TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT TERHADAP KERUGIAN PENUMPANG KAPAL WISATA AKIBAT TERJADINYA KECELAKAAN : STUDI PADA PT. WAHANA GILI OCEAN FAST BOAT DI KLUNGKUNG.

(1)

i

SKRIPSI

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT TERHADAP

KERUGIAN PENUMPANG KAPAL WISATA AKIBAT

TERJADINYA KECELAKAAN : STUDI PADA PT.

WAHANA GILI OCEAN FAST BOAT DI

KLUNGKUNG

NI KOMANG NOPITAYUNI NIM. 1203005101

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT TERHADAP

KERUGIAN PENUMPANG KAPAL WISATA AKIBAT

TERJADINYA KECELAKAAN : STUDI PADA PT.

WAHANA GILI OCEAN FAST BOAT DI

KLUNGKUNG

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

NI KOMANG NOPITAYUNI NIM. 1203005101

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas berkat, rahmat, dan anugerah-nya, penyusunan skripsi yang berjudul “Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Kerugian Penumpang Kapal Wisata Akibat Terjadinya Kecelakaan : Studi Pada PT. Wahana Gili Ocean Fast Boat di Klungkung” dapat diselesaikan dengan baik.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, karena masih terdapat kekurangan yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan serta penalaman yang penulis miliki. Karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini banyak mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerja sama, dukungan dari berbagai pihak dan penyertaan Tuhan sehingga kendala-kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.Hum, Dekan Fakultas Hukum

Universitas Udayana

2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana

3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana


(6)

vi

4. Bapak Dr. I Gede Yusa, SH.,MH, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana

5. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, SH.,MH, Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana

6. Bapak Ngakan Ketut Dunia, SH.,M.Hum, Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan sehingga terselesaikannya penulisan skripsi ini 7. Bapak I Made Pujawan, SH.,MH, Dosen Pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan sehingga terselesaikannya penulisan skripsi ini 8. Ibu Dr. Ni Nyoman Sukerti, SH.,MH, Dosen Pembimbing Akademik yang

telah memberikan dorongan, semangat dan arahan selama penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana

9. Seluruh dosen, staf tata usaha dan staf perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah tulus memberikan bantuan serta petunjuk selama penulis mengikuti perkuliahan maupun penyusunan skripsi ini.

10. Ibu Luh Gede Ariningsih dari PT. Wahana Gili Ocean atas kesediaannya sebagai informan dalam pelaksanaan penelitian sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

11. Kedua orang tua penulis, I Nengah Reni dan Ni Wayan Merdani. Terima kasih atas segenap cinta dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis serta dorongan, semangat, bantuan dan doa untuk keberhasilan penulis. 12. Bapak I Made Raneh yang telah bersedia memberikan informasi kepada


(7)

vii

13. I Gst Ayu Dwi Andari jati, Desika Putri, Wulan Wiryantari Dewi, Tenry Iryma Leoza, Dwi Indah Cahyanti, Ary Wahyundari, terima kasih atas bantuan, semangat dan dukungannya. Penulis bersyukur memiliki sahabat dan orang-orang yang selalu ada untuk membantu, memberikan semangat, dukungan dan memiliki rasa solidaritas yang tinggi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

14. Seluruh angkatan 2012 dan teman-teman sekalian yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dan mendukung penulis.

Akhir kata semoga skripsi ini dapat berguna bagi para pembaca dan tidak lupa penulis meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

Denpasar, 11 April 2016


(8)

(9)

ix

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suat perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 11 April 2016 Yang Menyatakan,


(10)

x

NIM. 1203005101

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL. ... i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM. ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING. ...iii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI. ...iv

KATA PENGANTAR. ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN. ... viii

DAFTAR ISI. ...ix

ABSTRAK. ... .xii

ABSTRACT. ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah. ... 1

1.2.Rumusan Masalah. ... 6

1.3.Ruang Lingkup Masalah. ... 6


(11)

xi

1.5.Tujuan Penelitian... 7

a. Tujuan Umum. ... 7

b. Tujuan Khusus. ... 8

1.6.Manfaat Penelitian... 8

a. Manfaat Teoritis. ... 8

b. Manfaat Praktis. ... 8

1.7.Landasan Teoritis. ... 9

1.8.Metode Penelitian. ...22

1.8.1.Jenis Penelitian. ...22

1.8.2.Jenis Pendekatan. ...22

1.8.3.Sifat Penelitian. ... ...23

1.8.4.Sumber Data. ...23

1.8.5.Teknik Pengumpulan Data. ...24

1.8.6.Teknik Pengolahan dan Analisis ...24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN 2.1. Pengangkut 2.1.1. Pengertian Pengangkut. ...26

2.1.2. Syarat-Syarat Sebagai Pengangkut. ...27

2.1.3. Hak dan Kewajiban Pengangkut. ...28

2.2. Penumpang 2.2.1. Pengertian Penumpang. ...30

2.2.2. Kedudukan Hukum Penumpang. ...31


(12)

xii 2.3. Kecelakaan

2.3.1. Pengertian Kecelakaan. ...35 2.3.2. Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan. ...36

BAB III TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT TERHADAP KERUGIAN PENUMPANG KAPAL WISATA AKIBAT TERJADINYA KECELAKAAN

3.1. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Dalam Pengangkutan. ...38 3.2. Prinsip Tanggung Jawab Dalam Hal Terjadinya Kerugian

Penumpang Kapal Wisata ...44 3.3. Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Kerugian Penumpang

Akibat Terjadinya Kecelakaan. ...45

BAB IV GANTI RUGI TERHADAP PENUMPANG KAPAL WISATA AKIBAT TERJADINYA KECELAKAAN

4.1. Cara Menentukan Besarnya Ganti Rugi Akibat

Terjadinya Kecelakaan. ...51 4.2. Prosedur Pembayaran Besarnya Ganti Rugi Akibat

Terjadinya Kecelakaan. ...58

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan. ...60 5.2. Saran. ...61

DAFTAR PUSTAKA. ...62

DAFTAR RESPONDEN LAMPIRAN


(13)

xiii

ABSTRAK

PT. Wahana Gili Ocean merupakan perusahaan penyedia jasa angkutan kapal wisata, dalam terselenggaranya proses pengangkutan sering dijumpai permasalahan dari pihak penumpang berupa adanya kerugian penumpang yang ditimbulkan akibat pengoperasian kapal. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : (1) Bagaimanakah tanggung jawab pengangkut terhadap kerugian penumpang kapal wisata akibat terjadinya kecelakaan? (2) Bagaimanakah cara menentukan besarnya ganti kerugian kepada penumpang kapal wisata akibat terjadinya kecelakaan?

Dalam penulisan skripsi ini metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum empiris yaitu dengan mengkaji hukum tertulis dengan fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara yaitu dengan cara melakukan wawancara langsung kepada pihak-pihak informan secara langsung dan teknik studi dokumen berdasarkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian.

