Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pengangkutan atau sistem transportasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam memperlancar kegiatan lalu lintas perjalanan sehingga pengangkutan tersebut dijadikan sebagai suatu kebutuhan bagi kehidupan masyarakat sehari-hari. Seiring dengan perkembangan di bidang ilmu pengetahuan, di bidang teknologi, serta dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional kebutuhan masyarakat akan sarana transportasi ini juga mulai meningkat. Negara Indonesia merupakan negara Kepulauan yang di dalamnya terdapat berbagai macam daerah pariwisata sehingga banyak para wisatawan yang tertarik untuk datang menikmati daerah wisata tersebut. Mengingat hal tersebut sarana transportasi sangat diperlukan oleh masyarakat yang ingin berkunjung ke suatu tempat dalam hal ini dari satu pulau ke pulau lain, sehingga kini banyak terdapat penyedia jasa angkutan khususnya angkutan kapal laut. sarana pengangkutan sangat dibutuhkan bagi masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam melaksanakan aktifitasnya sehari-hari. Hal tersebut mengingat bahwa sering kali aktifitas terjadi di sentra-sentra tertentu. Hal yang sangat mendasar dalam pengangkutan adalah adanya pengangkut dan penumpang atau pengguna jasa angkutan. Antara pengangkut dan penumpang terdapat hak dan kewajiban yang dituangkan dalam bentuk perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian pengangkutan di sini adalah persetujuan dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang 2 danatau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat dan penumpang atau pemilik barang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan. Dalam perjanjian pengangkutan selalu diadakan secara lisan, tetapi didukung oleh dokumen yang membuktikan bahwa perjanjian sudah terjadi dan mengikat. 1 Suatu perjanjian merupakan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, ini terkandung dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disingkat KUHPerdata. Pengertian perjanjian ini mengandung unsur-unsur yaitu adanya perbuatan, dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih dan mengikatkan dirinya. Pengangkutan sebagai perjanjian merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang danatau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan. 2 Menurut Sution Usman Adji, bahwa pengangkutan adalah sebuah perjanjian timbal balik, dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari tempat tujuan tertentu dengan selamat tanpa berkurang jumlah dari barang yang dikirimkan, sedangkan pihak lainnya 1 Abdulkadir Muhammad, 2008, Hukum Pengangkutan Niaga, cet. IV, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 46. 2 H.M.N. Purwosutjipto, 1995, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta, h.2. 3 pengirim atau penerima berkeharusan memberikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut. 3 Dalam perjanjian pengangkutan bukti adanya perjanjian pengangkutan yaitu biasanya dalam wujud surat angkutan berupa tiket penumpang. Surat angkutan ini bersifat mengikat pengangkut dan penumpang, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdata yaitu “semua persetujuan yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya”. Kegiatan pengangkutan dalam hal ini khususnya pengangkutan laut tidak hanya bersifat hukum perdata tetapi juga hukum publik, karena di dalam perjanjian pengangkutan juga terkait tentang keselamatan pelayaran. Hukum pengangkutan menyangkut hukum perjanjian yang merupakan suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata, yang bersifat terbuka dan menganut asas atau prinsip konsensualitas, kebebasan berkontrak, serta juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang selanjutnya disingkat KUHD. Tujuan dari usaha pengangkutan ialah untuk mencari nilai tambah atau keuntungan, maka kegiatan perjanjian pengangkutan kemudian dikategorikan di dalam istilah jual beli perusahaan, dalam arti perbuatan yang direncanakan lebih dulu tentang untung ruginya dan segala sesuatunya dicatat dalam pembukaan. Jual beli ini tidak untuk dikonsumsi sendiri tetapi untuk kepentingan perusahaan atau jabatannya dalam perusahaan itu. 4 3 Sution Usman Adji, dkk, 1991, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Cet. II, Rinka Cipta, Jakarta, h. 26. 4 H. Djafar Al Bram, 2011, Pengantar Hukum Pengangkutan Laut Buku I: Pengertian, Asas-Asas, Hak Dan Kewajiban Para Pihak, Cet. I, Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta, h.1. 4 Secara umum dinyatakan bahwa setiap pengangkutan bertujuan untuk tiba di tempat tujuan dengan selamat dan meningkatkan nilai guna bagi penumpang ataupun barang yang diangkut. Tiba di tempat tujuan artinya proses pemindahan dari satu tempat ke tempat tujuan berlangsung tanpa hambatan dan kemacetan, sesuai dengan waktu yang direncanakan. Dengan selamat artinya penumpang dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya yang mengakibatkan luka, sakit atau meninggal dunia. Meningkatkan nilai guna artinya nilai sumber daya manusia dan barang di tempat tujuan menjadi lebih tinggi bagi kepentingan manusia dan pelaksanaan pembangunan. 5 Dalam Pasal 40 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran menyatakan “perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang danatau barang yang diangkatnya.” kemudian dalam Pasal 41 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 menyatakan perusahaan pengangkutan perairan bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan dalam pengoperasian kapal berupa : a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut b. musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut c. keterlambatan angkutan penumpang danatau barang yang diangkut atau d. kerugian pihak ketiga. 5 Abdulkadir Muhammad, op.cit, h.18. 5 Jika perusahaan pengangkutan perairan dapat membuktikan bahwa kerugian itu bukan disebabkan oleh kesalahannya maka dia dapat dibebaskan sebagian atau seluruh dari tanggung jawabnya. Pasal 41 ayat 2. Menurut Pasal 41 ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran disebutkan “perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.” Ketentuan-ketentuan dalam pasal tersebut berlaku bagi semua kegiatan angkutan di perairan, dalam hal ini khususnya termasuk juga dalam kegiatan pengangkutan perairan menggunakan kapal wisata. Pengangkutan laut yang berwawasan pariwisata ini menjadi sorotan utama bagi wisatawan, mengingat hal tersebut sudah sepantasnya yang menjadi prioritas utama perusahaan pengangkutan di perairan khususnya dalam kegiatan pariwisata adalah keamanan dan keselamatan penumpang. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab banyaknya ada permasalahan dari pihak penumpang terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pengoperasian kapal. Seperti misalnya kasus tentang kecelakaan kapal yang mengakibatkan cedera hingga kematian penumpang, hilang atau rusaknya barang bawaan penumpang, maka dari itu perusahaan pengangkutan di perairan bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami penumpang yaitu keselamatan barang dan penumpang berupa kematian atau lukanya penumpang akibat pengoperasian kapal. 6 Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dipilih judul dalam skripsi ini yaitu “Tanggung Jawab Pengangkut terhadap kerugian penumpang kapal wisata akibat terjadinya kecelakaan : Studi Pada PT. Wahana Gili Ocean Fast Boat di Klungkung ”.

1.2. Rumusan Masalah