Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

6

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Permasalahan narkoba di negeri ini telah sangat meresahkan masyarakat dan bangsa Indonesia, tidak hanya dari kalangan berada, warga miskin - menengah, pegawai negeri atau swasta, tua - muda, bahkan anak sekolah, tidak sedikit terjebak menjadi korban penyalahgunaan narkoba. Badan Narkotika Nasional BNN mendata kasus penyalahgunaan narkotika di Indonesia naik tajam. Korbannya mencapai lebih 5 juta jiwa. Di kalangan pelajar, jumlah penggunanya mencapai sekitar 921.695 orang. Pengguna yang meninggal di tahun 2012 mencapai rata-rata 50 orang per hari. 1 Sebenarnya narkoba dibutuhkan dalam dunia kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga pengadaannya perlu dijamin dan tidak bertentangan ketentuan undang-undang yang berlaku. Di sisi lain narkoba dapat menimbulkan bahaya apabila disalahgunakan, narkoba dapat menyebabkan timbulnya penyakit, gangguan kesehatan sampai dengan kematian, bahkan efek negatif lain kejahatan narkoba dapat menimbulkan kejahatan atau prilaku kriminal lainnya seperti tindak kekerasan fisik, kesusilaan atau kejahatan terhadap harta benda. Penyalahgunaan narkoba dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Hal ini tidak saja merugikan bagi penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional, sehingga hal ini merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara. Penyalahgunaan narkoba oleh Pilot Lion Air dan kasus kecelakaan maut Tugu Tani oleh pelaku Afriyani merupakan bukti nyata ancaman keselamatan penumpang serta kerugian terhadap negara dan masyarakat. Penyalahgunaan narkoba berkaitan erat dengan peredaran gelap sebagai bagian dari dunia tindak pidana internasional. Mafia perdagangan gelap memasok narkoba agar 1 BNN: Kasus Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia Naik Tajam http:www.majalahpotretindonesia.- com, diakses 14 April 2013. 7 orang memiliki ketergantungan sehingga jumlah supply meningkat. Terjalinnya hubungan antara pengedarbandar dengan korban membuat korban sulit melepaskan diri dari pengedarbandar, bahkan tidak jarang korban juga terlibat peredaran gelap karena meningkatnya kebutuhan dan ketergantungan mereka akan narkoba. 2 Dunia internasional menggangap kejahatan narkoba telah masuk dalam kejahatan luar biasa extraordinary crime. Penyelenggaraan konferensi tentang narkotikapsikotropika yang pertama kali dilaksanakan oleh The United Nations Conference for the Adaption of Protocol on Psychotropic Substances mulai tanggal 11 Januari - 21 Februari 1971 di Wina, Austria telah menghasilkan Convention Psycotropic Substances 1971. 3 Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention of Psychotropic Substance 1971 berdasarkan UU No. 8 Tahun 1996. Ratifikasi terhadap konvensi tentang substansi psikotropika tersebut memberikan konsekuensi hukum. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia berkewajiban untuk menanggulangi pemberantasan kejahatan penyalahgunaan narkoba tersebut. Penyalahgunaan narkoba serta peredaran dan perdagangan gelap dapat digolongkan ke dalam kejahatan internasional. Kejahatan internasional ini membuktikan adanya peningkatan kuantitas dan kualitas kejahatan ke arah organisasi kejahatan transnasional, melewati batas-batas negara dan menunjukkan kerjasama yang bersifat regional maupun internasional. 4 Indonesia kembali telah berusaha mengantisipasi dan penanggulangi masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, dengan meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988 dan Konvensi Psikotropika Tahun 1971 Covention on Psychotropic Subtances 1971 dengan mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Pemberantasan 2 Lydia Harlina Martono Satya Joewana, 2006, Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba Keluarganya, Balai Pustaka, Jakarta, hal.1. 3 Siswanto Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 1. 4 Ibid, hal 3. 8 Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika dan Undang-undang No. 