Hasil dari penelitian ini yaitu sebagai berikut : (1) tanggung jawab pengangkut pada PT. Wahana Gili Ocean terhadap kerugian penumpang apabila terjadi kecelakaan pada saat terselenggaranya proses pengangkutan yaitu dengan cara memberikan ganti rugi kepada penumpang selama kerugian yang ditimbulkan tersebut atas dasar kesalahan dari pihak pengangkut. Apabila pengangkut dapat membuktikan dirinya tidak bersalah maka pengangkut dibebaskan dari tanggung jawabnya. Hal ini sesuai dengan prinsip tanggung jawab karena praduga. (2) besarnya kecilnya ganti kerugian yang diberikan terhadap penumpang kapal wisata apabila terjadi kecelakaan kapal yaitu dilihat dari besar kecilnya kerugian penumpang yang ditimbulkan akibat terjadinya kecelakaan. Dalam menjaga keselamatan penumpang pengangkut diharapkan mampu meminimalisir terjadinya kecelakaan yang dapat menimbulkan kerugian terhadap penumpang.


(14)

(15)

xv

ABSTRACT

PT. Wahana Gili Ocean is a provider of transportation services travel ship, in the implementation process often encountered the problem of transporting the passengers in the form of their losses caused by the operation of passenger ships. Based on the above problems can be formulated as follows: (1) How is the responsibility of the carrier against the loss of the ship's passengers travel as a result of the accident ? (2) How do I determine the amount of compensation to passengers due to travel aboard the accident?

In writing this essay method used is the method of empirical legal research that is by reviewing the written law to the facts on the ground. Data collection techniques in this study using the interview technique is by doing interviews to the parties directly informants and engineering studies documents based on legal materials relevant to research problems.

The results of this study are as follows: (1) The responsibility of carrier PT. Wahana Gili Ocean to the loss of passengers in the event of an accident during the implementation process of the transport is by way of providing compensation to passengers for any losses incurred on the basis of fault on the part of the carrier. If the carrier can prove his innocence, the carrier released from responsibility. This is in accordance with the principle of presumption liability. (2) the amount of his compensation has been paid to passenger travel aboard ship when the accident occurred, namely in terms of the size of the passenger losses caused by the accident. In maintaining the safety of passenger transport is expected to minimize the occurrence of accidents that could cause harm to passengers.


(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pengangkutan atau sistem transportasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam memperlancar kegiatan lalu lintas perjalanan sehingga pengangkutan tersebut dijadikan sebagai suatu kebutuhan bagi kehidupan masyarakat sehari-hari. Seiring dengan perkembangan di bidang ilmu pengetahuan, di bidang teknologi, serta dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional kebutuhan masyarakat akan sarana transportasi ini juga mulai meningkat. Negara Indonesia merupakan negara Kepulauan yang di dalamnya terdapat berbagai macam daerah pariwisata sehingga banyak para wisatawan yang tertarik untuk datang menikmati daerah wisata tersebut. Mengingat hal tersebut sarana transportasi sangat diperlukan oleh masyarakat yang ingin berkunjung ke suatu tempat dalam hal ini dari satu pulau ke pulau lain, sehingga kini banyak terdapat penyedia jasa angkutan khususnya angkutan kapal laut. sarana pengangkutan sangat dibutuhkan bagi masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam melaksanakan aktifitasnya sehari-hari. Hal tersebut mengingat bahwa sering kali aktifitas terjadi di sentra-sentra tertentu.

Hal yang sangat mendasar dalam pengangkutan adalah adanya pengangkut dan penumpang atau pengguna jasa angkutan. Antara pengangkut dan penumpang terdapat hak dan kewajiban yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian pengangkutan di sini adalah persetujuan dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang


(17)

2

dan/atau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan penumpang atau pemilik barang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan. Dalam perjanjian pengangkutan selalu diadakan secara lisan, tetapi didukung oleh dokumen yang membuktikan bahwa perjanjian sudah terjadi dan mengikat.1

Suatu perjanjian merupakan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, ini terkandung dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur-unsur yaitu adanya perbuatan, dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih dan mengikatkan dirinya.

Pengangkutan sebagai perjanjian merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.2

Menurut Sution Usman Adji, bahwa pengangkutan adalah sebuah perjanjian timbal balik, dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari tempat tujuan tertentu dengan selamat tanpa berkurang jumlah dari barang yang dikirimkan, sedangkan pihak lainnya

1

Abdulkadir Muhammad, 2008, Hukum Pengangkutan Niaga, cet. IV, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 46.

2

H.M.N. Purwosutjipto, 1995, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta, h.2.


(18)

3

(pengirim atau penerima) berkeharusan memberikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut.3

Dalam perjanjian pengangkutan bukti adanya perjanjian pengangkutan yaitu biasanya dalam wujud surat angkutan berupa tiket penumpang. Surat angkutan ini bersifat mengikat pengangkut dan penumpang, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdata yaitu “semua persetujuan yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Kegiatan pengangkutan dalam hal ini khususnya pengangkutan laut tidak hanya bersifat hukum perdata tetapi juga hukum publik, karena di dalam perjanjian pengangkutan juga terkait tentang keselamatan pelayaran. Hukum pengangkutan menyangkut hukum perjanjian yang merupakan suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata, yang bersifat terbuka dan menganut asas atau prinsip konsensualitas, kebebasan berkontrak, serta juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disingkat KUHD). Tujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan di dalam istilah jual beli perusahaan, dalam arti perbuatan yang direncanakan lebih dulu tentang untung ruginya dan segala sesuatunya dicatat dalam pembukaan. Jual beli ini tidak untuk dikonsumsi sendiri tetapi untuk kepentingan perusahaan atau jabatannya dalam perusahaan itu.4

3

Sution Usman Adji, dkk, 1991, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Cet. II, Rinka Cipta, Jakarta, h. 26.

4

H. Djafar Al Bram, 2011, Pengantar Hukum Pengangkutan Laut (Buku I): Pengertian, Asas-Asas, Hak Dan Kewajiban Para Pihak, Cet. I, Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, h.1.


(19)

4

Secara umum dinyatakan bahwa setiap pengangkutan bertujuan untuk tiba di tempat tujuan dengan selamat dan meningkatkan nilai guna bagi penumpang ataupun barang yang diangkut. Tiba di tempat tujuan artinya proses pemindahan dari satu tempat ke tempat tujuan berlangsung tanpa hambatan dan kemacetan, sesuai dengan waktu yang direncanakan. Dengan selamat artinya penumpang dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya yang mengakibatkan luka, sakit atau meninggal dunia. Meningkatkan nilai guna artinya nilai sumber daya manusia dan barang di tempat tujuan menjadi lebih tinggi bagi kepentingan manusia dan pelaksanaan pembangunan.5

Dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang

Pelayaran menyatakan “perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab

terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang

diangkatnya.” kemudian dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 menyatakan perusahaan pengangkutan perairan bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan dalam pengoperasian kapal berupa :

a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut b. musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut

c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut atau

d. kerugian pihak ketiga.

5


(20)

5

Jika perusahaan pengangkutan perairan dapat membuktikan bahwa kerugian itu bukan disebabkan oleh kesalahannya maka dia dapat dibebaskan sebagian atau seluruh dari tanggung jawabnya. (Pasal 41 ayat (2)).

Menurut Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang

Pelayaran disebutkan “perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Ketentuan-ketentuan dalam pasal tersebut berlaku bagi semua kegiatan angkutan di perairan, dalam hal ini khususnya termasuk juga dalam kegiatan pengangkutan perairan menggunakan kapal wisata. Pengangkutan laut yang berwawasan pariwisata ini menjadi sorotan utama bagi wisatawan, mengingat hal tersebut sudah sepantasnya yang menjadi prioritas utama perusahaan pengangkutan di perairan khususnya dalam kegiatan pariwisata adalah keamanan dan keselamatan penumpang. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab banyaknya ada permasalahan dari pihak penumpang terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pengoperasian kapal. Seperti misalnya kasus tentang kecelakaan kapal yang mengakibatkan cedera hingga kematian penumpang, hilang atau rusaknya barang bawaan penumpang, maka dari itu perusahaan pengangkutan di perairan bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami penumpang yaitu keselamatan barang dan penumpang berupa kematian atau lukanya penumpang akibat pengoperasian kapal.


(21)

6

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dipilih judul dalam skripsi ini

yaitu “Tanggung Jawab Pengangkut terhadap kerugian penumpang kapal wisata akibat terjadinya kecelakaan : Studi Pada PT. Wahana Gili Ocean Fast Boat di

Klungkung ”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, pokok permasalahan yang dapat diangkat untuk selanjutnya diteliti dan dibahas yaitu sebagai berikut.

1. Bagaimanakah tanggung jawab pengangkut terhadap kerugian penumpang kapal wisata akibat terjadinya kecelakaan ?

2. Bagaimanakah cara menentukan besarnya ganti kerugian kepada penumpang kapal wisata akibat terjadinya kecelakaan ?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari penyimpangan serta pengumpulan data yang tidak diperlukan dalam penulisan serta agar nantinya penelitian yang dilaksanakan lebih mendalam maka ruang lingkup yang akan dibahas dibatasi pada.

1. Tanggung jawab pengangkut terhadap kerugian penumpang kapal wisata dalam hal terjadinya kecelakaan.

2. Cara menentukan besarnya ganti kerugian kepada penumpang kapal wisata akibat terjadinya kecelakaan.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Tanggung jawab pengangkut terhadap kerugian penumpang kapal wisata akibat terjadinya kecelakaan : Studi Pada PT. Wahana Gili Ocean Fast Boat di Klungkung, merupakan karya asli hasil pemikiran sendiri yaitu dari hasil


(22)

7

membaca beberapa literatur. Bahwa sebelumnya sudah terdapat penelitian yang sejenis di Universitas Udayana yaitu :

No Penulis Judul Masalah

1. Alfitra Pangenyori, 2015 Tanggung Jawab Perusahaan Angkutan Bus Terhadap Kecelakaan Penumpang Tidak Resmi Dalam Angkutan Bus Antar Kota Antar Provinsi : Studi Pada P.O Restu Mulya Denpasar

1. Bagaimanakah pengawasan pihak perusahaan angkutan terhadap awak bus yang menaikkan penumpang tidak resmi ?

2. Bagaimanakah tanggung jawab perusahaan angkutan bus apabila terjadi kecelakaan terhadap penumpang tidak resmi ?

2. I Putu Ananta Wijaya, 2015 Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Kecelakaan Penumpang Angkutan Umum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

1. Bagaimanakah bentuk pengaturan pengangkutan penumpang umum yang menurunkan penumpang tidak sesuai dengan izin trayek ?

2. Bagaimanakah tanggung jawab dalam hal terjadinya kecelakaan lalu lintas pada angkutan umum yang menurunkan penumpang di tempat yang tidak seharusnya akibat permintaan penumpang sendiri

1.5. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan ini secara garis besarnya dapat diperinci sebagai berikut.

a. Tujuan umum.

- Untuk mengetahui tentang bagaimana tanggung jawab pengangkut terhadap keselamatan penumpang kapal wisata dalam hal terjadinya kecelakaan.


(23)

8

- Untuk mengetahui tentang bagaimana pemberian ganti kerugian kepada penumpang kapal wisata akibat terjadinya kecelakaan.

b. Tujuan khusus.

- Untuk memahami tentang bagaimana tanggung jawab pengangkut terhadap keselamatan penumpang kapal wisata dalam hal terjadinya kecelakaan.

- Untuk memahami tentang bagaimana pemberian ganti kerugian kepada penumpang kapal wisata akibat terjadinya kecelakaan.

1.6. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Manfaat teoritis.

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan dalam pengembangan ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan masalah pertanggung jawaban terhadap kerugian yang dialami penumpang kapal.

b. Manfaat praktis.

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan mampu mengetahui lebih jauh mengenai bagaimana kesesuaian antara teori yang telah diperoleh di bangku kuliah dengan kenyataan yang terjadi di lapangan serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah penulisan skripsi ini.


(24)

9

1.7. Landasan Teoritis

Pengangkutan merupakan kegiatan memindahkan barang atau commodity of

goods dan penumpang dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga pengangkut

menghasilkan jasa angkutan atau produksi jasa bagi masyarakat yang membutuhkan untuk pemindahan atau pengiriman barang-barangnya.6 Pengangkutan berasal dari suatu perjanjian pengangkutan. Perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil antara pengangkut dan penumpang dan memiliki timbal balik antara pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Pengangkut berjanji untuk mengangkut penumpang serta barang-barang bawaannya ke tempat tujuan dan penumpang berkewajiban untuk membayar biaya-biaya pengangkutan.

Konsep dari pengangkutan meliputi tiga aspek, yaitu sebagai berikut. 1. Pengangkutan sebagai usaha (business),

2. Pengangkutan sebagai perjanjian (agreement), dan

3. Pengangkutan sebagai proses penerapan (applying process).

Ketiga aspek pengangkutan tersebut menyatakan kegiatan yang berakhir dengan pencapaian tujuan pengangkutan. Tujuan kegiatan usaha pengangkutan adalah memperoleh keuntungan dan/atau laba, tujuan kegiatan perjanjian pengangkutan adalah memperoleh hasil realisasi yang diinginkan oleh pihak-pihak, dan tujuan kegiatan pelaksanaan pengangkutan adalah memperoleh keuntungan dan tiba dengan selamat di tempat tujuan.7

6

Soegijatna Tjakranegara, 1995, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Rineka Cipta, Jakarta, h.1.

7


(25)

10

Kegiatan memindahkan tersebut dapat dibedakan ke dalam dua pengertian, yaitu :

1. dalam arti luas, menyangkut :

a. memuat penumpang ataupun barang ke dalam alat pengangkut b. membawa apa yang diangkut ke tempat tujuan

c. menurunkan penumpang atau membongkar barang di tempat tujuan. 2. sedangkan dalam arti sempit meliputi pemindahan barang atau

penumpang dari terminal (apabila melalui jalur darat), dari pelabuhan (apabila menggunakan jalur laut), dan bandara (apabila menggunakan jalur udara) ke tempat tujuan.8

Subjek hukum dari pengangkutan terdiri dari pengangkut, pengirim, penumpang, penerima, ekspeditur, pengatur muatan, pengusaha pergudangan. Penumpang selalu berupa manusia pribadi dapat berfungsi ganda yaitu sebagai subjek sekaligus objek pengangkutan. Sedangkan objek perjanjian pengangkutan adalah apa yang diangkut (muatan barang dan penumpang), biaya pengangkutan dan alat pengangkutan.

Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal. Berdasarkan Undang-Undang Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008 Pasal 6, bahwa Jenis-jenis angkutan di Perairan terdiri atas 3 (tiga) jenis, yaitu :

1. angkutan laut

8

Lestari Ningrum, 2004, Usaha Perjalanan Wisata Dalam Perspektif Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 134.


(26)

11

angkutan laut adalah kegiatan angkutan yang menurut kegiatannya melayani kegiatan angkutan laut.

2. angkutan sungai dan danau

angkutan sungai dan danau adalah kegiatan angkutan dengan menggunakan kapal yang dilakukan di sungai, danau, waduk, rawa, banjir kanal, dan terusan untuk mengangkut penumpang dan /atau barang yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan sungai dan danau.

3. angkutan penyeberangan

Angkutan Penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya.

Jenis Angkutan Laut, berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang angkutan perairan, terdiri atas 4 jenis yaitu sebagai berikut.

1. Angkutan laut dalam negeri 2. Angkutan laut luar negeri 3. Angkutan laut khusus

4. Angkutan laut pelayaran rakyat

Dalam penyelenggaraan pengangkutan sebelumnya harus ada perjanjian pengangkutan antara pengangkut dan penumpang. Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Perjanjian


(27)

12

merupakan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan di mana untuk terjadinya atau lenyapnya hukum atau hubungan hukum sebagai akibat yang dikehendaki oleh perbuatan orang atau orang-orang itu.9 Istilah perjanjian ini sama dengan kontrak. Subekti mendefinisikan kontrak sebagai peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.10

Suatu perjanjian dianggap sah apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu sebagai berikut.

1. Adanya kata sepakat

Supaya kontrak menjadi sah maka para pihak harus sepakat terhadap segala hal yang terdapat di dalam perjanjian.11 Pada dasarnya kata sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.12

2. Kecakapan untuk membuat perikatan

Dalam pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan

9

Purwahid, 1994, Pengertian Perjanjian, Rineka Cipta, Jakarta, h. 47. 10

Subekti, 1984, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h. 36. 11

Sudargo Gautama, 1995, Indonesian Business Law, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 76. 12

J. Satrio, 1955, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 164.


(28)

13

bahwa ada beberapa orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yaitu orang yang belum dewasa (persons under 21 years of age), mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele or

conservatorship) dan perempuan yang sudah menikah. Berdasarkan

Pasal 1330 KUHPerdata, seseorang dianggap dewasa jika dia telah berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah.

3. Suatu hal tertentu

Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu

(een bepaald onderwerp), suatu hal tertentu adalah hal bisa ditentukan

jenisnya (determinable).13 4. Kausa hukum yang halal

Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum yang halal. Jika objek dalam perjanjian itu illegal, atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian untuk membunuh seseorang mempunyai objek tujuan yang illegal, maka kontrak ini tidak sah.14

Ada asas-asas hukum perjanjian yang penting untuk diketahui dalam rangka memahami hukum perjanjian pada umumnya. Dari asas-asas perjanjian tersebut, terdapat asas-asas yang berlaku pada saat mengadakan perjanjian dan ada yang berlaku pada saat setelah mengadakan perjanjian sebagai akibat dari perjanjian

13

Sudargo Gautama, op.cit, h. 79. 14


(29)

14

yang telah diadakan. Berikut ini ada 10 (sepuluh) asas hukum perjanjian yang akan diuraikan, yaitu 15

1. asas kebebasan berkontrak, asas ini mengatur kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri kehendaknya dalam perjanjian.

2. asas konsensualisme (persesuaian kehendak), asas ini tercermin dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dan mengandung arti kemauan para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu harus dipenuhi. Grotius mencari dasar konsensus di dalam hukum kodrat, yaitu pada prinsip pacta sunt servanda (janji itu mengikat), dan selanjutnya dia juga menyatakan lagi “promissorum implentidorum

obligato” (kita harus memenuhi janji kita), sehingga asas ini

mempunyai pengertian yang sama dengan Pasal 1338 KUHPerdata

bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

3. asas kepercayaan, dengan mengadakan perjanjian dengan pihak lain, akan menimbulkan kepercayaan di antara kedua belah pihak, di mana satu dengan yang lain akan saling memegang janji, dan para pihak akan saling memenuhi prestasinya. Tanpa adanya kepercayaan, perjanjian tidak mungkin terjadi.

4. asas kekuatan mengikat, terikatnya para pihak tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, tetapi para pihak juga terikat

15


(30)

15

terhadap unsur-unsur lain yang dikehendaki oleh kebiasaan, kepatuhan, serta moral.

5. asas persamaan hukum, tidak membedakan warna kulit, bangsa, jabatan maupun kekuasaan, mereka para pihak dalam perjanjian harus saling menghormati.

6. asas keseimbangan, asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan, di mana meskipun kreditur mempunyai kedudukan yang lebih kuat, namun kreditur dibebani untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik sehingga kedudukan kedua pihak seimbang.

7. asas kepastian hukum, asas ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu sebagai undang-undang yang harus ditaati.

8. asas moral, orang melakukan perbuatan hukum harus didasari kesusilaan atau moral yang merupakan panggilan hati nuraninya.

9. asas kepatuhan, berkaitan dengan isi perjanjian yang dihubungkan dengan rasa keadilan dalam masyarakat.

10. asas kebiasaan, merupakan bagian dari perjanjian, sebab perjanjian tidak hanya mengikat pada hal-hal yang nyata diperjanjikan, tetapi juga terikat pada hal-hal yang dalam keadaan atau kebiasaan yang lazim diikuti. Artinya, perjanjian itu juga mengikat segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh keputusan, kebiasaan, dan undang-undang.


(31)

16

Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu : a. perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan

hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian.

b. perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu pihak saja.

c. perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi keuntungan bagi salah satu pihak saja.

d. perjanjian konsensuil, riil dan formil.

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian.

Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus diserahkan

Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

e. perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku III Bab V sampai dengan Bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur


(32)

17

secara khusus dalam undang-undang. Misalnya perjanjian Leasing, perjanjian keagenan dan distributor, perjanjian kredit.16

Hukum perjanjian menganut sistem terbuka atau sering disebut dengan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract / laissez faire). Konarz Zwiegert dan

Hein Kotz berpendapat “freedom of contract has always had many meaning : freedom to select and enter contract of any amaginable type, the freedom to decide whether to contract or not, and the freedom of Beach contractor to fix

terms of his own promise, subject to the agreement of the other party ”.17

(Kebebasan berkontrak memiliki banyak makna : kebebasan untuk memilih atau bergabung dalam segala jenis perjanjian, kebebasan dalam memilih untuk menerima perjanjian atau tidak, dan kebebasan para pihak dalam menentukan isi kontrak).

Kebebasan berkontrak tetap memiliki pembatasan. Batasannya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan suatu sebab terlarang apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Selain itu dibatasi juga oleh Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana tiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Jadi tanpa adanya itikad baik perjanjian dapat batal demi hukum.

Pengangkutan perairan dengan kapal diadakan berdasarkan perjanjian antara perusahaan pengangkutan perairan dan penumpang atau pemilik barang.18 Karcis penumpang dan dokumen pengangkutan merupakan tanda bukti telah terjadi

16

Sutarno, 2003, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, h. 82. 17

Konarz Zwiegert and Hein Kotz, 1987, Introduction to Comparative Law, Clarendon Press, Oxford, h. 13.

18


(33)

18

perjanjian pengangkutan antara perusahaan pengangkutan perairan dan penumpang atau pemilik barang dengan pembayaran biaya pengangkutan.19

Keselamatan penumpang merupakan tanggung jawab pengangkut. Pengangkut perlu juga mencantumkan pada dokumen pengangkutan atau dalam perjanjian pengangkutan bahwa pengangkut wajib :

a. menjaga keselamatan barang yang diangkut sejak penerimaan sampai saat penyerahannya

b. menjaga keselamatan penumpang sejak saat naik ke kapal sampai saat turun dari kapal.20

Mengenai kewajiban pengangkut untuk menjaga keselamatan dan keamanan

dari penumpang diatur dalam Pasal 522 KUHD ayat (1) “perjanjian untuk mengangkut mewajibkan pengangkut untuk menjaga keamanan penumpang dari

saat naik sampai saat turun dari kapal”. Dalam ayat (2) juga disebutkan “pengangkut wajib mengganti kerugian yang disebabkan oleh cedera yang

menimpa penumpang berkenaan dengan pengangkutan, kecuali ia dapat membuktikan, bahwa cedera itu adalah akibat dari suatu peristiwa yang layaknya

tidak dapat dicegah atau dihindari atau akibat kesalahan penumpang sendiri.” Tanggung Jawab secara harfiah dapat diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi menerima pembebanan sebagai

19

Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 183. 20


(34)

19

akibat sikapnya oleh pihak lain.21 Menurut Sugeng Istanto, pertanggungjawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas semua hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya.22

Ganti rugi sendiri merupakan bentuk pemenuhan hak kepada pihak yang telah dirugikan oleh pihak lainnya yang telah melakukan kesalahan atau pun kelalaian sehingga menyebabkan kerugian pada pihak tersebut. Ganti rugi sendiri timbul karena ada sebab, sebab-sebab tersebut antara lain adalah :

a. ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. Ganti rugi macam ini disimpulkan dari Pasal 1365 KUHPerdata yang membebankan ganti rugi kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikan. Ganti rugi ini muncul karena adanya kesalahan.

b. ganti rugi yang disebabkan karena wanprestasi. Di mana dalam hal ini salah satu pihak telah melakukan wanprestasi atau tidak melakukan hal yang sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama. Pembebanan ganti rugi ini harus melalui proses somasi. Ganti rugi ini muncul karena adanya perjanjian dan didasarkan pada Pasal 1243 KUHPerdata.

Hukum pengangkutan mengenal tiga prinsip tanggung jawab, yaitu tanggung jawab karena kesalahan (fault liability), tanggung jawab karena praduga

(presumption liability), dan tanggung jawab mutlak (absolut liability).

21

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 1006.

22


(35)

20

Hukum pengangkutan Indonesia umumnya menganut prinsip tanggung jawab karena kesalahan dan karena praduga. Tanggung jawab karena kesalahan di mana setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar segala kerugian yang timbul akibat kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan, bukan pada pengangkut. Prinsip ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata Indonesia tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum (general rule).23

Menurut prinsip tanggung jawab praduga pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Akan tetapi, jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti kerugian itu. Tidak bersalah artinya tidak melakukan kelalaian, telah berupaya melakukan tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian atau peristiwa yang menimbulkan kerugian itu tidak mungkin dihindari. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian yang diderita dalam pengangkutan yang diselenggarakan pengangkut.24

Prinsip ini dapat dijumpai dalam Undang-Undang Pelayaran Indonesia. Perusahaan pengangkutan perairan bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan oleh pengoperasian kapalnya berupa :

23

Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 49. 24


(36)

21

a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut selama dalam pengangkutan dan terjadi di dalam kapal dan/atau kecelakaan pada saat naik ke atau turun dari kapal, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

b. musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut sesuai dengan perjanjian pengangkutan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. keterlambatan pengangkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut meliputi antara lain, memberikan pelayanan dalam batas-batas kelayakan sesuai dengan kemampuan perusahaan perairan kepada penumpang selama menunggu keberangkatan dalam hal terjadi keterlambatan keberangkatan karena kelalaian perusahaan pengangkutan tersebut mengingat perusahaan pengangkutan perairan yang masih tergolong usaha ekonomi lemah.

d. kerugian pihak ketiga yaitu orang atau badan hukum yang tidak ada kaitannya dengan pengoperasian kapal, tetapi meninggal atau luka atau menderita kerugian akibat pengoperasian kapal.25

Prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability), yaitu menurut prinsip ini pengangkut harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian terhadap setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut.26

25

Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 52. 26

Wiradipraja Saefullah, 1989, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkut Udara Internasional Dan Nasional, Liberty, Yogyakarta, h. 19.


(37)

22

Cara membedakan prinsip-prinsip tanggung jawab tersebut di atas pada dasarnya diletakkan pada masalah pembuktian, yaitu mengenai ada tidaknya kewajiban pembuktian, dan kepada siapa beban pembuktian diletakkan dalam proses penuntutan.27

1.8.Metode Penelitian

1.8.1. Jenis penelitian.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum empiris yaitu suatu penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dengan fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Dalam penelitian hukum empiris digunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder dalam penelitian hukum empiris merupakan bahan hukum. Data sekunder tersebut di atas digunakan sebagai data awal dan kemudian secara terus menerus digunakan dengan data primer. Setelah data primer diperoleh dari penelitian di lapangan, kedua data tersebut digabung, ditelaah dan dianalisis.

1.8.2. Jenis pendekatan.

Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini yaitu Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach), Pendekatan Fakta

(The Fact Approach) dan Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical &

Conseptual Aproach).

Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) yaitu pendekatan berdasarkan pada teori-teori hukum dan peraturan

27

Ridwan Khairandy et. al., 1999, Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, cet. I, Gama Media, Yogyakarta, h. 202.


(38)

23

undangan yang berlaku, yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas.

Pendekatan Fakta (The Fact Approach) yaitu pendekatan yang didasarkan pada fakta-fakta yang terjadi di lapangan yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas.

Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual

Aproach) yaitu pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. 1.8.3. Sifat penelitian.

Sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Dalam penulisan ini tidak digunakan hipotesis karena teori-teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat baik dalam literatur maupun jurnal, doktrin, serta laporan penelitian terdahulu sudah cukup memadai.

1.8.4. Sumber data.

Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari dua sumber, yaitu : 1. data primer

Data primer ini bersumber dari penelitian lapangan yang diperoleh langsung dari PT. Wahana Gili Ocean Fast Boat.


(39)

24

Data sekunder ini diperoleh melalui penelitian bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti bahan-bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur, majalah serta surat kabar.

1.8.5. Teknik pengumpulan data.

Dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan studi dokumen. Untuk memperoleh data primer yaitu dengan cara melakukan wawancara langsung kepada pihak-pihak informan secara langsung. Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim digunakan dalam penelitian hukum empiris. Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada yang diwawancarai.28 Sedangkan untuk memperoleh data sekunder yaitu dilakukan dengan teknik studi dokumen atau bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Terhadap bahan-bahan hukum tersebut dilakukan suatu studi kepustakaan dengan cara mengumpulkan, membaca, mencatat, menelaah, mengkaji dan menganalisa dari buku-buku literatur yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang ada.

1.8.6. Teknik pengolahan dan analisis.

Teknik analisa data yang digunakan oleh peneliti di sini adalah dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, di mana keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder, akan diolah dan dianalisa dengan menguraikan dan memaparkannya secara jelas dan menyusun

28

Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 57.


(40)

25

secara sistematis, dihubungkan antara data satu dengan lainnya kemudian data tersebut dikaitkan dengan teori dan peraturan yang berlaku.


(41)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN

2.1. Pengangkut

2.1.1. Pengertian pengangkut.

Orang yang melakukan pengangkutan disebut pengangkut. Menurut Pasal 466 KUHD, pengangkut adalah setiap orang yang berjanji untuk menyelenggarakan pengangkutan barang semua atau sebagian secara time charter atau voyage charter atau persetujuan lain.

Dalam Pasal 521 KUHD merumuskan “pengangkut adalah orang yang mengikatkan diri, baik dengan perjanjian pencarteran menurut waktu atau menurut perjalanan, maupun dengan suatu perjanjian lain untuk menyelenggarakan pengangkutan orang (penumpang) seluruhnya atau sebagian

lewat laut.”

Pengangkutan dapat dilakukan sendiri oleh pihak pengangkut atau dilakukan oleh orang lain atas perintah pengangkut. Dalam hal ini, pihak pengangkut dalam keberlakuannya bukan hanya dilakukan oleh orang semata, namun badan usaha yang memiliki wewenang mengadakan perjanjian pengangkutan, berhak menyelenggarakan pengangkutan orang dan/atau barang di mana pihak pengangkut ini diwajibkan untuk memikul beban resiko tentang keselamatan penumpang dan/atau barang-barang yang diangkut serta bertanggung


(42)

jawab terhadap semua kerugian yang diderita dalam kegiatan pengangkutan tersebut.1

2.1.2. Syarat-syarat sebagai pengangkut.

Penyelenggaraan pengangkutan oleh pengangkut dianggap telah sah dan layak setelah memenuhi persyaratan yaitu memiliki izin usaha angkutan, mengasuransikan orang dan/atau barang yang diangkut serta layak pakai bagi kendaraan yang dioperasikannya.

Khusus dalam syarat “memiliki izin usaha angkutan” sebagaimana

dimaksud di atas, menteri perhubungan Republik Indonesia melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum (selanjutnya disingkat KM No.35 Tahun 2003), dalam Pasal 36 KM No. 35 Tahun 2003 jo Pasal 20 Peraturan Pemerintah

Nomor 41 Tahun 1993 ditegaskan “untuk memperoleh izin usaha angkutan, wajib memenuhi persyaratan.”

a. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

b. Memiliki akta pendirian perusahaan bagi pemohon yang berbentuk koperasi, tanda jati diri bagi pemohon perorangan;

c. Memiliki surat keterangan domisili perusahaan; d. Memiliki surat izin tempat usaha (SITU);

1

Made Puri Adnyani Sangging, 1984, Hukum Pengangkutan, Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati, Denpasar, h. 5.


(43)

e. Pernyataan kesanggupan untuk memiliki atau menguasai 5 (lima) kendaraan bermotor untuk pemohon yang berdomisili di pulau Jawa, Sumatera dan Bali;

f. Pernyataan kesanggupan untuk menyediakan fasilitas penyimpanan kendaraan.

Pengangkut yang tidak memiliki perusahaan pengangkutan, tetapi menyelenggarakan pengangkutan, hanya menjalankan pekerjaan pengangkutan. Pengangkut yang menjalankan pekerjaan pengangkutan hanya terdapat pada pengangkutan darat melalui jalan raya. Ia tidak diwajibkan mendaftarkan usahanya dalam daftar perusahaan, tetapi harus memperoleh izin operasi (izin trayek).

Berdasarkan dari makna yang dimaksud di atas agar pengangkut atau pihak penyelenggara pengangkutan mampu untuk melancarkan pengangkutan umum dengan teratur dan aman bagi penumpang dan/atau barang angkutan.

2.1.3. Hak dan kewajiban pengangkut.

Dalam perjanjian pengangkutan, pihak pengangkut dapat dikatakan sudah mengakui menerima barang atau penumpang dan menyanggupi untuk membawanya ke tempat yang dituju dan menyerahkannya kepada si alamat yang dituju, dengan dibuktikan oleh diserahkannya surat muatan bagi pengangkutan barang atau dengan tiket untuk pengangkutan penumpang.


(44)

Pengangkut sebagai pelaku usaha memiliki hak yang dapat dilihat dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disingkat UUPK), yakni :

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak beritikad baik.

c. hak untuk melakukan pembelaan dari sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.

d. hak untuk merehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan.

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Mengenai kewajiban pengangkut diatur dalam Pasal 468, Pasal 521, dan

Pasal 522 KUHD. Pasal 468 KUHD menyatakan bahwa “Dalam persetujuan

pengangkutan, mewajibkan pengangkut untuk menjaga akan keselamatan barang yang harus diangkutnya, mulai saat diterimanya hingga saat diserahkannya barang

tersebut”. Kemudian, Pasal 521 KUHD menjelaskan bahwa “Pengangkutan dalam

arti ini adalah barang siapa yang baik dengan suatu carter menurut waktu atau carter menurut perjalanan baik dengan sesuatu persetujuan lain, mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan barang, seluruhnya atau sebagian


(45)

melalui lautan”. Selanjutnya, Pasal 522 KUHD juga menjelaskan bahwa “Persetujuan pengangkutan mewajibkan pengangkut untuk menjaga keselamatan

barang, sejak dimuat hingga menyerahkannya kepada penerima di pelabuhan

tiba”. Selain hal tersebut di atas, pengangkut juga harus bertanggung jawab, dalam

arti harus mengganti segala yang disebabkan kerugian karena kerusakan pada barang atau kehilangan barang karena pengangkutan. Kecuali, apabila dapat dibuktikan bahwa rusaknya barang disebabkan oleh kejadian yang selayaknya tak dapat dicegah maupun dihindarkan, ataupun karena kesalahan pengirim sendiri. Hak pengangkut ialah menerima ongkos pengangkutan sesuai apa yang diperjanjikan di dalam bill of lading.2

2.2. Penumpang

2.2.1. Pengertian penumpang.

Dalam Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dimaksud penumpang adalah orang yang berada di kendaraan selain pengemudi dan awak kendaraan dengan mengikatkan diri setelah membayar uang atau tiket angkutan umum sebagai kontra prestasi dalam perjanjian pengangkutan. Dengan demikian maka seseorang telah sah sebagai penumpang angkutan umum.

Berdasarkan pengertian tersebut, penumpang angkutan umum dapat di maknai seseorang (individu) dan/atau satu (kelompok) yang menggunakan alat transportasi umum untuk suatu perjalanan tertentu yang didasari atas suatu

2


(46)

perjanjian sebelumnya, dimana pihak pengangkut berkewajiban untuk mengangkut penumpang tersebut dari suatu tempat ke tempat tujuan dengan selamat, sedangkan penumpang berkewajiban untuk membayar sejumlah uang sebagai imbalan atas jasa pengangkutan tersebut.

2.2.2. Kedudukan hukum penumpang.

Sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan, penumpang harus sudah dewasa atau mampu membuat perjanjian dalam Pasal 1320 angka 1 dan 2 KUHPerdata.

Penumpang dalam hal ini dapat diartikan sebagai konsumen, karena penumpang tersebut adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan jasa angkutan untuk tujuan memenuhi kebutuhan dirinya sendiri bukan untuk tujuan komersil.3

Dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditentukan pada UUPK. UUPK Pasal 1 angka 2 menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lainnya dan tidak diperdagangkan.

Merujuk pada uraian di atas bahwa penumpang dikatakan sebagai konsumen dimana dalam hal ini terdapat unsur-unsur dari konsumen yaitu:

3

A.Z. Nasution, 2001, Hukum Pelindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Mediam, Jakarta, h. 3.


(47)

a. setiap orang, subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai jasa dan/atau barang,4

b. pemakai, sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK, kata

“pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate

consumer), Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam

rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan jasa dan/atau barang yang dipakai tidak serta-merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh jasa dan/atau barang itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract),5 c. jasa dan/atau barang, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang

berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen, sementara itu UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen,6

4

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, h. 4. 5

Ibid, h. 27. 6


(48)

d. yang tersedia dalam masyarakat, jasa dan/atau barang yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran, merujuk pada Pasal 9 ayat (1) huruf e UUPK,7

e. bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lainnya, transaksi konsumen ditunjukkan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditunjukkan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi jasa dan/atau barang itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lainnya,

f. jasa dan/atau barang itu tidak untuk diperdagangkan, pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir.8 2.2.3. Hak dan kewajiban penumpang.

Penumpang sebagai konsumen atas jasa juga memiliki hak, seperti yang terdapat dalam Pasal 4 UUPK, antara lain :

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang diperjanjikan.

7

Ibid.

8


(49)

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Kewajiban dari penumpang menurut Pasal 5 UUPK, antara lain :

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dan pemanfaatan barang atau jasa. Tujuan adalah untuk menjaga keamanan dan keselamatan bagi konsumen itu sendiri;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa. Itikad baik sangat diperlukan ketika konsumen akan bertransaksi;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Konsumen perlu membayar barang atau jasa yang telah dibeli. Tentunya dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.


(50)

2.3. Kecelakaan

2.3.1. Pengertian kecelakaan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja yang diakibatkan oleh kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993 Pasal 93 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, kecelakaan adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak disangka-sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya, mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda. Korban kecelakaan dimaksud dalam hal ini adalah terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu korban mati, korban luka berat, dan korban luka ringan.

Dalam Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara pengertian kecelakaan adalah peristiwa pengoperasian pesawat udara yang mengakibatkan kerusakan berat pada peralatan atau fasilitas yang digunakan dan/atau korban jiwa atau luka serius.

2.3.2. Faktor penyebab terjadinya kecelakaan.

Sebab-sebab dari peristiwa lalu lintas jalan, baik yang mengenai pelanggaran, maupun kecelakaan dapat disebabkan oleh keadaan udara dan cuaca, keadaan jalan, pengemudi, orang berjalan kaki, penumpang, keadaan


(51)

kendaraan, jalan trem atau kereta api, benda-benda lain yang merintangi lalu lintas, karena hewan dan lain-lain.9

Kecelakaan-kecelakaan pada transportasi telah banyak yang terjadi. Misalnya saja pada transportasi laut, kecelakaan yang terjadi biasanya adalah tenggelam akibat kelebihan muatan, terbakar atau meledak, ataupun tenggelam akibat dari faktor alam. Tetapi berdasarkan data dari Mahkamah Pelayaran faktor kesalahan manusia adalah penyebab utama dari kecelakaan transportasi laut yang ada. Sebanyak 88% kejadian disebabkan oleh human error dari orang-orang yang ada dalam sistem transportasi laut. Dan hanya beberapa saja yang disebabkan oleh faktor alam atau cuaca.

Human Error yang terjadi pada kecelakaan transportasi laut dapat

disebabkan oleh berbagai faktor pada sistem transportasi laut yang ada. Misalkan kurangnya kepahaman para awak kapal akan rambu-rambu yang ada pada rute perjalanan, kelalaian petugas pelabuhan dalam melakukan pengawasan terhadap kapal-kapal yang berlayar. Ataupun kelalaian awak kapal dalam melakukan

maintenance terhadap mesin- mesin yang ada pada kapal. Berikut adalah beberapa

human error yang terjadi pada kecelakaan transportasi laut :

1. jumlah penumpang yang tidak sesuai dengan kapasitas

Dalam kasus kecelakaan transportasi laut sebagian besar kecelakaan yang terjadi adalah akibat dari jumlah penumpang yang tidak sesuai dengan kapasitas dari kapal yang berlayar. Hal ini selain disebabkan kelalaian dari nahkoda kapal kadang kala juga disebabkan kelalaian dari pengawasan pelabuhan ketika kapal

9


(52)

akan diberangkatkan. Hal ini juga disebabkan para pegawai yang di pelabuhan masih menganggap remeh akan standarisasi yang telah ditetapkan.

2. faktor teknis

Faktor lain yang terjadi biasanya sebagai penyebab dari kecelakaan transportasi laut adalah faktor teknis. Faktor teknis ini banyak hal yang bisa menjadi penyebabnya. Seperti desain kapal yang tidak sesuai dengan standarisasi yang telah ditetapkan. Ada pula maintenance yang dilakukan oleh para awak kapal yang masih tidak terjadwal dilakukan. Sehingga ketika kapal berlayar terjadi panas mesin yang menyebabkan mesin panas. Ataupun faktor teknis ketika membawa barang- barang yang berbahaya. Karena tidak adanya kesadaran untuk menjaga kapal dari awak kapal menyebabkan kapal meledak dan terbakar.10

10 Achmad andi rasyid Siregar, 2012, “Penyebab-penyebab Kecelakaan Pada Transportasi Laut di Indonesia, URL : https://aplikasiergonomi.wordpress.com/2012/06/09/penyebab-penyebab-kecelakaan-pada-transportasi-laut-id-indonesia/. Diakses tanggal 20 Januari 2016


(1)

a. setiap orang, subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap

orang yang berstatus sebagai pemakai jasa dan/atau barang,4

b. pemakai, sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK, kata

“pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer), Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan jasa dan/atau barang yang dipakai tidak serta-merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh jasa dan/atau barang itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan

pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract),5

c. jasa dan/atau barang, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang

berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen, sementara itu UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai,

dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen,6

4

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, h. 4. 5

Ibid, h. 27. 6


(2)

d. yang tersedia dalam masyarakat, jasa dan/atau barang yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran, merujuk pada

Pasal 9 ayat (1) huruf e UUPK,7

e. bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup

lainnya, transaksi konsumen ditunjukkan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditunjukkan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi jasa dan/atau barang itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lainnya,

f. jasa dan/atau barang itu tidak untuk diperdagangkan, pengertian

konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir.8

2.2.3. Hak dan kewajiban penumpang.

Penumpang sebagai konsumen atas jasa juga memiliki hak, seperti yang terdapat dalam Pasal 4 UUPK, antara lain :

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang diperjanjikan.

7 Ibid. 8


(3)

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang digunakan.

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif.

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Kewajiban dari penumpang menurut Pasal 5 UUPK, antara lain :

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dan pemanfaatan

barang atau jasa. Tujuan adalah untuk menjaga keamanan dan keselamatan bagi konsumen itu sendiri;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa. Itikad

baik sangat diperlukan ketika konsumen akan bertransaksi;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Konsumen perlu

membayar barang atau jasa yang telah dibeli. Tentunya dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen


(4)

2.3. Kecelakaan

2.3.1. Pengertian kecelakaan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan bahwa kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja yang diakibatkan oleh kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993 Pasal 93 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, kecelakaan adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak disangka-sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya, mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda. Korban kecelakaan dimaksud dalam hal ini adalah terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu korban mati, korban luka berat, dan korban luka ringan.

Dalam Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara pengertian kecelakaan adalah peristiwa pengoperasian pesawat udara yang mengakibatkan kerusakan berat pada peralatan atau fasilitas yang digunakan dan/atau korban jiwa atau luka serius.

2.3.2. Faktor penyebab terjadinya kecelakaan.

Sebab-sebab dari peristiwa lalu lintas jalan, baik yang mengenai pelanggaran, maupun kecelakaan dapat disebabkan oleh keadaan udara dan cuaca, keadaan jalan, pengemudi, orang berjalan kaki, penumpang, keadaan


(5)

kendaraan, jalan trem atau kereta api, benda-benda lain yang merintangi lalu

lintas, karena hewan dan lain-lain.9

Kecelakaan-kecelakaan pada transportasi telah banyak yang terjadi. Misalnya saja pada transportasi laut, kecelakaan yang terjadi biasanya adalah tenggelam akibat kelebihan muatan, terbakar atau meledak, ataupun tenggelam akibat dari faktor alam. Tetapi berdasarkan data dari Mahkamah Pelayaran faktor kesalahan manusia adalah penyebab utama dari kecelakaan transportasi laut yang

ada. Sebanyak 88% kejadian disebabkan oleh human error dari orang-orang yang

ada dalam sistem transportasi laut. Dan hanya beberapa saja yang disebabkan oleh faktor alam atau cuaca.

Human Error yang terjadi pada kecelakaan transportasi laut dapat disebabkan oleh berbagai faktor pada sistem transportasi laut yang ada. Misalkan kurangnya kepahaman para awak kapal akan rambu-rambu yang ada pada rute perjalanan, kelalaian petugas pelabuhan dalam melakukan pengawasan terhadap kapal-kapal yang berlayar. Ataupun kelalaian awak kapal dalam melakukan maintenance terhadap mesin- mesin yang ada pada kapal. Berikut adalah beberapa human error yang terjadi pada kecelakaan transportasi laut :

1. jumlah penumpang yang tidak sesuai dengan kapasitas

Dalam kasus kecelakaan transportasi laut sebagian besar kecelakaan yang terjadi adalah akibat dari jumlah penumpang yang tidak sesuai dengan kapasitas dari kapal yang berlayar. Hal ini selain disebabkan kelalaian dari nahkoda kapal kadang kala juga disebabkan kelalaian dari pengawasan pelabuhan ketika kapal

9


(6)

akan diberangkatkan. Hal ini juga disebabkan para pegawai yang di pelabuhan masih menganggap remeh akan standarisasi yang telah ditetapkan.

2. faktor teknis

Faktor lain yang terjadi biasanya sebagai penyebab dari kecelakaan transportasi laut adalah faktor teknis. Faktor teknis ini banyak hal yang bisa menjadi penyebabnya. Seperti desain kapal yang tidak sesuai dengan standarisasi

yang telah ditetapkan. Ada pula maintenance yang dilakukan oleh para awak

kapal yang masih tidak terjadwal dilakukan. Sehingga ketika kapal berlayar terjadi panas mesin yang menyebabkan mesin panas. Ataupun faktor teknis ketika membawa barang- barang yang berbahaya. Karena tidak adanya kesadaran untuk

menjaga kapal dari awak kapal menyebabkan kapal meledak dan terbakar.10

10 Achmad andi rasyid Siregar, 2012, “Penyebab-penyebab Kecelakaan Pada Transportasi Laut di Indonesia, URL : https://aplikasiergonomi.wordpress.com/2012/06/09/penyebab-penyebab-kecelakaan-pada-transportasi-laut-id-indonesia/. Diakses tanggal 20 Januari 2016