Rhenald Kasali,
Manajemen Periklanan Konsep dan Aplikasinya
di Indonesia
, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1993 hlm 122
F. Format Station
Sebuah televisi komersial mencari uang dengan menargetkan
audience
yang ingin disasar. Ini dalam hubungannya dengan pemasang iklan komersial di televisi. Hal ini dapat dilihat dari produsen yang
memilih format stasiun yang sama dengan calon pembeli produknya. Dengan kata lain, format yang spesifik akan memudahkan para produsen
memilih media yang akan dia gunakan untuk memasang iklan.
Programming
dan penjadwalan pada televisi komersial setidaknya sebagian besar didorong oleh kepentingan iklan. Pengiklan ingin
diikutsertakan dalam program-program yang menarik perhatian khalayak dan yang sesuai dengan citra dan tujuan pemasaran mereka. Programer
ingin membeli dan memesan program tersebut untuk menjual waktu kepada pengiklan. Penjadwal ingin menyusun program sehingga mereka
memperbesar kesempatan jual ini. Ini merupakan syarat-syarat dari kontrak komersial yang berisi kekuatan pasar yang tidak mengekang.
Graeme Burton,
Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kepada Kajian Televisi,
Yogyakarta Bandung, Jalasutra, 2007 hlm.139 Ambisi untuk meraih pemirsa sebanyak-banyaknya memang tidak
salah, bahkan merupakan keharusan. Sebab sebuah program acara sebagus apa pun jika tidak ditonton apalah artinya. Persoalan yang kemudian
menjadi paradoks, yakni upaya-upaya yang dilakukan dalam menyusun program seringkali justru menciptakan segmentasi khalayak yang terbelah.
Hal itu disebabkan oleh tingkat kompetisi yang begitu tajam dengan munculnya banyak stasiun televisi sementara kemampuan inovasinya
sangat terbatas. Dalam situasi kompetitif semacam itu, inovasi menjadi sangat tidak menarik karena dalam perencanaan membutuhkan waktu yang
cukup banyak, biaya survei yang besar, dan tentu dengan spekulasi yang mendebarkan pula, namun begitu program tersebut mampu meraup
pemirsa yang banyak. Stasiun televisi lain dengan tanpa merasa berdosa mengekor.
Banyak program inovatif yang menarik dan mampu menjadi tayangan yang eksklusif hanya berumur pendek karena banyak ditiru oleh
stasiun televisi lain. Akibatnya, tayangan televisi menjadi cepat jenuh
overload
dan disusul dengan kegelisahan khalayak mencari tayangan lain. Sebagai contoh, ketika sebuah stasiun televisi berhasil merebut
pemirsa dengan pertandingan tinju yang disiarkan secara langsung, beberapa stasiun televisi turut membuat program yang sama dengan nama
program yang berbeda. Ketika sebuah stasiun televisi mencuat karena program
infotainment
yang melansir informasi berita seputar selebritis, stasiun lain tidak mau kalah. Demikian pula ketika sebuah stasiun televisi
berhasil membuat program konser musik model festival, tanpa merasa berdosa dan tanpa merasa malu yang lain mengekor. Realitasnya, belum
tentu yang pertama tampil sebagai “pemenang” dalam merebut pemirsa. Sebab pengekor biasanya telah mempelajari kelemahan-kelemahan sang
pionir dan menutupinya dengan modifikasi tertentu. Maka, berlakulah motto:
We are not the first but the best
. Inilah paradoks program acara pada dunia pertelevisian kita, yang
cenderung memproduksi pesan yang sama atau lebih tepatnya kaya dengan duplikasi. Akibatnya, ragam acara yang seharusnya menjadi tuntutan
publik karena publik berhak memperoleh tayangan sesuai dengan yang disukai, menjadi tidak terpenuhi. Khalayak berada dalam posisi tawar
yang lemah, kecuali sekadar menjadi objek yang terkondisikan oleh program-program tersebut.
Persaingan stasiun televisi yang makin ketat menuntut para pengelolanya harus pandai mencari celah agar dapat bertahan hidup.
Beberapa televisi yang semula bersifat umum dapat mengalihkan segmentasi pasarnya secara khusus. Begitu pula stasiun-stasiun televisi
yang hadir belakangan ini dengan bendera segmentasi tertentu. Segmentasi ibarat pisau membelah rentang usia dan gaya hidup pemirsa. Dengan
adanya segmentasi pasar, maka target konsumen yang terkait dengan pemirsa akan semakin jelas. Konsumen yang jelas inilah yang akan terus
menerus dibidik oleh pemasang iklan dan produsen. Segmentasi pasar yang telah secara sadar diambil oleh masing-masing televisi akan menjadi
faktor penentu keberhasilannya. Cara mengetahui suatu stasiun televisi dikatakan berhasil adalah dengan perolehan rating.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan pengetahuan secara konkret, digelarlah penelitian tentang perilaku khalayak televisi Television
Audience Measurement, TAM oeleh sebuah lembaga riset internasional yang sekarang bernama Nielsen Media Research NMR. Berbagai data
rating yang dikeluarkan oleh NMR ini tentu saja ditindaklanjuti oleh stasiun televisi dengan sejumlah tindakan konkret dan cepat. Erica L.
Panjaitan TM. Dhani Iqbal,
Matinya Rating Televisi
, Jakarta, Obor Indonesia, 2006 hlm 21
G. Tahap Pelaksanaan Acara