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika. Selanjutnya dikeluarkan Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika sebagai pengganti Undang- undang yang lama yaitu Undang-undang No. 9 Tahun 1976 Tentang narkotika. Dan disempurnakan dengan membuat aturan hukum baru yang cukup memadai dan terakomodasi yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang diharapkan lebih efektif mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, termasuk untuk menghindarkan wilayah Negara Republik Indonesia dijadikan ajang transaksi maupun sasaran peredaran gelap narkotika. Ketentuan Pasal 64 Ayat 1 Undang-Undang No 35 Tahun 2009 menyebutkan bahwa dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN, selanjutnya pada Ayat 2 menyebutkan BNN sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sehingga BNN memegang peranan penting yang ditetapkan oleh undang-undang dalam hal pemberantasan peredaran gelap serta pencegahan penyalahgunaan narkoba. Pula sesuai visinya BBN menjadi lembaga yang profesional dan mampu berperan sebagai focal point Indonesia di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya di Indonesia. 5 Pada tahap implementasi aparat penegak hukum juga telah gencar menghentikan laju penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba antara lain dengan melakukan razia, ataupun penjatuhan sanksi yang berat. Dalam sistem pemidanaan di Indonesia hukuman yang paling berat dijatuhkan adalah pidana mati namun pemberlakuannya selalu mengundang kontroversi, beberapa pendapat menyebutkan bahwa pidana mati tidak sesuai dengan ajaran hukum Islam, Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Selain itu pidana mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia berdasarkan Pasal 28 A UUD 1945 perubahan kedua, Pasal 4 dan Pasal 33 ayat 2 Undang-undang HAM No. 39 5 http:www.bnn.go.id 9 Tahun 1999 bahwa setiap orang bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa. Timbul pertanyaan apakah dengan pemidanaan berat cukup bagi penganggulangan penyalahgunaan narkoba? Kasus Pilot Lion Air Syaiful Salam, yang tertangkap basah nyabu di Hotel Golden Palace tanggal 4 Februari 2012, dalam putusannya Hakim Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhi sanksi penjara selama satu tahun, sebelumnya majelis hakim telah menolak permintaan rehab dari terdakwa 6 . Terdakwa dianggap melanggar ketentuan Pasal 127 UU No 35 Tahun 2009, pemberian sanksi pidana penjara ini merupakan contoh pengenaan sanksi pidana terhadap penyalahgunaan narkoba. Selain sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap penyalahgunaan narkoba, ada kasus, pengguna hanya dikenakan sanksi rehabilitasi medis danatau rehabilitasi sosial, seperti pengguna narkoba di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, hanya dikenakan rehabilitasi 7 . Hal kedua ini sejalan dengan SEMA No. 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, yang menempatkan agar hakim memberikan perintah penempatan pada lembaga rehabilitasi sosial dan medik baik dalam bentuk penetapan ataupun putusan bagi penyalah guna, korban penyalahgunaan dan pecandu narkoba. Hingga terkait penyalahgunaan narkoba, dalam memutus suatu perkara otoritas hakim yang begitu besar dalam memutuskan perkara yang mengakibatkan banyak terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sejenis. Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan secara substansial yang tajam antara putusan hakim Pengadilan Negeri yang satu dengan yang lain atau hakim Pengadilan Tinggi dan hakim Mahkamah Agung mengenai perkara yang sama, padahal semuanya mengacu pada peraturan yang sama. 8 Dengan demikian ada kemungkinan terjadi disparitas putusan hakim dalam kasus narkoba dapat terjadi terhadap pemakai yang satu dengan yang lain atau antara pengedar yang satu dengan pengedar yang lain atau hukuman untuk pemakai yang satu 6 Nyuciek Asih, 2012, Nyabu, Eks Pilot Lion Air Diganjar Satu Tahun, http:www.beritajatim.com diakses 12 April 2013. 7 Lima Pengguna Narkoba Di Sumenep Jalani Rehabilitasi, http:www.ciputranews.com, diakses 12 April 2013. 8 Bambang Sutiyoso, 2007, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, hal.10. 10 bisa berupa sanksi penjara sedangkan pemakai yang lain dapat di kenakan rehabilitasi. Diharapkan akan ada putusan–putusan Hakim yang progresif dalam menyikapi situasi para pemakai narkotika. Hal ini tentunya akan dapat dilakukan manakala kebijakan atas pemakai narkotika terutama mereka yang mengalami kecanduan sesuai dengan hak atas kesehatan dan hak asasi mereka. Putusan yang progresif membutuhkan landasan kebijakan negara yang juga progresif. Kebijakan tersebut tentu akan muncul manakala peraturan dan penengak hukum peka atas hak asasi manusia.Sayangnya, hingga kini, UU Narkotika dan RUU Narkotika masih jauh dari semangat penyembuhan bagi mereka yang mengalami adiksi. Hal ini dapat dilihat dari semangat pemidanaan yang muncul dalam Berkas Acara Pemeriksaan BAP yang dibuat ditingkatan kepolisian dan kemudian dilanjutkan dengan tuntutan para Jaksa yang sesuai dengan UU dan RUU tentang Narkotika mengkriminalkan para pengguna. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara nomor 798Pid.B2009PN Jkt.Pst, dengan ketua H. Makmun Masduki, SH, MH menjatuhkan vonis rehabilitasi kepada seorang pecandu narkotika yang mengalami ketergantungan. Dalam pertimbangan putusannya, hakim menyatakan bahwa banyak narapidana narkotika yang dari sisi kesehatan adalah orang sakit yang butuh terapi kesehatan. Selanjutnya penjara bukanlah tempat yang tepat untuk para pecandu narkotika yang mengalami ketergantungan. Oleh karena itu hakim memerintahkan terdakwa untuk menjalani rehabilitasi di RSKO Cibubur terlebih dahulu. Sedangkan khususnya di Propinsi Bali yang merupakan daerah tujuan wisata tidak sedikit terjadi kasus penyalahgunaan narkoba. Seperti dikatakan Kepala Badan Narkotika Provinsi Bali Gusti Ketut Budiarta dalam keteranganya di Denpasar 722013 mengatakan tingginya angka prevalensi penyalahgunaan narkotika di Bali karena daya imunitas dan kesadaran akan ancaman narkotika di Bali masih rendah Hasil penelitian Badan Narkotika Nasional dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia menunjukkan bahwa tingkat prevalensi penyalahgunaan narkotika di Bali mencapai 1,8 persen dari jumlah penduduk atau mencapai 50.530 orang. 9 Sejak tanggal 2 Maret 2012, telah diresmikan Kantor BNN Badan Narkita 9 Pengguna Narkotika di Bali Mencapai 50.530 Orang, http:www.beritabali.com, diakses 12 April 2013. 11 Nasional RI Provinsi Bali, yang diresmikan oleh Gories Mere, Ketua BNN RI Pusat. Pemelaspasan atau sejenis upacara keagamaan umat Hindu dengan tujuan membersihkan objek upacara dalam hal ini kantor baru BNN Provinsi Bali, dipandu langsung oleh salah satu pemuka agama, Pedanda asal Griya Yang Batu, Renon, Denpasar. Dihadiri secara langsung Kombes Pol I Gusti Ketut Budiarta, Ketua BNN Bali, beserta sebagian besar staf atau jajaran pegawai kantor setempat. Ditemui usai pelaksanaan prosesi upacara, Budiartha, menuturkan harapannya dalam mengomandani BNN RI Provinsi Bali kedepan. Kantor yang berlokasi diseputuran Jalan Kamboja, Denpasar, diharapkan membawa dampak baik terhadap institusi dalam menjalankan tugas dan kewajiban. Minimal mampu menekan peningkatan kasus yang terjadi di Bali, prediksi sekitar 15 lebih meningkat dari tahun sebelumnya. 10 Bahkan BNN telah berencana membangun pusat rehabilitasi di Bali untuk merehabilitasi pencandu narkotika. Rencana BNN itu mendapat dukungan dari Gubernur Bali. Kepala BNN Provinsi Bali Gusti Ketut Budiartha mengatakan, pihaknya sudah menemui Gubernur Bali untuk menyampaikan rencana pembangunan pusat rehabilitasi BNN di Bali. Gubernur mendukung sebab pada prinsipnya pusat rehabilitasi itu untuk kepentingan masyarakat Bali, Direncanakan dibangun di Bangli. Pusat rehabilitasi BNN itu akan memakai lahan milik pemerintah seluas dua hektar, dan diperkirakan dapat menampung 300 orang. 11 Pada akhirnya penyalahgunaan narkoba pastinya sangat merusak generasi muda secara umum di negeri kita ini. Berdasarkan pemahaman diatas antara lain maraknya kasus penyalahgunaan narkoba serta adanya disparitas terhadap sanksi yang dijatuhkan, dengan penelitian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana penanggulangan penyalahgunaan Norkoba khususnya di Provinsi Bali. Dan diharapkan kedepannya dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam dunia akademisi maupun praktik pemidanaan terhadap pelaku penyalah guna narkoba di indonesia dan khususnya di Bali. 10 Roelly Rosuli, 2012, Kantor Baru BNN Bali Dipelaspas, http:balinasionalnews.blogspot.com, diakses 11 April 2013. 11 Cokorda Yudhistira, 2013, BNN Bangun Pusat Rehabilitasi di Bali, http:nasional.kompas.com, diakses 11 April 2013. 12

2. PERUMUSAN MASALAH