beban pembuktian diletakkan dalam proses penuntutan.
27
1.8.Metode Penelitian
1.8.1. Jenis penelitian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum empiris yaitu suatu penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dengan
fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Dalam penelitian hukum empiris digunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder dalam penelitian
hukum empiris merupakan bahan hukum. Data sekunder tersebut di atas digunakan sebagai data awal dan kemudian secara terus menerus digunakan
dengan data primer. Setelah data primer diperoleh dari penelitian di lapangan, kedua data tersebut digabung, ditelaah dan dianalisis.
1.8.2. Jenis pendekatan.
Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini yaitu Pendekatan Perundang-undangan The Statute Approach, Pendekatan Fakta
The Fact Approach dan Pendekatan Analisis Konsep Hukum Analitical Conseptual Aproach.
Pendekatan Perundang-undangan The Statute Approach yaitu pendekatan berdasarkan pada teori-teori hukum dan peraturan perundang-
27
Ridwan Khairandy et. al., 1999, Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, cet. I, Gama Media, Yogyakarta, h. 202.
23
undangan yang berlaku, yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas.
Pendekatan Fakta The Fact Approach yaitu pendekatan yang didasarkan pada fakta-fakta yang terjadi di lapangan yang ada kaitannya
dengan permasalahan yang akan dibahas. Pendekatan Analisis Konsep Hukum Analitical Conseptual
Aproach yaitu pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.
1.8.3. Sifat penelitian.
Sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-
sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain
dalam masyarakat. Dalam penulisan ini tidak digunakan hipotesis karena teori- teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat baik
dalam literatur maupun jurnal, doktrin, serta laporan penelitian terdahulu sudah cukup memadai.
1.8.4. Sumber data.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari dua sumber, yaitu : 1.
data primer Data primer ini bersumber dari penelitian lapangan yang diperoleh
langsung dari PT. Wahana Gili Ocean Fast Boat. 2.
data sekunder
24
Data sekunder ini diperoleh melalui penelitian bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti bahan-bahan
kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur, majalah serta surat kabar.
1.8.5. Teknik pengumpulan data.
Dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan studi dokumen. Untuk memperoleh data primer yaitu dengan cara melakukan
wawancara langsung kepada pihak-pihak informan secara langsung. Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim
digunakan dalam penelitian hukum empiris. Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada yang diwawancarai.
28
Sedangkan untuk memperoleh data sekunder yaitu dilakukan dengan teknik studi dokumen atau bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan
penelitian. Terhadap bahan-bahan hukum tersebut dilakukan suatu studi kepustakaan dengan cara mengumpulkan, membaca, mencatat, menelaah,
mengkaji dan menganalisa dari buku-buku literatur yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang ada.
1.8.6. Teknik pengolahan dan analisis.
Teknik analisa data yang digunakan oleh peneliti di sini adalah dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, di mana keseluruhan data
yang terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder, akan diolah dan dianalisa dengan menguraikan dan memaparkannya secara jelas dan menyusun
28
Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 57.
25
secara sistematis, dihubungkan antara data satu dengan lainnya kemudian data
tersebut dikaitkan dengan teori dan peraturan yang berlaku.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN